PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI GAHARU BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
ISBN 978-979-3145-63-1
Editor : Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman
berbasis pemberdayaan masyarakat
Pengembangan Teknologi Produksi
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI GAHARU BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
Editor: Sulistyo A. Siran; Maman Turjaman
ISBN: 978-979-3145-63-1 Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
Kampus Balitbang Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16110 Telp. (0251) 8633234, 7520067; Fax. (0251) 8638111 E-mail: [email protected]
Petikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (1)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Terdapat enam tantangan pembangunan kehutanan yang kita hadapi saat ini, yaitu: degradasi hutan, bencana alam dan lingkungan, pemanasan global, share sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, desentralisasi sektor kehutanan, dan kontribusi kehutanan dalam hal food, water scarcity, energy, and
medicine. Namun, kita masih melihat ada peluang yang merupakan
sebuah anugerah bagi bangsa kita, yang bila dibudidayakan dan dikelola secara serius akan dapat menjawab paling tidak lima dari enam tantangan tadi. Anu-gerah yang juga merupakan peluang usaha sektor kehutanan dari jenis HHBK ini bernama “gaharu”.
Ide dan gagasan membangun hutan tanaman gaharu juga menarik untuk kita kaji bersama. Kalau selama ini perusahaan- perusahaan HTI telah eksis dengan komoditi-komoditi kayu seperti mangium, sengon, mahoni, dan jenis tumbuhan penghasil kayu lainnya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mengembangkan hutan tanaman penghasil gaharu apabila secara finansial menjajikan dan memungkinkan setelah dianalisis kelayakan usahanya.
Pengembangan usaha budidaya tanaman HHBK unggulan akan berhasil dengan baik apabila didukung oleh semua stakeholder yang berkepentingan, baik Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan petani.
Disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga terbitnya buku ini.
Jakarta, Nopember 2010 Kepala Badan Litbang Kehutanan Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ v
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARUSulistyo A. Siran .....................................................................................................................................1
STATUS RISET GAHARU .......................................................................31
Aspek PRODUKSI ..................................................................................33
1. PENGEMBANGAN GAHARU DI SUMATERA Mucharromah.............................................................................................................................. 35 2. KAJIAN KIMIA GAHARU HASIL INOKULASI Fusarium sp.
PADA Aquilaria microcarpa Eka Novriyanti ............................................................................................................................ 53
3. TEKNOLOGI INDUKSI POHON PENGHASIL GAHARU Erdy Santoso, Ragil Setio Budi Irianto, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Sugeng Santosa, Najmulah, Ahmad Yani, Aryanto ...............77
4. EFEKTIVITAS DAN INTERAKSI ANTARA Acremonium sp. DAN Fusarium sp. DALAM PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU PADA Aquilaria microcarpa Gayuh Rahayu ............................................................................................................................ 97
Aspek SILVIKULTUR .......................................................................... 113
5. UJI PRODUKSI BIBIT TANAMAN GAHARU SECARA GENERATIF DAN
VEGETATIF Atok Subiakto, Erdy Santoso, Maman Turjaman ...................................................... 115
6. APLIKASI RHIZOBAKTERI PENGHASIL FITOHORMON UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN BIBIT Aquilaria sp. DI PERSEMAIAN Irnayuli R. Sitepu, Aryanto, Yasuyuki Hashidoko, Maman Turjaman .............. 123
7. PENGGUNAAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA EMPAT JENIS Aquilaria
Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu, Ragil S.B. Irianto, Sugeng Sentosa,
Aryanto, Ahmad Yani, Najmulah, Erdy Santoso ........................................................ 139Daftar Isi
8. HAMA PADA TANAMAN PENGHASIL GAHARU Ragil SB Irianto, Erdy Santoso, Maman Turjaman, Irnayuli R. Sitepu ............ 151
Aspek SOSIAL EKONOMI DAN KONSERVASI .............................. 157
9. PROSPEK PENGUSAHAAN GAHARU MELALUI POLA PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM) Sri Suharti .................................................................................................................................. 159
10. THE ENVIRONMENTAL CHARACTERISTICS OF SOUTH KALIMANTAN SITE FOR EAGLEWOOD PLANTATION PROJECT Erry Purnomo ........................................................................................................................... 181
11. KARAKTERISTIK LAHAN HABITAT POHON PENGHASIL GAHARU DI BEBERAPA HUTAN TANAMAN DI JAWA BARAT Pratiwi ......................................................................................................................................... 193
12. POTENSI DAN KONDISI REGENERASI ALAM GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) DI PROVINSI LAMPUNG DAN BENGKULU, SUMATERA Titiek Setyawati....................................................................................................................... 213
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN GAHARU
Sulistyo A. Siran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam
PENDAHULUAN
Gaharu sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang saat ini menjadi perbincangan banyak kalangan. Dalam kehidupan sehari- hari telah dikenal pepatah “sudah gaharu cendana pula”. Pepatah ini mengindikasikan bahwa sebenarnya komonditi gaharu sudah dipopulerkan oleh nenek moyang kita dan menjadi bukti sejarah bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan yang muncul, lantas kenapa komoditi yang telah populer tersebut sepertinya menghilang begitu lama dan saat ini muncul kembali. Jawaban yang sudah pasti adalah rumus umum, yaitu karena pengambilan jauh lebih besar daripada produksinya.
Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon inang (misalnya: Aquilaria sp.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.
Dari sisi manfaat, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan elit kerajaan, maupun masyarakat suku pedalaman di Sumatera dan Kalimantan. Gaharu dengan demikian mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat- obatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan.
Meningkatnya perdagangan gaharu sejak tiga dasawarsa terakhir ini telah menimbulkan kelangkaan produksi gubal gaharu dari alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu dengan kualitas Super di pasaran lokal Samarinda, Tarakan, dan Nunukan, Kalimantan Timur mencapai Rp 40.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- per kilogram, disusul kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp 20.000.000,-, kualitas Kacangan dengan harga rata-rata Rp15.000.000,-, kualitas Teri (Rp 10.000.000,- s/d Rp14.000.000,-), kualitas Kemedangan (Rp 1.000.000,- s/d Rp 4.000.000,-), dan Suloan (Rp75.000,-).
Bertahun-tahun masyarakat dan pemerintah daerah Kalimantan dan Sumatera menikmati berkah dari keberadaan gaharu, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi, dan pola pemanenan yang berlebihan serta perdagangan yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis tertentu misalnya Aquilaria dan Gyrinops saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Spcies of Flora and Fauana (Appendix II CITES).
Walaupun sejak 1994 Indonesia berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu, namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan semakin langka. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
ada atau tidak adanya gaharu pada pohon tersebut. Menurut hasil kajian, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa gram saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun.
Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi gaharu pada dekade 80’an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi.
Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk konservasi, baik in-situ (dalam habitat) maupun ek-situ (di luar habitat) dan budidaya pohon penghasil gaharu. Namun upaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang tidak memberikan keuntungan apa-apa.
Prospek untuk mengembalikan gaharu menjadi komoditi andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani, pengusaha gaharu, dan penerimaan pendapatan asli daerah serta devisa negara.
Tulisan ini dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran secara umum mengenai pemanfaatan gaharu, pemahaman mengenai pentingnya nilai gaharu, perlunya budidaya, konservasi, dan rekayasa pembentukan gaharu yang dapat mengembalikan status komoditi dari kelangkaan menjadi produk andalan.
GAMBARAN UMUM TUMBUHAN PENGHASIL GAHARU
Hutan hujan tropis di Indonesia semenjak tiga puluh tahun yang lalu dikenal sebagai salah satu penghasil utama kayu bulat (log) untuk bahan baku industri perkayuan. Selain itu hutan hujan tropis Kalimantan juga sangat kaya dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), di mana salah satu di antaranya adalah gaharu yang bernilai ekonomis tinggi.
Gaharu adalah gumpalan berbentuk padat, berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua tanaman penghasil gaharu menghasilkan gaharu.
Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku. Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan penghasil gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis).
Dari pengamatan sebaran Aquilaria spp. yang dilaksanakan pada tahun 2000 ditemukan bahwa Aquilaria spp. tumbuh tersebar secara luas di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Tengah, dan Kalimantan Selatan. Tingginya permintaan pasar dunia akan gaharu dan harga jual gaharu yang cukup tinggi telah menarik minat masyarakat, baik lokal maupun pendatang untuk melakukan eksploitasi gaharu secara besar-besaran. Akibatnya, populasi
Aquilaria spp. di hutan alam semakin menurun dan bahkan pada
suatu saat menjadi punah.Untuk mencegah dari kepunahan maka pada pertemuan CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) ke-IX di Florida, Amerika Serikat pada tahun 1994, Aquilaria malaccensis, salah satu tumbuhan penghasil gaharu terpenting yang banyak tumbuh di Kalimantan telah dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai tumbuhan yang terancam punah sehingga dalam penebangan dan perdagangannya perlu dibatasi.
Bahkan sejak tahun 2004, seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam Appendix II CITES.
Indikasi dari menurunnya populasi Aquilaria spp. antara lain dari pergerakan pencari gaharu yang telah mengarah pada bagian utara Kalimantan Timur, di pedalaman hutan Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah serta menurunnya realisasi produksi gaharu dari tahun ke tahun. Walaupun realisasi produksi gaharu tidak menggambarkan besarnya potensi, namun dengan semakin sulitnya mendapatkan gaharu dari waktu ke waktu menunjukkan populasi Aquilaria spp. terus mengalami penurunan.
Menyadari semakin langkanya tumbuhan penghasil gaharu, beberapa instansi pemerintah dan masyarakat telah melakukan inisiatif untuk mengadakan pelestarian tumbuhan penghasil gaharu dan sekaligus membudidayakan, baik untuk kepentingan konservasi maupun ekonomi.
KANDUNGAN DAN MANFAAT GAHARU
Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu (-agarofuran, (-agarofuran, nor-ketoaaga-rofuran, (-)-10-epi-y-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II serta oxo-aga-rospirol. Lebih lanjut Susilo (2003) mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4 –dihydroxy-dihydro-agarufuran, p-methoxy- benzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya Oiler (tanpa tahun)
dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31
unsur kimia yang terkandung di dalam gaharu dan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4 methoxyphenyl)ethil)chromone (27%) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15%).
Gaharu dengan aromanya yang khas digunakan masyarakat di Timur Tengah sebagai bahan wewangian. Di Cina, gaharu dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, gangguan ginjal, hepatitis, asma, kanker, tumor, dan stres. Selain itu gaharu telah dipergunakan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dan pengawet berbagai jenis asesori.
Karena aromanya harum, gubal gaharu diperdagangkan sebagai komoditi elit untuk keperluan industri parfum, tasbih, membakar jenazah bagi umat hindu, kosmetik, hio, setanggi (dupa), dan obat- obatan. Di samping itu dengan perkembangan ilmu dan teknologi industri, saat ini berbagai negara memanfaatkan gaharu selain sebagai bahan pengharum (parfum) dan kosmetik, juga telah berkembang industri pemanfaatan gaharu sebagai bahan baku industri obat herbal alami, untuk pengobatan stres, asma, reumatik, radang lambung dan ginjal, malaria, bahan antibiotic, TBC, liver, kanker, dan tumor yang masih dalam proses uji klinis.
Limbah bekas gaharu yang telah disuling digunakan untuk dupa dan bahan untuk upacara agama, sedangkan air suling gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan, kecantikan, kebugaran serta bahan minuman (kopi) oleh masyarakat di Kabupaten Berau.
PEMUNGUTAN DAN PENGOLAHAN GAHARU
A. Cara Pendugaan Kandungan Gaharu
Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu pada tumbuhan penghasil gaharu yang terinfeksi jamur pembentuk gaharu perlu diketahui terutama oleh para pemungut pemula
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu. Adapun ciri dari tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu antara lain adalah: daun berwarna kuning dan rontok, tajuk pohon
kecil dan tipis, cabang pohon banyak yang patah, banyak terdapat
benjolan dan lekukan sepanjang batang atau cabang pohon, kulit kayu
kering dan rapuh serta bila ditarik mudah putus. Setelah ditemukan
ciri-ciri tersebut maka dilakukan uji pelukaan pada batang pohon dengan menggunakan kapak atau parang. Bilamana terdapat alur
coklat kehitaman pada batang menunjukkan adanya kandungan
gaharu. Untuk lebih meyakinkan biasanya serpihan kayu tadi selanjutnya dibakar untuk mengetahui apakah mengeluarkan bau/ aroma wangi khas gaharu.
B. Sistem Pemungutan Gaharu
Pohon dari tumbuhan penghasil gaharu yang telah diyakini mengandung gaharu ditebang, kemudian dipotong-potong dan dibelah untuk diambil gaharunya. Cara pemungutan gaharu semacam ini di Sumatera dan Kalimantan disebut servis, puncut atau pahat. Cara lain yang berlaku pada masyarakat Dayak Kenyah dan Punan di Kalimantan Timur adalah dengan mengiris dan memotong bagian kayu dari tumbuhan penghasil gaharu yang terkena infeksi penyakit hingga ke bagian tengah batang. Cara ini disebut tubuk. Potongan kayu berisi gaharu kemudian dikumpulkan dan secara perlahan bagian kayu dipisahkan dari gaharu dengan menggunakan pisau kecil atau pahat cekung.
C. Pengolahan Gaharu
Sampai saat ini produk gaharu yang berasal dari alam umumnya dipasarkan dalam bentuk bongkahan namun ada pula dalam bentuk minyak hasil sulingan. Cara penyulingan minyak gaharu dapat dilakukan dengan dua sistem yaitu sistem kukus dan tekanan
uap. Harga minyak gaharu di pasaran Jakarta Rp 750.000/tolak (1
tolak = 12 cc).KLASIFIKASI MUTU GAHARU
Klasifikasi mutu gaharu di Kalimantan Timur khususnya di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya hingga saat ini masih belum seragam (Tabel 1) dan penentuannya dilakukan secara visual.
Keragaman dan ketidakjelasan di dalam penentuan mutu tersebut menyebabkan harga jual yang berbeda dengan kelas mutu yang sama. Dengan telah ditetapkannya standar nasional untuk mutu gaharu (SNI 01-5009.1-1999) diharapkan standar mutu tersebut dapat segera menjadi bahan acuan para pengusaha gaharu, pedagang pengumpul, dan pemungut gaharu di dalam menentukan kelas mutu gaharu. Pada Tabel 1 disajikan kriteria dan klasifikasi mutu gaharu.
Secara umum klasifikasi mutu gaharu dapat dikelompokkan menjadi enam kelas mutu yaitu super, tanggung, kacangan, teri, kemedangan, dan cincangan dan setiap kelas mutu dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas mutu.
Tabel 1.
Klasifikasi mutu gaharu di Kota Samarinda dan daerah sekitarnya Klasifikasi mutu No. Lokasi
Tang- Keme- Cin- Super Kacangan Teri gung dangan cangan
1. Samarinda Super Kacangan A Teri A Keme- king Kacangan B Teri B dangan A
Super A Kacangan C Teri C Keme-
Super AB Teri kulit A dangan BTeri kulit B Keme- dangan commu- nity
2. Muara Kacangan isi Teri isi Sudokan
Kaman Kacangan Teri kulit Serbuk
kosong3. Kota Super A Kacangan A Teri A Serbuk Bangun Super B Kacangan B Teri B
4. Muara Super A Tang- Kacangan isi Teri super Wahau Super B gung isi Kacangan Teri laying Tang- kosong gung Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2007 kosong
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran) Tabel 2. Kriteria dan klasifikasi mutu gaharu
No. Kriteria Klasifikasi
1. Super Gaharu berwarna hitam pekat, padat, keras, mengkilap dan
sangat berbau, tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar, bagian dalam tidak berlubang.2. Tanggung Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat, keras, bagian dalam kadang berlubang, kadang bercampur serat kayu dan berukuran tanggung.
3. Kacangan Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran sebesar biji kacang atau berdiameter sekitar 2 mm.
4. Teri Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm.
5. Kemedangan Kayu yang mengandung getah gaharu. Sumber : Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006 6. Cincangan Potongan kecil kayu dari pemisahan gaharu.
Berdasarkan informasi pasar di Samarinda (Tabel 3) harga gaharu dengan kualitas super dapat
Tabel 3. Harga jual gaharu di
mencapai Rp 30.000.000 per kg,
pasaran Samarinda,
disusul kualitas tanggung dengan
Kalimantan Timur
harga rata-rata Rp 10.000.000,- per
No. Kelas mutu Harga (Rp/Kg)
kg. Kualitas gaharu yang paling
1. Super King 30.000.000,-
rendah berharga sekitar Rp 25.000
Super 20.000.000,- Super AB 15.000.000,-
per kg, dan pada umumnya
2. Tanggung 10.500.000,-
digunakan sebagai bahan baku
3. Kacangan A 7.500.000,-
penyulingan untuk menghasilkan
Kacangan B 5.000.000,-
minyak gaharu. Secara visual Kacangan C 2.500.000,-
4. Teri A 1.000.000,-
beberapa sampel gaharu dapat
Teri B 750.000,- dilihat pada Gambar 3. Teri C 500.000,- Teri Kulit A 300.000,-
Berdasarkan Keputusan Kepala
Teri Kulit B 250.000,-
Badan Standarisasi Nasional (BSN)
5. Kemedangan A 100.000,- Kemedangan B 75.000,-
No. 1386/BSN-I/HK.71/ 09/99, telah
Kemedangan C 50.000,-
ditetapkan Standar Nasional mutu
6. Suloan 25.000,-
gaharu dengan judul dan nomor: Sumber: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan, 2006 Gaharu SNI 01-5009.1-1999. Dalam standar ini diuraikan mengenai definisi gaharu, lambang dan singkatan, istilah, spesifikasi, klasifikasi, cara pemungutan, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, syarat lulus uji dan syarat penandaan. Klasifikasi mutu gaharu terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas mutu selanjutnya dibedakan lagi menjadi beberapa sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot, dan aroma ketika dibakar.
Menurut SNI 01-5009.1-1999 yang dimaksud dengan gubal
Gambar 1. Sampel gaharu (a) kelas tanggung; (b) gaharu adalah kayu yang berasal kacangan; (c) teri dan
dari pohon atau bagian pohon
(d) kemedangan
penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. Kemudian yang dimaksud dengan kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. Abu
gaharu adalah serbuk kayu sisa pemisahan gaharu dari kayu.
Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran) Tabel 4. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia
No Klasifikasi mutu Kesetaraan dengan standar mutu di pasaran Warna
A. Gubal
B. Kemedangan
Proses pemasaran gaharu di berbagai tempat di Indonesia dimulai dari pemungut gaharu yang menjual gaharu yang ditemukannya kepada pedagang pengumpul di desa atau di kecamatan dan selanjutnya oleh pedagang pengumpul dijual ke pedagang besar (eksportir) di Ibukota Propinsi.
3. Mutu II Kurang Kurang
2. Mutu I Sedang Sedang
1. Mutu Utama Cincangan Hitam Tinggi Kuat
III Putih keabu-
abuan
Kurang Kurang kuat7. Mutu VII Kemedangan
II Putih keabu- abuan garis hitam tipis Kurang Kurang kuat
6. Mutu VI Kemedangan
5. Mutu V Kemedangan I Kecoklatan bergaris putih lebar Sedang Agak kuat
4. Mutu IV Tanggung C Kecoklatan bergaris putih tipis Sedang Agak kuat
3. Mutu III Tanggung AB Coklat bergaris
putih tipis
Sedang Agak kuat2. Mutu II Sabah I Coklat bergaris hitam Cukup Agak kuat
1. Mutu I Tanggung A Coklat kehitaman Tinggi Agak kuat
3. Mutu II Sabah Super Hitam kecoklatan Sedang Agak kuat
2. Mutu I Super AB Hitam kecoklatan Cukup Kuat
1. Mutu Utama Super Hitam merata Tinggi Kuat
(dibakar)
Kandung- an damar wangi Bau/aroma
C. Abu gaharu
TATA NIAGA GAHARU
Salah satu contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan Timur dapat diuraikan seperti pada Gambar 2. Pemungut gaharu terdiri dari pemungut bebas dan pemungut terikat. Pemungut bebas adalah pemungut gaharu dengan modal kerja sendiri sehingga bebas di dalam menentukan waktu pencarian gaharu dan menjual hasil perolehannya, baik kepada pedagang pengumpul di desa, pedagang pengumpul di kecamatan maupun langsung kepada pedagang besar (eksportir) di Kota Samarinda.
Pemungut terikat adalah pemungut gaharu yang dimodali sehingga
waktu pencarian dan penjualan hasil perolehannya terikat pada pemberi modal yaitu pedagang pengumpul yang merupakan perpanjangan dari pedagang besar.
Pemungut Pedagang Pedagang Bebas Pengumpul Besar Pemungut
Pemungut Pedagang
Terikat Perantara
Gambar 2. Contoh alur tata niaga gaharu di Kalimantan dan
Sumatra
Pedagang pengumpul terdiri dari pedagang perantara di desa yang langsung melakukan pembelian gaharu yang diperoleh para pemungut. Hasil pembelian dari pedagang perantara ini kemudian dikumpulkan oleh pedagang pengumpul di kecamatan untuk selanjutnya dijual kepada pedagang besar karena adanya ikatan kontrak.
Pedagang besar selain memiliki modal besar juga izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah. Pembelian gaharu dilakukan sepanjang tahun melalui pedagang pengumpul atau pemungut bebas. Pembelian meningkat bilamana permintaan pasar terhadap gaharu tinggi, bahkan untuk mendapatkan jumlah yang diinginkan mereka menanamkan modal yang disalurkan melalui
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
pedagang pengumpul ataupun secara langsung kepada pemungut untuk modal kerja mencari gaharu. Pemungut Pedagang Bebas Pengumpul Pemungut Pemungut Pedagang Terikat Perantara Pedagang Besar
Gambar 3. Alur tata niaga Gaharu di daerah (Kalimantan)
PEMASARAN GAHARU
Dalam dunia perdagangan gaharu, baik di Indonesia maupun di luar negeri, gaharu menjadi komoditi primadona dan memiliki nilai komersial yang cukup tinggi sehingga banyak diburu oleh konsumen. Gaharu yang diperdagangkan di Indonesia terdiri dari tiga jenis, yaitu: gaharu dari Sumatera dan Kalimantan dengan jenis Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa, gaharu dari Papua, Sulawesi dan Maluku lebih dikenal dengan nama Aquilaria filaria, sedangkan jenis gaharu Gyrinops lebih banyak diproduksi dari Nusa Tenggara. Apabila diperhatikan maka perdagangan gaharu hasil alam di Indonesia dari dulu hingga saat ini lebih banyak bertumpu pada peyebaran secara ekologis jenis-jenis gaharu tersebut.
Pemasaran gaharu yang merupakan salah satu bentuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 dan Konvensi Perdagangan Internasional tentang jenis flora dan fauna liar yang terancam punah (CITES). Oleh karena itu maka secara umum pemanfaatan gaharu harus mengikuti tahapan dan aturan-aturannya, yaitu: penentuan kuota, pengambilan dari alam atau hasil budidaya (penangkaran), pengangkutan untuk peredaran dalam negeri dan pengangkutan untuk pemasaran luar negeri.
A. Pemasaran Dalam Negeri
Pemasaran dalam negeri dimulai dari aktivitas pengambilan, pengangkutan dan peredaran secara domestik produk sampai akhirnya ke konsumen. Karena perkembangan teknologi, produk gaharu yang diperdagangkan dalam negeri saat ini tidak saja terbatas pada chip atau serpihan dengan bermacam-macam kelas, tapi juga sudah mengarah ke produk turunannya, antara lain: minyak, sabun, lulur, cream whitening, lotion, makmul, hio, obat nyamuk, pembersih muka, pemanfaatan untuk obat-obatan dan aroma terapi. Bahkan saat ini sudah dikembangkan daun jenis Aquilaria dan Gyrinops untuk bahan pembuatan minuman teh karena kandungan zat anti oksidan dalam daun yang cukup tinggi. Beberapa contoh produk dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan 4 berikut.
Gambar 4. Produk turunan gaharu: sabun transparan, lulur
dan lotionSirup daun gaharu Gaharu leaf tea Gambar 5. Produk sirup dan teh untuk bahan minuman
Dilihat dari pelaku usaha, banyak fihak yang terlibat dalam perdagangan gaharu, baik sebagai individu (perorangan), kelompok masyarakat maupun lembaga. Karena jumlah pelaku usaha pemasaran, misalnya pencari gaharu dan pedagang pengumpul di bagian hulu (hutan atau desa sekitar hutan) lebih banyak dibandingkan dengan pedagang menengah dan besar yang berdomisili di ibukota kabupaten atau propinsi, maka terdapat kecenderungan untuk saling menekan harga. Oleh karena itu bentuk pemasaran gaharu di Indonesia lebih cocok dikatakan sebagai pasar “monopsoni”, yaitu pasar yang dikuasai oleh pembeli, baik dalam menentukan harga maupun kualitas gaharu.
Pemasaran gaharu dalam negeri terbentuk karena adanya hubungan antara daerah pemasok dengan kota/pusat penerima. Secara tradisional daerah pemasok gaharu untuk kota Surabaya adalah Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, NTT, NTB. Daerah- daerah ini walaupun letaknya di Indonesia bagian timur, namun karena akses yang mudah memasok gaharu pula ke Jakarta, ditambah dari daerah Indonesia bagian barat, yaitu sumatera, termasuk Riau. Di duga banyak gaharu yang di perdagangkan secara illegal dari sumatera lewat Riau ke Singapura dan Malaysia. Secara garis besar, lalu lintas perdagangan gaharu di dalam negeri dapat dilihat pada gambar berikut.
Papua Sulawesi Kalimantan Maluku Riau
Sumatera Surabaya Sumatera Jakarta NTT NTB Gambar 6. Lalu lintas perdagangan gaharu dalam negeri
Beberapa permasalahan yang sering dijumpai di lapangan antara lain: sulitnya menentukan jenis gaharu, standar dan kualitas serta harga yang layak sehingga menguntungkan bagi kedua belah fihak, yaitu konsumen dan produsen.
B. Pemasaran Luar Negeri
Secara fisik, produk gaharu sulit dibedakan berdasarkan asal jenis tumbuhan dan asal daerahnya. Demikian pula dari sisi warna dan aroma sangat sulit bagi orang awam atau pedagang pemula untuk dapat memilah-milahnya. Oleh karena kekhawatiran salah satu species penghasil gaharu yang mungkin bisa cepat punah, maka jenis Aquilaria yang ada, yaitu: A. malaccensis, A. microcarpa, A. filaria dan Gyrinops diatur perdagangannya oleh konvensi perdagangan internasional yaitu CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) melalui sistem quota.
Menurut ASGARIN, produk gaharu yang diperdagangkan ke luar negeri mengikuti selera konsumen. Gaharu dengan kualitas super (superking, super A dan AB) umumnya dipasarkan ke negara- negara Timur Tengah untuk digunakan sebagai bahan acara ritual keagamaan, wewangian dan aroma terapi. Untuk gaharu yang berkualitas menengah ke bawah, ekspor lebih banyak dilakukan ke negara-negara Asia Selatan untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak wangi dan untuk acara-acara ritual dalam bentuk hio, makmul dan lain-lain.
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kecenderungan pembeli dari Taiwan untuk mengimpor gaharu dari Indonesia dalam bentuk log. Kayu gaharu yang bentuknya masih gelondongan dan hanya sedikit mengandung gaharu tersebut digunakan sebagai hiasan yang dipasang di suatu ruangan dengan diberikan sedikit sentuan teknologi ukir sehingga terkesan mewah dan mempunyai nilai seni yang sangat tinggi. Pada gambar 6 berikut, dapat dilihat beberapa gaharu yang masih dalam bentuk gelondongan yang siap untuk diekspor. Nilai keseluruhan dari gaharu tersebut tidak kurang dari Rp 600 juta.
Gambar 7. Gaharu dalam bentuk gelondongan yang siap dikirim ke Taiwan. Selama 3 (tiga) tahun terakhir jumlah kuota dan realisasi gaharu yang diekspor sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Perkembangan kuota dan realisasi ekspor gaharu Indonesia Tahun
A. Malaccensis
A. filaria Gyrinops
2007 30.000 (K) 76.000 (K) 24.000 (K)
23.709 (R) 76.000 (R) 8.000 (R)2008 30.000 (K) 65.000 (K) 25.000 (K)
30.000 (R) 65.000 (R) 25.000 (K) 2009 173.250 (K) - 455.000(K) 74.890 (R) 326.882(R) -Tabel diatas memperlihatkan bahwa kuota ekspor gaharu pada tahun 2007 dari ketiga jenis yang dapat dipenuhi hanya dari jenis A. filaria, sedangkan untuk A. malaccensis tidak dapat dipenuhi, dan bahkan untuk Gyrinops realisasi ekspornya hanya mencapai 30% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2008, realisasi ekspor gaharu untuk ketiga jenis dapat terpenuhi 100% dari kuota yang ditetapkan. Pada tahun 2009, lonjakan kuota yang signifikan terjadi pada jenis A. malaccensis sebanyak hampir enam kali lipat, sedangkan pada A. filaria sebanyak tujuh kali lipat. Menurut sebuah sumber, hal ini terjadi karena ditemukannya potensi baru yang sebelumnya luput dari inventarisasi, misalnya untuk jenis A. filaria yang banyak terpendam di rawa-rawa di Papua.
Menurut ASGARIN, pusat perdagangan gaharu dunia yang sangat penting adalah Singapura dan Riyad (Saudi Arabia). Dua negara ini pula yang menjadi daerah atau negara tujuan utama ekspor gaharu dari Indonesia. Singapura selain mendapat pasokan gaharu dari Indonesia juga dari negara Asia Tenggara, misalnya Vietnam dan Kamboja. Oleh Singapura gaharu yang masuk dilakukan penyortiran dan pengemasan dan kemudian di ekspor kembali ke India, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang, dan sebagian lagi ke Timur Tengah. Sedangkan gaharu yang masuk ke Saudi Arabia di distribusikan lagi ke negara-negara lain di sekitarnya dan sebagian lagi di ekspor ke Inggris dan perancis, seperti dapat dilihat pada gambar berikut.
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran) Hongkong Japan Malaysia India Prancis
Taiwan China UK Saudi Kwait Arabia Oman SINGAPORE Qatar UAE Indonesia Bahrain Middle East Iraq Afrika Riyadh Iran
Gambar 8. Lalu lintas perdagangan gaharu luar negeri
REKAYASA PEMBENTUKAN GAHARU
Teknik budidaya perlu dikuasai dengan baik untuk dapat membudidayakan pohon penghasil gaharu. Teknik budidaya dimaksud meliputi kegiatan perbanyakan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemberantasan hama dan penyakit hingga tumbuhan tersebut memiliki volume yang cukup memadai. Rekayasa produksi gaharu diarahkan untuk pohon-pohon penghasil gaharu hasil budidaya, sedangkan pohon-pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami perlu dikonservasi dan dipelihara dengan baik untuk dijadikan pohon induk penghasil anakan.
Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi.
Proses pembentukan gaharu di hutan alam sulit dipantau dan diamati. Oleh karena itu untuk dapat mengamati secara langsung proses pembentukan gaharu dilakukan rekayasa dengan cara inokulasi (penyuntikan) jamur atau cendawan pada pohon penghasil gaharu. Rekayasa pembentukan gaharu dengan inokulasi telah dilakukan oleh banyak fihak, dengan teknik induksi yang bermacam-macam dan jenis jamur yang bervariasi.
Tahapan rekayasa produksi gaharu meliputi banyak kegiatan, dimulai dari kegiatan laboratorium, kegiatan lapangan dan kombinasi keduanya. Kegiatan yang “berskala laboratorium” dimulai dari kegiatan lapangan, kegiatan di laboratorium dan kegiatan uji lapangan yaitu: 1. Eksplorasi, koleksi dan isolasi jamur.
2. Identifikasi jamur secara molekuler
3. Penyaringan (screening)
4. Uji efektivitas
5. Formulasi media
6. Produksi inokulan (jamur)
7. Pembangunan plot demonstrasi untuk ujicoba di lapangan
8. Observasi dan evaluasi Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu secara garis besar dapat dilihat sebagaimana gambar berikut:
Gambar 9. Alur kegiatan rekayasa produksi gaharu.
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Sampai saat sudah berhasil dikoleksi 23 inokulan (isolat) dari sebagian besar propinsi di Indonesia. Diantara isolat tersebut empat isolat sudah diujicoba pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu di beberapa daerah dan memberikan hasil yang cukup bagus. Ke empat isolat tersebut adalah: isolat dari Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Gorontalo dan Papua. Berdasarkan pengamatan sementara, beberapa isolat lain yang juga cocok dan memberikan hasil yang cukup bagus adalah Jambi dan Kalimantan selatan.
Berdasarkan bukti-bukti keberhasilan tersebut, maka secara resmi ke empat jenis isolat tersebut telah di “launching” Menteri Kehutanan (lihat gambar 8) pada Pameran Indo Green yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada tahun 1999. Launching tersebut juga dimaksudkan untuk memberikan akses kepada publik agar dapat memanfaatkan isolat tersebut untuk ujicoba produksi gaharu.
Gambar 10. Launching Inokulan Gaharu oleh Menteri Kehutanan
Dengan adanya launching tersebut maka secara resmi inokulan prododuksi Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) telah dilepas di pasaran namun masih terbatas. Keterbatasan tersebut dimaksudkan hanya kepada masyarakat petani gaharu atau pelaku usaha gaharu yang telah mendapatkan pelatihan dari P3HKA saja yang boleh menggunakan inokulan tersebut. Untuk melihat efektivitas pembentukan gaharu, ujicoba ke enam isolat telah dilaksanakan di 15 (lima belas) lokasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, yaitu: Bohorok (sumut), Jambi, Sijunjung dan Padang Pariaman (Sumbar), Bangka, Sumsel, Sukabumi, Bogor (Jabar), Carita (Banten), Bali, Lombok (NB), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Menado dan Seram. Ujicoba tersebut dilaksanakan di lokasi dengan kondisi yang berbeda, baik kondisi ekologis, jenis asal isolat dan jenis pohon penghasil gaharu yang diinokulasi. Penyebaran plot inokulasi dapat dilihat sebagaimana gamber berikut.
Bioinduction : 15 locations
Gambar 11. Penyebaran plot inokulasi pembentukan gaharu
(gambar bintang warna kuning)
Evaluasi dan pengamatan terus menerus dilakukan, untuk mengetahui perkembangan inokulasi, baik kegagalan maupun keberhasilanya. Beberapa faktor penting yang diamati adalah: kondisi kelembaban dan suhu udara, keterbukaan tajuk, virulensi inokulan yang digunakan, jarak titik lubang dan lain sebagainya.
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran)
Perkembangan hasil inokulasi yang dilaksanakan di salah satu lplot penelitian yaitu daerah Sukabumi dari waktu ke waktu dapat dilihat sebagaimana tabel berikut.
Tabel 6. Perkembangan hasil inokulasi menurut waktu Umur Setelah Inokulasi Kualitas
Kemedangan
3 bulan
Kemedangan B
6 bulan
Kemedangan A
9 bulan
teri
1 tahun
kacangan
2 tahun
tanggung
3 tahun
Apabila di sejajarkan dengan kualitas gaharu hasil alam yang ada di pasaran dalam negeri, maka hasil gaharu yang dipanen setelah 3 bulan inokulasi memiliki kualitas kemedangan, dan terus meningkat menjadi kelas teri setelah 1 tahun. Kualitas gaharu tersebut terus meningkat menjadi kacangan setelah 2 tahun inokulasi dan secara signifikan meningkat menjadi tanggung pada 3 tahun setelah inokulasi. Pada saat ini pohon yang ditebang secara bertahap tersebut masih hidup dan masih tumbuh baik di lapangan. Menurut rencana pada tahun 2011 akan dilakukan pemanen lagi untuk melihat perkembangan kualitas gaharu, dengan harapan bahwa gaharu yang akan dipanen tersebut akan mempunyai kualitas` yang lebih bagus lagi dari sebelumnya.
Contoh gaharu hasil panen yang dilakukan secara bertahap adalah sebagai berikut.
Gambar 12. Gaharu hasil panen 3 bulan setelah penyuntikan,
dengan kualitas kemedangan C.
Gambar 13. Gaharu hasil panen 9 bulan setelah penyuntikan
(inokulasi) dengan kualitas kemedangan A.Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran) Grade Kemedangan (US $ 100/kg)
Gambar 14. Gaharu hasil panen satu tahun setelah penyuntikan dengan kualitas teri
Grade Gubah AB (US $ 200-250/kg) Gambar 15. Gaharu hasil panen dua tahun setelah
penyuntikan dengan kualitas kacangan
> US $ 800 Gambar 16. Gaharu hasil panen 3 (tiga) tahun setelah
penyuntikan dengan kualitas tanggung
Berdasarkan survey pasar, referensi harga gaharu hasil alam di pasaran dalam negeri dan penawaran dari pedagang gaharu dari Riyad (gambar sudut kanan atas), estimasi harga gaharu hasil panen dari plot penelitian P3HKA dapat dilihat sebagai mana tabel berikut.
Tabel 7. Harga gaharu yang cenderung meningkat dengan semakin tertundanya waktu panen.
Umur Setelah Inokulasi Harga (Rp) 3 bulan 50.000 6 bulan 200.000 9 bulan 750.000 1 tahun 1.000.000
Perkembangan Pemanfaatan Gaharu ..... (Sulistyo A. Siran) Umur Setelah Inokulasi Harga (Rp)
2 tahun 2.500.000 3 tahun US$ 800 atau 7.500.000 4 tahun ?
Hubungan antara kualitas gaharu, waktu penundaan panen dan harga di pasaran sangan erat sekali. Semakin lama proses pembentukan gaharu di pohon maka akan semakin meningkat kualitas gaharu yang akan dihasilkan dan dengan sendirinya akan meningkatkan harga gaharu tersebut. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu dapat dilihat pada grafik sebagai berikut. Kualitas Super rekayasa Hasil Hasil alam 1 Tanggung Kacangan Hasil alam 3 Teri Hasil alam 2 Kemedangan Hasil alam 4
1 2 3 4 Tahun 5 6 7 8 9 10 Gambar 17. Grafik hubungan antara terbentuknya gaharu dengan waktu penundaan panen.