The use of bioagentsTrichodermaspp. and bacteria cellulotic.as decomposer of Ageratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray and Sago Waste to produce organic fertilizer for Chili (Capsicum annuum L.).
conyzoidesvar hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray
DAN AMPAS SAGU SEBAGAI PUPUK ORGANIK PADA CABAI
MERAH (Capsicum annuumL.)
FENNY SALOMINA JENSANURA ASYEREM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Agen Hayati
Trichodermaspp dan Bakteri selulotik Untuk Pengomposan Ageratum conyzoidesvar hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A.Gray dan Ampas sagu sebagai Pupuk Organik Pada Cabai Merah (Capsicum AnnuumL.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor,Desember 2011
(3)
FENNY SALOMINA JENSANURA ASYEREM.The use of bioagents Tricho-dermaspp. and bacteria cellulotic.as decomposer of Ageratum conyzoides var
hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray and Sago Waste to pro-duce organic fertilizer for Chili (Capsicum annuum L.).Under supervision of H.M.H BINTORODJOEFRIE and DYAH MANOHARA.
Ageratum conzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray and waster sago can be used as organic fertilizer or compost. Some isolates of Trichodermaspp. and bacteria cellulotic had been tested as the antagonize agent for controllingPhytophthora capsici(wilt disease on chili). These microorganism were used as decomposer of weeds, A.conyzoideshirtum var (Lam),
T.diversifolia(Hamsley) A. Gray, and sago waste. The aims of the study were to select microbes that has capability to degradation cellulose and able to accelerate the composting process of A.conyzoideshirtum var (Lam), T.diversifolia(Hamsley) A. Gray, and sago waste; and determine the effect of formula compost on plant growth of chili, resistance to infection of P. capsici L and yield of chili. This study was conducted in three phases: 1). Selection of Trichoderma spp and bacte-ria isolates on Carboxy methyl cellulose (CMC) media, 2). Composting A.cony-zoides var hirtum (Lam), T.diversifolia(Hamsley) A. Gray and sago waste by isolates ofTrichoderma spp and bacteria cellulotic which had been selected; 3). Application of compost formulas on chiliplants. The visualization of cellulase activities on CMC mediawere shown as the clear zone around the colony. Six isolates of Trichoderma spp (PO3, S1, N34, IU, PB 13, SKM) have the clear zone ratio range between 3.0 -5.3 and six isolates of bacteria (St109, Sk7, Cm58, Sk14, Sk 10 and St18) havethe clear zone ratio range between 2.6 to 5.4; were selected to decompose weeds and sago waste.The result showed that Trichoderma spp and bacteria cellulotic inoculantsor themixed of them were able to reduce the duration of composting process from 17–18 days to 13-15 days. The products of compost formula are appropriate with the SNI19-7030-2004 and standards minimumof technical organicfertilizer.Application of compost formulas and goat manure on chili plants affected the growth, the disease attacked and the yield of chili. The application of formula D{goat manure+A. conyzoides var hirtum (Lam)+ sago waste} caused the diseaseattacked about 33.3%but the yield was 524,56 g. While the diseaseattackedatgoat manuretreatment was 16.67% and the yield was 132.3 g. Formula D increased the yield of chili 3.96 times compare than goat manure only.
.
(4)
FENNY SALOMINA JENSANURA ASYEREM. Pemanfaatan Agen Hayati
Trichodermaspp dan Bakteri Selulotik Untuk Pengomposan Ageratum conyzoi-desvar hirtum (Lam),Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray dan Ampas sagu sebagai Pupuk Organik Pada Cabai Merah (Capsicum AnnuumL.). Dibimbing oleh H.M.H BINTORO DJOEFRIE dan DYAH MANOHARA
Kandungan hara biomassa gulma berkisar dari sedang hingga tinggi se-hingga dapat digunakan sebagai sumber bahan organik,diantaranyaAgeratum conyzoides var hirtum (Lamb) dan Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray, selain itu limbah pertanian lainnya yang juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik adalah ampas sagu.Pemanfaatan mikroba mesofilik selain mempercepat proses pengomposan juga dapat memperbaiki kualitas kompos. Beberapa mikroba dekomposer dapat bertahan dalam komposdanberperan sebagai agen hayati pengendali penyakit tanamanan terutama patogen tular tanah. Bakteri antagonis yang banyak terdapat dalam kompos misalnya Bacillus spp, Actinomycetes,
Pseudomonas sppsedangkan golongan fungi antagonis adalah Trichoderma spp,
Penicillium spp, Aspergillus spp. Sejumlah hasil penelitian melaporkan bahwa penggunaan kompos sebagai penyedia hara mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen.
Penelitian dilakuan sejak Mei 2010 sampai Mei 2011 di Laboratorium Balitro dan Kebun percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor.Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1).Seleksi Trichodema spp dan bakteri selulotik pada media agar Carboxy Methyl cellulose(CMC); 2).Pengomposan A.conyzoides
varhirtum(Lam), T.diversifolia (Hamsley) A. Gray, serta ampas sagu dan 3).Aplikasi kompos pada tanaman cabai.Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap tiga adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 11 perlakuan formula kompos yaitu A). Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam); B). Pukan+T.diversifolia(Hamsley) A.Gray; C).Pukan+ampas sagu; D).Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam)+ampas sagu; E). Pukan+T.diversifolia(Hamsley) A.Gray+ampas sagu; F). Pukan+A.conyzoidesvar
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp; G).Pukan+A.conyzoidesvar hirtum
(Lam)+ampas sagu+bakteri; H).Pukan+T. diversifolia(Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp; I).pukan + T. diversifolia(Hamsley) A.Gray+ampas sagu +bakteri;J). Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma
spp+bakteri; K).Pukan+T.diversifolia(Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichodermaspp + bakteri dan sebagai kontrol digunakanpupuk kandang kotoran kambing.Perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan tiapperla-kuan terdiri atas 10 tanaman contohdalam 10 polybag sehingga dibutuhkan 360 tanaman cabai.
Tujuan penelitian adalah memperoleh isolat Trichoderma spp dan bakteri selulotik yang memiliki aktivitas selulotik tinggi dan mampu mempercepat pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lamb),T.diversifolia (Hamsley) A.Gray dan ampas sagu; sertamengetahui pengaruh aplikasi formula kompos terhadap
(5)
Visualisasi aktivitas enzim selulase pada media CMC adalah terbentuknya zona bening koloni fungi Trichoderma spp atau bakteri selulotik. Berdasarkan hasil seleksi besaran zona bening yang dihasilkan dan secara mikroskopik, dipilih enam isolat Trichoderma spp dengan kisaran rasio zona bening 3,0 -5,3 dan bakteri selulotik 2,6 – 5,4. Isolat fungi Trichoderma spp(PO3, S1, N34, IU, PB 13, dan SKM) dan isolat bakteriselulotik (St109, Sk7, Cm58, Sk14, Sk 10 dan St18) terpilihdigunakan sebagai inokulan pengomposan A.conyzoides var hirtum
(Lamb),T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu. Berdasarkan hasil pengomposan, inokulanTrichoderma spp dan bakteri selulotik mampu mem-percepat proses pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lamb),T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu, hal tersebut nampak pada formula kompos yang menggunakan kombinasi mikroba dekomposer Trichoderma spp dan bakteri selulotik yaitu formulaJ (pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam)+ampas sagu+
Trichoderma spp + bakteri) dan K (pukan+T.diversifolia(Hamsley)A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp +bakteri) mencapai kematangan kompos pada hari ke 13, sedangkan formula kompos yang hanya menggunakan dekomposer Trichoderma
spp atau bakteri selulotik saja mencapai kematangan kompos pada hari ke 14 dan 15, walapun demikian formula kompos yang menggunakan inokulan lebih cepat pengomposannya dibanding formula kompos tanpa inokulan yang mencapai kematangannya pada hari ke 17 dan 18. Kisaran C/N rasio formula kompos 10-25 dan kandungan haranya memenuhistandar minimal persyaratan teknis pupuk organik dan SNI 19-7030-2004.
Aplikasi formula kompos dan pupuk kotoran kambing pada tanaman cabai berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun cabai, kejadian penyakitdan hasil cabai. Perlakuan pupuk kandang kotoran kambing menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih baik dan kejadian penyakitnya lebih rendah dibanding formula kompos. Namun, pada formula kompos D {pukan+A. conyzoidesvar hirtum (Lam)+ampas sagu} kejadian penyakitnya 33,3% dan hasil buah cabainya 524,56 g lebih tinggi dibanding perlakuan pupuk kandang dengan kejadian penyakitnya 16,67% dan hasil cabai 132,3 g. Peningkatan hasil cabai formula D lebih tinggi (3,96 kali)dibanding pupuk kambing. Berdasarkan hasil tersebut formula kompos D dapat berfungsi sebagai pupuk organik dan mampu meningkatkan sistem ketahanan tanaman terhadap infeksi P. capsici L.
(6)
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunanlaporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
(7)
conyzoidesvar hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray
DAN AMPAS SAGU SEBAGAI PUPUK ORGANIK PADA CABAI
MERAH (Capsicum annuumL.)
FENNY SALOMINA JENSANURA ASYEREM
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(8)
Judul Tesis : Pemanfaatan Agen Hayati Trichoderma sppdan Bakteri Selulotikuntuk Pengomposan Ageratum conyzoidesvar
hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A.Gray dan Ampas Sagu sebagai Pupuk Organik pada Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
Nama : Fenny Salomina Jensanura Asyerem
NRP : A252080061
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. H.M.H Bintoro Djoefrie, M.Agr Dr. Ir. Dyah Manohara, M.S
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agronomi dan Hortikultura
Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(9)
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa di Surga atas limpa-hanberkat dan karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat terselesaikan. Tesis yang berjudul”Pemanfaatan Agen Hayati Trichoder-maspp dan Bakteri selulotik untuk Pengomposan Ageratum conyzoides var hirtum
(Lam), Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray dan Ampas sagu sebagai Pupuk Organikpada Cabai Merah (Capsicum Annuum L.)”, merupakan salah satu syaratuntuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program studi Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasar-jana Institur Pertanian Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir H.M.H Bintoro Djoefrie, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir Dyah Manohara MS selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah menyediakan waktu, pikiran dan tenaga untuk mengarahkan dan membimbing penulis sejak proses penyusunan pro posal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Penghargaan dan teri-ma kasih juga diucapkan kepada Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fa-kultas Pertanian dan Teknologi Pertanian atas kesempatan dan dukungan yang di-berikan kepada penulis untuk mengikuti program magister sains di sekolah Pasca-sarjana IPB.Ucapan terima kasih juga kepada rekan-rekan mahasiswa AGH 2008 khususnya Ir. Jati Purwani MS dan alumni atas segala bentuk solidaritas dan soci-al capitsoci-al yang telah dibangun selama ini.Kepada rekan-rekan mahasiswa asal tanah papua, terima kasih atas kebersamaannya.
Akhirnya dengan segala rasa syukur dan hormat penulis persembahkan ke-pada kedua orangtua, Bpk A. Asyerem dan Ibu Y.Mambobo, bapak mertua P. Ba-ransano dan Ibu N. Suruan serta suamiku Michael A. BaBa-ransano, SP.,MS dan anak-anakku terkasih Jaholyn, Efraim dan Isaiah. Kiranya karya ilmiah ini dapat bermanfaaat bagi yang membutuhkan “ pro humanitate scientia”.
Bogor, Desember 2011 Fenny S. J Asyerem
(10)
Penulis dilahirkan di Jayapura pada tanggal 12 Februari 1980 dari pasangan Bapak A.Asyerem dan Ibu Y. Mambobo, anak ke dua dari lima bersaudara. Jenjang pendidikan SD s/d SMA di selesaikan di Kabupaten Jayapura, memper-oleh gelar Sarjana Pertanian pada Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Unipa Ma-nokwari pada tahun 2005.Pada tahun 2006 diangkat sebagai staf pengajar di Ju-rusan Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi. Pada tahun 2008 diberikan kesempatan melanjutkan pendidikan Magister di program Studi Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor.
(11)
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIARN ... v
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 4
Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray, Ageratum conyzoidesvar hirtum (Lam)dan Ampas sagu ... 5
Mikroorganisme Yang Terlibat Dalam Pengomposan ... 7
Pengomposan ... 9
Struktur dan Ukuran Bahan Baku ... 10
Suhu ... 10
Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan ... 11
Nisbah C/N ... 12
Kelembaban (RH) ... 12
Derajat Keasaman (pH) ... 13
Pemanfaatan kompos ... 13
Penyakit Busuk Phytopthora pada Cabai ... 15
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Infeksi Phytophthora capsici L ... 16
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ... 18
Bahan dan Alat ... 18
Metode Penelitian ... 18
Pelaksanaan Penelitian ... 18
Seleksi Kemampuan Selulotik Trichoderma spp dan Bakteri ... 18
(12)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seleksi Mikroba Selulotik pada Media CMC ... 23
Pengomposan Ageratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray dan Ampas Sagu ... 26
Suhu ... 27
Rasio C/N ... 30
pH ... 31
Kadar C-organik dan N-Total ... 33
Kondisi fisik ... 36
Kandungan Hara Kompos ... 37
Pengaruh Formula KomposTerhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai dan Ketahanannya Terhadap infeksi P capsici PCSTL2 serta Hasil Cabai ... 39
a. Pertumbuhan Tanaman Cabai akibat Pemberian Kompos ... 39
b. Ketahanannya Terhadap infeksi P.capsici PCSTL2dan Hasil Cabai ... 41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47
Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
(13)
Halaman 1. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari fungi Trichoderma spp pada
media CMC ... 24
2. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari bakteri selulotik pada media CMC ... 25
3. Rata-rata suhu harian proses pengomposan formula kompos ... 28
4. PerubahanC/N rasio pada formula kompos selama pengomposan ... 31
5. Perubahan pH pada formula kompos selama pengomposan ... 32
6. Perubahan C-organik pada formula kompos selama pengomposan .... 34
7. Perubahan N-total pada formulakompos selama pengomposan ... 35
8. Analisis C,N,P,K Dan Fe pada kompos yang dipanen pada minggu ke tiga ... 38
9. Tinggi dan Jumlah Daun tanamancabai umur 1,2,3 MST ... 40
10.Ketahan Tanaman Cabai terhadap infeksi P.capsici PCSTL2dan Hasil Cabai ... 42
(14)
Halaman 1. Proses Umum Pengomposan Limbah Padat Organik ... 9 2. Pengujian aktivitas selulase dari bakteri selulotik dan
fungiTrichoderma spp pada media CMC ... 25 3. Proses pengomposan A. conyzoides var hirtum (Lam), T. diversifolia
Hamsley A. Gray dan Ampas sagu ... 26 4. Perkembangan Gejala Serangan P.capsiciPCSTL2 pada Tanaman
(15)
1. Hasil analisis statistik tinggi tanaman cabai umur 1,2,3 Minggu
Setelah Tanam (MST) ... 54 2. Hasil analisis statistik jumlah daun tanaman cabai umur 1,2,3 MST .. 55 3. Hasil analisis kejadian penyakit pada tanaman cabai ... 56
(16)
PENDAHULUAN
Latar BelakangPupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisatanaman atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fi- sik,kimia dan biologi tanah. Sumber pupuk organik berupa kompos adalahpro-duk pembusukan dari limbah pertanian atau hewan hasil perombakan dari fungi, bakteri atau aktinomisetes. Komposisi hara dalam pupuk organik atau komposter-sebut sangat tergantung dari sumber bahan organiknya.
Gulma sebagai tumbuhan pionir yang memiliki kemampuan tumbuh danadaptasi tinggi, telah banyak dimanfaatkan biomassanya sebagai mulsa atau pu-puk hijau karena secara optimal mengembalikan kesuburan lahan.Kaderi (2004) dan Hadipoentyantiet al., (2004) melaporkan bahwa biomassa gulma memilikikandungan hara dari sedang hinggatinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Biomassa gulma yang berpotensi sebagaisumber bahanorganik diantara-nya adalah Ageratum conyzoides var hirtum (Lamb) dan Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray.Gulma tersebut mengandung unsur hara NPK tinggidiban-ding gulma lainnya (Kaderi, 2004). Komposisi hara A.conyzoides var
hirtum (Lam) adalah 6,66% N; 0,17% P; 2,03% K danT.diversifolia(Hamsley) A. Gray adalah 3,59% N; 0,34% P; dan 2,29% K. Kandungan hara gulma tersebutjugalebih tinggi daripupuk kotoran kambingyang hanya mengandung 1,15% N, 0,47% P dan 1,46% K (Bintoro et al. 2008). Selain gulma, limbah pertanian lainnya yang dapat digunakan sebagai sumber bahan organik adalah ampas sagu.
Ampas sagu mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman (Djoefrie dan Sudarman, 1996).Kandunganharanyaadalah53,92% C; 0,04% N; 0,02% P; 0,64% K; 1-3% Ca; 0,01% Mg; 22,1% selulosa dan 14,3% hemiselulosa (Rumawas et al.,1996). Ampassagujugamengandungpolifenol yang dapat dimanfaatkan sebagai herbisida nabati (Flach, 1997).Karakteristik kandungan polifenol pada pengomposan ampas sagu sekitar 72,67 ppm sedangkan pada
(17)
A.conyzoides var hirtum (Lam) danT.diversifolia(Hamsley) A. Gray masing-masing 322,07 ppm; 308,85 ppm (Bintoro et al., 2008).
Biomassa gulma maupunampas sagu dapatbermanfaat bagi tanah dan tanaman jika telah terdekomposisi.Secara alami proses pengomposan berlangsung lama sehingga perlu metoda yang tepat untuk memperpendek periode pengom- posan.Mikroorganisme perombak bahan organik dapat digunakan sebagai starter untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa, meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba, mempengaruhi kurangnya penyakit sehingga pemanfaataanya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah. Organisme perombak bahan organik atau dekomposer pengurai nitrogen dan karbon dari sisa jaringan tumbuhan atau hewan yaitu bakteri, fungi dan aktinomisetes.Menurut Erikson et al., (1989), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling signifikan, dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien disekitar tanaman. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gaur (1982) yang melaporkan bahwa fungi selulotik mesofilik yang digunakan sebagai inokulan pada pengom-posan limbah akan mempercepat proses pengompengom-posan danmemperbaiki kualitas kompos.Beberapa mikroba dekomposer dapat bertahandalamkompos sehingga dapat
berperansebagaiagensiahayatipengendalipenyakittanamananterutamapatogentulart anah.
Gunalan(1996)danAryantha et al., (2002)menyebutkan mikroba yang berasaldaririzosfertanamanselainberperansebagai dekomposerdanpenyedia harajugamampumenghambatpatogen.Metabolit mikroba sepertiantibiotikyang bersifat antagonis dapat dimanfaatkan untuk menekan mikroba patogen tular tanah disekitar perakaran tanaman (Nasahi dan Ceppy, 2010).Mikrobagolonganbakteriantagonis (Bacillus spp, Actinomycetes,
Pseudomonasspp)dangolonganfungi antagonis (Trichodermaspp, Penicilliumspp,
Aspergillusspp) merupakanmikrobaterbanyakyangterdapat di dalamkompos(Chet danInbar 1994; Michel 2002).HasilpenelitianBonanomi et al., (2007) melaporkan
(18)
bahwa pupuk organik yang melibatkanmikroorganismedalam proses pengomposan mampu menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah sebesar 45%.
Phytophthora capsici merupakan patogen tular tanah penyebab busuk Phy-toptopthora dan mengancam produksi beberapa tanaman budidaya termasuk cabai. Penyakit tersebut sulit dikendalikan karena menginfeksi semua bagian tanaman termasuk akar, cabang, daun, bunga, buah dan mengakibatkan kehilangan hasil cabai,misalnyadi Illinois kehilanganhasilmencapai 100% (Babadoost, 2004), di BrebesJawa Tengah sekitar50% (Luther et al., 2007).
Penggunaanfungisidasintetissecara terus menerus untukmengendalikancendawanpatogenikdapat
menyebabkandampaknegatifterhadapkeamananproduksertamasalahfitotok-sisitassehubungandenganpengunaanpetisidaberlebihansehinggaperludibatasipengu naannya.
Sejumlahlaporanhasilpenelitianmenyebutkanpenggunaankompos se-bagainutrisidapatmeningkatkanketahanantanamanterhadapseranganpatogen.Komp
ossebagai substrat yang baikuntukpertumbuhansejumlahmikroorganismeagensiahayatisehinggaaplikasiko
mposkedalamtanahdapatmengurangiseranganpatogentanaman. Zhang et al.,
(1996) melaporkanbahwakomposyang diaplikasikanpadatanamanmentimundapatmeningkatkanketahanantanamanterhada
pPythiumspdanColletotrichumarbiculare (Berk& Mont) Arx.
HasilpenelitianSyamsudin (2002) menunjukkanaplikasiekstrakkomposdaribokashidan jerami
mampumenekaninfeksi Colletotrichumcapsicipada buah cabai masing-masing 43,3% dan 56,6%.
Sehubungan dengan potensi kompos yang mampu menekan perkembangan patogen, maka perlu pengkajian formula kompos sebagai penyedia hara dan juga berperan sebagai biokontrol untuk menekan patogen tular tanah terutamaP. capsi
-ciL. pada tanaman cabai. Pengendalian penyakit busuk phytophthora tesebut ma-sih sulit dilakukan. Yamaguchi (1996) melaporkan mikroba yang berasal dari
(19)
ri-zosfer tanaman secara biologis telah menyatu dengan ekosistemnya, mempunyai kemampuan secara fisik menekan patogen secara biologis. Sebab itu perlu dilaku- kan penelitian pemanfaatan dekomposer Trichodermaspp dan bakteri selulotik yang berasal dari rizosfer tanaman selain mempercepat proses pengomposanA.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu, diharapkan mikroba tersebut tetap bertahan dalam kompos dan berperan sebagai agen pengendali hayati. Kompos yang dihasilkan mampu menyediakan hara bagi tanaman budidaya sehingga mampu meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap P. capsici. L.
Tujuan
1. Memperoleh isolat Trichodermaspp dan bakteri selulotik yang mampu merombak selulosa.
2. Mempelajari laju pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam),T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray dan ampas sagu akibat pemberian isolat
Trichodermasppdan bakteri selulotik.
3. Mengetahui pengaruh berbagai formula kompos terhadap pertumbuhan dan ketahanannya terhadap infeksi P. capsici Lserta hasil cabai.
Hipotesis
1. Pemberian isolat Trichoderma sppdanbakteri selulotik atau kombinasinya dapat mempercepat pengomposan A. conyzoides var hirtum (Lam), T. diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu.
2. Formula kompos sebagai pupuk organik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi P. capsiciL serta hasil buah cabai.
(20)
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray, Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)dan Ampas sagu.
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Graymerupakan tumbuhan yang banyak tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan pertanian.Tingginya dapat mencapai 2,5 m, menghasilkan biji dan apabila dipangkas akan ter-jadi pertumbuhan vegetatif kembali. Tumbuhan tersebut lebih dikenal dengan bunga matahari liar atau bunga matahari Meksiko, bunganya berwarna kuning, daun dan ca-bangnya lunak sehingga dibeberapa negara digunakan sebagai kayu bakar
Biomassa T. diversifolia (Hamsley) A. Gray cukup besar dan dianggap se- bagai gulma namun dapat dimanfaatkan untuk melindungi tanah pertanian, pupuk hihijau dan mulsa (Nyasim et al., 1997).Tanaman tersebut menyebar hampir di seluruh dunia, dan sudah dimanfaatkan sebagai kompos oleh petani di Kenya, namun di Indonesia belum banyak dimanfaatkan (Hartatik, 2007). Kandungan hara
T.diversifolia (Hamsley) A. Graycukup tinggi terutama N, P, K yaitu 3.5%, 0.38% dan 4.1%, Pemanfaatan T. diversifolia (Hamsley) A. Gray sebagai kompos ternyata mampu meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta meningkatkan kandungan P, Ca dan Mg tanah serta mampu mensubtitusi N dan K pupuk buatan pada tanah ultisol(Hartatik, 2007). Hakim dan Agustian, (2008) melaporkan bahwa komposT. diversifolia (Hamsley) A. Graydapat menggantikan 50% pupuk buatan, selain itu pemberian T.diversifolia (Hamsley)A.Graydapat meningkatkan kesuburan tanahdan meningkatkan produktivitas tanaman.
Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)adalah sejenis gulma pertanian anggota suku Asteraceae, berasal dari Amerika tropis, khususnya Brazil. Gulma tersebut banyak ditemui di lahan pertanian Indonesia dan lebih dikenal dengan babandotan atau babadotan (Sd.); wedusan (Jw.); dus-bedusan (Md.); serta Whiteweed (Inggris), Chick weed, Goatweed, dinamakan Goatweed karena bau yang dikeluarkannya menyerupai bau kambing.Gulma
A.conyzoidesvarhirtum(Lam)termasuk tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak, tingginya mencapai 30-90 cm dan bercabang.Kandungan hara biomassanya adalah
(21)
6,66% N; 0,17% P dan 2,03% K (Bintoro et al., 2008).Gulma A.conyzoides var
hirtum (Lam) memiliki daya racun terutama pada daunnya sehingga dinegara Baratbadotan dimanfaatkan sebagai insektisida dan nematisida. Senyawa volatil yang terdapat pada A.conyzoides varhirtum (Lam)yang berkontribusi sebagai alelopati adalah precocenes, turunan monoterpen dan seskuiterpen. Noguchi (2001) melaporkan bahwa ekstrak tajuk A.conyzoides var hirtum (Lam) mampu menghambat perke-cambahan Amaranthus caudatus, rumput Digitaria sanguinalis (L) Scop dan sela-da (Lactuca sativa L).Tiga asam fenolat yang berperan sebagai senyawa alelopati pada daun A.conyzoidesvarhirtum(Lam) adalah asam galat, asam koumalat, as-sam proto-katekuat.Senyawa alelopati tersebut akan meningkat ketika tanaman ditanam dalam kondisi kekurangan hara atau terinfeksi oleh jamur dan kutu.
Sifat umum gulma T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan A.conyzoides var
hirtum (Lam) adalah mempunyai daya adaptasi yang kuat dan daya persaingan tinggi sehingga populasinya melimpah di alam. Selain itu pada biomassa kedua gulma tersebut mengandung senyawa fenol dan derivatnya yang dapat dimanfaat- kan selain sebagai herbisida, juga insektisida dan fungisida.
Limbah sagu merupakan ampas empulur yang telah diambil patinya.Limbah sagu tersebut telah banyak digunakan sebagai substrat untuk budidaya ja-mur, pakan ternak, produksi enzim dan absorban, selain itu limbah tersebut meru- pakan alternatif sumber bahan organik untuk kompos.Penambahan bahan organik ampas sagu meningkatkan pH tanah, nisbah C/N, P tersedia, jumlah basa, KTK tanah serta menurunkan Al-dd. Ampas sagu perlu didekomposisikan terlebih da-hulu sebelum digunakan sebagai media tanam karena mengandung selulosa deng-an nisbah C/N tinggi.Menurut Djoefrie dan Sudarman (1996), ampas sagu banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman.Kandungan haranya adalah 53,92% C; 0,04% N; 0,02% P; 0,64% K; 1-3% Ca; 0,01% Mg; 22,1% selulosa dan 14,3% hemiselulosa (Rumawas et al.,1996). Flach (1997) menya-takan bahwa dalam batang sagu terdapat kandungan polifenol.Senyawa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai herbisida
(22)
nabati sekaligus difungsikan sebagai mulsa dan tambahan bahan organik bagi tanaman.
Mikroorganisme perombak bahan organik
Mikroorganise perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposasn dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan ke-berhasilan proses pengomposan. Proses pengomposan bahan organik di alam tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme. Beberapa jenis bakteri termasuk beberapa jenis aktinomisetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin namun ke- mampuan degradasinya lebih rendah dibanding fungi. Bakteri lebih berperan pada degradasi polisakarida sederhana.
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang me-ngandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati. Bakteri mampu memutuskan ikatan rantai C penyusun senyawa lignin (bahan berkayu), selulosa (bahan berserat) dan hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun bahan organik pada sisa tanaman, namun proses perombakannya lebih lambat bila dibanding senyawa polisakarida sederhana (amilum, disakarida dan monosakari-da). Fungi mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Umumnya, mi-kroba yang mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemi-selulosa.
Mikroorganisme dapat mempercepat proses pengomposan tergantung kom-posisi kimia bahan organik yang komposkan. Selulosa merupakan polimer glu-kosa yang saling berikatan oleh ikatan β-1-4 glikosidik, banyak ditemukan pada tumbuhan.Mikrorganisme selulotik mampu merombak selulosa pada tumbuhan tersebut karena mampu menghasilkan enzim selulase. Enzim selulase merupakan kelompok enzim yang mampu memutuskan ikatan β-1-4 glikosidik dalam molekul selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya yang ter-
(23)
dapat pada tanaman.Mikroorganisme menggunakan enzim tersebut untuk meng- hidrolisis selulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhannya. Enzim selulase hanya dapat di-hasilkan oleh fungi dan bakteri selulotik..Enari (1983) melaporkan bahwa fungi menunjukkan aktivitas selulotik lebih tinggi dibandingkan bakteri dan aktinomi-setes. Fungi yang ditemukan mempunyai kemampuan tinggi dan efisien dalam merombak selulosa antara lain Trichodermasp, Aspergilussp, Penicilliumsp,
Sporotrichum sp, Fusariumsp dan Chaetomium sp (Gaur, 1982). Trichoderma viride merupakan organism pertama yang dipilih untuk digunakan dalam produksi selulase untuk hidrolisis selulosa secara enzimatik. Spesies tersebut mampu meng- hasilkan selulase dalam jumlah banyak dibanding fungi lain seperti Humicola grisea, Sporotrichum thermophila dan Gliocladium viride sehingga berpotensi untuk agen perombak selulosa (Hardjo et al., 1989). MenurutReese et al., (1950) fungi selulotik mampu memecah substrat selulosa secara sinergis karena mem-punyai enzim C1 (aktif menghidrolisis selulosa alami) dan Cx (aktif merombak selulosa terlarut, misalnya CMC). Trichodermasp adalah salah satu contoh fungi dekomposer selulosa yang mempunyai kombinasi enzim C1 dan Cx dari tiga komponen enzim selulase (Wiseman, 1981).
Mikroba selulotik seperti bakteri dan fungi selulotik menghasilkan enzim selulase yang menghidrolisis selulosa kristal menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan unsur hara bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Selain berperan penting dalam dekomposisi karbon, mikroorganisme selulotik juga ada yang mampu menyerang patogen tumbuhan atau fungi antagonis (Ilmen et al., 1997).Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan sekitar 2-3 minggu, kemudian tetap bertahan hidup dalam kompos dan aktif berperan sebagai agen pengendali hayati untuk mengendalikan patogen tanah saat diberikan ke tanah.
Aktivitas mikroba selulotik dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu, aerasi atau difusi oksigen ke dalam kompos, kelembaban, pH, keberadaan karbohidrat dan proporsi relatif lignin dalam residu.Beberapa bakteri penghasil selulase adalah genus Acetobacter, Bacillus, Cellulomonas, Cythopaga,
(24)
Pseudo-monas, Sarcina, dan Vibrio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa bak-teri yang dapat menghasilkan selulase antara lain: Pseudomonas flurescent var
cellulose,Cellulomonas fimi, Bacillus subtilis, Clostridium thermocellum,
Acetobacter xylinum (Heck et al., 2002).
Pengomposan
Sharmaet al., (1997) mendefinisikan pengomposan sebagai proses de-komposisi oksidatif-biologi dari penyusunan bahan-bahan organik dalam keadaan terkendali. Sebagai proses biologi, pengomposan memerlukan keadaan yang khusus seperti suhu, kelembaban, pH, aerasi, dan rasio C/N. Hasil akhir proses pengomposan yaitu humus, unsur-unsur kimiawi terutama unsur karbon, nitrogen, fosfor dan kalium yang bisa dengan mudah dibebaskan dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Pengomposan meliputi tiga fase yaitu proses awal pengomposan komponen-komponen yang mudah terdegradasi, kemudian fase termofilik yaitu degradasi bahan-bahan seperti selulosa melalui aktivitas oksidasi mikroorganisme dan terakhir fase maturasi dan stabilisasi. Proses pengomposan melibatkan bahan-bahan organik, mikroorganisme dan faktor lingkungan sehingga terjadi proses transformasi kimia, biologi dan fisik substrat di bawah keadaan lingkungan yang terkendalimenghasilkan kompos (Gambar1).
Gambar 1. Proses umum pengomposan limbah padat organik (dimodifikasi dari Rynk, 1992)
(25)
Pramono et al., (2003) mengemukakan bahwa limbah organik merupakan bahan pokok pengomposan sekaligus sumber pupuk organik potensial. Salah satu indikator pengomposan berlangsung adalah munculnya suhu termofil pada tumpu- kan bahan organik.Pada kisaran suhu tersebut dianggap kompos telah matang dan berbagai penyakit dan bibit gulma yang terbawa telah mati sehingga jika diaplika-sikan pada tanaman tidak memberikan dampak merugikan pada lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalahukuran dan-struktur bahan, suhu, ketersediaan oksigen, rasio C/N, kadar air pada tumpukan dan pH.
Struktur dan Ukuran Bahan Baku
Laju pengomposan bahan organik tergantung dari sifat bahan yang dikom-poskan. Sifat bahan diantaranya jenis tanaman, umur dan komposisi kimia tana-man. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung cepat disebabkan kadar airnya masih tinggi, nitrogen tinggi, nisbah C/N serta kandung-an lignin rendah.
Ukuran bahan organik mempunyai pengaruh positif terhadap proses pengomposan. Makin kecil ukuran partikel bahan organik makin besar permukaan yang dapat diserang mikroorganisme. Ukuran yang terlalu kecil menghambat ge-rakan air dan O2 ke dalam tumpukan kompos dan pergerakan CO2 keluar. Ukuran
partikel terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang diserang mikroor-ganisme lebih sedikit dan proses pengomposan berjalan lambat (Dalzell et al., 1987). Ukuran partikel yang sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirku-si udara adalah 5-10 cm.
Suhu
Suhu sangat berpengaruh pada proses pengomposan karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pada tahap awal proses pengomposan secara aerobik berlangsung cepat, hal tersebut disebabkan adanya mikroorganisme yang terlibat membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan
(26)
mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lain untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Asimilasi karbon lebih banyak dgunakan sebagai sumber energi untuk membentuk protoplasma dan memperbanyak diri. Hasil metabolik utama adalah CO2, humus, air dan energi. Energi digunakan un-
tuk pertumbuhan mikrooganisme dan sisanya dalam bentuk panas sehinggamenyebabkan suhu meningkat dalam tumpukan. Suhu akan menurun sesuai de-ngan kandungan karbon yang dapat dikomposkan.
Suhu optimum pengomposan adalah 40-60°C dengan suhu maksimum 75°C. Menurut Gaur (1982) pada suhu 40°C, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Bila suhu mencapai 60°C aktivitas jamur berhenti dan proses dekomposisi dilanjutkan oleh aktinomisetes dan bakteri. Suhu dibagian tengah tumpukan kompos pada awal pengomposan bisa mencapai 55-75°C setelah itu berangsur-angsur turun ke suhu lingkungan (25°C) yang menandakan kompos telah matang. Suhu tinggi tersebut merupakan keadaan yang baik untuk menghasilkan kompos steril karena selama suhu pengomposan lebih dari 60°C (dipertahankan selama 3 hari) mikroorganisme patogen parasit dan benih gulma akan mati. Kurva suhu timbunan bahan kompos tergantung pada nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin tinggi timbunan bahan yang dikomposkan dalam wadah pengomposan, makin besar isolasi panas dan timbun-an menjadi ptimbun-anas.
Pembalikan yang dilakukan secara teratur juga menyebabkan bahan yang ada dibagian luar yang kurang panas dipindahkan ke bagian tengah yang lebih panas.
Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan
Kadar oksigen yang ideal dalam proses pengomposan adalah 10-18%., ke-kurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan terganti- kan oleh mikroorganisme anaerobik. Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan organik yang akan dikomposkan dan menjaga
(27)
agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan menghindari kondisi anaerob.
Bahan baku kompos terdiri atas campuran berbagai bahan organik yang me- miliki sifat terdekomposisi berbeda, ada yang mudah dan sukar terdekomposisi. Oleh sebab itu selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos perlu diaduk sehingga mikroba perombak bahan baku bisa menyebar secara merata dan aktivitasnya bisa lebih efektif. Pengadukan sebaiknya dilakukan seminggu sekali.
Nisbah C/N
Nisbah C/N merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Trans-formasi bahan organik menjadi pupuk melibatkan aktivitas mikroorganisme sang-at tergantung pada kadar karbon dan nitrogen yang terdapsang-at dalam bahan. Nisbah C/N sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroorganisme selama proses pengomposan. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Perubahan residu or-ganik menjadi pupuk dipengaruhi oleh nisbah C/N residu yang dikomposkan. Rasio C/N untuk proses pengomposan berkisar antara 30-40, tetapi proses peng-komposan dapat berlangsung lebih baik jika rasio C/N antara 25-35.
Setiap bahan organik memiliki nisbah C/N yang berbeda. Limbah ternak memiliki nisbah C/N lebih rendah dibanding C/N tanaman, oleh sebab itu pengg-gunaan limbah ternak sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik yang memiliki nisbah C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan imbangan C/N optimal. Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai nisbah C/N aki-bat terbentuknya CO2 sementara nilai N cenderung konstan (Dalzel et al., 1987).
Rochaeni et al., (2003) menyatakan bahwa rasio C/N kompos matang berkisar 10-20.
Kelembaban (RH).
Kadar air atau kelembaban ideal untuk proses pengomposan aerobik berki-sar 40-60% dengan kadar air terbaik 50%. Kadar air tersebut harus dipertahankan
(28)
untuk memperoleh jumlah populasi mikroorganisme terbesar karena semakin be-sar populasinya maka makin cepat proses dekomposisinya.
Derajat Kemasaman (pH)
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah derajat ke-masaman (pH). Pada awal pengomposan pH bahan kompos turun (cenderung agak asam) karena bahan organik dirombak menghasilkan asam organik, setelah bebe-rapa hari nilai pH akan naik akibat dekomposisi protein yang membebaskan amoniak. Kemasaman yang terlalu tinggi pada kondisi awal akan menghalangi aktivitas mikroorganisme (Dalzell et al., 1987). Jika nilai pH tinggi biasanya di-turunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitro-gen) seperti urea atau kotoran hewan. pH ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5 (Rochaeni et al., 2003).
Pemanfaatan Kompos
Pemanfaatan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahan per- tanian telah lama dilakukan oleh petani dalam sistem membudidayakan berbagai komoditas pertanian.Pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, limbah pemotongan hewan atau kotoran hewan merupakan jenis bahan organik yang biasa digunakan pada lahan pertanian. Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman setelah mengalami proses pengomposan. Menurut Gaur (1982), kompos yang berkualitas mengandung 1.0%-1.5% Nitrogen, 0.44% Fosfor dan 1.25% Kalium, tidak berbau, strukturnya remah, warnanya coklat tua hingga kehitaman.
Proses pengomposan melibatkan mikroorganisme selulotik dan lignolitik dari kelompok bakteri, fungi dan aktinomisetes. Organisme tersebut memperoleh energi dan karbon dari hasil pengomposan bahan organik. Iklim tropis Indonesia sangat mendukung keragaman mikroba termasuk mikroba aktivator yang berperan dalam proses pengomposan bahan organik menjadi kompos. Pemanfaatan kompos
(29)
yang diperkaya mikroba aktivator sangat penting dan bermanfaat bagi petani dalam meningkatkan daya dukung lahan untuk peningkatan produksi.
Pemanfaatan kompos dalam budidaya tanaman memiliki peranan positif baik secara fisik, kimia maupun biologi.Penggunaan kompos dapat memperbaiki struktur tanah dan menjadi unsur utama dalam budidaya tanaman secara organik, selain itu kompos mendukung tersedianya unsur hara sehingga dapat diman- faatkan tanaman untuk pertumbuhan.Keberadaan mikroba dalam kompos juga dapat menekan populasi patogen tular tanah. Beberapa mikroba golongan bakteri antagonis (Bacillus spp, Actinomycetes, Pseudomonas spp) dan golongan fungi antagonis (Trichoderma spp, Penicillium spp, Aspergillus spp) merupakan mikro-ba termikro-banyak yang terdapat dalam kompos (Chet dan Inmikro-bar 1994; Michel,2002). Sejumlah laporan hasil penelitian menyebutkan penggunaan kompos dapat me-ningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen.Kompos sebagai subs-trat yang baik untuk pertumbuhan sejumlah mikroorganisme agens hayati seperti
Trichoderma spp.,Fusarium oxysporum non patogenik (FoNP), Bacillus sp sehingga aplikasi kompos ke dalam tanah dapat mengurangi serangan patogen tanaman.
Zhang et al., (1996) melaporkan bahwa kompos yang diaplikasikan pada tanaman mentimun dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap Pythium sp dan Colletotrichum arbiculare (Berk & Mont) Arx. Pengujian yang telah dilakukan oleh peneliti di Jerman, Jepang, Israel dan AS menunjukkkan bahwa penggunan kompos dalam bentuk ekstrak kompos efektif untuk pengendalian be-berapa penyakit hawar daun pada kentang, layu fusarium, embun tepung dan kudis (ATTRA 1998). Hasil penelitian Syamsudin (2002) menunjukkan aplikasi ekstrak kompos dari bokashi dan jerami mampu menekan infeksi Colletotrichum capsicipada buah cabai masing-masing 43,3% dan 56,6%.
Pengunaan kompos yang berasal dari A.conyzoides var hirtum (Lam),
T.diversifolia(Hamsley) A. Gray, ampassagu dan mikroba aktivator dalam pe- ningkatan produksi dan ketahanan tanaman cabai terhadap penyakit yang dise- babkan P.capsiciL. sebagai pupuk organik pada tanaman cabai masih terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan kompos bioaktif
(30)
siap pakai belum memadai dan pemahaman petani atau masyarakat akan manfaat kompos bioaktif. Masih banyak petani yang membakar bahan organik sisa panen atau membuang biomassa sisa panen, sehingga asupan bahan organik ke lahan pertanian menjadi berkurang. Oleh sebab itu, tersedianya informasipemanfaatan kompos sangat bermanfaat dalam peningkatan produksi cabai merah.
Penyakit Busuk Phytopthora pada Cabai.
Genus Phytophthora memiliki banyak spesies yang bersifat patogenik pada berbagai spesies tanaman inang dan menyerang tanaman pada setiap fase pertumbuhan dan setiap bagian tanaman termasuk bunga dan buah (Zitter 1989; Charles et al., 1995). Beberapa spesies diantaranya menginfeksi di atas dan di bawah permukaan tanah bahkan menginfeksi keduanya. Siklus hidup patogen tersebut melalui seedbornejugasoilborne seperti misalnya Phytophthora capsici
dengan gejala yang luas menyebabkan kematian tanaman akibat pembentukan kanker pada batang akibatnya mati pucuk, bercak pada daun dan mati cabang (Erwin dan Ribeiro, 1996 dan Babadoost, 2004).
Tanaman inang utama patogen penyebab penyakit busuk phytophthora diantaranya cabai, tomat, ketimun dan terung. Patogen tersebut menginfeksi tanaman pada fase pertumbuhan vegetatif terutama bagian batang. Proses serang-an patogen tersebut tergserang-antung dari fase yserang-ang diinfeksi. Infeksi lebih awal pada tanaman akan menyebabkan kematian tanaman, sedangkan infeksi pada fase per-tumbuhan lebih lanjut tidak menyebabkan kematian tetapi menyebabkan keru-sakan parah. Jika menginfeksi pada fase bibit akan menyebabkan damping-off
tetapi jumlah kematiannya relatif rendah jika kondisi lingkungan tidak terlalu lembab.
Gejala awal pada tanaman cabai di lapang yang terserang penyakit busuk phytophthora biasanya akar berwarna coklat kehitaman. Pembusukan secara me-lingkar pada pangkal batang menyebabkan tanaman cepat layu dan mati. Apabila patogen menginfeksi batang, maka bagian dalamnya akan mengalami discolo-ration, mengeras sehingga tanaman mudah roboh. Selanjutnya, batang dan cabang
(31)
mengalami pembusukan, berwarna hitam, dan cabang serta daun menjadi layu. Gejala lain yang nampak adalah bercak berbentuk korset pada batang kemudian daerah disekitar bercak menjadi layu, bahkan seluruh tanaman menjadi layu dan mati karena patogen telah menginvasi ujung cabang sebelum munculnya bercak pada batang (Zitter, 1989; Louws et al., 2002).
Gejala khas pada daun berupa bercak gelap dengan bentuk dan ukuran yang tidak beraturan.Jaringan tersebut mengering dan tampak seperti terbakar ma-tahari.Dalam waktu empat hari serangan tersebut meluas keseluruh daun.Gejalaserangan pada buah diawali dengan bercak berwarna gelap ditutupi dengan spora dan miselium fungi tersebut dan buah yang terinfeksi mengakibatkan benihnya akan terinfeksi oleh patogen tersebut (Zitter, 1989). Di dalam jaringan inang, P. capsici menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas fotosintesis dengan meng-gunakan precursor C18:3 untuk biosintesis fungi, sehingga terjadi disfungsi bio- sintesis C18:3 yang merupakan komponen utama asam lemak pada membran tilakoid tanaman (Soulie et al., 1989).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk pengendalian penyakit busuk phytop-hthora pada tanaman cabai, tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Pengguna-an fungisida belum sepenuhnya dapat mengendalikPengguna-an penyakit tersebut (Parra dPengguna-an Ristaino, 1998). Penggunaan berbagai kultivar cabai melalui upaya breeding juga telah dilakukan secara ekstensif, namun belum ada kultivar cabai yang telah di-lepas secara komersial bersifat resisten terhafap P.capsici (Oelke et al., 2003).
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Phytophthora.capsiciL.
Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu meng-hambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar, sedangkan tanaman rentan adalah tanaman yang tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit. Ketahanan tanaman ter-hadap penyakit dikelompokkan menjadi ketahanan struktural dan ketahanan fung-sional. Ketahanan sruktural disebut juga ketahanan pasif atau ketahanan pra-infeksi,adalah ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh struktur
(32)
tanam-an itu sendiri ytanam-ang menyebabktanam-an patogen tidak menyukai atau tidak dapat mela-kukan invasi kedalam tanaman tersebut, misalnyaseperti adanya lignin pada din-ding sel, tebal dan kerasnya epidermis, adanya duri pada permukaan vegetatif atau lapisan lilin pada buah.Ketahanan fungsional disebut juga ketahanan aktif atau pascainfeksi, adalah ketahanan yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimia tanaman sehingga perkembangan patogen terhambat. Ketahanan tersebut terjadi karena meningkatnya aktivitas enzim tertentu atau terbentuknya senyawa toksik seperi fitoaleksin yang dapat mematikan patogen (Agrios, 1997).
(33)
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitiandilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obatdan Aromatik (BALITRO)Cimanggu, Bogor dandi rumah kaca kebun Percobaan
Cikabayan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.Penelitiandilakukanmulaibulan Mei 2010 sampaiMei2011.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan untuk penelitian tersebut adalah: isolat
Trichodermasppdan bakteri,benih cabaiMarconi hot, Carboxy Methyl Cellulose
(CMC) 0,5%, Congo red0,1%, suspensi Molase 1%, isolatP.capsici PCSTL2, A. conyzoidesvarhirtum(Lam), T. diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu, pupuk kotoran kambing, tanahdan polybag.
Peralatan yang digunakan adalah cawan petri, pipet tetes, termometer, karung plastik, wadah pengomposan dari bambu berukuran, sekop.
Metode Penelitian
Penelitian terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama adalah seleksi ke-mampuan selulotik isolat Trichodermaspp dan bakteri antagonis terhadap P. capsici L. dilakukan di laboratoriumBalitro, tahap kedua adalah pengomposan bahan organik yang dilakukan di rumah kacadan tahap ketiga adalah aplikasi formula kompos pada tanaman cabai selain sebagai penyedia hara juga mampu meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap patogen P. capsici L.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan 1: Seleksi Kemampuan Selulotik Trichodermaspp dan Bakteri
Isolat-isolat Trichodermaspp dan bakteri diseleksi pada media agarCMC 0,5%. Pengujian dilakukan dengan tujuan mengetahui kemampuan
(34)
masing-masing isolat Trichodermaspp dan bakteri koleksi dalam merombak selulosa pada media CMC 0,5%. Pengujian isolat Trichodermaspp dan bakteri dilakukan
berdasarkan pembentukan zona beningsebagaiakibataktivitasselulotikmikrobatersebutpada media CMC. Untuk
memperjelas pembentukan zona bening dilakukan pewarnaan dengan menggunakan congo red 0,1%. Pengamatan dilaku-kan setelah 5 hari diinkubasipadakondisisuhukamar yaitu terhadap diameter ko-loni dan zona bening yang dibentuk oleh isolat Trichodermaspp dan bakteri selulotik. Isolat yang memiliki diameter zone bening besar akan digunakan sebagai isolat dekomposer untuk pengomposan.
Semua isolat Trichodema spp dan bakteri selulotik koleksi sebelumnya diuji kemmampuan penghambatannya terhadap pertumbuhan P.capsici L. PCSTL2 dan secara umum hasil uji penghambatan pertumbuhan P.capsici L oleh jenis kedua mikroba tersebut berkisar antara 70-80%.
Pembuatan Media Starter Trichodermaspp dan Bakteri Terpilih
Sebelum dicobakan pada pengomposan, isolat Trichoderma sppdanbak-teriselulotik terpilih terlebih dahulu dibiakkan.Tricodermaspp dibiakkan pada media Kentang dekstrosa Agar (AKD)sedangkan isolat bakteri dibiakkan pada media kentang dektrosa masing-masingselama 6-7 hari. Bakteri selulotik dan konidia Trichodermasppkemudian dipisahkan dari media tumbuh dengan menggunakan air dan di masukkan dalam suspensi Molase 1% dan media starter tersebut siap digunakan sebagai inokulan pada percobaan pengomposan.
Percobaan II: Pengomposan A. conyzoidesvarhirtum(Lamb), T. diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu
Percobaan pengomposan A. conyzoidesvarhirtum(Lamb), T. diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagudilakukanmenggunakan
Trichodermaspp dan bakteri selulotik terpilih sebagai dekomposer. Formula kompos yang dibuatsebanyak 11 formulayaitu:
(35)
A. Pupuk Kandang + A. conyzoidesvarhirtum (Lam) B. Pupuk kandang + T. diversifolia(Hamsley) A. Gray C. Pupuk kandang + ampas sagu
D. Pupuk kandang + A. conyzoidesvarhirtum (Lam) +ampas sagu E. Pupuk kandang + T. diversifolia(Hamsley) A. Gray + ampas sagu
F. Pupuk kandang + A.conyzoidesvarhirtum (Lam)+ampas sagu +
Trichodermaspp
G. Pupuk kandang + A. conyzoidesvarhirtum (Lam) +ampas sagu + bakteri H. Pupukkandang +T.diversifolia(Hamsley) A.Gray+ampas sagu + Trichoderma
spp
I. Pupuk kandang + T. diversifolia(Hamsley) A. Gray + ampas sagu + bakteri J. Pupuk kandang + A.conyzoidesvarhirtum (Lam) +ampas sagu + Trichoderma
spp+ bakteri
K. Pupuk kandang + T.diversifolia (Hamsley) A. Gray + ampas sagu +
Trichoderma spp+ bakteri
Pengomposan dilakukan secara aerobikmenggunakanwadah pengom-posan berupabakpengompengom-posanyang terbuat dari bambu,dilapisidengankarung plastik dansengajadibuatlubang-lubang kecilsehingga memungkinkan terjadi-nya sirkulasi udara. Kondisi demikian dimaksudkan agar suhu tumpukan bahan kompos tidak melampaui suhu termofilik yaitu 65ºC (Trichodermasppdan bakteri yang diintroduksi berkembang normal). Jarak antar bak pengomposan 0,5m tujuannya memudahkan pengamatan dan memberikan sirkulasi udara. Kotak-kotak ditempatkan dibawah naungan supaya terlindung dari hujan.
T.divorsifilia (Hamsley) A. Gray sebelum ditumpuk dipotong-potong de-ngan ukuran lebih kurang 5-10 cm. Banyaknya bahan organik A. conyzoides var
hirtum (Lam), T.diversifolia(Hamsley) A. Gray, ampas sagu dan pupuk kanda- ng kotorankambingyang digunakan adalah 1:1:1:1(v/v) yang ditumpuk secara selang seling. Pemberian inokulum pengomposan dilakukan pada saat penyusunan bahan kompos dengan cara disiram merata pada permukaan bahan kompos.
(36)
Sela-ma pengomposan kadar air tumpukan dipertahankan, bila bahan kompos kering dilakukan penyiraman air.
Pembalikan dilakukan setiap minggu untuk perbaikan aerasi tumpukan. Pembalikan dihentikan jika suhu sebelum dan sesudah pembalikanstabil. Saat pembalikan bahan kompos, dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis kan-dungan kimia kompos.Pemanenan kompos dapat dilakukan apabila kompos telah matang yang ditandai dengan suhu stabil sebelum dan sesudah pembalikan, kom-pos terasa dingin jika dipegang, struktur komkom-pos remah dan warnanya antara hi-tam sampai coklat kehihi-tam-hihi-taman. Peubah yang diamati adalah suhu selama pengomposan, nisbah C/N, kadar air, kandungan hara N,P,K, danunsur mikro Fe.
Percobaan III: Aplikasi Kompos Pada Tanaman Cabai serta Ketahanannya terhadapinfeksi P. capsiciPCSTL2.
Untuk mengetahui pengaruh formula kompos yang dihasilkan sebagai penyedia hara dan biokontrol penyakit tanaman, komposdiaplikasikan pada tana-man cabai. Benihcabai yang digunakan adalahbenih yang pekaP.capsici. L (Syamsudin, 2010). Sebelum dikecambahkan, benih cabai terlebih dahulu di-disinfeksi dengan alkohol 70% selama ± 3 menit kemudian dicuci tiga kali dengan akuades steril dan dikering-anginkan. Benih cabai disemai pada tray selama 3 minggu kemudian dipindahkan pada pada polybag 5 kg. Perbandingan media ta-nam campuran tanah dan formula kompos 1:1 (v/v). Inokulasi P. capsici dilaku-kan 21 harisetelahpindahtanam. IsolatP. capsici yang digunakanadalah PCSTL2 yang diinokulasikandenganmetoda suspensi zoospora sebanyak 5 ml (6x105cfu), disirammeratasekitarperakarantanaman (Syamsuddin, 2010). Tana-man yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu kamar dan disiram dua kali seha-ri atau sesuai kebutuhan untuk menjaga kelembaban media.
Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap tersebut adalah Ranca-ngan Acak Kelompok deRanca-ngan perlakuan formula bahan yang dikomposkan. Pem-bandingperlakuandigunakanpupukkandangkotorankambing.Satuan percobaan terdiri atas sepuluh bibit per perlakuan dalam sepuluh polibag dan diulang tiga kali sehingga dibutuhkan 360 bibit tanaman. Model matematisrancangan:
(37)
Yij= αi + βi + εij
Keterangan
Yij = nilaipengamatanperlakuanke-I pada ulanganke-j
μ = nilaitengahumum
αi = pengaruhperlakuanke-i
βi = pengaruhulanganke-j
εij= pengaruhgalatpercobaandariperlakuanke-I danulanganke-j i = perlakuan 1,2,3….12
j = ulangan 1,2,3 Asumsi:
- µ, αi bernilai tetap dan εαi= 0 - µ, αi, εij saling aditif
- εij menyebar normal dan bersifat bebas.
Pengamatan gejala kejadian penyakit (KP) dilakukan 14 hari setelah ino-kulasi P.capsici PCSTL2 yang dihitung berdasarkan rumus Sinaga (2003), yaitu KP= n/N 100%; n= jumlah bibit positif terserang patogen, N= jumlah total bibit yang diamati. Variabel pertumbuhan yang diamati adalah tinggitanaman, jumlah daun/tan dan komponen produksi cabai diamati pada panen pertama.
(38)
Seleksi Mikroba Selulotik Pada Media Carboxyl Methyl Cellulose
Isolat fungi Trichoderma spp dan bakteri yang diseleksi, diisolasi dari risos-fer tanaman lada sehat di Bangka, Lampung, Sukabumi dan Bogorsebanyak 132 isolat fungi Trichoderma spp dan 708 isolat bakteri (Bintoro et al., 2009). Semua isolat tersebut telah diuji daya antagonisnya terhadap P.capsici PCSTL2 dengan moteda penanaman berpasangan di dalam cawan petri dengan media PDA, CMA, dan agar V8. Penghambatan pertumbuhan P.capsici PCSTL2 oleh isolat Tricho-derma spp dan bakteri berkisar antara 70-80%. Berdasarkan hasil seleksi mikros-kopik diperoleh39isolatTrichoderma sppdan 22 isolat bakteri.
Isolat-isolat bakteri dan fungi Trichoderma spp yang dipilih memiliki daya antagonis tinggi, kemudian diuji kemampuannya merombak selulosa secara in- vitro menggunakan media agar carboxyl methyl cellulose (CMC). Visualisasi akti-vitas enzim selulase pada media CMC adalah terbentuknya zona bening koloni fungi Trichoderma spp atau bakteriselulotik (Gambar 2). Kisaran rasio zona bening dari 34 isolat fungi Trichoderma spp adalah berkisar antara 0,30-5,30 (Tabel 1). Enam isolat fungi Trichoderma spp yang digunakan untuk uji pada pengomposan adalah isolat PO3, S1, N34, IU, Pb13 dan SKM dengan kisaran rasio zona bening antara 3,00-5,30.
Kisaran zona bening isolat bakteri selulotik yang diuji berkisar antara 1,0-5,44. Enam isolat yang digunakan untuk diuji sebagai inokulan pada proses pengomposan yaitu St109, Sk7, Cm58, Sk14, Sk10 dan St81 dengan kisaran aktivitas selulase antara 2,4-5,44 (Tabel 2).
Lemos et al., (2003) menyatakan bahwa kemampuan mikroba selulotik merombak selulosa dipengaruhi oleh enzim selulase yang dapat menghidrolisis se-lulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Ada tiga enzim selulase yang ber-peran dalam hidrolisis selulosa yaitu 1) endo-β-1,4-glukanase, 2) ekso-β- 1,4-glukanase dan 3) enzim β-1,4-glukosidase.
(39)
Tabel 1. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari fungi Trichoderma spp pada media CMC.
No. Kode Isolat Koloni (mm)
Zona bening
(mm) Rasio
1 18 9,0 22,5 2,5
2 W 4 20,0 33,0 1,6
3 OA 9 7,5 7,5 1,0
4 Skap 5,0 14,0 2,8
5 F 4 5,0 13,0 2,6
6 PO 3 5,0 19,5 3,9
7 D0 13,5 22,5 1,6
8 I 4 9,0 21,5 2,3
9 Zz 2 24,0 28,0 1,17
10 RR 9 13,0 38,0 2,9
11 R 4 7,0 15,0 2,1
12 GO 9 14,5 24,0 1,6
13 EE 1 8,0 22,0 2,7
14 PB 34 6,5 18,5 2,8
15 N 34 9,5 35,0 3,6
16 IU 6,0 22,0 3,6
17 PB 18 5,5 15,5 2,8
18 SS 2 6,0 15,0 2,5
19 R 9 13,0 38,0 2,9
20 LBC 4 5,0 1,5 0,3
21 M 22 32,0 45,0 1,4
22 M 24 22,0 35,0 1,5
23 PB 19 17,5 23,5 1,3
24 PC 5 12,0 30,0 2,5
25 LBC 5 5,5 14,0 2,5
26 N 22 14,0 27,5 1,9
27 IB 1 5,0 13,5 2,7
28 R 8 20,0 37,0 1,8
29 TSM 7,0 19,2 2,7
30 SKM 6,5 26,0 4,0
31 YOY 5,0 13,5 2,7
32 S 1 5,0 26,5 5,3
33 R 2 17,5 42,5 2,5
(40)
Tabel 2. Aktivitas enzim selulase kualitatif dari bakteri selulotik pada media CMC
No. Kode Isolat koloni (mm)
Zona bening
(mm) Rasio
1 St 77 6,0 10 1,6
2 St 107 15 30 2,0
3 St 109 9,0 49 5,4
4 St 125 9,0 9,0 1,0
5 St 124 3,0 7,0 2,3
6 St 116 4,0 6,0 1,5
7 St 19 3,0 7,0 2,3
8 St 81 1,5 4,0 2,6
9 St 156 1,5 2,5 1,6
10 OG 1 4,0 7,5 1,8
11 SK 19 4,0 6,0 1,5
12 SK 18 2,0 3,0 1,5
13 Sk 2 1,5 2,5 1,6
14 SK 1 2,0 2,5 1,2
15 Sk 10 3,0 8,5 2,8
16 Sk 7 2,5 6,0 2,4
17 SK 5 4,0 6,0 1,5
18 Sk 14 5,0 2,5 4,9
19 Cm 49 1,5 2,5 1,6
20 Cm 8 4,0 8,0 2,0
21 Cm 55 3,0 6,0 2,0
22 Cm 58 2,0 7,0 3,5
Gambar 2.Pengujian aktivitas selulase dari bakteri selulotik dan fungi
Trichoderma spp pada media CMC.
(zona bening sebagai visualisasi dari aktivitas enzim selulase).
Trichoderma spp Bakteri selulotik
(41)
Kemampuan membentuk zona bening pada substrat amorf seperti CMC menunjukkan adanya enzim endo-β-1,4 glukanase yang dapat memutuskan ikatan
β-1,4 glikosida pada serat selulosa (Enari 1983) dan banyaknya daerah amorf pada substrat tersebut menyebabkan CMC dapat dihidrolisis lebih efisien. Tingginya aktivitas enzim tersebut ditandai dengan tingginya rasio diameter zona bening ter-hadap diameter koloni isolat yang ditumbuhkan pada media agar sebagai sumber karbon CMC.
PengomposanAgeratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia
(Hamsley) A. Gray dan Ampas Sagu
PengomposanA.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu menggunakan dekomposer Trichoderma spp dan bakteri terpilih. Proses pengomposan bahan kompos dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar3. Proses Pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam),
T.diversifolia(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu
Kecepatan proses pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia
(Hamsley) A. Gray dan ampas sagu diamati berdasarkan lama waktu (hari) yang dibutuhkan masing-masing bahan kompos mencapai suhu stabil (lingkungan), nis-bah C/N, pH, kadar karbon dan N-total, hara P, K dan Fe.
(42)
Suhu
Menurut Miller (1991), suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengom-posan, sebab itu pengontrolan suhu penting dilakukan untuk mengoptimumkan pengmposan bahan kompos, juga untuk mematikan mikro-organisme patogen dan benih gulma. Selama proses pengomposan terjadiperubahan suhu dan terde-komposisinya bahan kompos. Hasil pengamatan perubahan suhu pengomposanse-lama 21 hari disajikan pada Tabel 3.
Pada Tabel 3, selama proses pengomposan terjadi perubahan suhu yang ber-beda pada semua formula bahan kompos. Peningkatan suhu pada semua formula kompos terjadi pada minggu pertama dan kedua dengan kisaran suhu 40 -50 ⁰C. Pengomposan formula bahan kompos menggunakan inokulan mencapai suhu pun-cak berkisar40-46 ⁰C terjadi pada minggu kedua sedangkan tanpa inokulan, suhu puncak terjadi minggu pertama {Formula A (pukan+A.conyzoides var hirtum
(Lam) dan formula B (pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)} dan minggu kedua {Formula C (pukan+ampas sagu), formula D (pukan+ A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu) dan formula E {pukan+ T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu} dengan kisaran suhu 41-50⁰C. Perbedaan waktu dan kisa-ran suhu tersebut masih termasuk batas tolekisa-ransi karena menurut Erwiyono (1994), peningkatan suhu pengomposan akan dicapai pada minggu pertama dan kedua tergantung sifat bahan yang dikomposkan. Peningkatan suhu bahan kompos menunjukkan terjadinya proses pengomposan dan mencerminkan adanya aktivitas mikroorganisme (Summers et al, 2003). Terjadinya peningkaan suhu pada awal pengomposan disebabkan tersedianya gula sederhana, pati dan protein yang digu-nakan mikrooragnisme untuk aktivitas metabolismenya. Akibat metabolisme ter-sebut mikroorganisme akan melepas sejumlah energi dalam bentuk panas menye-babkan suhu bahan kompos meningkat.
Berdasarkan Tabel 3, suhu tiap kompos mengalami tiga tahap proses peng-komposan yaitu tahap pertama tahap penghangatan (tahap mesofilik), mikroor-ganisme hadir dalam bahan kompos menyebabkan suhu meningkat. Mikroor-ganisme tersebut bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Tahap
(43)
kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme termofilik yang hidup pada suhu 45-50⁰C hadir dalam tumpukan bahan kompos dan bertugas mengkonsumsi kar-bohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat. Aktivitas mikroorganisme mendekomposisi bahan kompos mulai lambat dan men-capai suhu stabil setelah melalui suhu puncak. Tahap ketiga yaitu tahap pendi-nginan dan pematangan.
Tabel 3. Rata-rata suhu harian (⁰C ) proses pengomposan formula kompos. Hari
ke-
Rata-rata suhu pengomposan
A B C D E F G H I J K 1 33 36 35 34 34 38 33 36 34 33 36 2 36 41 42 40 36 39 34 38 34 34 38
3 39 43 43 42 38 43 38 40 35 39 39
4 41 43 45 42 38 43 40 40 36 37 39 5 39 39 46 41 37 42 40 42 36 36 39 6 38 39 46 40 38 42 40 42 36 35 39 7 38 39 47 40 38 40 40 41 40 35 39 8 38 38 48 40 39 43 43 42 40 36 39 9 35 34 46 42 40 43 44 43 40 39 42
10 35 35 50 42 42 43 46 44 41 40 42
11 35 35 48 43 42 46 45 45 41 40 42
12 34 33 43 44 42 45 42 45 41 40 42
13 33 34 45 43 41 43 40 44 38 38 38
14 33 33 43 43 40 38 39 38 38 36 38 15 33 33 43 43 40 38 38 39 37 37 39 16 33 33 42 40 40 36 37 37 35 37 35 17 32 31 40 40 38 36 37 36 35 34 35 18 31 32 38 39 37 35 35 34 33 32 35 19 31 31 36 38 37 34 34 32 33 32 34 20 30 30 33 35 37 34 34 32 32 32 34 21 30 30 33 35 36 34 34 32 31 31 32
Ket : A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu, E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoidesvar
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma sp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma sp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma sp +bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma sp +bakteri.
(44)
Proses pengomposan secara aerob sebagai berikut:
Bahan organik + O2 ---> H2O + CO2 + hara + humus + energi
Mengacu pada CPIS (1992), suhu 40-60⁰C merupakan suhu aktif bagi mik-roorganisme, bila suhu turun di bawah 40⁰C terjadi proses pematangan kompos. Pada pengomposan formula kompos tanpa inokulan yaitu formula C {pukan+ampas sagu}, formula D {pukan+ A.conyzoides var Hirtum (Lam)+ampas sagu} dan formula E {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu}, penu-runan suhu dibawah 40⁰C terjadi pada hari ke-17 dan 18sedangkan pengom-posan menggunakan kombinasi inokulan bakteri selulotik dan Trichoderma spp yaitu formulaJ{pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma
spp+bakteri} dan formula K{pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri}terjadi pada hari ke-13 lebih cepat dibanding pengomposan menggunakan inokulan tunggal Trichoderma spp atau bakteri selulotik (hari ke-14 dan 15). Walaupun masa pengomposan menggunakan inokulantunggal Trichoderma sppataubakteri selulotik lebih lama dibanding kombinasinya namun masih lebih cepat dibanding formula kompos tanpa inokulan.Pematangan formula kompos J dan K lebih cepat disebabkan menggunakan kombinasi inokulan, hal tersebut sesuai dengan pendapat Saraswati
et al., (2006) bahwa keberhasilan proses dekomposisi atau pengomposan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme. Proses dekomposisi secara alami tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme mono-kultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme.
Formula A {pukan + A. conyzoides varhirtum (Lam)}dan B{pukan +T.diversifoliaHamsley A Gray)} mengalami pematangan kompos lebih cepat di-banding formula lainnya karena komposisi bahan kompos yang lebih sedikit (tanpa ampas sagu) dan C/N rasio bahan yang rendah sehingga lebih mudahdide-komposisi. Pengomposan formulaC {pupuk kandang+ampas sagu} mencapai suhu tertinggi 50⁰C pada hari ke-10.Nurisamunandar (1999) melaporkan bahwa pengomposan limbah ampas sagu dengan tanpa diberi aktivator sekalipun suhu kompos tetap meningkat. Hal tersebut diduga karena tumpukan ampas sagu yang
(45)
terlalu padat dan sirkulasi udara selama pengomposan yang relatif sedikit menye-babkan bahan kompos menjadi lebih panas.
Selama proses pengomposan, suhu maksimal formula bahan kompos yang diberi dekomposer berkisar40-46⁰C, disebabkan karena selama pengomposan curah hujaun tinggi sehingga mepengaruhi kelembaban, difusi oksigen ke dalam kompos, suhu di luar kompos rendah yang merupakan faktor pembatas dalam proses pengomposan. Berdasarkan kisaran suhu tersebut, mikroba dekomposer
Trichoderma spp dan bakteri yang digunakan termasuk tipe mesofil beda dengan hasil penelitian Rawiniwati (1998) menggunakan Trichoderma virideuntuk peng-komposan jerami, sekam dan residu jagung suhu puncak mencapai 50⁰C.
Pembalikan bahan kompos dilakukan dengan tujuan untuk mengatur aerasi sehingga mengoptimalkan penguraian pada timbunan kompos karena tersedianya cukup oksigen.
Rasio C/N
Rasio C/N merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat kema-tangan kompos. Kompos yang telah matang memiliki C/N rasio 10-20, pada kon-disi tersebut diperkirakan tidak terjadi proses immobilisasi N oleh mikroorga-nisme yang menyebabkan ketersediaan N bagi tanaman berkurang. Hasil penga-matan perubahan C/N rasio selama pengomposan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. menunjukkan kecenderungan penurunan C/N rasio pada formula kompos A hingga I pada minggu ketigaberkisar dari 14-20dan kisaran C/N rasio tersebutsesuai dengan kriteria SNI 19-7030-2004.Pada formula kompos J {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri} dan formula K {pukan+ T.diversifolia (Hamsley) A.Gray)+ampas sagu+ Tricho-derma spp+bakteri}nilaiC/Nrasionya 21, namun menurut Suriadikarta dan Setyorini (2006), nilai C/N rasio tersebut masih memenuhi standar minimal per-syaratan teknis pupuk organik yaitu 10-25. Terjadinya penurunan C/N rasio terse-but disebabkan adanya peranan mikroba dekomposer yang diinokulasikan pada awal pengomposan. Kompos matang dengan kisaran rasio C/N yang memenuhi
(46)
SNI 19-7030-2004 dan standar minimal persyaratan teknis pupuk organik menun-jukkan bahwa kompos telah termineralisasi dan nitrogen yang tersedia siap di-manfaatkan tanaman.
Tabel 4. Perubahan C/N rasio formula kompos selama pengomposan. Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3 A 13 24 14
B 13 16 15
C 15 25 18
D 18 20 20
E 21 22 19
F 16 25 20
G 15 25 19 H 13 24 20
I 23 22 18
J 24 27 21
K 23 22 21
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu, E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma spp+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma spp+bakteri.
Nilai pH
Perubahan nilai pH juga menunjukkan adanya aktivitas pengomposan. Peru-bahan pH selama proses pengomposan disajikan pada Tabel 5. Pada Tabel 5 me-nunjukkan bahwa pH semua formula kompos selama pengomposan meningkat. Hal tersebut sesuai dengan penyataan Rajbanshi et al.,(1998)dan Lei dan Fei (2002) yang melaporkan bahwa selama pengomposan akan terjadi peningkatan pH bahan kompos hingga suasana alkalin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisa-ran pH selama pengomposan adalah7,86-8,64, kondisi pH alkalin tersebut
(47)
ber-dampak baik dalam proses pengomposan karena menurutHeerden et al., (2002)bahwa suasana kompos alkalin akan memudahkan pecahnya ikatan lignin-selulosa oleh enzim yang diproduksi mikroba selulotik.
Tabel 5. Perubahan pH formula kompos selama proses pengomposan.
Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3
A 7,48 7,73 7,86
B 7,52 7,86 7,99
C 8,82 7,62 8,58
D 7,97 8,44 8,4
E 8,07 8,52 8,32
F 7,79 8,39 8,42
G 7,98 8,51 8,64
H 7,29 8,62 8,45
I 8,13 8,16 8,51
J 6,04 8,17 8,28
K 8,19 8,67 8,43
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu, E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma sp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma sp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma sp +bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma sp +bakteri.
Pada formula C {pukan+ampas sagu}, terjadi penurunan pH pada awal pe-ngomposan kemudian pada minggu kedua pH naik hingga alkalin sedangkan for-mula lainnya terjadi peningkatan pH pada awal pengomposan. Terjadinya pening-katan pH disebabkan meningkatnya suhu bahan kompos > 40°C dan perubahan asam-asam organik sederhana yang terbentuk diubah lebih lannjut menjadi CO2.
Dalzell et al., (1987) menyebutkan bahwa peningkatan pH juga dapat terjadi kare-na terombaknya protein bahan kompos sehingga amoniak dibebaskan dan menye-babkan nilai pH meningkatsedangkan penurunan pH disemenye-babkan oleh proses nitrifikasi atau produksi asam-asam organik yang meningkat.
(48)
Kadar C-Organik dan N-Total
Selama proses pengomposan, mikroorganisme membutuhkan karbon se-bagai sumber energiuntuk membangun sel tubuhnya dan sebagian lagi dilepas ke udara dalam bentuk CO2 akibatnya kandungan karbon organik dalam kompos
akan mengalami penurunan. Pola penurunan kadar karbon mencerminkan aktivi-tas mikroorganisme selama proses pengomposan, dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6menunjukkan perbedaan profil penurunan C-organik formula kompos selama pengomposan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Goyal et al., (2005)yang melaporkan bahwa penurunan kandungan karbon selama pengompo-san berbeda-beda dan umumnya penurunan kandungan karbon dalam jumlah ba-nyak terjadi pada awal pengomposan. Formula yang menunjukkan penurunkan kandungan karbon lebih banyak adalah formula E {pukan+T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray)+ampas sagu}, formula I {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+bakteri} dan formulaJ {pukan+A.conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri}, sedangkan formula B {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray}, formula H {pukan+T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp} dan formula K {pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp+bakteri} menunjukkan pe-nurunan dekomposisi karbon lambat. Pada formula A {pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam}, formula C {pukan+ampas sagu} dan formula F {pukan+ A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma
spp} menunjukkan aktivitas yang tidak stabil artinya pada awal pengomposan terjadi peningkatan C-organik kemudian perlahan-lahan mengalami penurunan hingga akhir pengompo-san.
Perbedaan dalam perubahan kandungan C-organik berhubungan dengan komposisi kimia penyusun dinding sel tumbuhan. Adanya senyawa karbon yang sukar dipecah seperti lignin pada bahan kompos akan memperlambat proses pe-rombakan karbon. Seperti pada formula B, H dan K, proses pepe-rombakan karbon lambat karena pada komposisi formula tersebut menggunakan T.diversifolia
(49)
(Hamsley) A. Gray yang secara fisik bentuk batangnya lebih keras artinya memi-liki kandungan lignin tinggi.
Tabel 6. Perubahan C-organik (%) formula kompos selama pengomposan.
Formula kompos Waktu dekomposisi (minggu)
1 2 3 A 27,54 34,7 24,03
B 28,64 29,96 26,39
C 32,73 36,23 26,87
D 29,64 28 23,98
E 34,08 30,14 29,73
F 26,27 34,57 28,2
G 27,62 29,06 29,27
H 29,88 27,18 28,98
I 33,31 31,02 28,1
J 41,78 29,14 28,38
K 32,58 29,69 30,36
Ket: A=Pukan+A.conyzoidesvar hirtum (Lam),B= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray,C=pukan+ampas sagu, D= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu, E= pukan+T diversifolia (Hamsley) A. Gray+ampas sagu, F= pukan+A.conyzoides var
hirtum (Lam)+ampas sagu+Trichoderma spp, G= pukan+A. conyzoides var hirtum
(Lam)+ampas sagu + bakteri, H= pukan+T.diversifolia (Hamsley) A.Gray+ampas sagu+Trichoderma spp, I= pukan+ T. diversifolia (Hamsley) A. Gray+ ampas sagu+bakteri, J= pukan+A.conyzoides var hirtum (Lam)+ampas sagu +Trichoderma spp+bakteri,K= pukan+ampas sagu+T.diversifoliaHamsley A. Gray + Trichoderma spp +bakteri.
Formula J merupakan formula dengan perombakan karbon lebih banyak dibanding perlakuan lainnya yaitu 41,78% menjadi 28,38%, diduga disebabkan pada formula tersebut menggunakan kombinasi inokulanTrichoderma spp dan bakteri selulotik sehingga tingkat aktivitas mikrobanya juga meningkat dalam merombak karbon yang bersumber dari A.conyzoides var hirtum (Lam.) yang komposisi lig-ninnya lebih sedikit dibanding T.diversifolia (Hamsley) A. Gray. Selama proses pengomposan, kehilangan nitrogen bahan kompos dapat terjadi melalui peng-uapan amoniak (NH3) namun relatif kecil dan ada kecenderungan
(1)
51
Murbandono. 2000. Membuat kompos. Edisi Revisi. Penebar swadaya, Jakarta. Michel FC, Marsh TJ, Reddy CA. 2002. Bacterial community structure during
yard trimmings composting inInsam H, RiddechN, Klammer S, editor.
Microbiology of composting. Berlin: Springer-Verlag Berlin Heiderberg 25-42p.
Miller, F. 1991. Biodegradationof Solid Wasteby Composting.In: Martin A.M. Biological degradation of wastes, 1-30p. London:Elsevier.
Nasahi H,Ceppy. 2010. Peran mikroba dalam pertanian organik. Jurusan hama dan penyakit tumbuhan. Fakultas Padjadjaran, Bandung.
Nogochi HK. 2001. Assesment of the allelopathic potential of Ageratum conyzoi- desvarhirtum(Lam). BiologiaPlantarum 44 (2): 309-311.
Nurisamunandar, A. 1999. Pengomposan limbah ampas sagu (Metroxylon sago
rottb ) dengan aktivator dan waktu pengomposan yang berbeda pengaruhnya terhadap pertumbuhan selada (Lactuta Sativa) serta aspek sosial ekononi-nya. Tesis Pascasarjana IPB. Bogor.
Nyasim MA, Niang, AAmadalo B, Obonyo E, Jama B. 1997. Using the wild sunflower Tithonia in Kenya for soil fertility and crop yield improvement.ICRAF. Nairobi, Kenya.
Oelke LM, Bosland PW, Steiner R. 2003. Differentitation of race spesific resis-tance to Phytophthora root rot and foliar blight in Capsicum annum. J Am Soc Hortic Sci 128:213-218.
Parra G, Ristaino G. 1998. Intensitivity to redomil gold (mefenoxam) found among field isolated Phytophthora capsici causing phytophthora blight on bell paperin North Carolina and New Jersey. Plant Dis (82):701-711.
Pramono A, Mulyono S, Anshori A. 2003.
PemanfaatanBahanOrganikdanMik-robia Tanah UntukMeningkatkanProduktivitasLahanSawahTadahHujan.Prosiding
Seminar NasionalPengelollanLingkunganPertanian.Surakarta 21 Oktober 2003.
Rajbanshi SS, , Sakamoto Endo H, Inubushi K. 1998. Stabilization of chemical and biochemical characteristics of grass straw and leaf mix during in vessel composting with and without seeding material. Soil Sci Plant Nutrition 44: 485-195.
Rawiniwati W. 1998.Peranbeberapa fungi selulotikpadalajupengomposanlim-bah tanamanpadajagung (Zea mays).TesisPascasarjanaInstitutPertanian Bogor. Reese ET, Siu RGH, Levinson HS. 1950. The biological degradation of soluble
cellulose and derivates and its relationship to the mechanism of celullosehydrolisis. J. bacterial 59: 485-497.
(2)
Rochaeni A, Deni R, Karunia HP. 2003. Pengaruhagitasiterhadap proses peng-omposan sampahorganik. Infomatek 5(4):177-186.
Rumawas F, Astono A, Aziz SA, Ririhena RE. 1996. Utilizing sago press cake as compost. In Proceeding of the 6th International Sago Symposium. Eds. Jose, C. and Rasyad, A. pp 165-169. Riau University, Pekan Baru, Indonesia. Sanchez-Monedero MA, Roig A, Paredes C, Bernal Mp. 2001. Nitrogen
Trans-formation during organic waste composting by the rutgers system and its effect on pH, EC and maturity of composting mixtures. Biores Technol78:301-308.
Saraswati R, Santosa E, Yuniarti E. 2006. Organisme perombak bahan organik
dalam Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D,
Hartatik W, 2006. Pupukorganikdanpupukhayati.BalaiBesarLitbangSumberdayaLahanPertania
n. BalaiPenelitiandanPengembanganPertanian Bogor.
Sharma VK, Canditelli M, Fortuna F, Carnacchi G. 1997. Processing of urban and agroindustrial residues by aerobic composting.Energy Concerns.Mgmt 38:453-478.
Sinaga, MS. 2003. Dasar-dasarIlmupenyakittumbuhan.PenebarSwadaya Jakar-ta. Soulie MC, Tronton D, Malfatti P, Bompeix G, Laval-Martin D. 1989. Post-
infectional change of lipid and photosynthesis in Lycopersicumesculentum Susceptible to PPhytophthora.capsici. Plant Sci 61: 169-178.
Stevenson FJ. 1994. Humus chemistry, genesis, composition, reaction. John Wil-ley& Sons. New York.
Summers MD, Blunk SL, Jenkins BM. 2003. How straw decomposes: implication for straw bale construction. DRAFT 12/8/2003.
Suriadikarta DA, Setyorini D. 2006. Baku mutu pupuk organik
dalamSimanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D,
Hartatik W, 2006. Pupukorganikdanpupukhayati.BalaiBesarLitbangSumberdayaLahanPertania
n. BalaiPenelitiandanPengembanganPertanian Bogor.
Sutedjo. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Syamsuddin. 2010.Perlakuanbenihuntukpengendalianpenyakitbusukphyto-phora, peningkatanhasildanmutubenihcabaimerah (Capsicum annuum). Disertasi PascasarjanaInstitutPertanian Bogor.
Syamsudin I. 2002.PengaruhekstrakkomposbokasidankonvensionalterhadappatogenCollet
otrichumcapsici (Syd) Butler &Bisbypenyebabpenyakitantraksosapadacabai [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama danPenyakit Tumbu-han, FakultasPertanian, IPB
(3)
53
Wiseman A. 1981. Tropics in enzyme and fermentation.Bio-technologyvol 4. Ellis Harwood Limited. John Willey and Sons. New York.
Yamaguchi I. 1996.Pesticides of microbial origin and application of moleculer biology. Crop protection agents from manure: natural products and analo-gues. The Royal Society Chemistry, London, United Kingdom: 27-49. Zang W, Dick WA, Hointik HAJ. 1996. compost-induceed system acquired
resistance in cucumber to Phytium root rot and antrachnose. Phytopathology 86 (9):1066-1070.
Zitter TA. 1989. Phytophthora blight of cucurbits, pepper, tomato, and egg plant. Departement of Plant Pathology, Cornell University Ithaca, New York. Fact Sheet Page: 736.20 Date 8-1989.
(4)
LAMPIRAN
Lampiran1.Hasilanalisisstatistik tinggitanamanumur 1,2,3 MST. Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variabel:Tinggitanaman1 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 5373.754a 13 413.366 1.173 .358
Intercept 9028.167 1 9028.167 25.628 .000
Perlkn 3926.170 11 356.925 1.013 .467
Blok 1447.584 2 723.792 2.055 .152
Error 7750.109 22 352.278
Total 22152.030 36
Corrected Total 13123.863 35
a. R Squared = ,409 (Adjusted R Squared = ,061)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variabel:Tingitanaman 2 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 59.327a 13 4.564 7.102 .000
Intercept 8664.507 1 8664.507 13484.554 .000
Perlkn 57.910 11 5.265 8.193 .000
Blok 1.417 2 .709 1.103 .350
Error 14.136 22 .643
Total 8737.970 36
Corrected Total 73.463 35
(5)
55
Dependent variabel:Tinggitanaman3 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 17337.137a 13 1333.626 .780 .673
Intercept 36055.680 1 36055.680 21.079 .000
Perlkn 15647.963 11 1422.542 .832 .612
Blok 1689.174 2 844.587 .494 .617
Error 37630.953 22 1710.498
Total 91023.770 36
Corrected Total 54968.090 35
a. R Squared = ,315 (Adjusted R Squared = -,089)
Lampiran 2. Hasil analisis statistik jumlah daun tanaman cabai umur 1,2,3 MST
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent variabel:Jumlahdaun1 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 12.374a 13 .952 5.186 .000
Intercept 1351.788 1 1351.788 7365.272 .000
perlkn 10.839 11 .985 5.369 .000
blok 1.536 2 .768 4.183 .029
Error 4.038 22 .184
Total 1368.200 36
Corrected Total 16.412 35
(6)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variabel: Jumlahdaun 2 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 51.611a 13 3.970 6.367 .000
Intercept 3083.951 1 3083.951 4945.912 .000
perlkn 49.276 11 4.480 7.184 .000
blok 2.336 2 1.168 1.873 .177
Error 13.718 22 .624
Total 3149.280 36
Corrected Total 65.329 35
a. R Squared = ,790 (Adjusted R Squared = ,666)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variabel:Jumlahdaun3 MST
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 124.038a 13 9.541 4.106 .002
Intercept 6001.084 1 6001.084 2582.739 .000
perlkn 119.929 11 10.903 4.692 .001
blok 4.109 2 2.054 .884 .427
Error 51.118 22 2.324
Total 6176.240 36
Corrected Total 175.156 35
a. R Squared = ,708 (Adjusted R Squared = ,536)
Lampiran3..Hasilanalisisstatistik Kejadianpenyakit (%)padatanamancabai.
Dependent Variable: Kejadianpenyakit
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 9169,444(a) 13 705,342 1,522 ,186
Intercept 52136,111 1 52136,111 112,512 ,000
kompos 6563,889 11 596,717 1,288 ,294
blok 2605,556 2 1302,778 2,811 ,082
Error 10194,444 22 463,384
Total 71500,000 36
Corrected Total 19363,889 35