Analisis Potensi Pajak Daerah Untuk Peningkatan Kapasitas Fiskal Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Sulawesi Utara

ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH UNTUK PENGUATAN
KAPASITAS FISKAL KABUPATEN DAN KOTA DI
PROVINSI SULAWESI UTARA

SHERLY ERING

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Potensi Pajak
Daerah Untuk Penguatan Kapasitas Fiskal Kabupaten dan Kota di Sulawesi Utara
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Sherly Ering
NIM H252130055

RINGKASAN
SHERLY ERING. Analisis Potensi Pajak Daerah Untuk Peningkatan Kapasitas
Fiskal Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh DEDI
BUDIMAN HAKIM dan BAMBANG JUANDA.
Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter dalam
menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah
pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dari sumber-sumber yang dikelola
oleh pemerintah daerah itu sendiri (PAD). Salah satu pendapatan utama yang
secara potensial memperbesar kapasitas fiskal daerah adalah pajak daerah. Pajak
daerah yang diterapkan dalam rangka pelaksanaan desentralsasi fiskal diharapkan
mampu memberikan penerimaan yang signifikan dan memperbesar kemampuan
daerah dalam membiayai pelayanan publiknya.
Berdasarkan data yang ada, penerimaan pajak daerah di kabupaten dan kota
di Sulawesi Utara di terhadap total penerimaan daerah di Tahun 2005 sebesar
7.6% dan di Tahun 2014 meningkat menjadi 9.7%. Perubahan penerimaan sebesar

2.1% dalam kurun waktu 10 tahun tergolong kecil. Kontribusi pajak daerah yang
kurang dari 10% ditambah perubahan yang cenderung kecil merupakan indikasi
kurang baiknya kinerja pajak daerah di Sulawesi Utara. Penerimaan pajak daerah
yang tergolong kecil dapat mempengaruhi budget pemerintah dan keputusan
pelayanan publiknya.
Permasalahan dalam pengelolaan pajak daerah yang merupakan unsur utama
PAD ini terutama disebabkan oleh terbatasnya kemampuan daerah dalam
mengidentifikasi dan mengestimasi besar potensi pajak yang dimilikinya. Besar
potensi pajak akan menjadi dasar dalam penentuan target penerimaan per jenis
pajak bagi daerah. Penghitungan potensi masih terbatas pada pendekatan
incremental yaitu keinginan untuk selalu menaikkan penerimaan pajak tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah.
Penelitian ini mempunyai dua tiga tujuan utama yaitu: (1) untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pajak daerah; (2)
untuk menganalisis pengaruh interaksi faktor-faktor yang mempengaruhi potensi
pajak daerah; (3) menghitung potensi riil salah satu jenis pajak daerah yaitu pajak
restoran sehingga mendapatkan perbandingan antara penerimaan dengan potensi
yang sesungguhnya.
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang diperkirakan menjadi
faktor yang mempengaruhi potensi pajak daerah. Variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian adalah pendapatan per kapita, tingkat pendidikan,
share sektor non pertanian, dan angkatan kerja. Analisis regresi menggunakan
metode data panel menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi potensi
pajak daerah adalah pendapatan per kapita, pendidikan, dan sektor non pertanian.
Hasil perhitungan potensi pajak restoran menunjukkan bahwa penerimaan daerah
atas pajak restoran masih jauh dari potensi yang sesungguhya.
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan atas pajak daerah
harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pajak. Strategi
yang meningkatkan perkembangan dan kemajuan ekonomi perlu dirancang oleh
pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan atas pajak daerah.
Perkenomian daerah yang berkembang akan meningkatkan pendapatan per kapita,

memperbesar sektor industri dan perdagangan, serta mengubah sistem pertanian
menjadi pertanian produksi. Dengan demikian kinerja penerimaan pajak daerah
akan mengalami peningkatan.
Kata kunci: pajak daerah, kapasitas fiskal, potensi pajak

SUMMARY
SHERLY ERING. An Analysis on North Sulawesi’s Local Tax Potential To
Strenghtening Fiscal Capacity. Supervised by DEDI BUDIMAN HAKIM and

BAMBANG JUANDA.
The main source of revenue mostly used as parameter to determine the
degree of fiscal autonomy in a region is the income received from local sources
(PAD) managed by local government itself. Local tax is one of the local source of
income which potentially increase the fiscal capacity. Local tax in fiscal
decentralization regime is expected to provide significant revenue and magnify
the local government ability to provide public goods and services.
North Sulawesi tax performance data showed that in 2005 ratio of local tax
to total revenue was about 7.6 percent and in 2014 rose to 9.7 percent. The
revenue change in ten years only 2.1%. The small contribution combined with
slow change on local tax performance in North Sulawesi region indicates poor tax
administration. The low local tax revenue tendency would affect government
budget. As government budget is still restricted – and still need revenue from
local tax. Small of government budget influence the decision of local government
to decrease financing on public goods and services. The main purpose of taxation
is to generate sufficient revenue to finanace public sector activities.
The problem in local tax performance as a main revenue source of PAD can
be detected in its management. Limitation of the local government ability to
identify and estimated their tax potential could be a major problem on local tax
revenue performance in North Sulawesi’s. Estimation on the tax potential in these

days limited to the incremental approach, as a desire to always increase tax
revenue without considering determinant factors of the local tax potential. The
development of a country or a region depends on realizing the potential of
taxation.
This study try to are: (1) to identify determinant factors of local tax
revenue; (2) to analys the interaction of the determinants factorof tax potential,
and (3) to estimate restaurant tax potential to obtain comparison of tax revenue
and its potential.
The result of analysis with panel data estimation showed factors as follows:
per capita GDRP, high school student, and non-agriculture sector served as
determinant factors to local tax potential. Estimation on restaurant tax confirmed
the gap between tax revenue and tax potential. Revenue from tax restaurant is
below than its potential.
The design of government policy should notice the determinant factors of
local tax revenue. Good strategy design on region economic development required
by local government if they want to improve their tax revenue performance. The
development on the regional economic would improve the per capita income,
magnify the industrial and commerce sector, and change the agriculture system
from subsistence to the agriculture production system. The highly per capita
income as well as the magnitude of non-agriculture sector of regional economics

structure indicates the breadth of the tax base. More advanced the economics of a
region, better its revenue from local tax.
Keywords: local tax, tax potential, fiscal capacity

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS POTENSI PAJAK DAERAH UNTUK
PENINGKATAN KAPASITAS FISKAL KABUPATEN DAN
KOTA DI SULAWESI UTARA

SHERLY ERING


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional
pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis: Dr. A. Faroby Falatehan, SE, ME

Judul Tesis : Analisis Potensi Pajak Daerah Untuk Peningkatan Kapasitas Fiskal
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara
Nama
: Sherly Ering
NIM
: H252130055
Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc
Ketua

Prof.Dr.Ir. Bambang Juanda, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
25 Agustus 2016


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2015 ini ialah pajak daerah,
dengan judul Analisis Potensi Pajak Daerah Untuk Penguatan Kapasitas Fiskal
Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulasesi Utara. Penelitian terhadap pajak daerah
penting menurut penulis karena pajak daerah merupakan salah satu instrument
penting dalam kelancaran pembangunan suatu daerah. Dengan demikian hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi bagi para
pengambil kebijakan dalam merancang dan mengevaluasi pembangunan di
daerah.
Karya ilmiah ini berhasil diselesaikan atas kerjasama dengan para
pembimbing. Terima kasih yang tulus dan mendalam penulis sampaikan kepada
Bapak Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc dan Bapak Prof Dr Ir Bambang
Juanda, MS selaku pembimbing atas ilmu dan pengetahuan yang dibagi kepada
saya, atas kepercayaan yang besar, atas kesabaran dan perhatian, serta waktu yang
diluangkan untuk diskusi-diskusi maupun perbaikan terhadap karya ilmiah ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bupati Minahasa Utara dan Kepala
Badan Kepegawaian Daerah Bapak Drs Aldrin Posumah MSi atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB. Terima kasih
kepada Kepala Bidang Pajak Ibu Julie Uguy SH serta seluruh staf Dinas
Pendapatan Kabupaten Minahasa Utara yang telah membantu selama
pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua, saudara dan
sahabat atas dukungan yang diberikan selama penyelesaian karya ilmiah ini.
Terima kasih secara khusus kepada adik penulis Christian Riedel atas semangat
dan motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Sherly Ering

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Desentralisasi Fiskal
Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal
Konsep Pajak dan Pajak Daerah
Potensi Pajak
Teori Pajak Optimum
Konsep Keuangan Publik
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian Terdahulu
Hipotesis Penelitian

9
9
11
12
15
15
16
17
18
20

3 METODE
Kerangka Alur Penelitian
Metode Analisis Data Panel
Metode Analisis Potensi Pajak Restoran

21
21
23
26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perekonomian Sulawesi Utara
Kinerja Penerimaan Pajak Daerah Terhadap PDRB
Variabel Yang Digunakan Sebagai Determinan Potensi Pajak Lokal
Hasil Analisis Regresi Data Panel
Hasil Analisis Potensi Pajak Restoran

29
29
29
33
36
44

5 PERANCANGAN PROGRAM
51
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Melalui Peningkatan
Penerimaan Pajak Daerah
53
Strategi Untuk Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Terhadap Penerimaan
Pajak Daerah
54
Syarat Keberhasilan Program
55
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

56
56
56

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

62

RIWAYAT HIDUP

92

DAFTAR TABEL
1. Perkembangan dana transfer ke Provinsi Sulawesi Utara (juta
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

rupiah)
Perbandingan besaran kapasitas fiskal dengan DAU di Provinsi
Sulawesi Utara (Juta Rupiah)
Kapasitas Fiskal di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2005-2014 (Juta
Rupiah)
Perbandingan total pendapatan daerah dan penerimaan pajak
Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2005-2014 (Juta Rupiah)
Jumlah RM observasi dan jumlah keseluruhan RM di Kota
Airmadidi
Penerimaan pajak daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Utara (persen dari PDRB)
Rataan semua variabel yang digunakan sebagai determinan potensi
Pajak Daerah
Hasil estimasi data panel menggunakan Eviews 6.0
Data penerimaan pajak restoran Kabupaten Minahasa Utara Tahun
2015
Jumlah restoran dan restoran sampel di Airmadidi Kab.Minahasa
Utara
Nilai omzet restoran di Airmadidi
Nilai potensi pajak restoran di Airmadidi
Perbandingan penerimaan pajak restoran dengan nilai potensi

2
2
4
5
28
30
34
37
46
46
47
48
48

DAFTAR GAMBAR
1

Alur kerangka pemikiran penelitian

22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Hasil pengolahan eviews dengan metode PLS (Pooled Least Square)
Hasil pengolahan eviews metode FEM (Fixed Effect Method)
Hasil pengolahan eviews dengan metode REM (Random Effect
Model)
Hasil uji Chow
Hasil uji Haussman
Hasil uji multikolinearitas
Hasil regresi menggunakan variabel pertanian
Hasil pengolahan eviews dengan metode PLS (Pooled Lesat Square)
menggunakan variabel pertanian
Hasil pengolahan eviews dengan metode FEM (Fixed Effect Method)
menggunakan variabel pertanian
Hasil pengolahan eviews dengan metode REM (Random Effect
Model) menggunakan variabel pertanian
Hasil uji chow menggunakan variabel pertanian

62
63
64
66
67
68
69
70
71
72
74

12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Hasil uji haussman menggunakan variabel pertanian
Hasil uji moltikolinearitas
Data variabel-variabel yang digunakan dalam analisis
Data PDRB ADHB kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara
Data jumlah penduduk dan PDRB per kapita kabupaten dan kota di
Sulawesi Utara
Statistik deskriptif variabel pajak daerah
Statistik deskriptif variabel pendapatan per kapita
Statistik deskritif variabel jumlah siswa SMA
Data struktur PAD Provinsi Sulawesi Utara
Penerimaan pajak daerah di kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Utara

75
76
77
79
82
85
86
87
88
89

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia membuat perubahan besar dalam sistem pemerintahannya sejak
Tahun 2001, dimana mengadopsi lebih besar cara pemerintahan yang
desentralisasi, yang secara umum lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Desentralisasi memberikan kepada pemerintah daerah sebuah
tanggung jawab yang lebih besar dalam menyediakan barang dan jasa publik,
yang dulunya disediakan oleh pemerintah pusat melalui kementrian ataupun
lembaga. Di satu sisi, pemerintah daerah memiliki kekuatan yang luar biasa,
setidaknya dalam teori, untuk mengatur dan mengumpulkan penerimaan sendiri,
khususnya dalam hal perpajakan. Sebagaimana pendapat Bahl dan Vazquez
(2008) bahwa desentralisasi fiskal, agar benar-benar efektif memerlukan otonomi
perpajakan di setiap daerah. Hipotesis yang masuk akal dari hal tersebut adalah
bahwa daerah-daerah yang mencari desentralisasi fiskal yang lebih besar akan
membelanjakan lebih banyak pada pengeluaran pemerintah daerah dan akan
sangat bergantung pada upaya perpajakan untuk membiayai pengeluarannya
Proses desentralisasi yang terjadi masih terlihat hanya pada sisi pengeluaran
(expenditure side) saja. Pada sisi pendapatan (revenue side), meskipun fakta
menunjukkan bahwa formula dalam pendistribusian sumberdaya telah beberapa
kali diperbaiki, namun konsentrasi kapasitas pajak masih berada di pemerintah
pusat. Secara teori selalu mungkin bagi pemerintah pusat untuk mengumpulkan
pajak dan melalui suatu sistem transfer yang sesuai,
mendistribusikan
sumberdaya kepada pemerintah daerah. Gordon (1993) dalam Sobarzo (2004)
menunjukkan bahwa di bawah kondisi yang membatasi (restricted condition)
sangat mungkin untuk mendesain sebuah sistem transfer yang menghasilkan
kembali rezim yang terdesentralisasi secara penuh.
Meskipun sudah dalam sistem desentralisasi namun pemerintah pusat masih
memiliki tanggung jawab dalam hal memberikan sejumlah dana kepada daerah
yang tujuan utamanya adalah re-distribusi. Dana yang didistribusikan dalam
bentuk transfer ini berdasarkan perhitungan baru yang didisain untuk mendukung
program desentralisasi fiskal. Dana transfer pemerintah pusat kepada daerah
terdiri atas Dana Perimbangan melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Selain dana
perimbangan tersebut juga ada Dana Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus.
Data menunjukkan bahwa banyak daerah-daerah yang masih memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari pemerintah pusat
dibandingkan dengan berusaha menggali pendapatan dari sumber sendiri
sebagaimana amanat desentralisasi itu sendiri. Nilai dana transfer ke Provinsi
Sulawesi Utara mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahun bahkan
setelah masa otonomi dan desentralisasi fiskal.
Tabel 1 menunjukkan trend perkembangan dana transfer khususnya DAU
untuk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara selang tahun 2009 sampai
2014. Terlihat di tahun 2009 total transfer yang sebesar 5.283 trilyun rupiah
meningkat menjadi 9.231 trilyun rupiah di Tahun 2014, terjadi kenaikan sebesar

2
Tabel 1 Perkembangan dana transfer ke Provinsi Sulawesi Utara (juta rupiah)
Jenis Dana Transfer
Dana Perimbangan
Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
TOTAL

2009
5.283
336
4.059
887
394
5.676

Tahun
2010
5.462
331
4.059
887
394
5.676

2011 2012 2013 2014
5.998 6.993 7.941 8.138
325
356
378
340
4.964 5.947 6.725 6.917
709
689
838
881
1.153
434
703 1.092
7.150 7.427 8.644 9.231

Sumber: Ditjen Perimbangan Depkeu, 2014, diolah

6.83% dalam 5 tahun. Adapun jenis dana transfer yang terbesar adalah pada
kategori DAU.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal menuntut pemerintah daerah untuk lebih
mandiri dalam hal sistem pembiayaan dalam menentukan arah pembangunan
daerah dengan memperhatikan potensi dan kepentingan masyarakat di daerah,
serta sejalan dengan kepentingan nasional. Pada prinsipnya kebijakan
desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan daerah terhadap pusat
berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tujuan
otonomi daerah itu sendiri. Idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi
dengan menggunakan PAD. Dengan demikian peran PAD sangatlah besar di era
otonomi daerah. Dalam UU No 32/2004 disebutkan bahwa PAD bertujuan
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
PAD pada akhirnya merupakan indikator kemandirian daerah. Tanzi (2004)
berpendapat bahwa desentralisasi fiskal harus diimbangi dengan kemampuan
daerah untuk membiayai sejumlah pengeluaran yang dialihkan kepadanya dari
tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dengan jalan memberikan kewenangan
menarik pajak yang telah dialihkan kepadanya.
Tabel 2 Perbandingan besaran kapasitas fiskal dengan DAU di Provinsi
Sulawesi Utara (Juta Rupiah)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: Kemenkeu, 2015

PAD
222.495
286.178
356.992
446.791
507.318
578.877
723.348
851.684
1.051.113
1.493.536

DBH
106.042
164.022
222.914
274.356
347.993
330.622
323.080
356.422
377.768
353.661

DAU
1.334.808
4.619.371
3.071.576
3.427.845
4.059.322
4.431.421
4.968.478
5.947.145
6.724.982
7.404.486

3
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersama dengan Dana Bagi Hasil (DBH)
merupakan ukuran dari kapasitas fiskal suatu daerah. Dengan demikian
penerimaan PAD dan DBH merupakan faktor penentu kapasitas fiskal di daerah.
Kapasitas fiskal yang kuat tentunya dicerminkan oleh penerimaan atas PAD dan
DBH yang relatif lebih besar. Kapasitas fiskal daerah-daerah di Provinsi Sulawesi
Utara apabila dibandingkan dengan dana transfer DAU sebagaimana terdapat
dalam Tabel 2. Penerimaan daerah yang berasal dari DAU jauh lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber sendiri.
Berdasarkan data yang ditunjukkan dalam Tabel 2 dapat disimpulkan
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan
masih cukup besar, sementara perbandingan antara dana transfer dengan
pendapatan asli memperlihatkan gap yang semakin lebar seiring waktu. Namun,
ini menjadi indikasi bahwa ada peluang bagi daerah untuk meningkatkan
penerimaan PAD-nya.
Unsur utama PAD adalah pajak dan retribusi daerah, hasil dari Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang sah.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan PAD yang paling
potensial dalam memperbesar porsi PAD. Pajak daerah adalah refleksi atas
pilihan-pilihan yang dibuat oleh pemerintah daerah sebagai respon terhadap
permintaan jasa pelayanan serta adanya basis pajak. Pajak daerah pada bagian
tertentu adalah refleksi dari interaksi antar daerah yang saling berkompetisi.
Ketika modal bersifat mobile, maka pemerintah daerah harus secara seksama
memperhitungkan pengaruh dari kebijakan pajaknya terhadap stok modal yang
ada di daerah. Selalu ada kemungkinan daerah tetangga dapat mengambil alih stok
modal tersebut dengan cara menawarkan tarif pajak yang rendah untuk bisnis
(Brett dan Pinkse 1998). Sebagaimana pendapat Azka et al (2014) bahwa
perpajakan memainkan peran yang penting dalam proses untuk menghasilkan
penerimaan dan untuk menjalankan berbagai aktivitas dalam perekonomian.
Pemerintah daerah nampaknya lebih tertarik pada mendapatkan sumber
tambahan melalui dana transfer dibandingkan dengan pajak, yang menghindarkan
mereka dari biaya politik (political cost) (Sobarzo 2004). Alfirman (2003)
menyatakan bahwa, sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang lama, dimana
pemerintah pusat memberikan berbagai subsidi dan bentuk lainnya yang diberikan
setiap tahunnya. Hal ini menghasilkan ketergantungan pemerintahan daerah
terhadap dana subsidi dari pusat. Sikap ini ternyata memberikan dampak negatif
kepada upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan asli daerah-nya
ataupun mengeksplorasi potensi pajak mereka. Kewenangan pemerintah daerah
dalam hal mengumpulkan pajak seharusnya menjadi modal utama dalam
upayanya meningkatkan penerimaan asli daerah untuk membiayai kegiatan
pembangunannya. Kontribusi pajak daerah masih berada dalam kategori yang
rendah dengan perubahan yang juga lambat.
Kontribusi yang cenderung kecil yang diperparah dengan lambannya
perubahan penerimaan pajak daerah tentunya berdampak pada kinerja
pembangunan dan pelayanan publik, di daerah karena budget constrain akan
berpengaruh terhadap keputusan pemerintahan daerah untuk melakukan pelayanan
dan pembangunan publik. Kapasitas fiskal daerah yang diukur melalui besarnya
PAD dan DBH merupakan cerminan kekuatan daerah dalam membiayai program
pembangunan dan pelayanan publiknya. Rasio kapasitas fiskal merupakan rasio

4
Tabel 3 Kapasitas Fiskal di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2005-2014 (Juta
Rupiah)
Tahun

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Rata-rata

Total
Penerimaan
Daerah
1.779.307
3.350.952
4.312.240
5.408.376
6.487.286
6.782.984
7.468.500
8.473.132
9.903.670
10.774.871
6.441.235

PAD
138.894
184.394
252.324
322.422
331.083
418.738
451.755
549.355
650.063
1.028.490
432.752

DBH
23.004
28.400
48.336
52.571
61.298
73.405
55.000
55.000
70.000
97.700
56.471

Kapasitas
Fiskal
(PAD+DBH)
161.898
212.794
300.660
374.993
392.381
492.143
506.755
604.355
720.063
1.126.190
489.223

Rasio
Kapasitas
Fiskal
Daerah
9.09
6.35
6.97
6.93
6.04
7.25
6.78
7.13
7.27
10.78
7.40

Sumber: DPJK 2015, diolah

antara kapasitas fiskal daerah dengan kebutuhan anggaran atau belanja daerah.
Tabel 3 menunjukkan kapasitas fiskal di Provinsi Sulawesi Utara pada masa
desentralisasi fiskal yaitu anatara tahun 2005 sampai 2014 fluktuatif pada nilai 6
sampai 10 persen. Tahun 2005 rasio kapasitas fiskal sebesar 9 persen dan di tahun
2014 mengalami peningkatan menjadi 10.7 persen, dimana dua tahun sebelumnya
rasio kapasitas fiskal hanya berada di sekitar 7.1 – 7.2 persen. Secara rata-rata
rasio kapasitas fiskal selang tahun 2005 sampai 2014 adalah sebesar 7.4 persen.
Rasio kapasitas fiskal di Provinsi Sulawesi Utara dapat dikategorikan rendah
karena masih berada dibawah angka 10 persen secara rata-rata. Sebagaimana
penelitian Pakasi (2005) yang menemukan besarnya fiscal gap berdasarkan rasio
PAD terhadap total fiscal need di Sulawesi Utara, yang hanya berada pada kisaran
5 persen. Data tersebut menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian daerah di
Sulawesi Utara pada masa-masa awal desentralisasi fiskal masih sangat rendah.
Optimalisasi potensi pajak daerah merupakan indikasi umum bagaimana upaya
suatu daerah dalam meningkatkan penerimaan pajaknya. Yang perlu dilakukan
pemerintah daerah saat ini adalah bagaimana caranya meningkatkan PAD agar
daerah bisa lebih mandiri, meningkatkan diskresi daerah dan mengurangi
ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat.
Oates and Schwab (2004) menyimpulkan bahwa premis yang paling penting
dan paling mendasar adalah kebutuhan dari pemerintah lokal untuk membiayai
sebagian besar anggaran dari pendapatan sendiri. Hal ini menimbulkan
pertanyaan: apakah pemerintah daerah harus memiliki sumber pajak utama sendiri.
Pajak daerah menyediakan link fiscal yang krusial, yang mendorong yuridiksi
untuk menimbang manfaat dari program yang diusulkan terhadap biayanya.
Apabila pengeluaran daerah dibiayai melalui transfer dari pusat maka link ini akan
rusak dan keputusan pengeluaran menjadi sebagian besar sebagai sebuah
negosiasi antara pemerintah daerah dan pemerintah/badan di atasnya yang lebih
tinggi yang menjadi penyandang dana.

Tabel 4 Perbandingan total pendapatan daerah dan penerimaan pajak Provinsi
Sulawesi Utara Tahun 2005-2014 (Juta Rupiah)
Tahun

Total
Pendapatan Daerah
2005
1.956.729
2006
3.277.644
2007
3.612.254
2008
5.221.805
2009
7.175.833
2010
6.584.488
2011
7.469.381
2012
8.473.133
2013
9.021.669
2014
11.607.625
Sumber: Kemenkeu, 2014

Pajak
Daerah
149.344
191.109
231.602
264.028
344.162
394.655
550.117
665.670
787.891
1.134.990

5

% Penerimaan
Pajak Daerah
7.6
5.8
6.4
5.0
4.7
5.9
7.3
7.8
8.7
9.7

Ketika pemerintah daerah menghadapi keterbatasan penerimaan yang
dikombinasikan dengan meningkatnya tanggung jawab yang diberikan oleh
pemerintah pusat, yang mungkin akan meningkatkan atau setidaknya mengubah
permintaan masyarakat, dengan demikian pemerintah daerah akan termotivasi
untuk “menyelesaikan” masalah-masalah tersebut dengan cara mencari
mekanisme yang lebih baik serta membuat perubahan secara institusional
(Stallmann 2007).
Penelitian ini bemaksud untuk melihat dan membandingkan penerimaan
pajak daerah kabupaten dan kota yang ada di Sulawesi Utara dan. Oleh karena itu
penting untuk mengetahui potensi penerimaan pajak daerah sehingga daerah dapat
mengoptimalkan penerimaan atas pajak daerah sebagai wujud kemandirian
pemerintah daerah dalam tanggungjawab layanan publik. Estimasi terhadap
potensi pajak ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi pemerintah
daerah dalam menjalankan kebebasan fiskalnya, khususnya pada bagian
penerimaan daerah, sehingga daerah akan dipaksa untuk mengoptimalkan
penerimaan yang berasal dari sumber sendiri.
Perumusan Masalah
Kapasitas pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan yang cukup
dari mereka sendiri merupakan hal yang sangat penting untuk pembangunan
berkelanjutan. Dalam latar belakang di atas telah dikemukan fakta bahwa pajak
daerah menjadi kekuatan bagi pemerintah daerah dalam sistem desentralisasi.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam mengumpulkan pajak sebagai
penerimaan asli daerah yang dipakai untuk membiayai pelayanan publiknya.
Sumber pendapatan utama yang seringkali menjadi parameter untuk
menentukan derajat otonomi fiskal yang dimikiki oleh suatu daerah adalah
pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh
pemerintah daerah. Pendapatan yang termasuk dalam kategori pendapatan utama
adalah pajak daerah, sebagai pendapatan yang digali dan ditangani sendiri oleh
pemerintah daerah dari sumber-sumber pendapatan yang terdapat dalam wilayah
yurisdiksinya. Rasio kapasitas fiskal provinsi Sulawesi Utara selang tahun 2005 -

6
2014 secara rata-rata hanya berada di 7,4 persen saja (Tabel 3). Seorang pakar dari
World Bank berpendapat bahwa batas 20 persen perolehan PAD merupakan batas
minimum untuk menjalankan otonomi daerah. Apabila PAD kurang dari angka 20
persen, maka daerah tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan
yang mandiri.
Data maupun hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa setelah
desentralisasi fiskal, daerah-daerah di Sulawesi Utara masih belum menunjukkan
tingkat kemandirian yang signifikan berdasarkan rasio kapasitas fiskal terhadap
total penerimaan daerah yang kontribusinya masih dibawah 10 persen (Tabel 3).
Hal yang juga paling mencolok adalah tingkat perubahan kontribusi pajak daerah
yang dalam satu dekade hanya terjadi perubahan sebesar 2.1 persen saja (Tabel 4).
Perubahan yang cenderung stagnan ini tentunya menunjukkan kinerja sistem
perpajakan yang tidak baik, menyebababkan rendahnya penerimaan daerah atas
pajak daerah. Rendahnya penerimaan pajak dibandingkan dengan target yang
ditetapkan lebih disebabkan oleh tidak mampunya pemerintah dalam
mengimplementasikan sebuah sistem perpajakan yang efisien. Meningkatkan
penerimaan atas pajak hanya bisa tercapai apabila pemerintah mampu mengambil
langkah yang bijaksana dan tepat.
Rendahnya rasio pajak terhadap penerimaan daerah yang turut diperparah
dengan lambatnya perubahan tingkat penerimaan pajak itu sendiri menjadi
penghalang bagi proses pembangunan di daerah. Kemungkinan mengapa
pemerintah daerah sulit untuk meningkatkan penerimaan atas pajak karena belum
banyaknya potensi pajak yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Tentu saja akan
lebih baik apabila pemerintah daerah memanfaatkan potensi pajaknya daripada
secara terburu-buru menerapkan pungutan pajak yang baru. Permasalahan dalam
pengelolaan pajak daerah yang merupakan unsur utama dalam struktur PAD
adalah masih terbatasnya kemampuan daerah dalam mengidentifikasi dan
menentukan potensi riil (yang sebenarnya) obyek pajak yang dimilikinya. Upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak masih belum didasarkan
pada penghitungan potensi penerimaan pajak yang realistis. Mardiasmo dalam
Makfatih dan Saptono (2010) menjelaskan bahwa penghitungan
potensi
penerimaan pajak pada umumnya masih didasarkan pada pendekatan model
incremental, yaitu keinginan untuk selalu menaikkan penerimaan pajak daerah
tanpa mempertimbangkan perkembangan kondisi riil dari faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan pajak daerah tersebut.
Belum optimalnya penggalian PAD selama ini terutama disebabkan oleh
belum mampunya daerah dalam mengestimasi besar potensi pajak yang
dimilikinya. Besarnya potensi pajak inilah yang kemudian menjadi dasar dalam
penentuan target penerimaan per jenis pajak bagi daerah. Pengetahuan pemerintah
daerah akan potensi pajak di daerahnya akan membantu mereka untuk mendisain
penerimaan atas sumber asli daerah, serta membantu pemerintah pusat dalam
menentukan formula dana transfer ke daerah. Keuangan pemerintah daerah
merupakan faktor yang sangat menentukan penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Davey (1989) menyatakan bahwa kemampuan keuangan daerah ditentukan oleh
adanya sumber pendapatan daerah dan tingkat lukratifnya. Fakta bahwa kapasitas
fiskal daerah yang lemah ditunjukkan oleh kecilnya PAD yang tercermin melalui
rendahnya rasio pajak daerah dan lambatnya tingkat perubahan pajak
menimbulkan pertanyaan bagaimanakah pemerintah daerah telah memanfaatkan

7
potensi penerimaan pajak yang ada untuk meningkatkan kapasitas fiskal di era
otonomi daerah?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis rasio pajak daerah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi
Utara.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi potensi pajak di Sulawesi
Utara.
3. Menganalisis potensi pajak restoran sebagai studi kasus di salah satu
kabupaten/kota di Sulawesi Utara
Manfaat Penelitian
1.

2.

3.
4.

Penelitian ini bermanfaat untuk:
Pemerintah Daerah, karena dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan pembangunan daerah dan dalam penyusunan program pembangunan
daerah di era otonomi.
Perencana Pembangunan, yaitu sebagai bahan pertimbangan terhadap
penyusunan rencana strategi pembangunan dan pengembangan potensi
perekonomian daerah.
Masyarakat, sebagai bahan masukan suatu kajian optimalisasi potensi pajak
terhadap pembangunan daerah, baik dampak negatif maupun dampak positif.
Mahasiswa dan peneliti yang berminat dalam subjek potensi pajak untuk
meningkatkan kapasitas fiskal daerah sebagai kajian kasus dalam era otonomi.
Ruang Lingkup Penelitian

1.
2.
3.
4.

Adapun ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada:
Analisis statistik deskriptif penerimaan pajak daerah terhadap PDRB daerahdaerah di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2005 - 2014
Analisis statistik deskriptif variabel-vaiabel yang digunakan sebagai
determinan penting dalam penerimaan pajak daerah 2005 – 2014
Analisis panel data faktor – faktor yang mempengaruhi potensi pajak daerah di
Sulawesi Utara Tahun 2005 – 2014
Analisis potensi pajak restoran di Kabupaten Minahasa Utara

Keterbatasan penelitian ini adalah:
1. Variabel seperti keterbukaan pasar, inflasi, institusi perpajakan, dan korupsi
adalah faktor – faktor penting yang mempengaruhi penerimaan pajak, namun
belum dimasukkan dalam analisis.
2. Perhitungan potensi pajak daerah hanya dilakukan untuk satu jenis pajak
daerah yaitu pajak restoran, tidak mencakup semua jenis pajak daerah yang
ada

8
3. Potensi pajak restoran yang diteliti hanya dibatasi di wilayah Kabupaten
Minahasa Utara, tidak mencakup semua daerah yang ada di Sulawesi Utara.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah sehingga daerah memiliki kewenangan dalam mengatur
pemerintahannya berdasarkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan masyarakatnya,
sehingga otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi. Pelaksanaan
desentralisasi fiskal dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah
daerah diatur dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang tersebut kemudian direvisi
menjadi UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004. Selanjutnya untuk
mendukung konsep desentralisasi yang lebih kuat maka dikeluarkan UU No 28
Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. UU No 28/2009 mengatur hal-hal
mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan kepada
masyarakat daerah guna mendapatkan sumber pendanaan bagi pembangunan
daerah. Sondakh (1999) menjelaskan bahwa tujuan perubahan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal
serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya diarahkan
untuk: (1) meningkatkan ketahanan fiskal yang berkesinambungan (fiscal
sustainability), (2) memperkecil ketimpangan keuangan pusat dan daerah (vertical
imbalance), (3) mengkoreksi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah
(horizontal imbalance), (4) meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi
kinerja pemerintah daerah, dan (5) meningkatkan kualitas pelayanan dan
partisipasi masyarakat di sektor publik (Mahi 2000)
Kedua undang-undang pokok dan undang-undang tentang pajak dan
retribusi daerah dihubungkan dengan prinsip dasar “Money follows function”.
Dengan prinsip ini, fungsi yang telah diserahkan kepada daerah melalui UU No
32/2004 diikuti dengan pendanaan untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi yang
dimaksud. Namun perlu dipahami bahwa ketersediaan pendanaan selalu memiliki
constraint, karena pada dasarnya anggaran selalu terbatas. Oleh karena itu UU No
33/2004 dan UU No 28/2009 mengatur sumber-sumber pendanaan yang terbatas
tersebut yang bisa digunakan oleh daerah, yaitu melalui pemanfaatan sumber di
daerah sendiri maupun melalui mekanisme transfer. Dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fiskal, instrument utama yang digunakan adalah pemberian
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah (taxing
power).
Penjelasan UU No 32 Tahun 2004
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

10
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta
potensi dan keanekaragaman daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan ke-khasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung-jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Penjelasan UU No 33 tahun 2004
Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pembentukan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas
penyerahan urusan kepada pemerintah daerah. Pendanaan tersebut menganut
prinsip “money follows function”, yang mengandung makna bahwa pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan,
dan penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggungjawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah
terdiri atas: Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana peimbangan, pinjaman daerah,
dan lain-lain pendapatan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan Kekayaan
Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang
bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali
pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas
desentralisasi.
Dana Perimbangan bersumber dari APBN yang terdiri atas: Dana Bagi
hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana Peimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah mendanai
kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber

11
pendanaan pemerintahan, serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan
pemerintahan antar daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan
sistem transfer dana dari pemerintah pusat.
Dana Alokasi Umum (DAU) bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan
atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih
antara kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tapi kebutuhan fiskal kecil
akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah dengan potensi
fiskal kecil namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif
besar. Secara inplisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor
pemerataan kapasitasn fiskal.
Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membantu membiayai
kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana
dan prasaran pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertantu
atau untuk mendorong percepatan pembanguan Daerah.
Konsep dan Sumber Kapasitas Fiskal
Kapasitas fiskal merupakan kemampuan pemerintah daerah menghimpun
pendapatannya dari potensi yang dimilikinya. Apabila mengacu pada UU No.
33/2004 pasal 28, potensi daerah dicerminkan oleh PAD dan Dana Bagi Hasil.
Dalam UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005 kapasitas fiskal adalah pendapatan
daerah dari PAD dan DBH. PAD diperoleh melalui pengalihan sebagian
kewenangan pemerintah pusat dalam pengumpulan pajak kepada daerah (tax
assignment), sedangkan dana bagi hasil diperoleh dari sebagian pendapatan
negara baik dari sumber daya manusia maupun sumber daya alam daerah yang
dikembalikan kepada daerah. Dalam formula alokasi DAU, kapasitas fiskal adalah
faktor pengurang berdasarkan celah fiskal yaitu selisih kebutuhan fiskal dan
kapasitas fiskal di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
Stallman (2007) menjelaskan bahwa secara umum, semakin kecil budget
pemerintah, maka semakin berkurang fleksibilitas dalam me-realokasi dana,
sehingga perubahan kecil sekalipun akan memberikan implikasi yang besar.
Adapun faktor-faktor utama yang membawa pada permintaan untuk memperbesar
pengeluaran pemerintah adalah sebagai berikut:
- Meningkatnya biaya dalam menyediakan layanan yang sudah ada
- Meningkatnya permintaan akan layanan sehubungan dengan
meningkatnya jumlah populasi. Dimana ketika populasi meningkat,
semakin tinggi kuantitas setiap layanan yang dibutuhkan agar seimbang
dengan perubahan dalam jumlah populasi.
- Meningkatnya permintaan baik jumlah dan kualitas layanan yang
disebabkan oleh meningkatnya pendapatan per kapita. Barang publik
biasanya merupakan barang normal, yang artinya ketika pendapatan
masyarakat meningkat maka permintaan akan barang tersebut juga
meningkat.

12
-

Perubahan dalam suasana atau keadaan yang membutuhkan bentuk
layanan masyarakat yang baru.
Besar kecilnya kapasitas fiskal daerah sangat tergantung pada ketersediaan
sumber-sumber pajak (tax objects) dan tingkat hasil (buouyancy) dari objek pajak
karena pajak daerah merupakan sumber utama PAD. Tingkat hasil pajak dari
objek-objek pajak ditentukan oleh responsibilitasnya tehadap kekuatan yang
mempengaruhi pengeluaran, misalnya inflasi, pertambahan penduduk, dan
pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkorelasi dengan tingkat
pelayanan yang baik secara kualitatif dan kuantitatif (Lisna 2014). Setiap daerah
memiliki potensi pendapatan yang berbeda-beda karena adanya perbedaan kondisi
ekonomi, sumber daya alam, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang tercermin
pada PAD. Hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI
menemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara pajak daerah dan
bagi hasil pajak dengan kapasitas fiskal. Sedangkan hubungan retribusi daerah
dengan kapasitas fiskal tidak signifikan. Dengan demikian, pajak daerah dan bagi
hasil pajak merupakan sumber-sumber pendapatan daerah yang berperan
meningkatkan kapasitas fiskal.
Ketika pemerintah daerah menghadapi keterbatasan penerimaan yang
dikombinasikan dengan meningkatnya tanggung jawab yang diberikan oleh
pemerintah pusat, yang mungkin akan meningkatkan atau setidaknya mengubah
permintaan masyarakat, sehingga mereka akan termotivasi untuk “menyelesaikan”
masalah-masalah tersebut dengan cara mencari mekanisme yang lebih baik serta
membuat perubahan secara institusional (Stallmann 2007).
Konsep Pajak dan Pajak Daerah
Pemerintah memerlukan penerimaan dari pajak untuk membiayai
pengeluaran publiknya, terlepas dari apakah pajak tersebut ditujukan untuk
efisiensi atau keadilan sosial (Hillman 2003). Menurut Mankiew et al (2009) teori
dasar dari pajak yang optimal adalah bahwa sistem perpajakan seharusnya dipilih
untuk memaksimalkan fungsi kesejahteraan sosial atas sekumpulan kendala yang
ada. Literatur tentang pajak optimal biasanya memperlakukan perencana sosial
sebagai “utilitarian”: yaitu fungsi kesejahteraan sosial yang didasarkan atas
utilitas individu dalam masyarakat. Dalam analisis umumnya, fungsi
kesejahteraan sosial merupakan fungsi non linear daripada utilitas individu. Pajak
yang optimal pada umumnya mengacu pada kebijakan perpajakan yang
meminimalkan dead weight loss dari sebuah sistem perpajakan.
Tiebout (1956) dalam Oates (2004) yang memberikan pandangan tentang
pembiayaan publik daerah, dimana dalam dunia Tiebout (Tiebout world) terdapat
sejumlah besar kelompok masyarakat yang menawarkan berbagai output yang
beragam atas pelayanan publik daerah, rumah tangga akan memilih komunitas
penduduk yang memberi kepuasan atas layanan daerah yang mereka sukai.
Pelayanan-pelayanan ini dibiayai melalui pajak daerah yang memainkan peran
dari harga yang mengarahkan pilihan individu sehingga di dalam pasar privat,
keseimbangan hasil (equilibrium outcomes) terjadi ketika keuntungan marjinal
(marginal benefits) sama dengan biaya marginal (marginal costs). Hal ini secara
jelas menjelaskan tentang sifat alami pajak daerah di dunia ini. Pada prinsipnya,
yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah mengenakan pajak atas setiap

13
penduduknya setara dengan biaya marjinal dari pemasokan pada level tertentu
atas layanan publik yang tersedia dalam masyarakat.
Konsep pajak daerah tidak berbeda dengan konsep pajak negara. Perbedaan
nya hanya pada jenis pajak, cakupan fungsi, dan tingkatan pemerintah yang
mengelolanya. Pajak daerah merupakan pungutan kepada masyaraakat sebagai
hak prerogatif pemerintah daerah tanpa ada kontraprestasi secara langsung. Pajak
daerah merupakan hak prerogative yang muncul karena kewenangan yang
diberikan pemerintah pusat dan persetujuan masyarakat daerah. Oleh karenanya,
hak ini dilegalkan oleh undang-undang dan peraturan daerah yang mengatur
perpajakan daerah. Apabila dilihat dari fungsinya, jika pajak negara memiliki
fungsi budgeter, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi maka pajak daerah
terbatas pada fungsi budgeter dan fungsi regulasi. Dari budgeter (penerimaan),
maka pajak daerah adalah salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah. Dari
fungsi regulasi, pajak daerah dimaksudkan untuk mengatur aktivitas konsumsi
masyarakat daerah. Pajak dengan fungsi regulasi ini diberlakukan karena kegiatan
konsumsi, pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan lahan memiliki
ekternalitas negatif, sehingga transaksi yang terjadi secara ekonomi tidak efisien.
Kinerja pajak dengan fungsi regulasi diukur dengan seberapa efektif pajak
tersebut mampu mengatur sehingga transaksi ekonomi yang memiliki
eksternalitas menjadi efisien secara ekonomi (Makfatih dan Saptono 2010).
Penelitian Bahl dan Vazquez (2008) mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja penerimaan khususnya untuk property tax menyebutkan
bahwa kriteria untuk memilih pajak daerah yang baik sebagai pilihan yang logis
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
- Suatu pajak daerah yang baik adalah apabila terdapat korespondesi antar
boundaries, dimana manfaat pengeluaran diterima dan boundaries yang
menjadi beban pajak jatuh
- Dibawah administrasi yang baik, dan dengan komitmen untuk
menyediakan layanan terbaik, pajak properti dapat menjadi sumber
penerimaan yang signifikan untuk pemerintah daerah. Hal ini sangat
potensial karena basis pajaknya besar dan pendapatan elastis.
- Pemerintah daerah seharusnya memiliki keuntungan komparatif dalam
menilai basis pajak karena pengenalan mereka yang lebih baik terhadap
ekonomi daerah serta pola penggunaan sumberdaya. Sedangkan
pemerintah pusat tidak memiliki keuntungan komparatif dalam menilai
basis pajak di daerah. Apabila dilakukan maka hal ini akan menjadi upaya
peningkatan penerimaan yang “high cost method”.
Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan di wilayah tersebut kepada pemerintah daerah tanpa adanya imbalan
langsung yang seimbang, yang sifatnya dapat dipaksakan berdasarkan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Adapun tolok ukur yang sering digunakan
untuk menilai pajak daerah adalah hasil (yields), keadilan (equity), daya guna
ekonomi (economic efficiency), kemampuan melaksanakan (ability to implement),
dan kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (suistainability as local
revenue source) (Devas 1989). Pendapatan dari pajak daerah selanjutnya
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pembangunan di daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal di Indonesia,

14
pemungutan pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai UU No.
28/2009 yang meliputi:
1. Pajak Provinsi, terdiri dari:
a. Pajak kendaraan bermotor
b. Bea balik nama kendaraan bermotor
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor
d. Pajak air permukaan
e. Pajak rokok (cukai)
2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari:
a. Pajak hotel
b. Pajak restoran
c. Pajak hiburan
d. Pajak reklame
e. Pajak penerangan jalan
f. Pajak mineral bukan logam dan batuan
g. Pajak parkir
h. Pajak air tanah
i. Pajak sarang burung wallet
j. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perdesaan dan perkotaan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPH