Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik Mencit

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC
STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI
DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO
PARTENOGENETIK MENCIT

THOMAS MATA HINE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Pengembangan Metode
Kultur Embryonic Stem Cells dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari
Embrio Partenogenetik Mencit’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2009

Thomas Mata Hine
NIM B061040021

ABSTRACT
THOMAS MATA HINE. Development Cultured Methods of Fertilized Embryo
Derived-Stem Cells and their Production from Mouse Parthenogenetic Embryos.
Under Direction of ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, and DONDIN
SAJUTHI.
The ability of embryonic stem cells (ESC) to contribute become all cell
type of the body draw enthusiasm a lot of researcher to investigate and exploit
ESC for various importance. One of the benefits of ESC is for treatment of
various degenerative diseases resulted from cell damage or aging at certain
tissues or organs of the body. In addition, ESC also applicable for pre-clinical
trials new drugs before used for medical treatment for animal and human being.
The efficiency of ESC deriving is influenced by some factors that are: stadia of
the embryos, culture system, type of feeder layer, and passage method. In this

research, we test the growth potential of ESC yielded by embryo at cleavage,
morula, and blastocyst stage; culture of ESC from inner cell mass (ICM) of
blastocyst isolated by enzymatic or immunosurgery methods at cumulus feeder
layer (CFL) or cumulus conditioned medium in combination with leukemia
inhibitory factor (LIF), passage of ESC with mechanical or enzymatic method,
and furthermore induce of ESC to be differentiated. In addition, we produced
parthenogenetic ESC in effort to minimize the ethical and immunogenicity
problems resulted from fertilized embryos. Result of the research indicated that
embryos at the morula stage can produce ESC, with attachment rate and number
of primary ESC colony were lower than blastocyst, but doubling time and
outgrowth were higher than the blastocyst, while embryos at the cleavage stage
were unable to produce ESC. In the second experiment, isolation of ICM of
blastocyst by enzymatic method were able to produce ESC wich was similar with
immunosurgery, and was higher than produced by intact blastocyst. At the third
experiment, effectiveness of CFL comparable with MEF feeder layer, and the LIF
at concentration 10 ng/ml at CFL or 20 ng/ml at CCM were able to improve
efficiency of ESC deriving, and the mechanical method for ESC colony passage
showed the better results than enzymatic method. In addition, ESC colony
culture in CFL or CCM was able to differentiate become cardiomyocyte-like cells
and neuron-like cells. In the latest experiment, mouse parthenogenetic embryos

could produced ESC with growth potential was lower than derive from fertilized
embryos.
Keywords: culture methods, fertilized, parthenogenetic, mouse embryos, stem
cells

RINGKASAN

THOMAS MATA HINE. Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells
dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari Embrio Partenogenetik
Mencit. Dimbimbing oleh ARIEF BOEDIONO, IMAN SUPRIATNA, dan
DONDIN SAJUTHI.
Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur
sel embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang
menjadi semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme
seperti sel syaraf, sel pankreas, sel ginjal, sel hati, sel darah, sel tulang, dan
sebagainya. Dengan kemampuan seperti ini, ESC dapat digunakan untuk
terapi berbagai penyakit degeneratif atau penyakit lainnya yang diakibatkan
oleh adanya kerusakan atau penuaan sel pada suatu jaringan atau organ
tubuh tertentu. Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk pengujian obat
baru sebelum digunakan untuk pengobatan pada hewan dan manusia.

Ada beberapa masalah yang timbul dalam produksi ESC: 1) umumnya
ESC diproduksi dari inner cell mass (ICM) blastosis yang memiliki potensi
diferensiasi yang lebih terbatas dibandingkan dengan embrio pada stadium
cleavage dan morula. 2) ESC selama ini diproduksi dari kultur blastosis utuh
atau kultur ICM hasil isolasi dengan metode immunosurgery. Kultur blastosis
utuh menghasilkan tingkat pertumbuhan koloni ESC yang rendah sedangkan
metode immunosurgery memiliki harga bahan yang mahal, 3) mouse
embryonic fibroblast (MEF) feeder layer yang umumnya digunakan untuk
kultur ESC sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur,
dan metode produksinya relatif rumit, 4) ESC yang diproduksi dari embrio
hasil fertilisasi memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada
tingginya resiko penolakan oleh jaringan pasien pada saat terapi, dan
menimbulkan masalah etika karena diproduksi dari embrio yang berpotensi
untuk menghasilkan individu baru. Untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut maka dalam penelitian ini, ESC diproduksi dari embrio yang berada
pada stadium cleavage dan morula, isolasi ICM dengan metode enzimatik,
kultur ESC pada feeder layer kumulus (CFL) atau conditioned medium
cumulus (CCM), dan produksi ESC dari embrio partenogenetik.
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengukur kemampuan tumbuh ESC
yang dihasilkan oleh embrio pada stadium cleavage, morula dan blastosis, 2)

mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan
sederhana untuk produksi ESC, 3) menemukan feeder layer dan conditioned
medium alternatif untuk kultur ESC, 4) mengetahui profil pertumbuhan ESC
partenogenetik.
Kegiatan penelitian diawali dengan produksi sel kumulus dari mencit
DDY betina, pembuatan CFL, CCM, identifikasi protein pada CCM dengan
Sodium Dedocyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE),
dan pembuatan MEF feeder layer. Kegiatan selanjutnya adalah superovulasi
mencit betina DDY umur 2 hingga 4 bulan dengan pregnant mare’s serum
gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (hCG), perkawinan
dengan mencit jantan dengan perbandingan 1:1, koleksi embrio yang berada
pada stadium cleavage, morula dan blastosis, isolasi ICM blastosis dengan
metode enzimatik atau immunosurgery, kultur ESC pada MEF feeder layer,

CFL atau CCM baik secara tunggal maupun kombinasi dengan leukemia
inhibitory factor (LIF), pasase koloni ESC dengan metode mekanis atau
enzimatik, uji pluripotensi dengan pewarnaan alkaline phosphatase (ALP), dan
induksi diferensiasi ESC dengan melakukan perpanjangan masa kultur dalam
ESC medium yang tidak disuplementasi dengan LIF.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa embrio stadium morula dapat

menghasilkan ESC, dengan attachment rate dan tingkat pembentukan koloni
primer yang lebih rendah, tetapi doubling time dan outgrowth yang lebih tinggi
daripada blastosis; sedangkan embrio stadium cleavage tidak mampu
menghasilkan ESC. Pada tahap kedua, isolasi ICM blastosis dengan metode
enzimatik mampu menghasilkan \produksi ESC yang setara dengan
immunosurgery, dan lebih tinggi dari yang dihasilkan kultur blastosis utuh.
Tahap ketiga, efektivitas sel kumulus sebagai feeder layer pada kultur ESC
mencit sebanding dengan mouse embryonic fibroblast (MEF) feeder layer,
dan peningkatan konsentrasi LIF hingga 10 ng/ml pada CFL atau 20 ng/ml
pada CCM mampu meningkatkan keberhasilan kultur ESC. Passage terhadap
koloni ESC yang terbentuk paling baik dilakukan dengan metode mekanis.
Selain itu, ESC hasil kultur pada CFL atau CCM berdiferensiasi menjadi
cardiomyocyte-like cells dan neuron-like cells. Tahap keempat, embrio
partenogenetik mencit dapat menghasilkan ESC dengan kemampuan tumbuh
yang lebih rendah dari yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.
Kata Kunci: metode kultur, fertilisasi, partenogenetik, embrio mencit,
embryonic stem cells

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC
STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI
DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO
PARTENOGENETIK MENCIT

THOMAS MATA HINE

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Biologi Reproduksi


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada
Ujian Tertutup

:

1. Dr. drh. Ita Djuwita, M.Phil

2. drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D

Penguji Luar Komisi pada
Ujian Terbuka

:


1. dr. Triono Soendoro, Ph.D

2. Dr. drh. M. Agus Setiadi

Judul Disertasi

: Pengembangan Metode Kultur Embryonic Stem Cells
dari Embrio Hasil Fertilisasi dan Produksinya dari
Embrio Partenogenetik Mencit

Nama

: Thomas Mata Hine

NIM

: B061040021

Disetujui
Komisi Pembimbing


Prof. drh. Arief Boediono, Ph.D
Ketua

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D

Anggota

Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Iman Supriatna


Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 9 Oktober 2009

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Limpahan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, yang di dalam Kristus Yesus, Tuhan dan Juruselamat
umat

manusia

telah

menyatakan

kasihNya

melalui

penyertaan

dan

pemeliharaanNya selama penulis menyelesaikan studi Doktoral di Institut
Pertanian Bogor. Tema penelitian ini adalah embryonic stem cells, yang
dilaksanakan dalam kurun waktu lebih kurang 4 tahun, sejak Agustus 2005
hingga Juli 2009.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof.
`drh. Arief Boediono, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. drh. Iman
Supriatna dan Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D, selaku anggota komisi
pembimbing yang dengan penuh ketulusan memberi arahan dan masukan
selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc
(Alm.) yang walaupun proses pembimbingan tidak berlanjut namun segala
arahan yang pernah disampaikan sangat berarti bagi penulis didalam berkarya di
masa mendatang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. drh. Ita
Djuwita, M.Phil dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D selaku
penguji luar komisi pada Ujian Tertutup, dr. Triono Soendoro, Ph.D dan Dr. drh.
M. Agus Setiadi, selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka, atas segala
masukan yang sangat bermanfaat untuk menyempurnakan tulisan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor, Dekan sekolah
Pascasarjana, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Ketua Departemen KRP,
Ketua Program Studi, staf pengajar dan staf administrasi Biologi Reproduksi,
serta seluruh staf Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis untuk
melanjutkan studi di IPB serta membantu kelancaran proses penyelesaian studi
penulis. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan
Fakultas Perternakan Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan ijin
studi, dan Pemda Propinsi NTT, Dirjen Dikti, dan PT Kalbe Farma, Tbk. atas
dukungan finansial dalam rangka penyelesaian studi penulis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drh. Ita Djuwita, M. Phil,
sebagai Kepala Laboratorium Embriologi dan Kepala Laboratorium PSSP yang
telah memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menggunakan
berbagai

fasilitas

yang

ada

di

kedua

laboratorium

tersebut,

kepada

drh. Kusdiantoro Muhammad, drh. Wahono Esti Prasetyaningtias, M.Si, drh.
Mokhamad Fahrudin, Ph.D, Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf, M.S, Dr. Dra. R. Iis
Arifiantini, atas dukungan dan bantuan dalam bentuk informasi ilmiah yang
diterima penulis selama studi di Bogor. Kepada rekan-rekan senior, Dr. Ir.
Wilmientje Marlene Nalley, MS, Dr. Ir. Henny Belli, MS, dan Dr. Ir. Maritje
Hilakore, M.Si, atas segala dukungan dan bantuannya.
Kepada rekan-rekan saya, Bayu Rosadi, S.Pt, M.Si, Enny T. Setiatin,
Raden Harry Murti S.Si, Riris Lindiawati Puspitasari, S.Si, M.Si, Dini Budiharko,
S.Si, Dwi Agustina, S.Si, Nuril Farizah, S.Pi, M.Si, Sigit prastowo, S.Pt, M.Si, Ir.
Satya Gunawan, MP, Dra. Ekayanti, M.Si, Tatan Kastaman, S.Si, MP, Dr. drh. I
Wayan Batan, MS, dan Irma Andriani, S.Pi, M.Si, serta semua

rekan-rekan

mahasiswa Biologi reproduksi atas hubungan baik dan kerjasamanya selama
studi.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua rekan-rekan asal
NTT, Ir. Yohanes U.L. Sobang, M.Si, Ir. Maria Kondi, MP,

Ir. Dodi Dharma

Kusuma dan Ibu, Ir. Kirenius Uly, MP, atas dukungan yang diberikan selama ini.
Kepada Wili Praira S.Si, Mas Wahyu dan Ibu Yani atas segala kebaikan dan
bantuannya selama penulis melakukan penelitian di Lab Embriologi dan
Laboratorium PSSP.
Akhirnya, karya ini dipersembahkan kepada isteri saya Erni Julita, dan
anak-anak saya Eirens Josua, Angel, Kerin Jeanita, dan Kezia Evangeline, yang
dengan penuh pengertian mendukung penulis melalui doa dan pengorbanan
yang begitu besar. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua saya
(almarhum) yang telah membesarkan dan mendidik saya hingga berhasil,
kepada kedua mertua, kakak, adik, dan saudara-saudara atas dukungan moril
yang diberikan.

Bogor, Agustus 2009
Thomas Mata Hine

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di salah satu pulau kecil yang berada di bagian
terselatan Indonesia, Pulau Sawu, pada tanggal 5 Mei tahun 1966, dari kedua
orang tua Mira Kale dan Tamar Diana Lobo. Pendidikan Dasar dan Menengah
Pertama ditempuh di Pulau sawu, dan selanjutnya meneruskan pendidikan
Tingkat Menengah Atas di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan sarjana
diselesaikan pada tahun 1991, pada Fakultas Peternakan, Universitas Nusa
Cendana dan pada tahun 1992, penulis diterima sebagai staf pengajar pada
Fakultas yang sama. Tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan magister di
Program Studi Biologi Reproduksi Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, dan selesai pada awal tahun 1997. Pendidikan doktoral penulis jalani
sejak tahun 2004 hingga saat ini.
Beberapa karya yang dipublikasikan melalui jurnal atau seminar ilmiah
selama pendidikan di Bogor adalah:
1. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2008. Produksi embryonic
stem cells dari inner cell mass blastosis yang diisolasi dengan metode
enzimatik dan immunosurgery. Jurnal Veteriner 9:13-19
2. Matahine T, Boediono A, Supriatna I, Sajuthi D. 2008. Metode isolasi inner
cells mass pada produksi embryonic stem cells. Seminar Nasional Persatuan
Ahli Anatomi Indonesia (PAAI). Jakarta, 20-21 Juni 2008. pp 90 (abstr).
3. Matahine T, Supriatna I, Sajuthi D, Boediono A.2007. Produksi embryonic
stem cells dari blastosis mencit pada stadium yang berbeda. Seminar
Nasional XIII PERSADA, 9 Agustus 2007, Fakultas Kedokteran Hewan IPB,
Bogor.
4. Matahine T, Boediono A. 2006. Peluang dan tantangan penggunaan stem
cells untuk terapi regeneratif. Jurnal Medis Veteriner Indonesia 10(1):31-38.
5. Matahine T. 2005. Kemajuan kriopreservasi dan pendekatan seluler pada
embrio hewan domestik. Jurnal IMPASJA 1 :70-86.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL

.............................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR

.............................................................................

xv

DAFTAR LAMPIRAN

.............................................................................

xvi

DAFTAR SINGKATAN

.............................................................................

xvii

PENDAHULUAN

.............................................................................

1

Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Daftar Pustaka

....................................................................
....................................................................
....................................................................
....................................................................
....................................................................
....................................................................

1
1
4
4
4
4

.............................................................................

8

Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit .....................
Embrio Partenogenetik .....................................................................
Embryonic Stem Cells ......................................................................
Isolasi Inner Cell Mass .....................................................................
Feeder Layer ....................................................................................
Sel Kumulus .....................................................................................
Daftar Pustaka ..................................................................................

8
9
12
16
17
18
19

KEMAMPUAN TUMBUH STEM CELLS MENCIT YANG DIPRODUKSI
DARI EMBRIO STADIUM CLEAVAGE, MORULA, DAN BLASTOSIS.........

26

Abstrak ............................................................................................
Abstract ............................................................................................
Pendahuluan ....................................................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan .......................................................................................
Daftar Pusataka ................................................................................

26
26
27
27
29
36
37

TINJAUAN PUSTAKA

xii

Halaman
PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI INNER CELL MASS
BLASTOSIS YANG DIISOLASI DENGAN METODE ENZIMATIK ..............

40

Abstrak ............................................................................................
Abstract ............................................................................................
Pendahuluan ....................................................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan .......................................................................................
Daftar Pusataka ................................................................................

40
40
41
42
43
48
48

EFEKTIVITAS FEEDER LAYER DAN CONDITIONED MEDIUM
KUMULUS DALAM MENUNJANG PROLIFERASI DAN PLURIPOTENSI
EMBRYONIC STEM CELLS ........................................................................

51

Abstrak ............................................................................................
Abstract ............................................................................................
Pendahuluan ....................................................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan .......................................................................................
Daftar Pusataka ................................................................................

51
51
52
53
58
76
77

PRODUKSI EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO
PARTENOGENETIK ....................................................................................

83

Abstrak ............................................................................................
Abstract ............................................................................................
Pendahuluan ....................................................................................
Metode Penelitian .............................................................................
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan .......................................................................................
Daftar Pusataka ................................................................................

83
83
84
85
86
98
98

PEMBAHASAN UMUM ................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ............................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................

103
110
111
113

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman
1.

Profil perkembangan embryonic stem cells yang dihasilkan dari
embrio pada stadium berbeda ...............................................................

29

Profil perkembangan embryonic stem cell pasca isolasi ICM dengan
metode berbeda.....................................................................................

46

3.

Proliferasi dan Pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan MEF ......

60

4.

Proliferasi dan pluripotensi ESC yang dikultur pada CFL dan CCM
dengan konsentrasi LIF berbeda...........................................................

65

5.

Pengaruh metode passage terhadap proliferasi dan pluripotensi ESC..

72

6.

Induksi diferensiasi spontan pada ESC yang dikultur pada CFL dan
CCM ......................................................................................................

75

Tingkat aktivasi, diploidisasi, dan potensi perkembangan embrio
partenogenetik pasca aktivasi dengan strontium chloride dan etanol ..

88

Tingkat perkembangan embrio partenogenetik yang dikultur pada
KSOM dan CZB .....................................................................................

92

Profil perkembangan embryonic stem cell partenogenetik.....................

96

2.

7.
8.
9.

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. . Embrio stadium cleavage, morula, blastosis dan blastosis ekspan.....

30

2.

Perkembangan ESC yang dihasilkan oleh morula dan blastosis .......

32

3.

Blastosis pada berbagai stadium yang dikoleksi pada hari keempat
kebuntingan .........................................................................................

44

4.

Proses isolasi ICM dengan metode immunosurgery dan enzimatik ....

45

5.

Proses isolasi ICM untuk kultur pada CFL dan CCM...........................

58

6.

CFL dan MEF feeder layer yang digunakan untuk kultur ESC .........

59

7.

Perkembangan ESC dalam kultur .......................................................

59

8.

Koloni embryonic stem cells yang positif terhadap pewarnaan alkaline
phosphatase ........................................................................................

61

9.

SDS-PAGE pada conditoned medium kumulus..................................

67

10.

Pasase ESC dengan metode mekanis ..............................................

70

11.

ESC line yang terbentuk setelah pasase kelima ...............................

71

12.

Embryoid body .....................................................................................

74

13.

Cardiomyocyte-like cells yang berasal dari ESC dan sel jantung
dewasa ................................................................................................

74

14.

Neuron-like cell yang dihasilkan dari ESC ..........................................

74

15.

Perkembangan oosit sebelum dan setelah aktivasi partenogenesis ...

87

16.

Perkembangan embrio partenogenetik dalam kultur in vitro ...............

93

17.

Pewarnaan Hoechst-Propidium Iodide pada embrio partenogenetik
sebelum dan setelah immunosurgery ..................................................

18.
19.

Inner cell mass yang dihasilkan dari blastosis hasil fertilisasi dan
partenogenetik .....................................................................................
Koloni ESC partenogenetik dan ESC dari embrio fertilisasi sebelum
dan setelah pewarnaan alkaline phosphatase ....................................

94
95
95

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. . Medium Kultur Embryonic Stem Cells .................................................

114

2.

Medium Kultur Feeder Layer ...............................................................

116

3.

Medium Immunosurgery ......................................................................

117

4.

Medium Inaktivasi Feeder Layer .........................................................

118

5.

Alkaline Phosphatase Staining ............................................................

119

6.

Chatot, Ziomex, Bavister Medium .......................................................

121

7.

Pembuatan Medium Kultur, Aktivasi, dan Diploidisasi Embrio
Partenogenetik ....................................................................................

122

8.

Potassium Simplex Optimization Medium ...........................................

123

9.

Dulbecc’os Phosphate Buffered Saline ...............................................

124

xvi

DAFTAR SINGKATAN

6-DMAP

:

6-dimethylaminopurine

ActRIB, ALK4

:

reseptor activin tipe I

ActRII

:

reseptor activin tipe II

ALK

:

activin receptor-like kinase

ALP

:

alkaline phosphatase

ANOVA

:

analysis of variance

APC

:

adeomatosis polyposis coli

AR

:

tingkat perlekatan

BMP

:

bone morphogenic protein

CCM

:

conditioned medium kumulus

CFL

:

feeder layer kumulus

CKI

:

casein kinase I

CM

conditioned medium

CSF

cytostatic factor

CZB

:

DG

chatot, Ziomex, and Bavister
diacylglycerol

DMEM

:

dulbecco’s modified eagle’s medium

Dsh

:

dishevelled

DT

:

doubling time

Ebs

:

embryoid bodies

EDTA

:

ethylene diamine tetraacetic acid

EGF

epidermal growth factor

ERK

:

extracellular signal-regulated kinase

ESC

:

embryonic stem cells

FBS

:

fetal bovine serum

FGF

fibroblast growth factor

GDF

:

growth differentiation factor

GR

:

tingkat pertumbuhan koloni

GSK3

glycogen synthase kinase-3

hCG

:

human chorionic gonadotropin

ICM

:

inner cell mass

IGF

insulin-like growth factor

IP3

inositol 3-phosphate
xvii

JAK

:

janus-associated tyrosine kinase

KSOM

:

potassium simplex optimization medium

LEF

:

lymphoid enhancer factor

LIF

leukemia inhibitory factor

MEF

:

mouse embryonic fibroblast

MHC

:

major histocompatibility complex

mPBS

modified phosphate buffered saline

MPF

M-phase promoting factor

NEAA

:

nonessential amino acid

Oct-4

:

octamer-binding transcription factor-4

PC

:

tingkat pembentukan koloni primer

PDK-1

:

phosphor-inositide-dependent kinase-1

PI3K

:

phospho-inositide 3-kinase

PIP2

:

phosphatidylinositol 3,4,-bisphosphate

PIP3

:

phosphatidylinositol 3,4,5-triphosphate

PKC

protein kinase C

PLC

phospholipase C

PMSG

:

pregnant mare’s serum gonadotropin

RAL

:

rancangan acak lengkap

REF

:

rat embryonic fibroblast

SDS-PAGE

:

sodium dedocyl sulfate-polyacrylamide gel
electrophoresis

SMAD

:

Sma and MAD (mothers agains decapentaplegic)
related protein

SSEA-1

:

stage specific embryonic antigen 1

STAT

:

signal transducer dan activator of transcription

TCF

:

T cell factor

TGF-

:

transforming growth factor-

WFL

:

tanpa feeder layer

xviii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Embryonic stem cells (ESC) adalah sel-sel yang dihasilkan dari kultur sel
embrio pra-implantasi, yang memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi
semua tipe sel yang menyusun jaringan tubuh suatu organisme (Lin 2008).
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa ESC dapat
diarahkan menjadi sel syaraf (Ban et al. 2007, Gossrau et al. 2007, Elkabetz et
al. 2008, Erceg et al. 2009), sel pankreas (Roche et al. 2005), sel jantung (Guo
et al. 2006, Hong et al. 2007), sel ginjal (Kim & Dressler 2005), sel hati (Agarwal
et al. 2008, Snykers et al. 2009), sel darah (Rajesh et al. 2007, Ma et al. 2008),
sel tulang (Karp et al. 2006, Duplomb et al. 2007) dan sebagainya.
Beberapa tahun terakhir banyak penelitian telah difokuskan pada
penggunaan ESC untuk terapi penyakit degeneratif (Dang et al. 2004).
Kepentingan medis dan ilmiah dari ESC didasarkan pada keinginan untuk
menemukan sumber sel baru sebagai upaya memperbaharui jaringan atau organ
yang rusak (Doss et al. 2004). Beberapa penyakit yang telah terbukti dapat
disembuhkan dengan terapi ESC pada mencit dan hewan laboratorium lainnya
diantaranya adalah penyakit Parkinson (Nishimura et al. 2003, Rodriguez-Gomez
et al. 2007, Yang et al. 2008), lever (Sukhikh & Shtil 2003, Brezillon et al. 2008),
diabetes (Soria et al. 2000, Sameer et al. 2006), spinal cord injury (McDonald et
al. 1999), jantung (Behfar et al. 2007), dan Alzheimer (Doss et al. 2004, Feng et
al. 2009). Selain itu, ESC juga dapat digunakan untuk uji berbagai obat baru
sebelum digunakan untuk menyembuhkan penyakit pada hewan dan manusia
(Yu & Thomson 2006).
Kerangka Pemikiran
Sejumlah faktor diperkirakan berpengaruh terhadap keberhasilan kultur
ESC. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah stadium perkembangan embrio
yang digunakan untuk menghasilkan ESC, sistem kultur, jenis feeder layer (Park
et al. 2004), dan metode perbanyakan ESC. Umumnya ESC diproduksi dari inner
cell mass (ICM) blastosis (Rossant 2001, Cowan et al. 2004, Stojkovic et al.
2004, Tielens et al. 2006) yang memiliki potensi diferensiasi yang lebih terbatas
dibandingkan dengan embrio pada stadium pra-blastosis (cleavage dan morula).
Beberapa penelitian sebelumnya telah berhasil memproduksi ESC dari embrio

2

stadium pra-blastosis dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi (Delhaise et
al. 1996, Tesar 2005). Bagaimanapun informasi tentang kemampuan tumbuh
ESC yang dihasilkan embrio pra-blastosis khususnya yang berada pada stadium
cleavage dan morula masih sangat terbatas.
Faktor kedua adalah sistem kultur ESC yang digunakan. Hasil
eksperimen sebelumnya menunjukkan bahwa kultur blastosis utuh menghasilkan
ESC dengan tingkat pertumbuhan koloni dan doubling time yang lebih buruk
daripada yang dihasilkan embrio stadium morula. Keberadaan sel trofoblas
dalam kultur ESC diduga sebagai penyebab utama hal tersebut (Li et al. 2003).
Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, beberapa peneliti sebelumnya
melakukan isolasi atau pemisahan ICM dari sel-sel trofoblas dengan metode
immunosurgery (Cowan et al. 2004).

Walaupun demikian,

antiserum dan

complement yang digunakan pada metode tersebut memiliki harga yang mahal
dan proses isolasi lebih lama. Selain itu, penggunaan antiserum dalam proses
isolasi immunosurgery tidak selalu efektif untuk melisiskan trofoblas.

Dalam

penelitian ini, digunakan tripsin untuk isolasi ICM. Metode ini baru dilaporkan
penggunaannya untuk isolasi ICM babi (Li et al. 2003) dan belum pernah
dilaporkan pada spesies lainnya termasuk pada mencit. Metode ini selain
memiliki harga bahan yang relatif murah, proses isolasi juga berlangsung dalam
jangka waktu yang relatif pendek.
Faktor ketiga adalah jenis sel yang digunakan sebagai feeder layer pada
kultur ESC. Feeder layer yang umum digunakan adalah mouse embryonic
fibroblast (MEF) (Thomson et al. 1998, Reubinoff et al. 2000). Penggunaan MEF
untuk kultur ESC memiliki kelemahan yaitu metode produksinya relatif rumit dan
sangat sensitif terhadap kontaminasi dengan bakteri atau jamur terutama selama
proses awal pembuatan feeder layer. Selain itu, penggunaan MEF pada kultur
ESC manusia menimbulkan masalah etika karena terjadinya pencampuran sel
hewan dengan manusia. Dalam penelitian ini, telah digunakan sel kumulus
sebagai feeder layer untuk kultur ESC mencit. Sel kumulus adalah sel yang
menyertai

oosit

pada

saat

ovulasi

dan

berperan

dalam

menunjang

perkembangan dan pematangan oosit (Eppig et al. 2005). Feeder layer kumulus
(cumulus feeder layer, CFL) telah terbukti dapat menunjang perkembangan
embrio praimplantasi (Malekshah & Moghaddam 2005). Selain itu, sel kumulus
juga mengandung berbagai growth factor yang berperan dalam mempertahankan
proliferasi dan pluripotensi ESC (Memili et al. 2007). Untuk mengoptimalkan

3

dayaguna sel kumulus maka dalam penelitian ini juga dilakukan produksi
conditioned medium kumulus (cumulus conditioned medium, CCM), yakni cairan
(supernatan) yang dikoleksi dari kultur CFL setelah inkubasi selama periode
waktu tertentu. Kelebihan penggunaan CCM adalah tidak terjadi percampuran
antara ESC dengan feeder layer sehingga tingkat kemurnian ESC dapat
dipertahankan.
Masalah lain yang timbul dalam produksi dan pemanfaatan ESC adalah
masalah etika, dan penolakan oleh jaringan pasien pada saat transplantasi.
Embryonic stem cells yang umumnya dihasilkan dari embrio hasil fertilisasi oosit
dengan sperma, memiliki tingkat imunogenitas yang tinggi dan berdampak pada
tingginya resiko penolakan oleh jaringan atau organ pasien pada saat terapi.
Selain itu, penggunaan embrio hasil fertilisasi sebagai sumber ESC menimbulkan
masalah etika (khususnya pada manusia) karena dihasilkan dari embrio yang
berpotensi menjadi individu baru (de Wert & Mummery 2003).
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, maka dalam penelitian ini,
ESC diproduksi dari embrio partenogenetik, yang merupakan hasil aktivasi oosit
dengan bahan kimia tertentu (Boediono et al. 1995, Ito et al. 2003), dan tidak
melibatkan sperma dalam proses aktivasi. Dampak dari proses aktivasi tersebut
adalah embrio yang dihasilkan hanya memiliki kemampuan tumbuh hingga awal
atau pertengahan kebuntingan dan pada mamalia belum pernah terjadi kelahiran
secara alamiah. Dengan demikian, penggunaan embrio partenogenetik sebagai
sumber ESC akan meminimalisir atau menghilangkan masalah etika yang
ditimbulkan oleh embrio hasil fertilisasi. Selain itu, ESC yang dihasilkan oleh
embrio partenogenetik hanya mengandung satu set major histocompatibility
complex (MHC) sehingga memiliki tingkat imunogenitas yang rendah (Lin et al.
2003). Penelitian tentang ESC partenogenetik masih relatif sedikit dan hasilnya
masih sangat rendah dan tidak konsisten antar penelitian (Lin et al. 2003, Lee et
al. 2007).

4

Tujuan Penelitian
1. Mengukur kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan oleh embrio pada
stadium cleavage, morula dan blastosis.
2. Mengembangkan metode isolasi ICM blastosis yang lebih murah dan
sederhana untuk produksi ESC.
3. Menemukan feeder layer dan conditioned medium alternatif untuk kultur ESC
4. Mengetahui profil pertumbuhan ESC partenogenetik
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan
metode kultur ESC yang lebih efisien dan sebagai alternatif produksi ESC dari
embrio partenogenetik.
Hipotesis
1.

Kemampuan tumbuh ESC yang dihasilkan embrio stadium cleavage dan
morula lebih baik dari blastosis.

2.

Metode isolasi enzimatik dapat dijadikan sebagai metode untuk pemisahan
ICM untuk produksi ESC.

3.

Sel kumulus dapat digunakan sebagai feeder layer dan penghasil
conditioned medium untuk kultur ESC.

4.

Profil pertumbuhan ESC yang dihasilkan embrio partenogenetik tidak
berbeda dengan yang dihasilkan embrio hasil fertilisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Agarwal S, Holton KL, Lanza R. 2008. Efficient differentiation of functional
hepatocytes from human embryonic stem cells. Stem Cells 26:1117-1127.
Ban J et al. 2007. Embryonic stem cell-derived neurons form functional networks
in vitro. Stem Cells 25:738 –749.
Behfar A et al. 2007. Cardiopoietic programming of embryonic stem cells for
tumor-free heart repair. J Exp Med 204:405-420.
Brezillon N, Kremsdorf D, Weiss MC. 2008. Cell therapy for the diseased liver:
from stem cell biology to novel models for hepatotropic human pathogens.
Disease Models & Mechanisms 1:113-130.

5

Boediono A, Saha S, Sumantri C, Suzuki T.1995. Development in vitro and in
vivo of aggregated parthenogenetic bovine embryos. Reprod Fertil Dev
7:1073-1079.
Cowan A et al. 2004. Derivation of embryonic stem-cell lines from human
blastocysts. N Engl J Med 350:1353-1356.
Dang SM, Gerecht-Nir S, Chen J, Itskovitz-Eldor J, Zandstra PW. 2004.
Controlled, scalable embryonic stem cell differentiation culture. Stem
Cells 22:275-282
Delhaise F, Bralion V, Schuurbiers N, Dessy F. 1996. Establishment of an
embryonic stem cell line from 8-cell stage mouse embryos. Eur J Morph
34:237 (Abstr)
de Wert G, Mummery C. 2003. Human embryonic stem cells: research, ethics
and policy. Hum Reprod 18:672-682.
Doss MX, Koehler CI, Gissel C, Hescheler J, Sachinidis A. 2004. Embryonic stem
cells: a promising tool for cell replacement therapy. J Cell Mol Med 8: 465473.
Duplomb L, Dagouassat M, Jourdon P, Heymann D. 2007. Concise review:
embryonic stem cells: a new tool to study osteoblast and osteoclast
differentiation. Stem Cells 25:544-552.
Elkabetz Y et al. 2008. Human ES cell-derived neural rosettes reveal a
functionally distinct early neural stem cell stage. Genes & Development
22:152–165.
Eppig JJ, Pendola FL, Wigglesworth K, Pendola JK. 2005. Mouse oocytes
regulate metabolic cooperativity between granulosa cells and oocytes:
amino acid transport. Biol Reprod 73:351-357.
Erceg S, Ronaghi M, Stojkovi´c M. 2009. Human embryonic stem cell
differentiation toward regional specific neural precursors. Stem Cells
27:78–87.
Feng Z, Zhao G, Yu L. 2009. Neural stem cells and Alzheimer’s disease:
challenges and hope. American Journal of Alzheimer’s Disease & Other
Dementias 24:52-57.
Gossrau G, Thiele J, Konang R, Schmandt T, Br¨Ustle U. 2007. Bone
morphogenetic protein-mediated modulation of lineage diversification
during neural differentiation of embryonic stem cells. Stem Cells 25:939949.
Guo X-M et al. 2006. Creation of engineered cardiac tissue in vitro from mouse
embryonic stem cells. Circulation 113:2229-2237.
Hong S et al. 2007. Development of efficient cardiac differentiation method of
mouse embryonic stem cells. Key Engineering Materials 342: 25-28.

6

Ito J, Shimada M, Terada T. 2003. Effect of protein kinase C activator on
mitogen-activated protein kinase and p34cdc2 kinase activity during
parthenogenetic activation of porcine oocyte by calcium ionophore. Biol
Reprod 69:1675-1682.
Karp JM et al. 2006. Cultivation of human embryonic stem cells without the
embryoid body step enhances osteogenesis in vitro. Stem Cells 24:835843.
Kim D, Dressler GR. 2005. Nephrogenic factors promote differentiation of mouse
embryonic stem cells into renal epithelia. J Am Soc Nephrol 16: 35273534.
Lee ST et al. 2007. Establishment of autologous embryonic stem cells derived
from preantral follicle culture and oocyte parthenogenesis. Fertil Steril
88:1193 (Abstr).
Li M et al. 2003. Isolation and culture of embryonic stem cells from porcine
blastocysts. Mol Reprod Dev 65:429-434.
Lin H. 2008. Cell biology of stem cells: an enigma of asymmetry and self-renewal.
The Journal of Cell Biology 180:257-260
Lin H et al. 2003. Multilineage potential of homozygous stem cells derived from
metaphase II oocytes. Stem Cells 21:152-161.
Ma F et al. 2008. Generation of functional erythrocytes from human embryonic
stem cell-derived definitive hematopoiesis. Proc Natl Acad Sci USA
105:13087-13092.
Malekshah AK, Moghaddam AE. 2005. Follicular fluid and cumulus cells
synergistically improve mouse early embryo development in vitro. J
Reprod Dev 51:195-199.
McDonald JW et al. 1999. Transplanted embryonic stem cells survive,
differentiate and promote recovery in injured rat spinal cord. Nature Med
5:1410-1412.
Memili E et al. 2007. Bovine germinal vesicle oocyte and cumulus cell
proteomics. Reproduction 133:1107-1120.
Nishimura F et al. 2003. Potential use of embryonic stem cells for the treatment
of mouse parkinsonian models: improved behavior by transplantation of in
vitro differentiated dopaminergic neurons from embryonic stem cells.
Stem Cells 21:171-180.
Park S-P et al. 2004. Establishment of human embryonic stem cell lines from
frozen-thawed blastocysts using STO cell feeder layers. Hum Reprod 19:
676-684.
Rajesh D et al. 2007. Differential requirements for hematopoietic commitment
between human and rhesus embryonic stem cells. Stem Cells 25:490499.

7

Reubinoff BE et al. 2000. Embryonic stem cell lines from human blastocysts:
somatic differentiation in vitro. Nat Biotech 18:399-404.
Roche E, Sepulcre P, Reig JA, Santana A, Soria B. 2005. Ectodermal
commitment of insulin-producing cells derived from mouse embryonic
stem cells. The FASEB Journal 19:1341-1343.
Rodriguez-Gomez et al. 2007. Persistent dopamine functions of neurons derived
from embryonic Stem cells in a rodent model of parkinson disease. Stem
Cells 25:918-928.
Rossant J. 2001. Stem cells from the mammalian blastocyst. Stem Cells 19:477482.
Sameer M, Balasubramanyam M, Mohan V. 2006. Stem cells and diabetes.
Current Science 91:1158-1165.
Snykers S, Kock JD, Rogiers V, Vanhaecke T. 2009. In vitro differentiation of
embryonic and adult stem cells into hepatocytes: state of the art. Stem
Cells 27:577–605
Soria B et al. 2000. Insulin-secreting cells derived from embryonic stem cells
normalize glycemia in streptozotocin-induced diabetic mice. Diabetes
49:157-162.
Stojkovic M et al. 2004. Derivation of human embryonic stem cells from day-8
blastocysts recovered after three-step in vitro culture. Stem Cells 22:790–
797.
Sukhikh GT, Shtil AA. 2003. Stem cell transplantation for treatment of liver
deseases: from biological foundation to clinical experience. International J
molecular Medicine 11:395-400.
Tesar PJ. 2005. Derivation of germ-line-competent embryonic stem cell lines
from preblastocyst mouse embryos. Proc Natl Acad Sci USA 102:82398244.
Thomson JA et al. 1998. Embryonic stem cell line from human blastocysts.
Science 282:1145-1147.
Tielens S et al. 2006. Generation of embryonic stem cell lines from mouse
blastocysts developed in vivo and in vitro: relation to Oct-4 expression.
Reproduction 132: 59–66.
Yang D, Zhang Z-J, Oldenburg M, Ayala M, Zhang S-C. 2008. Human embryonic
stem cell-derived dopaminergic neurons reverse functional deficit in
parkinsonian rats. Stem Cells 26:55–63.
Yu J, Thomson JA. 2006. Embryonic stem cells. In: Regenerative medicine.
Terese Winslow. p:1-12.

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Embrionik Praimplantasi pada Mencit
Sebelum terjadi pembuahan, oosit akan membelah secara meiosis dan
mengalami pematangan dalam folikel ovarium hingga ia mencapai stadium
metafase II. Pada saat tersebut, folikel akan melepas oosit kedalam saluran telur.
Oosit matang merupakan sel haploid yang mengandung setengah jumlah
kromosom, yang dikelilingi oleh matriks ektraseluler dan glikoprotein yang
disebut zona pelusida. Jika terjadi perkawinan, oosit yang terdapat dalam saluran
telur akan dibuahi oleh sperma, dimana terjadi fusi antara pronukleus sperma
dengan

pronukleus oosit, dan mengembalikan jumlah kromosom yang khas

untuk setiap spesies.
Pada kondisi alamiah, proses pembuahan terjadi di dalam ampula saluran
telur. Setelah mengalami beberapa proses pembelahan, genome zigot menjadi
aktif dan mengontrol perkembangan embrionik selanjutnya (Jones & Thomson
2000). Selama proses pembelahan awal, sel-sel anak (blastomer) tidak
mengalami pertambahan ukuran. Seiring dengan kemajuan pembelahan sel
(cleavage), jumlah sitoplasma dari setiap sel anak berkurang setengahnya, dan
total volume embrio tetap tidak berubah (Pelton et al. 1998).
Pada stadium delapan sel, embrio mencit mulai mengalami kompaksi,
dimana terdapat gap junction antar sel. Struktur membran yang spesial ini terdiri
atas suatu susunan enam molekul protein yang disebut connexins, yang
membentuk pori yang memungkinkan pertukaran ion dan molekul-molekul kecil
antar sel (Johnson et al. 1986). Proses pembelahan terus berlanjut dan
menghasilkan morula. Selanjutnya diantara sel-sel morula akan terbentuk rongga
yang berisi cairan yang disebut blastosul, dan embrio pada stadium ini disebut
blastosis (Beddington & Robertson 1999). Blastosis tersusun oleh dua tipe sel
yaitu trofoblas yang terdapat pada bagian luar dan ICM pada bagian dalam.
Pada perkembangan selanjutnya, ICM akan berkembang menjadi semua tipe sel
yang menyusun jaringan tubuh embrio, dan juga jaringan nontrofoblas yang
menunjang perkembangan embrio (jaringan ekstraembrionik, termasuk kantung
kuning telur, allantois dan amnion), sedangkan trofoblas akan berkembang
menjadi plasenta (Jones & Thomson 2000, Johnson & McConnell 2004). Oleh
karena itu, trofoblas sangat penting untuk implantasi dan menunjang daya hidup
dan pertumbuhan embrio di dalam uterus. Gangguan perkembangan plasenta
menyebabkan abortus (keguguran selama dua bulan pertama kebuntingan).

9

Kejadian molekuler yang mendasari perbedaan galur sel belum diketahui
secara pasti. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa POU-domain
transcription factor Oct4 (Pou5f1), esensial untuk perkembangan ICM. Pada
mencit, Oct4 diekspresikan selama oogenesis dan perkembangan praimplantasi,
dan pada perkembangan selanjutnya hanya terbatas diekspresikan oleh ICM,
epiblas, dan sel-sel germinal (Palmieri et al. 1994). Pada blastosis manusia, baik
ICM maupun trofoblas mengekspresikan Oct4, tetapi dengan konsentrasi 31 kali
lebih tinggi pada ICM (Hansis et al. 2000). Embrio yang kekurangan Oct4 tidak
dapat menghasilkan ICM, dan hanya dapat menghasilkan sel trofoblas (Nichols
et al. 1998), dengan demikian, Oct4 sangat diperlukan untuk perkembangan
ICM. Ada beberapa transcription factor seperti Mash2 (Rossant et al. 1998), dan
Cdx2 (Beck et. al. 1995), yang pola ekspresinya bertentangan dengan Oct4;
dimana mereka diekspresikan sepanjang perkembangan awal, tetapi pada
embrio stadium blastosis hanya diekspresikan oleh trofoblas. Cdx2 dan Eomes
diperlukan untuk perkembangan awal trophoblas, dan Mash2 dilibatkan dalam
perkembangan plasenta selanjutnya (Guillemot et al. 1994).
Embrio Partenogenetik
Partenogenesis

merupakan

suatu

fenomena

biologis

dimana

perkembangan embrionik diinisiasi tanpa melewati proses pembuahan oleh
sperma. Pola reproduksi ini umum terjadi pada beberapa ikan, burung dan reptil.
Mamalia tidak dapat bereproduksi secara partenogenesis yang disebabkan oleh
adanya

kegagalan

kebuntingan.

Embrio

partenogenetik

mengalami

perkembangan tidak normal dan perkembangan terhenti setelah terjadi
organogenesis hari ke-10 pada mencit (Kono et al. 2004), hari ke-25 pada
domba (Loi et al. 1998), dan hari ke-67 pada sapi (Boediono et al. 1995).
Kegagalan kebuntingan tersebut ada kaitannya dengan genomic imprinting,
dimana semua materi genetik berasal dari betina dan tidak ada kontribusi jantan.
Hal

ini

berakibat

pada

tidak

berkembangnya

trofoblas

dan

jaringan

ekstraembrionik-endoderm. Walaupun mamalia tidak dapat bereproduksi secara
partenogenesis, namun oositnya dapat diinduksi untuk menghasilkan embrio
partenogenetik menggunakan berbagai rangsangan fisik dan kimia.
Pada saat ovulasi, oosit mamalia tertahan pada stadium metafase dari
pembelahan meiosis II. Penahanan meiosis ini dipertahankan oleh aktivitas
cytostatic factor (CSF) yang berfungsi mencegah inaktivasi Maturation promoting
factor (MPF) (Zernicka-Goetz et al. 1995). Maturation promoting factor adalah
suatu heterodimer dari cdc2 kinase dan cyclin B yang diperlukan untuk

10

melanjutkan meiosis dan perkembangan melewati meiosis ke metafase II. Pada
saat keluar dari M-phase, terjadi degradasi cyclin yang menyebabkan inaktivasi
MPF. Pada oosit mencit, penahanan meiosis dapat dipertahankan selama
beberapa jam selama ada sintesis dan degradasi yang seimbang dari cyclin B,
dan keseimbangan tersebut diregulasi oleh CSF yang merupakan produk dari
protoontogene c-mos, cdk2, dan MAP kinase (Zernicka-Goetz et al. 1995).
Selama penahanan meiosis, status inti tidak berubah, tetapi sitoplasma
mengalami perubahan viabilitas, kemampuan fertilisasi dan kemampuan untuk
aktivasi partenogenesis seiring dengan pertambahan umur oosit (Kikuchi et al.
1995).
Aktivasi

oosit

oleh

sperma

atau

secara

partenogenesis

akan

menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Pola pelepasan kalsium pada
oosit hasil aktivasi partenogenesis berlangsung dalam waktu yang relatif pendek
dibandingkan dengan hasil aktivasi spermatozoa yang berlangsung tiga hingga
empat jam (sejak fertilisasi hingga pembentukan pronukleus) (Jones et al. 1995,
Zernicka-Goetz et al. 1995).
Peningkatan kalsium intraseluler disebabkan oleh adanya aktivasi
produksi diacylglycerol (DG) dan inositol 3-phosphate (IP3) yang diinduksi Gprotein melalui phospholipase C (PLC). Peningkatan kalsium intraseluler
kemudian merangsang peningkatan aktivitas protein kinase C (PKC) pada oosit
mencit, yang selanjutnya menginduksi eksositosis butiran korteks (Ito et al.
2003). Selain itu, peningkatan ion kalsium menyebabkan aktivasi calmodulindependent protein kinase II yang berfungsi menstimulasi destruksi cyclin B, dan
inaktivasi p34cdc2 kinase. Dengan terjadinya degradasi cyclin B dan p34cdc2 kinase
maka MPF akan mengalami destruksi sehingga oosit melanjutkan kembali siklus
sel-nya (Ito et al. 2003).

Karakteristik oosit yang teraktivasi adalah adanya

eksositosis butiran korteks, pengeluaran polar body II, pembentukan pronukleus
dan pembelahan mitosis pertama (Gordo et al. 2002).
Oosit mamalia dapat mengalami partenogenesis in vitro dengan
keberhasilan yang bervariasi. Oosit yang mengalami aktivasi akan menunjukkan
respon biokimiawi mirip dengan respon yang terjadi pada oosit yang mengalami
proses fertilisasi. Respon oosit yang diaktivasi ditunjukkan dengan terjadinya
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang dianggap sebagai sinyal untuk
terjadinya pembelahan meiosis. Namun demikian, embrio partenogenetik yang
dihasilkan tidak mengalami perkembangan normal dan perkembangan terhenti
setelah terjadi organogenesis (Kono et al. 2004).

11

Aktivasi partenogenetik dipengaruhi oleh umur oosit, dimana oosit yang
relatif lebih tua lebih sensitif terhadap perlakuan aktiva