Analisis Dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island Di Kabupaten Karawang

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN
RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI STRATEGI MITIGASI
URBAN HEAT ISLAND DI KABUPATEN KARAWANG

MIRNA AULIA PRIBADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Arahan
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat
Island di Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015

Mirna Aulia Pribadi
NIM A156130274

RINGKASAN
MIRNA AULIA PRIBADI. Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau Sebagai Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang.
Dibimbing oleh SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan ENDES
NURFILMARASA DACHLAN.
Pembangunan sarana dan infrastruktur fisik di Kabupaten Karawang yang
mengakibatkan konversi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan terbangun
diprediksi menimbulkan fenomena Pulau Panas Perkotaan atau urban heat island
(UHI). Beberapa dampak UHI antara lain timbulnya permasalahan kesehatan serta
turunnya tingkat kenyamanan, sehingga turut mempengaruhi produktivitas
masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi yang efektif dan
implementatif dalam upaya mengurangi dampak yang ditimbulkan UHI. Menurut
beberapa penelitian, RTH dapat diaplilkasikan sebagai strategi mitigasi UHI yang
terjadi.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi RTH eksisting di Kabupaten
Karawang, menganalisis kebutuhan RTH menurut ketentuan yang berlaku,
mengidentifikasi area-area dengan UHI sebagai rekomendasi zona pengembangan
RTH serta menyusun arahan pengembangan RTH di Kabupaten Karawang
sebagai strategi mitigasi UHI. Analisis-analisis yang digunakan meliputi analisis
penggunaan lahan, analisis kebutuhan RTH menurut luas wilayah dan jumlah
penduduk serta analisis suhu permukaan (land surface temperature).
Hasil analisis menunjukkah bahwa luas RTH Kabupaten Karawang secara
keseluruhan mencapai 134.375 ha yang terdiri dari 134.284 ha RTH privat dan 91
ha RTH publik. Berdasarkan proyeksi penduduk sampai dengan tahun 2031,
kebutuhan RTH publik tahun 2031 mencapai 5.999 ha, sedangkan kebutuhan
RTH berdasarkan 20% luas wilayah adalah sebesar 38.848 ha. Hasil identifikasi
RTH eksisting dan analisis kebutuhan RTH menunjukkan bahwa RTH Kabupaten
Karawang secara keseluruhan masih memenuhi standar minimal 30% luas
wilayah, namun luas RTH publik masih dibawah standar minimal 20% luas
wilayah seperti yang tercantum pada UU Nomor 26 Tahun 2007. Kekurangan luas
RTH publik menyebabkan diperlukan arahan pengembangannya. Arahan
pengembangan RTH publik difokuskan pada zona pengembangan RTH yang
terdiri dari kecamatan-kecamatan dengan UHI. Pelaksanaan pengembangan
mengacu kepada prioritas kecamatan-kecamatan sesuai kriteria dan indikator yang

ditentukan. Lokasi yang dipilih untuk pengembangan RTH disesuaikan dengan
konsep kota hijau dan lokasi-lokasi dimana RTH dapat memberikan efek
pendinginan dan naungan yang optimum sehingga mengurangi UHI. Bentuk RTH
yang optimum dalam mitigasi UHI adalah hutan kota yang menyebar dimana
vegetasi berupa pohon buah menjadi jenis vegetasi potensial dalam
pengembangan RTH di Kabupaten Karawang khususnya pada lahan-lahan
penghasil pangan yang dikonversi menjadi RTH.
Kaca kunci : ruang terbuka hijau, strategi mitigasi, urban heat island

SUMMARY
MIRNA AULIA PRIBADI. Analysis and Direction of Green Open Space
Development as Mitigation Strategy for Urban Heat Island in Karawang District.
Supervised by SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS and ENDES
NURFILMARASA DACHLAN.
The development of physical facilities and infrastructure in Karawang
District which involved the conversion of Green Open Space (GOS) into a
developed land is predicted to have caused an urban heat island (UHI)
phenomenon. UHI can generate health problem and reducing the level of comfort
as well as affecting the productivity of community. Therefore, an effective and
implementable strategy is required to reduce those impacts. According to several

researches, GOS can be applied as UHI mitigation strategy.
The objective of this research is to identify existing GOS in Karawang
District, analyze GOS needs according to the regulation, identify UHI areas for
GOS development zone recommendation, and formulate GOS development
direction in Karawang District as UHI mitigation strategy. The analyses used in
this research include analysis on land use, GOS needs according to area size and
population, and land surface temperature.
The result of analysis showed that there are 134,375 ha of GOS in Karawang
District, which consist of 134,284 ha of private GOS and 91 ha of public GOS.
According to population projection in 2031, the requirements for public GOS in
that year would reach 5,999 ha, while GOS requirements based on 20% of total
area is 38,848 ha. The existing GOS identification and GOS needs analysis
showed that overall Karawang District’s GOS still fulfills the standard of 30%
from the District’s total area wide, but public GOS is still under the minimum
standard of 20% of total area as stated in Law No. 26 of 2007. The lack of public
GOS indicates there is a need for its development. Public GOS development
should focus on GOS development zone which consist of sub-districts with UHI.
Development implementation shall refer to priority sub-districts according to the
determined criteria and indicator. The locations of GOS development should be
adjusted to green city concept and where GOS can have an optimum cooling and

shading effect to reduce UHI. The optimum design for GOS in UHI mitigation
strategy is distributed urban forest in which fruit tree species could be the
potential vegetation for GOS development in Karawang District, particularly in
crop producing lands which converted to GOS.

Keywords: green open space, mitigation strategy, urban heat island

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAN ARAHAN PENGEMBANGAN
RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI STRATEGI MITIGASI
URBAN HEAT ISLAND DI KABUPATEN KARAWANG


MIRNA AULIA PRIBADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bambang Sulistyantara, MScAgr

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karuniaNya sehingga karya ilimiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam karya ilmiah ini adalah pengembangan wilayah khususnya dari aspek
analisis yang diperlukan sebagai pertimbangan dalam merencanakan arahan
pengembangan ruang terbuka hijau sebagai strategi mitigasi urban heat island
yang saat ini menjadi masalah di banyak kota di dunia. Masalah ini timbul
terutama disebabkan oleh adanya konversi lahan non terbangun menjadi lahan
terbangun yang biasanya dialami oleh wilayah-wilayah perkotaan. Adapun judul
tesis ini adalah Analisis dan Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai
Strategi Mitigasi Urban Heat Island di Kabupaten Karawang.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak
Dr Ir Endes N. Dachlan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberi arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir Bambang Sulistyantara, MScAgr selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) beserta
jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

5. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi serta Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan
Iklim yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis.
6. Pemerintah Kabupaten Karawang khususnya Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah serta Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian
yang telah membantu data dan informasi.
7. Suami dan putra tercinta Rozi Fahlepi dan Muhammad Gibran Al Faizani yang
terus mendukung dengan doa dan semangat. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.
8. Teman-teman PWL 2013 kelas Bappenas atas kebersamaan dan semangat yang
positif dalam penyusunan tesis.
9. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015

Mirna Aulia Pribadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1

2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Ruang Terbuka Hijau
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Fenomena Urban Heat Island
Urban Heat Island di Indonesia
Deteksi Urban Heat Island
Ruang Terbuka Hijau dalam Mitigasi Urban Heat Island

5
5
6
6
7
8
9


3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

13
13
14
15
15

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah dan Penggunaan Lahan
Kondisi Sosial Ekonomi

23
23
27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau di Kabupaten
Karawang
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Karawang
Urban Heat Island di Kabupaten Karawang
Arahan Pengembangan RTH Kabupaten Karawang

29
29
36
40
49

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

62
62
62

DAFTAR PUSTAKA

63

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

79

DAFTAR TABEL
1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Jenis, sumber data dan teknik analisis data untuk setiap tujuan
penelitian
Tipe penggunaan lahan pada penggunaan lahan Kabupaten
Karawang tahun 2009 dan generalisasinya pada penggunaan lahan
tahun 2013
Standar kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut jumlah
penduduk dan tipe RTH
Data jumlah industri menurut unit usaha dari tahun 2010 – 2013 di
Kabupaten Karawang
Luas masing-masing tipe penggunaan lahan Kabupaten Karawang
tahun 1994 – 2013
Lokasi, luas dan jenis RTH publik Kabupaten Karawang
Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah pada setiap
kecamatan di Kabupaten Karawang
Kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk
Kabupaten Karawang tahun 2013 dan 2031
Luas distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 1994 dan
2013
Pengukuran suhu udara pada beberapa jenis penggunaan lahan di
Kabupaten Karawang
Luas area dengan suhu ≥ 30˚C per kecamatan di Kabupaten Karawang
tahun 1994 dan 2013
Identifikasi UHI untuk rekomendasi zona pengembangan RTH
Penentuan kecamatan prioritas pengembangan pada zonasi RTH
Luas RTH pada zonasi RTH setelah pengembangan
Jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota di Kabupaten
Karawang

14

16
18
28
29
36
37
39
44
46
47
50
51
53
60

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kerangka pikir penelitian
Suhu pada berbagai tutupan lahan
Hubungan suhu, kelembaban dan arah angin pada tutupan kanopi
pohon
Peta lokasi penelitian, Kabupaten Karawang
Alur penelitian
Hutan kota di San Diego Hills Cemetary
Hutan kota di Kawasan Industri Pupuk Kujang
Alun-alun Kota Karawang
Lapangan Karang Pawitan
Jumlah penduduk Kabupaten Karawang 1995-2013
Penggunaan lahan Kabupaten Karawang tahun 1994
Penggunaan lahan Kabupaten Karawang tahun 2013

4
9
11
13
22
25
25
26
26
27
31
32

13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

Proporsi masing-masing jenis ruang terbuka hijau di Kabupaten
Karawang
Distribusi ruang terbuka hijau di Kabupaten Karawang tahun 2013
Distribusi spasial ruang terbuka hijau Kabupaten Karawang tahun
2013
Distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 1994
Distribusi suhu permukaan Kabupaten Karawang tahun 2013
Luas masing-masing kelas suhu permukaan Kabupaten Karawang
tahun 1994 dan 2013 dan prediksi untuk tahun 2031
Perubahan luas pada masing-masing kelas suhu permukaan Kabupaten
Karawang periode 1994-2013
Proporsi lahan terbangun di setiap kecamatan tahun 2013
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Ibukota Kabupaten
Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan
Rengasdengklok, Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Teluk
Jambe Barat, Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Teluk
Jambe Timur, Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Klari,
Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan
Purwasari, Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan
Cikampek, Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Ciampel,
Kabupaten Karawang
Arahan lokasi pengembangan ruang terbuka hijau Kecamatan Kota
Baru, Kabupaten Karawang

33
34
35
41
42
44
45
48
54
54
55
55
56
56
57
57
58

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Modeller analisis land surface temperature pada citra landsat 5 TM
Modeller analisis land surface temperature pada citra landsat 8 TIRS
Luas masing-masing tipe penggunaan lahan pada setiap kecamatan di
Kabupaten Karawang tahun 1994
Luas masing-masing tipe penggunaan lahan pada setiap kecamatan di
Kabupaten Karawang tahun 2013
Luas area setiap kelas suhu pada masing-masing kecamatan di
Kabupaten Karawang tahun 1994
Luas area setiap kelas suhu pada masing-masing kecamatan di
Kabupaten Karawang tahun 2013
Pengukuran suhu udara pada beberapa tipe penggunaan lahan
Gambar beberapa tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian
Hasil pengujian model proyeksi jumlah penduduk
Perhitungan prediksi suhu permukaan tahun 2031

67
68
69
70
71
72
73
74
77
78

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang
sedang berkembang menjadi salah satu daerah industri yang sangat aktif seiring
penetapannya sebagai daerah pengembangan kawasan industri melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri.
Perkembangan Kabupaten Karawang ditandai dengan pesatnya pembangunan
sektor industri. Sampai saat ini, terdapat 18 kawasan industri di Kabupaten
Karawang, enam diantaranya yang terbesar yaitu Kawasan Industri Indotaisei,
KIIC, Mitra Karawang Jaya, PT. Timor Putra Nasional, Pupuk Kujang dan Surya
Cipta. Kegiatan industri di Kabupaten Karawang terus berkembang seiring
kenaikan investasi dari Rp.14,253 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp. 41,073
triliun pada akhir tahun 2013 (BPS Karawang 2014).
Sebagai daerah industri yang merupakan hinterland ibukota negara, di
Kabupaten Karawang telah terjadi perubahan penggunaan lahan non-terbangun,
termasuk ruang terbuka hijau (RTH), menjadi lahan terbangun yang cukup masif.
Perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan konsekuensi dari terbatasnya
ketersediaan lahan untuk pembangunan fasilitas fisik dan infrastruktur. Sitorus et
al. (2011) menyatakan bahwa perkembangan sektor-sektor ekonomi menyebabkan
kebutuhan sumberdaya lahan meningkat untuk penyediaan sarana pendukung
sehingga meningkatkan alih fungsi lahan RTH menjadi penggunaan lain atau
lahan terbangun sehingga mengurangi keberadaan RTH di perkotaan. Purbani
(2003) menunjukkan bahwa di Kabupaten Karawang telah terjadi perubahan
penggunaan lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 3,786.210 ha pada
periode tahun 1989 – 1997. Berdasarkan perhitungan Widiatmaka et al. (2013),
besarnya pengurangan lahan sawah di Kabupaten Karawang mencapai 1,88% per
tahun dalam dekade terakhir yang sebagian besar konversi sawah (yang
merupakan salah satu jenis RTH) menjadi permukiman dan kawasan industri. Hal
ini menimbulkan dampak negatif pada lingkungan yang secara langsung dirasakan
manusia. Dampak negatif tersebut antara lain terjadinya urban heat island (UHI)
atau pulau bahang perkotaan.
UHI merupakan salah satu masalah klimatologi perkotaan yaitu fenomena
peningkatan udara panas pada lokasi yang memiliki kepadatan lahan terbangun
(built environment) yang tinggi. Pada wilayah dengan UHI, suhu udara kota lebih
tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya atau di daerah pinggiran dengan
perbedaan suhu mencapai 3-10°C. Fenomena UHI terjadi karena adanya
perbedaan dalam penggunaan energi, penyerapan panas, pertukaran panas laten,
serta tekanan dan aliran angin (Buyadi et al. 2013). Takahashi et al. (2004) dalam
Bo-ot et al. (2012) menyebutkan penyebab dari naiknya suhu di perkotaan adalah
berkurangnya ruang terbuka hijau serta kecepatan angin yang rendah disebabkan
padatnya bangunan dan bahan aspal. Pada penelitian Zang et al. (2012) disebutkan
bahwa UHI terbesar adalah pada daerah industri dan permukiman. Adanya UHI
mengakibatkan timbulnya permasalahan kesehatan, turunnya tingkat kenyamanan,
sehingga turut mempengaruhi produktivitas manusia. UHI dan permasalahan yang
ditimbulkan dapat diatasi dengan perluasan dan penyediaan RTH. Perencanaan

2
RTH pada awal perkembangan suatu wilayah perkotaan akan memberikan
kemudahan terutama dalam hal penyediaan lahan dalam luasan dan distribusi
yang cukup dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan pada saat
wilayah perkotaan tersebut sudah berkembang menjadi compact city.
RTH merupakan area yang harus disediakan oleh sebuah kota karena
memiliki peran dan manfaat penting baik secara ekologis, ekonomi, sosial dan
budaya. RTH secara ekologis dapat menurunkan temperatur kota sehingga
menjadi alternatif yang tepat dalam mitigasi UHI. RTH disebutkan memiliki
fungsi dalam memperbaiki, mengatur dan menjaga iklim mikro atau berfungsi
dalam ameliorasi iklim mikro (Irwan 2005). Li et al. (2013) juga menyatakan
bahwa tutupan lahan berupa vegetasi (ruang terbuka hijau) di perkotaan dapat
menurunkan suhu lingkungan sehingga dapat mengurangi efek UHI. Adanya
vegetasi akan menimbulkan lingkungan setempat sejuk, nyaman dan segar.
Kehadiran kawasan vegetasi di kawasan perkotaan membawa pengaruh yang
besar khususnya dalam meningkatkan kenyamanan suhu (Weng et al. 2004).
Fungsi ameliorasi iklim mikro RTH dapat dimanfaatkan dalam strategi mitigasi
UHI. Strategi mitigasi UHI akan optimum jika distribusi, lokasi, jenis, bentuk
serta vegetasi penyusun RTH juga sesuai.
Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan analisis kebutuhan dan arahan
pengembangan RTH di Kabupaten Karawang dengan memperhatikan kecukupan,
distribusi serta bentuk-bentu RTH dan vegetasi penyusunnya agar mendukung
optimalisasi fungsi ameliorasi iklim dalam upaya mitigasi UHI. Arahan
pengembangan RTH diprioritaskan pada ibukota kabupaten, wilayah yang dengan
aktivitas manusia tinggi digambarkan dengan kepadatan penduduk, wilayah
dengan UHI serta strategi pengembangan kawasan perkotaan pada Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karawang. Arahan tersebut dianalisis dengan
pendekatan fungsi RTH dalam ameliorasi iklim mikro untuk minimalisasi dampak
UHI.
Perumusan Masalah
Kondisi Kabupaten Karawang yang secara geografis berada pada pantai
utara Pulau Jawa, serta kondisi morfologisnya sebagian besar merupakan daerah
daratan rendah dan termasuk kedalam tipe iklim D menurut klasifikasi iklim
Oldeman, menyebabkan suhu di wilayah ini secara alami sudah relatif tinggi.
Adanya fenomena UHI menyebabkan suhu udara terutama di wilayah perkotaan
akan semakin meningkat. Tingginya suhu udara yang melampaui indeks
kenyamanan akan mempengaruhi tingkat kenyamanan, kesehatan dan
produktivitas masyarakat.
Sebagai upaya mengatasi suhu lingkungan yang tinggi dan sebagai strategi
mitigasi UHI, maka diperlukan RTH dengan luasan yang cukup serta jenis, bentuk
dan distribusi RTH yang sesuai. Luas RTH merupakan jumlah kebutuhan RTH
menurut luas wilayah dan jumlah penduduk per kapita di suatu wilayah. Oleh
karena RTH bertujuan untuk meminimalisasi fenomena UHI, maka dalam
perencanaan tentang arahan pengembangannya digunakan pendekatan fungsi RTH
dalam ameliorasi iklim mikro. Efisiensi fungsi RTH terkait kemampuan dalam
ameliorasi iklim mikro sangat tergantung terhadap faktor letak, distribusi RTH,
jenis RTH serta pemilihan jenis RTH menentukan vegetasi penyusunnya. Oleh

3
karena itu, faktor-faktor tersebut penting untuk diperhatikan dalam menyusun
arahan pengembangan RTH.
Atas dasar perumusan masalah tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi RTH eksisting Kabupaten Karawang terkait luas, jenis
dan distribusinya?
2. Berapa kebutuhan RTH di Kabupaten Karawang berdasarkan luas wilayah
dan jumlah penduduk?
3. Bagaimana rekomendasi zona pengembangan RTH sehingga kemampuannya
dalam mitigasi UHI dapat optimal, dengan memperhatikan potensi terjadinya
UHI dan RTRW Kabupaten Karawang?
4. Bagaimana letak, jenis dan bentuk RTH serta vegetasi potensial dalam
pengembangan RTH yang dapat optimal dalam meminimalisasi efek UHI
dengan pendekatan fungsi RTH dalam ameliorasi iklim mikro serta
mempertimbangkan kondisi eksisting penggunaan lahan suatu wilayah?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi eksisting RTH di Kabupaten
Karawang meliputi luas, jenis dan distribusinya.
2. Menganalisis kebutuhan luas RTH Kabupaten Karawang berdasarkan luas
wilayah dan jumlah penduduk.
3. Memetakan distribusi suhu permukaan sehingga diketahui wilayah yang telah
mengalami UHI.
4. Menyusun arahan pengembangan RTH Kabupaten Karawang sebagai strategi
mitigasi UHI.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai informasi spasial terkait kondisi eksisting RTH Kabupaten Karawang
terkait luas dan distribusinya.
2. Sebagai informasi terkait sebaran suhu permukaan di Kabupaten Karawang.
3. Sebagai bahan evaluasi zonasi RTH yang telah ditetapkan pada RTRW
Kabupaten Karawang.
4. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Karawang dalam
upaya perencanaan pengembangan RTH publik sebagai strategi mitigasi
Urban Heat Island.
Kerangka Pemikiran
Kondisi lingkungan di Kabupaten Karawang terkait suhu telah melampaui
tingkat kenyaman bagi manusia karena kisaran suhunya relatif telah melampaui
kisaran suhu yang nyaman bagi manusia untuk beraktifitas. Bianpoen et al. (1989)
dalam Fireza (2001) menyebutkan bahwa daerah kenyamanan (comfort zone)
adalah daerah yang memiliki kelembaban relatif 45-50% dan suhu 25,6- 26,7°C.
Kondisi tersebut diprediksi erat kaitannya dengan terjadinya konversi RTH

4
menjadi lahan terbangun. Konversi RTH menjadi lahan terbangun menimbulkan
permasalahan UHI yang mempengaruhi peningkatan suhu sehingga semakin
menekan tingkat kenyamanan thermal. Oleh karena itu, diperlukan startegi
mitigasi UHI berupa RTH dengan luas yang sesuai dan terdistribusi merata.
Dengan demikian diharapkan RTH dapat berfungsi maksimal dan efektif dalam
menjawab masalah kenyamanan terkait UHI. Sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Nurisjah (2005) bahwa dalam perencanaan dan pengembangan fisik RTH
untuk dapat mencapai fungsi dan tujuan yang diinginkan, perlu memperhatikan
empat hal utama, yaitu: luas minimum yang diperlukan, lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk RTH, bentuk yang dikembangkan, dan distribusinya
dalam kota.
Pada penelitian ini akan dianalisis kebutuhan RTH menurut jumlah
penduduk dan luas wilayah, lokasi pengembangan RTH serta alternatif tipe dan
bentuk RTH yang sesuai dengan kondisi wilayah (ketersediaan lahan), landuse
dan RTRW Kabupaten Karawang. Kebutuhan luas RTH diprediksi dari luas
wilayah serta jumlah penduduk eksisting dan tahun 2031. Pengembangan RTH
dilakukan pada wilayah-wilayah prioritas, yaitu ibukota kabupaten, dan wilayah
dengan aktivitas manusia yang tinggi, peningkatan luas lahan terbangun yang
tinggi serta suhu permukaan yang tinggi. Pendekatan dalam menentukan lokasi
pengembangan RTH terutama dalam menentukan wilayah dengan suhu tinggi
dilakukan melalui analisis distribusi suhu permukaan (Land Surface
Temperature/LST) secara spasial. Area dengan UHI diidentifikasi dari hasil
analisis distribusi suhu permukaan. Arahan Pengembangan RTH berdasarkan
kemampuan RTH dalam ameliorasi iklim mikro serta pola ruang, struktur ruang
dan wiayah-wilayah yang ditetapkan sebagai zonasi RTH dalam RTRW
Kabupaten Karawang. Kerangka pikir penelitian seperti pada Gambar 1.
Fenomena UHI akibat konversi RTH menjadi lahan terbangun
f
Deteksi UHI dengan analisis LST
Gambaran sebaran suhu (wilayah dengan UHI)
9 Pola Ruang dan Zona
Pengembangan RTH dalam RTRW
9 Ketersediaan lahan

Kebutuhan RTH menurut
jumlah penduduk dan luas
wilayah

Analisis kebutuhan dan lokasi pengembangan RTH
9 Optimalisasi fungsi ameliorasi
iklim mikro RTH
9 Pemilihan jenis vegetasi potensial

Pertimbangan wilayah
prioritas pengembangan RTH

Arahan Pengembangan RTH
Kabupaten Karawang
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau (RTH) menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun yang sengaja ditanam. Secara lebih spesifik, Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan
Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan
yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial,
budaya, ekonomi dan estetika. Secara umum, ruang terbuka hijau dibagi atas dua
kelompok yaitu ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. RTH
publik merupakan yang penyediaannya menjadi tanggungjawab pemerintah
kabupaten/kota, sedangkan RTH privat penyediaannya menjadi tanggungjawab
pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui
izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota. Pada Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun
2007 diatur bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit
30% dari luas wilayah dengan luas ideal ruang terbuka publik atau RTHKP
ditetapkan paling sedikit 20% dari luas kawasan perkotaan. Distribusi ruang
terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan
dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW). Pembentukan RTHKP disesuaikan dengan bentang
alam berdasar aspek biogeografis dan struktur ruang kota serta estetika.
RTH sebagai infrastruktur perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka
(open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan
vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial
budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan)
bagi masyarakatnya. Secara sederhana, RTH merupakan bagian ruang terbuka dari
suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh vegetasi tumbuhan. Cakupan ruang
terbuka hijau cukup luas, mulai dari perkebunan, ladang, sawah, lapangan golf
dan juga hutan kota termasuk didalamnya. Menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 1 tahun 2007, jenis RTKHP meliputi: taman kota, taman wisata
alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman
lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota,
hutan lindung, bentang alam (gunung, bukit, lereng dan lembah), cagar alam,
kebun raya, kebun binatang, pemakaman umum, lapangan olahraga, lapangan
upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur di bawah tegangan tinggi
(SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa, jalur
pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian, kawasan
dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara serta taman atap
(roof garden).

6
Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau
RTH berkaitan dengan kenyamanan terkait pengaruh langsungnya dalam
meredam radiasi matahari melalui efek penaungan (Effendy 2007). Manfaat RTH
kota, baik secara langsung maupun tidak, sebagian besar dihasilkan dari adanya
fungsi ekologis. Salah satu manfaat RTH diperoleh karena kemampuannya dalam
ameliorasi iklim, khususnya iklim mikro. Adanya RTH sebagai paru-paru kota,
maka akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Menurut Grey dan Deneke
(1978), tanaman memiliki empat fungsi utama, yaitu:
1. Fungsi memperbaiki iklim, yaitu berperan dalam memodifikasi suhu dan
kelembaban udara sebagai pelindung dari pengaruh udara.
2. Fungsi teknik, antara mengurangi polusi udara dan mengurangi silau pantulan
cahaya matahari.
3. Fungsi arsitektur dan keindahan.
Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, salah satu manfaat Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah memperbaiki iklim mikro.
Fenomena Urban Heat Island
Urban Heat Island (UHI) atau pulau bahang kota adalah salah satu masalah
klimatologi perkotaan yang meningkat seiring pembangunan wilayah perkotan
(Buyadi et al. 2013). Menurut Irwan (2008), perbedaan suhu tersebut dapat
disebabkan oleh:
1. Bahan penutup permukaan
Permukaan daerah perkotaan berupa beton dan semen memiliki konduktivitas
kalor yang tinggi (tiga kali lebih tinggi daripada tanah berpasir yang basah).
Akibatnya, permukaan daerah perkotaan menyimpan energi lebih banyak.
2. Bentuk dan orientasi permukaan
Bentuk dan orientasi permukaan di perkotaan lebih bervariasi sehingga energi
yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa
penyerapan dan disimpan dalam bentuk panas.
3. Sumber kalor
Di daerah perkotaan, terdapat bergam aktivitas manusia yang menjadi sumber
panas, misalnya kendaraan bermotor, mesin-mesin pabrik, pendingin ruangan.
4. Sumber kelembaban
Di daerah perkotaan, air hujan cenderung mengalir pada parit, selokan dan
menjadi run off, sehingga jumlah air yang meresap relatif lebih kecil daripada
daerah pinggiran kota. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya evaporasi
yang akan meningkatkan kelembaban udara dan menurunkan suhu. Kecilnya
kemungkinan terjadinya evaporasi akan menyebabkan lebih banyak panas yang
tersedia untuk memanaskan atmosfer perkotaan.
5. Kualitas udara
Udara kota banyak mengandung bahan pencemaran yang berasal dari rumah kaca
seperti CO2, CH4, CFCs yang dapat menimbulkan “efek rumah kaca”.
Lebih lanjut, Kong et al. (2014) menyatakan bahwa wilayah perkotaan
merupakan daerah yang akan mengalami peningkatan suhu yang paling besar
akibat perubahan iklim yang disebabkan efek UHI. Efek rumah kaca yang

7
ditimbulkan oleh gas-gas rumah kaca (dalam konsentrasi yang besar di atmosfer)
akan menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena Urban Heat Island.
Maimaitiyiming et al. (2014) mengemukakakn bahwa pertumbuhan yang cepat di
ruang hijau menekankan kebutuhan untuk mengembangkan konfigurasi yang
paling efektif dari ruang hijau tersebut untuk mengurangi pulau panas perkotaan
yang disebabkan oleh perluasan permukaan tanah (permukaan terbuka) dan
adaptasi dengan perubahan iklim global.
Urban Heat Island di Indonesia
Beberapa kota di Indonesia terutama kota-kota besar dideteksi telah
mengalami UHI. Kota-kota besar yang telah mengalami UHI antara lain DKI
Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Semarang. UHI di DKI Jakarta
menghasilkan pusat suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara dan
semakin menurun ke arah selatan. Perbedaan suhu antara Jakarta dengan Bogor
mencapai 1 – 3˚C (Irwan 2008). Penelitian Wicahyani et al. (2013)
mengidentifikasi terjadinya UHI di Yogyakarta melalui hasil interpretasi citra
Landsat TM tahun 2012.
Saat ini, fenomena UHI tidak hanya terjadi di kota metropolitan saja.
Fenomena UHI telah meluas ke wilayah perkotaan yang sedang berada dalam
tahap pembangunan bahkan ke wilayah-wilayah yang termasuk administrasi
pemerintah kabupaten. Hasil penelitian Wicahyani et al. (2013) juga
mengindikasikan bahwa UHI di Yogyakarta tidak terbatas secara administratif di
wilayah kota namun telah meluas wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul. Pusat panas terjadi di sebagian besar wilayah kota hingga sebagian
wilayah Kecamatan Mlati dan Kecamatan Depok (Kabupaten Sleman) di sebelah
utara serta Kecamatan Banguntapan (Kabupaten Bantul) di sebelah timur dengan
rentang suhu 25 - 45˚C. Rentang suhu di daerah sekitarnya antara 15 - 40˚C.
Penelitian Riyanto (2012) mendeteksi terjadinya UHI di Kota Palembang. Hasil
perbandingan suhu pada lahan kering yang teridentifikasi di Sumatera Selatan dan
Kota Palembang memiliki kisaran yang lebih panas dibandingkan suhu pada
wilayah Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan wilayah Sumatera Selatan masih
memiliki hutan, beberapa danau dan sungai yang turut mempengaruhi keadaan
suhu. Kondisi berbeda terjadi di Kota Palembang yang penutupan lahannya
didominasi oleh rumah, jalan beraspal, pabrik serta gedung pemerintahan dan
swasta. Fenomena UHI juga terdeteksi telah terjadi di Kabupaten Bandung.
Penelitian Rushayati (2012) mendeteksi UHI di Kabupaten Bandung dipengaruhi
oleh persentase lahan terbangun dan ruang terbuka hijau serta konsentrasi CO2 di
udara. Fenomena UHI di Kabupaten Bandung dengan perbedaan suhu mencapai
7˚C.
Meluasnya fenomena UHI di beberapa kota diprediksi merupakan pengaruh
dari aktivitas kota besar didekatnya. Hal ini terlihat dari UHI di kota Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi. Kota-kota tersebut merupakan satelit dari DKI
Jakarta. Penelitian Effendy (2007) menyimpulkan bahwa peubah yang
memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk
Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan ruang
terbangun (RTB) sebagai pemicu UHI di Bogor. Hasil penelitian Effendi (2007)
menunjukkan bahwa Urban Heat Island yang terjadi di Jakarta dipicu oleh

8
meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%)
dan kepadatan populasi (17%). Urban Heat Island yang terjadi di Bogor
disebabkan karena semakin meluasnya ruang terbangun (15%), menurunnya ruang
terbuka hijau (14%), peningkatan jumlah kendaraan bermotor (14%), dan semakin
padatnya populasi (13%). Selain itu, UHI di Kabupaten Bandung juga diprediksi
terdapat pengaruh dari UHI Kota Bandung. Tursilowati (2002) dalam Rushayati
(2012) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di Bandung terlihat
adanya perluasan efek UHI (daerah dengan suhu tinggi 30 – 35) di pusat Kota
Bandung per tahun sebesar 4,47% yang terletak pada kawasan terbangun
(permukiman dan kawasan industri). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa
telah terjadi fenomena pulau bahang di Kota Semarang dengan selisih suhu lebih
dari 14˚C antara kawasan perkotaan dan perdesaan (Waluyo 2009 dalam
Rushayati 2012).
Deteksi Urban Heat Island
Teknologi penginderaan jauh saat ini telah menyediakan fasilitas sehingga
deteksi fenomena UHI di suatu wilayah secara cepat sangat dimungkinkan.
Deteksi pulau panas perkotaan (UHI) umumnya dilakukan dari pengamatan
lapangan pada suhu udara dan penginderaan jauh pada suhu permukaan
tanah/land surface temperature (LST). Pengukuran LST dengan satelit
penginderaan jauh memiliki banyak keunggulan antara lain cakupan global dan
periodisitas yang konsisten, serta dapat mengatasi kelemahan pengamatan
permukaan tanah yang berkaitan dengan distribusi tapak dan biaya. Konsep
deteksi UHI adalah mengintegrasikan heterogenitas permukaan perkotaan, yang
menunjukkan hubungan antara suhu udara dan fraksi (bagian) perkotaan (Leiqiu
dan Brunsell 2015). Secara teknis, deteksi UHI dapat dilakukan dengan analisis
LST yang memanfaatkan thermal band pada citra Landsat. Analisis LST
merupakan rangkaian konversi nilai-nilai Digital Number (DN) pada band
thermal citra Landsat menjadi nilai suhu permukaan, sehingga menghasilkan
output berupa peta distribusi/sebaran suhu permukaan (Senanayake et al. 2013).
Pada prinsipnya, analisis LST memanfaatkan keunikan sifat bahan
permukaan bumi dalam menyerap dan memantulkan energi elektromagnetik dari
matahari. Permukaan bumi yang berbeda akan menghasilkan nilai surface
temperature yang berbeda, sehingga LST sangat terkait dengan
penggunaan/penutupan lahan. Keterkaitan antara penggunaan/penutupan lahan
(land use/land cover) dengan LST seperti ditunjukkan pada penelitian Buyadi et
al. (2013). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lahan dengan tutupan vegetasi
memiliki suhu permukaan yang cenderung lebih rendah daripada di lahan
terbangun. Jika disajikan dalam sebuah grafik, maka dapat dilihat perbedaan suhu
antara tutupan lahan bervegetasi dengan tutupan lahan terbangun dan lahan
terbuka (bare soil) seperti pada Gambar 2. Pengamatan UHI dengan mengamati
LST diperkuat dari hasil penelitian Mildrexler et al. (2011) tentang perbandingan
antara suhu udara dengan nilai LST dari citra MODIS dalam mengamati peranan
hutan dalam penurunan suhu (pendinginan). Pada penelitian tersebut dianalisis
hubungan antara penginderaan jauh tahunan maksimum LST (LSTmax) dari
sensor Aqua/Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dengan
suhu udara maksimum pada (Tamax) pada lokasi/stasiun pengukuran yang sama

9
di berbagai tutupan lahan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan korelasi antara
LST dengan suhu udara hasil pengukuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat korelasi positif yang kuat antara LSTmax dan Tamax. Analisis
peningkatan suhu menunjukkan peningkatan LSTmax lebih cepat dari Tamax.
LSTmax menangkap informasi tambahan mengenai konsentrasi energi panas di
permukaan bumi dan kontrol biofisik untuk suhu permukaan seperti kekerasan
permukaan dan pendinginan transpirasional. Khusus pada kondisi penutupan
lahan non-hutan, LST lebih terkait erat dengan karakteristik radiasi dan
termodinamika bumi daripada suhu udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
untuk daerah tandus, semak belukar, padang rumput, sabana dan lahan pertnian
memiliki nilai LSTmax antara 10˚C - 20˚C lebih panas dari Tamax. Pengecualian
terdapat pada penutupan lahan hutan dimana hubungan antara LSTmax dan
Tamax adalah 1:1. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan interaksi yang
komplek antara tutupan lahan dan saldo energi permukaan.

Sumber: Buyadi et al. (2013)
Gambar 2 Suhu pada berbagai tutupan lahan
Ruang Terbuka Hijau dalam Mitigasi Urban Heat Island
Adanya urbanisasi di seluruh dunia yang cepat, menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan. Memburuknya kualitas lingkungan salah satu ditunjukkan
dengan peningkatan suhu udara perkotaan secara bertahap meningkat di semua
kota. Untuk mengurangi dampak penurunan kualitas lingkungan akibat
peningkatan suhu, diperlukan langkah-langkah efektif antara lain dengan
membangun ruang terbuka hijau. Keterkaitan antara keberadaan RTH dan
penurunan efek (pendinginan) LST dapat dijadikan acuan dalam pemilihan
metode strategi mitigasi UHI. Salah satu metode praktis yang dapat
diimpelemtasikan dalam mitigasi UHI adalah strategi menanam vegetasi pada
wilayah perkotaan dan mendesain pendekatan teknologi hijau (Ng, Chen et al.
2012 dan Saffuan et al. 2013 dalam Buyadi et al. 2013). Menurut Li et al. (2013),
tutupan lahan berupa vegetasi (ruang terbuka hijau) di perkotaan dapat
menurunkan suhu lingkungan sehingga dapat mengurangi efek UHI. Beberapa
penelitian telah menunjukkan hubungan antara LST dan RTH, dimana RTH
memiliki efek pendinginan pada LST. Pola spasial RTH (dalam hal ini jenis RTH)
secara signifikan mempengaruhi suhu permukaan tanah (Land Surface
Temperature). Konfigurasi, pola spasial RTH dinilai lebih mempengaruhi
penurunan LST dibandingkan dengan kelimpahan RTH. Hal tersebut terkait efek
naungan vegetasi penyusun RTH. Penelitian Kong et al. (2014) juga
menyimpulkan bahwa ruang terbuka hijau di perkotaan dapat mengurangi dampak

10
UHI dan menyediakan udara sejuk. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa
suhu di dalam taman atau di bawah pohon lebih dingin daripada di area ruang
terbuka non-hijau.
Efek pendinginan LST oleh RTH disebabkan kemampuan vegetasi
penyusun RTH dalam ameliorasi iklm mikro. Ameliorasi iklim merupakan proses
perbaikan iklim sehingga diharapkan saat siang hari suhu tidak terlalu tinggi dan
saat malam hari suhu tidak terlalu rendah di beberapa daerah tertentu. Sedangkan
ameliorasi iklim mikro berkaitan dengan perbaikan suhu pada tempat atau lokasi
terbatas. Sebagai contoh, ameliorasi iklim mikro di hutan kota, berarti perbaikan
suhu di sekitar hutan kota (Ahmad 2012). Fungsi ekologis RTH dalam
memperbaiki iklim mikro berdampak pada penurunan suhu udara. RTH
membantu sirkulasi udara. Pada siang hari, dengan adanya RTH maka secara
alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari udara
dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan.
Pemilihan vegetasi potensial dalam pengembangan RTH merupakan faktor
yang turut menentukan fungsi ameliorasi RTH. Irwan (2005) menyatakan bahwa
peranan penghijauan kota sangat tergantung pada vegetasi yang ditanam. Spesies
pohon memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menurunkan suhu udara,
tergantung ukuran pohon dan karakteristik kanopinya. Kemampuan suatu spesies
vegetasi dalam menurunkan suhu udara terkait karakteristik vegetasi (pohon)
dalam mempengaruhi penetrasi radiasi matahari. Penelitian yang dilakukan
Shashua-Bar dan Hoffman (2000) menunjukkan bahwa kombinasi bayangan
pohon dan rumput merupakan strategi lanskap yang paling efektif untuk
menurunkan suhu hingga 2K. Fungsi ameliorasi yang sangat terkait dengan efek
naungan (shading effect) vegetasi sehingga turut menentukan jenis vegetasi dalam
ruang terbuka hijau yang efektif dalam menurunkan suhu.
Pepohonan dan berbagai jenis vegetasi mempunyai peran penting dalam
mengurangi efek UHI. Pada sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
efek pertumbuhan vegetasi terhadap distribusi suhu permukaan/Land Surface
Temperature (LST) di Kota Shah Alam, Selangor menunjukkan bahwa perubahan
penggunaan/penutupan lahan (land use/land cover) berpengaruh terhadap
distribusi LST. Pada wilayah studi, terjadi perubahan penggunaan lahan yang
cukup signifikan pada tahun 1991 – 2009 yang diprediksi menjadi penyebab
meningkatnya LST. Namun demikian, meskipun konversi kawasan hijau alami
menjadi permukiman dan kawasan komersial menyebabkan peningkatan LST
secara signifikan, pohon-pohon besar pada ruang terbuka hijau perkotaan akan
membantu mengurangi dampak UHI. Dengan demikian, keberadaan pohon-pohon
besar dalam suatu ruang terbuka hijau di perkotaan sangat penting untuk
kelangsungan pembangunan kawasan perkotaan serta untuk menyediakan kualitas
hidup yang lebih baik pada penduduk di perkotaan (Buyadi et al. 2013).
Menurut Grey dan Deneke (1978) pohon paling efektif mengameliorasi
iklim dimana mampu menurunkan suhu pada waktu siang hari dan menahan
radiasi balik (reradiasi) dari bumi saat malam hari. Tajuk pepohonan yang rapat
efektif menurunkan efek peningkatan radiasi matahari pada siang hari dan
menahan turunnya suhu pada malam hari. Pohon sebagai pendingin udara alami
mampu mentranspirasikan 400 liter air/hari setiap pohonnya melalui
evapotranspirasi (setara lima pendingin ruangan yang setiapnya berkapasitas 2500
kcal/jam dan beroperasi 20 jam/hari). Brown dan Gillespie (1995) dalam Kaka

11
(2013) menambahkan, dedaunan mampu menyerap, memantulkan dan
mentransmisikan radiasi yang diterima dari matahari. Pada tutupan kanopi pohon,
secara vertikal terdapat perbedaan suhu dan kelembaban udara. Hal ini turut
dipengaruhi adanya angin, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Grey dan Deneke (1978)
Gambar 3 Hubungan suhu, kelembaban dan arah angin pada tutupan kanopi
pohon
Optimalisasi fungsi RTH dalam mengurangi dampak UHI dan menyediakan
udara sejuk di wilayah perkotaan juga pengaruhi oleh pola spasialnya. Untuk
mengetahui pola spasial yang optimal untuk mendinginkan lingkungan perkotaan.
Kong et al. (2014) melakukan identifikasi, pengamatan dan menganalisis korelasi
antara Pulau Dingin Perkotaan atau Urban Cool Island (UCIs) dan RTH di
Nanjing, Cina. Identifikasi data satelit dan analisis korelasi menunjukkan hasil
sebagai berikut: (1) daerah dengan tutupan vegetasi berupa hutan dengan
persentase yang lebih tinggi akan memiliki efek pendinginan yang lebih baik dan
setiap kenaikan luas tutupan vegetasi berupa hutan sebesar 10% akan menurunkan
suhu sekitar 0,83°C, (2) RTH yang terfragmentasi juga menyediakan pendinginan
yang efektif, (3) pola spasial UCIs sangat berkorelasi dengan pola RTH dan (4)
intensitas efek pendinginan tercermin dalam karakteristik UCIs. Hasil penelitian
ini akan mendukung prediksi yang lebih baik dari efek dan pengaturan tata letak
RTH sehingga membantu perencana kota dalam mengurangi peningkatan suhu
yang terkait dengan perubahan iklim.
Infrastruktur hijau (ruang terbuka hijau) di perkotaan sampai batas tertentu
dapat mengurangi dampak peningkatan suhu yang terjadi di wilayah tersebut.
Namun demikian, efek pendinginan dari tanaman sangat beragam tergantung dari
faktor ruang, waktu dan sifat spesifik tanaman. Perbedaan efek pendinginan
tanaman berdasarkan faktor-faktor tersebut ditunjukkan oleh penelitian Feyisa et
al. (2014) pada penelitian tentang efek pendinginan vegetasi terhadap suhu udara
dan suhu permukaan yang dilakukan di 21 taman di Kota Addis Ababa. Pada
penelitian dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban pada 60 plot sampel di
sembilan taman selama lima belas hari. Pengukuran suhu dan temperatur
dilakukan untuk mengetahui suhu dan kelembaban rata-rata pada setiap taman
menurut variasinya. Efek pendinginan tanaman pada skala spasial yang lebih
besar diuji melalui analisis terhadap thermal band Landsat ETM+ sehingga
diperoleh sebaran spasial suhu permukaan. Pengujian hubungan antara
karakteristik vegetasi dan suhu yang diamati dilakukan dengan analisis linear
mixed-effects model. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Eucalyptus sp.
memiliki efek pendinginan suhu yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan

12
kelompok spesies lainnya, dalam hal ini kelompok spesies Grevillea dan
Cupressus. Pada skala spasial yang lebih besar, efek pendinginan dari taman
terhadap lingkungan sekitarnya (ameliorasi iklim mikro) yang dinyatakan dengan
Park Cooling Intensity (PCI) berkorelasi positif dengan Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) dan luas taman, sebaliknya indeks PCI dan bentuk
taman memiliki korelasi negatif. Pada penelitian juga diamati jarak di mana taman
masih memiliki efek pendinginan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran
atau jarak di mana efek pendinginan masih dapat diamati (Park Cooling
Distance/PCD) berkorelasi positif dengan bentuk taman dan luas taman. Pada
penelitian diperoleh PCI maksimum sebesar 6.72 ° C dan PCD maksimum
diperkirakan 240 m. Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa
efek pendinginan taman terhadap lingkungan sekitar (ameliorasi iklim mikro)
ditentukan oleh kelompok spesies, tutupan kanopi, ukuran dan bentuk taman.
Dengan demikian, pemilihan jenis vegetasi dan desain tata ruang menjadi faktor
penting dalam merancang ruang terbuka hijau untuk ameliorasi iklim mikro yang
optimal.
Penanaman vegetasi adalah salah satu strategi utama untuk mengatur iklim
mikro perkotaan dan mengurangi pulau panas perkotaan (UHI). Untuk
mengetahui pengaruh komunitas pohon, terutama faktor naungan (shading) pada
perbaikan kondisi iklim mikro di daerah perkotaan, Yan et al. (2013) melakukan
studi kasus di Olimpiade Beijing Forestry Park Beijing, Cina. Studi kasus
menganalisis karakteristik iklim mikro dari komunitas pohon yang berbeda. Untuk
mengevaluasi efek dari komunitas pohon yang berbeda pada tingkat kenyamanan
tubuh manusia digunakan indeks ketidaknyamanan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam suhu udara, kelembaban relatif
dan intensitas cahaya antara komunitas pohon dan ruang terbuka yang berfungsi
sebagai kontrol. Komunitas pohon dapat menurunkan suhu dengan 1.6 - 2.5 ° C
meningkatkan kelembaban dengan 2,9% - 5.2% dibandingkan dengan ruang
terbuka kontrol. Perbedaan indeks kenyamanan antara komunitas pohon dengan
ruang terbuka kontrol tidak signifikan namun dibandingkan dengan ruang terbuka
kotrol, semua komunitas spesies dapat mengurangi indeks kenyamanan rata-rata
di siang hari. Analisis korelasi antara faktor-faktor iklim mikro dan indeks
karakteristik struktur kanopi dari komunitas pohon menunjukkan bahwa
karakteristik kanopi memiliki peran penting dalam regulasi iklim mikro dan
besarnya indeks kenyamanan. Dengan demikian, dalam perencanaan komunitas
tumbuhan penyusun dalam lansekap ruang terbuka hijau, perlu dilakukan
pemilihan jenis tumbuhan yang tepat. Penentuan pemilihan jenis tumbuhan yang
tepat tersebut perlu merujuk pada referensi dari kota-kota lain perencanaan yang
lebih baik dan pilihan yang tepat jenis tumbuhan yang memiliki karakteristik
iklim yang sama.
Studi kasus yang dilakukan pada lansekap kota Manchester, Inggris
menunjukkan bahwa pohon dan rumput dapat berperan dalam mengurangi suhu
regional dan lokal di daerah perkotaan. Pohon bisa memberikan efek pendinginan
permukaan yang efektif sehingga dapat memberikan pendinginan regional,
membantu mengurangi pulau panas perkotaan dalam cuaca panas. Sebaliknya
rumput memiliki pengaruh yang kecil terhadap suhu udara lokal, sehingga
memiliki sedikit efek pada kenyamanan manusia, sedangkan pohon rindang dap