Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK.

(1)

KETERKAITAN

RUANG TERBUKA HIJAU

DENGAN

URBAN HEAT ISLAND

WILAYAH JABOTABEK

SOBRI EFFENDY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

KETERKAITAN

RUANG TERBUKA HIJAU

DENGAN

URBAN HEAT ISLAND

WILAYAH JABOTABEK

SOBRI EFFENDY

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK, adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2007

Sobri Effendy NRP: G. 226010011


(4)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB secara wajar

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(5)

Judul Disertasi

: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau

dengan

Urban Heat Island

Wilayah

JABOTABEK

Nama

:

Sobri

Effendy

NIM

:

G.226010011

Program

Studi

:

Agroklimatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc.

K e t u a

Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si. Dr. Ir. Imam Santosa, M.S.

A n g g o t a

A n g g o t a

Diketahui,

Program Studi Agroklimatologi,

Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Ketua

Dekan


(6)

SOBRI EFFENDY. TheRole of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature and Urban Heat Island. Exemplified By Jabotabek Area. Under supervision of AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, and IMAM SANTOSA.

This study attempts to develop a functional relationship between air temperature and urban green space using Landsat data. It also aims to estimate the contribution of various forcings, namely, urban green space, population density, urban area, and automobile densities to urban heat island.

Subsequently, the impact of urban heat island on temperature humidity index will be assessed quantitatively, followed by surface energy budget analysis of Jabotabek area. Air temperature series are derived from Landsat data, including the NDVI which is used as the bases for generating urban green space of the study area. Principal Component Analysis is utilized in order to establish the relative importance of forcing variables on urban heat island; in order to simplify the structure of factor loadings a varimax rotation is carried out.

It is found that air temperature and urban green space for the study area is best represented by a nonlinear equation when a maximum coefficient determination (R2adj) and a minimum standard deviation (S) are to be fulfilled. A 50% reduction in urban green space would bring air temperature to raise between 0.4 to 1.8oC. It is interesting to note that this study reveals the same percentage increase in urban green space would only lower the temperature by 0.2 to 0.5oC. Automobile density is found to be the most important cause of urban heat island in Jakarta, alarger built-up area is the mayor factor of urban heat island in Bogor, on the other hand, a decreased urban green space is the most force factor in Tangerang and Bekasi. The analysis surface energy budget indicated that an increase of 1.0oC in urban heat island would result in a reduction of latent heat fluxes ranging from 32.7 to 33.2 Wm-2 but an increase of sensible heat fluxes to air varying from 15.7 to 15.8 Wm-2.

Key words: urban green space, urban heat island, temperature humidity index, jabotabek


(7)

SOBRI EFFENDY. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. Dibimbing oleh AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, dan IMAM SANTOSA.

Penelitian bertujuan menentukan bentuk hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat; mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, luas Ruang Terbangun (RTB) dan kepadatan kendaraan terhadap fenomena

Urban Heat Island (UHI) dan mengkaji dampak UHI terhadap perubahan indeks kenyamanan, dan neraca energi permukaan wilayah JABOTABEK, khususnya terhadap fluks LE (latent heat flux) dan H (sensible heat flux).

Tahapan penelitian meliputi: (1) ekstraksi nilai NDVI dari band 3 dan 4, suhu udara dari band 6 citra Landsat. Dari nilai NDVI dibangkitkan nilai persen RTH, selanjutnya menentukan hubungan RTH dan suhu udara (2) Menerapkan regresi berganda, analisis komponen utama (PCA) dengan rotasi varimax untuk mengungkap kontribusi terbesar peubah prediktor terhadap UHI; (3) Mengkaji dampak UHI seperti

Temperature Humidity Index (THI) dan neraca energi permukaan perkotaaan.

Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan terpilih nonlinier untuk seluruh lokasi baik Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan penambahan

RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC. Hal ini

membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan ruang terbangun (RTB) pemicu UHI di Bogor. Peningkatan UHI 1.0oC menyebabkan THI bertambah 4.8 hingga 5.0oC dan

menyebabkan penurunan fluks LE sebesar 32.7 hingga 33.2 Wm-2 sebaliknya

meningkatkan fluks H sebesar 15.7 hingga 15.8 Wm-2.

Kata kunci:ruang terbuka hijau, urban heat island , temperature humidity index, jabotabek


(8)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian mulai Juli 2005-Juli 2007 mengenai keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island

wilayah JABOTABEK, dengan menggunakan data penginderaan jauh. Terimakasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ahmad Bey selaku pembimbing utama, kepada Dr. Alinda F.M. Zain atas perkenannya melanjutkan penelitian S3 yang bertema Distribution, stucture and function of urban green space in Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK), serta atas segala bantuan lainnya, juga penghargaan kepada Dr. Imam Santosa atas dorongan moril dan saran-sarannya.

Penghargaan yang setinggi-tingginya pada pembimbing luar komisi pada saat ujian kualifikasi: Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. dosen Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Pada saat ujian tertutup Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB dan pimpinan sidang tertutup wakil dekan FMIPA Dr. Hasim, DEA, atas saran dan masukkannya. Serta pada saat ujian sidang terbuka Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr (Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-LPPM IPB) dan Dr. Erna Sri Adiningsih (Kepala Pusat Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN-Jakarta) beserta pimpinan sidang Dekan FMIPA-IPB, Dr. Hasim, DEA.

Juga penghargaan sebesar-besarnya kepada BPPS-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan RI yang memberikan beasiswa selama enam semester. Kepada semua pihak yang membantu baik rekan sesama staf dan penunjang di departemen maupun di lain fakultas di IPB serta di luar IPB. Serta kepada pihak keluarga yang mendukung dengan doa dan pengertiannya, terutama saat penulisan disertasi. Akhirnya, semoga apa yang dihasilkan mendapat ridho dari Yang Maha Kuasa. Amin.

Bogor, November 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera-Selatan pada tanggal 24 November 1964 oleh Ibu yang bernama Haunai dan Ayah (Almarhum) Muhd. Toyib. Menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN 2, pendidikan menengah pertama pada SMPN 1 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 1 semuanya di kota Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, Baturaja, Sumatera Selatan.

Pendidikan tinggi strata satu diterima lewat jalur USMI/PMDK pada tahun 1994 di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi-FMIPA-IPB. Diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama hingga sekarang. Pada tahun 1994 hingga 1997 menyelesaikan pendidikan tinggi strata dua di IPB pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Pada tahun 2001 diterima di program studi Agroklimatologi-Sekolah Pascasarjana IPB lewat program BPPS 2001. Mengambil topik disertasi dengan judul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai ketua dan Dr. Ir. Alinda FM. Zain, M.Si. serta Dr. Ir. Imam santosa, M.S. sebagai anggota pembimbing.

Selama proses penyelesaian disertasi penulis beserta pembimbing menulis jurnal terkait, dengan judul: Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Mengendalikan Suhu Udara dan Urban Heat Island di Jabotabek, pada jurnal terakreditasi Agromet Indonesia Volume XX No.1 Juni 2006. Serta membawakan makalah pada seminar: Menuju Jabodetabek Berkelanjutan pada tanggal 6 September 2007 di IPB-ICC (International Convention Center) Bogor dengan judul Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Urban Heat Island dan Nereca Energi Permukaan Wilayah Jabotabek.


(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Erna Sri Adiningsih, M.Si. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr


(11)

Albedo (α) Perbandingan jumlah radiasi surya gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi surya gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut. Radiasi gelombang pendek dalam penelitian ini diekstrak dari kanal visible.

Panjang gelombang dari radiasi yang dipancarkan sebesar 11,5 µm nilai tengah dari kanal 6.

Bowen Ratio (β) Perbandingan antara panas terasa (sensible heat flux) dengan energi untuk menguapkan air permukaan (latent heat flux), menggambarkan status kelembaban penutup permukaan.

c Kecepatan cahaya 2.998 x 108 msec-1

CP Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg

-1

K-1)

Digital Number (DN) Nilai digital yang menggambarkan suatu tingkat kecerahan suatu obyek dalam data satelit, dinyatakan dalam satuan bit, dikenal juga dengan istilah nilai keabuan (grey value) dengan nilai bit antara 0-255.

ε Emisivitas suatu obyek atau permukaan, menunjukkan daya emisi/pancar suatu obyek.

εa Emisivitas udara daya emisi udara sebesar 0.938 x 10-5

Ta2 K-2

ea Tekanan uap aktual (kPa)

es Tekanan uap jenuh (kPa)

Fraksi Alfa (Fα) Perbandingan antara fluks panas laten dengan radisi netto, indikator bagi besar atau kecilnya penggunaan energi bersih untuk proses penguapan.

GCP Ground Control Point, titik kontrol di bumi yang dijadikan acuan untuk mengoreksi citra akibat kesalahan geometrik, biasanya ditentukan titik alami yang tidak cepat berubah, misal garis pantai atau bangunan yang bersejarah dan akan tetap dipertahankan seperti tugu Monas.


(12)

kawasan megapolitan dan menjadi wilayah Kawasan Strategi Nasional (KSN) bagi Indonesia.

JD Julian Day, jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal akuisisi data citra satelit pada tahun yang bersangkutan.

KPop Singkatan dari kepadatan populasi, jiwa per km-2.

KKdr Singkatan dari kepadatan kendaraaa dalam satuan unit km-2

LANDSAT TM Land Satellite Thematic Mapper, satelit komersial yang dapat digunakan untuk memantau sumberdaya alam, yang pada awalnya digunakan dalam bidang geologi umum, namun berkembang pesat dan dapat diaplikasi pada bidang lain selain geologi.

LANDSAT ETM+ Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus, merupakan satelit komersial modifikasi dari TM dengan pengayaan pada kanal 8 (Panchromatic, dengan resolusi 15 x 15 m).

Latent Heat Flux (LE) Perpindahan panas laten, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk menguapkan air di permukaan lewat proses evapotrasnpirasi, dengan satuan Wm-2.

N Faktor keawanan (%), pada kondisi cerah=0

NDVI Normalized Difference Vegetation Index, salah satu indeks kehijauan suatu obyek dapat digunakan untuk memantau tingkat kekeringan dan kerapatan vegetasi.

NIR Near Infra Red, suatu kanal pada satelit Landsat dengan panjang gelombang 0.76-0.90 m.

PC Personal Computer, merupakan istilah yang digunakan bagi seperangkat komputer lengkap dengan berbagai software untuk mengolah data, angka, gambar dan ekstrak data satelit.

PCA Principle Component Analysis, sebuah metode statistika pengubah peubah prediktor yang saling berkorelasi erat menjadi peubah baru namun mampu menjelaskan total ragam peubah prediktor asal semaksimal mungkin, serta saling ortogonal.


(13)

dari gambar yang diambil oleh penginderaan jauh, di mana satu pixel berarti satu data, untuk data Landsat satu pixel berukuran 30 x 30 m, 60 x 60 m dan 120 x 120 m, tergantung kanal yang digunakan.

raH Tahanan aerodinamik (sm-1) Rosenberg (1974):

96 . 0

9

.

31

×

=

u

r

aH u: kecepatan angin normal pada ketinggian 1.2 m

R Red, sebuah kanal dari satelit Landsat pada cahaya yang dapat dilihat (visible) dalam warna merah dengan panjang gelombang 0.63-0.69 m.

air

ρ Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3).

R2adj Coefisien determination adjusted, koefisien determinasi terkoreksi menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model.

Radiasi Netto (Rn) Energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan

dengan satuan Wm-2.

RH Relative Humidity, kelembaban relatif merupakan gambaran jumlah kandungan uap air di udara dalam satuan persen.

RTH perkotaan Ruang Terbuka Hijau Kota (Urban Green Space), diartikan sebagai bagian dari ruang terbuka wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik, introduksi) dari tingkat rumput, semak hingga pohon guna mendukung manfaat langsung dan taklangsung seperti rasa nyaman, aman, indah dan sejahtera.

Rural Kawasan pedesaan atau pinggiran merupakan lawan kata dari urban.

RTB Ruang Terbangun, merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu ruangan terbuka yang diisi oleh selain vegetasi seperti jalan, perkantoran, perumahan, serta berbagai atribut pelengkap kota, desa dan lain-lain dengan ciri permukaan keras dan kering.

RSin Radiasi gelombang pendek dari matahari yang masuk


(14)

S

dari permukaan bumi dalam satuan Wm-2.

Rlin Radiasi gelombang panjang yang diterima permukaan

merupakan pantulan dari atmosfer dan awan dalam satuan Wm-2.

Rlout Radiasi gelombang panjang yang keluar dari

permukaan dalam satuan Wm-2.

S Standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model.

Sensible Heat Flux (H) Perpindahan panas terasa, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan secara konveksi, dengan satuan Wm-2.

Soil Heat Flux(G) Perpindahan panas permukaan tanah, salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman tanah melalui proses konduksi, dengan satuan Wm-2.

Sub-urban Kawasan perbatas antara urban dan rural dikenal juga sebagai kota kecil atau kota yang mulai berkembang.

Suhu Permukaan (Ts) Suatu gambaran energi yang terdapat pada suatu

permukaan bumi, dengan satuan oC atau K.

Suhu Kecerahan (TB) Brigthness Temperature, suatu gambaran energi

permukaan yang dihitung berdasarkan tingkat kecerahan permukaan (obyek yang dikaji), dengan satuan oC atau K.

Suhu Udara (Ta) Suatu gambaran energi yang terdapat di atmosfer atau

udara dan dapat dirasakan oleh tubuh serta dapat diukur dengan termometer, dengan satuan oC atau K.

spektral radiance λ

L

Jumlah energi yang dipancarkan/dipantulkan suatu obyek per unit luas dan panjang gelombang tertentu.

spectral irradiance

(ESUNλ)

Jumlah energi yang diterima suatu obyek per unit luas.

Td Dew Point Temperature, suhu titik embun yaitu suhu yang tercapai saat terjadi pengembunan.


(15)

satuan derajat Celsius sebagai besaran yang dapat dikaitkan dengan tingkat kenyamanan yang dirasakan populasi manusia di wilayah perkotaan.

Thermal Infrared Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang memiliki panjang gelombang 10.40 hingga 12.50 m, dikenal sebagai kanal 6 untuk mengekstrak data suhu permukaan.

UHI Urban Heat Island, merupakan fenomena di perkotaan yang menggambarkan peningkatan suhu udara perkotaan dibandingkan wilayah sekitar kota (rural/desa), secara visual pada gambar isoterm spasial di peta seperti sebuah pulau dengan isoterm tertinggi terjadi diperkotaan.

UCL Urban Cover Layer, suatu lapisan yang menyelimuti perkotaan dan merupakan batas yang bertindak seperti selimut penyebab udara menjadi lebih panas di perkotaan.

Urban Perkotaan, sebuah pusat keramaian dengan berbagai atribut pelengkap kota seperti jalan, gedung, pusat perbelanjaan, pemukiman dan lainnya.

Visible Suatu kanal pada satelit penginderaan jauh yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 0.3 hingga 0.7 m pada cahaya tampak biru, hijau dan merah (sering disingkat sebagai RGB: red, green, blue).


(16)

DAFTAR ISI

No. Text Hal

ABSTRACT………. i

ABSTRAK……… ii

PRAKATA………. iii

RIWAYAT HIDUP iv

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN v

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiv I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Kerangka Pemikiran... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Luaran Penelitian... 3

1.5. Kebaruan (Novelty) 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI)... 5

2.2. Keterkaitan RTH dengan UHI... 6

2.3. Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI... 11

2.4. Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI... 12

2.5. Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI... 14

2.6. Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi... 15

2.7. Penginderaan Jauh... 18

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 23

3.2. Alat dan Bahan... 25

3.3. Metodologi Penelitian... 26

3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara... 26

3.3.2. Kontribusi RTH, Kepadatan Populasi, RTB, dan Kepadatan Kendaraan terhadap UHI... 35 3.3.3. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 43


(17)

4.3. Penentuan Neraca Energi... 52

4.4. Penentuan Hubungan RTH dan Suhu Udara... 57

4.4.a. Pembahasan Persamaan RTH dan Suhu Udara... 64

4.5. Kontribusi RTH, Populasi, RTB dan Kendaraan terhadap UHI……... 67

4.5.a. Pembahasan Fenomena UHI... 70

4.5.b. Simulasi dan Validasi Model Fenomena UHI... 72

4.6. Kajian Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi... 73

4.6.a. Pembahasan Dampak UHI terhadap THI... 76

4.6.b. Simulasi dan Validasi Model UHI dan THI... 76

4.6.c. Dampak UHI terhadap Neraca Energi Permukaan... 78

4.6.d. Pembahasan Dampak UHI terhadap Fluks LE dan H... 80

4.6.e. Simulasi dan Validasi Model UHI dan Neraca Energi... 83

V. SIMPULAN DAN SARAN... 85

5.1. Simpulan... 85

5.2. Saran... 86

VI. DAFTAR PUSTAKA... 88

LAMPIRAN... 98

1. Analisis Komponen Utama... 98

2. Persamaan regresi berganda antar komponen utama pertama dan kedua dengan UHI setelah analisis rotasi varimax... 103 3. Hasil Lengkap penentuan hubungan UHI dan THI... 104


(18)

DAFTAR TABEL

No. Text Hal

1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK... 10

2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK……… 10

3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan populasi perdekade wilayah JABOTABEK………. 12 4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah JABOTABEK... 13

5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) perdekade wilayah JABOTABEK... 15

6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah... 16

7. Selang kenyamanan beberapa negara ... 17

8. Studi aplikasi citra landsat yang dikaitakan dengan iklim kota... 21 9. Tahap mencari model regresi terpilih kalibrasi suhu udara... 45

10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004... 47 11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK... 52

12. Nilai koefisien determinasi (R2adj) dan standar deviasi model (S) persaman RTH dan suhu udara 1991, 1997 dan 2004………. 58 13. Nilai kontanta dan koefisien persamaan RTH dan suhu udara JABOTABEK……… 60 14. Laju perubahan suhu udara akibat perubahan RTH sebesar 5% di JABOTABEK... 64 15. Hasil uji korelasi antar peubah empat kota JABOTABEK………... 68

16. Korelasi antar peubah baru dengan peubah asal dan total ragamnya untuk empat kota JABOTABEK……….. 69 17. Kontribusi peubah prediktor dalam persen terhadap UHI……… 70 18. Hasil simulasi dan validasi UHI empat kota JABOTABEK ... 73

19. Nilai kontanta dan koefisien persamaan UHI dan THI JABOTABEK……… 74

20. Perubahan THI akibat perubahan UHI berdasarkan

interpretasi model persamaan JABOTABEK... 75

21. Hasil simulasi dan validasi THI empat kota

JABOTABEK... 77


(19)

JABOTABEK……… 23. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di empat kota JABOTABEK... 80 24. Nilai rasio Bowen di empat kota JABOTABEK

dibandingkan kota-kota lain... 81

25. Rasio nilai LE, H dan G wilayah JABOTABEK... 82 26. Simulasi dan Validasi nilai LE dan H JABOTABEK... 83


(20)

DAFTAR GAMBAR

No. Text Hal 1. Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI ... 2 2. Fenomena UHI di malam hari, suhu udara (garis tebal),

suhu permukaan (garis putus-putus)... 5

3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi

di tengah gambar seperti sebuah pulau panas ... 6

4. Fungsi RTH Perkotaan ... 7 5. Wilayah studi... 24 6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara... 27 7. Diagram alir kajian kontribusi RTH, kepadatan populasi,

RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI... 39

8. Diagram alir dampak UHI terhadap THI, fluks LE dan H... 42 9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara……… 46 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat

periode 1991, 1997 dan 2004………... 49

11. Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK

Periode 1991, 1997 dan 2004……… 51

12. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan (G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan

RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Jakarta……… 53 13. Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan

(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan

RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bogor……… 54 14 Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan

(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan

RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Tangerang……… 55 15 Perubahan radiasi netto (Rn), panas terasa (H), panas permukaan

(G) dan panas laten (LE) tahun 91, 97 dan 2004 di lahan

RTB (a,c,e) dan RTH (b,d,f) wilayah Bekasi……… 56 16. Validasi model persamaan tahun 2004 untuk data tahun

1991 (a) dan data tahun 1997 (b)……….. 59

17. Validasi model persamaan hasil ekstraksi 1991

untuk data 1997 (a) dan model persamaan hasil ekstraksi 1997 untuk data 1991 (b)...

59

18. Bentuk persamaan terpilih antara RTH dengan suhu udara (Ta) pada Tujuh wilayah kajian ...

61

19. Perubahan suhu udara akibat perubahan RTH wilayah JABOTABEK... 63 20. Persamaan terpilih dampak UHI terhadap THI... 74 21. Dampak UHI terhadap fluks LE dan H di Jakarta (a dan b)

Bogor (c dan d), Tangerang (e dan f) dan Bekasi (g dan h)……… 79


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ruang Terbuka Hijau (RTH) JABOTABEK berkurang 23% selama periode 1972-1997. Dalam periode yang sama terjadi peningkatan ruang terbangun (RTB) sebesar 23% (Zain, 2002). Pengurangan RTH diduga salah satu penyebab peningkatan suhu udara. Diperlukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut.

Peningkatan suhu udara perkotaan merupakan fenomena Urban Heat Island (UHI), yakni peningkatan suhu udara perkotaan (urban) dibandingkan wilayah suburban dan rural.

Kajian UHI dengan pendekatan analisis data stasiun cuaca telah dilakukan oleh Hidayati (1990); Karyoto et al. (1992); Adiningsih (1997) dan Santosa (1998) didapatkan suhu udara kota Jakarta lebih tinggi 0.02-1.0 oC dibandingkan wilayah suburban/rural. Dalam studi yang bertema keterkaitan RTH dan UHI di wilayah JABOTABEK dilakukan analisis dengan menggunakan data penginderaan jauh. Kelebihan penginderaan jauh dalam hal penyediaan data spasial rapat dengan akurasi baik serta cakupan wilayah yang luas telah dibuktikan oleh Streutker (2003). Sehingga keterbatasan jumlah stasiun cuaca konvensional secara spasial dapat ditutupi dengan penggunaan penginderaan jauh. Keunggulan lainnya dalam hal tersedianya multikanal, sehingga untuk sekali pengambilan data dapat dikeluarkan beberapa parameter secara bersamaan, dengan demikian penentuan hubungan keterkaitan antara RTH dan suhu udara menjadi potensial sebagai bahan kajian.

Keterkaitan RTH dengan UHI dibuktikan oleh Oke (1998) dan McPherson (2000), keterkaitan kepadatan populasi dengan UHI dikaji oleh Stalling (2004) dan Pongracz et al.(2005), keterkaitan peningkatan ruang terbangun (RTB) dengan UHI dikemukakan oleh Belaid (2003) dan Weng (2003) serta keterkaitan kepadatan kendaraan dengan UHI diungkap oleh Adiningsih (1997) serta Yani dan Effendy (2003). Keberadaan RTH, populasi, RTB dan kepadatan kendaraan masing-masing secara terpisah terbukti sebagai penyebab UHI. Perlu ditelaah lebih jauh bagaimana kontribusi pengurangan RTH, kepadatan populasi,


(22)

peningkatan luasan RTB dan kepadatan kendaraan bila dikaji secara bersamaan. Sehingga dapat ditelaah lebih jauh kontributor paling dominan dari ke empat peubah yang secara terpisah berperanan besar terhadap UHI.

Dampak UHI secara lokal terhadap perubahan kenyamanan dan neraca energi diungkap oleh Oke (1997) dan Voogt (2002), untuk wilayah nontropis. Perlu kajian dampak UHI terhadap Temperature Humidity Index (THI) untuk mengetahui perubahan kenyamanan dan kajian neraca energi permukaan perkotaan wilayah tropis, khususnya JABOTABEK. Pemilihan kajian pada wilayah JABOTABEK berdasarkan pada potensi terjadinya UHI lebih besar dan sebagai pusat pemerintahan serta sebagai aset nasional bangsa, diharapkan keluaran hasil penelitian bernilai strategis.

1.2. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang, disusunlah kerangka pemikiran kajian kaitan RTH dengan UHI seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran keterkaitan RTH dengan UHI JABOTABEK

Berdasarkan Gambar 1 dapat dijelaskan kerangka pemikiran penelitian didasarkan pada keberadaan RTH pada skala mikro memiliki fungsi ekologis dalam hal mengatur suhu udara, sehingga setiap kebijakkan mengubah RTH akan mengubah suhu udara. Kajian suhu udara pada wilayah perkotaan merupakan


(23)

fenomena UHI. Fenomena UHI berdasarkan kajian pustaka disebabkan banyak faktor, selain RTH. Faktor lain tersebut di antaranya kepadatan populasi (KPop), luasan RTB dan kepadatan kendaraan (KKdr). Fenomena UHI diyakini menyebabkan terjadinya perubahan indeks kenyamanan (∆THI) dan juga perubahan (∆) neraca energi permukaan.

Permasalahan-permasalahan yang muncul dari kerangka pemikiran tersebut adalah:

(1)Bagaimanakah bentuk hubungan fungsional antara RTH dan suhu udara?

(2)Bagaimana kontribusi RTH, peningkatan kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI?

(3)Bagaimana dampak UHI terhadap THI dan neraca energi?

Penelitian ini diarahkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasar identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian sebagai berikut:

1. Menentukan bentuk hubungan RTH dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat;

2. Mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan terhadap UHI;

3. Mengkaji dampak UHI terhadap THI dan neraca energi.

1.4. Luaran Penelitian

Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema keterkaitan RTH dengan UHI wilayah JABOTABEK antara lain:

1. Memperkaya pengetahuan bidang klimatologi terapan khususnya keterkaitan RTH dengan UHI, serta kajian dampak UHI terhadap THI dan neraca energi permukaan wilayah perkotaan.

2. Mengungkap potensi pemanfaatan penginderaan jauh, khususnya data Landsat dalam kajian Klimatologi Terapan.


(24)

3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait tentang pentingnya mempertahankan luasan RTH dalam menyusun rencana strategis pengembangan JABOTABEK.

1.5. Kebaruan (novelty)

Sedikitnya ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian yang berjudul: Keterkaitan RTH dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK adalah:

(1) Ditemukan keterkaitan RTH dengan suhu udara dalam bentuk persamaan kuantitatif. Sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan RTH mutlak bagi suatu kawasan perkotaan agar didapatkan suhu udara pada batasan nyaman bagi penghuni perkotaan.

(2) Dapat diketahui secara bersamaan bahwa RTH, kepadatan populasi, RTB dan kepadatan kendaraan berperan cukup besar dan nyata terhadap fenomena UHI perkotaan. Sehingga dapat diungkap bahwa setiap fenomena UHI disebabkan oleh peubah prediktor dominan yang berbeda. Hal ini terjadi akibat berbedanya karakteristik yang mendominasi setiap kota.

(3) Upaya pengurangan UHI perkotaan secara nyata dapat memulihkan kondisi kenyamanan perkotaan melalui penurunan nilai indeks THI. Ketiga hal tersebut diharapkan sedikitnya menyumbang informasi bagi berbagai pihak terutama bagi kelompok pengkaji kawasan JABOTABEK. Serta pihak-pihak pemerhati masalah lingkungan perkotaan dan para pengambil kebijakan.


(25)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island:UHI)

Menurut Voogt (2002) fenomena UHI merupakan gambaran peningkatan suhu udara urban (perkotaan) pada urban cover layer (UCL) atau lapisan di bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah rural (pinggiran), khususnya di malam hari yang tenang dan cerah (Gambar 2). Dinamakan pulau panas karena bentuk fenomena UHI bila digambarkan secara spasial berbentuk

isoterm seperti sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan areal sekitarnya (Gambar 3).

Gambar 2. Fenomena UHI di malam dan siang hari, suhu udara (garis tebal), suhu permukaan (garis putus-putus)


(26)

Gambar 3. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas

Sumber: Voogt (2002)

Beberapa hasil kajian UHI mencatat bahwa perbedaan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0.02-1oC dibandingkan daerah daerah sekitarnya (daerah pinggiran/rural) di kota-kota tropis (Hidayati, 1990; Karjoto, et al. , 1992; Santosa, 1998; Mulyana et al. (2003).

Di negara subtropis fenomena UHI lebih dirasakan pada musim semi dan musim panas, terutama di malan hari. Suhu udara lebih tinggi sekitar 3-5oC hingga dapat mencapai 8-10oC sementara di siang hari hanya berbeda 1-2oC. Hasil ini merupakan kesimpulan dari berbagai riset di negara-negara bagian USA yang dilakukan Givoni (1998), bahkan di Houston, Texas (USA) oleh Streuker (2003) hanya mendapatkan peningkatan sebesar 0.8oC periode 1987-1999 pada siang hari berdasarkan data satelit; di Kota Gothenburg, Swedia oleh Svenson dan Eliasson (2002) sebesar 4-8oC di saat malam yang tenang dan cerah, sementara pada kondisi berangin dan berawan peningkatan suhu udara perkotaan hanya sebesar 2.5oC. Sedangkan di Kota Phoenix (Arizona, USA) suhu udara malam hari meningkat sebesar 5oC, di siang hari sebesar 3.1oC (Baker, et al. 2003).

2.2. Keterkaitan RTH dengan UHI

Berdasarkan lokasinya RTH di JABOTABEK lebih tepat diartikan sebagai RTH perkotaan (urban green space), Zain (2002) menambahkan kata urban karena antara manusia dan RTH JABOTABEK terjalin interaksi yang erat,


(27)

sehingga RTH perkotaan diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan (Nurisjah et al., 2005).

Nurisjah et al., (2005) mengungkapkan fungsi RTH baik RTH publik maupun RTH privat memiliki fungsi utama (intrinsik), yaitu fungsi ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik), yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Secara tabular fungsi RTH perkotaan digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Fungsi RTH Perkotaan

Sumber: Nurisjah et al., (2005)

Hasil kajian Purnomohadi (1995) terhadap peran RTH dalam pengendalian kualitas udara di DKI Jakarta mendapakan hasil: RTH mampu menekan emisi CO, NOx dan Pb (melampaui baku mutu KepMenLH 02/1998) dari sektor transportasi (90%), industri (7%), sampah kota (3%) dan rumah tangga (< 1%) masing-masing sebesar 3%, 2% dan menekan emisi Pb sebesar 2% terhadap bobot emisi. Sehingga secara tidak langsung kehadiran RTH lewat reduksi emisi gas seperti NOx (termasuk gas rumah kaca, yang mempunyai kemampuan menyerap panas 300 kali dibandingkan CO2) akan mengurangi dampak pemanasan baik

lokal, maupun regional seperti fenomena UHI.

Kajian Santosa dan Bey (1992) menemukan keberadaan Kebun Raya Bogor tetap nyaman terjaga dari pengaruh pembangunan fisik dan padatnya lalu


(28)

lintas kota dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami, sementara THI di sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga Kebun Raya Bogor tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah akibat pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga kehadiran RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH.

Tipe RTH yang banyak terdapat di Jawa Barat berupa kebun berbagai tanaman hortikultura di sekitar rumah dikenal dengan istilah home garden

menyebabkan turunnya suhu udara 0.5-1oC serta meningkatkan RH 3-4% di bandingkan lahan terbuka (Koesmaryono, et al. 2000). Hal ini berarti keberadaan RTH mampu meredam fenomena UHI serta mempertahankan THI pada batas nyaman.

Hasil riset lapangan Zain (2002) kawasan JABOTABEK mengidentifikasi sedikitnya 9 tipe RTH: tanaman di gedung pemerintahan, tanaman di areal pusat bisnis, tanaman di areal industri, taman, RTH di pemukiman kota, RTH pemukiman pinggiran kota, pedesaan, areal sawah, serta hutan kota. Masing-masing tipe berbeda dalam efektivitasnya mengurangi suhu udara, berdasar kajian Irwan (1994) bentuk RTH yang menyebar dan terdiri dari berbagai tingkatan vegetasi (rumput, semak dan pohon) dapat mengurangi kebisingan sebesar 6%-30%, debu sebesar 38%-68%, dan suhu udara di bawah tajuk sebesar 0.1-0.5oC dibandingkan RTH bergerombol, dan berbentuk jalur. Hal yang sama diungkap Misawa (1994) tentang efektivitas jalur hijau dengan lebar lebih dari 2 km, dengan kombinasi vegetasi rumput, semak dan pohon mampu meredam 75% debu perkotaan.

Namun keberadaan RTH di banyak kota terancam oleh penyebab pengurangan RTH seperti, meningkatnya permintaan lahan untuk kawasan pemukiman, perluasan kota serta industri (Sudha and Ravindranath, 2000), meledaknya populasi (Oke, 1982; Shosshany and Goldshleger, 2002) serta urbanisasi (Ghosh, 1998; Murakami, et al., 2005). Akibatnya terjadi fenomena UHI yang berdampak pada perluasan wilayah tidak nyaman. Hal serupa


(29)

didapatkan oleh Khomarudin (2005) untuk kota Surabaya dan sekitarnya, dengan menggunakan data Landsat dan NOAA secara visual akibat perubahan lahan bervegetasi menjadi lahan perkotaan meningkatkan suhu udara yang berimplikasi pada meluasnya UHI. Namun hubungan secara empiris lewat persamaan matematika belum ditemukan.

RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten (latent heat) sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara (sensible heat). Akibatnya pada lahan bervegetasi cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu, Moll (1997) merekomendasikan kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Penghitungan tersebut didasarkan pada perhitungan neraca energi yaitu konversi radiasi netto lebih banyak digunakan untuk panas laten, sehingga mengurangi porsi sensible heat, akan efektif bila luasan RTH 40% dari luasan lokasi kota.

Melalui kombinasi penaungan dan pendinginan udara lewat transpirasi, RTH dapat digunakan untuk mencegah UHI akibat perkembangan area perkotaan (Grimmond et al., 1996, Ca et al., 1998, Spronken-Smith dan Oke, 1998). Selama kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang

diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2

di atmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global (McPherson, 2000).

Selain RTH, badan air juga dapat mengontrol UHI, karena energi netto secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat proses evaporasi, sehingga energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah menimal, khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert (1990) di Jerusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al. (1999).

Hasil penelitian terbaru mengenai luasan (ha) dan proporsi RTH (%) didasarkan pada analisis citra Landsat disajikan dalam bentuk Tabel 1 dan 2 sebagai berikut:


(30)

Tabel 1. Dinamika Luasan RTH Kawasan JABOTABEK

Luas Ruang Terbuka Hijau (ha) KABUPATEN /

KOTA

1972 1983 1992 2000 2004

Luas Wilayah (ha)

Kab. Bogor 269.145 264.479 260.178 230.324 234.945 279.382

Bogor 10.401 9.885 8.060 5.587 4.912 11.342

Kab. Bekasi 66.843 62.530 83.280 71.892 77.904 126.738

Bekasi 16.414 15.836 14.618. 8.977 7.240 22.683

Depok 16.780 18.090 17.533 12.935 9.780 19.991

Kab. Tangerang 62.427 77.551 82.739 60.687 66.601 112.612

Tangerang 9.997 8.219 8.468 5.053 3.820 18.538

DKI Jakarta 32.709 20.012 17.956 10.190 7.166 63.533 Sumber: Agrissantika, et al. (2007)

Berdasarkan Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa hingga 2005 semua wilayah kabupaten secara luasan (ha) dan proporsi luasan RTH (%) masih mempunyai potensi besar dalam hal mengurangi peningkatan suhu udara dan meredam fenomena UHI. Potensi meredam UHI karena luasan RTH yang dimiliki wilayah kabupaten masih cukup luas, terutama di Kabupaten Bogor luasan RTHnya 234.945 ha atau 85% dari total luas wilayah diikuti Kabupaten Bekasi dan Tangerang masing-masing 77.904 ha (61%) dan 66.601 ha (59%). Sedangkan wilayah perkotaan berada pada proporsi di bawah 50%, dengan RTH terendah di kota DKI Jakarta sebesar 11%.

Tabel 2. Dinamika Proporsi RTH Kawasan JABOTABEK Proporsi Ruang Terbuka Hijau KABUPATEN / KOTA

1972 1983 1992 2000 2005 Kab. Bogor 96% 95% 93% 82% 84%

Bogor 92% 87% 71% 49% 43%

Kab. Bekasi 53% 49% 66% 57% 61%

Bekasi 72% 70% 64% 40% 32%

Depok 84% 90% 88% 65% 49%

Kab. Tangerang 55% 69% 73% 54% 59% Tangerang 54% 44% 46% 27% 21% DKI Jakarta 51% 31% 28% 16% 11% Sumber: Agrissantika, et al. (2007)


(31)

2.3. Keterkaitan Kepadatan Populasi dengan UHI

Peningkatan populasi secara langsung lewat emisi panas tubuh dan secara tidak langsung melalui aktivitas penghasil gas rumah kaca, terbukti secara lokal menyebabkan peningkatan suhu udara (Tso, 1996; Jauregui et al. 1997; Tayanc dan Toros, 1997; Brandsma et al. 2003; Chung et al. 2004; Mihalakakou et al.

2004, Stalling, 2004; Zhou, 2004). Intensitas UHI cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan atau luasan perkotaan (Park, 1986; Yamashita et al., 1989; Chow, 1992; Hogan dan Ferrick, 1998; Magee et al. 1999; Philandras et al. 1999, Torok et al. 2001; Hinkel et al. 2003.

Di Amerika Utara dan kota-kota di Eropa, Oke (1973) berhasil membuat model regresi dengan peubah prediktor tunggal ukuran populasi, sebesar 70% dapat menjelaskan peubah intensitas UHI. Dilanjutkan hasil penelitian Karl et al.

(1988) di Amerika Serikat secara lokal suhu udara meningkat sebesar 1oC setiap peningkatan populasi 100 ribu jiwa akibat urbanisasi. Pada skala regional Kukla

et al. (1986) mencatat peningkatan suhu udara perkotaan sebesar 0.12oC per-dekade pada rentang periode 1941-1980. Sebagai penelitian pionir, Viterito (1991) menduga peningkatan suhu udara perkotaan secara global di Amerika Serikat sebesar 0.19oC akibat penambahan populasi 200 ribu jiwa atau lebih pada tahun 2035.

Besaran UHI hasil penelitian yang dilakukan Pongracz et al. (2005) di 10 kota terpadat di Hungaria, Budapest didapatkan antara 1.2-2.1 oC dengan menggunakan hasil ektraks data satelit Terra, dengan sensor MODIS. Pongracz menyimpulkan fenomena UHI yang terjadi di 10 kota Hungaria, Budapest disebabkan oleh makin meningkatnya jumlah penduduk. Besaran (magnitude) UHI tertinggi 2.1 oC disumbangkan oleh kota terpadat, sedangkan terendah 1.2 oC tercatat di kota berpopulasi terendah.

Hasil penelitian terbaru di JABOTABEK mengenai populasi dan potensi kepadatan penduduk dari tahun 1961 hingga 2004 disajikan pada Tabel 3.


(32)

Tabel 3. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan populasi perdekade wilayah JABOTABEK

Lokasi 1961 1971 1981 1991 2000 2004

Jakarta

Penduduk

(jiwa) 2.906.533 4.576.009 6.555.954 8.729.700 8.385.639 8.725.830

Luas (km2) 592 587 657 661 661 661

Kepadatan

(pop/km2) 4.910 7.796 9.971 10.750 12.681 13.195

Bogor

Penduduk

(jiwa) 1.468.248 1.864.652 2.823.201 4.248.038 5.379.279 5.594.078

Luas (km2) 3.020 3.020 3.021 3.379 3.463 3.463

Kepadatan

(pop/km2) 486 617 935 1.257 1.553 1.615

Tangerang

Penduduk

(jiwa) 850.390 1.066.695 1.515.677 2.93.653 4.107.282 4.682.948

Luas (km2) 1.325 1.325 1.325 1.399 1.414 1.414

Kepadatan

(pop/km2) 642 805 1.144 2.097 2.905 3.312

Bekasi

Penduduk

(jiwa) 692.817 830.721 1.205.108 2.244.292 3.328.127 3.864.525

Luas (km2) 1.600 1.599 1.284 1.484 1.484 1.484

Kepadatan

(pop/km2) 433 520 939 1.512 2.243 2.604

Sumber: Rustiadi, et al. (2007)

Berdasarkan Tabel 3 dan dikaitkan dengan hasil penelitian Oke (1973); Karl et al. (1988); Kukla et al. (1986); Viterito (1991) serta Pongracz et al.

(2005), maka potensi UHI meningkat lebih besar di Jakarta diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor, bila dikaitkan dengan kepadatan populasi setiap kota.

2.4. Keterkaitan Ruang Terbangun (RTB) dengan UHI

Modifikasi RTH menjadi RTB salah satu penyebab utama terjadinya fenomena UHI (Lo, et al., 1997). Yamashita dan Sekine (1991) menemukan bahwa perubahan penggunaan lahan (land use change) dari RTH menjadi RTB menjadi penyebab terjadi pemanasan secara lokal hingga regional.

Skinner dan Majorowichz (1999) meneliti selama abad 20 telah tejadi perubahan RTH, khususnya hutan menjadi RTB akibat penebangan berakibat pada peningkatan suhu udara pada periode yang sama. Sehingga modifikasi RTH


(33)

menjadi RTB diduga menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan di Cordillera barat daya Canada hingga Texas. Sedangkan Narisma dan Pitman (2003) mengobservasi dampak perubahan penutupan lahan menyebabkan peningkatan suhu udara maksimum pada skala lokal di kawasan Australia.

Analisis dampak perubahan permukaan terhadap UHI secara lokal ditelaah oleh Kim (1992); Quattrochi dan Ridd (1994); Aseada et al. (1996); Schlatter dan Wilson (1997); Condella (1998); Unger et al.(2001); Belaid (2003) dan Weng (2003). Secara umum kajian-kajian tersebut menduga bahwa perubahan permukaan lahan berdampak pada peningkatan suhu secara lokal hingga 1.7-2.2oC untuk RTB di musim panas, hingga 5.6oC di pusat RTB pada musim dingin.

Hasil studi di utara China oleh Zhao dan Zeng (2002), di New Orleans oleh Sailor dan Fan (2002) dan di perkotaan dekat pantai oleh Atkinson (2003) mencoba mengungkapkan bahwa material bangunan yang banyak dipakai pada RTB sangat efektif dalam menyerap radiasi surya dan meradiasi energi balik ke atmosfer dekat permukaan menyebabkan percepatan peningkatan suhu udara di atasnya. Hal ini terjadi akibat secara bersama-sama, baik albedo, konduktivitas panas dan kapasitas panas pada RTB mendukung pemanasan udara di atasnya pada skala kajian lokal, regional dan global.

Hasil penelitian terbaru mengenai dinamika luasan lahan terbangun (RTB) di kawasan JABOTABEK disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas lahan terbangun RTB (%) perdekade wilayah JABOTABEK

Tahun Jakarta Bogor Tangerang Bekasi

1961 19 4 30 24

1971 27 5 33 26

1981 35 6 35 28

1991 50 14 38 35

2001 69 28 43 38

2004 73 32 47 42

Sumber: Agrissantika et al. (2007)

Berdasarkan Tabel 4 kawasan potensial mengalami UHI terbesar terjadi di Jakarta, diikuti Tangerang, Bekasi dan terendah di Bogor bila dikaitkan dengan luasan RTB masing-masing kota.


(34)

2.5. Keterkaitan Kepadatan Kendaraan dengan UHI

Kepadatan kendaraan secara langsung mengemisikan panas lewat proses pembakaran pada saat kendaraan melaju ataupun macet, bahkan pada saat macet dapat lebih besar mengemisikan panas dibandingkan pada saat melaju. Secara tidak langsung kepadatan kendaraan menyumbang fenomena UHI lewat emisi gas rumah kaca khususnya NOx. Kemampuan NOx dalam menangkap panas sebesar

300 kali lipat diabndingkan gas CO2, karenanya pada skala lokal dan regional

sektor transportasi menjadi emiter terbesar bagi peningkatan UHI. Bila ditinjau dari skala ruang kajian, maka dampak langsung kepadatan kendaraan terhadap UHI terjadi pada skala lokal hingga regional, sedangkan dampak tidak langsung kepadatan kendaraan kontribusinya terhadap pemanasan global dunia menyumbang 24% secara total dari sektor energi atau terbesar kedua setalah akitivitas industri. Bahkan di beberapa kota negera berkembang seperti Jakarta, Surabaya, Bangkok, Manila sektor transportasi memberikan kontribusi paling utama dari sektor energi terhadap pemanasan global.

Pada kajian yang dilakukan oleh Purnomohadi (1995); Adiningsih (1997), didapatkan bahwa pengemisi gas rumah kaca terbesar disumbangkan oleh sektor transportasi perkotaan, khususnya di Jakarta. Sehingga aktivitas transportasi padat disertai kemacetan secara langsung mengakumulasikan sejumlah panas dan secara tidak langsung mengemisikan gas rumah kaca ke udara, berdampak terhadap terakumulasinya panas, sehingga fenomena UHI terjadi di Jakarta.

Pendapat yang sama pada kota lebih kecil dari Jakarta yaitu kota Depok, didapatkan hasil bahwa fenomena UHI telah terjadi di kawasan Depok. Diduga faktor penyebab utama fenomena UHI tersebut adalah telah terjadi peningkatan emisi gas rumah kaca penyebab peningkatan panas perkotaan dengan kontribusi terbesar dari sektor transportasi darat (Yani dan Effendy, 2003).

Hasil dokumentasi terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber termasuk data dari Dinas Lalu-Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) tahun 2005 jumlah unit kendaraan serta kepadatan (unit/km2) disajikan pada Tabel 5.


(35)

Tabel 5. Kepadatan kendaraan (unit/km2) per-dekade wilayah JABOTABEK

Lokasi 1961 1971 1981 1991 2001 2004

Jakarta

Kendaraan (unit) 37.855 42.855 47.855 83.445 176.442 234.668

Luas (km2) 592 617 657 661 661 661

Kepadatan

(unit/km2) 64 69 73 126 267 335

Bogor

Kendaraan (unit) 7.078 8.078 9.078 25.008 44.807 58.249

Luas (km2) 3.020 3.020 3.021 3.379 3.463 3.463

Kepadatan

(unit/km2) 2 3 3 7 13 17

Tangerang

Kendaraan (unit) 43.069 103.069 163.069 224.069 289.866 385.522

Luas (km2) 1.325 1.325 1.325 1.399 1.414 1.414

Kepadatan

(unit/km2) 33 78 123 160 205 273

Bekasi

Kendaraan (unit) 9.294 11.294 13.194 32.324 68.331 90.880

Luas (km2) 1.600 1.599 1.284 1.484 1.484 1.484

Kepadatan

(unit/km2) 6 7 10 22 46 61

Sumber: Yani dan Effendy, (2003) dan

DLLAJ Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi, 2005

Berdasar Tabel 5, dapat dilihat bahwa wilayah Jakarta yang paling potensial dalam peningkatan UHI bila dikaitkan dengan tingkat kepadatan kendaraan. Hasil penelitian 3 tahun terakhir, didapatkan data peningkatan kendaraan rata-rata sebesar 11% pertahun dengan dominasi kendaraan roda dua (Ernawi, 2007).

2.6. Dampak UHI terhadap THI dan Neraca Energi

Dampak UHI secara lokal di wilayah beriklim dingin dan beriklim panas, dikemukan oleh Oke (1997), Givoni (1998) dan Voogt (2002). Secara rinci disajikan pada Tabel 6.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa dampak UHI terhadap kenyamanan, penggunaan energi, polusi udara, penggunaan air dan aktivitas biologis bernilai negatif di wilayah beriklim panas, sedangkan wilayah beriklim dingin UHI berdampak positif bagi kenyamanan, penggunaan energi dan aktivitas biologis


(36)

saat musim dingin dan gugur. Dampak positif dirasakan karena suhu udara di musim dingin dan gugur menjadi tidak sedingin jika tanpa UHI.

Tabel 6. Dampak UHI berdasarkan tipe iklim wilayah

Dampak Wilayah iklim dingin Wilayah iklim panas Kenyamanan

manusia

Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas

Negatif sepanjang tahun

Penggunaan energi

Positif di musim dingin dan gugur; negatif si musim semi dan panas

Negatif sepanjang tahun

Polusi udara Negatif Negatif Penggunaan air Negatif Negatif Aktivitas biologis Positif Negatif

Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI. Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975), pada wilayah tropis. Mulyana (2003) mengaplikasikan rumusan tersebut untuk kajian aspek kenyamanan terhadap perkembangan perkotaan Bandung.

Penggunaan Rumus Nieuwolt di Colombo, Sri Lanka, secara empiris mengaitkan hubungan THI dan kenyamanan populasi. Pada THI antara 21-24 oC terdapat 100% populasi menyatakan nyaman, THI antara 25-27oC hanya 50% populasi merasa nyaman, serta pada THI > 27oC sebanyak 100% populasi merasa tidak nyaman (Emmanuel, 2005).

Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 7.


(37)

Tabel 7. Selang kenyamanan beberapa negara Negara Selang kenyamanan

THI (oC)

Pustaka

Indonesia 20-26 Mom, 1947

Malaysia 21-26 Webb, 1952

India 21-26 Malhotra, 1955

USA bagian utara 20-22 American Society of heating AC Engineers, 1955

USA bagain selatan 21-25 American Society of heating AC Engineers, 1955

Daratan Eropa 20-26 McFarlane, 1958

England 14-19 Bedford, 1954

Berdasar Tabel 7 terlihat bahwa wilayah kajian tidak hanya wilayah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan India, juga negara subtropis (USA bagian Utara, USA bagian selatan, daratan Eropa dan England). Dari Tabel 7 terlihat untuk wilayah tropis kisaran kenyamanan berada pada rentang nilai THI 20 hingga 26

o

C, nilai ini konsisten pada kedua negara tropis, kecuali Indonesia. Sedangkan untuk wilayah subtropis didapatkan variasi yang signifikan. Untuk USA utara pada kisaran nyaman pada rentang THI begitu sempit 20-22oC. Berbeda dengan USA selatan antara 21-25oC. Sementara di daratan Eropa hampir sama dengan Indonesia batas nyaman pada THI 20-26oC, kecuali England batas nyaman pada nilai THI < 20 yakni 14-19oC. Keragaman ini terjadi terkait dengan latar belakang lokasi pemukiman responden populasi. Misalnya Inggris wilayah lintang tinggi dengan nilai THI selalu rendah (< 20oC), sehingga tatkala nilai THI > 20oC semua responden menyatakan sudah tidak nyaman.

Menurut Tapper (2002) Radiasi netto permukaan bumi merupakan gambaran dari kesetimbangan antara gelombang radiasi pendek yang datang (Rsin)

dikurangi yang pergi (Rsout) ditambah radiasi gelombang panjang yang datang

(Rlin) dikurangi yang pergi (Rlout).

Neraca energi penting dikaji karena dapat dijadikan sebagai penciri kondisi iklim lokal/regional suatu lokasi, yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan udara, fluks pemanasan tanah dan fluks pemanasan laten (untuk evaporasi) (Sellers et al, 1997; Katlthoff et al, 1999).


(38)

Ciri kota dibandingkan desa akan sangat berbeda dalam hal konversi radiasi netto untuk ketiga hal baik sebagai pemanas udara, pemanas permukaan maupun sebagai penguap air. Khomarudin (2005) mengkaji Kota Surabaya menemukan ciri neraca energi kota pada besarnya komponen radiasi netto dipakai untuk memanaskan permukaan dan udara di atasnya. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab makin meluasnya fenomena UHI di perkotaan.

Tiga konsep yang dikembangkan untuk mengkaji penggunaan neraca energi perkotaan: (1) Konsep Albedo (α) yaitu, rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi yang datang pada permukaan. Permukaan yang terang dan kering dicirikan oleh nilai albedo yang tinggi. (2) Konsep Rasio Bowen (β) (Ohmura, 1982; Perez et al, 1999) yaitu, rasio antara fluks untuk memanaskan udara dengan fluks penguapan. Permukaan kering dicirikan nilai β yang tinggi. (3) Konsep Fraksi Alfa (Fα) dikembangkan oleh Jarvis (1981) yaitu, rasio antara fluks penguapan dengan radiasi neto. Nilai Fα indikator besar-kecilnya jumlah energi Rn yang dipakai untuk penguapan.

2.7. Penginderaan Jauh

Pemanfaatan citra penginderaan jauh satelit paling banyak digunakan di Indonesia adalah Landsat (51%), disusul citra SPOT (19%), Foto udara (13%), Radarsat (9%), JERS (8%), GMS (0.4%), dan jenis citra lain (0.6%), dengan pengguna dari pemerintah, lembaga perguruan tinggi/peneliti dan pihak swasta (Hanggono, et al. 2000). Penggunaan Landsat yang relatif tinggi karena beberapa keunggulannya (EROS, 1995), seperti cakupan datanya yang luas (185 x 185 km) dapat dipakai untuk kajian regional, memberikan informasi permukaan setiap 16 hari sehingga terjaga kekontinuan datanya, dengan resolusi (30 x 30 m), cukup baik bagi kajian karakteristik permukaan dengan data lebih rapat secara spasial, serta dengan multi spektral, objek yang sama diambil dengan multi kanal menghasilkan keluaran beberapa parameter permukaan untuk sekali pengambilan data. Sehingga hubungan dan penyusunan persamaan secara kuantitatif dapat dilakukan antara RTH dengan suhu udara.

Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh


(39)

dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah sensor thermal Infrared.

Permukaan bumi dengan suhu sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9.7 μm, merupakan kisaran radiasi

infrared. Itulah sebabnya maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada spektrum antara 8–14 μm (Sutanto, 1999).

Hasil riset dalam negeri telah banyak mengungkapkan keunggulan penggunaan data satelit penginderaan jauh dalam hal cakupan spasial yang luas, historis data terjaga serta pengamatan yang tidak terlalu banyak, Risdiyanto (2001) telah memonitor data cuaca di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan data satelit NOAA, Khomarudin (2005) menduga evapotranspirasi skala regional menggunakan data satelit penginderaan jauh dipadukan antara data NOAA dan Landsat TM untuk wilayah Surabaya.

Kajian spesifik menggunakan penginderaan jauh dan teknik model GIS (Geographic Information System) untuk menganalisa UHI skala lokal dilakukan oleh Vukovich (1983), Balling dan Brazel (1998), Weng (2001), Streutker (2002) serta Xu dan Chen (2004). Penggunaan penginderaan jauh pada wilayah perkotaan untuk mengevaluasi besaran UHI dilakukan oleh Johnson et al. (1994), Nichol (1996), dan Weng (2003). Klasifikasi tutupan lahan serta kaitannya dengan UHI dikaji oleh Kim (1992), Lo dan Quattrochi (2003), Hawkins et al. (2004) dan Weng dan Yang (2004). Semua penelitian mengungkapkan potensi penggunaan penginderaan jauh untuk menganalisis fenomena UHI mendapatkan hasil yang baik dan akurat, meskipun tetap harus didukung oleh data observasi lapang di stasiun klimat sebagai data referensis. Bahkan Yang (2000) menggunakan penginderaan jauh dengan alasan membutuhkan data spasial yang rapat dan akurat bagi kajian simulasi keseimbangan neraca energi permukaan desa-kota di Nebraska timur. Sementara data dari stasiun yang ada dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk mengkalibrasi hasil pendugaan data dari ekstraksi Landsat.

Voogt dan Oke (2003) mencatat penggunaan satelit saat ini dengan peningkatan pada resolusi spektral dan spasial, sehingga detil permukaan perkotaan penyebab UHI dapat dikaji, serta peningkatan pada resolusi kanal


(40)

termal digunakan untuk mengkaji iklim wilayah perkotaan. Bahkan BenDor dan Saaroni (1997) di Tel Aviv, Israel dengan menggunakan spasial kanal termal dengan resolusi sangat tinggi dapat mengkaji mikrostruktur permukaan kota, sehingga dapat dilakukan kajian iklim mikro perkotaan.

Penginderaan jauh digunakan juga untuk mengkaji hubungan vegetasi dengan suhu permukaan oleh Gallo et al. (1993), Friedl dan Davis (1994), Gallo dan Owen (1999) serta Gallo et al. (2002). Kajian tentang hubungan vegetasi dengan suhu permukaan menggunakan NDVI dilakukan oleh Nichol (1994), Gallo dan Tarpley (1996), Owen et al. (1998), Quattrochi dan Ridd (1998). Kaitan NDVI dengan suhu permukaan didapatkan hasil yang nyata, sehingga dengan menggunakan data NDVI dapat digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan. Hasil ini tentunya sangat membantu bagi aplikasi di lapang yang membutuhkan waktu singkat dengan hanya mengekstraksi citra akan didapat data NDVI, dari data NDVI digunakan untuk menduga besarnya suhu permukaan.

Kajian model pendugaan berdasarkan persamaan empiris untuk menghitung komponen neraca energi, dilakukan oleh Xinmei et al. (1993), Dibella et al. (2000) dan Pielke Sr, et al. (2002). Hasil kajian neraca energi cukup akurat bila luasan wilayah kajian mencakup kawasan yang luas (regional) dengan tutupan lahan homogen misalnya bila mengkaji skala perkebunan yang luas, areal padang pengembalaan dan kawasan hutan dengan tanaman sejenis, kawasan kota besar. Sedangkan penggunaan lahan dengan tanaman campuran, skala kajian yang lokal, dan areal pedesaan didapatkan hasil hitungan komponen neraca energi yang kurang akurat. Hal ini terjadi karena pengideraan jauh didasarkan pada satuan pengamatan terkecil berupa pixel, apabila dalam satu pixel dijumpai berbagai tipe tutupan, maka akan dianggap mewakili tutupan lahan tertentu yang secara rata-rata lebih menonjol jumlahnya dari tipe lainnya, misalkan pixel tersebut dianggap sebagai RTB padahal di dalamnya ada RTH, ada badan air, namun secara rata-rata lebih dominan RTB.

Pada kurun waktu 11 tahun sejak 1990 hingga tahun 2000 Voogt dan Oke (2003) membuat intisari tentang kajian iklim perkotaan yang menggunakan penginderaan jauh, khususnya mengekstrak data Landsat, disajikan pada Tabel 8.


(41)

Tabel 8. Studi aplikasi citra Landsat yang dikaitkan dengan iklim kota Peneliti (tahun) Aplikasi

Carnahan and Larson (1990)

Perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural

Kim (1992) Model neraca energi urban

Aniello, et al. (1995) Distribusi spasial suhu permukaan urban dan suhu permukaan vegetasi

Iino dan Hoyano (1996) Model neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS

Lougeay, et al. (1996) Pola suhu berkaitan dengan tipe lahan

Nichol (1996) Bentuk spasial suhu permukaan kaitannya dengan morfologi urban

Gallo dan Owen (1998) Identifikasi multispektral ruang perkotaan untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar

Nichol (1998) Pendugaan suhu permukaan dinding dengan remote sensing menyusun suhu urban secara tiga dimensi Parlow (1999) Model neraca energi urban menggunakan metode

spektral Wald and Baleynaud

(1999)

Evaluasi kualitas udara menggunakan metode remote sensing

Sumber: Voogt dan Oke (2003)

Berdasarkan Tabel 8 ada tiga tema utama dalam kajian penggunaan data Landsat. Pertama, penggunaan penginderaan jauh termal untuk mengkaji karakterstik UHI dikaitkan dengan karakteristik permukaan. Dimulai dari kajian Carnahan dan Larson tahun 1990 dengan menggunakan Landsat TM mengkaji perbedaan pemanasan dan pendinginan urban dan rural dengan memanfaatkan kanal 6 sebagai kanal untuk mendeteksi suhu permukaan. Lalu Aniello (1995) mengkaji distribusi spasial suhu permukaan urban dan wilayah bervegetasi. Dilanjutkan Nichol (1996) mengenai suhu permukaan dan kaitannya dengan morfologi urban dilanjutkan pada tahun 1998 dengan kajian tiga dimensi suhu urban. Lougeay (1996) menggunakan Landsat dalam kajian kaitan pola suhu dan tipe lahan. Kajian pada tema pertama hanya mungkin dilakukan karena fasilitas penginderaan jauh yang dilengkapi dengan multikanal, sehingga satu data dapat diekstrak menjadi banyak output, di mana setiap output dapat dikaji korelasi atau kaitan ouput yang satu dengan output yang lain.

Tema kedua, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kajian neraca energi perkotaan. Dimulai oleh Kim (1992) menyusun model neraca enerji khusus untuk


(42)

wilayah urban, sehingga dari kajian ini muncul ide untuk mengekstrak nilai suhu udara dan nilai evapotranspirasi dari penggunaan neraca energi. Dilanjutkan oleh Iino dan Hoyano (1996) memodelkan neraca energi perkotaan menggunakan pengideraan jauh dan GIS, serta Parlow (1999) mengkaji pola neraca energi urban dengan pendekatan spektral. Pada tema kedua aplikasi pengideraan jauh dikombinasikan dengan GIS serta data observasi lapang sebagai data referensis masih dominan digunakan. Output yang diperoleh dari tema kedua adalah dapat dilakukan penghitungan evapotranspirasi dari suatu tipe kawasan lahan sehingga kajian potensi kekeringan dapat dilakukan.

Tema ketiga, aplikasi penginderaan jauh termal dalam kaitanya dengan kajian UHI baik di atmosfer maupun UHI permukaan. Dimulai oleh Gallo dan Owen (1998) mengidentifikasi ruang perkotaan dengan multispektral untuk menduga penyimpangan nilai UHI dari observasi suhu pada skala besar. Bahkan kajian lebih jauh yakni menilai kualitas udara menggunakan citra Landsat TM dilakukan oleh Wald dan Baleynaud (1999). Dari tema ketiga diperoleh hasil bahwa penggunaan data penginderaan jauh berpotensi besar sebagai pelengkap monitoring kualitas udara perkotaan di samping masih tetap diperlukan stasiun pemantau di setiap sudut perkotaan, sebagai data pengkalibrasi hasil ekstraksi data penginderaan jauh.

Hasil kajian terbaru menggunakan penginderaan jauh khususnya citra Landsat pada wilayah Los Angelas, USA tahun 1988 dan 2003 oleh Hardegree (2006). Hasil kajian disajikan secara spasial merupakan hasil olahan ekstraksi Landsat pada dua periode data. Landsat 1988 sebagai data awal dan Landsat 2003 sebagai data akhir, sehingga perubahan karakteristik permukaan kota Los Angeles dan kaitannya dengan UHI dapat dipelajari secara mendalam. Seperti makin luasnya RTB dengan perubahan karakteristik permukaan yang makin kering, akan meningkatkan potensi penyerapan panas, penggunaan panas terasa dengan proporsi yang makin besar dibandingkan untuk penguapan (panas laten), semuanya menjadikan fenomena UHI makin terasa di perkotaan.


(43)

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian meliputi dua tahapan: Tahap pertama kajian pustaka dimulai periode Juni 2005 hingga Desember 2005. Tahap kedua pengumpulan, pengolahan, analisis, interpretasi, kalibrasi dan verifikasi data serta penulisan laporan dimulai Januari 2006 hingga Juli 2007 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA-IPB dan di Laboratorium Perencanaan Lanskap-Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Wilayah kajian melingkupi JABOTABEK (tiga provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) seperti terlihat pada Gambar 5.

Wilayah JABOTABEK seperti yang tersaji pada Gambar 5 meliputi empat kota besar Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi dan tiga Kabupaten yakni, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Jadi secara administrasi meliputi tujuh wilayah otonomi (termasuk Depok). Wilayah JABOTABEK meliputi 6 752 km2, merupakan metropolitan terbesar di Indonesia. Membentang dari pantai utara hingga pegunungan di selatan. Terbagi menjadi tiga bentuk lahan, pesisir pantai, dataran dan kawasan perbukitan. Kawasan pesisir pantai dengan topografi landai berada pada ketinggian 0-25 m dpl di sebelah utara meliputi pantai Utara Jakarta hingga Jakarta Selatan, kabupaten Bekasi di sebelah Timur dan kabupaten Tangerang di sebelah barat. Kawasan dataran dengan topografi bergelombang dengan ketinggian antara 25-200 m dpl meliputi, bagian tengah meliputi kota Tangerang, Depok dan Bekasi. Serta kawasan perbukitan dengan topografi berbukit/bergunung dengan ketinggian lebih dari 200 m dpl sebelah selatan meliputi kota dan kabupaten Bogor.

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, maka wilayah kota ditetapkan harus memiliki 30% RTH, dengan proporsi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Ruang terbuka hijau publik


(44)

merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

Jakarta sebagai pusat pemerintahan, pemukiman, perdagangan, jasa, industri, dan wisata kota, Bogor wilayah kota bagi pemukiman, jasa dan perdagangan, sehingga mempertahankan RTH pada batas minimal sesuai ketentuan UU No. 26 tahun 2007. Kota Tangerang diarahkan bagi kawasan industri, perdagangan, jasa dan pemukiman serta Bekasi bagi pemukiman, jasa dan perdagangan. Sementara wilayah kabupaten baik Bogor, Tangerang maupun Bekasi bagi kawasan industri, pertanian tanaman pangan, dan wisata alam secara tidak langsung akan memiliki luasan RTH lebih dari 30%. Sehingga ciri kota dan kabupaten didasarkan pada luasan RTH akan semakin nyata.

Gambar 5. Wilayah studi


(45)

Seperangkat PC sebagai instrumen untuk menganalisis dan mengekstrak data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara dan THI.

Bahan – bahan yang digunakan antara lain:

• Citra Landsat path/raw : 122/64-65 (JABOTABEK) akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004 digunakan sebagai bahan untuk diektraks menjadi data NDVI, RTH, suhu permukaan, neraca energi, suhu udara, serta THI. Sebagai penelitian lanjutan pemilihan Landsat mengikuti penelitian terdahulu yakni 1972, 1983, 1991, dan 1997. Untuk Landsat 1972 dan 1983 belum mempunyai kanal termal sehingga ekstraksi suhu permukaan, suhu udara dan THI tidak dapat dilakukan. Sebagai tambahan data adalah Landsat 2004, merupakan tahun terakhir dari data Landsat yang tersedia (saat penelitian berlangsung).

• Tahun 1991 menjadi tahun awal bagi perkembangan pesat wilayah JABOTABEK sehingga diduga menggambarkan kondisi awal terjadinya peningkatan suhu udara akibat RTH mulai berkurang. Tahun 1997 merupakan kondisi terakhir perkembangan pesat JABOTABEK akibat krisis ekonomi yang melanda. Sedangkan tahun 2004 adalah data terbaru pada periode pengolahan data penelitian yang dapat diekstrak, diharapkan memberikan gambaran tentang kondisi terakhir bagi peningkatan suhu udara dan juga laju pengurangan RTH pasca kebangkitan Indonesia dari krisis ekonomi. Bulan Juli dipilih, karena pada bulan tersebut kondisi perawanan di JABOTABEK pada titik terendah sehingga ekstraksi Landsat bagi kajian suhu udara dan klasifikasi lahan menjadi lebih mudah secara visual dengan akurasi yang lebih baik.

• Peta spasial administrasi JABOTABEK skala 1: 25.000 digunakan sebagai bahan cropping atau pemotongan wilayah kajian.

• Data jumlah penduduk dan kendaraan di JABOTABEK periode 1970-2004 digunakan sebagai input data analisis regresi berganda.

• Data suhu udara periode 1970-2004 wilayah JABOTABEK sebagai data referensi dan kalibrasi hasil estimasi suhu udara luaran ekstrak Landsat, serta data suhu udara 2005 sebagai bahan verifikasi model. Stasiun yang tersedia di wilayah JABOTABEK meliputi 12 stasiun iklim:


(46)

(m dpl)

1. Tanjung Priok 2.4 06°06’S-106°53’T 2. Jakarta Obs. 8.0 06°09’S-106°51’T 3. Cengkareng 14.0 06°11’S-106°06’T 4. Halim Perdana Kusuma 26.0 06°16’S-106°49’T 5. Ciledug 26.2 02°54’ S-104o42’T 6. Curug, Tangerang 46.0 06°14’S-106°39’T 7. Cibinong 125.0 06°24’S-106°49’T 8. Atang Sanjaya 161.4 06°33’S-106°46’T 9. Cimanggu 240.0 06°34’S-106°47’T 10. Darmaga 250.0 06°30’S-106°45’T 11. Kampus Baranangsiang 250.0 06°35’S-106°48’T 12. Muara 260.0 06°40’S-106°47’T

3.3. Metodologi Penelitian

Berdasarkan tiga tujuan yang ingin dicapai, maka disusun langkah-langkah penelitian, dengan uraian sebagai berikut:

3.3.1. Menentukan Bentuk Hubungan RTH dan Suhu Udara

Untuk mempermudah memahami langkah-langkah penelitian maka pada setiap tahapan disajikan bentuk diagram alir pada Gambar 6 berikut:


(47)

Citra Landsat

Peta administrasi

Persamaan NDVI dan RTH

Ta Observasi Koreksi citra

Cropping wilayah JABOTABEK

Kanal 3,4 Kanal 6

Kanal 1,2,3

NDVI

Ta Dugaan

Ta terkalibrasi RTH

Neraca Energi Ts

ya RTH bangkitan

ya

Kalibrasi tidak

Penentuan bentuk hubungan tidak

tidak

Validasi

Aplikasi Persamaan Terpilih

ya

tidak

Gambar 6. Diagram alir penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara Pada Gambar 6 dapat diuraikan sebagai berikut:


(48)

• Data Citra Landsat 5 akuisisi 1 Juli 1991, Landsat 5 akuisisi 20 Juli 1997 serta Landsat 7 akuisisi 23 Juli 2004, dilakukan pemulihan citra (image restoration) meliputi koreksi radiometrik dari pengaruh atmosfer dengan cara membentangkan nilai digital number (DN) dikenal juga sebagai grey value pada nilai terendah pada angka nol dan nilai tertinggi pada angka 255, dengan cara melihat nilai histogram setiap kanal (band). Dari histogram dapat diketahui nilai terendah pixel yang tidak merespon spektral atau paling lemah dalam merespon spektral harusnya bernilai nol, apabila tidak maka nilai penambahan (offset) tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer. Koreksi dilakukan dengan mengurangkan semua nilai dengan besarnya offset tersebut. Lalu dilakukan koreksi geometrik agar distorsi saat pengambilan citra dapat dikoreksi dan sesuai dengan sistem ordinat di bumi. Ada dua cara koreksi geometrik, pertama dikenal sebagai Regristrasi yakni mengoreksi citra dengan citra yang telah dikoreksi dan kedua dikenal dengan Rektifikasi yaitu mengoreksi citra dengan peta sebagai acuan, pada penelitian dipilih cara kedua. Ditentukan sekitar 10 titik GCP (Ground Control Point) yang tersebar merata mewakili setiap sudut citra baik atas, bawah, kanan dan kiri serta tengah. Kemudian bila nilai RMS (Root Mean Square) di bawah 0.5 proses koreksi selesai. Koreksi terakhir dilakukan penajaman citra (image enhanchement) meliputi penajaman kontras, pewarnaan semu, dan penapisan agar mudah melakukan interpretasi secara visual.

• Pemotongan citra dengan menggunakan peta digital administrasi JABOTABEK 1991, 1997 dan 2004 sesuai dengan data citra yang akan dipotong.

• Pada kanal 3 dan 4 dilakukan ekstraksi nilai NDVI dengan menerapkan Rumus:

NDVI=(NIR - R) / (NIR + R).

• Berdasarkan Persamaan yang didapatkan Zain (2002):

Persen RTH = 382.4 NDVI + 20.793, data RTH (%) dibangkitkan sebagai peubah prediktor.

• Pada kanal 1, 2 dan 3 diekstrak neraca energi sehingga didapatkan nilai-nilai Rs in, Rs out dan Rl in, Rl out sehingga didapat Rn. Berdasarkan Rn


(49)

didapatkan G, H dan LE, secara rinci diterangkan pada akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.

• Pada kanal 6 diekstrak nilai suhu permukaan, secara rinci diterangkan pada akhir bab metodologi berikut rumus-rumus yang digunakan.

• Berdasarkan suhu permukaan dan fluks energi H diekstrak nilai suhu udara (Ta). Agar sesuai dengan data observasi dari 12 stasiun iklim dilakukan kalibrasi terhadap suhu udara hasil ekstraksi, dengan cara analisis regresi. • Data RTH bangkitan dan Ta yang telah terkalibrasi diekspor menjadi data

tabel untuk diolah lebih lanjut, yakni penentuan bentuk hubungan.

• Penentuan bentuk hubungan suhu udara dan RTH dengan mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah linier, kuadratik atau kubik. Sebagai dasar pemilihan model persamaan adalah melihat pola penyebaran data yang paling mendekati garis model persamaan, nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S). Koefisien determinasi terkoreksi merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka. Koefisien determinasi terkoreksi menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model. Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). Setelah persamaan terpilih dilakukan uji regresi baik konstanta (slope) maupun koefisien persamaan. Dilanjutkan validasi persaman untuk mengetahui output nilai dugaan dengan data observasi. Setelah validasi persamaan yang terpilih dapat diaplikasikan atau direkomendasikan.

Adapun tahapan dan rumus-rumus yang digunakan untuk mendapatkan data suhu udara adalah sebagai berikut:


(50)

(1) Pendugaan Suhu Permukaan (Surface Temperature)

Estimasi suhu permukaan dari citra Landsat menggunakan kanal enam pada kisaran panjang gelombang 10.40 hingga 12.50 m, dikenal sebagai kanal

thermal infrared . Meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

(a) Konversi Digital Number (DN) ke nilai Spectral Radiance

Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari nilai DN, dirumuskan USGS(2003):

(

)

λ

λ λ

λ max min min

min max

min

max QCAL QCAL L

QCAl QCAL

L L

L × − +

⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − − = ..…...(1) Keterangan: λ

L = Spectral radiance pada kanal ke-λ (Wm-2sr-1μm-1) QCAL = Nilai digital number kanal ke-λ

Lminλ = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-λ

Lmaxλ = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-λi

QCALmin = Minimum pixel value 1 (LPGS Products) 0 (NLAPS Products)

QCALmax =

Maksimum pixel value (255)

(Semua nilai Lmin, Lmax, QCALmin dan QCALmax untuk setiap kanal baik untuk Landsat TM maupun ETM+ terdapat pada Landsat User Handbook, USGS 2003)

(b) Konversi nilai spectral radiance (L ) ke Brightness Temperature (TB)

Persamaan menggunakan dua konstanta kalibrasi, K1= 666.09 Wm-2sr -1μ

m-1 dan K2 = 1282.71K untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K1=

607,76 Wm-2sr-1μm-1 dan K2 = 1260.56K, dirumuskan Planck:

2 1 ln 1 B K T K Lλ = ⎛ ⎞ + ⎜ ⎟ ⎝ ⎠

……….…...… ... (2)

(c) Konversi Brightness Temperature (TB) ke suhu permukaan (Ts)

Persamaan yang digunakan merupakan persamaan yang ditentukan pertama kali oleh Artis dan Canahan (1982) serta Weng (2001):


(1)

Judul Disertasi

: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau

dengan Urban Heat Island Wilayah

JABOTABEK

Nama

:

Sobri

Effendy

NIM

:

G.226010011

Program

Studi

:

Agroklimatologi

Disetujui,

Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc.

K e t u a

Dr. Ir. Alinda F.M. Zain, M.Si. Dr. Ir. Imam Santosa, M.S.

A n g g o t a

A n g g o t a

Diketahui,

Program Studi Agroklimatologi,

Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc. Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Ketua

Dekan


(2)

ABSTRACT

SOBRI EFFENDY. TheRole of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature and Urban Heat Island. Exemplified By Jabotabek Area. Under supervision of AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, and IMAM SANTOSA.

This study attempts to develop a functional relationship between air temperature and urban green space using Landsat data. It also aims to estimate the contribution of various forcings, namely, urban green space, population density, urban area, and automobile densities to urban heat island.

Subsequently, the impact of urban heat island on temperature humidity index will be assessed quantitatively, followed by surface energy budget analysis of Jabotabek area. Air temperature series are derived from Landsat data, including the NDVI which is used as the bases for generating urban green space of the study area. Principal Component Analysis is utilized in order to establish the relative importance of forcing variables on urban heat island; in order to simplify the structure of factor loadings a varimax rotation is carried out.

It is found that air temperature and urban green space for the study area is best represented by a nonlinear equation when a maximum coefficient determination (R2adj) and a minimum standard deviation (S) are to be fulfilled. A 50% reduction in urban green space would bring air temperature to raise between 0.4 to 1.8oC. It is interesting to note that this study reveals the same percentage increase in urban green space would only lower the temperature by 0.2 to 0.5oC. Automobile density is found to be the most important cause of urban heat island in Jakarta, a larger built-up area is the mayor factor of urban heat island in Bogor, on the other hand, a decreased urban green space is the most force factor in Tangerang and Bekasi. The analysis surface energy budget indicated that an increase of 1.0oC in urban heat island would result in a reduction of latent heat fluxes ranging from 32.7 to 33.2 Wm-2 but an increase of sensible heat fluxes to air varying from 15.7 to 15.8 Wm-2.

Key words: urban green space, urban heat island, temperature humidity index, jabotabek


(3)

ABSTRAK

SOBRI EFFENDY. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island

Wilayah JABOTABEK. Dibimbing oleh AHMAD BEY, ALINDA F.M. ZAIN, dan IMAM SANTOSA.

Penelitian bertujuan menentukan bentuk hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan suhu udara dengan menggunakan data Landsat; mengkaji kontribusi RTH, kepadatan populasi, luas Ruang Terbangun (RTB) dan kepadatan kendaraan terhadap fenomena Urban Heat Island (UHI) dan mengkaji dampak UHI terhadap perubahan indeks kenyamanan, dan neraca energi permukaan wilayah JABOTABEK, khususnya terhadap fluks LE (latent heat flux) dan H (sensible heat flux).

Tahapan penelitian meliputi: (1) ekstraksi nilai NDVI dari band 3 dan 4, suhu udara dari band 6 citra Landsat. Dari nilai NDVI dibangkitkan nilai persen RTH, selanjutnya menentukan hubungan RTH dan suhu udara (2) Menerapkan regresi berganda, analisis komponen utama (PCA) dengan rotasi varimax untuk mengungkap kontribusi terbesar peubah prediktor terhadap UHI; (3) Mengkaji dampak UHI seperti Temperature Humidity Index (THI) dan neraca energi permukaan perkotaaan.

Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu udara menghasilkan persamaan terpilih nonlinier untuk seluruh lokasi baik Jakarta, kota dan kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda, di mana setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara hingga 0.4 hingga 1.8oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0.2 hingga 0.5oC. Hal ini membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH. Peubah yang memberikan kontribusi terhadap UHI didominasi oleh pengurangan RTH untuk Tangerang dan Bekasi, padatnya kendaraan untuk Jakarta dan perluasan ruang terbangun (RTB) pemicu UHI di Bogor. Peningkatan UHI 1.0oC menyebabkan THI bertambah 4.8 hingga 5.0oC dan menyebabkan penurunan fluks LE sebesar 32.7 hingga 33.2 Wm-2 sebaliknya meningkatkan fluks H sebesar 15.7 hingga 15.8 Wm-2.

Kata kunci: ruang terbuka hijau, urban heat island , temperature humidity index, jabotabek


(4)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan pada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema penelitian mulai Juli 2005-Juli 2007 mengenai keterkaitan ruang terbuka hijau dengan urban heat island

wilayah JABOTABEK, dengan menggunakan data penginderaan jauh. Terimakasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ahmad Bey selaku pembimbing utama, kepada Dr. Alinda F.M. Zain atas perkenannya melanjutkan penelitian S3 yang bertema Distribution, stucture and function of urban green space in Southeast Asian Mage-cities with special reference to Jakarta Metropolitan Region (JABOTABEK), serta atas segala bantuan lainnya, juga penghargaan kepada Dr. Imam Santosa atas dorongan moril dan saran-sarannya.

Penghargaan yang setinggi-tingginya pada pembimbing luar komisi pada saat ujian kualifikasi: Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. dosen Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian-.IPB. Pada saat ujian tertutup Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan-IPB dan pimpinan sidang tertutup wakil dekan FMIPA Dr. Hasim, DEA, atas saran dan masukkannya. Serta pada saat ujian sidang terbuka Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr (Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-LPPM IPB) dan Dr. Erna Sri Adiningsih (Kepala Pusat Analisis dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN-Jakarta) beserta pimpinan sidang Dekan FMIPA-IPB, Dr. Hasim, DEA.

Juga penghargaan sebesar-besarnya kepada BPPS-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan RI yang memberikan beasiswa selama enam semester. Kepada semua pihak yang membantu baik rekan sesama staf dan penunjang di departemen maupun di lain fakultas di IPB serta di luar IPB. Serta kepada pihak keluarga yang mendukung dengan doa dan pengertiannya, terutama saat penulisan disertasi. Akhirnya, semoga apa yang dihasilkan mendapat ridho dari Yang Maha Kuasa. Amin.

Bogor, November 2007


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Baturaja, Sumatera-Selatan pada tanggal 24 November 1964 oleh Ibu yang bernama Haunai dan Ayah (Almarhum) Muhd. Toyib. Menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN 2, pendidikan menengah pertama pada SMPN 1 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 1 semuanya di kota Kecamatan Belitang, Kabupaten OKU, Baturaja, Sumatera Selatan.

Pendidikan tinggi strata satu diterima lewat jalur USMI/PMDK pada tahun 1994 di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi-FMIPA-IPB. Diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai staf pengajar pada jurusan yang sama hingga sekarang. Pada tahun 1994 hingga 1997 menyelesaikan pendidikan tinggi strata dua di IPB pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Pada tahun 2001 diterima di program studi Agroklimatologi-Sekolah Pascasarjana IPB lewat program BPPS 2001. Mengambil topik disertasi dengan judul: Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc sebagai ketua dan Dr. Ir. Alinda FM. Zain, M.Si. serta Dr. Ir. Imam santosa, M.S. sebagai anggota pembimbing.

Selama proses penyelesaian disertasi penulis beserta pembimbing menulis jurnal terkait, dengan judul: Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Mengendalikan Suhu Udara dan Urban Heat Island di Jabotabek, pada jurnal terakreditasi Agromet Indonesia Volume XX No.1 Juni 2006. Serta membawakan makalah pada seminar: Menuju Jabodetabek Berkelanjutan pada tanggal 6 September 2007 di IPB-ICC (International Convention Center) Bogor dengan judul Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara, Urban Heat Island dan Nereca Energi Permukaan Wilayah Jabotabek.


(6)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Erna Sri Adiningsih, M.Si. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr