PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO KULTURAL A (1)

CIVIL SERVICE

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS,

PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURAL ASN DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR Dewi Sartika

KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI POLISI DALAM UNDANG-UNDANG APARATUR SIPIL NEGARA Dwi Andayani Budisetyowati

NETRALITAS BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI Eko Noer Kristiyanto

Vol. 1

MEWUJUDKAN KONSEP BIROKRASI YANG KAYA FUNGSI STUDI KASUS: BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN

1, No. 1, JUNI 2017 Halaman 1 - 93

Joko Tri Haryanto

SYSTEMATIC REVIEW: BUDAYA INOVASI ASPEK YANG TERLUPAKAN DALAM INOVASI KEPEGAWAIAN

Lesmana Rian Andhika

PERENCANAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL: STUDY KASUS JABATAN FUNGSIONAL TERTENTU Novi Savarianti Fahrani

ANALISIS PENEGAKAN DISIPLIN APARATUR SIPIL NEGARA (STUDI KASUS KEDEPUTIAN BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA (BNPB))

ISSN 1978-7103

Trubus Harardiansah

PUSAT PENGKAJIAN DAN PENELITIAN KEPEGAWAIAN

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

IVIL SERVICE

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS

Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103

Jurnal Civil Service adalah jurnal ilmiah dalam bidang kebijakan dan manajemen PNS yang terakreditasi dengan Nomor Akreditasi: 624/Akred/P2MI-LIPI/03/2015 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Nomor: 335/E/2015 Tanggal 15 April 2015

Jurnal Civil Service sebagai media Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara memuat tulisan naskah tentang hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, tinjauan kepustakaan dan resensi buku dalam bidang kebijakan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil

(PNS) yang terbit dua kali dalam setahun setiap bulan Juni dan November.

SUSUNAN REDAKSI Pimpinan Redaksi

: Novi Savarianti F, S.H., MH. (Hukum Administrasi Negara/BKN) Anggota Redaksi : Ajib Rakhmawanto, S.IP., M.Si. (Manajemen SDM/BKN)

Dr. Yosua Jaya Edy, S.Sos, SE, M.Si (Manajemen SDM/BKN) Agustinus Sulistyo Tri P., SE., M.Si. (Manajemen SDM/LAN) Syafuan Rozi, S.IP., M.Si. (Kebijakan Publik/LIPI)

Anang Pikukuh Purwoko, SE., MM. (Manajemen SDM/BKN)

Mitra Bestari

: Prof. Dr. Eko Prasojo (Kebijakan Publik/UI)

Prof. Dr. Yeremias T. Keban (Manajemen Publik/UGM) Prof. Dr. Ni'matul Huda, S.H., M. Hum (Hukum Tata Negara/UII)

Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si, MM (Manajemen Administrasi/UI) Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu (Kebijakan Publik/UI)

Dr. Triwidodo Catur Utomo, S.H., M.A. (Hukum Administrasi Negara (LAN) Dr. Slamet Rosyadi (Manajemen Publik/UNSOED) Dr. MR. Khairul Muluk (Manajemen Publik/UNIBRAW) Dr. Hj. R. Ira Irawati (Organisasi Publik & Manajemen SDM/UNPAD)

Dr. Pantius Drahen Soeling (Kebijakan Publik/UI)

Penyunting Bahasa : Dr. Elin Nurcahyaningsih Sekretariat Redaksi : Sahri, S.Pd.

Iskrisarto Hamid Munawan, S.Sos. Heri Noviyanto, S.Kom Djamarudin, BA

Desain Cover/Layout : Santosa

Alamat Redaksi

: Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian

Badan Kepegawaian Negara (BKN) Gedung II Lantai 2 Jl. May. Jend. Sutoyo Nomor 12 Cililitan, Jakarta Timur Telp. (021) 80887011, (021) 8093008 ext.2206-2207 Fax. (021) 80887011

e-mail: litbang@bkn.go.id i

IVIL SERVICE

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS

Volume 11, Nomor 2 Juni 2017 ISSN: 1978-7103

PENGANTAR REDAKSI

Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, maka Civil Sevice Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS hadir untuk menjawab tantangan global di bidang manajemen ASN. Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS terus berupaya untuk menyajikan berbagai pemikiran dan gagasan konseptual, baik dari hasil penelitian, kajian, aplikasi teori maupun tinjauan kepustakaan, yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tujuan utamanya adalah sebagai wahana diseminasi dan sosialisasi berbagai pemikiran yang berkaitan dengan kebijakan dan manajemen PNS, dengan harapan dapat memberikan kontribusi konstruktif guna mewujudkan PNS yang profesional dan kompeten. Selain itu, dapat dijadikan sebagai wadah pemikiran, referensi, dan acuan dalam pemecahan masalah, perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Dalam merumuskan kebijakan dan manajemen PNS yang ideal tersebut perlu adanya pemikiran, konsep yang jelas serta implementatif. Pendapat, gagasan baru, dan rekomendasi kebijakan mengenai berbagai konsep, pemikiran dan strategi pengembangan PNS, perlu direspon pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan SDM Aparatur.

Untuk memberikan arah perbaikan terhadap berbagai hal diatas, maka Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini memuat berbagai artikel yang berkaitan dengan pengembangan kompetensi, kedudukan hukum kepolisian pasca lahirnya UU-ASN, birokrasi yang netral, budaya inovasi, jabatan fungsional tertentu, dan penegakan disiplin. Adapun beberapa judul artikel yang dimuat dalam edisi ini diantaranya; (1) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur, (2) Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, (3) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi, (4) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Ke- menterian Keuangan, (5) Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian, (6) Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu, (7) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)).

Harapan kami, semoga Civil Service Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume 11 Nomor 1 Juni 2017 ini, bermanfaat bagi para pembaca.

Pemimpin Redaksi

IVIL SERVICE

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS

Volume 11, Nomor 1 Juni 2017 ISSN: 1978-7103

DAFTAR ISI

ARTIKEL

• Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur ......................................

1 - 14 Dewi Sartika • Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ................................................................................................................

15 - 23 Dwi Andayani Budisetyowati

• Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi .....................................................

25 - 35 Eko Noer Kristiyanto

• Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studu Kasus: Badan Kebija- kan Fiskal, Kementerian Keuangan ....................................................................

37 - 48 Joko Tri Haryanto • Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi

49 - 61 Kepegawaian ......................................................................................................

Lesmana Rian Andhika • Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Studi Kasus Jabatan Fungsional Tertentu ..

63 - 76 Novi Savarianti Fahrani • Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian

77 - 93 Bidang Rehabilitasi dan Rekronstuksi Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB)) Trubus Rahardiansah

iii

Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103

Dewi Sartika (Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara) Pengembangan Kompetensi Sosio-Kultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah Di Kalimantan Timur Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 1 - 14

Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif, dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu

Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender Dwi Andayani Budisetyowati (Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara)

Kedudukan Pegawai Negeri Polisi Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 15 - 23

Masalah administrasi kelembagaan di lembaga kepolisian nasional seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon bersifat dinamis, merupakan bagian dari pembangunan yang berjalan secara sistematis, berkelanjutan dan terus berlanjut secara internal sebagai pertanda perkembangan institusi kepolisian nasional indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk bagaimana mengidentiikasi Kedudukan Pegawai Negeri Polisi dalam UU ASN. Metodenya penelitian hukum normatif dengan menggunakan teori harmonisasi yang mengacu pada prinsip- prinsip preferensi hukum seperti prinsip Lex supreriori derogat legi inferiori dan prinsip Lex specialis derogat legi generali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan Pegawai Negeri Polisi adalah berdasarkan UU ASN, yaitu tentang pemberhentiannya, pengangkatan, mutasi dan aturan eselon, tidak lagi mengacu pada UU Kepolisian dan Peraturan Kapolri. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai peraturan institusi administratif di Kepolisian Negara Republik Indonesia seperti pemberhentian, pengangkatan, mutasi dan eselon harus didasarkan pada UU ASN.

Kata kunci: Kedudukan Hukum, Aparatur Sipil Negara, Kepolisian, UU-ASN Eko Noer Kristiyanto (Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Kementerian Hukum

dan HAM RI) Netralitas Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 25 - 35

Dalam perspektif politik dan hukum pemerintahan, netralitas birokrasi menjadi isu yang senantiasa mencuat terlebih ketika memasuki agenda politik nasional. Birokrasi yang seharusnya netral dan fokus melayani rakyat telah dikendalikan oleh kekuatan politik. Bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dalam birokrasi adalah korupsi. Birokrasi telah menjelma menjadi mesin uang untuk membiayai sekelompok elit dan partai politik. Tulisan ini mencoba menggambarkan bahwa netralitas menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya korupsi di negeri ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif. Ketidaknetralan birokrasi secara langsung maupun tak langsung akan merugikan rakyat karena seharusnyanya rakyatlah yang harus mereka layani, bukan sekelompok atau segelintir elit. Birokrasi yang netral akan menjadikan birokrasi sesuai fungsi utamanya yaitu melayani rakyat dan tidak disalahgunakan oleh sekelompok orang termasuk menjadikannya sumber korupsi

Kata Kunci: Birokrasi, Pemerintahan, Korupsi, Pemberantasan, Politik

iv

Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103

Joko Tri Haryanto (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan) Mewujudkan Konsep Birokrasi Yang Kaya Fungsi Studi Kasus: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 37 - 48

Upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai profesi yang mengelola dan mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit manajemen. Karenanya, pola manajemen ASN justru diharapkan lebih diwarnai oleh aspek profesional dari sisi jabatan fungsional dibandingkan aparatur yang bersifat struktural. Permasalahannya, masih banyak kultur budaya yang terasa menghambat. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak sinergi antar jabatan fungsional bagi tata laksana dalam organisasi dengan menggunakan metode analisis kesesuaian regulasi dan lokus yang dipilih adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan metode analisis data regulasi. Berdasarkan analisis terhadap PMK No 234/ PMK. 01/2015, dihampir seluruh tugas pokok dan fungsi unit BKF mengemban misi analisis dan rekomendasi kebijakan sekaligus sebagai unit penelitian dan pengembangan di lingkup Kementerian Keuangan. Namun, masih ada beberapa overlapping antara jabatan fungsional dan struktural. Untuk beberapa unit kerja terpilih, seharusnya sudah dapat diwujudkan pembentukan unit jabatan fungsional bukan lagi struktural misalnya di PKPN, PKAPBN dan PKEM. Sementara di unit PKPPIM dan PKSK, masih diperlukan pembagian proporsi antara bidang fungsional dan struktural. Khusus di PKRB, berdasarkan tugas, keseluruhan eselon III dan IV masih tetap dipertahankan menjadi pejabat struktural.

Kata kunci: Birokrasi, ASN, Profesional, Struktural, Jabatan Fungsional Lesmana Rian Andhika (Universitas Padjadjaran)

Systematic Review: Budaya Inovasi Aspek Yang Terlupakan Dalam Inovasi Kepegawaian Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 49 - 61

Artikel penelitian ini bertujuan sebagai penelitian pendahuluan (preliminary research), dan berusaha memberikan kontribusi pengetahuan dengan mengeksplorasi konseptual teoritis dari berbagai literatur ilmiah lebih berfokus kepada budaya inovasi yang dimulai dari pimpinan (pejabat). Fenomena buruknya kinerja birokrasi menjadikan inovasi sebagai kebutuhan yang mendesak. Dasar dari pemahaman inovasi dimulai dari individu (aparatur birokrasi) dengan budaya membiasakan diri untuk hal yang kreatif dan memunculkan ide-ide baru yang dapat membantu kinerja birokrasi menjadi lebih baik untuk menghantarkan pelayanan publik. Metode dalam penelitian ini menggunakan systematic reviews technique, berusaha untuk mengidentiikasi beberapa bukti tertulis yang ada mengenai tema penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan, budaya inovasi belum menjadi sesuatu kebiasaan dalam birokrasi (habits) terutama bagi pimpinan danbudaya inovasi belum dipandang sebagai dasar untuk memunculkan inovasi. Namun berbagai cara dapat dilakukan untuk membudayakan inovasi secara individual dengan memperhatikan dan memperbaiki perilaku pimpinan, pengalaman berbentuk pengetahuan, kepercayaan terhadap konsep inovasi, kebiasaan budaya inovasi dan disertai oleh nilai-nilai positif yang mendukung inovasi.

Kata kunci: budaya, inovasi, pimpinan, birokrasi Novi Savarianti Fahrani (Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara)

Perencanaan Pegawai Negeri Sipil: Study Kasus Jabatan Fungsional Tertentu Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 63 - 76

Perencanaan Pegawai Negeri Sipil dalam kurun lima tahun terakhir difokuskan pada Jabatan Fungsional Tertentu.Terlihat dari data bahwa rekrutmen antara JFT dan JFU terdapat perbedaan yang signiikan dan jumlah JFT yang diangkat tidak lebih 50% dari formasi yang diajukan. Artikel ini menitikberatkan bagaimana pola perencanaan PNS yang selama ini telah dilakukan dan menganalisis mengenai hambatan-hambatan yang ditemui dalam melakukan perencanaan PNS khususnya pada JFT sebagai dasar untuk menentukan model perencanaan PNS yang ideal kedepannya. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2016 dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif di 13 instansi pemerintah daerah. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, pola perencanaan PNS selama ini melalui tiga tahap, yaitu Penyusunan Anjab dan ABK, Mengkoordinasikan kembali hasil Anjab dan ABK yang telah disusun oleh setiap SKPD tersebut untuk mendapatkan persetujuan kepala SKPD, dan diserahkan kepada BKD untuk ditetapkan rincian formasi. Kedua, terdapat 6 hambatan dalam melakukan perencanaan PNS khususnya JFT, yaitu adanya regulasi yang tumpang tindih, perbedaan format perencanaan SDM, adanya perbedaan jumlah formasi CPNS antara BKN dan Menpan, minimnya kualitas dan komunikasi pegawai yang melakukan perencanaan SDM, kurangnya perhatian pimpinan, dan tidak di anggarkan belanja pegawai untuk JFT.

Kata kunci: Perencanaan PNS, Jabatan Fungsional Tertentu, Anjab, ABK, Formasi

Civil Service Vol. 11, No.1, Juni 2017 ISSN: 1978-7103

Trubus Rahardiansah (Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti Jakarta) Analisis Penegakan Disiplin Aparatur Sipil Negara (Studi Kasus Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)) Civil Service Vol. 11. No. 1, Juni 2017 Halaman 77 - 92

Aparatur Sipil Negara merupakan sumber daya manusia dalam instansi pemerintah dan merupakan kekuatan yang menentukan bagi keberhasilan tujuan organisasi. Penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan permasalahan yang signiikan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, hasil penelitian penegakan disiplin kerja dalam rangka pelaksanaan pemberian tunjangan kinerja pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa pada umumnya masih relatif rendah kinerjanya. penegakan disiplin preventif, korektif dan progresif melalui pembinaan dan sosialisasi peraturan-peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB belum dilaksanakan secara maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya pegawai BNPB, khususnya pegawai di Kedeputian Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi belum sepenuhnya memahami, mematuhi dan melaksanakan peraturan- peraturan disiplin yang ada dan berlaku di BNPB, khususnya PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan pegawai belum pernah mengikuti sosialisasi peraturan tentang disiplin tersebut. Selain itu, pegawai hanya mengetahui peraturan sebatas disiplin waktu kerja dan sanksi dari ketidakhadiran atau keterlambatan jam kerja berupa pemotongan tunjangan kinerja, disisi lain banyak pegawai yang tidak bekerja secara optimal dan tidak menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.

Kata kunci: aparatur sipil negara, penegakan disiplin kerja, manajemen sumber daya aparatur

vi

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)

PENGEMBANGAN KOMPETENSI SOSIO-KULTURAL ASN DALAM PERSPEKTIF KEPEKAAN GENDER PADA PEMERINTAH DAERAH DI KALIMANTAN TIMUR STATE CIVIL APPARATUS SOCIO-CULTURAL COMPETENCY DEVELOPMENT ON THE PERSPECTIVE OF GENDER AWARENESS IN EAST BORNEO REGION

Dewi Sartika

Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara Jalan HM Ardans, SH (Ring Road III) Sempaja Kalimantan Timur e-mail: naurah10@yahoo.com

(Diterima 13 April 2017, Direvisi 17 April 2017, Disetujui 15 Juni 2017) Abstrak

Sosio-kultural PNS dalam konteks kepekaan gender merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap pegawai. Riset ini menjelaskan bagaimana pengembangan kompetensi sosiokultural ASN dalam perspektif gender pada pemerintah daerah di Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan desk riset secara kualitatif, dengan dua aspek indikator, yakni representasi gender pada jabatan struktural dan persepsi para pimpinan tinggi. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders Hasil kajian menunjukkan bahwa representasi perempuan pada jabatan struktural di kaltim secara umum masih rendah, dan representasi perempuan lebih tinggi pada wilayah perkotaan dibanding daerah Kabupaten, serta semakin tinggi level eselon, maka semakin rendah representasi gender. Persepsi para pimpinan tinggi menunjukkan bahwa tingkat urgensitas pengembangan kompetensi ASN dirasa sangat dibutuhkan, sehingga diperlukan upaya pengembangan kompetensi terkait kepekaan gender. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif gender dalam kurikulum diklat PNS, melakukan perbaikan kelembagaan dan mekanisme seleksi dan promosi, melalui kebijakan dan regulasi dalam pengangkatan jabatan pimpinan tinggi, serta diseminasi perspektif gender secara kontinyu

Kata kunci: Kompetensi Aparatur, Pengarus-utamaan Gender (PUG), kepekaan gender

Abstract

State Civil Apparatus socio-cultural in regard with the gender awareness is one of the main competency that civil servants must had. This study explains how the development of civil servants socio-cultural competency in East Borneo region had been conducted. This study used desk research qualitatively using two indicators, which were the gender representation on structural positions and the percaptions of the leaders. The results showed that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. . The results shown that the female representation on strutural position in East Borneo Region, generally speaking is low and the higher representations were found in perkotaan region than the kabupaten region. The results were also shown that the higher the echelon level the lower the representation. The perceptions of the leaders indicate that the means to develop competency in regard to gender awareness is needed. This can be achieved by integrating the gender perspective in civil servant training curriculum, institutional, and promotion and selection mechanism improvement, also through the regulation in leaders position appointment, as well as dissemination of the gender perspective continually.

Key words: aparatus competency, mainstreaming gender perspective, gender awareness

PENDAHULUAN

laki-laki. Seperti data yang diungkapkan dalam Human Development Report Tahun

Isu gender dalam pembangunan 2001 dari United Nation Development semakin menarik untuk dibicarakan,

Program (UNDP) dalam (Nugroho, 2008), terutama jika melihat fakta bahwa jumlah

yang menyiratkan bahwa perhatian pem- perempuan selalu lebih banyak dibanding

bangunan perlu memberi tekanan lebih

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14

besar pada pembangunan wanita. Tidak (GDI) dan urutan ke-38 (GEM). Negara hanya jumlahnya akan tetapi kualitas

Brunei dalam urutan ke-32 (HDI), urutan pembangunan manusia di Indonesia dalam

ke-55 (GDI), sedangkan pengukuran GEM Human Development Index (HDI) sangat

data tidak tersedia.

rendah terutama pembangunan wanitanya Pada banyak lembaga, masih terdapat juga rendah menurut Gender Related

kesenjangan gender. Rendahnya representasi Development Index (DGI), dan Gender

perempuan mempengaruhi rendahnya Empowerment Measure (GEM). Indonesia

kualitas partisipasi perempuan dalam tercatat dalam urutan ke-102 (HDI) dan urutan

pengambilan kebijakan dan pada akhirnya ke-92 (GDI). Sedangkan pengukuran GDI,

rendah pula kualitas kesetaraan gender data tidak tersedia. Sebagai perbandingan

dari kebijakan-kebijakan publik. Dari data dari negara tetangga, Singapura termasuk

jumlah total Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam urutan ke-26 (HDI dan GDI), dan

yang menduduki jabatan struktural menurut urutan ke-38 ranking GEM. Negara Malaysia

jenis kelamin tahun 2016, tersaji dalam tabel dalam urutan ke-56 (HDI), urutan ke-55

berikut ini:

Tabel 1. Jumlah PNS Dirinci Menurut Jabatan Struktural dan Jenis Kelamin

JABATAN PNS

JUMLAH PERSEN

Eselon I

Eselon II

Eselon III

Eselon IV

Eselon V

Sumber : www.bkn.go.id

Berdasarkan tabel tersebut, persentase petensi dilakukan dengan memperhatikan ASN perempuan masih kecil daripada

kesenjangan akses, partisipasi, publik dan persentase ASN laki-laki. Namun rasio

manfaat yang diterima antara laki-laki dan tersebut menunjukkan tingkat kepekaan

perempuan dalam lingkungan kerja maupun gender di pemerintahan kita sudah cukup

dalam kehidupan bermasyarakat. Responsif baik. Kesetaraan gender dihadirkan agar

dan sensitif gender dirumuskan dalam di- tercipta kesamaan kondisi bagi laki-laki dan

mensi kompetensi sosiokultural. perempuan dalam mem-peroleh kesempatan

Berdasarkan diskursus tersebut diatas serta haknya sebagai manusia dan dalam

dapat diartikan bahwa pengembangan menikmati hasil pembangunan. Ini ditandai

kompetensi sosio kultural khususnya dengan tidak adanya diskriminasi antara

dalam konteks kepekaan gender menjadi perempuan dan laki-laki, tidak ada lagi

sebuah kebutuhan mendesak dalam rangka pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,

mewujudkan tata kelola pemerintahan yang marjinalisasi dan kekerasan terhadap

baik. Berangkat dari fenomena tersebut, perempuan dan laki-laki.

dalam riset ini melihat kualitas kesetaraan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

gender dalam organisasi publik yang tentang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN)

dicerminkan oleh kehadiran perempuan di ditetapkan sebagai panduan dalam pengem-

dalam organisasi publik dan mekanisme bangan ASN terkait kompetensi teknis,

promosi/pengangkatan dalam jabatan manajerial dan sosio kultural. Pengem-

struktural di pemerintah -pemerintah daerah bangan kompetensi merupakan upaya untuk

di Kalimantan Timur jadi ruang lingkupnya pemenuhan kebutuhan kompetensi ASN

hanya membatasi Selain itu, riset ini juga standar kompetensi jabatan dan rencana

melihat tingkat persepsi pemangku jabatan pengembangan karier. Pengembangan kom-

pimpinan tinggi dalam melihat kepekaan

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)

gender sebagai kompetensi sosio-kultural dalam penelitiannya yang berjudul “Sistem pada pemerintah-pemerintah daerah di

Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil Kalimantan Timur.

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-

Pengembangan Kompetensi Sosio Kultural

Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- Berdasarkan Pasal 69 UU-ASN,

Pokok Kepegawaian Dalam Kebijakan pengembangan kompetensi ASN dilakukan

Penempatan Jabatan Struktural di Provinsi berdasarkan kualiikasi, kompetensi, peni-

Sulawesi Utara”, mengungkapkan empat laian kinerja, dan kebutuhan Instansi

kesimpulan yaitu:

Pemerintah yang dilakukan dengan memper-

1. Bahwa Undang-undang Nomor 43 timbangkan integritas dan moralitas. Yang

Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok dimaksud dengan kompetensi ASN dalam

Kepegawaian (UU Kepegawaian) belum UU-ASN meliputi:

efektif dilaksanakan dimana banyak

1. Kompetensi teknis yang diukur dari kepentingan-kepentingan yang menjadi tingkat dan spesialisasi pendidikan,

prioritas utama, atau banyak dipengaruhi pelatihan teknis fungsional, dan

oleh pertimbangan-pertimbangan lain pengalaman bekerja secara teknis;

di luar pertimbangan yuridis formal.

2. Kompetensi manajerial yang diukur Sehingga berimplikasi kurang baik pada dari tingkat pendidikan, pelatihan publik

hasil pengisian atau pengangkatan pejabat atau manajemen, dan pengalaman

publik, dimana dalam pengangkatan PNS kepemimpinan; dan

sampai pada penempatan pegawai, masih

3. Kompetensi sosial kultural yang diukur diwarnai dengan pengaruh spoil system, dari pengalaman kerja berkaitan dengan

nepotism system, dan patronage system. masyarakat majemuk dalam hal agama,

Akibatnya untuk mendapatkan pejabat suku, dan budaya sehingga memiliki

yang memiliki sumber daya manusia wawasan kebangsaan.

(SDM) yang optimal sering terabaikan. Pengembangan kompetensi diatas me-

Implementasi transformasi normative rupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan

manajemen PNS banyak terganjal oleh kompetensi ASN dengan standar kompetensi

kultur lama yang terlanjur mengakar jabatan dan rencana pengembangan karier,

dan sulit diubah sebagai akibat dari pola yang dilakukan pada tingkat instansi dan

rekruitmen pegawai masa lalu yang lebih nasional. Kesempatan ini diberikan bagi

bernuansa “rekruitmen politik” untuk setiap ASN dengan memperhatikan hasil

membesarkan dukungan terhadap partai penilaian kinerja dan penilaian kompetensi

politik dan mengkooptasi birokrasi. ASN yang bersangkutan dengan minimal 80

2. Penempatan Jabatan Struktural banyak jam pelajaran (jampel) atau jam pelatihan

dipengaruhi oleh pejabat yang ber- (jamlat) dalam 1 (satu) tahun.

sangkutan. Terdapat banyak celah pada Penyelenggaraan pengembangan

UU-Kepegawaian sehingga proses kom-petensi ini wajib dilakukan oleh

pengaturan publik pembinaan karier Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK)

belum berjalan sebagaimana diharapkan, dengan menetapkan kebutuhan dan rencana

karena banyak pegawai yang tidak pengembangan kompetensi, melaksanakan

berusaha mengembangkan potensi atau pengembangan kompetensi dan evaluasi

menyesuaikan dengan penilaian prestasi pengembangan kompetensi, sebagaimana di-

kerja. Selain itu tidak semua pegawai amanatkan dalam pasal 167 ayat 5 UU-ASN.

memahami jalur karier dan prospek Oleh karenanya, pengembangan kompetensi

kariernya sendiri, atau kurangnya sosiali- tersebut menjadi dasar dalam pengangkatan

sasi jabatan dalam lingkup kepegawaian jabatan dan pengembangan karier.

khususnya jabatan yang kosong. Hal Terkait pelaksanaan pengembangan

ini menghambat kesempatan seorang kompetensi ASN, Singal (2008) mengatakan

pegawai untuk lebih meningkatkan

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14

kariernya ke jenjang yang lebih tinggi. budaya, membangun network sosial, Analisis terhadap karier pegawai me-

manajemen konlik, empati sosial, kepekaan rupakan proses yang sering diabaikan

gender dan kepekaan difabelitas, yang di- oleh organisasi ataupun individu sendiri.

deinisikan sebagai berikut: Proses ini sangat penting karena meng-

1. Mengelola Keragaman Lingkungan

identiikasi potensi (kekuatan) dan ke- Budaya adalah kemampuan memahami lemahan yang dimiliki oleh seorang

dan menyadari adanya perbedaan budaya pegawai, dan dengan demikian karier

dan melihatnya sebagai hal yang positif, pegawai yang bersangkutan dapat di-

dalam bentuk implementasi manajemen rencanakan dan dikembangkan sebaik-

kerja dengan mencegah diskriminasi dan baiknya.

menerapkan prinsip inklusiitas sehingga

3. Kebijakan dalam penetapan dan penem- tujuan organisasi akan tercapai secara patan jabatan publik yang ada (UU-

efektif.

Kepegawaian, Peraturan Pemerintah

2. Membangun Network sosial adalah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pengang-

kemampuan membangun interaksi katan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan

sosial atau hubungan publik balik yang Struktural, Peraturan Menteri Dalam

menghasilkan suatu proses pengaruh Negeri Nomor 5 Tahun 2005 tentang

mempengaruhi atau individu, antara Pedoman Penilaian Calon Sekretaris

kelompok atau antar individu dan Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota

kelompok.

Serta Pejabat Struktural Eselon II Di

3. Manajemen Konlik adalah kemampuan Lingkungan Kabupaten/Kota, Keputusan

dalam mengelola konlik antar organisasi Kepala BKN Nomor 12 Tahun 2002

secara konstruktif

4. Empati Sosial adalah kemampuan untuk Sipil) ternyata tidak memiliki ketegasan

tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri

memahami perbedaan pikiran, perasaan, hukum dalam mengatur mekanisme dan

atau masalah berbagai kelompok sosial pengangkatan jabatan publik. Rekruitmen

yang berbeda.

calon pejabat publik mengikuti selera

5. Kepekaan Gender adalah kemampuan pejabat yang berkuasa dalam hal ini

untuk mengenali dan menyadari kesen- Gubernur sebagai PPK di Daerah

jangan akses, partisipasi, publik dan Provinsi dengan mudah dapat melakukan

manfaat yang diterima antara laki-laki penekanan pada Badan Pertimbangan

dan perempuan dalam lingkungan kerja Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat)

maupun dalam kehidupan bermasyarakat, atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD)

yang secara potensial merugikan baik serta memasukkan kepentingan tertentu

hak laki-laki maupun perempuan dalam dengan menempatkan PNS dalam jabatan

konstruksi sosial kultural. publik di birokrasi.

6. Kepekaan Difabelitas adalah kemampuan

4. Secara terstruktur posisi perangkat untuk mengenali dan menyadari ke- kepegawaian daerah dan personil di

butuhan kelompok dengan keterbatasan dalamnya lemah dihadapan PPK yang

isik dan mental (difabel). dalam hal ini dijabat oleh pejabat politik.

Dari tinjauan diatas, diketahui kepekaan Karena ketika Pejabat yang berkuasa

gender merupakan dimensi kompetensi sosio menginginkan atau mengeluarkan kebi-

kultural, yang diharapkan dimiliki setiap jakan sesuai dengan keinginannya maka

ASN, khususnya pemangku jabatan perangkat pegawai tidak dapat menolak

pimpinan tinggi dalam organisasi publik/ meskipun hal tersebut bertentangan

birokrasi. Diharapkan tidak hanya di tingkat dengan ketentuan yang berlaku.

eksekutif, tetapi juga tingkat legislatif dan Lebih lanjut dimensi kompetensi sosio-

yudikatif.

kultural menurut Sartika et AL., (2015) diturunkan menjadi mengelola keragaman

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)

Kepemimpinan Berperspektif Gender

Perspektif gender atau identitas gender menurut Nugroho (2008) merupakan deinisi

diri tentang seseorang, khususnya sebagai perempuan atau laki-laki, yang berinteraksi secara kompleks antara kondisi biologisnya sebagai perempuan maupun laki-laki dengan berbagai karakteristik perilakunya yang dikembangkan sebagai hasil proses sosialisasinya.

Women’s Studies Encyclopedia dalam Nugroho (2008) mencatat gender sebagai suatu konsep kultural yang berupaya mem- buat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan kata lain, gender bukan merupakan kodrat Tuhan melainkan buatan manusia, sebagai sebuah konstruksi sosial yang bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari tempat, waktu, suku ras/ bangsa, budaya, status sosial, pemahaman agama, Negara, publik, politik, hukum dan ekonomi.

Kepemimpinan berperspektif gender dimaknai sebagai pengangkatan dalam jabatan pimpinan tinggi dan atau peran pemimpin yang memperhatikan dimensi gender (laki-laki dan perempuan) dengan berbagai karakteristik perilaku, hak dan kewajiban yang melekat padanya. Sebagai contoh, seorang pegawai maupun pimpinan yang merupakan seorang perempuan dimana peran yang melekat padanya juga adalah peran seorang istri dan ibu, membutuhkan ketrampilan dalam mengelola waktu pribadi dan waktu publiknya sehingga kewajiban keduanya dijalankan dengan harmonis, tidak berbenturan. Hal ini membutuhkan kondusiitas lingkungan yang sensitif dan responsif gender. Dengan kata lain, riset ini menilai kualitas kesetaraan gender untuk organisasi publik dalam hal ini adalah eksekutif/organisasi birokrasi.

Kualitas kesetaraan gender untuk organisasi publik (legislatif, yudikatif, dan eksekutif) masih rendah, ini merupakan hasil penelitian sebelumnya terkait ke- setaraan gender oleh Nugroho (2008)

dalam “Gender dan Administrasi Publik, Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002”. studi tersebut melakukan pengamatan gender (gender scan) pada administrasi publik baik di tingkat pusat atau nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota. Dengan menilai kualitas kesetaraan gender dalam kebijakan publik, organisasi publik, lembaga pendidikan bagi adminis- trator publik dan dalam mekanisme pengarus- utamaan gender dalam administrasi publik. Model yang dikembangkan oleh Nugroho (2008) merujuk kepada gender scan yang antara lain adalah aktivitas untuk mengetahui kesamaan akses dan publik terhadap sumber daya antara laki-laki dan perempuan dalam organisasi, sensitivitas gender dalam pe- ngembangan perencanaan dan kebijakan organisasi, adanya kebutuhan strategi gender, adanya gender steorotype, hubungan gender, dan pembagian kerja berdasarkan gender.

Menurut Nugroho (2008) pada organisasi publik pengukuran kualitas kesetaraan gender secara seragam diletakkan kepada representasi. Pengukuran representasi diletakkan kepada ukuran ke-setaraan gender UNDP, yaitu 50/50, yang memberikan ukuran bahwa kesetaraan akan terjadi jika representasi laki-laki dan perempuan sama, yaitu 50% dan 50%. Dengan demikian representasi maksimum dari perempuan dalam organisasi publik yang berkesetaraan gender adalah jika representasi perempuan sebanyak 50% dari keseluruhan anggota. Pendekatan representasional ini diambil karena dianggap sebagai pendekatan yang paling mditerima di kalangan perngarus- utamaan gender. Pengukuran mengunakan ukuran interval tingkat representasi tersebut sebagai berikut:

a. Representasi tinggi, yaitu interval teratas dari interval–bagi-tiga dari 50% yaitu 33%-50%

b. Representasi memadai (menengah) yaitu interval kedua dari interval-bagi-tiga dari 50% yaitu 17%-32%

c. Representasi rendah yaitu interval ter- bawah atau ketiga dari interval-bagi-tiga dari 50% yaitu 0-16%

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14

Pada variabel organisasi, meski rujukan pada jabatan pimpinan tinggi di Satuan 50/50 UNDP digunakan akan tetapi dalam

Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seluruh riset tersebut, tidak diberikan rekomendasi

pemerintahan daerah di Kalimantan Timur, untuk memberikan kuota kepada perempuan

dan persepsi pemangku jabatan pimpinan untuk mendapatkan representasi 50/50 pada

tinggi di 4 (empat) pemerintah daerah organisasi publik. Yang direkomendasikan

yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kota hanya upaya peningkatan representasi

Balikpapan, Kota Bontang dan Kabupaten perempuan melalui strategi pengembangan

Kutai Kartanegara.

kapasitas dari perempuan di dalam organisasi publik dan organisasi pendukungnya di satu sisi, dan di sisi lain meningkatkan sensitivitas

PEMBAHASAN

gender dari organisasi publik melalui sensitisasi gender pada anggaran dasar dan

Provinsi Kalimantan Timur merupakan anggaran rumah tangga dari organisasi-

salah satu Provinsi terluas kedua setelah organisasi publik. Selain itu, diperlukan

Papua, Kalimantan Timur memiliki luas strategi untuk meningkatkan representasi

wilayah daratan 127.267,52 km 2 dan luas di dalam organisasi-organisasi administrasi

pengelolaan laut 25.656 km 2 terletak antara publik melalui perbaikan kelembagaan dan

113º44’ Bujur Timur dan 119º00’ Bujur mekanisme rekrutmen/seleksi dan promosi

Timur serta diantara 2º33’ Lintang Utara dan dalam organisasi tersebut.

2º25’ Lintang Selatan.

Penelitian ini menggunakan metode Penduduk Kalimantan Timur pada desk research, dimana perolehan data dari

tahun 2010 berdasarkan hasil sensus pen- sumber-sumber primer dan sekunder, yakni

duduk mencapai 3.047.500 jiwa, dengan hasil penelitian sebelumnya, jurnal, laporan

pertumbuhan penduduk setiap tahunnya dan data statistika, untuk kemudian di-

rata-rata 3,60 persen. Adapun jumlah pen- kembangkan dan dianalisis secara kualitatif.

duduk tahun 2015 sebanyak 3.426.638 Adapun fokus permasalahan

jiwa dengan komposisi penduduk menurut dalam kajian ini dibatasi pada tinjauan

jenis kelamin terdiri dari penduduk laki-laki pengembangan kompetensi ASN dalam

1.797.297 jiwa (52,45 persen) dan penduduk konteks sosio-kultural, dimana secara

perempuan 1.629.341 jiwa (47,55 persen). spesifik mengkhususkan pada dimensi

Secara lengkap komposisi jumlah penduduk kepekaan gender, yang diukur dari dua

per Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur aspek, yakni tingkat representasi gender

tersaji dalam tabel berikut :

Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota, Jenis Kelamin, dan Rasio Jenis Kelamin Provinsi Kalimantan Timur 2015

Kabupaten/Kota

Sex Rasio

1. Paser

262.301 113,11 2. Kutai Barat

145.838 111,89 3. Kutai Kartanegara

717.789 110,67 4. Kutai Timur

208.893 116,25 6. Penajam Paser Utara

163.326 109,92 10. Mahakam Ulu

Jumlah / Total 2015

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur.

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)

Berdasarkan hasil pemekaran menurut jenis kelamin terdiri dari 37.306 daerah otonomi baru tahun 2014, Provinsi

orang pegawai laki-laki (52,5 %) dan 33.717 Kalimantan Timur terdiri dari 7 Kabupaten

orang pegawai perempuan (47,5 %), dengan dan 3 Kota, dimana memiliki jumlah

uraian selengkapnya sebagaimana tabel pegawai negeri sipil daerah sebesar 71.023

berikut:

pegawai, dengan perbandingan komposisi

Tabel 3. Jumlah PNS Menurut Jenis Kelamin pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur Tahun 2015

Rasio No

Jumlah

Gender

Pemerintah Daerah

Pria Wanita

1 Pemprov. Kaltim

59,5% 40,5% 2 Kutai Kartanegara

54,2% 45,8% 3 Kutai Barat

56,6% 43,4% 4 Kutai Timur

55,8% 44,2% 6 Penajam Paser Utara

45,5% 54,5% 11 Mahakam Ulu

Sumber : Badan Kepegawaian DaerahProvinsi Kaltim (data diolah)

Jika membandingkan rasio jumlah pengarus-utamaan dan representasi gender ASN terhadap rasio jumlah penduduk di

dalam komposisi kepegawaian ASN di Kaltim dalam konteks gender, dapat terlihat

Kaltim, perlu kiranya melihat secara lebih bahwa representasi pegawai perempuan

mendalam komposisi ASN berdasarkan dalam komposisi kepegawaian relatif sangat

level golongan ruang dan eselonisasi di tiap baik, dimana rasio jumlah ASN terhadap

pemerintahan daerah. Secara lengkap tabel rasio jumlah penduduk relatif sebanding.

jumlah ASN berdasar Eselon dan Golongan Namun demikian, untuk mendapatkan

ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan gambaran yang lebih komprehensif terkait

Timur tersaji dalam tabel berikut:

Tabel 4. Jumlah PNS berdasarkan Golongan Ruang di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015

NO PEMERINTAH GOLONGAN RUANG BERDASAR GENDER

57,91% 42,09% 83,60% 16,40% 3 KUTAI BARAT

53,04% 46,96% 86,60% 13,40% 4 KUTAI TIMUR

n.a n.a 8 SAMARINDA

53,15% 46,85% 92,50% 7,50% 11 MAHAKAM ULU

n.a n.a Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

n.a

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14

Tabel 5. Jumlah ASN berdasar Eselonisasi di Pemerintahan Daerah Kalimantan Timur Tahun 2015

NO PEMERINTAH ESELONISASI BERDASAR GENDER

IV

PW 1 PEMPROV.

75,60% 24,40% 3 KUTAI BARAT

40,55% 59,45% 4 KUTAI TIMUR

n.a n.a 8 SAMARINDA

63,83% 36,17% 11 MAHAKAM ULU

n.a n.a Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim

Dalam grafik di bawah ini akan tersedia. Dari graik tersebut terlihat bahwa digambarkan terkait perbandingan rasio

representasi gender pada pimpinan Eselon Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Eselon II

II menunjukkan terdapat 5 (lima) pemda berdasarkan Gender di pemerintah daerah

yang berada pada representasi rendah, 3 Kalimantan Timur, minus Kabupaten

(tiga) pemda berada pada tingkat menengah Mahakam Ulu dan Kabupaten Berau, karena

dan hanya satu daerah yang mencapai nilai data ASN daerah yang bersangkutan tidak

tinggi, yakni Pemda Kutai Barat.

Gambar 1. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon II berdasar Jenis Kelamin

Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)

Dari grafik tersebut terlihat bahwa Lebih jauh jika melihat pada tataran Pemda Kabupaten Penajam Paser Utara

eselon III, representasi perempuan pada (PPU) berada pada level terbawah, dengan

jabatan struktural terlihat lebih banyak, jumlah pegawai eselon II perempuan hanya

sekalipun jika diukur berdasarkan pengarus- berjumlah satu orang saja, padahal jika

utamaan gender, masih terdapat 3 (tiga) melihat potensi jumlah pegawai perempuan

pemda yang berada pada level rendah, yang berada pada golongan IV mencapai

selebihnya 5 (lima) pemda pada level 314 orang, demikian pula Kota Samarinda

menengah, dan kembali pemda Kutai dari sekitar 2022 orang pegawai perempuan

Barat menjadi satu-satunya daerah yang pada level golongan IV, hanya mampu

merepresentasikan pengarus-utamaan gender mendorong 3 (tiga) orang pimpinan pada

pada level tinggi. Sebagaimana tergambar jabatan stuktural eselon II.

dalam graik berikut:

Gambar 2. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon III berdasar Jenis Kelamin

PERBANDINGAN RASIO JPT ESELON III BERDASAR JENIS KELAMIN

Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim

Hal yang menarik dari graik di atas semakin terbuka lebar, dari graik dibawah adalah Pemda Kota Samarinda yang se-

ini dapat terlihat bahwa separuh lebih Pemda belumnya berada pada urutan dua terendah,

telah memberikan peran yang lebih besar kini meningkat menjadi tiga besar daerah

bagi representasi pegawai perempuan yang merepresentasikan gender setelah Kutai

dalam jabatan pimpinan tinggi eselon IV, Barat dan Balikpapan. Ironisnya Pemda

hanya tiga pemda yang berada pada level Kutai Kartanegara justru turun peringkat,

menengah, yakni Kutai Kartanegara pada sekitar 1500 orang pegawai golongan IV di-

urutan terbawah, diikuti Kabupatan PPU dan tambah 3500 pegawai perempuan golongan

Kabupaten Paser. Jabatan eselon IV dapat

III, hanya dapat menghasilkan 32 orang dikatakan sebagai jabatan administratif, pegawai perempuan yang menduduki jabatan

karena peran yang dibutuhkan lebih kepada pimpinan tinggi eselon III setara Kepala

penerjemah kebijakan dari pimpinan pada Bidang, Kepala Bagian, dan Kepala Biro.

level eselon II dan eselon III. Sebagaimana Pada level jabatan administratif seperti

tergambar dalam graik berikut: eselon IV, representasi pegawai perempuan

Civil Service VOL. 11, No.1, Juni 2017 : 1 - 14

Gambar 3. Perbandingan Rasio Jabatan Pimpinan Tinggi Eselon IV berdasar Jenis Kelamin

Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Kaltim

Jika melihat pada ketiga graik diatas dalam memimpin dan mengambil keputusan dapat kita elaborasi lebih lanjut terkait

strategis, sehingga tidak mengherankan bila pengarus-utamaan gender pada Pemda di

jabatan pimpinan tinggi pada kelembagaan Kaltim, dimana terdapat kecenderungan

publik lebih didominasi peran kaum pria. bahwa pengarusutamaan gender lebih

Disisi lain, dalam grafik juga banyak direpresentasikan pada wilayah

menunjukkan bahwa semakin tinggi perkotaan dibanding daerah Kabupaten. Hal

level jabatan struktural (eselon), maka ini dapat terlihat pada daerah Kabupaten

semakin rendah permissivitas terhadap seperti Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai

representasi pengarus-utamaan gender, Timur, PPU dan Paser yang cenderung

dimana pegawai perempuan umumnya merepresentasikan rendah dalam pengarus-

lebih banyak diposisikan pada jabatan- utamaan gender dibandingkan daerah

jabatan administratif di level eselon IV, Kota Samarinda, Bontang dan Balikpapan.

dibandingkan pada jabatan tinggi strategis Kondisi tersebut dapat dipahami

pengambil kebijakan (decision maker) dan bahwa wilayah Kabupaten yang umumnya

pemimpin SKPD di level eselon II. pedesaan cenderung masih memiliki ikatan

Padahal, jika melihat kalkulasi rasio sosiologis dan akar budaya yang lebih

jumlah pegawai perempuan berada pada kuat, dimana sistem nilai yang berlaku

golongan III dan IV, akan terlihat relatif di masyarakat cenderung rigid dibanding

seimbang dengan rasio jumlah pegawai laki- wilayah perkotaan yang lebih permisif

laki. Hal ini bermakna bahwa secara potensi terhadap interaksi budaya luar, dimana

kuantitatif jumlah pegawai perempuan wilayah kota memungkinkan terbangunnya

yang memiliki kompetensi dan telah interaksi yang dinamis antar pemikiran

memenuhi syarat golongan kepangkatan secara terbuka terhadap ide pluralitas dan

sebenarnya relatif cukup tersedia, namun gender.

belum mendapatkan peluang promosi dan Masyarakat di daerah pedesaan sering

kesempatan untuk menduduki jabatan bersifat homogen yang masih memegang

pimpinan struktural secara representatif. prinsip-prinsip nilai kearifan lokal setempat,

Di sisi lain, dari tabel 5 Jumlah PNS dimana umumnya bersifat patrilineal,

berdasar Eselonisasi di Pemerintahan norma budaya ini sering menempatkan

Daerah Kalimantan Timur, terlihat bahwa perempuan pada level sub-ordinasi kaum

Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki pria, perempuan kerap dianggap lebih

sebanyak 7,32% pemangku jabatan eselon inferior dan kurang memiliki kompetensi

2, sebanyak 14,41% pemangku jabatan

Pengembangan Kompetensi Sosiokultural ASN Dalam Perspektif Kepekaan Gender Pada Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Dewi Kartika)