Analisis Potensi Pajak Daerah Untuk Peningkatan Kapasitas Fiskal Kabupaten Dan Kota Di Provinsi Sulawesi Utara

(1)

SUKARMIN IDRUS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

INISIASI PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN

UNTUK KELESTARIAN FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI

KECAMATAN JAILOLO KABUPATEN HALMAHERA BARAT


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inisiasi Pembayaran Jasa Lingkungan untuk Kelestarian Fungsi Ekologi Hutan Mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Sukarmin Idrus


(4)

(5)

RINGKASAN

SUKARMIN IDRUS. Inisiasi Pembayaran Jasa Lingkungan untuk Kelestarian Fungsi Ekologi Hutan Mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Dibimbing oleh AHYAR ISMAIL dan METI EKAYANI.

Pembayaran jasa lingkungan (PJL) hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat sebagai perlindungan ekosistem mangrove dinilai cocok untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan tingginya pemanfaatan jasa lingkungan dari mangrove, yang apabila tidak dikelolah dengan benar dapat mengancam kelestarian hutan mangrove di Jailolo. Manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat diantaranya sebagai sumber air, tambak, wisata, maupun sebagai perlindungan daerah pesisir. Penerapan PJL juga sangat didukung dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Barat No 4 Tahun 2012 dan UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) Menghitung nilai ekonomi dan mengindentifikasi jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove yang potensial untuk PJL, 2) Mengkaji persepsi dan partisipasi masyarakat penyedia jasa (provider) terhadap rencana penerapan PJL dan 3) Menentukan skema dan mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk kelestarian mangrove di Kecamatan Jailolo. Penelitian ini dilakukan di sepuluh desa di Kecamatan Jailolo yang merupakan daerah yang memiliki hutan mangrove. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini menggunakan valuasi ekonomi dengan analisis data menggunakan market price, replacemen cost method, change in consumtion approach dan travel cost method. Untuk mengkaji persepsi dan partisipasi penyedia jasa lingkunga (providers) digunakan analisis deskriptif kuantitatif serta analisis kesediaan menerima (WTA) dari providers. Serta analysis stakeholder untuk mengetahui pihak pihak yang terlibat, serta dapat menggambarkan skema dan mekanisme rencana PJL di Kecamatan Jailolo.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari keenam jasa yang dimanfaatkan, ada dua jasa yang berpotensi untuk diinisiasi PJL yaitu jasa pengatur intrusi air laut dan jasa budaya dari wisata mangrove. Untuk persepsi dan partisipasi masyarakat, penyedia jasa lingkungan (providers) tentang jasa lingkungan mangrove dinilai cukup untuk menentukan rencana penetapan PJL, dimana masyarakat mau berpartisipasi sepanjang biaya pemeliharaan dipenuhi sebesar Rp 3.350/pohon/tahun. Nilai PJL untuk jasa wisata sudah terpenuhi, sedangkan untuk Jasa air nilai yang diperoleh belum terpenuhi. Jika ingin dipenuhi maka harus dinaikan besaran tarif sebesar Rp. 7995/KK/bulan. Potensi implementasi PJL di Kecamatan Jailolo diterapkan melalui skema pembayaran antara G to C (Government to Community maupun C to C (Community to Community) antara pelangan PDAM (jasa air), wisatawan (jasa wisata) sebagai pemanfaat dengan kelompok masyarakat rehabilitasi mangrove sebagai penyedia. Sedangkan mekanisme PJL yang rencana dilakukan di Kecamatan Jailolo yaitu berdasarkan transaksi perantara dalam hal ini pemerintah atau NGO, pemanfaat dan penyedia. Kata Kunci: Jailolo, mangrove, penyedia jasa, PJL, WTA.


(6)

SUMMARY

SUKARMIN IDRUS. Initiation of Payment for Environmental Services for Ecological Function Preservation of Mangrove Forest in Jailolo Sub-district West Halmahera. Supervised by AHYAR ISMAIL dan METI EKAYANI.

The payment for Environmental Services (PJL) of mangrove forest in West Halmahera Regency, Jailolo Sub-district as a mangrove ecosystem protection is recommended to be suitable to apply. This is due to the high utilization of environmental services of mangroves, which can threat the sustainability of mangrove forests in Jailolo, if it is not managed properly. The benefits have been felt by the community as a source of water, including ponds, tourism, as well as the protection of the coastal region. Application of PJL is also strongly supported by the existence of West Halmahera Regency Regional Ordinance No 4 in 2012 and law No. 32 in 2009 on the environmental protection and management.

The purpose of this study was to: 1) calculate the economic value and identify environmental services of mangrove forest ecosystem that are potential for PJL, 2) examine the perceptions and participation of community service providers towards the implementation of the plan and PJL 3) determine the scheme of Payment mechanisms and environmental services (PJL) for the conservation of mangrove in Jailolo. This research was conducted in ten villages of Jailolo Sub-district which are the area of mangrove forests. The data used in this research were the primary and secondary data. This research used economic valuation with data analysis using market price, replacement cost method, change in consumption approach and travel cost method. To examine the perceptions and participation enviromental service providers was used descriptive quantitative analysis as well as an analysis of the willingness to accept (WTA) from providers. As well as stakeholder analysis was used to know the parties involved, and be able to describe schemes and mechanisms of Jailolo Sub-district in PJL plans.

Results of the study showed that of the six services were utilized. There were two services which could potentially be initiated by PJL namely regulatory services of intrusion of sea water and the culture services of mangrove tour. For perception and public participation, environmental service providers about the mangrove environment services were judged to be sufficient for determining PJL plan assignment, where communities want to participate if the maintenance costs was IDR 3.350 /trees/year. The value of tourist services for PJL has already fulfilled, whereas for water ervices, the PJL value has not yet fulfilled. It can be fullfilled if the tariff is raised in amount of IDR 7.995/KK/month. The potential of PJL implementation in Jailolo Sub-district was applied through a scheme of payments between the G to C (Government to Community) or C to C (Community to Community) between subscriber PDAM (water services), tourism (tourist services) as users of mangrove rehabilitation with community groups as a provider. While the PJL mechanism that will be planned to apply in Jailolo is based on intermediary transactions in this regard the Government or NGOS, users and providers.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

INISIASI PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN

UNTUK KELESTARIAN FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE

DI KECAMATAN JAILOLO KABUPATEN HALMAHERA BARAT


(10)

(11)

(12)

(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Juli 2015 ini adalah jasa lingkungan hutan mangrove, dengan judul Inisiasi Pembayaran Jasa Lingkungan Untuk Kelestarian Fugsi Ekologi Hutan Mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ahyar Ismail, MAgr dan Dr Meti Ekayani, Shut MSc selaku pembimbing yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan banyak curahan pemikiran, bimbingan, arahan dan dorongan motivasi. Ucapan terima kasih juga kepada Dr A Faroby Falatehan, SP ME dan Dr Fifi Diana Thamrin, SP MSi selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam perbaikan. Terima kasih juga kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi dan Sahat MH Simanjuntak, MSc yang telah banyak memberi ilmu, pelajaran dan pengalaman selama studi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah dan Masyarakat Kabupaten Halmahera Barat, yang telah membantu selama penelitian. Terima kasih kepada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate, Institut Pertanian Bogor dan Dirjen Dikti atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutakan studi. Terima kasih juga kepada Aditiyawan Ahmad, SPi MSi, Sahlan Norau, SPi Msi, Dr Irham, SPi Msi dan Salim Abubakar, Spi MSi yang telah memberikan jalan dan kesempatan untuk melanjutkan studi. Ungkapan terima kasih juga kepada pimpinan dan staf program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan SPs IPB, atas fasilitas dan dukungan yang diberikan. Terima kasih disampaikan kepada Teh Sofi dan teman-teman seperjuangan program studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas dukungan dan motivasinya. Terakhir ucapan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Umar Idrus dan Ibu Umi Djalal, serta seluruh keluarga, untuk kasih sayang dan doa selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016


(14)

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Ekosistem Hutan Mangrove 6

Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove 6

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) 8

Syarat dan Tahapan Pengembangan PJL 9

Skema dan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan 11

PenelitianTerdahulu 15

3 KERANGKA PEMIKIRAN 16

Kerangka Pemikiran 16

4 METODOLOGI PENELITIAN 18

Waktu dan Lokasi Penelitian 18

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Pengambilan Sampel 19

Penentuan Sampling untuk WTA provider 20

Metode Analisis Data 21

Nilai Jasa Lingkungan 22

Persepsi dan Partisipasi 23

Skema dan Mekanisme PJL 25

Analisis Stakeholder 25

Analisis Deskriptif 27

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 28

Keadaan Umum Wilayah Kabupaten Halmahera Barat 28

Sebaran Hutan Mangrove 28

Kawasan Mangrove di Kecamatan Jailolo 29

Karakteristik Responden Penelitian 30

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 32

Nilai Ekonomi Pemanfaatan Jasa Ekosistem Mangrove 32

Jasa Penyedia 32

Jasa Pengatur 34

Jasa Budaya 36

Jasa Lingkungan Ekosistem Mangrove yang Potensial untuk PJL 37 Persepsi dan Partisipasi provider terhadap rencana penerapan PJL 38

Persepsi dan Partisipasi provider dalam PJL 38

Nilai WTA masyarakat penyedia jasa lingkungan 39 Implementasi Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) 40 Skema dan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) 46


(16)

Kesimpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 57


(17)

DAFTAR TABEL

1 Jasa lingkugan yang biasa dipasarkan dan pemanfaatannya 11 2 Contoh metode alternatif untuk kompensasi dalam pembaya jasa

lingkungan 12

3 Jumlah jiwa dan Kepala keluarga di Kecamatan Jailolo 20

4 Sebaran dan jumlah responden 21

5 Matriks metode penelitian 21

6 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaaan stakeholder 26 7 Variabel penelitian untuk skema perencanaan (PJL) 27

8 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar 33

9 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan 33

10 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting 34

11 Perhitungan nilai hutan mangrove sebagai pemecah gelombang 35 12 Nilai ekonomi mangrove sebagai barrier instrusi air laut 36

13 Nilai ekonomi wisata mangrove 37

14 Nilai ekonomi dan Identifikasi komponen pembiayaan jasa ekosistem

mangrove 37

15 Besaran WTA Responden (providers) 39

16 Estimasi sesuai WTA providers 39

17 Estimasi penerimaan PJL berdasarkan tarif yang berlaku saat ini 40 18 Estimasi biaya yang dibebankan untuk pelanggan PDAM jika PJL

diterapkan 40

19 Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove 41

20 Tugas Pokok Stakeholder dalam rencana PJL 43

21 Identifikasi Pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak dalam program pembayaran jasa lingkungan pada hutan mangrove 44

DAFTAR GAMBAR

1 Jasa ekosistem mangrove 8

2 Alur mekanisme pembayaran jasa lingkungan 13

3 Diagram alur kerangka pikir 17

4 Lokasi penelitian 18

5 Mariks pengaruh dan kepentingan stakeholder 27

6 Fungsi kawasan hutan mangrove di Kabupaten Halmahera Barat 29 7 Fungsi kawasan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo 30 8 Persepsi dan partisipasi masyarakat (providers) tentang PJL 38 9 Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak dari jasa air 44 10 Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak dari jasa wisata 45 11 Skema PJL untuk jasa air di Kecamatan Jailolo 47 12 Skema PJL untuk jasa wisata di Kecamatan Jailolo 49


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1

Valuasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

59

2

Nilai ekonomi wisata mangrove

61

3

Analisis Wilingnes to Accept (WTA) 63

4 Skoring Pengaruh dan Kepentingan Para Stakeholder

65

5

Dokumentasi 68


(19)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang mempunyai berbagai fungsi, yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang dan kepiting untuk hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto 2004). Sobari et al. (2006) menyatakan bahwa besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis flora fauna yang hidup dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove menjadi ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati dan mempunyai segudang harapan bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup.

Indonesia memiliki sekitar 3,2 juta ha hutan mangrove atau hampir 21% dari total luas mangrove dunia dengan jumlah spesies mangrove yang ditemukan tidak kurang dari 75 spesies (KKMTN 2013). Menurut Siburian dan Haba (2015) luas mangrove di Indonesia sampai tahun 2013 adalah 3,6 juta ha. KKMTN (2013) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan mangrove terluas dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, namun saat ini hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman kerusakan yang cukup serius. Ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar instansi pemerintah yang menganggap bahwa mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna dan hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain, sehingga eksploitasi terhadap hutan mangrove terus meningkat (Pramuji 2004). Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu diantara habitat lahan basah pantai yang mengalami tekanan pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terindikasi total luas mangrove Indonesia dalam waktu dua puluh tahun terakhir telah berkurang hampir 1,1 juta ha (KKMTN 2013). Pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan selain menyebabkan degradasi lingkungan juga memicu terjadinya bencana alam, serta berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi (Fauzi 2014).

Wilayah pesisir Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu kawasan yang mengalami degradasi lingkungan dan deplesi sumberdaya. Ancaman kerusakan ini berasal dari kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan, baik demi kepentingan ekonomi maupun akibat kekurang pahaman atas pentingnya di wilayah pesisir. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral atau karena dampak dari kegiatan lain di hulu wilayah pesisir. Dukungan peraturan juga menjadi bagian dari faktor penyebab timbulnya kerusakan sumberdaya pesisir. Peraturan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya. Sementara kesadaran masyarakat terhadap nilai strategis dari


(20)

pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dan berbasis masyarakat relatif masih kurang. Sehingga kondisi inipun dipandang sebagai penghambat dalam pembangunan kawasan pesisir Kabupaten Halmahera Barat di masa mendatang (PWP3K Halmahera Barat, 2012). Leimona et al. (2008) meyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya dengan cara-cara yang melampaui potensi pemulihan alami akan mempengaruhi ketersediaan jasa lingkungan di masa mendatang, jika terus berlanjut, aset lingkungan akan menurun tajam dan jasa lingkungan yang saat ini diperoleh cuma-cuma akan hilang atau menjadi mahal dalam jangka waktu dekat dan pada akhirnya, hal tersebut akan membahayakan kesejahteraan manusia. Untuk memulihkan ketersediaan jasa lingkungan maka diperlukan perubahan perilaku dan pola pengelolaan lahan dengan cara-cara yang lestari. Menurut Eijk dan Kumar (2009) yang mendasari permasalahan lingkungan adalah kurangnya kesadaran bahwa mangrove merupakan aset penting yang berkontribusi terhadap pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan.

Salah satu penyebab terjadinya degradasi lingkungan dan ongkos ekonomi yang ditimbulkannya adalah karena masalah undervalue terhadap nilai sebenarnya dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi 2014). Di Indonesia, penilaian (valuasi) ekonomi sering dilakukan kebanyakan lebih memfokuskan pada penilaian nilai guna langsung saja, sedangkan penilaian produk dan jasa lingkungan yang lebih komprehensif sering terabaikan (Baderan 2013). Menurut Fauzi (2014), secara spesifik valuasi ekonomi dapat membantu kebijakan publik dalam beberapa aspek, salah satunya yaitu terkait dengan perencanaan dalam mempertimbangkan harga dari jasa lingkungan sebagai biaya kompensasi. Pagiola

et al. (2004) mengungkapkan bahwa valuasi ekonomi digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi dan memudahkan pembagian biaya untuk inisiatif serta mendorong penciptaaan kelembagaan yang inovatif serta pengelolaan yang berkelanjutan.

Saat ini penanggulangan degradasi lingkungan telah diatur dalam instrumen ekonomi untuk perlindungan jasa lingkungan. Salah satu instrumennya ialah Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) sebagaimana yang telah diamanatkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrument ekonomi lingkungan hidup. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup merupakan salah satu instrumen ekonomi lingkungan yang mungkin diterapkan dalam kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan hutan. Menurut HoB (2014) PJL merupakan salah satu dari instrument ekonomi yang telah diamanatkan oleh UU No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hingga kini belum ada Peraturan Daerah (PERDA) untuk PJL di Kabupaten Halmahera Barat padahal menurut Fauzi, (2012) penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat membuat pemanfaatan dari satu jasa lingkungan secara optimal serta dapat menghindari ekstraksi yang berlebihan. Hal ini juga dikemukakan oleh ESCAP (2009) bahwa untuk mencegah berkurangnya penyedia jasa lingkungan maka ekosistem hutan mangrove harus dimanfaatkan melalui pembiayaan berkelanjutan yang salah satunya melalui pembayaran ekosistem services atau pembayaran jasa lingkungan (PJL).


(21)

Perumusan Masalah

Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku Utara yang memiliki luasan mangrove sebesar ±4,014.22 ha. Saat ini, kawasan hutan mangrove di Kabupaten Halmahera Barat ditetapkan sebagai kawasan lindung dan juga sebagai hutan produksi/budidaya (BPDAS Ake Malamo, 2010). Keberadaan mangrove telah memberikan manfaat pada masyarakat yang sebagian hidup di daerah pesisir. Manfaat tersebut telah dirasakan oleh masyarakat berkat adanya mangrove di Kecamatan Jailolo baik sebagai sumber air, wisata, tambak, maupun sebagai perlindungan daerah pesisir. BPDAS Ake Malamo (2010) juga mengemukakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat Provinsi Maluku Utara terhadap mangrove cukup tinggi baik dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosial. Hal ini bisa dilihat dari penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir, dimana sebagian besarnya bekerja sebagai nelayan dan petani tambak yaitu berkisar antara 70 – 85 %. Sedangkan Kecamatan Jailolo sendiri dalam pemanfaatan mangrove sebagai areal penggunaan lain (APL) seperti kawasan pemukiman dan perluasan pelabuhan sangatlah besar yaitu sebesar 75% (BPDAS 2015). Ketergantungan dan tingkat pemanfaatan yang tinggi dari masyarakat terhadap ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Jailolo dikhawatirkan berdampak pada kurangnya penyediaan jasa yang diberikan oleh hutan mangrove. Data dari Millennium Ecosystem Assessment (2005) menyatakan bahwa 60% dari jasa lingkungan yang dipelajari mengalami degradasi lebih cepat dari pada kemampuan memperbaikinya.

Santoso (2012) mengemukakan bahwa dalam pengelolaan mangrove dituntut adanya pengembangan sebuah pengelolaan yang tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan melainkan dapat memberikan manfaat pada masyarakat yang ada di sekitar mangrove. Dengan demikian kerusakan mangrove ini perlu dicarikan solusinya agar dapat dirumuskan dalam sebuah kebijakan dan strategi untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap memanfaatkannya demi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, pengelolaan hutan mangrove telah dilakukan oleh pemerintah melalui BPDAS Ake Malamo melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dengan mengembangkan mata pencaharian alternatif, program rehabilitasi mangrove dan rencana penguatan kelembagaan yang berorientasi pada pemanfaatan mangrove secara kolektif (ekonomi, ekologis dan keberlanjutan). Kegiatan RHL menurut BPDAS (2015) dinilai cukup berhasil dalam hal persentase tumbuh (80%), namun dinilai belum maksimal karena kegiatan penanaman tidak ditindak lanjuti dengan pemeliharaan dan penyulaman. Pendanaan yang masih mengandalkan pemerintah pusat, juga seringkali mengakibatkan keterlambatan dalam pelaksanaan kegiatan (BPDAS 2015). Lau (2013) mengungkapkan bahwa konsep konservasi maupun rehabilitasi selalu diterapkan namun keberhasilan dari pelaksanaannya selalu dibatasi oleh karena kurangnya dana pembiayaan. Untuk itu diperlukan instrument pembiayaan yang berkelanjutan. PJL pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk merestorasi dan melindungi ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang berkelanjutan. Skema PJL merupakan mekanisme yang membuat penyediaan jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama (KLH


(22)

2013). Menurut Ekayani et al. (2014) penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat mengeliminir kerusakan hutan akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Selain itu PJL juga dapat menjembatani antara kepentingan ekonomi maupun ekologi (Ekayani et al. 2014a; Vibrianto et al. 2015).

Pembayaran jasa lingkungan untuk hutan mangrove dinilai cocok untuk diterapkan di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. ini dapat dilihat dari adanya pemanfaatan yang tinggi dari jasa lingkungan mangrove itu sendiri. Pembayaran jasa lingkungan juga sangat didukung dengan adanya Peraturan Daerah No 4 Tahun 2012 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara terintegrasi dan berkelanjutan di Kabupaten Halmahera Barat, yang mana dalam pasal 29 menyatakan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum hendak melakukan usaha di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib membuat rencana rehabilitasi lingkungan; dan pada pasal 30 menyatakan bahwa pembiayaan yang timbul akibat pelaksanaan rehabilitasi lingkungan dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penerapan pembayaran jasa lingkungan di Kecamatan Jailolo sangat ditentukan dari bagaimana identifikasi jasa potensial, dengan variabel adalah adanya nilai ekonomi, pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan mangrove. Wunder (2005) mengemukakan bahwa dalam pembayaran jasa lingkungan, jasa harus diidentifikasi dan terdefinisi dengan baik. Selanjutnya ESCAP (2009) menyatakan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah dengan menetapkan nilai ekonomi jasa lingkungan, mendapat dukungan dan keikutsertaan masyarakat serta adanya penetapan kelembagaan.

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut diatas, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa nilai ekonomi jasa lingkungan dari ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Jailolo yang potensial untuk Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)?

2. Apabila diterapkan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), bagaimana persepsi dan partisipasi providers untuk menentukan rencana Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) ekosistem mangrove di Kecamatan Jailolo?

3. Bagaimana skema dan mekanismenya jika diterapkan pembayaran jasa lingkungan di Kecamatan Jailolo?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah menginisiasi Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk kelestarian ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Jailolo

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah;

1. Menghitung nilai ekonomi dan mengidentifikasi jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove yang potensial untuk Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) di Kecamatan Jailolo.

2. Mengkaji persepsi dan partisipasi providers terhadap rencana penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) pada nilai jasa potensial.

3. Menentukan skema dan mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) hutan mangrove di Kecamatan Jailolo.


(23)

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dibagi 2 yaitu: secara praktis dan akademis. Secara praktis, diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam penerapan kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan secara akademis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan pustaka dan pelengkap khasanah keilmuan ekonomi sumberdaya dan lingkungan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada (a) menghitung nilai ekonomi jasa dari ekosistem hutan mangrove yang telah dimanfaatkan. Penilaian ini diantaranya; sebagai jasa penyedia kayu bakar, ikan dan kepiting; jasa pengatur sebagai pemecah gelombang dan penahan intrusi air laut; dan jasa budaya sebagai jasa wisata alam/rekreasi (recreation, tourism). (b) Persepsi masyarakat yang dilihat dari bagaimana pemahaman providers dan stakeholder

tentang rencana penerapan PJL apakah setuju atau tidak. (c) bagaimana skema dan mekanisme penerapan pembayaran jasa lingkungan antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan.


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Hutan Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove, dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana 2009).

Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana 2009). Menurut Nybakken (1993) hutan mangrove biasanya ditemukan di daerah pesisir seperti pantai-pantai yang terlindung dan muara-muara sungai yang merupakan zona peralihan antara darat dan laut. Sedangkan menurut Dahuri et al. (2001) mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini pada umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung.

Hutan mangrove dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai hutan payau. Mangrove menghasilkan berbagai macam barang/material (baik berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu) dan jasa lingkungan (oksigen penyerap polutan, pengendali abrasi dan intrusi air laut, dan lain-lain) yang sangat bermanfaat secara ekonomis dan ekologis bagi kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan kelestarian hasil beserta kelestarian fungsi ekosistem pesisir itu sendiri (Kusmana 2009).

Valuasi Ekonomi Jasa Ekosistem Hutan Mangrove

Sumber daya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung, tetapi juga dapat menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain misalnya manfaat amenity seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya serta dapat lebih terasa manfaatnya dalam waktu jangka panjang. Kemudian manfaat hutan bakau sebagai daerah pencegah banjir dan tempat pemijahan (nursery ground) misalnya baru kita sadari justru setelah kita menghadapi banjir atau dalam kondisi dimana ikan/udang habis akibat hutan bakau tersebut ditebang. Manfaat-manfaat tersebut dikenal sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological


(25)

function) yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya (Fauzi 2004).

Valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu, valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri (Fauzi 2005). Valuasi ekonomi jasa ekosistem adalah alat yang digunakan secara luas dalam menentukan dampak dari aktivitas manusia terhadap sistem lingkungan dengan menetapkan nilai ekonomi untuk layanan (Pagiola et al. 2004). Pagiola et al. 2004 juga berpendapat bahwa valuasi dapat: (i) meningkatkan pemahaman tentang masalah dan trade-off dengan memperkirakan kepentingan relatif dari berbagai ekosistem; (ii) untuk membenarkan atau mengevaluasi keputusan di tempat-tempat tertentu; (iii) mengidentifikasi dan menggambarkan distribusi manfaat dan sehingga memudahkan pembagian biaya untuk inisiatif manajemen dan (iv) mendorong penciptaan inovatif kelembagaan dan pasar instrumen yang mempromosikan pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menghitung nilai ekonomi total ekosistem mangrove di Indonesia, diantaranya Fachruddin (1996) melakukan perhitungan dengan mengidentifikasi seluruh manfaat yang dapat ditangkap (capturable benefit) dari hutan mangrove di daerah Subang seluas %.328,6 ha. Total nilai manfaatnya sebesar Rp 79.992.032.560/tahun atau rata-rata 14.998.692/ha/tahun (Kordi 2012). Dan untuk nilai ekonomi mangrove per ha/tahun yang telah dihitung secara ilmiah oleh Barbier (2007) adalah US$12,392 atau lebih dari Rp 136 juta ha/tahun. Nilai ini sudah termasuk nilai langsung (Pemanfaatan kayu dan perikanan) serta nilai tidak langsung (seperti fungsi perlindungan pantai) (Fauzi 2014).

Jasa lingkungan ialah manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang secara dinamis terjadi di dalam lingkungan hidup baik antara tumbuhan, binatang, jasa renik dan lingkungan non-hayati. Walaupun kekayaan materi dapat membentengi perubahan lingkungan, tetapi manusia masih sangat bergantung pada aliran jasa lingkungan tersebut. Jasa lingkungan ini dibagi menjadi 4 yaitu: 1). Penyedia (provision), seperti produksi bahan makanan dan air; 2). Pengatur (regulating), seperti mengontrol iklim dan penyakit: 3). Penyangga (Supporting), seperti rantai makanan dan penyerbukan tanaman; dan 4). Kultural (cultural), seperti manfaat spiritual dan rekreasi (Milenium Ecosystem Assessment, 2005). Sedangkan menurut ESCAP (2009) jasa lingkungan dapat dibagi kedalam; 1). Jasa penyedia (provision) seperti pangan air tawar, bahan bakar dan serat; 2). Jasa pengatur (regulating), seperti pengaturan iklim, banjir, dan penjernihan air: 3). Jasa penunjang (Supporting), seperti pendauran hara dan pembentukan tanah; dan 4). Jasa budaya (cultural), seperti keindahan, rohani, pendidikan dan hiburan.


(26)

Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis seperti Indonesia. Mangrove juga sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Disamping itu, jasa lingkungan ekosistem mangrove yang terpenting bagi daerah pantai dipakai sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Lebih jauh lagi, hutan mangrove merupakan habitat (rumah) untuk berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya. Demikian halnya, hutan mangrove mampu menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan, dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh. Kemudian hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Gambar 1) (KLH 2012).

Sumber ; (MA, 2005;Vo Quoc et al, 2012)

Gambar 1. Jasa ekosistem mangrove Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang bisa dikonsumsi baik langsung maupun tidak langsung. Tapi ia juga menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, misalnya manfaat seperti keindahan, ketenangan dan sebagainya. Menurut Millennium Ecosystem Assessment (2005) Jasa lingkungan ialah manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang secara dinamis terjadi didalam lingkungan hidup baik antara tumbuhan, binatang, jasa renik dan lingkungan non-hayati. Walaupun kekayaan materi dapat membentengi perubahan lingkungan, namun manusia masih sangat tergantung pada aliran jasa lingkungan tersebut. Manfaat tersebut disebut sebagai manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan kolektif terhadap nilai sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja nilai pasar yang dihasilkan dari suatu sumber daya melainkan juga nilai pasar barang yang dihasilkan dari sumber daya dan juga nilai jasa

Ekosistem Mangrove

Jasa Penunjang (suporting service)

 Siklus nutrisi

 Pembentukan

tanah/endapan

 Produksi primer

 Fotosintesis

Jasa Pengatur (regulating service)

 Penyerap karbon

 Pelindung

abrasipantai

 Pelindung banjir

 Pemurnian air

Jasa Budaya (cultural service)

 Pariwisata

 Rekreasi

 Nilai-nilai spiritual

 Pendidikan  Estetika Jasa Penyedia (provisioning service)  Makanan(akuakultur)

 Bahan bakar(kayu

bakau)

 Serat


(27)

lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi 2006). Data dari

Millennium Ecosystem Assessment (2005) menyatakan bahwa 60% dari jasa lingkungan yang dipelajari mengalami degradasi lebih cepat daripada kemampuan memperbaikinya.

Secara umum pembayaran jasa lingkungan (PJL) didefinsikan sebagai sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (oneseller), satu pembeli (onebuyer) dan jasa lingkungan yang terdefinisi dengan baik (well-defined environmental service), yang mana berlaku pula prinsip-prinsip bisnis “hanya membayar bila jasa telah diterima” Wunder (2005). Umumnya, jenis jasa lingkungan diperdagangkan dalam skema PES antara lain; proteksi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi biodiversitas (biodiversity conservation), restorasi lanskap (landscape restoration), penyerapan karbon (carbon sequestration) dan stock carbon existing, serta keindahan alam. Seluruh jasa-jasa lingkungan tersebut memiliki aspek konservasi dan rehabilitasi yang tentu saja memiliki konsekuensi terhadap konsep institusional dan sistem rewards. Inisiatif PJL yang ada sekarang ini meliputi satu atau lebih dari berbagai komoditas diatas (Miranda et al. 2003). Bagi Indonesia sendiri, komoditas yang paling popular adalah komoditas daerah aliran sungai dan konservasi biodiversity. Identifikasi komoditas lingkungan tersebut diuraikan secara rinci dengan deskripsi jenis jasa lingkungan yang diperdagangkan dalam skema PJL (Tabel 1).

Syarat dan Tahapan Penerapan PJL

Syarat penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) menurut ICWRMIP (2013) yaitu:

 Adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider); mampu mengelola dan menjamin kelestarian jasa lingkungan secara baik kepada pihak pengguna jasa lingkungan;

 Adanya pengguna jasa lingkungan (environmental services users); memiliki pemahaman dan apresiasi yang memadai terhadap nilai jasa lingkungan, sehingga motivasi untuk memberikan dana kompensasi konservasi akan berjalan dengan baik;

 Jasa lingkungan (seperti jasa hidrologis) mampu diidentifikasi dengan baik oleh penyedia jasa lingkungan; pengguna jasa lingkungan memiliki persepsi dan pemahaman yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh penyedia jasa lingkungan (Tabel 1).

Sedangkan menurut Kementerian Negra Lingkungan Hidup (2006) penerapan instrument ekonomi lingkungan dalam pembayaran jasa lingkungan dilakukan melalui kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan yang didalamya terapat beberapa prinsip kerjasama antara lain sebagai berikut:

 Berbasis pembangunan berkelanjutan

Kerjasama yang dijalin untuk meningkatkan kapasitas antar pihak dalam pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan;

 Saling menghormati

Setiap anggota menghormati seluruh pihak yang menjadi mitra kerjasamanya melalui pengakuan terhadap nila-nilai kehormatan (dignity) serta mengedepankan kebersamaan dalam menggagas suatu keputusan bersama;


(28)

 Kolaboratif, membangun kemitraan strategis

Kerjasama yang dibentuk memberikan keuntungan semua anggota melalui pengembangan kemitraan sinergis serta sikap kooperatif dan akomodatif yang tinggi dengan menjungjung pengakuan kesejajaran. Kunci membangun kemitraan sinergis adalah bila seluruh pihak merasa diuntungkan dan saling membutuhkan serta tidak ada pihak yang merasa dimanfaatkan oleh pihak lain;

 Mengikuti aspek legalitas

Kerjasama yang dibangun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak serta tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

 Kejelasan hak, kewajiban, dan aturan main

Setiap kerjasama harus menjelaskan hak, kewajiban, dan aturan main. Dalam hal ini merupakan hak dan kewajiban kolektif, yang diserahkan kepada pemimpin atau wakil delegasi yagn melakukan kerjasama.

 Partisipatif

Sedapat mungkin melibatkan representasi stakeholders;  Pengakuan

Kesepakatan harus dibangun dengan persetujuan legislatif dan harus disosialisasikan kepada masyarakat agar mendapat pengakuan bersama.

Untuk Pengembangan PJL memiliki 4 tahap yang harus dilakukan diantaranya (ESCAP 2009):

Tahap 1, Mengenali permintaan, menetapkan tujuan, dan menentukan nilai:

 Menelaah kebutuhan dengan pertimbangan sosial ekonomi dari calon pembeli tertentu (komersial dan perorangan) akan jasa lingkungan tertentu.  Menetapkan, mengukur, dan melakukan penilaian atas jasa lingkungan

tertentu maupun mengenali ancaman pada waktu ini dan mendatang.  Menentukan apakah PJL merupakan alat kebijakan yang tepat, dan

alat-alat lain apa saja yang akan diperlukan.  Menetapkan tujuan.

 Menentukan nilai ekonomi dan nilai jual melalui penilaian lingkungan. Tahap 2, Menilai kemampuan dan kelayakan kelembagaan & teknis:

 Menilai segi hukum, kebijakan, dan kepemilikan lahan.

 Memeriksa kebijakan yang ada mengenai PJL misalnya pengguna lahan seharusnya dapat menerima imbalan dan pembeli seharusnya memberi imbalan (dan jika ada kewajiban pungutan, biaya atau pajak, itu semua seharusnya dapat diakses dalam program PJL).

 Melakukan survei atas jasa penunjang dan organisasi penunjang PJL yang Tersedia.

Tahap 3, Menetapkan kerangka kelembagaan & perjanjian:  Merancang rencana pengelolaan, usaha, dan komunikasi.

 Menetapkan kerangka kelembagaan berdasarkan lembaga-lembaga yang ada, mencari cara lain untuk mengurangi biaya transaksi, dan meningkatkan kemampuan apabila diperlukan.

 Menentukan cara pemberian imbalan yang tepat dan adil berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi dan sosial budaya.


(29)

Tahap 4, Pelaksanaan:

 Komunikasi, pemasaran, negosiasi dan pendaftaran perjanjian.  Melaksanakan pemantauan dan pembuktian.

 Melaksanakan pembiayaan dan pembayaran.

Tabel 1. Jasa lingkungan yang biasa dipasarkan dan pemanfaatnya

Jasa lingkungan Pemanfaat/pengguna langsung Pemanfaat/pengguna tak Langsung Jasa hidrologi

• Air untuk kebutuhan sehari-hari

• Penghasil tenaga air

• Pengguna air – seluruh sektor ekonomi

• Pengguna tenaga air – seluruh sektor ekonomi Keindahan

Pemandangan

• Perusahaan yang menyediakan

• ekowisata dan wisata alam – jasa terkait

• Masyarakat luas • Wisatawan

Dukungan keanekaragaman hayati

• Kepentingan pelestarian plasma nuftah

bioprospecting

(perusahaan obat-obatan) • Kepentingan konservasi

internasional • Perusahaan penyedia

ekowisata dan wisata alam – jasa terkait

• Pembuat obat-obatan • Perorangan

internasionalWisatawan

Jasa pengaturan iklim (penyimpanan karbon)

• Investor pada pasar karbon • Penghasil gas rumah kaca

(GRK)

• Pengguna energi tak terbarukan & bukan tenaga air disemua sektor

• Masyarakat dunia Sumber : ESCAP (2009)

Skema dan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan pada skema PJL biasa dilakukan melalui beberapa cara. Grieg et al. (2006) membedakan mekanisme pembayaran tersebut menjadi:

 Kontrak langsung diantara penyedia dan pemanfaat.

 Berdasarkan transaksi perantara, jika negosiasi kontrak dilakukan antara perantara, pemanfaat dan penyedia. Perantara/fasilitator ini dapat pemerintah atau NGO.

 Skema berbasis area (area-based scheme), dalam kondisi dimana aturan dan besaran pembayaran ditentukan oleh peraturan nasional ataupun daerah (biasanya setelah negosiasi).

 Mekanisme berbasis produk (product-based mechanisms) dimana pengelola lahan yang berhasil memenuhi syarat untuk memperoleh sertifikat lingkungan, memperoleh harga premium atau manfaat lainnya seperti peningkatan akses pasar.

 Mekanisme perdagangan canggih (sophisticated trading mechanism) seperti kartu kredit, izin dan hak pemanfaatan, serta yang terbaru banyak dilakukan di Negara-negara maju.

Pada negara-negara berkembang mekanisme yang banyak digunakan adalah kontrak langsung dan juga transaksi dengan perantara. Pada prinsipnya,


(30)

skema sistem pembayaran dalam PJL dapat dilakukan dengan berbagai tipe pembayaran, dan tipe sistem pembayaran tersebut adalah Grieg et al. (2006):

 Pembayaran financial langsung, contohnya pada kondisi tertentu terdapat perubahan pemanfaatan lahan yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya

livehood masyarakat, maka biaya kompensasi diberikan secara langsung.  Bantuan keuangan bagi kelompok masyarakat untuk kegiatan tertentu

misalnya bantuan pembuatan rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan lain sebagainya.

 Pembayaran ln-kind dalam bentuk lain semisal training pertanian untuk peningkatan kapasitas masyarakat pedesaan, peternakan, perikanan dan lain sebagainya.

 Pemberian hak/ijin pengelolaan, misalnya ijin pengelolah hutan.

Seluruh tipe skema pembayaran Jasa lingkungan di Indonesia sudah pernah dilaksanakan. Pada skema hutan kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu pengelolaan hutan berbasiskan pada Pembayaran Jasa lingkungan atau from Government to Community. Demikian halnya, skema sistem pembayaran atas jasa pengelolaan wilayah hutan yang terdegradasi oleh masyarakat memperoleh dukungan dari pemerintah yaitu diberikan insentif dalam bentuk hak pengelolaan hutan yang berlaku selama 3 tahun dan diperpanjang sampai 25 tahun lagi. Berikut pada tabel 2, dijelaskan contoh metode kompensasi altenatif yang dapat digunakan untuk skema pembayaran (Sutrija, 2013).

Tabel 2. Contoh metode alternatif untuk kompensasi dalam pembayaran Jasa lingkungan

No Tipe kompensasi Keterangan

1 Pembayaran untuk setiap pohon

Memberikan reward kepada individual yang menanam pohon untuk carbon sequestration dan kapasitas untuk kedepan carbon sequestration berdasarkan setiap pohon yang ditanam.

2

Pembayaran untuk penanaman hutan dan atau untuk perlindungan hutan

Memberikan kompensasi kepada organisasi masyarakat sebagai pengelola hutan yang melindungi atau menghasilkan area hutan atau menanam pohon. Organisasi kemasyarakatan ini memberikan manfaat untuk dibagikan ke anggotanya.

3

Pembayaran untuk

memungkinkan pengelolaan

lahan yang lebih

menguntungkan dan

berkelanjutan (sustainable)

Peningkatan bantuan dana, bantuan benih pohon, pemasaran infranstruktur, community based forest enterprises dan bantuan lainnya untuk prosedur individual (pelindung hutan) yang akan mendapat keuntungan secara financial dengan berpartisipasi dalam aktivitas pemanfaatan lahan atau pembagian pendapatan dari proteksi hutan.

4 Membayar masyarakat dengan peningkatkan pelayanan

Menyediakan pelayanan masyarakat seperti ruamah sakit, sekolah hak akses dan kepemilikan ke sumber daya (lahan, hutan, air dsb) yang dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga atau masyarakat.

Sumber: Forest et al. (2008)dalam Sutrija (2013)

Beberapa hal berikut termasuk isu-isu jasa lingkungan yang perlu dipahami (Fauzi et al. 2005):

1. Mekanisme imbal jasa lingkungan bukan transaksi pajak. Sehingga merupakan objek PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).


(31)

2. Imbal jasa lingkungan harus dipandang sebagai biaya kelola lingkungan dan kelola sosial, sehingga merupakan biaya produksi jasa lingkungan itu sendiri. 3. Imbal jasa lingkungan harus melebihi opportunity cost.

4. Perlu ada kelembagaan imbal jasa lingkungan tersendiri, termasuk lembaga keuangannya. Dengan account misalnya untuk masing-masing produk. Harus ada proses sosialisasi dari aturan main yang dihasilkan.

Pembayaran Jasa Lingkungan pada hakekatnya dapat dijadikan instrumen bagi pendanaan yang berkelanjutan. Disisi lain, pelaksanaan program PJL juga memerlukan sumber pendanaan yang pasti (secure source of financing). Mekanisme timbal balik inilah yang menyebabkan PJL menjadi opsi yang menarik dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (Rumfaker 2010).

Sumber: Pagiola & Platais (2002) ; Herbert et al.(2010)

Gambar 2. Alur Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Institusi yang menjadi pengawas jalannya mekanisme pendanaan dan mekanisme pembayaran dalam skema PJL adalah pemerintah daerah, dari mekanisme ini kemudian dijabarkan dalam mekanisme pembayaran bagi pengguna manfaat sumberdaya (dari 1 sampai n) yang kemudian membayar jasa lingkungan kepada penerima manfaat (Gambar 2).

Pelaksanaan PJL di Indonesia didasarkan pada azas sukarela. Seiring perkembangannya, masih memerlukan aturan hukum yang mengatur pelaksanaannya sehingga dikatakan legal berdasarkan hukum. Aturan hukum yang mengatur pelaksanaan PJL diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2009 pada pasal 42 dan 43 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam pasal 42 menyatakan bahwa (1). Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup (2). Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan c. insentif dan atau disinsentif.

Penerima Manfaat n

Penerima Manfaat 1 Penerima Manfaat 2

………… ………… ……

Pemerintah Daerah

Mekanisme Pembiayaan

Mekanisme Pembayaran

Jasa Lingkungan

………… ………… ……

Penyedia 1

Penyedia 2


(32)

Sedangkan dalam pasal 43 menyatakan bahwa (1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:

a. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup

b. Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan hidup.

c. Mekanisme kompensasi/imbalan jasa lingkungan hidup antar daerah; dan;

d. Internalisasi biaya lingkungan hidup.

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:

a. Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;

b. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan

c. Dana amanah/bantuan untuk konservasi

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:

a. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; b. Penerapan pajak retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;

c. Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup:

d. Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;

e. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup; f. Pengembangan asuransi lingkungan hidup;

g. Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan

h. Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dan pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

Menurut Rumfaker 2010, kelembagaan PES harus didasarkan pada aturan hukum yang ada, kelembagaan yang sudah ada dan sekaligus berpandangan pada aspek efesiensi dan akuntabilitas, adapun kelembagaan yang diajukan adalah sebagai berikut:

a. Pengelolaan secara swasta melalui mekanisme tender.

b. Pengelolaan oleh pemerintah daerah melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB).

c. Pengelolaan secara bersama melalui Badan Layanan Umum (BLU). d. Usulan lembaga pengelolaan terpilih.


(33)

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai analisis pembayaran jasa lingkugan sudah banyak dilakukan baik di Indonesia dan internasional, penelitian yang dilakukan sebagian besar menganalisis tentang skema pembayaran jasa lingkungan di daerah aliran sungai diantaranya penelitian Environmental Services Program (2007) yang berjudul Laporan Studi PES Untuk Mengembangkan Skema PES di DAS Deli, Sumatra Utara dan DAS Progo Jawa Tengah membahas tentang mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) serta kelembagaan atau pola hubungan pemangku kepentingan dalam pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan (PJL) di Daerah Aliran Sungai (DAS). Mekanisme PJL di DAS kesimpulannya memperoleh anggaran publik untuk menghasilkan layanan mitigasi kekeringan, serta untuk membuat kebijakan tentang besarnya ekonomi dan distribusi spasial atas nilai ekonomi perlindungan DAS (Kirsfianti et al., 2012).

Penelitian tentang pembayaran jasa lingkungan yang berkaitan dengan sumberdaya alam laut baru beberapa saja yang dilakukan di Indonesia, diantaranya penelitian oleh Mauritis Kristian Rumfaker 2010 yang berjudul Analisis pembayaran jasa lingkungan di kawasan konservasi laut daerah Kabupaten Raja Ampat, hasil dalam penelitian adalah menentukan seberapa besar

Willingness to Pay wisatawan terhadap pembayaran jasa lingkungan di KKLD Raja Ampat serta bentuk kelembagaan PJL adalah pola pengelolaan oleh pemerintah daerah melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penelitian oleh Sutrija 2013 yang berjudul model perilaku konservasi masyarakat terhadap jasa lingkungan untuk pelestarian hutan mangrove di pantai Bungko Kabupaten Cirebon yang membahas tentang perilaku konservasi masyarakat, kompensasi jasa lingkungan serta bagaimana pengembangan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan hutan mangrove di pantai Bungko Kabupaten Cirebon. Kesimpulan dari penelitian Sutrija 2013 adalah kompensasi jasa lingkungan yang harus dibayarkan oleh nelayan berkisar antara Rp.2000 dan Rp.5000. dengan strategi pengelolaan mangrove yang harus berbasis pada keterlibatan langsung masyarakat baik dalam merencanakan maupun mengevaluasi. Perbedaan dalam penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bagaimana mengidentifikasi dan memperhitungan nilai dari jasa-jasa lingkungan hutan mangrove yang dapat dijadikan sebagai peluang pembiayaan untuk setiap jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan mangrove.


(34)

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Mangrove merupakan sumber daya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi, penyedia jasa wisata, dan sebagai jasa penyedia kayu bakar, ikan, maupun kepiting. Jasa lingkungan ini memiliki nilai yang tinggi dan memberikan manfaat yang besar terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Pemanfaatan yang tinggi di lingkungan pesisir Kecamatan Jailolo khususnya wilayah yang memiliki hutan mangrove saat ini dikhawatirkan berdampak pada berkurangnya penyediaan jasa yang diberikan oleh hutan mangrove. Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya telah dilakukan oleh BPDAS Ake Malamo, namun masih mengandalkan pendanaan dari pemerintah pusat. Dari permasalahan tersebut maka diperlukan sebuah instrumen PJL sebagai perlindungan terhadap pemanfaatan sumberdaya. PJL sendiri merupakan mekanisme yang membuat penyediaan jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama (KLH 2013).

Pembayaran jasa lingkungan untuk hutan mangrove dinilai cocok untuk dikembangkan di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Tujuannya untuk melindungi dan menjaga agar penyediaan jasa lingkungan dari ekosistem hutan mangrove dapat berlangsung lama, serta dapat mencegah kerugian ekonomi akibat perubahan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengembangan wisata mangrove, dan penyediaan air bersih yang memanfaatkan jasa dari ekosistem hutan mangrove. Pembayaran jasa lingkungan juga sangat didukung dengan adanya Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara terintegrasi dan berkelanjutan di Kabupaten Halmahera Barat. Pada pasal 29 bahwa setiap orang dan/atau badan hukum hendak melakukan usaha diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib membuat rencana rehabilitasi lingkungan, sedangkan pada pasal 30 menyatakan bahwa pembiayaan yang timbul akibat pelaksanaan rehabilitasi lingkungan dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sebagai langkah awal, dilakukan perhitungan nilai ekonomi serta mengidentifikasi jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove tersebut dimaksudkan untuk menetapkan imbalan bagi calon pembeli dan penyedia jasa, penentuan nilai mangrove dianalisis melalui valuasi ekonomi dari jasa ekosistem hutan mangrove. Selain itu, dibutuhkan dukungan masyarakat penyedia jasa (providers) yaitu dengan melihat persepsi dan partisipasi dalam rencana penerapan PJL yang dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif serta

Willingness to Accept (WTA) masyarakat penyedia (providers). Selanjutnya, perlu diketahui bagaimana skema dan mekanisme PJL melalui analisis stakeholder dan analisis deskriptif. Perencanaan pembayaran jasa lingkungan ini nantinya dapat menjadi acuan untuk penerapan mekanisme pembayaaran jasa lingkungan (PJL) ke dalam rekomendasi kebijakan pemerintah Kabupaten Halmahera Barat sesuai dengan isyarat pemerintah pusat bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, yang secara jelas termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Gambar 3).


(35)

Keterangan:

: Lingkup penelitian : Langkah

Gambar 3. Diagram alur kerangka pikir

Jasa Penyedia Jasa Pengatur Jasa Penunjang Jasa Budaya

Menghitung nilai ekonomi dan mengidentifikasi jasa lingkungan potensial untuk

PJL

Mengkaji Persepsi & partisipasi providers

Skema dan mekanisme PJL

Inisiasi Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) untuk kelestarian ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten

Halmahera Barat

Analisis Stakeholder Analisis Deskriptif Deskriptif kuantitatif

Willingness to Accept Market Price Replacement

cost Travel cost method Deskriptif

Jasa Lingkungan Hutan Mangrove

Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Jasa Lingkungan yang sesuai dengan UU No 32 Tahun

2009 pasal 42 & 43

PERDA No 4 Tahun 2012 Pasal 29 & 30 Instrumen Pembayaran Jasa

Lingkungan (PJL) Permasalahan:

Pemanfaatan yang tinggi terhadap ekosistem hutan mangrove Pendanaan yang masih mengandalkan pemerintah pusat

Penerapan Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) yang dapat menjembatani kepentingan ekonomi maupun ekologi dan dapat


(36)

4. METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat pada bulan Februari-Juni 2015 dan dilakukan di 10 Desa dari 34 desa yang berada di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat, dipilihnya Kecamatan Jailolo karena memiliki hutan mangrove yang luas dan sudah dimanfaatkan.

Sumber: BPDAS Akemalamo(2015)

Gambar 4. Lokasi penelitian Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang diambil dari masyarakat pemanfaat hutan mangrove serta kelompok masyarakat rehabilitasi mangrove Kecamatan Jailolo. Data primer yang diambil diantaranya, harga dan biaya dari pemanfaatan kayu bakar, ikan, dan kepiting di daerah hutan mangrove, biaya perjalanan wisata untuk jasa wisata mangrove, serta data persepsi dan partisipasi masyarakat (providers) tentang rencana penerapan PJL. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara baik menggunakan kuesioner maupun melalui wawancara semi terstruktur, yaitu


(37)

in-dept interview baik dari masyarakat yang telah melakukan rehabilitasi hutan mangrove maupun stakeholder terkait.

Data sekunder yang diambil berupa data (demografi), data kondisi biofisik hutan mangrove (luasan mangrove, dan jenis-jenis mangrove), data tentang biaya pembuatan breakwater, biaya rehabilitasi/konservasi mangrove, mengenai profil desa, sosial ekonomi masyarakat, kegiatan konservasi yang telah dilakukan dan data tentang kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan mangrove. Data ini di kumpulkan melalui studi literatur dari laporan kegiatan yang telah dilakukan pemerintah daerah terkait diantaranya; Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, BAPPEDA, Dinas BLH, BPDAS dan BPS Kabupaten Halmahera Barat serta hasil penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian. Matriks metode penelitian lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 5.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dalam Penentuan lokasi ini dilakukan secara

non-probability sampling dengan metode purposive sampling. Oleh karena itu, dari 34 Desa yang berada di Kecamatan Jailolo hanya 10 desa yang merupakan desa pesisir yang masyarakatnya tinggal di sekitar hutan mangrove (Tabel 3 dan Lampiran 6).

Penentuan responden

a. Masyarakat Pemanfaat (nilai ekonomi)

Penentuan responden untuk masyarakat pemanfaat dilakukan secara sengaja (purpose sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah masyarakat yang berada di 10 Desa di Kecamatan Jailolo yang memanfaatkan hutan mangrove diantaranya pengambil kayu bakar, nelayan penangkap ikan dan kepiting. Penentuan responden masyarakat pemanfaat dilakukan untuk menentukan nilai ekonomi jasa hutan mangrove baik sebagai pemanfaat kayu bakar, ikan maupun kepiting (jasa penyedia).

b. Wisatawan

Responden yang menjadi sampel untuk responden wisatawan dilakukan secara sengaja (purpose sampling) jumlahnya disesuaikan dengan data yang diperoleh dari jumlah kunjungan wisata pada saat pengambilan sampel yaitu sebanyak 20 orang. Penentuan responden wisatawan dilakukan untuk menentukan nilai ekonomi jasa lingkungan mangrove sebagai jasa wisata (jasa budaya)

c. Provider

Penentuan responden untuk masyarakat penyedia jasa lingkungan (providers) dilakukan secara sengaja (purpose sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah masyarakat yang pernah terlibat dalam program kegiatan rehabilitasi mangrove di Kecamatan Jailolo berjumlah 43 orang. Penentuan jumlah ini diperoleh melalui rumus Yamane dalamKuenzer (2013) (Rumus 1).


(38)

d. Stakeholder

Penentuan responden untuk stakeholder dipilih 10 orang dari masing-masing pemerintah desa dan key person dipilih sebanyak 11 orang masing-masing dari lembaga pemerintah daerah diantaranya DPRD Halmahera Barat, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, BAPPEDA, Dinas BLH, BPDAS Ake Malamo, PU, Kanporadudpar, Akademisi terkait, PDAM, dan POKDARWIS yang terlibat dalam pemanfaatan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo.

Penentuan sampling untuk WTA provider

Penentuan sampling diambil dari 10 Desa di Kecamatan Jailolo yang memiliki hutan mangrove. Jumlah sampling berdasarkan jumlah kepala keluarga sebanyak 1929 KK (Tabael 3).

Tabel 3. Jumlah jiwa dan Kepala Keluarga di Kecamatan Jailolo

No Nama Desa Jumlah jiwa Kepala Keluarga (KK)

1 Gamalamo 1198 290

2 Gufasa 1112 300

3 Guemaadu 1712 146

4 Bobanehena 1864 367

5 Payo 705 201

6 Tuada 768 180

7 Mutui 340 90

8 Guaeria 308 94

9 Gamtala 322 91

10 Marimabati 680 170

Jumlah 9009 1929

Sumber: Data penelitian 2015

Penentuan sampel untuk jumlah responden (providers) menggunakan rumus Yamane dalamKuenzer dan Quoc (2013), maka di dapat jumlah responen untuk sampling WTA adalah

2

)

(

1

/

N

e

N

n

2 %) 15 ( 1929 1 1929 KK KK n

 n = 43.44 = 43…………...(1)

Keterangan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi (kepala keluarga)

e = batas error 15 % 1 = bilangan konstan

Responden yang diambil dalam penelitian ini yaitu dari masyarakat pemanfaat kayu bakar, ikan dan kepiting, wisatawan, masyarakat rehabilitasi mangrove, dan stakeholder baik pemerintah desa maupun pemeintah daerah Secara keseluruhan sebaran dan jumlah responden yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.


(39)

Tabel 4. Sebaran dan jumlah responden

No Responden Jumlah (orang)

1 Populasi dari masyarakat pemanfaat hutan mangrove (kayu bakar, ikan dan kepiting) yang ada di 10 Desa Kecamatan Jailolo (lampiran 1a)

21

2 Wisatawan (lampiran 2) 20

3 Sensus dari Masyarakat rehabilitasi mangrove (providers) yang

ada di 10 Desa Kecamatan Jailolo (lampiran 3) 43

4 Pemerintah desa (stakeholder) (lampiran 1e) 10

5 Pemerintah daerah (stakeholder) (lampiran 1f) 11

Total Responden 105

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Matriks metode analisis yang digunakan dalam penelitian ditampilkan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Matriks Metode Penelitian

Tujuan Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data

Menghitung nilai ekonomi dan mengidentifikasi jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove yang potensial untuk PJL di Kecamatan Jailolo

 Jasa penyedia (provisioning service)

 Data primer

Harga dan biaya pengambilan kayu

bakar mangrove, hasil tangkapan ikan, dan kepiting bakau, dari masyarakat pemanfaat.

 Data sekunder

Sensus masyarakat pemanfaat kayu

bakar, ikan dan kepiting

 Jasa pengatur (regulating service)

 Data sekunder

Biaya pembuatan breakwater dan

Biaya pengganti pembelian air (tangki

mobil)

 Jasa budaya (cultural service)

 Data primer

Biaya perjalanan wisata

 Data sekunder

Jumlah wisatawan

Pengelolaan mangrove dari literatur

terkait di Kecamatan Jailolo.

Nilai Ekonomi

Market Price (MP)

Replacemen Cost Method (RCM)& Change in Consumtion

Aproach

Travel Cost Method (TCM)

Analisis Deskriptif

Mengkaji persepsi dan partisipasi provider terhadap rencana penerapan PJL pada nilai jasa potensial

 Data primer

 Persepsi tentang arti rencana penerapan

PJL.

 Bagaimana pemahaman provider jika

diterapkan pembayaran jasa lingkungan.

 Bagaimana kesediaan provider dan

stakeholder dalam menerima PES

 Data sekunder

 Jumlah masyarakat yang pernah terlibat

Kegiatan konservasi dan rehabilitasi mangrove yang pernah dilakukan sebelumnya

Analisis Deskriptif Kuantitatif

Analisis Wilingness to Accept (WTA)

Menentukan skema dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL)

untuk kelestarian

mangrove

 Data Primer

 Bagaimana menentukan mekanisme dan

skema PJL . dilakukanmelalui wawancara baik menggunakan kuesioner maupun melalui wawancara semi terstruktur, yaitu in-dept interview

 Data sekunder

Stakeholder terkait

Analisis Stakeholder Analisis Deskriptif


(40)

Nilai Jasa Lingkungan

1. Market Price (MP)

Nilai manfaat langsung sebagai jasa penyedia pada mangrove dianalisis mengunakan harga pasar, harga pasar dari suatu sumberdaya akan digunakan untuk menghitung nilai guna langsung dari ekosistem mangrove. Harga pasar adalah harga penjualan lokal untuk produk yang dipasarkan dengan menggunakan harga bersih, berdasarkan Kementerian Lingkungan Hidup (2010), nilai guna langsung untuk kepiting diformulasikan sebagai berikut:

BPi

JNi

x

Pi

x

HPi

DUV

1

(

)

...(2) Keterangan:

DUVi =Direct Use Value komoditi i (Rp)

HPi = Harga pasar komoditi i (Rp/kg)

Pi = Produksi komoditi i (kg/tahun/ orang)

JNi = Jumlah orang komoditi i (populasi)

BPi = Biaya produksi komoditi i (Rp)

i = Jenis komoditi yang terdiri dari kayu bakar, ikan dan kepiting

2. Replacement Cost Method (RCM)

Pada dasarnya metode biaya pengganti dapat diasumsikan bahwa jumlah uang yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk mengganti asset (jasa) lingkungan secara umum sama dengan manfaat yang hilang dari jasa yang tersedia untuk masyarakat (Van Beukering et al. 2007). Sedangkan untuk jasa pengaturan dalam hal ini jasa mangrove sebagai penahan erosi/abrasi (Flood and Erotion Protection) didekati dengan pendekatan biaya penganti atau Replacement Cost Method (RCM), sehingga nilai ekonomi hutan mangrove sebagai pemecah gelombang dapat dihitung dengan persamaan berikut (KLH 2010):

t

t xP

B

Npg  ...(3) Keterangan:

Npg = Nilai pemecah gelombang (Rp)

Bt = Biaya pembuatan tembok pemecah gelombang (Rp/m)

Pt = Panjang mangrove yang dibuat sebagai pemecah gelombang (m) Demikian halnya, nilai ekonomi jasa pengaturan pada jasa mangrove sebagai penahan intrusi air laut menggunakan pendekatan Change in Consumtion Approach atau perubahan konsumsi air yang diperoleh dari jumlah penurunan penggunaan air tanah per tahun akibat intrusi setiap tahun (skenario penurunan konsumsi air tanah dibuat 2 skenario yaitu skenario rendah 5% dan skenario tinggi 10%) dikalikan tingkat harga air penganti (dirgen/galon) (Santoso 2012).

3. Travel Cost Method (TCM)

Perhitungan nilai jasa wisata didekati dengan menggunakan metode


(41)

kunjungan ke daerah wisata mangrove dengan menggunakan teknik ekonometrika seperti regresi berganda (OLS). Namun sederhananya, fungsi permintaan dapat ditulis sebagai berikut: (Fauzi 2014).

)

,

(

ij ij

ij

f

TC

X

V

...(4) Keterangan:

Vij = Jumlah kunjungan per tahun dari individu i ke daerah wisata j (kali/Tahun)

Xij = variable social ekonomi pengunjung yang menentukan kunjungan individu i

TCzj = total biaya perjalanan individu i ke tempat wisata j

Langkah kedua adalah menghitung surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi, surplus konsumen merupakan luar wilayah di bawah kurva permintaan, surplus konsumen diukur melalui formula:

1 2

2

V

SK

...(5)

Keterangan :

SK = Surplus Konsumen

V2 = Jumlah kunjungan konsumen

β1 = Koefisien total cost

Persepsi dan Partisipasi 1. Analisis Deskriptif Kuantitatif

Pemahaman dan partisipasi masyarakat (providers) terkait dengan rencana penerapan PJL akan dianalisis menggunakan statistik deskriptif kuantitatif, dengan variable pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana pemahaman masyarakat penyedia jasa lingkungan (providers) terhadap jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove.

b. Menentukan apakah PJL merupakan instrumen yang disetujui.

c. Bagaimana keikutsertaan masyarakat penyedia jasa lingkungan jika PJL diterapkan.

d. Apa jenis pengelolaan yang diinginkan masyarakat penyedia jasa lingkungan (providers).

2. Analisis Kesediaan Menerima (WTA) Provider

Analisis WTA dimaksudkan untuk menentukan nilai dasar untuk penetapan pembayaran jasa bagi pembeli, cara untuk mengetahui nilai WTA masyarakat dalam penelitian ini adalah dengan menghitung nilai rataan WTA dan menghitung nilai total WTA. Metode pertanyaan nilai WTA menggunakan metode pertanyaan tertutup (close-ended question) (Hanley, dan Spash, 1993).


(42)

a. Membangun Pasar Hipotetik

Pasar hipotetik yang digunakan dalam penelitian ini dibangun atas dasar rendahnya nilai kompensasi yang dibayarkan dalam penanaman mangrove (rehabilitasi) yang hanya sebatas penanaman bibit. Bila dibandingkan dengan nilai fungsi jasa lingkungan akibat penanaman mangrove oleh masyarakat jika mangrove dapat tumbuh dengan baik. Kegiatan rehabilitasi mangrove di Kecamatan Jailolo telah dilakukan sejak tahun 2010 dengan tujuan untuk memperbaiki habitat hutan mangove. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hal tersebut, masyarakat mendapatkan dana kompensasi sebesar Rp.1.500/pohon. Namun masih sebatas penanaman bibit saja, sedangkan mangrove membutuhkan waktu yang lama untuk pemeliharaan. Kondisi ini pun dikhawatirkan akan berdampak pada jumlah mangrove yang berhasil tumbuh atau tingkat keberhasilan tanaman. Oleh karena itu, kebijakan peningkatan nilai kompensasi harus lebih didasarkan pada keberhasilan tanaman yang tumbuh. Selanjutnya pasar hipotetik dibentuk dalam skenario sebagai berikut,

Skenario

Dalam rangka pengelolaan mangrove di Kecamatan Jailolo yang lebih baik, akan diajukan suatu kebijakan baru untuk meningkatkan nilai pembayaran jasa lingkungan berdasarkan keinginan masyarakat. Peningkatan pembayaran harus diikuti dengan peningkatan usaha konservasi oleh masyarakat penyedia jasa lingkungan. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan insentif masyarakat di lokasi model penyedia jasa lingkungan dalam usaha pemeliharaan mangrove agar tingkat keberhasilan mangrove yang ditanam tidak hanya sebatas penyediaan bibit tetapi berkelanjutan sampai tahap peemeliharaan agar keberhasilan tanam sesuai dengan yang diharapkan, serta untuk meningkatkan kesejahtraan masyaarakat di lokasi penanaman. Sehubungan dengan hal itu akan ditanyakan apakah masyarakat bersedia untuk menerima kebijakan tersebut dan berapa besar dana kompensasi yang sebenarnya bersedia diterima masyarakat.

b. Memperoleh nilai tawaran

Metode yang digunakan alam penelitian ini adalah metode pertanyaan tertutup (close-ended question). Metode ini dipilih karena dapat memudahkan pengklasifikasikan responden yang memilih kecendrungan bersedia menerima pembayaran jasa lingkungan, sehingga dari kemungkingan jawaban “ya” untuk setiap nilai yang diberikan dapat diapresiasi.

c. Menghitung nilai rataan WTA

Dugaan nilai rataan WTA dihitung dengan Rumus;

n

OWTAxi

EWTA

n to

...(6) Keterangan :

EWTA = dugaan nilai rataan WTA

xi = Jumlah tiap data

n = Jumlah responden

i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1.2...k)


(43)

d. Menghitung Total WTA

n

to

EWTAi

ni

TWTA

………...(7) Keterangan :

TWTA = Total WTA

EWTAi = nilai rata-rata WTA

ni = Jumlah pohon

i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1.2...k)

Skema dan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

1. Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder menurut Hermans dan Thissen (2008) adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan memetakan stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Sedangkan menurut Grimble dan Chan (1995) analisis stakeholder adalah suatu pendekatan untuk meningkatkan pemahaman pada suatu system melalui identifikasi aktor kunci atau stakeholder pada suatu system dan menduga perannya pada system tersebut. Pembayaran jasa lingkungan dilakukan melalui

analisis stakeholder hal ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar keterlibatan para pihak (actor) yang terlibat, yaitu:

A. Identifikasi stakeholder

Analisis dimulai dengan identifikasi stakeholder yang didapatkan dari hasil wawancara. Dalam mengidentifikasi stakeholder Reed et al. (2009) memberikan pedoman atau tahapan untuk melakukan identifikasi terhadap

stakeholders yaitu:

a. Daftar stakeholder

Sumber data yang dapat digunakan untuk membuat list adalah hasil pengamatan, informasi dari berbagai masyarakat dan hasil survey. Kepentingan: kepentingan yang dapat diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan dan apa yang dapat diperoleh oleh stakeholder.

b. Pengaruh stakeholders

Pengaruh terhadap suksesnya tidaknya kegiatan yang diukur dengan menggunakan parameter yaitu:

 tinggi jika stakeholder punya kemampuan untuk memveto sebuah keputusan

 kecil jika stakeholder tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pencapaian tujuan.

Peluang partisipasi

Partisipasi stakeholder dilihat dari kewenangan dari setiap organisasi yang terlibat dalam pengelolaan mangrove berbasis pembayaran jasa lingkungan


(1)

Lampiran 4. Lanjutan

Panduan penilaian kuantitatif tingkat kepentingan

1. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap rencana pengelolaan hutan mangrove kedalam bentuk pengelolaan berbasis pembayaran jasa lingkungan (PJL)?

Skor 5 : Jika tahu dan ikut terlibat Skor 4 : Jika tahu saja

Skor 3 : Jika cukup tahu Skor 2 : Jika kurang tahu Skor 1 : Tidak tahu sama sekali

2. Menurut pendapat bapak/ibu apakah mekanisme PJL untuk perbaikan kawasan hutan mangrove penting dan menjadi prioritas?

Skor 5 : Jika jawaban sangat penting, perlu dan menjadi prioritas Skor 4 : Jika penting dan perlu

Skor 3 : Jika cukup penting Skor 2 : Jika kurang penting Skor 1 : Tidak penting sama sekali

3. Bagaimana bentuk keterlibatan instansi/lembaga bapak/ibu dalam perencanaan PJL?

Skor 5 : Jika memiliki bentuk keterlibatan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja

Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : Tidak memiliki bentuk keterlibatan

4. Apakah manfaat yang diperoleh instansi/lembaga bapak/ibu dari dalam pelaksanaan PJL hutan mangrove nantinya dilakukan?

Skor 5 : Jika PJL hutan mangrove bermanfaat sebagai bentuk penelitian, pengembangan mekanisme, pendanaan, dan perijinan,

Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : Tidak mendapat manfaat

5. Apa sajakah program kerja instans/lembaga bapak/ibu yang terkait dengan PJL jika diterapkan?

Skor 5 : Jika memiliki peran dalam perlindungan sumberdaya, pemberdayaan masyarakat setempat, penyediaan sumberdaya manusia, penyediaan data dan informasi

Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : Tidak memiliki peran dalam PJL


(2)

Lampiran 4. Lanjutan

Panduan penilaian kuantitatif tingkat pengaruh

1. Sejauh mana keterlibatan lembaga/kelompok bapak/ibu dalam aturan/kebijakan pengelolaan hutan mangrove?

Skor 5 : Jika terlibat dalam menetapkan aturan dan kebijakan, melaksanakan aturan dan kebijakan, penegakan hukum, pemantauan/pengawasan Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja

Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu Skor 1 : Tidak terlibat sama sekali

2. Sejauh mana peran dan partisipasi lembaga/kelompok bapak/ibu dalam perencanaan atau pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan mangrove?

Skor 5 : Sangat besar, memberikan kontribusi berupa dana, SDM, infastruktur dan fasilitas dalam pelaksanaannya

Skor 4 : Besar jika berkontribusi terhadap tiga point

Skor 3 : Cukup besar, jika hanya berkontribusi terhadap dua point saja Skor 2 : Kurang, jika hanya berkontribusi terhadap salah satu point saja Skor 1 : Sangat kecil, tidak mempunyai kontribusi sama sekali kemampuan

dalam berinteraksi

3. Sejauh mana kemampuan lembaga/kelompok bapak/ibu/saudara dalam berinteraksi dengan lembaga/kelompok lain?

Skor 5 : Mengadakan forum untuk membahas rencana pengelolaan,

mengadakan kerjasama, saling mempengaruhi antar stakeholder yang bekerjasama, mengubah arah pengelolaan

Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu Skor 1 : Tidak melakukan apapun

4. Bagaimana kerjasama instansi/lembaga/kelompok bapak/ibu dalam pengelolaan hutan mangrove?

Skor 5 : Jika memiliki bentuk hubungan dengan, BAPPEDA, Dinas

Kehutanan dan BPDAS, Dinas Kelautan, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata

Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu saja

Skor 1 : Tidak memiliki bentuk hubungan dengan instansi lain 5. Apakah factor yang menjadi kekuatan instansi/lembaga/kelompok

bapak/ibu dalam rencana pelaksanaan PJL hutan mangrove?

Skor 5 : Jika kekutannya dalam landasan hukum/regulasi yang mendukung, kesamaan TUPOKSI, SDM yang sesuai dengan biang keahliannya, fasilitas yang cukup, dana mandiri, informasi akurat

Skor 4 : Jika menyebutkan tiga saja Skor 3 : Jika menyebutkan dua saja Skor 2 : Jika menyebutkan salah satu saja Skor 1 : Tidak mendapat manfaat


(3)

Lampiran 5. Dokumentasi

Pemanfaatan kayu bakar Pemanfaatan kepiting bakau Scylla spp

Pemecah gelombang (breakwater) Rehabilitasi mangrove oleh BPDAS dan Kelompok Masyarakat desa Gamlamo

Daerah Resapan Air di daerah hutan mangrove yang di pakai oleh PDAM


(4)

Lampiran 5 Lanjutan


(5)

(6)

tanggal 09 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Umar Idrus dan ibu Umi Djalal. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres Ubo-Ubo Ternate pada tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 6 Ternate pada tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikannya ke SMK Negeri 4 Ternate hingga menamatkan pendidikan SMK-nya pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada tahun 2006 di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unkhair Ternate dan menamatkan pendidikan Sarjana pada tahun 2011, Pada tahun 2012 penulis diberikan kesempatan dari DIKTI dan Universitas Khairun untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institute Pertanian Bogor.