Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor

KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO
MELALUI KEMITRAAN PT BANK BUKOPIN, TBK
PADA SWAMITRA KOPMISO BOGOR

FERYANTO HUTAPEA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kinerja Penyaluran
Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra
Kopmiso Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam bentuk Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Feryanto Hutapea
H34104120

ABSTRAK
FERYANTO HUTAPEA. Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui
Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor. Dibimbing
oleh DWI RACHMINA.
Swamitra Bogor memiliki perkembangan kinerja yang baik selama tiga
tahun terakhir. Hal ini dilihat dari pertumbuhan realisasi kredit sebesar 16,76
persen per tahun serta perolehan Sisa Hasil Usaha (SHU) sebesar 304,19 persen
per tahun. Kajian ini dilakukan untuk melihat bagaimana upaya Swamitra Bogor
memiliki perkembangan tersebut, melalui analisis kinerja Swamitradan analisis
penilaian nasabah. Penelitian ini dilakukan di Swamitra Kopmiso Bogor yang
memiliki kinerja baik, dilihat dari perkembangan SHU yang baik di wilayah
Bogor tahun 2012. Penilaian kinerja Swamitra dilakukan dengan analisis

deskriptif terhadap kinerja Swamitra Kopmiso Bogor selama tahun 2010-2012.
Sedangkan penilaian persepsi nasabah dilakukan dengan Skala Likert.
Berdasarkan hasil penelitian, kinerja Swamitra Kopmiso Bogor berada pada
kondisi yang baik. Hal ini dilihat pemanfaatan Modal Tidak Tetap (MTT) dan
perolehan SHU yang terus bertumbuh, serta rasio kredit bermasalah yang berhasil
ditekan di bawah lima persen. Sedangkan penilaian nasabah menyatakan bahwa
aktivitas penyaluran kredit usaha mikro di Swamitra Kopmiso Bogor baik, dengan
skor penilaian sebesar 423 pada selang penilaian 180-540.
Kata Kunci : linkage program, kinerja kredit, persepsi nasabah
ABSTRACT
FERYANTO HUTAPEA. Performance of Micro Credit through PT Bank
Bukopin, Tbk’s Partnership on Swamitra Kopmiso Bogor. Supervised by DWI
RACHMINA.
Swamitra Bogor has a good development of performance during the last
three years. It is seen from the growth of credit realization about 16.76 % per year
and also the growth of net profit about 304.19 % per year. This research was
conducted to see how the efforts of Swamitra Bogor to have the development,
through the analysis of Swamitra’s performance and analysis of customer’s
perception. This research was conducted at Swamitra Kopmiso Bogor that has
good performance, viewed from the growth of net profit in the area of Bogor in

2012. The analysis of Swamitra’s performance had done with the descriptive
analysis on Swamitra Kopmiso Bogor’s performance during 2010-2012. The
analysis of customer’s perception had done with Likert Scale. Based on the
research results, Swamitra Kopmiso Bogor’s performance is in good condition,
this is seen in the growth of use unfixed capital and net profit, also Bad Debt Ratio
(BDR) that succesfully pressed under five percent. While analysis of customer’s
perception states that the channeling of distribution credit at Swamitra Kopmiso
Bogor is good, with a score of 423 about interval 180-540.
Key words : linkage program , performance of credits, customer’s perception

KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO
MELALUI KEMITRAAN PT BANK BUKOPIN, TBK
PADA SWAMITRA KOPMISO BOGOR

FERYANTO HUTAPEA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui Kemitraan
PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor
Nama
: Feryanto Hutapea
NIM
: H34104120

Disetujui oleh

Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 sampai Mei 2013
ini ialah Linkage Program, dengan judul Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro
melalui Kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk pada Swamitra Kopmiso Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku
dosen pembimbing, Dr. Ir. Anna Fariyanti, MSi selaku dosen evaluator, Dr. Ir.
Netti Tinaprilla, MM selaku pembimbing akademik dan dosen penguji utama, dan
Dr. Ir. Wahyu Budi Priatna, MS selaku dosen komisi pendidikan yang telah
banyak memberi saran dalam penulisan skripsi. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Muhhib selaku pimpinan Divisi UMKM Bank
Bukopin Kantor Cabang Bogor, Bapak Rusli dan Bapak Hardiman selaku staf

Divisi UMKM Bank Bukopin Kantor Cabang Bogor, Bapak Muji selaku
perwakilan dari Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan
(KOPMISO), Ibu Wihartati, Ibu Nani Suhartini dan seluruh pengurus Swamitra
Kopmiso Bogor atas waktu, kesempatan, informasi dan dukungan yang diberikan
untuk mengumpulkan data pada penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah dan Ibu (Almarhum) tercinta, adik-adikku Samerson
Immanuel Hutapea dan Vivi Maria Hutapea, serta Winda Santa Maria Silaban
yang kukasihi untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2013

Feryanto Hutapea

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii


DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

5


Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

7

TINJAUAN PUSTAKA

7

Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

7

Manfaat Pelaksanaan Linkage Program

9


Kinerja Penyaluran Kredit Pada Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

10
13
13

Konsep Kemitraan Perbankan

13

Konsep Kredit

15

Analisis Kinerja Perbankan


17

Kerangka Pemikiran Operasional

17

METODE PENELITIAN

18

Lokasi dan Waktu Penelitian

18

Jenis dan Sumber Data

19

Metode Penentuan Sampel


19

Metode Pengolahan dan Analisis Data

20

Analisis Kinerja Penyaluran Kredit Usaha Mikro melalui
Kemitraan Swamitra Bank Bukopin

20

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

22

Gambaran Umum Bank Bukopin

22

Sejarah dan Perkembangan PT Bank Bukopin, Tbk

22

Visi dan Misi PT Bank Bukopin, Tbk

24

Gambaran Umum Swamitra

24

Gambaran Umum Swamitra Kopmiso Bogor

25

vii

KINERJA PENYALURAN KREDIT USAHA MIKRO DARI SEGI
SWAMITRA KOPMISO BOGOR

27

Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro Pada
Swamitra Kopmiso Bogor

27

Kinerja Swamitra Kopmiso Bogor Dalam Penyaluran Kredit
Usaha Mikro

29

PERSEPSI NASABAH SWAMITRA KOPMISO BOGOR TERHADAP
AKTIVITAS PENYALURAN

36

KREDIT USAHA MIKRO

36

Karateristik Responden

36

Penilaian Nasabah Mengenai Kinerja Swamitra Kopmiso
Bogor

41

SIMPULAN DAN SARAN

49

Simpulan

49

Saran

49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

54

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
dan Usaha Besar (UB) Tahun 2009-2010
Daftar Bank Umum Peserta Linkage Program Tahun 2009
Kinerja Swamitra di Indonesia Tahun 2010-2011
Kinerja Swamitra Wilayah Bogor Tahun 2010-2012
Perkembangan Sisa Hasil Usaha pada Outlet Swamitra Bogor
Tahun 2010-2012
Skor Penilaian Kinerja Swamitra Menurut Nasabah
Anggaran dan Realisasi Kredit Swamitra Kopmiso Bogor di
Tahun 2010-2012
Anggaran dan Realisasi Dana Pihak Ketiga Swamitra Kopmiso
Bogor di Tahun 2010-2012
Anggaran dan Realisasi Modal Tidak Tetap Swamitra Kopmiso
Bogor di Tahun 2010-2012
Anggaran dan Realisasi Sisa Hasil Usaha Swamitra Kopmiso
Bogor di Tahun 2010-2012
Anggaran dan Realisasi Kredit Bermasalah Swamitra Kopmiso
Bogor di Tahun 2010-2012
Jenis Kelamin Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Tahun 2012
Usia Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor Tahun
2012
Tingkat Pendidikan Terakhir Responden Nasabah Swamitra
Kopmiso Bogor Tahun 2012
Bidang Usaha Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Tahun 2012
Pendapatan Bersih Responden Nasabah Swamitra Kopmiso
Bogor Tahun 2012
Jumlah Realisasi Pinjaman Responden Nasabah Swamitra
Kopmiso Bogor Tahun 2012
Frekuensi Peminjaman Responden Nasabah Swamitra Kopmiso
Bogor Tahun 2012
Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Persyaratan Awal Kredit Usaha Mikro di Tahun 2012
Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Prosedur Pinjaman di Tahun 2012
Pendapat Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Waktu Merealisasikan Kredit di Tahun 2012
Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Tingkat Bunga di Tahun 2012
Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Pelayanan Pengurus di Tahun 2012
Tanggapan Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Terhadap Jarak Swamitra di Tahun 2012

1
3
4
5
6
22
30
32
33
34
35
37
37
38
39
40
40
41
42
43
45
46
47
48

ix

25 Total Penilaian Responden Nasabah Swamitra Kopmiso Bogor
Mengenai Kinerja Swamitra dalam Penyaluran Kredit Usaha
Mikro

48

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Model Pola Pembiayaan Executing
Model Pola Pembiayaan Chanelling
Pola Pembiayaan Joint Financing
Kerangka Pemikiran Operasional
Pola Kerja Sama Swamitra
Logo Swamitra
Struktur Organisasi Swamitra Kopmiso Bogor

14
15
15
18
24
25
26

DAFTAR LAMPIRAN
1

Mekanisme Penyaluran Kredit Usaha Mikro di Swamitra
Kopmiso Bogor

54

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor usaha yang
memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Hal ini
dilihat dari banyaknya kontribusi positif yang diberikan UMKM, antara lain
sebagai sumber mata pencaharian, sumber bahan pangan dan gizi yang diperlukan
masyarakat serta sumber devisa negara melalui kegiatan ekspor produk UMKM.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (2011) mendukung
pernyataan tersebut melalui survei perkembangan sektor usaha di Indonesia tahun
2009-2010, dimana menyatakan bahwa UMKM merupakan sektor usaha
mayoritas dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini dilihat dari besarnya
persentase kontribusi UMKM sebesar 99 persen terhadap total unit usaha di
Indonesia (lihat Tabel 1). Jumlah unit usaha tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
sumber lapangan pekerjaan.
Tabel 1. Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha
Besar (UB) Tahun 2009-2010
Indikator
Unit Usaha (unit)
a. Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
· Usaha Mikro
· Usaha Kecil
· Usaha Menengah
b. Usaha Besar
Tenaga Kerja (orang)
a. Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah
· Usaha Mikro
· Usaha Kecil
· Usaha Menengah
b. Usaha Besar

2009
52.769.280

2010
Pertumbuhan (%)
53.828.569
2,01

52.764.603

53.823.732

2,01

53.207.500
573.601
42.631
4.838
98.886.003 102.241.486

1,98
4,93
3,64
3,43
3,39

96.211.332

99.401.775

3,32

90.012.694
3.521.073
2.677.565
2.674.671

93.014.759
3.627.164
2.759.852
2.839.711

3,34
3,01
3,07
6,17

52.176.795
546.675
41.133
4.677

Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (2011),
diolah

Tabel 1 juga menunjukan bahwa UMKM menjadi sektor usaha yang
mendominasi dalam penyerapan tenaga kerja, dimana UMKM memberikan
kontribusi sebesar 97 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Hal ini
disebabkan mudahnya usaha mikro menjangkau dan menjadi bagian dari
masyarakat, terutama pada masyarakat pedesaan. Namun demikian, kondisi
UMKM masih termarginalkan dengan berbagai macam permasalahan. Salah
satunya adalah lemahnya permodalan, dimana menjadi hambatan utama bagi
banyak pelaku UMKM dalam menjalankan aktivitas usaha serta
pengembangannya (Tunas Bangsa, 2011). Lemahnya permodalan yang dihadapi
UMKM sering terjadi di salah satu unitnya, yakni sektor pertanian. Hal ini dilihat

2

pada kondisi sektor pertanian yang sangat memperihatinkan, didominasi oleh
kaum petani miskin atau petani gurem yang terbatas pada modal usaha.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah rumah tangga petani gurem
mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen per tahun, dimana dari 10,8 juta rumah
tangga di tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003.
Salah satu solusi yang dianggap tepat dalam mengatasi permasalahan
tersebut adalah memberikan pinjaman modal atau kredit pada pelaku UMKM.
Keberadaan kredit ditujukan untuk membiayai kebutuhan pelaku UMKM dalam
penyediaan input produksi. Sebagai contoh, keberadaan kredit pada sektor
pertanian dimanfaatkan untuk membiayai penyediaan input produksi seperti
benih, pupuk, obat-obatan atau alat-alat dan mesin pertanian. Kredit juga tidak
hanya dipandang sebagai penyedia input produksi, melainkan sebagai instrumen
yang memungkinkan petani untuk memperoleh akses dan perluasan kontrol
terhadap sumber daya (Direktorat Pembiayaan 2004, diacu dalam Ashari dan
Friyatno 2006). Penyaluran kredit umumnya dilaksanakan oleh perbankan
nasional, seperti Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Adapun
bentuk pemberian kredit yang dapat dilayani perbankan nasional berupa kredit
modal kerja, kredit investasi dan juga kredit konsumsi.
Namun demikian, perbankan nasional masih mengalami berbagai macam
permasalahan dalam merealisasikan kredit. Terdapat empat permasalahan umum
yang dihadapi perbankan nasional dalam merealisasikan kredit (Ibrahim 2009,
diacu dalam Machmudy 2011). Pertama, jaringan perbankan nasional kurang
menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah (sub-urban coverage). Hal ini
menyebabkan ketimpangan (disequilibrium) dari perbankan dalam menyalurkan
kredit pada UMKM yang banyak berlokasi di daerah pelosok. Kedua, terdapat
ketidakseimbangan antara jumlah tenaga analis kredit dengan pihak yang
mengajukan kredit. Seorang analis kredit suatu bank dapat menangani puluhan
atau bahkan ratusan permohonan kredit. Ketiga, sistem persetujuan kredit
perbankan nasional masih menggunakan pola-pola tradisional. Kondisi ini
menyebabkan interval waktu relatif lama untuk pengajuan hingga hingga
merealisasikan kredit. Keempat, tidak adanya metode pembinaan yang akurat
terhadap sektor UMKM. Berdasarkan permasalahan tersebut menyebabkan sisi
pelayanan bank mendapat sorotan minor dari masyarakat dan fungsi intermediasi
perbankan nasional menjadi semakin tidak efektif.
Bank Indonesia selaku bank sentral telah mengupayakan solusi atas
permasalahan tersebut, dimana mencanangkan strategi Linkage Program di tahun
2002. Linkage Program merupakan bentuk kemitraan yang saling menguntungkan
antara Bank Umum dengan Lembaga Keuangan Mikro dalam menyalurkan kredit
kepada UMKM (Bank Indonesia, 2009a). Tujuannya adalah mendorong
intermediasi perbankan nasional agar lebih efisien melaksanakan penyaluran
kredit. Namun demikian, perbankan nasional baru memberikan perhatian penuh
melaksanakan Linkage Program di tahun 2009. Hal ini dilihat dari banyaknya
perbankan nasional yang ikut serta dalam aktivitas penandatanganan Surat
Pemberitahuan Persetujuan Pemberian Kredit (SP3K) yang difasilitasi oleh Bank
Indonesia pada April 2009, dimana diikuti oleh 19 Bank Umum dan lebih dari 500
BPR/Koperasi Simpan Pinjam (Kospin), untuk menjalin kemitraan dalam
menyalurkan kredit pada sektor UMKM (lihat Tabel 2).

3

Tabel 2. Daftar Bank Umum Peserta Linkage Program Tahun 2009
Plafon Kredit
No
Nama Bank Umum
Mitra Program
(Rp)
PT Bank Negara Indonesia
BPR dan
1
512.000.000.000,00
(Persero), Tbk
Koperasi
BPR dan
22.550.000.000,00
2
PT BPD Jawa Barat Dan Banten
Koperasi
3
PT Bank Muamalat Indonesia
BPRS dan BMT
66.586.747.138,00
BPRS, Koperasi,
4
PT BPD Sumatera Utara
3.285.000.000,00
dan BMT
PT Bank Rakyat Indonesia
5
Koperasi
600.000.000,00
(Persero), Tbk
6
PT Bank Central Asia, Tbk
BPR
9.970.000.000,00
7
PT Bank Syariah Mandiri
BPR dan BPRS
27.000.000.000,00
BPR dan
8
PT BPD Jawa Timur
15.500.000.000,00
Koperasi
BPR dan
9
PT BPD Sumatera Barat
15.950.000.000,00
Koperasi
PT Bank Internasional
BPR dan
10
235.762.146.000,00
Indonesia, Tbk
Koperasi
11 PT Bank Mega, Tbk
BPR
15.000.000.000,00
12 PT BPD Riau
BPR dan BPRS
5.500.000.000,00
13 PT Bank Bukopin
Koperasi
54.110.203.694,00
BPR dan
2.500.000.000,00
14 PT Bank DKI
Koperasi
15 PT BPD Sulawesi Selatan
Koperasi
3.128.000.000,00
16 PT Bank Ganesha
BPR
10.000.000.000,00
BPR dan
17 PT Bank CIMB Niaga, Tbk
509.777.234.275,00
Koperasi
PT Bank Himpunan Saudara
18
Koperasi
1.500.000.000,00
1906, Tbk
19 PT Bank Danamon, Tbk
BPR
84.600.000.000,00
Total Plafon Kredit Linkage Program
1.595.319.331.107,00
Sumber : Bank Indonesia (2009b)

Pelaksanaan Linkage Program umumnya didominasi melalui kemitraan
antara perbankan dengan BPR. Namun demikian, salah satu Peserta Linkage
Program yakni PT Bank Bukopin, Tbk (Bank Bukopin), memiliki fokus perhatian
sangat besar dalam menjalankan kemitraan dengan koperasi. Berdasarkan Tabel 2
dijelaskan bahwa Bank Bukopin telah menyediakan plafon kredit sebesar
54.110.203.694 rupiah. Jumlah plafon kredit tersebut termaksud kategori jumlah
plafon yang sangat besar bila dibandingkan dengan tiga bank umum lainnya yang
juga berfokus bermitra dengan koperasi, seperti PT BPD Sulawesi Selatan, PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk dan PT Bank Himpunan Saudara 1906,
Tbk. Keikutsertaan Bank Bukopin dalam Linkage Program didasari komitmen
Bank Bukopin melayani segmen Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi
yang mengalami kelangkaan modal.

4

Bentuk kemitraan yang dilaksanakan oleh Bank Bukopin diwujudkan pada
Bisnis Mikro atau disebut dengan Swamitra. Swamitra merupakan bentuk kerja
sama Bank Bukopin dengan koperasi simpan pinjam dalam menyalurkan kredit
usaha mikro, namun tetap berpedoman pada Undang-undang No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Simpan Pinjam, yang dalam pelaksanaan kegiatan usahanya melakukan
penghimpunan dan penyaluran dana melalui kegiatan simpan pinjam dari dan
untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon anggota koperasi yang
bersangkutan, serta koperasi lain dan atau anggotannya (Bank Bukopin, 2011).
Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Bukopin periode 2011, Swamitra telah
memberikan layanan kredit usaha mikro kepada nasabahnya sebesar 1.050 miliar
rupiah di tahun 2011. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 11,23
persen dari jumlah kredit yang disalurkan pada tahun sebelumnya (lihat Tabel 3).
Besarnya jumlah kredit yang tersalurkan kepada pengusaha UMKM menunjukan
bahwa, Swamitra memiliki kinerja yang baik guna mendukung program Bank
Bukopin melayani sektor UMKM.
Tabel 3. Kinerja Swamitra di Indonesia Tahun 2010-2011
Satuan

Aset
Pinjaman Yang
Diberikan
Dana Pihak Ketiga
Pinjaman Yang Diterima
Dari Bukopin
Sisa Hasil Usaha Tahun
Berjalan
Bad Debt Ratio (BDR)
Jumlah Swamitra Online
Jumlah Debitur
Jumlah Nasabah

Miliar Rp

1.180

Miliar Rp

944

1.050

11,23

Miliar Rp

446

416

-6,73

Miliar Rp

590

736

24,75

Miliar Rp

34,53

20,35

-41,07

10,29
530
106.572
369.986

9,19
583
106.822
416.315

-10,69
10,00
0,23
12,52

%
Outlet
Orang
Orang

2010

Pertumbuhan
(%)
1.321
11,95

Uraian

2011

Sumber : Bank Bukopin (2011)

Kesuksesan program kemitraan Swamitra tidak terlepas dari peran beberapa
outlet Swamitra yang dikembangkan oleh Bank Bukopin, salah satunya di wilayah
kerja Bogor. Wilayah kerja Bogor dikenal sebagai daerah pusat wisata yang
dilingkupi oleh berbagai macam UMKM dengan jumlah unit usaha yang cukup
banyak. Wilayah kerja Bogor melalui Bank Bukopin Cabang Bogor telah sukses
menjalin kerja sama dengan koperasi simpan pinjam, hal ini dilihat diwujudkan
tujuh outlet Swamitra di akhir tahun 2012. Berdasarkan Tabel 4, kinerja Swamitra
Bogor selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan dengan persentase laju
pertumbuhan sebesar 16,76 persen per tahun. Adanya peningkatan jumlah
pinjaman yang disalurkan melalui Swamitra, disebabkan meningkatnya calon
debitur yang memiliki kelayakan menerima pinjaman dilihat dari segi usaha dan
jaminan yang diberikan.
Hal ini juga diikuti dengan meningkatnya pertumbuhan Sisa Hasil Usaha
(SHU) selama tiga tahun terakhir, dimana Swamitra mampu mencapai laju

5

pertumbuhan sebesar 304,19 persen per tahun. Adanya peningkatan perolehan
SHU disebabkan perubahan positif manajemen Swamitra Bogor pada aktivitas
penyaluran kredit usaha mikro. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Swamitra dapat diandalkan sebagai media terbaik bagi Bank Bukopin
dalam menyalurkan kredit. Swamitra diharapkan dapat menggerakan sektor rill,
mendukung program pemerintah untuk pemberdayaan UMKM yang berdampak
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pengangguran.
Tabel 4. Kinerja Swamitra Wilayah Bogor Tahun 2010-2012
Uraian
Aset
Pinjaman Yang
Diberikan
Dana Pihak Ketiga
Pinjaman yang
diterima dari Bank
Bukopin (MTT)
Sisa Hasil Usaha
Tahun Berjalan
Bad Debt Ratio
(BDR) (%)

2010
(ribu Rp)

2011
(ribu Rp)

Laju
Pertumbuhan
(% per tahun)
10.245.662
15,54

2012
(ribu Rp)

6.642.560

7.295.163

5.848.050

6.509.771

9.308.716

16,76

5.215.430

5.037.937

4.161.784

-7,25

1.187.440

2.648.176

6.032.647

71,91

(59.530)

(123.186)

506.832

304,19

5,48

4,31

3,81

-11,41

Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor (2012)

Perumusan Masalah
Swamitra Bogor merupakan salah satu media Bank Bukopin yang ditujukan
untuk memperluas layanan pembiayaan pada sektor UMKM, terutama bagi
pengusaha mikro Bogor. Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa Swamitra Bogor
berhasil meraih kinerja baik di tahun 2012. Hal ini dilihat dari beberapa kategori
kinerja yang berhasil tumbuh seperti nilai aset, jumlah pinjaman yang
direalisasikan, perolehan SHU dan upaya menekan Bad Debt Ratio (BDR).
Namun bila melihat kondisi Swamitra Bogor di tahun 2010-2011, dapat diketahui
bahwa Swamitra Bogor memperoleh SHU dengan hasil yang kurang baik. Hal ini
disebabkan menurunnya kinerja dari beberapa outlet Swamitra Bogor pada
aktivitas layanan pembiayaan sektor UMKM. Berdasarkan penilaian Bank
Bukopin terhadap Swamitra, SHU merupakan acuan terbesar dalam menilai
kinerja outlet Swamitra dengan proporsi penilaian sebesar 50 persen. Hal ini
bertolak belakang terhadap penilaian Bank Bukopin, serta menunjukan bahwa
Swamitra Bogor mengalami perkembangan kinerja yang kurang baik di tahun
2010-2011. Dengan demikian, diperlukan sebuah peninjauan kembali mengenai
kinerja masing-masing outlet Swamitra yang diwujudkan dalam sebuah penelitian.
Penelitian dapat dilakukan dengan menganalisa kinerja Swamitra dilihat dari
dua sisi penilaian, yaitu penilaian kinerja Swamitra dan penilaian nasabah
peminjam dana (debitur) terhadap aktivitas penyaluran kredit. Namun demikian,
penelitian hanya dilaksanakan pada salah satu outlet Swamitra Bogor, yang

6

dinyakini memiliki kinerja baik dari segi perolehan SHU. Penentuan tersebut
dinyakini dapat mewakili kondisi Swamitra Bogor. Berdasarkan Tabel 5
dijelaskan mengenai perolehan SHU dari outlet Swamitra Bogor selama tiga tahun
terakhir. Masing-masing outlet Swamitra Bogor memiliki perolehan SHU yang
cenderung meningkat. Namun hanya Swamitra Kopmiso Bogor menjadi salah
satu outlet Swamitra memiliki laju pertumbuhan SHU sangat besar di wilayah
kerja Bogor. Swamitra tersebut berhasil menumbuhkan perolehan SHU sebesar
183 persen per tahun.
Tabel 5. Perkembangan Sisa Hasil Usaha pada Outlet Swamitra Bogor Tahun
2010-2012
Sisa Hasil Usaha Swamitra
Laju Pertumbuhan
Nama Swamitra
2010
2011
2012
(% per tahun)
(ribu Rp)
(ribu Rp)
(ribu Rp)
Cileungsi
169.010
78.027
301.799
21,00
Kopwil Merdeka
(280.554)
(46.118)
29,00
(131.540)
Bogor
Giri Bhakti
53.030
114.723
199.787
56,00
Kopmiso
(131.540)
4.745
74.162
183,00
KKB
(44.420)
0,00
Karya Sejahtera
(92.330)
(136.098)
(67.780)
-10,00
Al Barokah
73.840
95.971
89.402
7,00
Total
(59.530)
(123.186)
506.832
304,19
Sumber : Bank Bukopin Cabang Bogor, 2012

Swamitra Kopmiso Bogor merupakan salah satu outlet yang berhasil
dikembangkan oleh Bank Bukopin Cabang Bogor, melalui kerjasama dengan
Koperasi Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso Megapolitan (KOPMISO) di tahun
2009. Swamitra Kopmiso Bogor memiliki fokus melayani pengusaha mikro di
wilayah Pasar Bogor. Mewujudkan pelayanannya pada sektor usaha mikro,
Swamitra Kopmiso Bogor menerapkan aktivitas penyaluran kredit usaha mikro.
Keberhasilan Swamita Kopmiso Bogor dalam meningkatkan perolehan SHU,
disebabkan adanya upaya manajemen pengurus Swamitra Kopmiso Bogor berupa
menekan biaya operasional, menurunkan rasio kredit bermasalah serta
peningkatan jumlah kredit yang disalurkan pada nasabah. Namun demikian,
Swamitra Kopmiso Bogor juga masih mengalami kendala yang memberatkan
kinerja Swamitra, seperti masih ditemukan kondisi kredit macet yang disebabkan
keterlambatan debitur membayar kewajiban pinjaman. Berdasarkan hasil tersebut,
Swamitra Kopmiso Bogor dipilih sebagai Swamitra percontohan dalam penelitian
ini.
Berdasarkan uraian tersebut dimunculkan beberapa pertanyaan yang akan
dibahas dalam penelitian ini, antara lain:
1)
Bagaimana mekanisme penyaluran kredit usaha mikro melalui Swamitra
Kopmiso Bogor?
2)
Bagaimana kinerja Swamitra Kopmiso Bogor, dilihat dari sisi kinerja
Swamitra dan sisi penilaian debitur terhadap aktivitas penyaluran kredit
usaha mikro?

7

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dalam penelitian ini akan
dicapai tujuan sebagai berikut :
1)
Mendeskripsikan mekanisme penyaluran kredit usaha mikro melalui
Swamitra Kopmiso Bogor.
2)
Menganalisa kinerja Swamitra Kopmiso Bogor dalam aktivitas penyaluran
kredit usaha mikro, dilihat dari sisi kinerja Swamitra dan sisi penilaian
debitur terhadap aktivitas penyaluran kredit usaha mikro.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak
pihak, antara lain :
1)
Bagi perusahaan, sebagai informasi dan masukan mengenai keragaan
kinerja penyaluran kredit usaha mikro dan pendapat nasabah mengenai
aktivitas penyaluran kredit usaha mikro melalui studi kasus Swamitra
Kopmiso Bogor.
2)
Bagi penulis, mendapatkan kesempatan untuk mengaplikasikan keilmuan
yang dimiliki mengenai studi Agribisnis pada penelitian ini. Penulis juga
mendapat pengalaman baru mengenai aktivitas pembiayaan kredit di
lembaga keuanga mikro, melalui pengamatan langsung di Swamitra
Kopmiso Bogor.
3)
Bagi pihak akademisi dan masyarakat dapat digunakan sebagai informasi
dan masukan mengenai keragaan program kemitraan perbankan nasional
dalam menyalurkan kredit usaha mikro dengan melihat pengalaman
kemitraan PT Bank Bukopin, Tbk dengan Koperasi Simpan Pinjam Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sering digambarkan sebagai
sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam pembangunan perekonomian
Indonesia, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan mengurangi
kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Pemerintah sering kali menetapkan UMKM
sebagai prioritas dalam agenda pembangunan nasional. Hal ini dibuktikan ketika
sektor UMKM dipromosikan untuk membangun sektor hulu perekonomian
nasional pasca krisis ekonomi yang berkepanjangan tahun 1998. UMKM menjadi
sektor usaha ekonomi paling kuat bertahan sementara sektor usaha dengan skala
yang lebih besar mengalami keruntuhan.
Menurut Partomo (2004), terdapat lima alasan mengapa sektor UMKM
dapat bertahan dan cenderung meningkat pada masa krisis ekonomi, antara lain :
Pertama, sebagian besar sektor UMKM memproduksi produk dengan elastitas
pendapatan yang rendah, sehingga pendapatan rata-rata masyarakat tidak banyak

8

berpengaruh pada permintaan produk hasil sektor UMKM. Kedua, akses
permodalan pada perbankan sangat rendah. Hal ini disebabkan sektor UMKM
mempergunakan modal sendiri. Implikasinya pada saat perbankan mengalami
keterpurukan di masa krisis ekonomi, maka tidak banyak mempengaruhi sektor
UMKM. Ketiga, sektor UMKM memiliki hambatan keluar-masuk yang sangat
rendah. Hal ini memungkinkan sektor UMKM mudah untuk berpindah dari satu
usaha ke usaha yang lainnya. Keempat, sektor UMKM memiliki banyak pilihan
dalam pengadaan bahan baku sehingga menyebabkan penurunan biaya produksi
dan peningkatan efisiensi dalam memproduksi barang dan jasa. Kelima, adanya
peningkatan pengusaha UMKM yang berasal dari pekerja-pekerja yang
menggangur dari aktivitas sektor usaha besar sehingga memperkaya kuantitas dan
kualitas pada UMKM.
Seiring dengan pertambahan waktu, UMKM mengalami perkembangan
dalam jumlah unit. Jumlah UMKM di akhir tahun 2011 berkisar 55,2 juta unit
usaha, terjadi peningkatan dari dua tahun sebelumya berkisar 52,8 juta unit usaha
(PKL, 2012). Seiring dengan peningkatan jumlah unit UMKM maka turut
meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Rata-rata UMKM mampu menyerap tiga
hingga lima tenaga kerja. Adanya penambahan sekitar tiga juta unit UMKM pada
periode tahun 2009 hingga tahun 2011, menyebabkan terserapnya tenaga kerja
sebanyak 15 juta orang. Hal ini menunjukan bahwa UMKM memiliki potensi
menjadi sektor penggerak perekonomian nasional.
Namun demikian, perkembangan UMKM yang meningkat dari segi
kuantitas tersebut belum diimbangi dengan meratanya kualitas UMKM (Tejasari,
2008). Hal ini disebabkan oleh masalah internal dan eksternal yang dihadapi oleh
UMKM. Adapun permasalahan internal pada UMKM meliputi : Pertama,
terbatasnya akses pengusaha UMKM terhadap permodalan. Hal ini disebabkan
pengusaha UMKM tidak memenuhi syarat administrasi yang dibutuhkan bank
dalam merealisasikan kredit. Kedua, rendahnya kualitas sumber daya manusia
UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi dan pemasaran. Hal
ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pengusaha
UMKM, sehingga mempengaruhi kualitas UMKM. Sedangkan permasalahan
eksternal pada UMKM meliputi : Pertama, biaya transaksi yang besar akibat iklim
usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan pada bahan baku. Hal ini
berdampak buruk pada aktivitas UMKM. Kedua, perolehan legalitas formal
UMKM yang dipersulit. Pelaku UMKM diharuskan mengeluarkan biaya tinggi
untuk mengurus perizinan. Ketiga, kurangnya pemahaman dari pengusaha
UMKM mengenai kelembagaan yang dapat menaungi UMKM dalam posisi
tawar-menawar, sebagai contoh koperasi. Berdasarkan permasalahanpermasalahan tersebut menyebabkan produktivitas sektor UMKM sangat rendah.
Menanggapi permasalahan tersebut maka diperlukan pengembangan
strategi, salah satu strategi pengembangan dari perbankan seperti perbankan
melaksanakan fungsi intermediasinya dengan mendistribusikan kredit usaha baik
secara langsung kepada pengusaha UMKM maupun dengan pola kemitraan
terhadap kelembagaan yang dapat menaungi sektor UMKM. Selain itu juga
diberikan pembekalan dan penyuluhan dari pemerintah untuk mengatasi masalah
sumber daya manusia UMKM yang rendah. Hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan kembali nilai tambah pada UMKM dalam persaingan bisnis.

9

Manfaat Pelaksanaan Linkage Program
Linkage Program merupakan program kemitraan saling menguntungkan
antara bank umum dan BPR/koperasi simpan pinjam. Program ini dimaksudkan
untuk menciptakan pasar yang harmonis bagi perbankan dalam menyalurkan
kredit. Linkage program juga memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung atas
keterbatasan dua belah pihak dalam menjangkau pasar UMKM. Secara nasional
terdapat 19 bank umum dan lebih dari 500 BPR/Koperasi yang telah berpartisipasi
dalam Linkage Program di tahun 2009, enam diantara bank umum merupakan
bank pembangunan daerah. Jumlah plafon kredit yang telah disiapkan mencapai
1,5 triliun rupiah selama periode Juli 2008 hingga Februari 2009 (lihat Tabel 2).
Salah satu bentuk kemitraan yang sukses diimplementasikan perbankan
nasional adalah Swamitra. Swamitra merupakan terobosan dari PT Bank Bukopin,
Tbk (Bank Bukopin) dalam aktivitas pembiayaan sektor ekonomi nasional,
dimana diwujudkan pada jalinan kerja sama antara Bank Bukopin dengan
koperasi simpan pinjam maupun lembaga keuangan mikro, dengan prinsip
kebersamaan dan saling menguntungkan. Swamitra diharapkan dapat menjadi
sebuah solusi dalam mengatasi permasalahan lemahnya permodalan, kepercayaan
dan manajemen yang selama ini dihadapi sektor UMKM. Selain itu, dilaksanakan
program kemitraan Swamitra dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan serta
memperkuat struktur permodalan koperasi yang selama ini menghadapi banyak
kendala.
Mochtar (2008) menjelaskan bahwa terdapat empat konsep yang diterapkan
Bank Bukopin pada kemitraan Swamitra antara lain : Pertama, pemberdayaan
ekonomi rakyat melalui dukungan teknis, pemasaran dan pembiayaan melalui
kemitraan antara Bank Bukopin dengan Koperasi. Hal tersebut dimaksudkan guna
menumbuhkan kepercayaan anggota Koperasi untuk ikut serta dalam aktivitas
Koperasi. Kedua, menghubungkan kebutuhan produsen/pengusaha UMKM
dengan konsumen melalui penyedian informasi dan komunikasi bisnis. Hal ini
dimaksudkan untuk mengefisiensikan jalur distribusi yang panjang, sehingga
pengusaha UMKM dan konsumen dapat menikmati nilai tambah dalam aktivitas
bisnis. Ketiga, memperluas pelayanaan transaksi perbankan guna mempermudah
pengusaha UMKM melakukan aktivitas saving dan kredit untuk memperlancar
arus perdagangan. Keempat, membangun jaringan kerja dengan dukungan
teknologi untuk mempererat hubungan kemitraan Bank Bukopin dengan Koperasi.
Aktivitas kemitraan juga masih menghadapi beberapa kendala yang sering
dihadapi perbankan pada umumnya. Salah satu kendala yang menjadi hambatan
utama bagi kemitraan perbankan adalah risiko kredit bermasalah (non performing
loan). Namun hal tersebut mampu ditekan oleh Bank Bukopin, hal ini disebabkan
kemampuan manajemen Bank Bukopin dalam membina koperasi simpan pinjam,
sehingga memperkecil kemungkinan kredit yang bermasalah (Glenardi 2009,
diacu dalam Gemari 2009). Hal ini dibuktikan melalui 640 Koperasi yang berhasil
dibina oleh Bank Bukopin. Dengan demikian, disimpulkan bahwa pola kemitraan
Swamitra semata-mata bukanlah aktivitas bisnis Bank Bukopin, melainkan
membantu pemerintah meningkatkan ekonomi masyarakat.
Keberadaan kemitraan Swamitra Bank Bukopin banyak memberikan
dampak positif bagi perkembangan UMKM. Susilowati (2002) menyatakan
terdapat tiga manfaat positif yang diterima pengusaha mikro ketika ikutserta pada

10

kemitraan Swamitra Bank Bukopin. Hal ini ditinjau dari partisipasi Primkopti
Handayani dalam Swamitra. Pertama, pendapatan anggota Primkopti Handayani
yang berprofesi sebagai produsen tahu dan tempe mengalami peningkatan. Hal ini
berkaitan dengan pinjaman yang disalurkan Bank Bukopin pada Swamitra
Primkopti Handayani, sehingga menyebabkan anggota Primkopti Handayani
dapat meningkatkan volume usaha mereka melalui pengadaan input produksi yang
lebih maksimal dari kondisi sebelumnya. Kedua, anggota Primkopti Handayani
mendapat pembinaan usaha dari Swamitra. Hal ini membantu para anggota
Primkopti Handayani menjalankan usaha produksi tahu dan tempe dengan
manajemen yang baik. Ketiga, terjadinya peningkatan partisipasi anggota
Primkopti Handayani dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan pertemuanpertemuan lainya.
Mochtar (2008) juga menambahkan mengenai dampak yang diterima pelaku
UMKM mengikuti kemitraan Swamitra Bank Bukopin, antara lain peningkatan
aset dan skala usaha, peningkatan penyerapan tenaga kerja, perluasan pasar dan
peningkatan pendapatan. Hal ini ditinjau dari seluruh unit Swamitra di Kota
Pekanbaru. Dari segi aset yang dimiliki para pelaku UMKM, baik aset finansial
dan aset riil (rumah, tanah dan kendaraan) meningkat rata-rata sebesar 36,50
persen. Jumlah tersebut dikategorikan kecil, namun demikian masih dinyakini
akan terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan segi penyerapan tenaga kerja,
pelaku UMKM mengalami peningkatan rata-rata sebesar 45,89 persen. Hal ini
berkaitan dengan meningkatkan volume usaha pengusaha UMKM setelah
menerima kredit Swamitra sehingga menyebabkan perluya tambahan tenaga kerja.
Dari segi pasar, UMKM mengalami peningkatan rata-rata sebesar 57,93
persen. Hal ini disebabkan sokongan dana Swamitra berupa kredit modal yang
mempermudah pengusaha UMKM melakukan ekspansi usaha dengan membuka
usaha lain. Dari segi pendapatan juga mengalami peningkatan rata-rata sebesar
68,23 persen, hal ini berkaitan dengan meningkatkan volume usaha setelah
menerima kredit Swamitra yang berdampak pada peningkatan produktivitas dan
penjualan pengusaha sektor UMKM. Dari hasil kedua penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pelaku UMKM akan menerima peningkatan produktivitas,
peningkatan pendapatan petani dan kemudahan petani menjual produk UMKM.
Kesamaan tersebut menyebabkan adanya indikasi bahwa kemitraan merupakan
solusi yang terbaik dalam mengatasi permasalah pembiayaan sektor UMKM.

Kinerja Penyaluran Kredit Pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Kredit dikenal sebagai salah satu sumber permodalan pada aktivitas sektor
usaha riil, baik usaha skala mikro hingga usaha skala besar. Aktivitas penyaluran
kredit dianggap dapat memberikan banyak dampak positif bagi perkembangan
sektor usaha di Indonesia, dimana meningkatkan kemampuan para pengusaha agar
menjadi lebih kuat dan mandiri melalui pemanfaatan dana pinjaman. Namun
demikian, muncul pertanyaan apakah perbankan memiliki kinerja yang baik
dalam aktivitas penyaluran kredit. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
mengenai kinerja perbankan dalam menyalurkan kredit yang telah banyak
dilakukan sebelumnya oleh Aprilia (2004), Novitasari (2006) dan Fitrianingsih

11

(2008). Dari ketiga penelitian tersebut dilakukan identifikasi kinerja perbankan
dalam pelaksanaan kredit usaha.
Aprilia (2004) menjelaskan kinerja perbankan syariah terhadap
perkembangan perekonomian nasional selama periode 2002-2003 dan bagaimana
persepsi masyarakat selaku nasabah bank syariah dan bank konvensional
mengenai pembiayaan syariah. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja
perbankan syariah berada pada posisi yang baik, hal ini dapat dilihat dari posisi
aset total bank syariah mengalami peningkatan sebesar 3,813 triliun rupiah pada
akhir tahun 2003 atau sebesar 32,03 persen dari tahun sebelumnya. Selain itu
perbankan syariah berhasil menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 5,724
triliun rupiah pada akhir tahun 2003 atau meningkat sebesar 32,48 persen dari
tahun sebelumnya. Hasil kinerja tersebut menunjukan perbankan syariah juga
tidak kalah bersaing terhadap bank konvensional, dilihat dari jumlah persentase
Financing Deposit Ratio (FDR) yang diraih lebih dari 100 persen.
Sedangkan persepsi masyarakat mengenai pembiayaan syariah ditinjau atas
beberapa faktor yakni bunga bank, pengetahuan perbankan syariah, tingkat
keuntungan relatif atau bagi hasil, tingkat kompabilitas dan tingkat aksebilitas.
Pada penelitian tersebut, diambil sampel nasabah dari beberapa bank umum dan
bank syariah di wilayah Bogor. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap bunga
bank secara umum menyatakan bahwa bunga adalah haram dengan tingkat
persentase sebesar 50 persen dari total responden. Berdasarkan persepsi nasabah
terhadap pengetahuan perbankan syariah dijelaskan bahwa mayoritas responden
dengan jumlah persentase sebesar 29,1 persen menyatakan bank syariah adalah
bank yang sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan persepsi nasabah terhadap
bagi hasil menyatakan hal tersebut disetujui dalam pembiayan perbankan syariah
dengan jumlah persentase sebesar 68 persen dari total responden. Berdasarkan
persepsi nasabah terhadap tingkat kompabilitas menyatakan bahwa responden
puas dengan pelayanan bank syariah dengan jumlah persentasen sebesar 46 persen
dari total responden. Sedangkan persepsi nasabah terhadap tingkat aksebilitas
menyatakan bahwa responden tidak mengalami kendala dalam menjangkau bank
syariah, hal ini dilihat dari 76 persen dari total responden menyatakan pendapat
tersebut.
Novitasari (2006) membahas kinerja penyaluran Kredit Umum Pedesaan
(Kupedes) yang dilihat dari penilai Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan nasabah
BRI. Penelitian ini dilakukan pada salah satu unit kerjac BRI wilayah Jakarta
yakni Kantor Unit BRI Unit Kreo, hal ini dikarenakan BRI Unit Kreo menjadi
unit kerja BRI yang mampu menyalurkan Kupedes terbesar dibanding dengan unit
lainnya yakni mencapai 2,091 miliyar rupiah. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa kinerja penyaluran Kupedes baik dilihat dari target dan realisasi kredit,
persentase tunggakan kredit, jangkauan kredit dan frekuensi pinjaman. Sedangkan
penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut nasabah dilihat dari beberapa
faktor antara lain persyaratan awal, prosedur pinjaman, realisasi kredit, biaya
administrasi, tingkat bunga, lokasi bank, jaminan atau anggunan, pelayanan
petugas dan pendapatan usaha. Berdasarkan target dan realisasi kredit selama
tahun 2003-2006, BRI Unit Kreo telah berhasil merealisasikan Kupedes dengan
rata-rata pencapaian sebesar 109,72 persen dari target yang ingin dicapai. Pada
persentase tunggakan kredit, BRI Unit Kreo mampu menekannya dengan sebesar
2,18 persen selama periode 2003-2006. hal berkaitan dengan adanya perbaikan

12

manajemen BRI dalam menyeleksi calon nasabah dan membina nasabah lama
dalam aktivitas membayar kewajibannya.
Berdasarkan jangkauan kredit, BRI Unit Kreo mampu menjangkau berbagai
macam sektor yakni sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor perdagangan
dan sektor jasa komersil. Namun demikian, diketahui bahwa sektor perdagangan
menjadi sektor usaha yang paling banyak dibiayai oleh Kupedes dengan jumlah
sebesar 1,292 miliyar rupiah di akhir Maret 2006. Hasil tersebut menunjukan
bahwa BRI Unit Kreo memiliki fokus pelayanan nasabah di bidang perdagangan.
Sedangkan pada frekuensi pinjaman menunjukan bahwa mayoritas nasabah telah
mengambil Kupedes lebih dari tiga kali, dengan jumlah persentase sebesar 45
persen dari total responden. Hasil tersebut menunjukan bahwa adanya indikasi
bahwa nasabah mengerti manfaat dari Kupedes, sehingga mampu memanfaat
fasilitas kredit BRI dalam frekuensi berulang kali. Sedangkan penilaian nasabah
menyatakan bahwa persyaratan awal, prosedur pinjaman, realisasi kredit, biaya
administrasi, lokasi bank, pelayanan petugas dan pendapatan usaha merupakan
faktor yang mendukung perkembangan kinerja BRI pada aktivitas penyaluran
kredit.
Sedangkan Fitrianingsih (2008) membahas kinerja penyaluran Kupedes
yang dilihat dari segi BRI dan pendapat nasabah BRI. Penelitian ini menggunakan
studi kasus pada salah satu unit kerja BRI yakni BRI Unit Citerup, hal ini didasari
bahwa BRI Unit Citerup merupakan kantor BRI unit terbesar wilayah Bogor.
Penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut bank dilihat dari target dan
realisasi kredit, persentase tunggakan kredit, jangkauan kredit dan frekuensi
pinjaman. Sedangkan penilaian kinerja penyaluran Kupedes menurut nasabah
dilihat dari beberapa faktor antara lain persyaratan awal, prosedur pinjaman,
realisasi kredit, biaya administrasi, tingkat bunga, jaminan atau bunga dan
pelayanan petugas bank. Berdasarkan target dan realisasi, jumlah Kupedes yang
mampu direalisasikan BRI Unit Citerup berfluktuatif, namun BRI Unit Citerup
mampu mencapai target yang ditetapkan dengan rata-rata persentase pencapaian
sebesar 98,08 persen selama periode 2005-2007. Berdasarkan persentase
tunggakan kredit, BRI Unit Citerup berhasil mencapai 2,64 persen dari target yang
ingin dicapai. Hasil tersebut diperoleh atas perbaikan manajemen BRI dalam
menyeleksi calon debitur sehingga dapat menekan persentase tunggakan.
Berdasarkan jangkauan pelayanan, BRI Unit Citerup mampu menjangkau
berbagai macam sektor yakni sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor
perdagangan dan sektor jasa komersil. Namun demikian, sektor perdagangan
menjadi sektor mayoritas dalam pembiayaan Kupedes BRI Unit Citerup, dengan
jumlah kredit sebesar 5,058 miliyar atau sebesar 88,96 persen dari total Kupedes
yang disalurkan pada akhir Juni 2008. Sedangkan pada frekuensi pinjaman,
nasabah telah mengambil Kupedes lebih dari tiga kali kesempatan dengan jumlah
nasabah sebanyak 548 orang. Hal ini disebabkan nasabah mengetahui manfaat
dari Kupedes BRI Unit Citerup, sehingga mampu memanfaat fasilitas kredit
berulang kali. Atas keempat faktor yang dipergunakan dalam menilai kinerja
Kupedes menurut bank menunjukan bahwa BRI Unit memiliki kinerja yang baik.
Sedangkan penilaian nasabah menunjukan bahwa persyaratan awal dan pelayan
pengurus yang memberikan pengaruh baik dalam meningkatkan kinerja BRI Unit
Citerup dalam menyalurkan Kupedes.

13

Dari ketiga hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya
penyaluran kredit usaha yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan/perbankan
memiliki kinerja yang baik. Tidak terdapat hal yang membedakan dari kinerja
penyaluran kredit atas lembaga keuangan yang dilakukan penelitian. Namun
demikian, terdapat kesamaan mengenai faktor-faktor yang dipergunakan dalam
menilai kinerja penyaluran kredit usaha dilihat dari segi bank dan segi nasabah.
Target dan realisasi kredit serta persentase tunggakan kredit menjadi kriteria yang
dipergunakan dalam menilai kinerja perbankan, sedangkan penilaian kinerja
menurut nasabah dapat dilihat pada beberapa kriteria : persyaratan awal, prosedur
peminjaman, realisasi kredit, tingkat bunga, pelayanan petugas Swamitra, dan
lokasi Swamitra. Dengan demikian, kriteria tersebut dapat dijadikan referensi
untuk variabel penelitian ini.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu pemahaman penulis mengenai
sekumpulan pemikiran atau teori dari berbagai literatur untuk mendukung
variabel-variabel penelitian. Sumber literatur tersebut seperti buku, jurnal ilmiah,
skripsi, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya yang dinyakini kebenarannya
guna mendukung penelitian ini.
Konsep Kemitraan Perbankan
Pada dasarnya kemitraan merupakan jenis entitas bisnis yang diwujudkan
dalam kerja sama antara pengusaha kecil dengan pengusahaan besar, dalam
pelaksanaannya disertai pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar
dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan (Tohar, 2000). Hal yang mendasari dilaksanakannya kemitraan
yakni adanya persoalan internal dan eksternal yang dihadapi pengusaha dalam
mengembangkan usaha, sehingga memerlukan pertolongan pihak lain yang
memiliki kemampuan lebih. Hutabarat dan Huseini (2006) menambahkan bahwa
kemitraan berjalan atas orientasi kondisi lingkungan usaha yang tidak menentu,
sehingga memerlukan sebuah media pengembangan agar perusahaan mendapat
keunggulan bersaing.
Kemitraan dapat diwujudkan melalui tranfer teknologi, transfer pengetahuan
dan keterampilan, tranfer sumber daya (manusia dan bahan baku), transfer metode
kerja, transfer modal atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu
dalam wujud yang utuh. Namun pada aktivitas perbankan nasional, program
kemitraan merupakan salah satu upaya pengembangan penyaluran kredit
perbankan nasional, hal tersebut didasari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995.
Pelaksanaan kemitraan pada perbankan bertujuan untuk mengurangi dampak
intensifikasi debitor UMKM atau aktivitas perbankan yang hanya menggarap
UMKM yang telah mendapat kredit dari perbankan, sehingga mempengaruhi
manfaat perbankan terhadap perkembangan perekonomian nasional (trickle down
effect). Program kemitraan perbankan dapat diwujudkan melalui Linkage
Program. Program tersebut dianggap sebagai terobosan baru dari perbankan

14

dalam menggarap potensi UMKM melalui perluasan customer care (Hadinoto dan
Retnadi, 2007).
Linkage Program merupakan program kemitraan antara bank umum
dengan lembaga keuangan mikro guna menyalurkan kredit. Pelaksanaan program
tersebut tidak mengharuskan perbankan menyalurkan kredit secara langsung
kepada sektor rill, melainkan melalui perusahaan kemitraan seperti Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) maupun koperasi simpan pinjam atau disebut dengan
istilah two steps financing (Bank Indonesia, 2009). Program tersebut memberikan
manfaat baik bagi bank umum seperti proses penyaluran kredit menjadi efisien
serta memperluas jangkauan terhadap pengusaha UMKM. Sedangkan pada
perusahaan mitra memperoleh manfaat berupa penguatan permodalan guna
membiayai pengusaha UMKM yang memiliki potensi berkembang. Penerapan
Linkage Program dapat diwujudkan pada tiga pola pembiayaan (Bank Indonesia,
2007) yakni :
a. Pola Executing merupakan skema penyaluran kredit dimana perbankan
memberikan modal pinjaman pada perusahaan mitra, guna disalurkan kembali
sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM sebagai end user (lihat Gambar
1). Kredit yang disalurkan dicatat bank umum sebagai pinjaman perusahaan
mitra, sedangkan perusahaan mitra mencatat kredit yang tersalur sebagai
pinjaman kepada pengusaha UMKM. Pada skema pembiayaan ini, perusahaan
mitra memegang kuasa penuh dalam aktivitas menyalurkan kredit, termasuk
menentukan target debitur. Hal ini akan berdampak pada risiko yang akan
diterima dimana sepenuhnya menjadi tanggungan perusahaan mitra.

Perbankan Nasional

Perusahaan Mitra
Pengusaha UMKM (end user)

Gambar 1. Model Pola Pembiayaan Executing
b. Pola Chanelling merupakan skema penyaluran kredit perbankan melalui
perusahaan mitra (lihat Gambar 2). Pada skema pembiayaan ini, perusahaan
mitra bertindak sebagai agent dan tidak memiliki kewenangan dalam
memutuskan perjanjian kredit, kecuali bila mendapat surat kuasa dari
perbankan. Penetapkan target debitur sepenuhnya menjadi tanggung jawab
perbankan. Pada skema pembiayaan ini, kredit yang disalurkan dicatat
perbankan sebagai pinjaman kepada pengusaha UMKM, sedangkan perusahaan
mitra mencatatkan pinjaman tersebut pada off balance sheet. Risiko yang
diterima dalam skema pembiayaan ini menjadi tanggungan perbankan, namun
demikian perusahaan mitra diwajibkan membantu memelihara dan
menyehatkan debitur guna mengurangi risiko yang akan diterima perbankan.

15

Perbankan Nasional

Perusahaan Mitra

Pengusaha UMKM (end user)

Gambar 2. Model Pola Pembiayaan Chanelling
c. Pola Joint Financing merupakan skema penyaluran kredit de