Komunikasi Partisipatif Dan Jaringan Komunikasi Dalam Membangun Aksi Kolektif Di Gabungan Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3a) Papah

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DAN JARINGAN KOMUNIKASI
DALAM MEMBANGUN AKSI KOLEKTIF DI GABUNGAN
PERKUMPULAN PETANI PENGGUNA AIR (P3A) PAPAH

RIZKI MILA AMALIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif
dan Jaringan Komunikasi dalam Membangun Aksi Kolektif di Gabungan
Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) Papah adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Rizki Mila Amalia
NIM I352130121

RINGKASAN
RIZKI MILA AMALIA. Komunikasi Partisipatif dan Jaringan Komunikasi dalam
Membangun Aksi Kolektif di Gabungan Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A)
Papah. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan RESFA FITRI.
Target mencapai swasembada pangan muncul sebagai salah satu program
kerja Pemerintahan Presiden Jokowi. Tujuan mencapai swasembada pangan
tersebut masih dihadapkan pada berbagai kendala, salah satunya adalah sulitnya
meningkatkan produktifitas hasil pertanian akibat kelangkaan air. Kelangkaan air
yang terjadi belakangan ini dipicu oleh penurunan curah hujan karena fenomena
iklim El Nino. Untuk mengatasi masalah kelangkaan air dan mencapai water
security diperlukan adanya lembaga di tingkat grassroot yang bergerak langsung
di bidang pengelolaan air irigasi untuk pertanian, yaitu Perkumpulan Petani
Pengguna air (P3A). Namun, peran P3A dirasakan belum optimal dalam
melaksanakan pengelolaan jaringan irigasi tersier. Masalah yang masih dihadapi
oleh P3A adalah lahan pertanian anggota P3A masih mengalami kekurangan air,

pembagian air yang tidak merata dan tidak sesuai jadwal dari daerah hulu ke hilir
akibat kurangnya komunikasi diantara mereka.
Kebanyakan lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah, seperti P3A, juga
tidak memberikan peluang bagi masyarakat ikut berpartisipasi dalam musyawarah.
Peluang masyarakat dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena
musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Padahal, lembaga
seperti P3A seharusnya memberikan akses kepada masyarakat untuk
melaksanakan pembangunan yang diprakarsai dan diatur oleh masyarakat sendiri,
di mana mereka mengambil aksi untuk kepentingan bersama. Aksi kolektif untuk
menyelesaikan masalah tentunya dihasilkan dari komunikasi partisipatif kelompok
masyarakat tersebut. Komunikasi partisipatif harus melibatkan semua pemangku
kepentingan yang terlibat dalam permasalahan irigasi, yaitu P3A unit, Dinas
Pekerja Umum serta Dinas Pertanian.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aksi kolektif dengan
komunikasi partisipatif dan jaringan komunikasi P3A. Berdasarkan sensus yang
dilakukan dari tujuh belas P3A di Daerah Irigasi Papah Kabupaten Kulon Progo
dan uji korelasi Rank Spearman diketahui bahwa karakteristik P3A, yaitu umur
dan pengalaman P3A berhubungan nyata positif terhadap kemampuan berdialog.
Norma P3A berhubungan nyata positif dengan jarak jaringan komunikasi P3A.
Namun, jaringan komunikasi P3A tidak memiliki hubungan nyata dengan

kemampuan berdialog dan kesempatan mengemukakan aspirasi dalam P3A.
Selain itu, kemampuan berdialog dan kesempatan mengemukakan aspirasi dalam
P3A tidak berhubungan dengan keikutsertaan anggota P3A dalam aksi kolektif,
hanya kepadatan jaringan P3A yang berhubungan nyata negatif dengan
keiikutsertaan anggota P3A dalam aksi kolektif pemeliharaan jaringan.
Kata kunci: aksi kolektif, aspirasi, dialog, irigasi, jaringan komunikasi

SUMMARY
RIZKI MILA AMALIA. The Participatory Communication and Communication
Network to Build Collective Action on Farmer Water Users Associations in
Irrigation Area Papah. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO and
RESFA FITRI.
The goal of food self-sufficiency emerged as one of President Jokowi’s
government program. There are so many obstacles that goal. The scarcity of water
became the main problem to increase the productivity of agricultural products.
Water scarcity that happened recently, triggered by a rainfall decrease due to a
climate phenomenon, El Nino. In order to overcome those problem, the
institutions at grassroot level is highly demanded to achieve water security. The
institution must engaged directly in the field of water management for agriculture,
the Farmers Water Users Association. However, the role of Farmers Water Users

Association had not been managing tertiary irrigation network optimally. The
problems that faced by Farmers Water Users Association member is the suffer of
water shortages on their farm land, the uneven of water distribution from upstream
to downstream due to the lack of communication between them.
Most institutions that initiated by the government, such as the Farmers
Water Users Association, did not provide the opportunities for communities to
participate in the deliberations. The opportunities for communities in decisionmaking also not exist because deliberations are always dominated by the village
elite and facilitators. In fact, organizations such as the Farmers Water Users
Association should provide access to the public to carry out development initiated
and managed by the communities themselves, where they take action for the
common good. Collective action to solve the problem of course is generated from
participatory communication community groups. Participatory communication
must involve all stakeholders in the problems of irrigation, namely Farmers Water
Users Association, Department of General Workers and the Department of
Agriculture.
The present study was aimed to know correlation between Farmers Water
Users Associations’ collective action and participatory communication and also
communication networks. According to the census conducted in seventeen
Farmers Water Users Association in irrigation area Papah Kulon Progo and Rank
Spearman correlation test known that characteristics, such as age and experience

real positively related to the ability to dialogue. Norm associated positively with
the distance of the communications network. However, the communication
network has no relation with the ability on dialogue and chance of expressed
aspirations. In addition, the ability on dialogue and chance of expressed
aspirations is not related to the participation of members in collective action, only
the density of the network real negative associated with members participation in
collective action in maintenance irrigation network.
Keywords: aspirations, collective action, communication networks, dialogue,
irrigation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KOMUNIKASI PARTISIPATIF DAN JARINGAN KOMUNIKASI
DALAM MEMBANGUN AKSI KOLEKTIF DI GABUNGAN
PERKUMPULAN PETANI PENGGUNA AIR (P3A) PAPAH

RIZKI MILA AMALIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. (RIS). Ign. Djoko Susanto, SKM

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga laporan penelitian ini berhasil diselesaikan.
Penelitian dengan judul Komunikasi Partisipatif dan Jaringan Komunikasi dalam
Membangun Aksi Kolektif di Gabungan Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A)
Papah dilaksanakan pada bulan Maret 2016 sampai dengan April 2016. Lokasi
penelitian yang dipilih adalah Daerah Irigasi Papah, Kabupaten Kulon Progo.
Ungkapan terima kasih tidak terhingga penulis ucapkan kepada Ibu, serta
segenap keluarga atas do’a dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan
kepada Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr Ir Resfa Fitri, MPl St selaku
pembimbing tugas akhir serta Prof (RIS) Ign Djoko Susanto, SKM dan Dr Ir
Djuara P. Lubis, MS yang telah memberikan saran kepada penulis. Terima kasih
juga penulis sampaikan kepada staf pengajar, rekan-rekan Pasca Sarjana Program
Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB serta teman-teman
UGM yang telah menemani dan membantu penulis selama penelitian di
Yogyakarta. Rasa hormat, penulis sampaikan kepada para pengurus Perkumpulan
Petani Pengguna Air yang berada di wilayah Daerah Irigasi Papah, Kabupaten
Kulon Progo, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk hadir
dalam lapanan dan pertemuan di tingkat gabungan, serta bantuannya dalam proses
penelitian. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih juga kepada seluruh pihak
Pemerintah Desa tempat ketujuh belas P3A unit berada, Penyuluh Pertanian dan

Dinas Pekerja Umum.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membaca pada umumnya
dan bagi penulis sendiri khususnya.

Bogor, November 2016
Rizki Mila Amalia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Komunikasi Partisipatif
Prinsip Komunikasi Partisipatif
Dialog Sebagai Inti Komunikasi Partisipatif

Aspirasi (Voice)
Karakteristik Kelompok
Jaringan Sosial
Aksi Kolektif
Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A)
3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Hipotesis
4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi Penelitian
Reliabilitas dan Validitas
Pengumpulan Data
Pengolahan Data dan Analisis Data
Definisi Operasional
5 DESKRIPSI PERKUMPULAN PETANI PENGGUNA AIR DI
DAERAH IRIGASI PAPAH
Gabungan Perkumpulan Petani Penggunan Air Papah
6 JARINGAN KOMUNIKASI DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KARAKTERISTIK P3A

Deskripsi Jaringan Komunikasi P3A
Karakteristik P3A
Jaringan Komunikasi dan Hubungannya dengan Karakter P3A
7 KOMUNIKASI PARTISIPATIF DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG BERHUBUNGAN
Deskripsi Komunikasi Partisipatif
Hubungan antara Karakteristik P3A dengan Komunikasi
Partisipatif
Hubungan antara Jaringan Komunikasi P3A dengan Komunikasi
Partisipatif
8 AKSI
KOLEKTIF
DAN
FAKTOR-FAKTOR
YANG
BERHUBUNGAN
Aksi Kolektif

vii
viii

viii
1
1
3
4
4
5
5
6
8
13
14
17
23
24
27
27
30
30
30
30
31
33
34
36
40
40
45
45
72
77
78
78
82
86
87
87

Aksi Kolektif dan Hubungannya dengan Komunikasi Partisipatif
Hubungan antara Jaringan Komunikasi dengan Aksi Kolektif
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

89
91
92
92
93
94
97
105

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

18
19

20
21

22
23
24

Definisi komunikasi partisipatif dari berbagai sumber
Pendekatan konseptual terhadap komunikasi pembangunan
Tingkatan konfirmasi antar pribadi
Keputusan uji validility faktor analisis
Definisi operasional peubah karakteristik P3A
Definisi operasional peubah komunikasi partisipatif
Definisi operasional jaringan komunikasi P3A
Kondisi P3A di Daerah Irigasi Papah
Distribusi analisis jaringan komunikasi P3A di Gabungan P3A
Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi responden berdasarkan umur di Gabungan P3A Papah,
Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi responden berdasarkan ukuran P3A dalam diskusi rutin
di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi responden berdasarkan pengalaman P3A di Gabungan
P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi responden berdasarkan tingkat kepemimpinan dalam
dialog di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi responden keberadaan norma di Gabungan P3A Papah,
Kabupaten Kulon Progo 2016
Koefisien uji korelasi karakteristik kelompok dengan jaringan
komunikasi
Distribusi responden berdasarkan tingkat kemampuan berdialog
di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Distribusi
responden
berdasarkan
tingkat
kesempatan
mengemukakan aspirasi di Gabungan P3A Papah, Kabupaten
Kulon Progo 2016
Persentase P3A berdasarkan umur kelompok dan kemampuan
berdialog di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Persentase P3A berdasarkan umur kelompok dan kesempatan
mengemukakan aspirasi di Gabungan P3A Papah, Kabupaten
Kulon Progo 2016
Persentase P3A berdasarkan ukuran kelompok dan kemampuan
berdialog di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016
Jumlah dan persentase P3A berdasarkan ukuran kelompok dan
kesempatan mengemukakan aspirasi di Gabungan P3A Papah,
Kabupaten Kulon Progo 2016
Koefisien uji korelasi karakteristik P3A dengan komunikasi
partisipatif
Koefisien uji korelasi komunikasi partisipatif dengan jaringan
komunikasi
Distribusi responden berdasarkan tingkat keikutsertaan dalam aksi
kolektif di Gabungan P3A Papah, Kabupaten Kulon Progo 2016

5
7
10
32
36
37
38
42
70
72
73
73
75
76
78
79

81
82

83
84

84
86
86
88

25 Persentase P3A berdasarkan kemampuan berdialog dan
keikutsertaan aksi kolektif di Gabungan P3A Papah, Kabupaten
Kulon Progo 2016
26 Persentase P3A berdasarkan kesempatan mengemukakan aspirasi
dan keikutsertaan aksi kolektif di Gabungan P3A Papah,
Kabupaten Kulon Progo 2016

89

90

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
20
22

Perbandingan jenis broker
Struktur jaringan komunikasi (Devito 2011)
Kerangka pikir
Skema irigasi GP3A Papah
Jaringan komunikasi Gabungan P3A Papah
Jaringan komunikasi P3A Wargo Rukun
Jaringan komunikasi P3A Suka Makmur
Jaringan komunikasi P3A Sido Dadi
Jaringan komunikasi P3A Sedyo Makmur
Jaringan komunikasi P3A Tani Mulyo
Jaringan komunikasi P3A Suka Bangun
Jaringan komunikasi P3A Tani Maju
Jaringan komunikasi P3A Suka Maju
Jaringan komunikasi P3A Tri Daya Makmur
Jaringan komunikasi P3A Tri Guna Tirta
Jaringan komunikasi P3A Sido Makmur
Jaringan komunikasi P3A Ngudi Lestari
Jaringan komunikasi P3A Sari Makmur
Jaringan komunikasi P3A Sedyo Akur
Jaringan komunikasi P3A Dwi Manunggal
Jaringan komunikasi P3A Jaya Makmur
Jaringan komunikasi P3A Sido Makmur

20
21
29
43
46
48
50
51
53
54
56
57
58
59
61
62
63
64
65
67
68
69

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta Lokasi Penelitian
Hasil Uji Reliabilitas Menggunakan SPSS. 16
Uji Korelasi Rank Spearman Menggunakan SPSS. 16
Analisa Broker Menggunakan UCINET VI
Dokumentasi Penelitian

98
99
99
101
103

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia dengan asupan kalori harian kurang dari 2.000
kilo kalori masih tinggi. Hal ini didasarkan pada hasil analisis Handewi et al.
dalam Rumalean dan Setiawan (2011) yang menyatakan bahwa, berdasarkan data
hasil SUSENAS yang dilakukan BPS tahun 1999, di Indonesia masih terdapat 30
persen rumah tangga yang tergolong rawan pangan Selanjutnya hasil analisis
tersebut didukung oleh data Bappenas (2010) yang diperoleh dari BPS dan
Susenas. Data tersebut menunjukkan bahwa proporsi penduduk dengan asupan
kalori di bawah tingkat konsumsi minumum 1400 Kkal/kapita/hari tahun 2009
sebesar 14,47% mengalami penurunan 2.53% dari tahun 1990 yaitu sebesar 17%,
namun angka tersebut masih sangat jauh dari target MDGS 2015 yaitu 8.50%.
Target mengurangi kerawanan pangan tersebut kemudian bertambah
menjadi target yang lebih tinggi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu
mecapai kedaulatan pangan dengan swasembada pangan yang ditargetkan dicapai
dalam tiga tahun dalam masa jabatan presiden. Berbicara mengenai kerawanan,
kedaulatan ataupun swasembada pangan tentu berkaitan dengan kuantitas
produksi tanaman pangan. Hadi yang dikutip Rachman dan Suryani (2010) dalam
penelitiannya menyatakan secara umum selama periode 2000-2009 produksi
komoditas tanaman pangan meningkat, namun demikian Indonesia masih
dihadapkan pada berbagai kendala dalam meningkatkan produksi pangan.
Kendala tersebut antara lain adalah terus berlanjutnya konversi lahan pertanian ke
non-pertanian, terjadi fenomena iklim yang semakin tidak menentu akibat El Nino
yang menyebabkan penurunan curah hujan, akibatnya terjadi kelangkaan air
(water scarcity), yang selanjutnya akan berimplikasi pada penurunan produksi
pangan (Hadi, Irawan dalam Rachman dan Suryani 2010; Seckler et al., UNEP
dan IWMI dalam Sutrisno dan Heryani 2013).
Selain akibat anomali iklim, ancaman terhadap ketahan air (water security)
juga datang dari arah lain. Pertumbuhan ekonomi mengakibatkan permintaan air
yang lebih besar dari sektor domestik, industri dan pertanian. Sistem tata air alami
diubah oleh penggunaan lahan yang menghasilkan degradasi lahan skala besar,
pencemaran sungai, air tanah, laut pesisir bahkan laut terbuka, serta meningkatkan
dampak dari banjir, kekeringan dan salinasi, termasuk di Indonesia (Seckler et al.,
UNEP and IWMI dalam Sutrisno dan Heryani 2013; Kementrian Pekerja Umum
dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia 2014). Hasan (dalam Sutrisno dan
Heryani 2013) mengatakan dalam mengelola air untuk ketahanan pangan harus
memperhitungkan aspek water security. Untuk mencapai water security
diperlukan adanya investasi nasional dalam pengembangan sumber daya, baik
untuk infrastruktur maupun kelembagaan. Prinsip dari ketahanan air dikaitkan
empat hal yaitu eksesibilitas, berkelanjutan, keamanan dan ketersediaan potensi
air.
Dalam rangka mendukung program nasional swasembada pangan tahun
2015 yang menjadi agenda kerja pemerintahan Presiden Jokowi, dan secara
otomatis berkaitan dengan water security, pemerintah melaksanakan upaya khusus
di antaranya meningkatkan infrastruktur pertanian. Salah satunya berupa kegiatan

2

pengembangan jaringan irigasi guna meningkatkan ketersediaan air di lahan
pertanian. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan indeks pertanaman
dan/atau produktivitas padi.
Indonesia sendiri memiliki suatu lembaga di tingkat grassroot yang
bergerak di bidang pengelolaan air irigasi untuk pertanian, yaitu Perkumpulan
Petani Pengguna air (P3A). Kenyataan yang terjadi, berdasarkan pendapat
Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian (2015), P3A dirasakan belum
secara optimal melaksanakan pengelolaan jaringan irigasi tersier, didukung oleh
pendapat Darma dan Fudjaja (2011) bahwa lahan pertanian anggota P3A masih
mengalami kekurangan air, pembagian air yang tidak merata dan tidak sesuai
jadwal dari daerah hulu ke hilir akibat kurangnya komunikasi di antara mereka.
Salah satu jalan yang ditawarkan pemerintah untuk optimalisasi pengelolaan
jaringan irigasi tersier yaitu dengan membantu meningkatkan pemberdayaan P3A
melalui kegiatan pengembangan jaringan irigasi. Kegiatan pengembangan
jaringan irigasi direncanakan akan dilakukan di 29 provinsi Indonesia.
P3A merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan desentralisasi berupa
penyerahan pengelolaan pengairan irigasi tersier, itu artinya pembangunan
dikendalikan oleh masyarakat sendiri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa fokus
pembangunan bukan lagi pada model pembangunan yang dikendalikan oleh
pemerintah atau pihak lain di luar masyarakat, tetapi sudah bergeser pada
pembangunan yang dikendalikan sendiri oleh masyarakat. Narayan dan Pritchett
(dalam Dasgupta dan Serageldin 2000) mengatakan, bahwa pembangunan yang
dikendalikan oleh masyarakat didefinisikan sebagai sebuah proses di mana
kelompok masyarakat memprakarsai, mengatur dan mengambil aksi untuk
kepentingan bersama atau mencapai tujuan bersama. Pembangunan yang
dikendalikan masyarakat memiliki tiga fitur yang sangat penting yaitu, partisipasi,
kapasitas organisasi lokal atau modal sosial pada level lokal dan demand
orientation. Unsur partisipatif dengan jelas tersurat dalam salah satu tujuan P3A
secara umum (Kementerian Pertanian 2012) yaitu, meningkatkan peran petani
dalam penyelenggaraan irigasi secara partisipatif mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi serta
pengelolaan sumberdaya air untuk peningkatan produksi pangan dan kepentingan
pembangunan pertanian pedesaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak muncul lembaga yang telah
menjadikan partisipasi sebagai basis. Realitas yang terjadi di lapangan tidak
berjalan sesuai dengan gagasan yang diangkat. Program-program yang
mengedepankan komunikasi berbasis partisipatif seharusnya melakukan
komunikasi secara dialogis, melalui dialog-dialog seperti musyawarah dalam
forum, di mana semua stakeholders yang terlibat termasuk masyarakat memiliki
kesamaan akses dalam berpartisipasi. Nyatanya, masih banyak program
pembangunan dengan partisipasi semu.
Banyak program dan lembaga pembangunan yang diinisiasi oleh
pemerintah, masih mengabaikan peran serta masyarakat dalam proses
perancangan hingga evaluasi program, walaupun pengelolaannya mengusung
tema desentralisasi. Masyarakat memiliki keterbatasan dalam menyampaikan
aspirasinya. Kesempatan akan akses untuk mengikuti forum dialog dan
berpendapat di dalamnya tidak diberikan. Proses tersebut seringkali menimbulkan
kesenjangan yang lebar antara program pembangunan yang dilaksanakan

3

pemerintah dengan kebutuhan yang dirasakan masyarakat, sehingga masyarakat
enggan ikut terlibat dalam program pembangunan dan program akan berhenti
ketika ditinggalkan agen atau fasilitator. Padahal Onabajo (2005) berdasarkan
penelitiannya berkaitan dengan kelompok wanita di Nigeria menyatakan bahwa
hanya inisiatif pembangunan yang mendengarkan masyarakat, dengan kata lain
pembangunan melalui pendekatan partisipatif, yang akan menghasilkan komitmen
permanen dan pada gilirannya komitmen permanen menuntun pada pembangunan
berkelanjutan. Program-program yang berbasis partisipatif, namun semu, ini pun
akhirnya tidak ada bedanya dengan program bersifat top-down yang
mengandalkan komunikasi yang searah dari pusat.
Perumusan Masalah
Fenomena partisipasi semu ditunjukkan dengan penemuan Muchlis (2009)
dalam penelitiannya mengenai PNPM MPd. Penelitian tersebut menunjukkan
masyarakat tidak memiliki peluang berpartisipasi dalam musyawarah. Hal ini
ditandai dengan tidak pernahnya masyarakat menerima undangan untuk kegiatan.
Peluang masyarakat dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena
musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator. Kesan yang ditangkap
dalam musyawarah tersebut, forum merupakan “pengumuman” dari pelaku PNPM
MPd sebagai perpanjangan tangan pemerintah, bukan musyawarah yang selalu
mengedepankan dialog untuk menampung aspirasi penerima manfaat
pembangunan. Hal serupa ditemukan dalam penelitian Hermann (2011) di Papua
New Guinea. Hasil penelitian keduanya dengan jelas menggambarkan kondisi
program pembangunan yang berbasis partisipatif tetap saja tidak menjalankan
komunikasi yang dialogis. Contoh memperlihatkan bahwa kegiatan tidak
melibatkan partisipasi masyarakat dan menjalankan model komunikasi
pembangunan difusi informasi, di mana informasi dikuasai oleh fasilitator/ agen
pembangunan dan elit desa dan tidak memberikan kesempatan pada masyarakat
untuk memberikan suaranya.
Proses komunikasi yang tidak partisipatif, dalam penelitian yang
dilakukan Hermann (2011), di antaranya disebabkan oleh situasi di mana
pengalaman penerima manfaat yang kurang baik mengenai program dan tidak
adanya keterlibatan serta dukungan dari pemimpin lokal/formal, penemuan
tersebut dikuatkan oleh penemuan Aminah (2013), yaitu keterlibatan pemimpin
yang rendah rendah (dalam kasusnya adalah tokoh desa) berpengaruh pada
rendahnya komunikasi partisipatif. Kemudian pengalaman berusaha tani, disertai
faktor karakteristik lainnya dari petani seperti umur, pendapatan dan tingkat
penguasaan lahan berpengaruh pada keiikutsertaan petani dalam dialog. Pada
penelitian Aminah (2013) faktor tingkat pendidikan tidak berpengaruh secara
nyata. Goldberg dan Larson (2011) juga mengungkapkan bahwa ada ciri-ciri yang
hanya dapat diukur pada tingkatan kelompok berkaitan dengan komunikasi yaitu
distribusi kepemimpinan dan kemudian norma dalam kelompok. Komunikasi
partisipatif tidak akan terlaksana jika tidak ada kelompok, oleh karena itu, ukuran
kelompok tidak bisa dilepaskan atas hubungannya terhadap komunikasi yang
terjadi dalam kelompok tersebut, diungkapkan juga oleh Devito (1997).
Berdasarkan latar belakang maka perlu untuk menggali lebih lanjut apakah
label partisipatif yang melekat pada P3A berlaku pada komunikasi yang

4

berlangsung di dalamnya. Selanjutnya, apakah ciri-ciri kelompok seperti umur
kelompok, ukuran kelompok, pengalaman kelompok, distribusi kepemimpinan
kelompok dan norma dalam kelompok berhubungan nyata dengan komunikasi
partisipatif yang terjadi dalam kelompok. Peneliti akan mengangkat kasus
komunikasi pada Petani Pengguna Air (P3A) di Daerah Irigasi Papah, Kulon
Progo, DIY.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa masalah yang terjadi tidak
terlepas dari ketidakmerataan pembagian air di wilayah hulu dan hilir. Penelitian
ini tidak akan terlepas dari jaringan komunikasi yang terjalin antara P3A dalam
Daerah Irigasi tersebut untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjalin
antar P3A-P3A tersebut. Selanjutnya, komunikasi partisipatif tidak hanya
mengandung refleksi (pemikiran) masalah dan solusi dari masalah tersebut, tetapi
juga akan menghasilkan sebuah aksi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
(Freire 2000; Tufte dan Mefalopulos 2009). Aksi tersebut tentunya akan dilakukan
secara kolektif untuk menyelesaikan masalah bersama yang dihadapi kelompok.
Oleh karena itu, menjadi penting untuk meneliti lebih jauh bagaimana komunikasi
partisipatif dan jaringan komunikasi serta aksi kolektif dalam pemeliharaan dan
pengelolaan jaringan irigasi yang dilakukan P3A. Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana komunikasi partisipatif, struktur jaringan komunikasi dan aksi
kolektif P3A-P3A di Daerah Irigasi Papah dalam menjalankan fungsi
pemeliharaan dan pengelolaan irigasi?
2. Apakah jaringan komunikasi P3A berhubungan dengan karakteristik P3A?
3. Apakah komunikasi partisipatif P3A dalam menjalankan fungsi pemeliharaan
dan pengelolaan irigasi berhubungan dengan karakteristik P3A dan jaringan
komunikasi P3A?
4. Apakah aksi kolektif P3A dalam menjalankan fungsi pemeliharaan dan
pengelolaan irigasi berhubungan dengan komunikasi partisipatif P3A dan
jaringan komunikasi P3A?
Tujuan Penelitian
1.

2.
3.

4.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
Mendeskripsikan komunikasi partisipatif, struktur jaringan komunikasi dan
aksi kolektif P3A-P3A di Daerah Irigasi Papah dalam menjalankan fungsi
pemeliharaan dan pengelolaan irigasi.
Menganalisis hubungan jaringan komunikasi P3A dengan karakteristik P3A.
Menganalisis hubungan komunikasi partisipatif P3A dalam menjalankan
fungsi pemeliharaan dan pengelolaan irigasi dengan karakteristik P3A dan
jaringan komunikasi P3A.
Menganalisis hubungan aksi kolektif P3A dalam menjalankan fungsi
pemeliharaan dan pengelolaan irigasi dengan komunikasi partisipatif P3A dan
jaringan komunikasi P3A.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan agar dapat berguna bagi:

5

1. Akademisi: Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi
akademisi berkaitan dengan aspek sosial dalam pemeliharaan dan
pengelolaan irigasi oleh P3A, khususnya mengenai komunikasi partisipatif
dan analisis jaringan komunikasinya.
2. Pemerintahan: Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penentu
kebijakan, khususnya pemerintah DIY, dinas terkait dan penyuluhan dalam
menyusun strategi komunikasi berkenaan dengan irigasi dan P3A.
3. P3A: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
komunikasi yang terjadi di dalam P3A, aliran informasi dalam pemeliharaan
dan pengelolaan irigasi, serta dapat pula dijadikan sebagai input dalam
perbaikan strategi komunikasi antar P3A, dan antara P3A dengan
stakeholders terkait, agar mencapai sistem irigasi yang berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Komunikasi Partisipatif
Tabel 1 Definisi komunikasi partisipatif dari berbagai sumber
Penulis
Definisi
Goldberg
Bidang studi, penelitian dan terapan yang
dan Larson menitikberatkan perhatian pada tingkah laku individu
(2011)
dalam diskusi (gejala-gejala komunikasi) kelompok
tatap muka yang kecil dan segala sesuatu yang
terjadi pada saat individu-individu berinteraksi dalam
kelompok kecil.
Bessette
Aktifitas didasarkan pada proses-proses partisipatif
(2004)
dan pemanfaatan media komunikasi dan komunikasi
tatap muka, dengan tujuan untuk memfasilitasi
dialog di antara pemangku kepentingan berbeda,
yang berkisar pada perumusan masalah atau sasaran
pembangunan bersama, mengembangkan dan
melaksanakan atau menjabarkan seperangkat
aktifitas yang memberikan kontribusi untuk mencari
solusi yang didukung bersama.
Rockefeller Proses dari dialog publik dan privat yang dilalui agar
process
orang mampu mendendefinisikan siapa mereka, apa
dalam Tufte yang
mereka
inginkan
dan
bagaimana
dan
mendapatkannya dalam rangka meningkatkan
Mefalopulos kehidupan mereka.
2009)
Kheerajit
Pergantian dari dominan paradigma top-down ke
dan
Flor self-development di mana penduduk desa dan urban
(2013)
poor merupakan pemangku kepentingan utama.

Keterangan
Diskusi;
interaksi;
kelompok
kecil

Dialog;
Pemangku
kepentingan

Dialog

Pertukaran
informasi;
Pemangku
kepentingan

6

Tabel 1 Definisi komunikasi partisipatif dari berbagai sumber (lanjutan)
Penulis

Definisi
Partisipasi adalah pertukaran informasi dari kedua
bagian antara masyarakat dan organisasi.
Masyarakat atau akar rumput mengidentifikasikan
masalah dan solusinya, dan diberikan kesempatan
untuk mengambil keputusan.
Nair
and Dialog terbuka, sumber dan penerima yang
White
berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara
(2004)
konstruktif situasi, mengidentifikasikan kebutuhan
dan permasalahan, memutuskan apa yang dibutuhkan
untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi
tersebut.

Keterangan

Dialog;
Interaksi
kontinyu

Berbagai definisi pada Tabel 1, menujukkan bahwa penekanan dari
komunikasi partisipatif terletak pada aktivitas dialog yang melibatkan pemangku
kepentingan, yang memungkinkan mereka berinteraksi secara kontinyu dan
bertukar informasi dalam kelompok kecil untuk merefleksikan situasi, kebutuhan,
perumusan masalah dan solusi, yang diputuskan secara bersama.

Prinsip Komunikasi Partisipatif
Menurut Servaes dalam Hadiyanto (2008), komunikasi pembangunan
partisipatif sebagai model partisipatif dalam komunikasi dan pembangunan yang
pada dasarnya merupakan ‘organic model” sebagai lawan dari “mechanistic
model” dari teori difusi inovasi. Komunikasi partisipatif muncul bersama Teori
Penyadaran Freire, sejak 1950an, tepatnya saat Paulo Freire bekerja dengan
kampanye melek huruf pada orang dewasa di antara petani miskin di Brazil. Tufte
dan Mefalopulos (2009) menjelaskan bahwa inti dari pemikirannya menekankan
pada keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) dalam proses
pembangunan dan menentukan hasilnya, daripada menentukan hasil sebelumnya
(sudah diputuskan oleh aktor eksternal).
Teori penyadaran muncul dan membiasakan rakyat mengenal kemampuan
mereka sendiri. Kontribusi komunikasi yaitu usaha memberikan peranan pada
rakyat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat ditempuh
melalui usaha pendidikan yang berarti juga melalui komunikasi, karena
pendidikan bukan hanya pengalihan pengetahuan, melainkan perjumpaan antar
subjek-subjek dalam dialog, dalam rangka usaha mencari objek pengetahuan dan
pemikiran (Freire 2000).
Kheerajit dan Flor (2013) menambahkan pendapat Freire (2000),
komunikasi partisipasi, terutama pada penelitiannya mengenai manajemen sumber
daya, bukan hanya seperangkat teknik untuk merubah pengetahuan, sikap dan
praktek dari pemangku kepentingan. Mereka harus sukarela terlibat dalam
aktivitas manajemen sumber daya alam sebagai bagian mendapatkan pemahaman
kritis kenapa mereka melakukan sesuatu. Jika mereka mengerti kenapa dan

7

sukarela mengubah aktivitas mereka, perubahan tersebut mungkin akan lebih
lama (long lasting).
Tabel 2 Pendekatan konseptual terhadap komunikasi pembangunan
Komunikasi
pembangunan

Definisi
masalah
Gagasan
mengenai
budaya
Gagasan
mengenai
katalisator

Gagasan
mengenai
pendidikan
Gagasan
mengenai
kelompok
acuan
Bagaimana
berkomunikasi

Model difusi
(komunikasi
satu arah/
monolog)
Kesenjangan
informasi
Penghambat

The Life Skill
Model

Model partisipatif
(komunikasi dua arah/
dialogis)

Kesenjangan
informasi dan
keterampilan
Sekutu

Kesenjangan
keikutsertaan
stakeholders
Cara untuk hidup

Agen
Katalisator
perubahan dari eksternal dalam
luar
persekutuan
dengan
komunitas
Banking
Keterampilan
pedagogy
hidup, pendidikan

Kerjasama antara agen
ekternal dan internal

Pasif:
target Aktif: target
khalayak
kelompok
pelatihan

Aktif: target penduduk/
stakeholders

Liberating
pedagogy
(gaya pendidikan bebas)

Pesan
untuk Pesan dan
mempersuasi
pengalaman

Keikutsertaan
isu-isu
sosial,
penyelesaian
masalah, dialog
Gagasan utama Perilaku
Perilaku individu, Perilaku individu dan
mengenai
individu
norma sosial, dan sosial, norma sosial,
perubahan
pembelajaran
hubungan kekuasaan
melalui
pengalaman
Hasil
yang Perubahan
Perubahan
Proses artikulasi politik
diharapkan
perilaku
perilaku individu, dan sosial, perubahan
individu, hasil meningkatkan
berkelanjutan,
aksi
menurut angka keterampilan
kolektif
Durasi aktivitas Jangka pendek Jangka pendek
Jangka menengah dan
dan menengah dan menengah
panjang
Sumber: Tufte dan Mefalopulos (2009)
Tufte dan Mefalopulos (2009) merangkum pendekatan konseptual
terhadap komunikasi pembangunan dalam kerangka kerja heuristik yang
diperlihatkan dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 berisi sembilan parameter (di
kolom kiri) yang merupakan sebuah daftar kerja konseptual untuk bekerja dalam
tahap awal pengembangan strategi komunikasi partisipatif. Dengan demikian,

8

kejelasan konseptual akan muncul dari mendiskusikan parameter tersebut. Tufte
dan Mefalopulos (2009) lebih lanjut mengajukan beberapa prisip pokok
komunikasi partisipatif. Prinsip ini hasil dari pemikir yang berpengaruh secara
global dan berkontribusi terhadap kerangka kerja yang mana komunikasi
partisipatif dikembangkan, yaitu dialog (dialogue), aspirasi (voice), gaya
pendidikan bebas (liberating pedagogy) dan aksi-refleksi-aksi.
Dialog Sebagai Inti Komunikasi Partisipatif
Dialog terjadi ketika partisipan berinteraksi dalam waktu yang sama untuk
berbagi makna dengan kekuatan yang seimbang dan setara (White and Nair 2004).
Fraire (2000) menyatakan dialog akan menjadi sebuah bentuk hubungan
horizontal di mana sikap saling mempercayai antara para pelakunya merupakan
sebuah konsekuensi yang logis (atau dengan kata lain kepercayaan dibentuk dari
dialog). Suatu iklim saling mempercayai akan mengarahkan orang-orang yang
terlibat di dalamnya untuk bekerjasama. Di sisi lain, Mardikanto (2010)
mengungkapkan keberhasilan komunikasi partisipatif mensyaratkan adanya
kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah maupun perusahaan pembuat
program kepada masyarakat penerima manfaat untuk terlibat secara aktif di dalam
proses pembangunan.
Pengertian dialog sendiri berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan
dalam literatur lain dapat diringkas menjadi, aktivitas pertukaran makna, infomasi,
pengetahuan, dan pengalaman (Nair and White 2004, Aminah 2013, Rogers and
Kincaid 1981, Chitnis 2005, Goldberd dan Larson 2011, Kheerajit dan Flor 2013)
dengan disertai rasa saling percaya antara orang-orang yang terlibat di dalamnya
(Freire 2000, Mardikanto 2010), yang mana mereka memiliki kekuatan dan hak
yang setara untuk berbicara dan mendengar (Nair and White 2004, Rahim 2004),
membentuk ke arah saling pengertian dan persetujuan bersama (Rogers and
Kincaid 1981).
Pertukaran ide, informasi atau fakta-fakta yang terjadi dalam dialog,
berkaitan dengan yang teori Rogers and Kincaid (1981) mengenai convergance
model, di mana dalam komunikasi harus memperhatikan kebutuhan dan adanya
saling berbagi pengetahuan. Pertanyaan utama dari model ini adalah “who is
talking back to the who talk to them”, membentuk arah saling pengertian,
persetujuan bersama dan aksi kolektif. Rahim (2004) berargumen bahwa esensis
dialog adalah pengakuan (recognition) dan penghormatan (respect) untuk
pembicara lain. Dalam dialog setiap orang memiliki hak yang sama untuk
berbicara dan mendengar dan untuk mengharapkan suara mereka tidak tertindas
oleh suara yang lain. Menurut Goldberg dan Larson (2011), anggota kelompok
yang saling menanggapai satu sama lain akan mempengaruhi efektifitas kerja
mereka.
Sieburg (dalam Goldberg dan Larson 2011) menggali suatu dimensi yang
ternyata dapat dibuktikan sebagai indikator-indikator pengamatan terbaik untuk
membedakan komunikasi kelompok yang fungsional maupun yang tidak. Sieburg
telah mengembangkan suatu metode untuk mengamati komunikasi kelompok
sehubungan dengan apakah tindakan komunikasi para anggota itu bersifat
menegaskan (confirming) atau tidak menegaskan (misconfirming), yang bertolak
dari pengenalan tentang cara-cara bagaimana seseorang menanggapi tindakan

9

komunikatif orang lain yang terjadi sebelumnya. Tanggapan menegaskan adalah
tanggapan yang mengharuskan adanya pengakuan dan perhatian terhadap orang
lain dan dalam beberapa kasus kemauan untuk berafiliasi. Tanggapan yang tidak
menegaskan terjadi bila tidak menghargai pribadi orang lain, kegagalan
memberikan perhatian dan dalam beberapa kasus keenganan untuk berafiliasi
dengan orang lain.
Berikut merupakan tanggapan-tangapan yang tidak
menegaskan menurut Sieburg:
1. Tanggapan yang tertahan (impervious response), apabila seorang pembicara
gagal untuk menanggapi atau bila seseorang mengabaikan orang lain dengan
cara tidak menghiraukan komunikasi orang lain.
2. Tanggapan yang mengganggu (interrupting response), apabila seorang
pembicara memotong pembicaraan orang lain.
3. Tanggapan yang tidak relevan (irrelevant response), bila seorang pembicara
memberi tanggapan yang tidak berhubungan dengan apa yang dikatakan orang
lain atau apabila seorang pembicara tanpa peringatan memperkenalkan topik
baru atau kembali pada topik semula, sehingga jelas-jelas tidak
memperdulikan pembicaraan yang tidak berlangsung.
4. Tanggapan yang berbelit (tangential response), bila seseorang pembicara
menanggapi komunikasi orang lain tapi langsung mengalihkan pembicaraan
mereka ke arah lain. Kadang-kadang seseorang menunjukkan apa yang
kelihatannya sebagai tanggapan langsung terhadap orang lain, seperti
misalnya: Ya, tetapi . . .” atau “Ya, mungkin anda benar, tetapi . . .” yang
kemudian isinya ternyata berbeda dari atau tidak berhubungan dengan isi
komunikasi sebelumnya.
5. Tanggapan yang tidak pribadi (impersonal response), apabila seorang
pembicara berbicara secara monolog, berisi beberapa pernyataan orang
pertama, dan beberapa kalimat yang disebut secara umum dengan
menggunakan kata-kata “kalian” atau “seseorang” dan sarat dengan kata-kata
yang “menghaluskan arti” atau kata-kata klise.
6. Tanggapan yang membingungkan (incoherent response), apabila seorang
pembicara ditanggapi dengan menggunakan kalimat-kalimat yang tidak
lengkap, dengan pernyataan yang sulit diikuti, dengan kaliman berisi
penelusuran kembali atau penyisipan kata seperti “anda tentu tahu” atau
“maksud saya.”
7. Tanggapan yang tidak layak (incongruous response), apabila seorang
berbicara dengan tingkah laku yang nonvokal, yang seolah-olah tidak
konsisten dengan isi vokal. Misalnya: “Siapa yang marah? Saya tidak marah!”
(pernyataan ini dikatakan dengan nada dan volume suara yang keras dan
kedengaran marah).
Sieburg juga menyebutkan tanggapan yang menegaskan, diuraikan sebagai
berikut:
1. Pengakuan langsung (direct acknowlegment). Seorang pembicara
menghiraukan komunikasi orang lain dan beraksi secara langsung dan verbal.
2. Persetujuan tentang isi (agreement about content). Seorang pembicara
mengiyakan atau mendukung informasi atau pendapat yang dinyatakan orang
lain.

10

3. Tanggapan yang mendukung (supportive response) seorang pembicara
menyatakan pengertiannya terhadap orang lain memberi jaminan atau
mencoba agar membuat orang lain merasa senang.
4. Tanggapan yang menjelaskan (clarifying response). Seorang pembicara
mencoba menjelaskan isi dari pesan atau perasaan orang lain. Bentuk yang
biasa dari tanggapan yang menjelaskan adalah untuk memancing informasi
lebih banyak, mendorong orang lain untuk berbicara terus, atau mengulangi
untuk menyelidiki apa yang dikatakan.
5. Pengungkapan perasaan yang positif (expression of positive feeling).
Seseorang melukiskan perasaan sendiri secara positif terhadap pernyataan
yang dikemukakan orang lain.
Konfirmasi dan diskonfirmasi, masing-masing diasumsikan terjadi dalam
tiga tingkatan. Konfirmasi pada tingkatan ketiga menunjukkan ada konfirmasi
pada tingkatan yang lebih rendah. sedangkan dengan diskonfirmasi tata urutan
tingkatannya adalah sebaliknya. Tingkatan satu pada diskonfirmasi adalah yang
paling ekstrim. Penataan dari tanggapan yang menegaskan dan yang tidak
menegaskan menurut tingkatan-tingkatannya dikemukakan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Tingkatan konfirmasi antar pribadi
TINGKAT
KONFIRMASI
Tingkatan
PENGAKUAN
I
(ACKNOWLEDGMENT)
Melihat pada orang yang
jadi lawan berbicara; ada
kontak mata dengan dia;
memberi
perhatian
tanpa
terlibat pembicaraan dengan
orang lain atau melakukan
tugas lain. Berbicara langsung
dengan orang yang diajak
bicara.

Tingkatan
II

A. TANGGAPAN
YANG
BERHUBUNGAN
(ISI)
(CONJUCTIVE
RESPONSE)
Memberi komentar yang
ada
hubungan
dengan
komunikasi orang sebelumnya.
Menanggapi secara langsung
dan mengenai subjek yang
sama seperti orang lain.
Memberi
jawaban-jawaban
yang tepat
atas pertanyaan atau

DISKONFIRMASI
TERTAHAN
(IMPERVIOUSNESS)
Memalingkan muka dari
orang lain; menghindarkan kontak
mata;
tidak
acuh;
tidak
memperhatikan
orang
lain;
mengganggu; berbicara dengan
orang lain, atau mengerjakan
tugas lain selagi orang lain sedang
berbicara; tetap diam; tidak ada
tanggapan pada saat diperlukan;
meninggalkan tempat selagi orang
lain sedang berbicara
TANGGAPAN
YANG
TIDAK
BERHUBUNGAN
(DISJUNCTIVE RESPONSE)
Memberi komentar yang tidak ada
hubungan baik dengan isi
komunikasi
maupun
dengan
keadaan emosional pembicara.
Beralih ke topik lain tanpa
memberi tahu atau menjelaskan
alasannya kenapa ia mengalihkan
pembicaraan. Kasus-kasus lain
yang harus diperhitungkan dalam
pengelompokan ini adalah :

11

Tabel 3 Tingkatan konfirmasi antar pribadi (lanjutan)
TINGKAT

Tingkatan
III

KONFIRMASI
menyatakan
dengan
jelas
maksud untuk tidak menjawab
suatu pertanyaan (“Saya tidak
akan menjawab pertanyaan.”)
A. TANGGAPAN YANG
BERHUBUNGAN
(EMOTION)
Berhubungan
dengan
perasaan memberi komentar
yang orang lain; menyatakan
kesimpulannya tentang keadaan
emosi orang lain (“Anda
kedengarannya marah pada
saya”); memperjelas perasaan
orang
lain,
baik
yang
dinyatakan
maupun
yang
diperkirakan.
Menyadari perasaan-perasaan
orang lain, tanpa memberi
penilaian.
TANGGAPAN
YANG
AFILIATIF
(AFFILIATIVE
RESPONSE)
Membuka diri pada orang
lain dengan cara sebagai
berikut:
1. Berbicara dengan kalimat
yang lengkap dan tidak
terputus-putus . Acuannya
jelas,
kata-kata dan
pernyataan digunakan dalam
cara yang bisa diterima;
pernyataan bebas dari katakata
klise
dan
yang
berlebihan; termasuk juga
pengulangan kata (dan katakata yang tidak perlu
“Seperti
yang
anda
ketahui”).
2. Menyatakan
perasaannya
sendiri secara bebas dan
bertanggung jawab
atas
pernyataannya.

1.
2.

3.

4.

5.

DISKONFIRMASI
Memotong pembicaraan orang.
Kembali ke tema sebelumnya,
tanpa mengindahkan interaksi
yang sedang berlangsung.
Menanggapi secara berbelitbelit dengan cara memberi
reaksi pada hal-hal sampingan
dari permasalahan utama.
Menjawab pertanyaan secara
menyimpang
atau
tidak
sepenuhnya
Secara verbal mengingkari
peryataan emosi orang lain
(“Anda
tidak
betul-betul
merasa seperti itu.”).

6. Menilai

perasaan orang lain
secara negatif dengan cara
menyatakan bahwa dia tidak
seharusnya merasakan seperti itu.

TANGGAPAN YANG TIDAK
AFILIATIF (DISAFFILIATIVE
RESPONSE)
Menutupi-nutupi diri atau
menghindari tanggung jawab atas
komunikasinya sendiri dalam
salah satu dari cara-cara di bawah
ini :
1. Komunikasi kabur dan sulit
diikuti; kalimatnya terputusputus, tidak lengkap, dan tidak
teratur; pembicaraan sarat
dengan kata-kata, tidak berarti,
pengungkapan kembali yang
tidak berarti serta awal yang
salah, acuannya tidak pasti.
Kata-kata dan pernyataannya
mempunyai arti ganda atau
seolah-olah mempunyai arti
khusus bagi si pembaca.

2. Pembicara menghindari dalam
menyatakan emosinya meskipun
dalam
menanggapi
suatu
pernyataan langsung atau

12

Tabel 3 Tingkatan konfirmasi antar pribadi (lanjutan)
TINGKAT
KONFIRMASI
DISKONFIRMASI
mengingkari perasaannya sendiri.
Tingkatan 3. Menggunakan
orang
Berusaha menghindari kata-kata
III
pertama bila perlu sebagai
yang terlalu bersifat pribadi
pengganti kata “seorang”
dengan menggunakan kata-kata
atau “anda” atau yang lebih
seperti “seorang,” “anda” atau
umum seperti “kami”
“kami” di mana sebenarnya
4. Pesan verbal seolah-olah
penggunaan kata “saya” lebih
cocok dengan tanda-tanda
tepat.
nonverbal; mimik, isyarat,
2.
Pesan verbal seolah-olah tidak
gerakan badan, nada suara
konsisten dengan tanda nondan pakaian.
verbal dan nada suara, ekspresi
muka, isyarat, gerakan badan
atau pakaian. Menunjukkan
perhatian yang tidak cocok
dengan isi pesan.
Sistem kepercayaan, yang dikelompokkan sebagai peubah persepsi,
mempengaruhi para anggota pada saat mereka saling berinteraksi (Goldberg dan
Larson 2011), seperti yang dikatakan oleh Freire (2000) dan Mardikanto (2010)
bahwa dalam berbagi pengetahuan harus disertai dengan disertai rasa saling
percaya antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai kata benda, trust
berarti kepercayaan, keyakinan atau juga rasa percaya. Trust sebagai kata kerja
berarti proses mempercayai sesuatu yang jelas sasarannya. Fukuyama (1996)
dalam bukunya yang berjudul Trust kurang menjelaskan pengertian konsep
tersebut, walaupun secara implisit pengertiannya menyangkut percaya akan orang,
akan kelompok, akan keluarga dan bahkan akan negara (Lawang 2005).
Robert Putnam menyatakan kepercayaan penting bagi masyarakat untuk
bisa bekerja sama dan berpartisipasi dalam berbagai kelompok dalam masyarakat
sipil. Penemuan berkaitan dengan kepercayaan dilakukan Smith. Smith
menyatakan orang-orang yang lebih tua cenderung lebih percaya ketimbang
orang-orang muda, orang-orang yang religius lebih percaya ketimbang orangorang yang tidak religius. Kepercayaan berkorelasi dengan pendapat atau bahkan
lebih banyak berkaitan dengan pendidikan: orang-orang yang mengenyam
pendidikan universitas dan pendidikan tinggi cenderung memiliki pandangan yang
relatif baik tentang dunia (Fukuyama 2007).
Fukuyama (2007) melanjutkan, kepercayaan merupakan efek samping dari
kebajikan, ia muncul ketika masyarakat saling berbagi norma-norma kejujuran
dan kesediaan untuk saling menolong dan oleh karenanya mampu bekerja sama
satu dengan yang lain. Kepercayaan dihancurkan oleh sikap mementingkan diri
sendiri yang eksesif atau oportunisme.
Mereka yang menganut pandangan mengenai hubungan antara kepercayaan
dan risiko memiliki hipotesis utama yaitu: semakin tinggi saling percaya antara
mereka yang bekerja sama, semakin kurang resiko yang ditanggung, dan semakin
kurang pula biaya (uang atau sosial) yang dikeluarkan. Sejalan dengan hipotesis
ini, konsep kepercayaan menurut Mӧllering menunjuk pada suatu ‘keadaan yang

13

mengharapkan orang lain bertindak dan bermaksud baik bagi kita’ (Mӧllering
2001: 404 dalam Lawang 2005).
Aspirasi (Voice)
Inti dari komunikasi dialogis adalah kesadaran terhadap hubungan
kekuasaan yang terkandung dalam setiap hubungan manusia. Perhatian Freire
adalah pergeseran kekuasaan, pemberian kekuasaan terhadap kelompok yang
terpinggirkan, waktu dan ruang untuk mengartikulasikan persoalan mereka, untuk
mendefinisikan masalah mereka, untuk menyusun solusi, dan untuk bertindak.
Peran media dalam komunikasi partisipatif memiliki perhatian yang sama.
Mendukung dan menguatkan media komunitas dapat menjamin kelompok yang
paling terpinggirkan memiliki panggung untuk menyuarakan persoalan mereka,
terlibat dalam diskusi publik dan penyelesaian masalah. Hal tersebut menekankan
bahwa diperlukan kesempatan yang diberikan pemerintah atau penyelenggara
program pembangunan agar mereka dapat dengan bebas dan terbuka menyuarakan
suara (aspirasi/ voice) mereka (Tufte dan Mefalopulos 2009, Mardikanto 2010).
Chitnis (2005) menyatakan proses pemberdayaan dengan melibatkan
aspirasi anggota kelompok dalam dialog dilakukan dalam berbagai kegiatan
berikut:
1. Berbagi pengetahuan bersama, dalam proses ini anggota kelompok saling
berbagi informasi, sementara itu change agent membantu memfasilitasi
jalannya diskusi. adanya kegiatan ini mampu membangun kepercayaan diri
anggota kelompok dan membuat mereka mau saling belajar dengan mitra
sejajarnya.
2. Memahami kapasitas diri melalui dialog. Cara ini dilakukan dengan berdiskusi
mengenai pengalaman para anggota kelompok baik yang telah lebih dulu
berpengalaman maupun pengalaman dari anggota yang baru melalui dialog
bersama, sehingga setelah adanya diskusi pengetahuan dan keterampilan
anggota kelompok yang baru menjadi bertambah.
3. Belajar dari mitra sejajar (peer learning). Kegiatan ini merupakan diskusi yang
dilakukan dari berbagai kelompok yang mempunyai tujuan pembangunan yang
sama.
4. Mengatasi norma sosial. Penelitian pada program pembangunan yang diteliti
Chitnis di India, menunjukkan masyarakat masih menganut sistem kasta.
Program pembangunan mencoba untuk mengaburkan sistem kasta yang masih
dipegang kuat oleh anggota kelompok dengan cara duduk bersama, berdialog
dan bekerja bersama sehingga perlahan-lahan anggota masyarakat dari kasta
atas mulai mau berinteraksi dengan kasta bawah.
Dengan memanfaatkan Analisis Proses Interkasi dari Bales dan hasil
pengelompokkan Gouran dan Baird dalam penelitiannya (dalam Goldberg d