Komposisi jenis pohon dan struktur tegakan hutan mangrove di desa pasar banggi kabupaten rembang provinsi jawa tengah

KOMPOSISI JENIS POHON DAN STRUKTUR TEGAKAN
HUTAN MANGROVE DI DESA PASAR BANGGI
KABUPATEN REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH

FIKRI BAGUS WICAKSONO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Komposisi Jenis Pohon
dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten
Rembang Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Fikri Bagus Wicaksono
NIM E14100082

ABSTRAK
FIKRI BAGUS WICAKSONO. Komposisi Jenis Pohon dan Struktur Tegakan
Hutan Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang Provinsi Jawa
Tengah. Dibimbing oleh MUHDIN.
Ekosistem mangrove Desa Pasar Banggi merupakan salah satu yang cukup
baik di Pantura Jawa Tengah. Jenis pohon yang dapat ditemui di hutan mangrove
ini yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba,
danAvicennia marina. Pada tingkat semai didominasi oleh Rhizophora mucronata
dengan nilai INP 175.99 begitu pula dengan tingkat pancang dan pohon juga
didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata dengan nilai INP masing-masing
208.2 dan 183.19. Indeks keragaman (H’) pada hutan mangrove ini tergolong
rendah, tingkat semai memiliki indeks keragaman dengan nilai hanya 0.95 tidak
jauh berbeda dengan tingkat pancang dan pohon yang masing-masing 0.84 dan
0.75. Tingkat kerawanan degradasi dari parameter kerapatan vegetasi masuk ke

dalam tingkat rendah, sedangkan dari parameter indeks keragaman tergolong
tingkat tinggi yang menunjukan rawan degradasi. Struktur tegakan secara umum
berbentuk huruf “J” terbalik kecuali jenis Sonneratia alba, hal ini kemungkinan
disebabkan kegagalan regenerasi oleh jenis Sonneratia alba.
Kata kunci: ekosistem mangrove , komposisi jenis, struktur tegakan

FIKRI BAGUS WICAKSONO. Composition of tree species and standing
structure of Mangrove Forest in the Pasar Banggi Village Rembang Central Java
Province. Supervised by MUHDIN.
Mangrove ecosystem at the Pasar Banggi village is one of the mangrove
ecosystem which is quite good in the northern coastal of Central Java. The tree
spesies that can be found in this mangrove forest is Rhizophora mucronata,
Rhizophora apiculata, Sonneratia alba and Avicennia marina. For seedlings
dominated by the Rhizophora mucronata with score of Important Value Indeks
175.99 similarly with saplings and trees are also dominated by Rhizophora
mucronata types with Important Value Indeks 208.2 and 183.19. Index of
biodiversity in mangrove forests is relatively low, seedlings have a diversity index
with a value of only 0.94 is not much different from the saplings and trees which
are also only 0.84 and 0.75. The vulnerability of the degradation for density
parameters into the low class while the parameters of the biodiversity index into

high classified which showed cartilage degradation. Stand structure in general
shape of reverse "J" exception types Sonneratia alba, this condition maybe
caused by unsuccsed regeneration for Sonneratia alba.
Keywords: mangrove ecosystem, species composition, stand structure

KOMPOSISI JENIS POHON DAN STRUKTUR TEGAKAN
HUTAN MANGROVE DI DESA PASAR BANGGI
KABUPATEN REMBANG PROVINSI JAWA TENGAH

FIKRI BAGUS WICAKSONO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Judul Penelitian

Nama Mahasiswa
NIM

: Komposisi Jenis Pohon dan Struktur Tegakan Hutan
Mangrove di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang
Provinsi Jawa Tengah
: Fikri Bagus Wicaksono
: E14100082

Disetujui oleh

Dr Ir Muhdin, MSc F Trop
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Komposisi Jenis Pohon dan Struktur Tegakan Hutan Mangrove di Desa
Pasar Banggi Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah”. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat kelulusan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penghargaan terbesar penulis sampaikan kepada Ayah (Aspuri), Ibu (Yuyun
Ngesti Utami), adik (Hasbi B Wasisto dan C Nabilla Angembani), beserta seluruh
keluarga besar atas segala doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang yang telah
diberikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr Ir Muhdin, MSc
F Trop selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
nasehat dalam menyelesaikan proses penyusunan skripsi ini. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada Yuli F Azizah, AMd Keb yang telah
memberikan dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga

menyampaikan terimakasih kepada Amar Husna, S Si, Indri Setyawanti, S Hut,
Fareza Ditya A, Nadya Ayu O, DMNH 47, dan Vilmer Comunity serta semua
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap
mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan .

Bogor, November 2014
Fikri Bagus Wicaksono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA


2

Hutan mangrove

2

Luas dan Penyebaran

3

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

4

Struktur dan Model Struktur Tegakan

4

Kegunaan Model Struktur Tegakan


5

METODE

6

Waktu dan Tempat Penelitian

6

Alat dan Bahan

6

Metode Pengumpulan Data

6

Prosedur Analisis Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

Komposisi Jenis Pohon

10

Penentuan Tingkat Kerawanan Degradasi

13

Struktur Tegakan

14

SIMPULAN DAN SARAN


17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

7

Parameter tingkat kerawanan degradasi
Jenis pohon hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Indeks keanekaragaman jenis setiap tingkat pertumbuhan di hutan
mangrove Desa Pasar Banggi
Jenis dominan berdasarkan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) di
kawasan hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Tingkat kerawanan degradasi berdasarkan parameter kerapatan
vegetasi dan indeks keanekaragaman
Tingkat kerawanan degradasi berdasarkan parameter kerapatan
vegetasi dan indeks keanekaragaman di Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP)
Persamaan struktur tegakan setiap jenis pohon

9
10
11
12
13

14
17

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Sketsa letak lokasi penelitian
Bentuk petak pengukuran dalam jalur (transek)
Sebaran jalur (transek) pada lokasi penelitian
Sebaran secara spasial jenis pohon
Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk semua jenis pohon
di hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk semua jenis pohon
di hutan mangrove Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)
Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk setiap jenis pohon
di hutan mangrove Desa Pasar Banggi

6
7
7
11
15
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Perhitungan nilai INP untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi
hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Perhitungan nilai Indeks Keanekaragaman untuk setiap tingkat
pertumbuhan vegetasi hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Jumlah individu setiap kelas sebaran diameter untuk setiap jenis
pohon di hutan mangrove Desa Pasar Banggi

20
21
22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan mangrove selain berfungsi secara fisik sebagai penahan
abrasi pantai, juga memiliki fungsi biologi yakni mangrove menjadi penyedia
bahan makanan bagi manusia terutama ikan, udang, kerang, kepiting, dan sumber
energi bagi kehidupan di pantai seperti plankton, nekton, dan algae. Supriharyono
(2000) menyatakan bahwa terdapat 38 jenis mangrove yang tumbuh di Indonesia,
antara lain marga Rhizophora, Bruguiera, Avecennia, Sonneratia, Xylocarpus,
Barringtonia, Lumnitzera, dan Ceriops. Secara ekologis pemanfaatan hutan
mangrove di daerah pantai yang tidak dikelola dengan baik akan menurunkan
fungsi dari hutan mangrove itu sendiri yang berdampak negatif terhadap potensi
biota dan fungsi hutan lainya sebagai habitat.
Hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia
yakni ± 2.5 juta ha melebihi Brazil 1.3 juta ha, Nigeria 1.1 juta ha dan Australia
0,97 ha (Noor et al. 1999). Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik
secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun
1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 5 209 543 ha sedangkan pada
tahun 1993 menjadi 2 496 185 juta ha, terjadi penurunan luasan hutan mangrove
sekitar 47.92 % (Dahuri et al. 2001).
Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang
ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai
dengan kondisi tanah berlumpur. Ekosistem ini mempunyai fungsi fisik menjaga
kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Gunawan dan Anwar 2004),
pembenihan ikan, udang, dan biota laut pemakan plankton sebagai fungsi biologi
serta sebagai areal budidaya ikan tambak, areal rekreasi dan sumber kayu sebagai
fungsi ekonomi (Anwar et al. 1984). Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Rembang (2011) wilayah ekosistem mangrove di pantai utara
(Pantura) Jawa Tengah memiliki luas 2 550.08 ha yang tersebar di pesisir Pantura
Jawa Tengah dari Kabupaten Rembang sampai Kabupaten Brebes. Ekosistem
mangrove di Kabupaten Rembang dapat di temui di Desa Pasar Banggi di mana
merupakan salah satu ekosistem mangrove yang tergolong cukup baik di Pantura
Jawa Tengah. Secara institusional, kawasan mangrove Desa Pasar Banggi sudah
di tetapkan sebagai Kawasan Pusat Pelestarian Mangrove oleh Pemerintah
Kabupaten Rembang dalam sebuah Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Rembang Tahun 2011-2013
artinya kawasan mangrove Desa Pasar Banggi ini lebih di tekankan pada fungsi
konservasi.
Potensi sumberdaya alam ekosistem hutan mangrove, terutama
pertumbuhan dan perkembangan mangrove tersebut rawan terhadap degradasi.
Apabila degradasi ini terus berlanjut, maka akan terjadi kerusakan kualitas dan
kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir yang berimplikasi pada hilangnya
fungsi lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Untuk memonitor perkembangan
keadaan hutan mangrove tersebut, secara periodik perlu dilakukan risalah hutan.
Dalam penelitian ini risalah hutan dilakukan untuk mengetahui komposisi jenis
pohon dan struktur tegakannya.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui komposisi jenis pohon mulai tingkat
semai sampai pohon beserta sebarannya secara spasial dan untuk memperoleh
gambaran tentang struktur tegakan hutan mangrove di Desa Pasar Banggi
Kabupaten Rembang Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian
1.
2.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Memberikan informasi mengenai gambaran kondisi tegakan hutan mangrove
di Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Memberikan informasi tentang kerawanan degradasi berdasarkan parameter
struktur dan komposisi jenis pohon pada ekosistem hutan mangrove di Desa
Pasar Banggi.

TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang
garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu
lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan
reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai
suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan
pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam
(Santono et al. 2005).
Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam
suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena
merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan
mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan
masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya,
baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan)
yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (Santono et
al.2005).
Hutan mangrove di Indonesia terbagi ke dalam 2 (dua) zone wilayah geografi
mangrove yaitu Asia dan Oseania. Kedua zona tersebut memiliki keanekaragaman
tumbuhan, satwa, dan jasad renik yang lebih besar dibanding negara-negara
lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau ke
pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ketempat lainnya dalam pulau yang sama.
Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove dan tempat hidupnya yang
khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang masing-masing menampilkan
kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat di dalamnya (Santono et al.
2005).

3
Luas dan Penyebaran
Menurut Santono et al. (2005) terdapat variasi yang nyata dari luas total
ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2.5 – 4.25 juta ha.
Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologi
pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak. Walaupun
demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas ekosistem
mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan mangrove
menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.
Luas hutan mangrove Indonesia antara 2.5 sampai 4.5 juta ha, merupakan
mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1.3 juta ha), Nigeria (1.1 juta ha)
dan Australia (0.97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di
seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara
sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan
Kalimantan. Di Pantai Utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh
kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di Bagian Timur Indonesia, di tepi
Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di Pantai Barat
Daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas
1.3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia (Santono et al.
2005).
Beberapa faktor yang menjadi penyebab berkurangnya ekosistem mangrove,
sebagai berikut:
1. Konversi hutan mangrove menjadi bentuk penggunaan lain, seperti
permukiman, pertanian, tambak, industri, pertambangan, dan lain-lain.
2. Kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkendali oleh perusahaan HPH
serta penebangan liar dan bentuk perambahan hutan lainnya.
3. Polusi di perairan estuaria, pantai, dan lokasi-lokasi perairan lainnya di
mana tumbuh mangrove.
4. Terjadinya pembelokan aliran sungai maupun proses sedimentasi dan
abrasi yang tidak terkendali.
Penambahan hutan mangrove di beberapa provinsi belum diketahui dan
dilaporkan secara pasti, namun menurut Santono et al. (2005) ada beberapa faktor
yang memungkinkan bertambahnya areal hutan mangrove di beberapa provinsi
tersebut, sebagai berikut:
1. Adanya reboisasi atau penghijauan.
2. Adanya perluasan lahan hutan mangrove secara alami yang berkaitan
dengan adanya proses sedimentasi dan atau penaikan permukaan air laut.
3. Presisi metoda penafsiran luas hutan yang lebih baik dari metoda yang
digunakan sebelumnya.

4
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa fungsi, fungsi-fungsi tersebut
meliputi fungsi fisik, kimia, ekologis serta fungsi sosial ekomnomi di mana
fungsi-fungsi tersebut sangat berpengaruh terhadap ekosistem pesisir dan juga
masyarakat sekitarnya (Supriharyono 2007). Ekosistem mangrove dikatakan
memiliki fungsi fisik karena ekosistem mangrove memiliki peran penting dalam
melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat
pula melindungi pemukiman, bangunan, pertanian dan perikanan dari angin
kencang atau intrusi air laut (Noor et al. 1999). Mangrove juga dapat menahan
ombak dan angin saat terjadi badai atau tsunami. Selain itu akar mangrove mampu
mengikat dan menstabilkan subtrat lumpur, pohonnya mengurangi energi
gelombang dan memperlambat arus. Selain itu mangrove juga berperan sebagai
pengikat sedimen, sehingga dapat mempercepat akresi daratan karena mangrove
mampu memperluas wilayahnya ke arah laut, sehingga akan terbentuk lahan baru
(Davies dan Claridge 1993, Othman 1994 dalam Noor et al. 1999)
Saparinto (2007) menyatakan bahwa secara kimia ekosistem mangrove
mempunyai peran penting sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang
menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida. selain itu mangsrove juga
berperan sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan
kapal-kapal di lautan. Mangrove juga dikatakan memiliki fungsi ekologis karena
mangrove memberikan suplai bahan organik bagi perairan sekitarnya. Menurut
Dahuri et al. (2001), mangrove adalah penjaga keseimbangan antara ekosistem
darat dan ekositem laut sehingga keberadaanya perlu dilestarikan sebagai kawasan
green belt dan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Namun menurut Saparinto
(2007) fungsi ekologis mangrove adalah penghasil bahan pelapukan (decomposer)
yang merupakan sumber makanan penting untuk invertebrata kecil pemakan
bahan pelapukan (detritus), selanjutnya berperan sebagai makanan bagi hewan
yang lebih besar. Ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery
ground), tempat mencari makan (feeding ground) untuk biota di sekitarnya dan
pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan
kerang-kerangan (Claridge dan Burnet 1993 dalam Yudhatama 2009).
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas ekositem mangrove juga memiliki fungsi
ekonomis yang cukup tinggi. Lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove
bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun produk tidak langsung.
Produk langsung dari mangrove antara lain sabagai bahan bakar, bahan bangunan,
alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan,
minuman dan tekstil (Saenger et al. 1983, Budiman dan Kartawinata 1986 dalam
Yudhatama 2009). Sedangkan untuk produk tidak langsung seperti keperluan
penunjang pembangunan antara lain perikanan, kehutanan, pemukiman dan
tempat rekreasi (Departemen Kelautan dan Perikanan 2009).
Struktur Tegakan dan Model Struktur Tegakan
Strktur tegakan dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe, yaitu struktur
tegakan vertikal dan horizontal. Struktur tegakan vertikal didefinisikan sebagai
sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk, sedangkan struktur tegakan
horizontal merupakan banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameter

5
(Davis dan Jhonson 1987). Penelitian ini menggunakan struktur tegakan
horizontal untuk melihat sebaran pohon berdasarkan sebaran diameternya. Adanya
perubahan struktur tegakan hutan yang diikuti dengan pertumbuhan alami berguna
untuk mencapai kondisi hutan seperti semula. Adapun pola serta kecepatan
pertumbuhan tegakan sangat tergantung kondisi awal tegakan dan kualitas tempat
tumbuhnya (Wahjono dan Imanuddin 2007).
Pola struktur tegakan di lapangan dapat diketahui dengan suatu cara
pendugaan model struktur tegakan menggunakan model famili sebaran. Terdapat
empat model famili sebaran yang sering menjadi model terpilih dalam
menerangkan pola struktur tegakan, yaitu Lognormal, Gamma, Eksponensial
negatif, dan weibull (Ermayani 2000). Menurut Adianti (2011) dalam pendugaan
model struktur tegakan untuk setiap famili sebaran menggunakan parameterparameter berbeda. Parameter tersebut kemudian akan digunakan untuk
mendapatkan nilai peluang pada kelas diameter. Adianti (2011) juga menyatakan
untuk pemilihan model terbaik dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
maksimum, yaitu dengan memilih famili sebaran yang mempunyai nilai fungsi
kemungkinan tertinggi sebagai model penduga terbaik bagi struktur tegakan yang
bersangkutan.
Kegunaan Model Struktur Tegakan
Model struktur tegakan digunakan untuk menduga dimensi tegakan hutan
seperti kerapatan pohon pada setiap kelas diameter, luas bidang dasar tegakan,
maupun volume tegakan. Informasi tentang struktur tegakan dipandang penting
karena ditinjau dari faktor ekologi, struktur tegakan dapat memberikan gambaran
tentang kemampuan regenerasi tegakan. Bentuk struktur tegakan horizontal hutan
alam atau hutan tidak seumur pada umumnya mengikuti persamaan ekponensial
negatif atau berbentuk huruf J terbalik, dengan model umumnya, yaitu N=N0 e-KD,
dimana N = kerapatan pohon per satuan luas, D = diameter pohon, N0 dan k =
parameter (Adianti 2011). Beberapa penerapan penggunaan model distribusi
diameter tegakan yang mungkin dapat dikembangkan, terutama menentukan
kerapatan tegakan.
Kerapatan pohon adalah banyaknya pohon yang terdapat pada satuan luas
tertentu dan seringkali disebut dengan kerapatan pohon per hektar (Suhendang
1985). Pada umumnya hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume
per-hektar, luas bidang dasar dan kriteria lainnya. Perbedaan antara tegakan yang
rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan
tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan
jumlah batang per-hektar dapat diketahui melalui pengukuran (Departemen
Kehutanan 1992).
Menurut Sheykholeslami et al. (2011) distribusi diameter pohon dapat
digunakan untuk menunjukkan apakah kerapatan pohon-pohon yang lebih kecil
sudah cukup untuk menggantikan jumlah populasi pohon-pohon besar dan untuk
membantu mengevaluasi potensi kelestarian hutan. Model distribusi dapat dipakai
untuk menduga kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya apabila model
struktur tegakan beserta parameternya dan jumlah pohon total diketahui
(Suhendang 1985).

6

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Mangrove Desa Pasar Banggi
Kabupaten Rembang Provinsi Jawa tengah (Gambar 1). Pengambilan data
dilakukan pada bulan Juni 2014.

Gambar 1 Sketsa letak lokasi penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam pengolahan data berupa alat tulis, kamera,
kalkulator, komputer dengan perangkat lunak Microsoft excel serta Curve expert
1.4, phiband dan alat ukur tinggi pohon. Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data primer dan data sekunder terkait kegiatan pengelolaan kawasan
hutan mangrove oleh masyarakat Desa Pasar Banggi Kabupaten Rembang
Provinsi Jawa Tengah .
Pengumpulan Data
Sebelum mengadakan pengumpulan data, dilakukan pengamatan lapangan
yang meliputi keseluruhan kawasan hutan dengan tujuan untuk melihat secara
umum komposisi tegakan hutan secara fisiognomi serta keadaan pasang surut
daerah setempat dan lain sebagainya. Pengambilan sampel dilakukan secara
systematic line sampling with random start dengan pertimbangan kerapatan
vegetasi dilihat secara fisiognomi. Selanjutnya dilakukan pengambilan titik awal
atau starting point secara acak, selanjutnya di buat transek (jalur) dari zone
belakang mangrove ke arah garis pantai dengan jarak antar transek 250 meter.
Panjang garis transek bervariasi menurut ketebalan garis hijau (keberadaan
vegetasi mangrove yang menjadi penghubung terestrial dan perairan).
Pengambilan sampel dilakukan pada zone belakang mangrove ke arah garis
pantai. Dari setiap transek (Gambar 2), data vegetasi diambil dengan
menggunakan metode kuadrat plot. Ada beberapa tahapan dalam mengambil data
transek, sebagai berikut :
1. Menarik meteran ke arah laut dengan posisi awal yang telah diberi tanda (patok
atau pengecatan pohon).

7
ok (petak contoh/petak ukur) di sebelah kirii da
dan kanan garis
2. Menentukan blok
transek berbentuk
uk bujursangkar
buj
dengan ukuran :
a) 10 x 10 m untuk
uk pe
pengamatan fase pohon;
b) 5 x 5 m untuk peng
ngamatan fase pancang (sapling);
c) 2 x 2 m untuk peng
ngamatan fase semai (anakan).

Gambar 2 Bentuk petak pengukuran dalam jalur (trans
ansek)

Gambar
bar 3 Sebaran jalur (transek) pada lokasi peneliti
litian
3. Mekanisme pengam
gambilan data sebagai berikut :
a) Identifikasi setiapp jjenis mangrove yang ada. Apabila belum ada
da di ketahui nama
jenis vegetasi man
angrove yang ditemukan, ambil bagian rantin
nting yang lengkap
dengan daun, bunga
bun dan buahnya. Bagian tersebut selanjut
njutnya dipisahkan
berdasarkan jenisn
nisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik
pla
dan diberi
label keterangan;
b) Mengukur diamete
eter pohon se-tinggi dada
c) Setiap data yangg ttelah terkumpul dan teridentifikasi langsung
ung dicatat dalam
tabel pengamatann (tabulasi).
(
Analisis Data
1. Komposisi Jenis
Untuk mengetahui
hui gambaran tentang komposisi dan str
struktur tegakan,
dilakukan perhitunga
ungan terhadap parameter yang meliputi Indeks
eks Nilai Penting,
Indeks Keanekaragam
aman serta dibuat grafik yang menunjukann struktur
st
tegakan.
Pengolahan data komposisi
kompos vegetasi, sebagai berikut :

8
Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting diperoleh dari:
INP = KR + FR + DR
Dimana:
a. Kerapatan (K)
=



b. Kerapatan relatif (KR)
=

100%



c. Frekuensi (F)
=







d. Frekuensi Relatif (FR)
=

100%



e. Dominansi (D)
=



100%

f. Dominansi relatif (DR)
=

100%



Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon
Index of General Diversity :


*

= − " #$ & ln $ &)
%
%
+,-

H’ = Shanon Index of General Diversity (Indeks Keanekaragaman)
ni = nilai penting masing-masing spesies
N = Total indeks nilai penting
2. Struktur Tegakan
Struktur tegakan dapat diketahui dengan membuat hubungan antara diameter
setinggi dada (cm) dengan kerapatan pohon (jumlah pohon per hektar). Kerapatan

9
pohon diletakkan pada sumbu y (ordinat) sedangkan kelas diameter diletakkan
pada sumbu x (absis). Hubungan antara kerapatan pohon dengan kelas diameter
tersebut akan memperlihatkan struktur horisontal suatu tegakan (penyebaran
jumlah individu pohon dalam kelas diameter berbeda). Dalam penelitian ini
disusun sebaran pohon untuk 8 kelas diameter yaitu 0-5 cm, 6-10 cm, 11-15 cm,
16-20 cm, 21-25 cm, 26-30 cm, 31-35 cm, 36-40 cm dan 41 up.
Bentuk struktur tegakan hutan pada hutan alam atau hutan tidak seumur
mengikuti bentuk eksponensial negatif atau berbentuk huruf “J” terbalik (Baker
1950, Leak 1965, Anonim 1978 dalam Istomo 1994). Model struktur tegakan
tersebut selanjutnya dipakai sebagai model acuan yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
3. Penentuan Tingkat Kerawanan Degradasi
Dalam menentukan potensi kerawanan degradasi mangrove di Kawasan hutan
mangrove Desa Pasar Banggi dilakukan dengan membandingkan hasil deskripsi
lapangan yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Menurut Kaunang dan Kimbal (2009) dasar untuk mengkaji kerawanan
degradasi hutan mangrove dinilai berdasarkan skoring (tinggi, sedang, rendah)
eksistensi ekosistem hutan mangrove dengan parameter biologi seperti yang
tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1 Parameter tingkat kerawanan degradasi
Parameter

R0

Karakteristik vegetasi
(Kerapatan)*
- Fase pohon (pohon/ha)
- Fase pancang
(pancang/ha)
- Fase semai (semai/ha)
Indeks biodiversitas (H’)**

Tingkat kerawanan degradasi
R1
R2

>1500
>2500

750 - 1500
750 - 2500

3

1000 - 5000
1-3

digolongkan
ke dalam tingkat keanekaragaman
kea
yang tinggi. Berdasarkan ha
hasil perhitungan
besar indeks keaneka
nekaragaman di kawasan hutan mangrove Des
esa Pasar Banggi
dapat dikatakan bahw
hwa indeks keanekaragamannya tergolong renda
ndah (Tabel 3).
keanekaragaman jenis setiap tingkat pertumbuha
umbuhan di hutan
Tabel 3 Indeks kea
mangrove Desa
D
Pasar Banggi
Tingkat pertum
tumbuhan
Nilai indeks keanekaraga
ragaman jenis
Semai
1,01
Pancang
ng
0,85
Pohon
0,96
Semakin tingg
nggi jumlah spesies yang dapat di temukan di sua
suatu lingkungan,
maka akan semakinn ttinggi pula indeks keanekaragamannya. Pada
ada Tabel 3 dapat
dilihat bahwa tingkat
at pertumbuhan semai memiliki indeks keaneka
nekaragaman paling
tinggi karena jumlah
lah individu pada tingkat semai adalah yan
ang paling tinggi
sebesar 1271 dalam
am plot pengamatan. Keanekaragaman jeni
jenis yang tinggi
merupakan indikator
tor dari kemantapan atau kestabilan dari suatu
sua lingkungan.
Kestabilan yang tingg
nggi menunjukan kompleksitas yang tinggi. Haal ini disebabkan

12
terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih
tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponennya (Walter 1971). Pada
kondisi hutan mangrove Desa Pasar Banggi dapat di lihat bahwa
keanekaragamanya tergolong sangat rendah dikarenakan nilai keanekaragamanya
kurang dari 1.5.
Kebutuhan tumbuhan akan lingkungan yang khusus dan lingkungan yang
bervariasi dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan keragaman jenis
tumbuhan yang ada (Sitompul dan Guritno 1995). Hal ini menyebabkan
perbedaan jenis tumbuhan yang berkembang oleh karena itu ada jenis tumbuhan
yang mendominasi suatu lingkungan tertentu. Smith (1997) menyatakan bahwa
jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempati
secara efisien daripada jenis lain dalam tempat yang sama. Dominansi dari jenisjenis yang ada di kawasan hutan mangrove Desa Pasar Banggi dapat dilihat dari
besarnya Indeks Nilai Penting (INP). Jenis yang memiliki INP paling besar maka
jenis tersebut yang mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi dan kemampuan
reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan tumbuhan yang lain dalam satu
lingkungan tertentu (Tabel 4).
Tabel 4 Jenis dominan berdasarkan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) di
kawasan hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Nama jenis
Semai
Rhizophora mucronata
Rhizophora apiculata
Sonneratia alba
Avicennia marina
Pancang
Rhizophora mucronata
Rhizophora apiculata
Sonneratia alba
Avicennia marina
Pohon
Rhizophora mucronata
Rhizophora apiculata
Sonneratia alba
Avicennia marina
Keterangan:

K
F
D
INP

jumlah
individu

K
(indv/Ha)

F

D
(m /Ha)
2

INP

791
256
7
217

23 264.71
7529.41
20588
6382.35

0.72
0.44
0.05
0.19

0.005
0.002
0.00003
0.001

175.99
71.79
4.34
47.88

859
213
12
136

4042.35
1002.35
56.47
640

0.91
0.45
0.04
0.2

0.47
0.09
0.002
0.02

208.2
61.07
3.55
27.18

584
109
75
1

687.06
128.24
88.24
1.18

0.78
0.46
0.26
0.01

0.09
0.02
0.05
0.0006

183.19
55.16
60.35
1.29

= kerapatan jenis
= frekuensi
= dominansi
= Indeks nilai penting

Rhizophora mucronata adalah jenis yang dominan pada semua tingkat
pertumbuhan dan Rhizophora apiculata sebagai jenis kodominan di hutan
mangrove desa Pasar Banggi. Rhizophora mucronata adalah jenis yang memiliki
INP tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan yaitu untuk tingkat semai sebesar
175.99, sedangkan untuk tingkat pancang dan pohon masing-masing 208.2 dan
183.19. Jenis ini adalah jenis yang ditemukan dalam jumlah banyak dan tersebar

13
merata hampir di seluruh areal hutan mangrove Desa Pasar Banggi. Hal ini
menunjukan bahwa jenis ini adalah jenis yang paling adaptif terhadap lingkungan
hutan mangrove Desa Pasar Banggi.
Penentuan Tingkat Kerawanan Degradasi
Potensi kerawanan degradasi mangrove di kawasan hutan mangrove Desa
Pasar Banggi ditentukan dengan membandingkan hasil deskripsi lapangan yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Parameter yang digunakan adalah
kerapatan vegetasi dan indeks biodiversitas atau indeks keragaman (Kaunang dan
Kimbal 2009). Hasil deskripsi tentang kerapatan dan indeks biodiversitas serta
skorring tingkat kerawanan degradasi pada hutan mangrove Desa Pasar Banggi
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Tingkat kerawanan degradasi berdasarkan parameter kerapatan vegetasi
dan indeks keanekaragaman
Nilai
Tingkat kerawanan
Parameter
parameter
degradasi
Karakteristik vegetasi
(Kerapatan)
Fase pohon (pohon/ha)
R1
904
Fase pancang (pancang/ha)
5741
R0
Fase semai (semai/ha)
37382
R0
Indeks keanekaragaman (H’)
Fase pohon (pohon/ha)
0.96
R2
Fase pancang (pancang/ha)
0.85
R2
Fase semai (semai/ha)
1.01
R1
Keterangan : R0 = rawan 0 (rendah); R1 = rawan 1 (sedang); R2 = rawan 2 (tinggi)

Tabel 5 menunjukan bahwa parameter kerapatan vegetasi hutan mangrove
Desa Pasar Banggi berada pada kisaran sedang untuk tingkat pohon dan berada
pada tingkat rendah untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang. Hal ini
menunjukan bahwa regenerasi vegetasi yang ada di hutan mangrove ini tergolong
sangat baik. Namun parameter indeks biodiversitas atau keanekaragaman di hutan
mangrove ini berada pada tingkatan tinggi untuk fase pancang dan pohon,
sedangkan untuk fase semai berada pada tingkat sedang. Kondisi ini menunjukkan
bahwa kemantapan dan kestabilan komunitas hutan mangrove Desa Pasar Banggi
ini dapat dikatakan rentan terhadap gangguan. Jika dibandingkan dengan
penelitian Heriyanto dan Subiandono (2012) di Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP) Jawa Timur, kondisi hutan mangrove Desa Pasar Banggi tidak jauh
berbeda, bahkan lebih baik jika dilihat dari regenerasi atau kerapatan jenis pohon.
Pada penelitian yang dilakukan di TNAP diperoleh informasi bahwa regenerasi
jenis pohon di TNAP ini tidak sempurna karena tidak ditemukan jenis pohon pada
fase pertumbuhan pancang sehingga tidak akan ada regenerasi jika terjadi
kerusakan pada tingkat pohon. Skoring yang ada di TNAP dengan parameter
kerapatan vegetasi berada pada tingkat rendah untuk fase pohon, sedangkan untuk

14
fase pancang berada pada tingkatan yang tinggi dan fase semai berada pada fase
sedang (Tabel 6).
Untuk parameter indeks keanekaragaman kondisi di TNAP juga tidak jauh
berbeda dengan kondisi di hutan mangrove Desa Pasar Banggi karena jumlah
spesies yang ada juga hanya terdapat empat spesies. Untuk TNAP fase semai dan
pohon masuk kedalam tingkat sedang dan untuk fase pancang masuk ke dalam
tingkat tinggi karena tidak di temukan jenis pohon pada fase pancang di TNAP.
Tabel 6 Tingkat kerawanan degradasi berdasarkan parameter kerapatan vegetasi
dan indeks keanekaragaman di Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)
Nilai
Tingkat kerawanan
Parameter
parameter
degradasi
Karakteristik vegetasi
(Kerapatan)
Fase pohon (pohon/ha)
R0
2734
Fase pancang (Pancang/ha)
0
R2
Fase semai (semai/ha)
4166
R1
Indeks keanekaragaman (H’)
Fase pohon (pohon/ha)
1.16
R1
Fase pancang (pancang/ha)
0
R2
Fase semai (semai/ha)
R1
1
Keterangan : R0 = rawan 0 (rendah); R1 = rawan 1 (sedang); R2 = rawan 2 (tinggi)

Struktur Tegakan
Menurut Richard (1966) struktur tegakan merupakan sebaran individu
tumbuhan dalam lapisan tajuk, sedangkan Meyer et al. (1961) mengartikan
struktur tegakan sebagai sebaran pohon per satuan luas dalam berbagai kelas
diameternya. Struktur tegakan berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh
yang dipengaruhi oleh besarnya energi cahaya matahari, ketersediaan air tanah
dan hara mineral bagi pertumbuhan individu tersebut. Gambaran mengenai jumlah
pohon untuk setiap sebaran kelas diameter pada setiap jenis pohon dapat dilihat
pada Lampiran 3 sedangkan kurva yang dihasilkan dari hubungan antara sebaran
diameter dan jumlah pohon dapat dilihat pada Gambar 5.

15

Kerapatan pohon per ha

S = 53.32852619
r = 0.99799325
.0 0
00
26 0 0
.
00
24 0 0
.
0
0
22 0 0
.
00
0
2
.0 0
0
0
18 0 0
.
00
16 0 0
0.
0
14 .0 0
00
12 0 0
.
00
0
1
.00
0
80 0
0.0
60 0
0.0
40 0
0.0
20 0
0.0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Nilai tengah diameter

Gambar 5 Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk semua jenis pohon di
hutan mangrove Desa Pasar Banggi
Gambar 5 menunjukan bahwa sebaran kelas diameter di hutan mangrove
Desa Pasar Banggi menunjukan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas
diameter kecil ke kelas diameter yang besar, sehingga kurva yang dihasilkan
menyerupai huruf “J” terbalik. Begitu pula dengan struktur tekakan yang ada di
Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) yang juga berdasarkan hasil penelitian
Heriyanto dan Subiandono (2012) di mana struktur tegakan yang ada juga
berbentuk “J” terbalik namun penelitian di TNAP ini menyusuk struktur tegakn
dimulai dari diameter ≥ 10 sehingga hanya pada fase pohon tanpa melihat fase
semai dan pancang dengan sebaran empat kelas diameter di mana selang diameter
sebesar 10 cm (Gambar 6)
S = 39.18552481
r = 0.98923169
0
0.0
00
00.
18
0
0.0
160
00
00.
14
0
0.0
120
00
00.
10
.00
8 00
0
0.0
60
0
0.0
40
0
.0
2 00
0
0.0

Kerapatan pohon per ha

200

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Nilai tengah diameter

Gambar 6 Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk semua jenis pohon di
hutan mangrove Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)

16
Kurva struktur tegakan di atas merupakan gambaran struktur tegakan
untuk semua jenis yang ada atau secara umum. Penelitian ini mencoba melihat
bagaimana kondisi struktur tegakan hutan mangrove Desa Pasar Banggi jika
dilihat dari setiap jenis pohon yang ada. Untuk hutan mangrove Desa Pasar
Banggi struktur tegakannya secara umum berbentuk eksponensial negatif atau “J”
terbalik untuk setiap jenisnya kecuali jenis Sonneratia alba (Gambar7). Perbedaan
ini karena dalam suksesi hutan selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu.
Perubahan struktur tegakan tersebut kemungkinan karena adanya perbedaan
kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara mineral dan
air, serta sifat kompetisi. Oleh karena itu susunan pohon di dalam tegakan hutan
akan membentuk sebaran kelas diameter yang bervariasi (Ewusie 1980).
S = 63.90503909
r = 0.99335557
0.0 0

1 60

Ke ra p a ta n p o ho n p e r ha

Ke ra p a ta n p o ho n p e r ha

1 60

S = 9.77411677
r = 0.99801981

0.0 0
1 40
0.0 0
1 20
0.0 0
1 00
.00
8 00
.00
6 00
.00
4 00
.00
2 00
0 .00

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

1 40
1 20
1 00

0.0 0
0.0 0
0.0 0
0.0 0

8 00

.00

6 00

.00

4 00

.00

.00
2 00
0 .00

45.0

0.0

5.0

10.0

15.0

Nilai tengah diameter

20.0

25.0

30.0

35.0

A

Ke rapatan pohon per ha

Ke rapatan pohon per ha

S = 12.13332039
r = 0.24359812

0
0.0

0
0.0
1 40
.0 0
0
0
12
1 00

0
0.0

.00
8 00
.00
6 00
4 00

.00

.00
2 00
0
0 .0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Nilai tengah diameter

C
Keterangan:

45.0

B
S = 0.37919461
r = 0.99999660

1 60

40.0

Nilai tengah diameter

.00
1 00
0
9 0.0
0
8 0.0
0
7 0.0
6 0.0

0

0
5 0.0
0
4 0.0
0
3 0.0
0
2 0.0
0
1 0.0
0
0.0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Nilai tengah diameter

D

X units = Nilai tengah selang diameter
Y units = Jumlah pohon per hektar

Gambar 7 Sebararan jumlah pohon per kelas diameter untuk setiap jenis pohon di
hutan mangrove Desa Pasar Banggi, (A) Rhizophora mucronata (B)
Rhizophora apiculata (C) Avicennia marina (D) Sonneratia alba
Sebaran kelas diameter yang berbentuk huruf “J” terbalik atau
eksponensial negatif dapat dinyatakan dalam persamaan yang menjelaskan
hubungan antara diameter pohon dengan jumlah pohon per hektar (Tabel 7).

17
Tabel 7 Persamaan struktur tegakan setiap jenis pohon
Nama Latin
Persamaan Eksponensial
Rhizophora mucronata
N=1,96807 e-1.44221D
Rhizophora apiculata
N=6,23549 e-1.85743D
Sonneratia alba
N=1,57482 e-1.28555D
Avicennia marina
N=2,45919 e-7.21481D
N = Kerapatan Pohon (N/ha)
D = Diameter (cm)

r
0.99
0.99
0.24
0.99

r = Koefisien korelasi

Tabel 7 menunjukan bahwa persamaan tersebut cukup baik untuk
menduga kerapatan pohon terkecuali untuk jenis Sonneratia alba karena nilai “r”
atau koefisien korelasinya sangat rendah dikarenakan sebaran kelas diameter yang
tidak membentuk kurva eksponensial negatif sehingga D (diameter) tidak dapat
digunakan untuk menduga N (kerapatan pohon). Hal yang berbeda ini
kemungkinan dikarenakan kegagalan regenerasi oleh jenis Sonneratia alba.
Beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi kegagalan dalam
beregenerasi tersebut diantaranya kompetisi atau persaingan yang terlalu ketat,
ketidaksesuaian tempat tumbuh atau pencemaran lingkungan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Terdapat empat jenis pohon mangrove yang dapat ditemui di hutan
mangrove Desa Pasar Banggi yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
Sonneratia alba, dan Avicennia marina. Dari keempat jenis tersebut jenis yang
paling dominan dari semua tingkat pertumbuhan adalah Rhizophora mucronata
karena memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada semua tingkat
pertumbuhan. Tingkat kerawanan degradasi tergolong rendah pada parameter
kerapatan vegetasi namun dari parameter keanekaragaman sangat rawan
degradasi. Struktur tegakan yang ada secara umum berbentuk huruf “J” terbalik
yang artinya hutan mangrove Desa Pasar Banggi masih tergolong normal karena
regenerasi tanaman masih berjalan baik terkecuali jenis untuk Sonneratia alba.
Saran
Hutan mangrove Desa Pasar Banggi merupakan aset yang sangat berharga
yang sudah dibangun oleh masyarakat oleh karena itu hendaknya pemerintah
memberikan dukungan yang sebesar-besarnya dalam menjaga dan melestarikan
hutan mangrove ini terutama dari segi batas wilayah dan pengembangan jenis
vegetasi.

18
DAFTAR PUSTAKA
Adianti M. 2011. Studi model struktur tegakan hutan tanaman Pinus Merkusii
Jungh Et De Vriese tanpa penjarangan di Hutan Pendidikan Gunung Walat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anwar J, SJ Damanik, N Hisyam dan AJ Whitten. 1984. Ekologi ekosistem
Sumatra. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta
Davis LS, Jhonson KN. 1987. Forest Management Third Edition. New York:
Graw Hill Company, Inc.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Bina Pesisir. 2009. Pedoman
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Direktorat Jendral Kelautan dan PulauPulau Kecil. Jakarta
Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan
Republik Indonesia. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang. 2011. Kondisi Daerah
Pesisir/Pantai Kabupaten Rembang. Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Rembang. Rembang.
Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1997. Pedoman Penentuan
Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Jendral Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan. Jakarta
Ermayani E. 2000. Studi Model Struktur Tegakan dan Prospek Pertumbuhan
Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan(Studi kasus di HPH PT.Dwimajaya
Utama Propinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan, ITB-Press. Bandung.
Gunawan H dan C. Anwar. 2004. Keanekaragaman jenis burung mangrove di
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam I(3):294-308.
Heriyanto NM dan Subiandono E. 2012. Komposisi dan Struktur Tegakan,
Biomasa, dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Taman
Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
9(1):023-032.
Istomo. 1994. Hubungan Antara Komposisi, Struktur dan Penyebaran Ramin
(Gonystylus bancanus Miq. Kurz) dengan Sifat-sifat Tanah Gambut (Studi
Kasus di Areal HPH PT Inhutani III Kalimantan Selatan) [tesis]. Bogor (ID):
Program Pascasarjana IPB. Tidak Diterbitkan.
Kaunang DT dan Kimbal JD. 2009. Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan
Mangrove di Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Jurnal AGRITEK 17
(6): 1163-1171.

19
Magguran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. London: Helm
Ltd.
Meyer HA, B Recnagel, DD Stevenson, and Bartoo. 1961. Forest Management
Second Edition. New York : The Ronald Press Company.
Mueller DD and H Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetasion Ecology .
New York : Jhon Willey and Sons, Inc.
Noor YR, M Khazali, dan INN Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Richards PW. 1966. The Tropical Rain Forest and Ecological Study. Cambridge :
Cambridge University Press.
Santono N, Bayu CN, Ahmad FS, & Ida F. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku
Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengembangan dan Pengkajian
Mangrove.
Saparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang.
Sitompul SM, dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta
(ID): Gajah Mada University Press.
Sheykholeslami A, Pasha K, Kia LA. 2011. A study of tree distribution in
diameter classes in natural forests of Iran (case study: Liresara Forest).
Annals of Biological Research. 2(5):283-290.
Smith RL. 1977. Element of Ecology. New York : Harper & Row Publisher.
Suhendang. 1985. Studi model struktur tegakan hutan alm hujan tropika dataran
rendah di Benkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah
Pesisir. Jakarta (ID): Gramedia.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah pesisir
dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahjono D, Imanuddin R. 2007. Model Dinamika Struktur Tegakan Untuk
Penduga Hasil PT. Intracawood Manufacturing di Kalimantan Timur (Stand
Structure Dynamic Model for YieldEstimation in PT. Intracawood
Manufacturing, East Kalimantan): Pusk