PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI TEPIAN HUTAN BERBASIS PERILAKU ADAPTIF: ANALISIS SOSIO KULTURAL

Nisrul Irawati: Analisis Hubungan Earning Per Share dengan Profitabilitas

PENGEMBANGAN MODEL PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PETANI TEPIAN HUTAN BERBASIS PERILAKU ADAPTIF: ANALISIS SOSIO KULTURAL

Imam Santoso Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman

Abstract: We face some important and interesting problems about forest degradation and peasants poverty. This problem has resulted in other dimentional matters such as: resources scarcity and barbarian behaviour in the future. This research aims to find out: (1) It is to know why peasants have non adaptive behaviour, (2) It is formulate alternative model for developing peasants economic empowerment based on adaptive behaviour. This research show that there are some factors for effecting non adaptive peasants behaviour, such as: custom institution disappearing, communal rights decreasing, immigrants raising and enterpreneour penetrating, consumtion raising and low accesibility on empowering institution. This research has yielded an alternative model for each specific location at three district. In that an alternative model, peasants must transform themselves from non adaptive behaviour to adaptive bahaviour. Peasants capability for identifying their economic problem is the most important things for achieving the first step of empowering process. Model of peasants economic empowering, therefore, have strategic function for raising peasant social welfare.

Keywords: Model of economic empowerment and adaptive behaviour of peasants

PENDAHULUAN Pemanfaatan hutan sebagai aset
strategis yang berfungsi sebagai sumberdaya alam utama bagi keberlanjutan ekonomi Indonesia tak dapat dipisahkan dari upaya penyelamatan petani yang berada di belakang hutan. Menyadari nilai strategis hutan sebagai pemberi kontribusi ekonomi besar telah menyebabkan banyak pihak menaruh perhatian untuk melakukan ragam bentuk pengelolaan. Suatu bentuk pengelolaan yang dikhawatirkan adalah pengelolaan hutan tanpa memperdulikan aspek kelestarian hutan dengan kaidah konservasi lahan dan air. Eksploitasi hutan yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek oleh para pengusaha komersial sudah merusak keuntungan sosial dan dan lingkungan jangka panjang.
Perilaku ekonomi merusak ekosistem hutan semakin menjadi-jadi khususnya sejak berlangsung krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sejak medio Tahun 1997. Seiring realitas sosial ini, maka di level mikro sungguh tepat memperhatikan adagium ekologis yang menyebutkan bahwa “kemiskinan menyebabkan kerusakan hutan dan

kerusakan hutan menyebabkan kemiskinan.”

Artinya, dampak kerusakan sumberdaya

alam hutan yang makin parah bahkan dari

sisi ekologi sudah sampai stadium lanjut


menyebabkan proses kemiskinan masyarakat

lokal khususnya petani. Selanjutnya, karena

terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan

yang sulit terputuskan mendorong petani

berperilaku non adaptif dalam memanfaatkan

fungsi hutan sebagai sumber bahan pangan

dan sumber pendapatan.

Ragam upaya mewujudkan

pemulihan ekonomi (economic recovery)

telah dilakukan pemerintah untuk


memberdayakan petani tepian hutan seperti:

Social Forestry, Agroforestry, Kredit

Ketahanan Pangan, Jaring Pengaman Sosial

(JPS) dan program lainnya. Namun harus

diakui hingga kini masih menyisakan

setumpuk masalah yang masih perlu

ditangani serius. Hal pokok yang penting

dipertimbangkan bahwa upaya konservasi

sumberdaya hutan tak akan berhasil baik

jika keadaan ekonomi manusia yang berada


di belakang hutan itu belum diselamatkan

dari jerat kemiskinan. Citra yang hanya

menempatkan

pembangunan

pertanian/kehutanan hanya sekedar batu

92

Jurnal Ekonom, Vol. 13, No. 3 Juli 2010

loncatan dan lip services saja sudah

selayaknya ditinggalkan. Salah satu strategi

yang perlu dikedepankan untuk mencapainya


adalah melalui pemberdayaan ekonomi

masyarakat petani tepian hutan berbasis pada

pengembangan perilaku adaptif. Maksud

perilaku adaptif di sini adalah perilaku yang

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan

melakukan kegiatan ekonomi baik di bidang

pertanian maupun non pertanian; didasari

modal sosial dan kearifan lokal untuk ikut

bertanggungjawab menjaga kelestarian hutan

dan lingkungan sosial yang kondusif.


Selama ini, pemberdayaan ekonomi

petani tepian hutan bersifat top down,

cenderung dilakukan secara sepotong-

sepotong, homogen, berorientasi ekonomi

jangka pendek, mengandalkan akumulasi

kapital, tidak sesuai akar permasalahan dan

kebutuhan petani. Model pemberdayaan

ekonomi petani tepian hutan juga belum

memanfaatkan aspek perilaku yang adaptif.

Padahal langkah awal yang dibutuhkan saat


memberdayakan masyarakat adalah

bertumpu pada kemampuan memunculkan

kesadaran berniat melakukan perubahan dan

menyiapkan perilaku adaptif dalam

menyikapi perubahan. Scott dan Jaffe (1991)

menjelaskan bahwa pemberdayaan bukanlah

proses tunggal atau sekedar jalinan

kerjasama. Pemberdayaan merupakan proses

menyeluruh yang dimotori perubahan

perilaku ke arah lebih baik. Friedman (1992)


menyebutkan faktor penting pemberdayaan

memang terletak pada otonomi pengambilan

keputusan masyarakat. Chamber (1997) juga

senada menegaskan pemberdayaan pada tiga

hal: berpusat pada manusia, partisipatoris dan

berkelanjutan. Dalam terminologi ekonomi

lingkungan,

eksternalitas

negatif

mengakibatkan alokasi sumberdaya yang


tidak bisa mencapai efisiensi maksimum dan

menimbulkan ketidakadilan. Tanpa didasari

dengan perilaku adaptif, maka upaya

pemberdayaan ekonomi hanya menjadi suatu

jalan pintas menuju pembangunan yang

potensial merusak sumberdaya hutan.

Bertolak dari urgensi memperhatikan

uraian latar belakang persoalan yang

dipaparkan maka dirumuskan masalah

penelitian yang menjadi pusat kajian yakni:


(1) Bagaimana kondisi sosio kultural yang

melatarbelakangi petani tepian hutan

berperilaku non adaptif dalam

melakukan ragam kegiatan produktif

93

baik di bidang pertanian maupun non pertanian? (2) Bagaimana model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan yang berbasis perilaku adaptif?
METODE Lokasi penelitian ditentukan secara
sengaja di pedesaan dengan tiga tipe hutan yaitu: Pertama, hutan rakyat di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kedua, hutan adat wilayah di Kabupaten Mandailing Natal. Kedua kabupaten ini termasuk wilayah Propinsi Sumatera Utara. Ketiga, hutan negara di wilayah Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil orientasi lapangan terungkap bahwa pada ketiga wilayah pedesaan tepian hutan yang terpilih ditemukan permasalahan yang relevan dengan tema penelitian.
Desain penelitian yang digunakan merupakan pengkombinasian antara pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kualitatif. Model kombinasi kuantitatif dan kualitatif yang dimanfaatkan mengacu pada pemikiran Cresswell (1994) yakni lebih dominan pendekatan kuantitatif (quantitatif dominant) dibanding pendekatan kualitatif (qualitative less dominant).
Cakupan populasi penelitian meliputi semua petani yang mukim di pedesaan tepian hutan pada tiga kabupaten yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian. Menyadari pendekatan penelitian yang dominan kuantitatif maka teknik penetapan responden dilakukan dengan memanfaatkan teknik gugus bertahap (multistage sampling) sesuai yang disyaratkan Cochran (1977). Jumlah responden dari pedesaan setiap tipe hutan masing-masing sebanyak 75 orang, sehingga total responden 225 orang. Untuk kepentingan pendekatan kualitatif ditetapkan informan penelitian dengan memakai teknik purposif.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dari responden dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Data primer dari informan diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan life history. Teknik pengumpulan primer lainnya adalah observasi atau pengamatan langsung di

Imam Santoso: Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani


lapangan. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran dan pengkajian hasilhasil penelitian ahli terdahulu, dokumen resmi, arsip dan catatan terkait tema.
Teknik pengolahan dan analisis data dilaksanakan secara kuantitatif dan kualitatif.. Pengujian terhadap rumusan model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan yang berbasis perilaku memakai teknik kuantitatif dengan Metode Struktur Koragam (MSK) atau yang lebih dikenal dengan istilah Model LISREL (Linear Structural Relationships Model). Model ini tepat untuk mengkonfirmasi dimensi dari sebuah konsep atau faktor dan model (Ferdinand, 2000). Teknik analisis secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan Interactif Model of Analysis dan Triangulasi. Kesemua data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam uraian deskriptif bersifat kualitatif dan kuantitatif yang saling melengkapi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Aspek Sosio Kultural yang

Melatarbelakangi Perilaku Ekonomi

Petani Tepian Hutan Non Adaptif

Masyarakat petani tepian hutan

memiliki aspek sosio kultural yang khas

dalam melakukan berbagai aktivitas

kehidupan. Kekhasan yang dimiliki berbeda

dengan kelompok masyarakat agraris lain.


Petani tepian hutan merupakan figur yang

mempunyai kedekatan ekonomi, sosial,

kultural dan religi dengan eksistensi hutan.

Fungsi hutan bagi petani yang bermukim di

sekitarnya tak sekedar sumber kehidupan

pada masa sekarang namun juga menjadi

harapan hidup di masa yang akan datang.

Petani memanfaatkan hutan untuk bekal

kemajuan kesejahteraannya dan hal ini

berawal saat kegiatan mambuka harangan.

Bagi masyarakat petani di pedesaan

bertipe hutan rakyat dan adat, status sosial

sebagai partombak harangan atau parhauma

di harangan sebagai pihak pembuka hutan

untuk kegiatan bertani (sawah, ladang/huma)

merupakan suatu atribut yang harus

prestisius karena padanya melekat hak dan

kewajiban tentang pengaturan tatacara

pengelolaan lingkungan hutan dan tata

kehidupan lingkungan sosial masyarakat

lokal. Partombak harangan beserta generasi

keturunannya

mempunyai kewajiban

menjadi pemimpin wilayah yang dituahkan

menjaga lingkungan sosial masyarakat beserta keamanan kelestarian hutan.
Begitu juga pada petani di pedesaan bertipe hutan negara, pembuka hutan (mbabat alas) dilakukan oleh para pendahulu desa yang juga bertanggungjawab terhadap keberlangsungan kehidupan sosial ekonomi anggota masyarakat dan juga keberlangsungan sumberdaya hutan. Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, partombak harangan dan mbabat alas membuat aturan hukum adat yang mengatur sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat sehingga tersirat kesan bahwa hutan merupakan eksistensi masyarakat yang hidup di pedesaan tepian hutan. Pada hukum adat tertuang aturan ketat untuk menjaga kelestarian hutan dan inilah yang dikenal sebagai hak ulayat. Akan tetapi, seiring dengan diberlakukannya kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah maka fungsi hukum adat tergeser. Fungsi hutan yang diorientasikan pada kepentingan ekonomi untuk devisa negara mempersempit kesempatan dan akses masyarakat tepian hutan yang mayoritas petani untuk mengelola hasil hutan. Sejak kehadiran pemegang HPH yang bermodal besar di hutan bertipe adat dan rakyat serta Perum Perhutani di hutan negara, fungsi hutan bagi petani berubah menjadi kawasan tertutup. Meskipun terdapat aktivitas ekonomi yang bisa dilakukan pada kawasan hutan, tetapi sifatnya terbatas misalnya bertani dengan luas lahan yang ditentukan pengelola hutan, parbalok (buruh penebang kayu pada pengusaha HPH), pesanggem (buruh tani hutan pada Perum Perhutani).
Akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk khususnya para pendatang yang memasuki pedesaan tepian hutan disertai naiknya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan petani tepian hutan terdesak melakukan kegiatan ekonomi yang non adaptif terhadap kelestarian hutan dan lingkungan sosial. Kearifan lokal dan modal sosial semakin mudah tereduksi bahkan memudar oleh tuntutan ekonomi yang tak tercukupi oleh berbagai bentuk strategi survival yang belum produktif. Kehidupan petani tepian hutan menjadi sebuah dilema; pada satu sisi berada ditengah-tengah kekayaan alam hutan namun di sisi lain rawan terkena kemiskinan khususnya food insecurity akibat
94

Jurnal Ekonom, Vol. 13, No. 3 Juli 2010

keterbatasan dalam mengelola lahan hutan untuk kegiatan produktif (pertanian).
Keperdulian petani tepian hutan terhadap kelestarian hutan menipis karena rasa memiliki tergeser oleh kepentingan ekonomi, sehingga perilakunya cenderung ikut merusak kelestarian hutan. Pada Tabel 1 diuraikan tentang aspek sosio kultural yang melatarbelakangi mengapa perilaku ekonomi petani kurang adaptif di pedesaan dengan tiga tipe hutan yang diteliti.
Informasi yang tertuang pada Tabel 1 menyatakan bahwa aspek sosio kultural yang melatarbelakangi perilaku ekonomi ternyata

mempunyai perbedaan nyata antara petani di pedesaan tepian hutan rakyat, adat dan negara. Petani di tepian hutan negara paling kuat mengalami pengaruh perubahan aspek sosio kultural baik ditinjau dari: pemudaran fungsi hak ulayat, pengikisan Peran tokoh partombak harangan dan mbabat alas dalam menjaga kelestarian hutan, Meningkatnya jumlah pendatang ke pedesaan tepian hutan, intervensi pihak luar (Pemegang HPH dan Perum Perhutani) yang komersil dan peningkatan tuntutan ekonomi kebutuhan keluarga.

Tabel 1. Aspek Sosio Kultural yang Melatarbelakangi Perilaku Ekonomi

Perilaku Ekonomi Non Adaptif

Persentase Petani

Aspek Sosio Kultural

Tepian Hutan *)

Rakyat Adat Negara

(%) (%) (%)

Fungsi hak ulayat

♠ Fungsi produksi dalam usahatani tidak

66,66 25,33 93,33

memudar

sustainable

Peran tokoh partombak ♠ Figur yang mengontrol pemanfaatan

45,33 29,33 94,66

harangan dan mbabat

sumberdaya hutan kehilangan hak dan

alas dalam menjaga

kewajibannya sehingga kegiatan pemanfaatan

kelestarian hutan

lahan dan isi sumberdaya hutan untuk

mengalami pengikisan

pertanian dan non pertanian non didasari

prinsip konservasi lahan dan air menurut

kaidah adat

Meningkatnya jumlah ♠ Mengubah sistem pengelolaan usahatani

41,33 22,66 100.00

pendatang ke pedesaan ♠ Mempersempit luasan lahan garapan

tepian hutan

♠ Menuntut pengaturan musim tanam intensif

(masa bero tanah bernon) sehingga

menurunkan produktivitas usahatani, rawan

erosi dan lahan semakin tak subur karena

kehilangan top soil

Intervensi pihak luar ♠ Petani kurang memperhatikan kelangsungan

78,66 54,66 100,00

(Pemegang HPH dan

usahataninya

Perum Perhutani) yang ♠ Lebih tertarik pada pekerjaan yang langsung

bersifat komersial

dapat memberikan nilai rupiah (menjadi buruh

tani hutan, penebang/ penggergaji kayu atau

parbalok)

Tuntutan ekonomi

♠ Mengurangi modal produksi

76,00 56,00 100,00

meningkat untuk memenuhi kebutuhan keluarga

♠ Mendorong petani berperilaku menerabas dan merusak kelestarian hutan

Respon dan akses

♠ Kemampuan kewirausahaan rendah

72,00 32,00 97,33

terhadap upaya pemberdayaan ekonomi yang top down dan berciri homogen rendah

♠ Akses terhadap informasi peluang bisnis pertanian dan non pertanian rendah
♠ Usaha produktif yang dikelola belum menguntungkan belum memiliki efisiensi ekonomi

Sumber: Diolah dari data primer (2004)

Jumlah responden dari tiap tipe hutan sebanyak 75 orang sehingga total responden 225 orang

95

Imam Santoso: Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani

Production oriented sebagai wujud kuatnya misi ekonomi yang dihadapkan ke pemanfaatan sumberdaya hutan telah mengurangi porsi fungsi sosial, ekonomi dan kultural untuk masyarakat petani tepian hutan. Tidak heran jika perilaka non adaptif yang tidak peka terhadap sumberdaya alam (“hutan”) ini semakin menggejala dari waktu ke waktu baik di hutan rakyat, adat maupun negara seiring dengan semakin langkanya sumberdaya alam akibat ekstraksi yang semakin besar terhadap hutan dan segala isinya oleh berbagai pihak Perilaku ekonomi petani tepian hutan dengan semangat dan kemampuan dalam kewirausahaan (sebagai salah satu ciri perilaku adaptif) akan tetap sulit ditingkatkan; karena yang sedang trend terjadi justru adalah perilaku menerabas, misalnya: mencuri kayu, meningkatkan ekstraksi terhadap hutan alam dan ikut menjadi pelaksana illegal logging. Pemanfaatan hutan dengan perilaku yang non adaptif terhadap kelestarian hutan merupakan ancaman yang dapat menghilangkan modal ilmiah dan pada gilirannya akan merusak berbagai fungsi ekologis (Atje, et al., 2001).
2. Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif Strategi pemberdayaan ekonomi
petani mengandung makna peningkatan

kemandirian petani dan keluarganya dan peningkatan semua potensi agar petani lebih berdaya secara sosial (terdistribusikannya kekuasaan untuk mengelola usaha taninya) dan berdaya secara ekonomi (berbentuk redistribusi sumberdaya ekonomi melalui kegiatan produktif). Pendekatan demikian lebih menekankan pentingnya petani sebagai subyek pelaku ekonomi bukan semata-mata sebagai obyek pasar saja. Dalam perspektif pertanian lama, sering pelaku wirausaha di bidang pertanian mencakup pedagang pengumpul di tingkat desa, tengkulak, pedagang pengumpul di tingkat kecamatan, pengusaha penggilingan padi, pedagang eceran, pedagang besar atau para pengusaha yang menyewakan traktor/tresher/alat tabur benih langsung atau alat-alat mekanik pertanian lainnya. Dengan paradigma ekonomi pertanian yang baru di era kini, sudah saatnya petani pengelola usahatani dan menjadi pelaku utama kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan penerima manfaat. Strategi untuk terbebas dari kondisi keterpurukan bersumber dari dua hal, yaitu: kesiapan petani menghadapi globalisasi dan kedua berupa pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia (Sumardjo, 2004). Pada Gambar 1 dirinci rumusan model pemberdayaan ekonomi petani tepian hutan yang berbasiskan perilaku adaptif.

Perilaku Non Adaptif

0,57

Transformasi Perilaku

X1: Fungsi produksi usahatani tidak sustainable

X2: Teknik bertani tanpa kaidah konservasi lahan dan air

0,51 0,71

X3: Intervensi pihak
luar mendorong petani bersikap komersil

0,62

X4: Modal produksi 0,83 terbatas

X5:Perilaku menerabas dalam mengelola sumberdaya hutan

0,57

Identifikasi Kebutuhan

0,92

Kelestarian Hutan Rusak

Penyuluhan

Pelatihan

0,68

Upaya

Pemberdayaan

Ekonomi

0,82

Berbasis Perilaku

Adaptif

Sumberdaya Hutan Relatif Lebih Sustain
Lingkungan Sosial
Kondusif

X6: Kemampuan kewirausahaan rendah
X7: Manajemen
usahatani tidak efisien

0,88 Lingkungan Sosial Tidak Kondusif
0,68

Penyadaran

Pendampingan

Penguatan kelembagaan Ekonomi Lokal

Gambar 1. Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani Tepian Hutan Berbasis Perilaku Adaptif

96

Jurnal Ekonom, Vol. 13, No. 3 Juli 2010

Upaya yang dituju dalam konteks pemberdayaan petani ini memang adalah kesejahteraan. Dalam beberapa disiplin ilmu melahirkan beberapa indikator yang berbeda dalam konsep kesejahteraan ini. Para ekonom biasanya melihat dari sudut peningkatan pendapatan, tingkat konsumsi, daya beli petani. Ditinjau dari antropologi ekonomi kesehateraan lebih dilihat sebagai relativitas antar budaya. Konsep sosiologi memandang kesejahteraan dari aspek stratifikasi sosial berupa semakin terbukanya akses bagi strata sosial ekonomi di bawah untuk naik tangga sosial dengan aturan baku yang lebih fair dan berkeadilan. Dalam kajian ini penulis menyoroti dari gabungan beberapa aspek sekaligus (pemberdayaan terpadu) menuju ke arah kemandirian petani melalui perilaku adaptif.
Model pemberdayaan ekonomi masyarakat petani tepian hutan di pedesaan rakyat, adat dan negara selayaknya bertolak dari tahap paling awal dan terpenting dilakukan yakni melalui identifikasi terhadap berbagai jenis kebutuhan keluarganya. Hasil identifikasi disusun dalam jenjang prioritas untuk menetapkan antara kebutuhan yang mendesak untuk segera dipecahkan dan berikutnya sesuai kadar keperluan yang dirasakan petani. Petani diajak untuk mengenali perilaku lamanya yang bersifat non adaptif beserta kelemahannya dalam mendukung pemberdayaan ekonominya. Serangkaian upaya pemberdayaan ekonomi petani tepian yang berbasis perilaku adaptif membutuhkan kesadaran dan kemauan yang termotivasi dari dalam diri petani sendiri (intrinksi). Kegiatan penyuluhan, pelatihan, pendampingan, penyadaran dan penguatan kelembagaan ekonomi lokal merupakan sederetan teknik pembelajaran yang sesuai permasalahan dan kondisi petani dalam mengikuti proses transformasi perilaku dari non adaptif menjadi adaptif.
KESIMPULAN 1. Ragam aspek sosio kultural yang
melatarbelakangi mengapa petani tepian hutan berperilaku non adaptif dalam melakukan kegiatan ekonominya. 2. Cakupan aspek sosio kultural yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku ekonomi petani tepian hutan yang non adaptif meliputi: fungsi hak ulayat memudar, peran tokoh partombak
97

harangan dan mbabat alas dalam

menjaga kelestarian hutan terkikis,

jumlah pendatang meningkat, intervensi

pihak luar (Pemegang HPH dan Perum

Perhutani) bersifat komersial, tuntutan

ekonomi meningkat, respon dan akses

terhadap pemberdayaan ekonomi rendah.

3. Rumusan model pemberdayaan ekonomi

petani yang berbasis perilaku adaptif

merupakan upaya memutus akar

permasalahan yang menjadi penyebab

perilaku non adaptif. Pada model termuat

pentingnya petani tepian hutan

melakukan proses transformasi perilaku.

4. Kemampuan

mengidentifikasi

kesesuaian kebutuhan petani tepian hutan

menjadi modal awal dalam

pemberdayaan ekonomi petani tepian

hutan, sehingga model berfungsi strategis

karena bersifat bottom up dan spesifik

lokasi.

SARAN

1. Diperlukan upaya terpadu dan

terintegrasi untuk dapat mengembalikan

fungsi hutan melalui pemberdayaan

ekonomi untuk penyelematan dan

penumbuhkembang

kemampuan

petaninya.

2. Upaya penanganan secara parsial hanya

menyentuh pemberdayaan di areal

permukaan yang kita kenal sebagai

bentuk pemberdayaan sloganistik dan

belum menyentuh aspek struktural dari

pemberdayaan, yaitu semakin terbukanya

peluang petani untuk meningkatkan

strata ekonomi, sosial dan budayanya.

Tentu saja kajian yang lebih mendalam

dan terinci masih tetap dibutuhkan untuk

membangun model pemberdayaan

ekonomi petani tepian hutan yang

berbasiskan perilaku adaptif.

3. Identifikasi kebutuhan dan pengenalan

akar penyebab permasalahan merupakan

tahap penting dicermati dalam memulai

transformasi perilaku petani tepian hutan

tentu saja terintegrasi antara dukungan

internal maupun eksternalnya.

DAFTAR RUJUKAN Atje, Raymond and Roesad, Kurnya. 2001.
“Who Should Own the Forests in Indonesia? Exploring the Links Between Economic Incentive Regimes, Property Rights and Forest

Imam Santoso: Pengembangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Petani

Management”. CSIS Forestry Policy Research Working Paper. Jakarta. Chamber, Robert.1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Cresswell, John W., 1994. Research Design Qualitative and Qualitative Approaches. Thousand Oaks Sage. London. Cochran, Robert. 1997. Sampling Techniques. John Wiley. New York. Ferdinand, August. 2000. Structural Equation Model di Bidang Managemen. Universitas Diponegoro Press. Semarang.

Friedman, John. 1992. The Politic of Alternative Development. Blackwell Publisher. Cambridge.
Santoso, Imam. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. Disertasi (belum diterbitkan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Scott, James C dan Michael Jaffe.1991. Empowerment. Blackwell Publisher. Cambridge.
Sumardjo. 2004. Peran Serta Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Adat. LPM-IPB. Bogor.

98