Pilot plant scale production process of carageenan from Kappaphycus alvarezii seaweed and its potency mapping

(1)

PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT

DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DAN

PEMETAAN POTENSINYA

SITTI NURMIAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Sitti Nurmiah


(4)

(5)

RINGKASAN

SITTI NURMIAH. Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya dibawah bimbingan RIZAL SYARIEF, SUKARNO, ROSMAWATY PERANGINANGIN dan BUDI NURTAMA.

Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas

Rhodophyceae, yang lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Potensi pengembangannya di Indonesia cukup besar dan merupakan rumput laut penghasil karaginan. Karaginan merupakan senyawa polisakarida yang dapat terekstraksi dengan air atau alkali panas untuk membentuk gel. Dalam dunia perdagagangan produk ini diperoleh dalam bentuk karaginan semi murni (semi refined carrageenan)dan karaginan murni (refined carrageenan).

Parameter penting dalam proses ekstraksi karaginan secara komersial adalah konsentrasi pelarut, rasio rumput laut dengan pelarut, suhu dan waktu ekstraksi, akan mempengaruhi mutu karaginan yang dihasilkan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) memperoleh kondisi proses perlakuan alkali yang optimal dalam memproduksi alkali treated cottonii (ATC) pada skala laboratorium, (2) mendapatkan kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali dalam memproduksi refined carrageenan (RC) pada skala pilot plant, (3) memetakan potensi Kappaphycus alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant.

Penelitian ini dilakukan secara bertahap yang diawali dengan analisis proksimat rumput laut. Kemudian dilakukan optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium dengan kondisi proses: konsentrasi alkali (6-8%), suhu (70-80oC) dan waktu (1-2 jam). Tahap selanjutnya optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali pada pengolahan RC skala pilot plant. Pemilihan kondisi proses ekstraksi yaitu rasio rumput laut dan air (1:20-1:35), suhu (85-95oC), waktu (2-4 jam). Analisis mutu terhadap produk ATC dilakukan dengan uji rendemen dan kekuatan gel, sedangkan produk RC pengujian mutunya meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Metode analisis statistik yang digunakan adalah Program Design Expert 7.0® rancangan Response Surface Methodology Box-Behnken. Sebagai tahap akhir dari penelitian ini dilakukan pemetaan potensi K. alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant, dengan metode Principal Component Analysis (PCA).

Berdasarkan RSM Box-Behnken Design diketahui bahwa konsentrasi KOH, suhu dan waktu diamati merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai respon ATC. Hubungan antara variabel terhadap respon rendemen ATC dimodelkan Y = -0.7A + 6.59B – 1.79C – 0.045B2, sedangkan nilai kekuatan gel dimodelkan Y = 29030.24A + 1488.61B – 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02A2B. Nilai respon optimal ATC adalah 92.8%, dengan kondisi proses ekstraksi konsentrasi KOH 6%, suhu 78.67°C dengan waktu 1 jam. Pada kondisi


(6)

tersebut diperoleh ATC dengan rendemen 38.72% dan kekuatan gel 1105.31 g/cm2. Sedangkan kondisi proses optimum untuk memproduksi RC pada skala pilot plant adalah pada kondisi proses dengan rasio rumput laut dengan air adalah 1:25.22, suhu 85.80 °C, selama 4 jam. Pada kondisi tersebut diperoleh produk RC dengan rendemen 31.74%, kadar air 10.69%, kadar abu 30.52%, kadar abu tak larut asam 0.21%, kadar sulfat 17.12%, kekuatan gel 1833.37 g/cm2, viskositas 27.00 cP dan derajat putih 74.8.

Selanjutnya teknologi proses yang dihasilkan dalam proses produksi karaginan, dijadikan acuan dalam memetakan wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Berdasarkan pemetaan dengan metode Principal Component Analysis, diketahui bahwa terdapat 19 kabupaten yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Kabupaten-kabupaten tersebut dipetakan dalam empat kelompok berdasarkan kemiripan karakteristik potensi daya dukung masing-masing kabupaten. Kelompok pertama terdiri atas 14 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung Balai Latihan Kerja, sarana pendidikan, lembaga perbankan, industri olahan rumput laut, kerjasama dengan industri olahan rumput laut, SPBU, bandara, pelabuhan, dan jamsostek/jamkesmas. Kelompok kedua terdiri atas 19 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung institusi terkait, puskesmas, telekomunikasi dan sarana jalan. Kelompok ketiga terdiri atas 22 kabupaten yang dicirikan dengan daya dukung luas lahan, lahan yang termanfaatkan, produksi rumput laut kering, jumlah penduduk dan sarana listrik, dan kelompok keempat terdiri atas 36 kabupaten yang dicirikan dengan potensi daya dukung rumah tangga perikanan, angkatan kerja, sarana air dan pasar.

Kata kunci: alkali treated cottonii, ekstraksi, optimasi, pilot plant, principal component analysis, refined carrageenan, response surface methodology.


(7)

SUMMARY

SITTI NURMIAH. Pilot plant scale production process of carageenan from

Kappaphycus alvarezii seaweed and its potency mapping. Supervised by RIZAL SYARIEF, SUKARNO, ROSMAWATY PERANGINANGIN and BUDI NURTAMA.

Kappaphycus alvarezii is one of the seaweeds from Rhodophyceae class, better known as Eucheuma cottonii. Its potential development in Indonesia is quite large and it is a producer of carrageenan. Carrageenan is a polysaccharide compound that can be extracted with water or high temperature alkali to form a gel. Commercially, this product is obtained in semi refined carrageenan and refined carrageenan forms.

Important parameters in commercial process of carrageenan extraction that will affect the quality of the resulted carrageenan are the concentration of solvent, the ratio of seaweed to solvent, temperature and extraction time.

The objectives of this research were: (1) to obtain the optimal alkali treatment process condition to produce alkali treated cottonii (ATC) at laboratory scale, (2) to obtain an extraction process condition using water after alkali treatment to produce refined carrageenan (RC) at pilot plant scale (3) to map the potency of Kappaphycus alvarezii in order to develop the production process of carageenan at pilot plant scale.

This research was conducted in several steps. First, the proximate content of the seaweed was analysed. Afterwards, the optimation process in ATC processing was conducted, under these conditions; alkali concentration (6-8%), temperature (70-80oC) and time (1-2 hours). Further step was the optimation of extraction process using water after alkali treatment in RC processing at pilot plant scale. The extraction process selected were the ratio between material (seaweed) and solvent (water) (1:20-1:35), temperature (85-95 oC), and time (2-4 hours). The quality parameters of ATC products were analysed using yield test and gel strength, whereas for RC products, the quality parameters were analysed with yield, water content, ash content, acid-insoluble ash content, sulphate content, gel strength, viscosity and whiteness. Statistical method used was DX 7.0 RSM Box-Behnken. As the final step of this research, a mapping of K. alvarezii potency was conducted to develop pilot plant scale production process of carageenan using the Principal Component Analysis method.

Based on RSM Box-Behnken Design, it was known that the concentration of KOH, temperature and time, were significantly influenced the ATC response value. The relationship between variables and ATC yield response can be expressed by Y = -0.97A + 6.59B – 1.79C – 0.05B2 equation, while gel strength can be expressed by Y = 29030.24A + 1488.61B – 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02A2B equation. The optimal response of ATC was 92.8%, with process conditions of 6% KOH, temperature at 78.67°C and 1 hour duration. At these conditions, RC yield and gel strength obtained were 38.72% and 1105.31 g/cm2, respectively. The optimum process conditions to


(8)

produce RC in pilot plant scale were at seaweed and water ratio of 1:25.22, 85.80°C, and 4 hours. At these conditions, the RC yield was 31.74%, the moisture content was 10.69%, the ash content was 30.52%, the acid insoluble content was 0.21%, the sulphate content was 17.12%, the gel strength was 1833.37 g/cm2, the viscosity was 27 cP and the whiteness was 74.8.

Further, process technology of carrageenan production was used as a reference in mapping the potential area in developing carrageenan production process at pilot plant scale. Based on the mapping of the Principal Component Analysis method, it was known 19 districts have the potential to develop carrageenan production process at pilot plant scale. The Districts were mapped into four groups based on similarity of characteristics of potential carrying capacities of each district. The first group consisted of 14 districts were characterized by the carrying capacities of training centers, educational facilities, banking institutions, seaweed processing industry, cooperation with seaweed processing industry, gas stations, airports, ports, and social security. The second group consisted of 19 districts were characterized by the carrying capacities of the relevant institutions, health centers, telecommunications and roads. The third group consists of 22 districts were characterized by the carrying capacities of the land area, land utilized, dried seaweed production, population and electrical, and the fourth group consisted of 36 districts were characterized by the potential carrying capacities of fishing households, labor force, water and the markets.

Key words: alkali treated cottonii, extraction, optimization, pilot plant, principal component analysis, refined carrageenan, response surface methodology.


(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT

DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DAN

PEMETAAN POTENSINYA

SITTI NURMIAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Singgih Wibowo, MS Dr Ir Yadi Haryadi, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Bagus Sediadi Bandol Utomo, MAppSc Dr Nugraha Edi Suyatma, STP DEA


(13)

NIM F261080111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sukamo, MSc Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS

Anggota Anggota

Budi Nurtama MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pangan


(14)

Disertasi : Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Pemetaan Potensinya.

Nama : Sitti Nurmiah

NIM : F261080111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS Ketua

Dr Ir Sukarno, MSc Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS Anggota Anggota

Dr Ir Budi Nurtama, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pangan

Dr Ir Ratih Dewanti Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(15)

(16)

PRAKATA

Alhamdulillahi Robbil Aalamiin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi yang berjudul “Proses Produksi Karaginan Skala Pilot Plant dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii

dan Pemetaan Potensinya” dapat diselesaikan.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr Ir Sukarno, MSc, Ibu Prof (R) Dr Ir Rosmawaty Peranginangin, MS dan Bapak Dr Ir Budi Nurtama, MAgr sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian, penelitian sampai penulisan disertasi ini.

2. Bapak Dr Ir Singgih Wibowo, MS dan Bapak Dr Ir Yadi Haryadi, MSc yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Bapak Dr Bagus Sediadi Bandol Utomo, MAppSc dan Dr Nugraha Edi Suyatma, STP DEA yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga untuk menyempurnakan disertasi ini.

3. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep yang telah mengijinkan penulis serta mendorong untuk segera menyelesaikan studi program Doktor di IPB. 4. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas dukungan beasiswa

BPPS periode tahun 2008-2011.

5. Prof Dr Hari Eko Irianto sebagai Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta, yang telah memberikan izin, bantuan sarana dan prasarana selama penelitian.

6. Kepala dan Staf laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta: Bu Ellya, Bu Ida, Pak Indra, Bu Ema, Bu Yanti, Fateha, Pak Taufik, Pak Said, Bu Helena, Ruri, Sepri, Bu Nani, Pak Hadi, Pak Darwin, dan seluruh staf laboratorium yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasama dan rasa kekeluargaannya selama penelitian.

7. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan dan institusi yang terkait yang telah memberi bantuan dalam pelayanan penyediaan data sekunder kepada penulis selama penelitian.

8. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah di IPB.

9. Rekan-rekan tercinta mahasiswa Program Doktor Ilmu Pangan Angkatan 2008, atas kebersamaan dan dukungan yang penuh semangat yang telah


(17)

diberikan selama ini. Selain itu teman-teman mahasiswa program Magister dan Program Doktor Ilmu Pangan Angkatan 2006, 2007, 2009, dan 2010 yang selalu memberikan semangat dan berbagi pengalaman dalam penyelesaian pendidikan ini.

10. Ayahanda tercinta H. Abdul Rauf (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Hafsah yang telah membesarkan dan mendidik dengan penuh kasih sayang, semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan kekhilafan mereka.

11. Kakak Baharuddin sekeluarga, Hj Nurhaedah sekeluarga, Muhammad Yunus (Alm), Hj Masdiana sekeluarga, Hj St. Arafah sekeluarga, Adik Wahidah Rauf, Jumiati sekeluarga, Hj Rosmawati sekeluarga dan seluruh Keluarga besar La Sennung yang telah dengan sabar memberikan doa, dukungan moril dan materil, serta semangat selama menjalani pendidikan dan penelitian. 12. Suamiku tercinta La Paturusi La Sennung dan anakku tercinta Aqeela Nuha

Rania, atas dukungan moril maupun materil, kesabaran serta doa dan kasih sayang yang tulus, yang merupakan sumber kekuatan bagi penulis.

Akhirnya ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, semangat dan dukungannya pada penulis selama menjalani studi, penelitian hingga selesainya disertasi ini. Semoga ALLAH SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, memberikan rahmat dan hidayah-Nya untuk kita semua, Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2013


(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Hipotesis 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kappaphycus alvarezii 7

Karaginan dan Sumber Rumput Laut Penghasil Karaginan di Indonesia 8

Struktur dan Komposisi Karaginan 8

Ekstraksi Karaginan 11

Karakteristik Karaginan 11

Standar Mutu Karaginan 14

Produksi Refined Carrageenan 15

Peningkatan Skala 16

Mixture Experiment (ME) 18

Principal Component Analysis (PCA) 19

3 METODE UMUM

Tempat dan Waktu 21

Bahan dan Alat 21

Pelaksanaan Penelitian 21

4 APLIKASI RESPONSE SURFACE METHODOLOGY PADA OPTIMALISASI KONDISI PROSES PENGOLAHAN ALKALI TREATED COTTONII

Abstract 25

Pendahuluan 25

Bahan dan Metode 26

Hasil dan Pembahasan 31

Simpulan 48

5 PRODUKSI REFINED CARRAGEENAN DARI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii PADA SKALA PILOT PLANT: (Optimasi Kondisi Proses Ekstraksi dengan Air Setelah Perlakuan Alkali)

Abstract 49

Pendahuluan 49

Bahan dan Metode 50

Hasil dan Pembahasan 59


(19)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

6 PEMETAAN POTENSI RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PROSES PRODUKSI KARAGINAN SKALA PILOT PLANT

Abstract 103

Pendahuluan 103

Metode Penelitian 104

Hasil dan Pembahasan 105

Simpulan 118

7 PEMBAHASAN UMUM 119

6 KESIMPULAN UMUM 123

DAFTAR PUSTAKA 125

LAMPIRAN 133


(20)

DAFTAR TABEL

2.1 Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut 12 2.2 Daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap perubahan pH 13

2.3 Karakteristik gel kappa, iota, dan lambda karaginan 14

2.4 Spesifikasi mutu karaginan 15

4.1 Hasil analisis rumput laut dan syarat mutu rumput laut yang dipersyarat

kan sesuai Standar Nasional Indonesia 32

4.2 Hasil uji rendemen dan kekuatan gel ATC berdasarkan kondisi proses 34

4.3 Rancangan formula dari Program Design Expert 7.0® 35

4.4 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh

formula kondisi proses pengolahan ATC 36

4.5 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas, dan importance

pada tahapan optimasi formula 45

4.6 Prediksi dari hasil verifikasi nilai respon solusi formula optimum hasil

optimasi dengan Program Design Expert 7.0® 47

5.1 Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel ATC pada kondisi proses

yang berbeda 61

5.2 Hasil analisis rendemen dan kekuatan gel RC perlakuan trial and error

pada kondisi proses yang berbeda 63

5.3 Kisaran kondisi proses ekstraksi refined carrageenan 64 5.4 Rancangan formula dari Program Design Expert 7.0® rancangan RSM

Box Behnken 65

5.5 Hasil keseluruhan pengukuran dan perhitungan respon total seluruh

formula proses ekstraksi RC 66

5.6 Hasil uji respon rendemen pada 17 formula proses ekstraksi RC 68 5.7 Hasil uji respon kadar air pada 17 formula proses ekstraksi RC 72 5.8 Hasil uji respon kadar abu pada 17 formula proses ekstraksi RC 76 5.9 Hasil uji respon kadar abu tak larut asam pada 17 formula proses

ekstraksi RC 79

5.10 Hasil uji respon kadar sulfat pada 17 formula proses ekstraksi RC 82 5.11 Hasil uji respon kekuatan gel pada 17 formula proses ekstraksi RC 86 5.12 Hasil uji respon viskositas pada 17 formula pada proses ekstraksi RC 90 5.13 Hasil uji respon derajat putih pada 17 formula proses ekstraksi RC 94 5.14 Komponen dan respon yang dioptimasi, target, batas dan importance

pada tahapan optimasi formula 97

5.15 Perbandingan prediksi dan nilai respon aktual hasil verifikasi solusi

formula optimum dengan Program Design Expert 7.0® 99 5.16 Perbandingan mutu sampel produk dengan produk komersial “RC” 100

6.1 Jenis dan sumber data yang dikumpulkan 105

6.2 Obyek penelitian berdasarkan kabupaten yang produksi rumput laut

kering jenis K. alvarezii lebih dari 100 ton/tahun 106 6.3 Faktor-faktor pendukung pemetaan potensi K. alvarezii 108


(21)

DAFTAR TABEL (Lanjutan)

6.4 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya

dukung pada kuadran (kelompok) I 113

6.5 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya

dukung pada kuadran (kelompok) II 114

6.6 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik pada

kuadran (kelompok) III 114

6.7 Pengelompokan wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik daya

dukung pada kuadran (kelompok) IV 115

6.8 Sentra produksi budidaya rumput laut menurut kabupaten/kota utama 116

6.9 Lokasi industrialisasi rumput laut 117

7.1 Perbandingan kualitas Eucheuma cottonii Filipina dan Indonesia 120

7.2 Spesifikasi mutu karaginan 121

DAFTAR GAMBAR

2.1 Rumput laut Kappaphycus alvarezii a) Karimun Jawa, b) Madura,

(c) Maumere dan (d) Sulawesi Selatan 7

2.2 Spesies rumput laut penghasil karaginan 8

2.3 Struktur kimia kappa karaginan 9

2.4 Struktur kimia iota karaginan 9

2.5 Struktur kimia lambda karaginan 10

2.6 Unit-unit ulangan karaginan 10

2.7 Reaksi pada tahap perlakuan dengan alkali 11

2.8 Mekanisme pembentukan gel pada karaginan 14

2.9 Kriteria utama peningkatan skala 17

3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian 23

4.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala laboratorium 28 4.2 Optimasi proses pengolahan alkali treated cottonii skala laboratorium 29 4.3 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon rendemen 39

4.4 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen 40

4.5 Grafik tiga dimensi hasil uji respon rendemen 40

4.6 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kekuatan gel 43

4.7 Grafik contour plot hasil uji respon kekuatan gel 44

4.8 Grafik tiga dimensi hasil uji kekuatan gel 44

4.9 Grafik contour plot nilai desirability kondisi proses optimum 46 4.10 Grafik tiga dimensi nilai desirability kondisi proses optimum 47 5.1 Aliran proses pengolahan alkali treated cottonii skala pilot plant 52 5.2 Aliran proses pengolahan refined carrageenan skala pilot plant 54 5.3 Optimasi proses produksi refined carrageenan skala pilot plant 56 5.4 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon rendemen 70

5.5 Grafik contour plot hasil uji respon rendemen 71


(22)

5.7 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar air 74

5.8 Grafik contour plot hasil uji respon kadar air 74

5.9 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar air 75

DAFTAR GAMBAR (Lanjutan)

5.10 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar abu 77

5.11 Grafik contour plot hasil uji respon kadar abu 77

5.12 Grafik tiga dimensi hasil uji respon kadar abu 78

5.13 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar abu

tak larut asam 80

5.14 Grafik contour plot respon kadar abu tak larut asam 80

5.15 Grafik tiga dimensi respon kadar abu tak larut asam 81

5.16 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kadar sulfat 84

5.17 Grafik contour plot respon kadar sulfat 84

5.18 Grafik tiga dimensi respon kadar sulfat 85

5.19 Grafik kenormalan internally stundentized residual respon kekuatan gel 88

5.20 Grafik contour plot respon kekuatan gel 89

5.21 Grafik tiga dimensi respon kekuatan gel 89

5.22 Grafik kenormalan internally stundentized residual viskositas 92

5.23 Grafik contour plot respon viskositas 93

5.24 Grafik tiga dimensi respon viskositas 93

5.25 Grafik kenormalan internally stundentized residual derajat putih 95

5.26 Grafik contour plot respon derajat putih 95

5.27 Grafik tiga dimensi respon derajat putih 96

5.28 Grafik contour plot nilai desirability formula optimum 98

5.29 Grafik tiga dimensi nilai desirability formula optimum 98

6.1 Scree plot (eigenvalue) 111

6.2 Score plot dari hubungan antar variabel dengan F1 dan F2 111

6.3 Biplot F1 dan F2 hasil analisis utama atribut kabupaten yang berpotensi

mengembangkan proses produksi karaginan 112

DAFTAR LAMPIRAN


(23)

(24)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan hasil perikanan dan dijadikan komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna. Pengembangan budidaya dan industri rumput laut mempunyai peran strategis bagi perekonomian Indonesia, antara lain peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut, teknologi pembudidayaannya sederhana, siklus pembudidayaannya relatif singkat, kebutuhan modal relatif kecil, dan merupakan komoditas yang tak tergantikan serta usaha pembudidayaannya yang padat karya.

Berdasarkan data FAO (2008), sejak tahun 2008 Indonesia merupakan salah satu produsen utama rumput laut, dengan volume ekspor hingga 95 588 ton dan meningkat menjadi 123 075 ton pada tahun 2010 (KEMENDAG 2012). Produksi yang sedemikian besarnya didominasi rumput laut jenis Eucheuma cottonii yang diketahui sebagai rumput laut penghasil karaginan. Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi

Kappphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii (Doty 1987).

Karaginan secara komersial, dapat diperoleh dalam bentuk karaginan semi murni (semi-refined carrageenan) dan karaginan murni (refined carrageenan). Karaginan semi murni merupakan produk setengah jadi yang dapat diproses lebih lanjut menjadi karaginan murni. Beberapa istilah karaginan semi murni, di antaranya alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte. Selain itu adapula istilah alkali treated cottonii yang merupakan produk karaginan semi murni yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (Mc Hugh 2003).

Sejak dicanangkannya rumput laut dalam program revitalisasi, hingga saat ini pemerintah berupaya mengembangkan industri hilir rumput laut melalui pengembangan industri yang bernilai tambah yaitu alkali treated cottonii (ATC) dan refined carrageenan (RC). Upaya tersebut dalam rangka mengurangi devisa negara, dan memfasilitasi masyarakat rumput laut yang umumnya hidup di wilayah pesisir. Namun upaya ini masih perlu ditingkatkan terkait dengan tingginya kebutuhan Indonesia akan karaginan, yang tercermin dari besarnya volume impor yang mencapai 1 320 818 ton pada tahun 2011.

ATC merupakan karaginan semi murni hasil olahan rumput laut jenis

Eucheuma cottonii yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan karaginan murni (Mc Hugh 2003). Selain itu, proses lebih lanjutnya dapat digunakan sebagai bahan pembentuk gel, penstabil dan pengatur keseimbangan dalam berbagai industri baik pangan maupun non pangan.

Kajian yang terkait dengan pengolahan ATC telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005) dengan berbagai konsentrasi KOH dengan waktu pemasakan 2 jam pada suhu 70-80 oC, dan rendemen yang dihasilkan 29.3% dengan kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2, Santoso et al. (2007) melakukan karakteristik ATC pada berbagai umur panen, dan umur panen 40, 45, 50 dan 55 hari merupakan umur panen yang menghasilkan ATC dengan rendemen yang tinggi dan viskositas yang


(25)

rendah; Mehta et al. (2008) preparasi SRC dengan pelarut KOH 8%, dengan kondisi optimum proses ekstraksi (suhu 78-82 oC, waktu 2-3 jam). Mustapha et al. (2011), mengekstraksi SRC dengan variasi suhu, jenis dan konsentrasi pelarut yang berbeda, dan menghasilkan kondisi optimum dengan pelarut KOH pada konsentrasi 1.0 M pada suhu 80 oC dengan waktu 1 jam. Meskipun pengolahan ATC telah berhasil dilakukan namun kondisi optimum pengolahannya belum diketahui.

Tahapan yang paling penting pada proses pengolahan ATC secara komersial adalah perlakuan alkali. Kondisi proses perlakuan alkali yang bervariasi dalam menghasilkan ATC, menjadi pertimbangan dalam penentuan kuantitas dan kualitasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi proses pengolahan ATC agar dapat dihasilkan kondisi proses yang optimum dalam menghasilkan produk ATC dengan respon yang optimal (rendemen dan kekuatan gel). Kondisi proses yang optimal ini dapat dijadikan data dasar untuk perlakuan alkali dalam proses ekstraksi RC skala pilot plant.

RC adalah karaginan murni hasil ekstraksi dari rumput laut atau alga merah yang telah mengalami proses pemurnian. Parameter penting dalam proses pengolahan RC secara komersial setelah perlakuan alkali adalah rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi. Penggunaan jumlah air yang tidak proporsional dalam proses ekstraksi akan bermasalah dalam proses penarikan polisakarida serta mutu produk yang dihasilkan (Rees 1969; Basmal et al. 2005). Demikian pula temperatur dan waktu proses bergabungnya seluruh fraksi karaginan dari rumput laut dengan fraksi air yang digunakan sebagai media pelarut akan mempengaruhi kecepatan dan daya larut karaginan.

Penelitian yang berkaitan dengan proses ekstraksi RC dari rumput laut

K.alvarezii dan karakteristik karaginan yang dihasilkan, telah dilakukan di antaranya: Suryaningrum et al. (2003), yang mengekstraksi karaginan dengan perlakuan konsentrasi KOH, melaporkan bahwa karakteristik karaginan yang dihasilkan dengan konsentrasi KOH 8% lebih mendekati standar karaginan yang dikeluarkan oleh FAO dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi KOH 6%. Namun karaginan dengan perlakuan KOH 6% menghasilkan rendemen dan kekentalan yang lebih baik jika diekstraksi dengan volume larutan pengekstrak 50-60 kali. Karakteristik karaginan yang diperoleh dari penelitian ini adalah rendemen 57.04% dan kekuatan gel 550 g/cm2; Basmal et al. (2003), mengekstraksi karaginan dengan perlakuan pemasakan rumput laut pada konsentrasi KOH 12% dengan rasio rumput laut dan volume larutan KOH 1:8, menghasilkan karaginan dengan karakteristik kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2, kekentalan 15.0 cP, kadar sulfat 18.1%, kadar abu tak larut asam 0.1%, kadar abu 14.1%, kadar air 9.4% dan rendemen 29.3%; Bawa et al. (2007), mengekstraksi karaginan dengan NaOH pada kondisi pH yang berbeda (7.5-9.0), suhu 80 °C selama 1.5 jam, perolehan rendemen hasil isolasi karaginan yang terbesar didapat pada perlakuan pH 8.5 sebesar 34.65%.; Refilda et al. (2009), menghasilkan karaginan dengan rendemen 64.31%, dari kondisi proses ukuran partikel 425 µm, pH larutan NaOH 8.5, suhu ekstraksi 95 °C dengan lama ekstraksi 18 jam; Distantina et al. (2009), ekstraksi karaginan kertas dengan perlakuan NaOH dan KOH pada suhu 90 °C selama 30 menit, rasio rumput laut dengan air 1:30, presipitasi dengan alkohol 70-90% selama 15-35 menit dan rasio koagulan : filtrat (1:3). Kondisi proses ini dilaporkan bahwa larutan KOH menghasilkan karaginan


(26)

dengan sifat yang lebih unggul dibandingkan NaOH, dengan karakteristik rendemen 37.02-44.43%; kekuatan gel 69.8-127.3 g/cm2 dihasilkan dari kondisi proses presipitasi dengan koagulan etanol 90%, rasio koagulan : filtrat = 2:5, waktu presipitasi sekitar 30 menit.

Namun kajian-kajian tersebut pada umumnya masih terbatas pada skala laboratorium, demikian pula kuantitas dan kualitas RC yang dihasilkan berbeda-beda, sehingga aplikasinya di lapangan dalam bentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) tidak dapat langsung diadopsi. Pengembangan kajian selanjutnya lebih diarahkan pada kegiatan uji coba pada skala pilot plant. Pengolahan RC pada skala pilot plant merupakan kunci penghubung pengolahan RC dari skala laboratorium menuju skala industri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kombinasi kondisi proses rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi merupakan bagian dari kondisi proses yang perlu dikontrol, sehingga nantinya dapat diperoleh kondisi optimum pengolahan RC dengan skala pilot plant.

Penelitian tentang penentuan kondisi proses optimum dalam proses pengolahan ATC pada skala laboratorium dan dilanjutkan dengan penentuan kondisi proses optimum pada proses ekstraksi RC pada skala pilot plant dengan menggunakan Program Design Expert 7.0® Response Surface Methodology Box-Behnken Design, hingga saat ini belum pernah dilakukan. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang kondisi proses yang optimum pengolahan ATC pada skala laboratorium dan proses ekstraksi RC pada skala pilot plant.

Dalam rangka menunjang program pemerintah dalam pengembangan industrialisasi rumput laut di hilir, maka teknologi sederhana dalam memproduksi karaginan yang telah dihasilkan dapat dijadikan acuan untuk diterapkan dan dikembangkan pada skala UKM, dengan harapan dapat menghasilkan karaginan dengan kualitas yang dapat memenuhi standar yang telah dipersyaratkan untuk karaginan.

Namun demikian pengembangan suatu industri, tidak hanya terkait dari segi teknologi tetapi juga terkait langsung dengan ketersediaan bahan baku, sebagai salah satu faktor penentu, yang harus tersedia secara kontinyu baik kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu untuk menunjang pengembangan tersebut, diawali dengan mengetahui sentra-sentra produksi rumput laut K. alvarezii, yang diaktualisasikan dalam bentuk pemetaan. Agar pengembangan industri karaginan yang berskala UKM dijamin keberlanjutannya dalam berproduksi. Dalam hal ini ketersediaan bahan baku bukan jadi penghalang suatu UKM tidak berproduksi.

Pemetaan potensi K. alvarezii dalam rangka pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant dilakukan dengan menggunakan Program XLSTAT 2013 dengan metode Principal Component Analysis (PCA).

Optimasi kondisi proses produksi karaginan skala pilot plant dengan RSM

Box-Behnken Design, dan pemetaan potensinya dengan PCA belum pernah dilakukan. Agar teknologi proses yang telah dihasilkan dalam proses produksi karaginan skala pilot plant dapat diterapkan pada wilayah-wilayah yang berpotensi dalam mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant, maka perlu dilakukan kajian proses produksi karaginan skala pilot plant dan pemetaan potensinya yang meliputi optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium, optimasi kondisi proses ekstraksi karaginan skala pilot


(27)

plant dan pemetaan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi RC skala pilot plant.

Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian adalah mengoptimasi proses produksi karaginan skala pilot plant dan memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Agar tujuan penelitian dapat tercapai, maka penelitian ini dibagi dalam tiga tahapan dengan tiga tujuan khusus yaitu:

 Memperoleh kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang optimum dalam memproduksi ATC pada skala laboratorium dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken, dan mengetahui pengaruh kondisi proses terhadap rendemen dan kekuatan gel ATC yang dihasilkan, untuk dijadikan data dasar dalam memproduksi RC pada skala pilot plant.

 Memperoleh kondisi proses ekstraksi (rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi) yang optimal dalam memproduksi refined carrageenan pada skala pilot plant dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken.

 Memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant dengan metode Principal Component Analysis.

Hipotesis

 Kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang berbeda diduga berpengaruh nyata terhadap perolehan kuantitas dan kualitas ATC yang dihasilkan, dan optimasi kondisi proses perlakuan alkali dalam memproduksi ATC dapat ditentukan dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM

Box-Behnken.

 Kondisi proses (rasio rumput laut dengan air, suhu dan waktu ekstraksi) yang berbeda diduga berpengaruh nyata terhadap perolehan kualitas dan kuantitas RC yang dihasilkan dan kondisi proses yang optimal dalam memproduksi RC skala pilot plant dapat ditentukan dengan Program Design Expert 7.0®

rancangan RSM Box-Behnken.

 Wilayah-wilayah yang berpotensi untuk mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant dapat dipetakan dengan metode Principal Component Analysis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat yaitu :  Diperolehnya informasi mengenai optimasi proses produksi ATC dan RC yang

efektif.

 Memberikan informasi bagi pengusaha rumput laut untuk meningkatkan usahanya supaya lebih efisien.


(28)

 Memberikan rekomendasi wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup optimasi kondisi proses pengolahan ATC pada skala laboratorium untuk menghasilkan data dasar perlakuan alkali yang dibutuhkan dalam proses produksi refined carrageenan

skala pilot plant. Optimasi kondisi proses dalam memproduksi ATC dilakukan dengan Program Design Expert 7.0® rancangan RSM Box-Behnken terhadap kondisi proses perlakuan alkali dengan konsentrasi KOH, suhu dan waktu. Kajian karakteristik ATC mencakup pengujian rendemen dan kekuatan gel. Berdasarkan data dasar yang diperoleh dari penelitian ini, dilakukan proses produksi RC pada skala pilot plant dengan optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali. Optimasi kondisi proses esktraksi dengan air dilakukan dengan

tools yang sama pada proses ekstraksi dalam memproduksi ATC dengan kondisi proses rasio rumput laut terhadap air, suhu dan waktu ekstraksi. Kajian karakteristik RC mencakup pengujian rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih. Hasil dari penelitian ini dijadikan acuan dalam memetakan potensi rumput laut K.alvarezii

dalam rangka aplikasi proses produksi RC skala pilot plant pada beberapa wilayah di Indonesia.


(29)

(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kappaphycus alvarezii

Menurut Doty (1987), Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii. Perubahan nama E. cottoni menjadi K. alvarezii didasarkan tipe kandungan karaginan yang dihasilkan yaitu kappa karaginan, maka jenis ini secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii.

Klasifikasi K. alvarezii menurut Doty (1987) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieracea

Genus : Eucheuma

Species : Eucheuma alvarezii Doty atau Kappaphycus alvarezii Doty.

K. alvarezii mempunyai ciri fisik seperti berthallus silindris, cartilogeneus

(lunak seperti tulang rawan), permukaan licin. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama ke luar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja

et al. 1996). Warnanya pun demikian tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan (Gambar 2.1). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan 1998).

Gambar 2.1 Rumput laut K. alvarezii: a) Karimun Jawa, b) Madura, c) Maumere, dan d) Sulawesi Selatan

a

d

c


(31)

Karaginan dan Sumber Rumput Laut Penghasil Karaginan di Indonesia

Rumput laut di Indonesia, umumnya hasil budidaya yang banyak dikembangkan di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Maluku (Poncomulyo et al. 2006). Namun jenis rumput laut yang berhasil dibudidayakan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi adalah K.alvarezii karena merupakan penghasil karaginan yang banyak digunakan sebagai bahan baku dan tambahan untuk industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi, cat, tekstil dan lain sebagainya (Suryaningrum 2008).

Struktur dan Komposisi Karaginan

Karaginan merupakan salah satu metabolit primer yang dihasilkan rumput laut kelas Rhodophyceae. Beberapa spesies rumput laut penghasil karaginan berdasarkan sistematikanya disajikan pada Gambar 2.2.

Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies

Carrageenophytes

Gambar 2.2 Spesies rumput laut penghasil karaginan (Van de Velde 2008) Phyllophoracea Hypnea Furcellariaceae H. musciformis H. spinella E. denticulum E. isiforme C. crispus C. ocellatus K. alvarezii K. striatum Eucheuma I. cordata I. undulosa S. crispata S. radula Kappaphycus Chondrus Solieariaceae Gigartinacea Gigartinales Florideophycidae Rhodophyceae (Red algae) B. gelatinum G. pistillata G. skotsbergii C. teedel C. acicularis C. charmissol C. canaliculatus M. stellatus M. papillatus A. devoniens is G. crenulatu s Gymnogongrus Ahnfeltiopsis Mastocarpus Sarcothalia Chondracanthus Gigartina Iridaea Betaphycus Hypnaceae Petrocelidacea


(32)

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester, kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa (Winarno 1996). Karaginan merupakan polisakarida berantai linear dengan berat molekul di atas 100 kDa. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan

dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4).

Glicksman (1983) mengelompokkan karaginan berdasarkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan jumlah serta posisi dari gugus ester sulfatnya. Berdasarkan cara pengelompokan tersebut, karaginan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu kappa, iota dan lambda karaginan. Kappa karaginan dihasilkan dari rumput laut K. alvarezii, sedangkan iota karaginan dihasilkan dari rumput laut E. spinosum. Kedua jenis rumput laut tersebut memiliki harga, sifat fungsional, kegunaan dan cara ekstraksi yang berbeda.

Kappa Karaginan

Kappa karaginan merupakan polimer linier yang disusun oleh residu D-galaktosa-4-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu 3,6

-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan β pada posisi 1,4. Adanya gugus 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugus 6-sulfat, yang menghasilkan 3,6 anhydro-D-galaktosa, dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996).

D-galaktosa-4-sulphat 3,6-anhidro-D-galaktosa Gambar 2.3 Struktur kimia kappa karaginan (Bubnis 2000)

Iota Karaginan

Struktur iota karaginan hampir sama dengan struktur kappa karaginan perbedaannya hanya pada kandungan sulfatnya. Pada i-karaginan terdapat gugus sulfat pada posisi C-2 residu 3,6-anhidro-D-galaktosa. Adanya gugus sulfat tambahan tersebut menyebabkan sifat gel kappa dan iota karaginan berbeda. Menurut Winarno (1996), i-karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan gugusan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D-galaktosa.

D-galaktosa-4-sulphat 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat Gambar 2.4 Struktur kimia iota karaginan (Bubnis 2000).


(33)

Lambda Karaginan

Lambda karaginan disusun oleh residu D-galaktosa-2-sulfat dengan ikatan α pada posisi 1,3 dan residu D-galaktosa-2,6-disulfat dengan ikatan β pada posisi 1,4. Beberapa satuan lambda karaginan kadang-kadang tidak mengandung gugus sulfat atau sebagai 3,6-anhydro-D-galaktosa.

D-galaktosa-2-sulphat D-galactosa-2,6 disulfat Gambar 2.5 Struktur kimia lambda karaginan (Bubnis 2000).

Campo et al. (2009), mengelompokkan karaginan berdasarkan strukturnya,

menjadi enam jenis yaitu kappa (k), iota (i),), lambda ( ), Mu ( ), Nu ( ), dan theta (τ) karaginan. Keenam jenis karaginan tersebut mempunyai sifat kimia dan fisika yang berbeda, tergantung jumlah dan letak gugus sulfatnya yang bervariasi. Di samping itu, adanya gugus sulfat yang terikat pada atom C-6 unit D-galaktosa ikatan 1,4 yang dapat dikonversi secara enzimatis di dalam tanaman maupun secara kimia membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa.

Gambar 2.6 Unit-unit ulangan karaginan (Imeson 2000; Campo et al. 2009)

dan v-karaginan merupakan prekursor dari kappa dan iota karaginan,

sedangkan τ-karaginan adalah prekursor dari lambda karaginan. Perbedaan fraksi satu sama lain didasarkan pada jumlah 3,6 anhidro-D-galaktosa yang terkandung serta posisi dari gugus ester sulfat. Selain itu Doty (1987) membedakan kappa dan iota karaginan didasarkan pada kandungan sulfatnya. Kappa karaginan mengandung sulfat < 28% sedangkan iota karaginan > 30%.


(34)

Ekstraksi Karaginan

Rahman (2009), ekstraksi karaginan merupakan proses pelepasan karaginan melalui proses pemanasan pada medium air. Waktu kontak yang lama dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, menyebabkan jumlah karaginan yang terlepas dari dalam dinding sel semakin tinggi.

Minghou (2010) ekstraksi karaginan dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut alkali. Fungsi alkali pada proses ekstraksi bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, dan memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989).

Reaksi yang terjadi dengan alkali dijelaskan pada Gambar 2.7, sebagai berikut :

1 Transformasi gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ atau K+ dengan membentuk garam Na2SO4 atau K2SO4 di larutan.

2 Dehidrasi membentuk polimer anhidros galaktosa, dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk kappa karaginan dan air.

Gambar 2.7 Reaksi pada tahap perlakuan dengan alkali (Patent EP0964876 1998;Uy et al. 2005)

Karakteristik Karaginan

Kelarutan

Air merupakan pelarut utama karaginan yang karakteristik kelarutannya dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhydro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Lambda karaginan mudah larut pada semua kondisi karena tanpa unit 3,6 anhydro-D-galaktosa dan mengandung gugus sulfat yang tinggi. Karaginan jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat dapat menetralkan 3,6 anhydro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6 anhydro-D-galaktosa (Towle 1973).


(35)

Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (CP Kelco ApS 2004).

Kehadiran zat lain dalam larutan akan mempengaruhi sifat kelarutan karaginan, hal ini terjadi karena adanya persaingan penggunaan air dalam mengubah keadaan polihidrasi. Garam-garam organik lebih efektif dalam mengubah hidrasi karaginan, khususnya jika kationnya garam potasium. Sifat-sifat kelarutan karaginan pada berbagai medium pelarut disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Daya kelarutan karaginan pada berbagai media pelarut

Medium Kappa Iota Lambda

Air panas Larut diatas 60 oC

Larut diatas 70 oC*

Larut diatas 60 oC

Larut diatas 70 oC*

Larut

Air dingin Larut dalam garam

sodium, potasium dan kalsium tidak larut

Larut dalam garam sodium, garam kalsium menghasilkan disperse

thixotropic

Larut

Susu panas Larut Larut Larut

Susu dingin Tidak larut dalam garam

sodium, potasium dan kalsium tetapi mengem-bang dengan baik

Tidak larut Larut

Larutan konsentrat gula

Larut pada panas Tidak mudah larut Larut pada

panas Larutan konsentrat

garam pekat Tidak larut Larut pada panas Larut

Sumber: * Glicksman 1983 Stabilitas pH

Karaginan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3.5. Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan karaginan dapat mempertahankan kondisi proses produksi karaginan (CP Kelco ApS 2004). Hidrolisis asam akan terjadi jika karaginan berada dalam bentuk larutan, hidrolisis akan meningkat sesuai dengan peningkatan suhu. Larutan karaginan akan menurun viskositasnya jika pHnya diturunkan dibawah 4.3 (Imeson 2000).

Kappa dan iota karaginan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah, tetapi mudah terhidrolisis sehingga tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas. Hidrolisis dipengaruhi oleh pH, temperatur dan waktu. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah (Moirano 1977). Menurut Winarno (1996), daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap pH, disajikan pada Tabel 2.2.


(36)

Tabel 2.2 Daya kestabilan ketiga jenis karaginan terhadap perubahan pH

Stabilitas Kappa Iota Lambda

Pada keadaan pH netral dan alkali

 Stabil

 Terhidrolisa bila dipanaskan  Stabil dalam

bentuk gel

 Stabil  Terhidrolisa  Stabil dalam

bentuk gel

 Stabil  Terhidrolisa

Sumber: Moraino (1977) Viskositas

Viskositas merupakan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Nilai viskositas karaginan ditentukan oleh konsentrasi karaginan, suhu, jenis karaginan, berat molekulnya dan adanya molekul-molekul lain (Towle 1973; FAO 1990). Jika konsentrasi karaginan meningkat maka viskositasnya akan meningkat secara logaritmik. Viskositas akan menurun secara progresif dengan adanya peningkatan suhu. Pada konsentrasi 1.5% dan suhu 75 oC nilai viskositas karaginan berkisar antara 5-800 cP (FAO 1990).

Viskositas larutan karaginan terutama disebabkan oleh sifat karaginan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan (repulsion) antar muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat, mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut dikelilingi oleh molekul-molekul air yang termobilisasi, sehingga menyebabkan larutan karaginan bersifat kental (Guiseley et al. 1980). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kandungan sulfat, maka nilai viskositasnya juga semakin kecil, tetapi konsistensi gelnya semakin meningkat.

Pembentukan gel

Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan.

Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan (40-60 oC) dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan (5-20 oC)(Glicksman 1983; Imeson 2000).

Mekanisme pembentukan gel thermoreversible karaginan disajikan pada Gambar 2.8. Struktur polimer karaginan pada suhu di atas titik cairnya berbentuk gulungan-gulungan yang menyebar secara acak. Pada saat pendinginan, suatu matrik polimer tiga dimensi terbentuk dengan pilinan (double helix) dari setiap ujung rantai polimernya (Gel I). Tahap pendinginan berikutnya menyebabkan berkumpulnya pilinan polimer tiga dimensi tersebut (Gel II) (Glicksman 1983; FAO 1990).


(37)

Gambar 2.8 Mekanisme pembentukan gel pada karaginan (Smidsrod dan Grasdalen 1982).

Adanya ion monovalen K+, NH4+, Rb+, dan Cs+ dapat membantu

pembentukan gel. Kappa karaginan dapat membentuk gel yang paling kuat. Iota akan membentuk gel yang kuat dan stabil jika terdapat ion Ca2+, sedangkan ion Na+ dapat menghambat pembentukan gel karaginan jenis kappa dan lambda (Glicksman 1983). Karakteristik gel beberapa karaginan disajikan pada Tabel 2.3 Tabel 2.3 Karakteristik gel kappa, iota dan lambda karaginan

Keterangan Kappa Iota Lambda

Efek kation Gel lebih kuat

dengan ion

potasium

Gel lebih kuat dengan ion kalsium

Tidak

membentuk gel

Tipe gel Kuat dan rapuh

dengan sineresis

Elastis dan kohesif tanpa sineresis

Tidak

membentuk gel Efek sinergis

dengan locus gum

Tinggi Tinggi Tidak

Stabilitas Freezing thawing

Tidak Stabil Tidak

Standar Mutu Karaginan

Di Indonesia belum ada standar mutu karaginan, tetapi secara internasional

Food Agriculture Oganization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), European Economic Community (EEC) telah mengeluarkan spesifikasi mutu karaginan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan, baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomis yang meliputi kualitas dan kuantitas hasil ekstraksi rumput laut. Spesifikasi mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.4.


(38)

Tabel 2.4 Spesifikasi mutu karaginan

Spesifikasi FAO FCC EEC

Zat Volatile (%) Maks 12 Maks 12 Maks 12

Sulfat (%) 15 – 40 18 – 40 15 – 40

Viskositas (cP) Min 5 Min 5 Min 5

Kadar abu (%) 15 – 40 Maks 35 15 – 40

Kadar abu tak larut asam (%) - Maks 1 Maks 2

Logam berat Pb (ppm) As (ppm) Cu + Zn (ppm) Zn (ppm)

Maks 10 Maks 3

- -

Maks 10 Maks 3

- -

Maks 10 Maks 3 Maks 50 Maks 25

Kehilangan karena pengeringan (%) - Maks 12 -

Sumber : A/S Kobenhvns Pektifabrik (1978)

Menurut Winarno (1996), standar mutu karaginan dalam bentuk tepung adalah 99% lolos saringan 60 mesh, dan memiliki tepung densitas (yang diendapkan oleh alkohol) adalah 0.7 dengan kadar air 15% pada RH 50 dan 25% pada RH 70. Penggunaan ini biasanya dilakukan pada konsentrasi terendah 0.005% sampai tertinggi 3% tergantung produk yang ingin diproduksi, sedangkan suhu gelasi dari karaginan berbanding lurus dengan konsentrasi kation yang terdapat dalam sistem.

Produksi Refined Carrageenan

Proses produksi refined carrageenan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan.

Penyiapan bahan baku

Penyiapan bahan baku meliputi proses pencucian rumput laut untuk menghilangkan pasir, garam mineral, dan benda asing yang melekat pada rumput laut. Rumput laut dibersihkan dari kotoran dan karang yang melekat dengan menggunakan air.

Proses ekstraksi

Ekstraksi karaginan dilakukan dengan menggunakan air panas atau larutan alkali panas sehingga tercipta kondisi alkalis terhadap bahan baku rumput laut. Kondisi alkalis dapat diperoleh dengan penambahan larutan basa seperti larutan NaOH, Ca(OH)2 atau KOH sehingga pH larutan mencapai 8-10. Perlakuan alkali

bertujuan untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6 sulfat yang bersifat hidrofilik dari unit monomer karaginan dan membentuk 3,6-anhydrogalaktosa yang bersifat hidrofobik sehingga dapat meningkatkan gel karaginan yang dihasilkan (Stanley 1987), selain itu perlakuan alkali bertujuan untuk meningkatkan titik leleh karaginan di atas suhu pemasakannya, sekaligus memucatkan warna rumput laut sehingga dihasilkan karaginan yang mempunyai kekuatan gel yang tinggi dan warna karaginan yang lebih putih (Neish 1989). Selanjutnya Zulfriady dan


(39)

Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa ekstraksi karaginan menggunakan KOH berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan mutu karaginan yang dihasilkan.

Ekstraksi rumput laut jenis K. alvarezii dilakukan dengan cara perebusan dengan air pada suhu 80-95 °C selama 2 jam. Proses ini dilakukan setelah perlakuan alkali menggunakan larutan KOH konsentrasi 6% atau 8% pada pH 8-9. Volume larutan perebus 50 kali bobot rumput laut kering (Yunizal et al. 2000; Suryaningrum et al. 2003).

Filtrasi

Filtrasi dilakukan untuk memisahkan residu (selulosa dan kotoran yang berukuran besar). Pemisahan karaginan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara penyaringan dan pengendapan. Penyaringan ekstrak karaginan dilakukan dengan menggunakan kain saring atau filter press dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel (Chapman dan Chapman 1980). Selanjutnya Yunizal et al. (2000), menyatakan bahwa pengendapan karaginan dapat dilakukan antara lain dengan metode gel press, KCl freezing, KCl press, dan pengendapan dengan alkohol.

Pengeringan dan penepungan

Pengeringan karaginan basah dapat dilakukan dengan oven atau penjemuran). Pengeringan menggunakan oven (cabinet dryer) dilakukan pada suhu 60 ºC sekitar 16 jam dengan kadar air < 10% (Rahman 2009). Refined carrageenan kering tersebut kemudian ditepungkan, diayak, distandarisasi kemudian dikemas dalam wadah yang tertutup rapat (Guiseley et al. 1980).

Peningkatan Skala

Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan memindahkan data hasil percobaan laboratorium atau dari percobaan skala pilot plant untuk merancang proses alat atau mesin ke dalam skala yang lebih besar (Aiba et al.

1973). Sedangkan menurut Valentas et al. (1991) adalah sebuah usaha memproduksi sesuatu yang sama jika memungkinkan hasil prosesnya pada tingkat produksi yang lebih besar dibanding yang telah dilakukan sebelumnya.

Menurut Wirakartakusumah et al. (1991), untuk peningkatan skala dengan benar harus dapat:

 Mendefinisikan hasil proses yang diinginkan.

 Mendefinisikan kriteria utama peningkatan skala dalam parameter (atau sekumpulan parameter) yang menjamin hasil proses tidak tergantung pada skala. Hal ini pada umumnya perlu eksperimen skala ganda.

 Mendefinisikan kriteria sekunder peningkatan skala.

Menurut Hulbert (1998), peningkatan skala merupakan tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant. Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi, pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan untuk dapat melakukan peningkatan skala. Proses peningkatan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan, di antaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan proses optimum.


(40)

Pada dasarnya apapun yang terdapat dalam proses dapat dijadikan parameter ataupun hasil proses, tergantung jenis dan tujuan proses. Dalam proses peningkatan skala ini memang diusahakan untuk menghindari parameter-parameter dan hasil proses yang tidak terukur secara efektif, namun sebenarnya tidak ada alasan untuk menyingkirkan parameter hasil subyektif, kecuali jika penilaiannya tidak dijamin ketepatannya (Valentas et al. 1991).

Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses. Di dalam kriteria ini secara implisit tersirat pengertian bahwa eksprimen untuk peningkatan skala yang pantas sekurang-sekurangnya melibatkan lebih dari satu skala proses (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Kriteria utama peningkatan skala.

Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu:1) skala laboratorium, 2) skala pilot plant, 3) skala industri. Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Skala pilot plant merupakan skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al.

1991). Biasanya tahap pilot plant digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi, dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi produk, dan panel sensori (Anonim 2007).

Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah dan kesulitan dalam proses dapat diujicobakan sebelum membangun pabrik skala besar. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan data-data yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonim 2007).


(41)

Wang et al. 1979, pada peningkatan skala, kondisi lingkungan yang optimum harus diutamakan. Faktor-faktor kimiawi dalam lingkungan umumnya dapat dijaga konstan sedangkan faktor-faktor fisik sangat tergantung pada ukuran atau skala produksinya.

Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya, terutama karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan secara visual. Menurut Scott et al. (2007), proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya.

Mixture Experiment (ME)

ME merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisis masalah suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut. Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula (Cornell 1990).

Rancangan ME terdapat di dalam peranti lunak (software) Program Design Expert (DX) 7.0® dan dinamakan dengan mixture design. Program DX 7.0® menyediakan rancangan percobaan (design of experiment) untuk melakukan optimasi rancangan produk dan proses (Anonim 2006).

Program DX 7.0® ini adalah suatu program yang mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial, response surface methodology

(RSM), mixture design techniques, dan combined designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada suatu penelitian. RSM yaitu suatu metode rancangan percobaan untuk menentukan rancangan proses yang ideal.

Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada berbagai formula yang dibuat Box-Behnken design yaitu suatu metode pada Program DX 7® yang bertujuan untuk menggabungkan (combine) variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan formula yang optimal (Anonim 2005).

ME terdiri dari beberapa tahap, yaitu menentukan tujuan percobaan, memilih komponen-komponen dari campuran, mengidentifikasi variabel respon yang akan dihitung, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih desain percobaan yang sesuai. ME seringkali digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut dapat ditampilkan secara grafik sebagai respon yang dapat digunakan dalam menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, menentukan hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon (Cornell 1990),

Persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam orde, antara lain

mean, linear, quadratic, cubic, dan special cubic. Namun model persamaan polinomial yang sering digunakan adalah model polinomial ordo linear dan


(42)

persamaan (1) sedangkan model ordo quadratic dengan dua variabel uji dapat dilihat pada persamaan (2).

Y = b0 + b1X1 + b2X2 (1)

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2 (2)

Persamaan tersebut dapat ditampilkan dalam sebuah contour plot berupa grafik dua dimensi (2-D) dan tiga dimensi (3-D) yang dapat menggambarkan bagaimana variabel uji mempengaruhi respon. Persamaan model polinomial dengan orde linear seringkali memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) yang kurang memadai. Oleh karena itu, penggunaan model polinomial dengan orde

quadratic lebih dianjurkan dalam formulasi (Cornell 1990).

Principal Component Analysis (PCA)

PCA adalah merupakan teknik statistik yang dapat digunakan untuk mentransformasikan variabel-variabel asal yang kurang berkorelasi ke dalam variabel-variabel baru yang dimensinya lebih kecil, saling bebas, dan orthogonal antara variabel yang satu dengan variabel yang lain, dinamakan komponen utama (principal component, PC). Hasil analisis tipe ini tidak berasal dari variabel-variabel awal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel-variabel awal(Esbensen et al. 1994).

Tujuan PCA adalah menentukan komponen-komponen utama untuk menerangkan keragaman data semaksimal mungkin. Komponen utama yang diperoleh diurutkan berdasarkan penurunan keragamannya. Komponen utama pertama (PC1) adalah komponen utama dengan keragaman terbesar yang paling informatif dan paling berpengaruh. Bila informasi dari variabel yang diinput

dianalisis kembali akan muncul komponen utama pelengkap dengan keragaman kedua terbesar setelah PC1, disebut PC2, dan demikian seterusnya (Afifi dan Clark 1996).

Setiap komponen dalam model PCA mempunyai tiga set karakteristik atribut yaitu keragaman (variances), loading dan scores (Esbensen et al. 1994). Keragaman memberikan beberapa banyak informasi yang dapat digunakan pada komponen utama yang dapat dinyatakan dengan residual variance dan explaned variance. Loadings menyatakan gambaran hubungan antara variabel sedangkan

scores menggambarkan sampel.

Gabungan plot loadings dan scores merupakan hasil analisis berbentuk grafik biplot. Grafik tersebut menggambarkan secara keseluruhan hubungan antar variabel dan sampel. Jarak antar titik variabel menunjukkan hubungan di antara variabel. Interpretasi titik-titik pada sampel sama dengan interpretasi pada variabel. Hubungan di antara dua titik sampel dapat dilihat dengan membandingkan jaraknya dengan titik-titik dari variabel. Titik-titik sampel berdekatan menunjukkan bahwa sampel tersebut sama, sedangkan titik-titik sampel yang berjauhan menunjukkan hal yang sebaliknya. Titik-titik sampel yang terdapat dalam satu kelompok adalah satu sama lain dan berbeda dengan titik-titik sampel yang terdapat dalam kelompok lain (Esbensen et al. 1994).

Pada analisis deskripsi, sampel yang berada pada lokasi yang berlawanan mempunyai deskripsi yang sangat berbeda. Namun lokasi sampel yang berdekatan mempunyai deskripsi yang sama (Schonkopf dan Midjo 1998).


(43)


(44)

3 METODE UMUM

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 hingga bulan Januari 2013. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Pengolahan, dan Laboratorium Kimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik serta institusi yang terkait dengan pengambilan data sekunder untuk pemetaan potensi wilayah pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut kering jenis K.alvarezii

yang diperoleh dari perairan Bali. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), celite, kalium klorida (KCl) serta bahan-bahan kimia

pro analysis (p.a) untuk uji mutu, diperoleh dari Toko Harum Kimia di Jakarta. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain waterbath, timbangan analitik, timbangan, gelas ukur, pengaduk, pH meter digital (Merk ATC

tipe pH108), hot plate, magnetic stirrer, TA-XT Texture Analyzer (Stable Micro Systems), oven, chopper, grinder, saringan 60 dan 80 mesh, alat pencucian rumput laut (mollen), hydraulic press, filter press, alat pengering rumput laut (try dryer), wadah fiber, wadah plastik, keranjang plastik, kain blacu, panci double jacket,

stopwatch, thermocouple, tangki ekstraksi dengan kapasitas 200 L, tangki ekstraksi dengan kapasitas 1000 L (skala pilot plant), dan peralatan gelas untuk uji mutu.

Tangki ekstraksi yang digunakan pada skala pilot plant merupakan alat yang dikembangkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta (Lampiran 1). Tangki ini terbuat dari bahan plat stainless steel, berbentuk silinder double jacket vertikal dengan pemanas air yang diletakkan di antara silinder pembentuk. Pemasukan bahan rumput laut yang diekstrak dilakukan dari bagian atas. Tangki pengekstrak diletakkan pada penyangga dari besi untuk mempermudah pengoperasiannya.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, sebelum tahap pertama dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji mutu rumput laut kering yang meliputi, kadar air, kadar Clean Anhydrous Weed (CAW), kadar logam berat Pb dan Hg. Tahap pertama adalah optimasi kondisi proses perlakuan alkali pada pengolahan ATC skala laboratorium. Tahap kedua, optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air setelah perlakuan alkali pada proses produksi RC skala pilot plant. Tahap ketiga


(45)

pemetaan potensi K. alvarezii dalam upaya pengembangan proses produksi karaginan skala pilot plant.

Optimasi kondisi proses perlakuan alkali yang diterapkan pada penelitian tahap pertama adalah konsentrasi KOH (6-8%), suhu 70-80 °C, waktu 1-2 jam. Penentuan kondisi proses ini diperoleh dari hasil kajian penelitian Suryaningrum

et al. (2003), Basmal et al. (2003), Mehta et al. (2008), dan Mustapha et al.

(2011). Rumput laut kering sebanyak 200 gr dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml yang berisi larutan alkali sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, dan dipanaskan dalam waterbath sesuai kondisi proses yang telah dirancang oleh Program DX 7.0®, dan dilanjutkan ke proses netralisasi, chopper, pengeringan dan penepungan. Kondisi proses yang dilakukan pada tahap ini sebanyak 15 formula. Uji mutu ATC yang dihasilkan meliputi rendemen dan kekuatan gel. Kondisi proses perlakuan alkali pada tahap ini dijadikan data dasar untuk melakukan optimasi proses produksi RC skala pilot plant.

Optimasi kondisi proses ekstraksi dengan air yang diterapkan pada penelitian tahap kedua ini adalah rasio rumput laut dengan air (1:20-1:35), suhu, suhu 85-95 °C, waktu 2-4 jam. Penentuan kondisi proses ini diperoleh dari hasil kajian penelitian Tuvikene et al. (2006) Montolulu et al. (2008), Basmal et al.

(2009) dan Hakim et al. (2011). Rumput laut kering sebanyak 20 kg dimasukkan ke dalam tangki ekstraktor 200 liter yang berisi larutan alkali sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, dan dipanaskan pada suhu 85 °C selama 2 jam dan dinetralisasi, kemudian dilanjutkan ke proses ekstraksi dengan air sesuai kondisi proses yang telah ditentukan (17 formula), presipitasi, pengepresan, pengeringan dan penepungan. Uji mutu RC yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, viskositas dan derajat putih.

Teknologi proses yang dihasilkan dari tahap pertama dan kedua dijadikan acuan dalam memetakan potensi rumput laut K.alvarezii dalam rangka aplikasi proses produksi karaginan skala pilot plant. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data sekunder terhadap wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki potensi rumput laut K. alvarezii. Pengumpulan data sekunder dikaitkan dengan teknologi proses produksi karaginan yang telah dihasilkan. Kemudian data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan Program XLSTAT 2013 metode

Principal Component Analysis, untuk memperoleh peta wilayah yang berpotensi mengembangkan proses produksi karaginan skala pilot plant. Diagram alir pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 3.1.


(46)

Gambar 3.1 Diagram alir pelaksanaan penelitian

Optimasi proses perlakuan alkali skala laboratorium

Rumput Laut (K. alvarezii) kering

(

Alkali treated cottonii

(ATC ) Data untuk scale up

Scale up

KOH, suhu dan waktu

Peta potensi wilayah Indonesia

Produk karaginan optimal (Refined carrageenan)

(RC Optimal)

Daya dukung wilayah: rumput laut, infrastruktur dst. Analisis PCA

Kondisi proses perlakuan alkali skala pilot plant

Optimasi

Rasio RL:Air, suhu dan waktu

Acuan untuk pengembangan industri karaginan di Indonesia

Rekomendasi pengembangan industri karaginan di Indonesia


(47)

(48)

4

APLIKASI RESPONSE SURFACE METHODOLOGY PADA

OPTIMALISASI KONDISI PROSES PENGOLAHAN

ALKALI TREATED COTTONII

Abstract

Alkali Treated Cottonii (ATC) is processed from red algae (Eucheuma cottonii) with alkali treatment. Process condition e.q. KOH concentration, temperature and process time will effect the yield and quality of the resulted ATC. The purpose of this study were to identify the relationship between input variables and process response and to develop predictive models that can be used in optimizing the processing conditions of the ATC. Program Design Expert (DX) 7.0® with Response Surface Methodology (RSM) Box-Behnken Design was used to investigate and select the combination of factor levels that produced the optimal response. Based on the RSM-Box-Behnken design, it was known that the main effects of KOH concentration, temperature and time were observed to be the most significant factors to the value of ATC response. The relationship between the response variable was modeled of ATC yield as Y = -0.97A + 6.59B – 1.79C – 0.045B2 while the gel strength values was modeled as Y = 29030.24 A + 1488.61B

– 521.90C – 406.91AB – 64.50AC – 1984.79A2 + 344.21C2 + 28.02 A2B. ATC optimal response value was 92.8%, and the optimum processing conditions were: 6% of KOH concentration, 78.67 of temperature and 1 h of time.

Key words: alkali treated cottonii, extraction, optimization, response surface methodology, semi-refined carrageenan

Pendahuluan

Di Indonesia, sejak dicanangkan rumput laut sebagai salah satu komoditas yang direvitalisasi, orientasi pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material sudah mulai bergeser menjadi produk yang bernilai tambah, terutama dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC).

ATC merupakan produk karaginan semi murni hasil olahan rumput laut

Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii) dengan perlakuan alkali. Di samping dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan karaginan murni (refined carrageenan), produk ATC diminati industri-industri pengolah di Eropa, Amerika dan Asia Pasifik, karena dapat diproses lebih lanjut sebagai pembentuk gel, penstabil dan pengatur keseimbangan dalam industri non pangan terutama makanan ternak (Mc Hugh 2003).

Perlakuan alkali pada pengolahan ATC, merupakan proses perlakuan basa yang bertujuan mengubah residu prekursor dengan menghilangkan beberapa kelompok sulfat dari molekul dan meningkatkan kekuatan gel (Mc Hugh 2003). Perlakuan alkali yang efektif akan menghasilkan ATC dengan kekuatan gel yang maksimal. Variabel yang mempengaruhi perlakuan alkali, di antaranya konsentrasi alkali, suhu dan waktu.


(49)

Penelitian yang terkait dengan proses pengolahan ATC, telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005) dengan berbagai konsentrasi KOH dengan waktu pemasakan 2 jam pada suhu 70-80 oC, dan rendemen yang dihasilkan 29.3% dengan kekuatan gel sebesar 578.5 g/cm2; Mehta et al. (2008) preparasi SRC dengan pelarut KOH 8%, dengan kondisi optimum proses pengolahan (suhu 78-82 oC, waktu 2-3 jam). Mustapha et al. (2011), kondisi proses dalam pengolahan SRC dengan variasi suhu, jenis dan konsentrasi pelarut yang berbeda, dan menghasilkan kondisi optimum dengan pelarut KOH pada konsentrasi 1.0 M pada suhu 80 oC dengan waktu 1 jam.

Kondisi proses pengolahan yang bervariasi dalam menghasilkan ATC, menjadi pertimbangan dalam penentuan kuantitas dan kualitasnya. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan Program DX 7.0® rancangan RSM- Box-Behnken untuk memperoleh kondisi proses dari kombinasi konsentrasi KOH, suhu dan waktu terhadap rendemen dan kekuatan gel. Kelebihan dari program ini dapat digunakan untuk analisis dan pemodelan dari suatu permasalahan dengan satu atau lebih perlakuan dalam penelitian (Montgomery 2001; Bas dan Boyaci 2007; Raissi dan Farsani 2009). Menurut Radojkovic et al. (2012), RSM adalah kumpulan statistik dan matematika teknik yang berguna untuk mengembangkan, meningkatkan, dan mengoptimalkan proses, dimana respon dipengaruhi oleh beberapa faktor (variabel independen). RSM tidak hanya mendefinisikan pengaruh variabel independen, tetapi juga menghasilkan model matematis, yang menjelaskan proses kimia atau biokimia. Gagasan utama dari metode ini adalah mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap respon, mendapatkan model hubungan antara variabel bebas dan respon serta mendapatkan kondisi proses yang menghasilkan respon terbaik. Di samping itu, keunggulan metode RSM ini di antaranya tidak memerlukan data-data percobaan dalam jumlah yang besar dan tidak membutuhkan waktu lama (Iriawan dan Astuti 2006).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kondisi proses (konsentrasi KOH, suhu dan waktu) yang optimal pada pengolahan ATC dengan menggunakan Response Surface Methodologi (RSM). Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi sebagai data dasar dalam proses peningkatan skala untuk pengolahan RC.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 hingga bulan Mei 2012. Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Mekanisasi Proses, Laboratorium Pengolahan, dan Laboratorium Kimia, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah rumput laut jenis K. alvarezii yang diperoleh dari Bali. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah kalium hidroksida (KOH), serta bahan-bahan kimia pro analysis (p.a) untuk uji mutu, diperoleh dari Toko Harum Kimia di Jakarta.


(1)

132


(2)

(3)

(4)

Lampiran 1. Tangki ekstraksi rumput laut skala pilot plant

Tangki Ekstrakstor Spesifikasi ekstraktor

- Tangki pemanas air (tangki luar):

- Kapasitas : 1000 L

- Dimensi : diameter 2000 mm, tinggi 1000 mm

- Insulasi : aluminium dan rockwool

- Pengaduk : mekanis, 60 rpm

- Cerobong asap : pipa 8 inc. Panjang 250 mm - Tangki ekstraksi (tangki dalam) :

- Kapasitas : 1000 L

- Dimensi : diameter 1100 mm, tinggi 1000 mm - Aksesoris

- Control panel : MCB, thermal overload, thermo-control,

control system.

- Burner : riello 40 G20S, 0.33 kW


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bone Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Januari 1967 sebagai anak kesepuluh dari pasangan H. Abdul Rauf (almarhum) dan Hj. Hafsah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pertanian Universitas 45 Makassar, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan Magister Lingkungan di Program Studi Managemen Lingkungan Universitas Hasanuddin dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai pengajar tetap pada Fakultas Pertanian Universitas 45 Makassar sejak tahun 1991 sampai 2003. Dan sejak tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai pengajar pada jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Sebuah Karya ilmiah yang telah diterima dan akan diterbitkan dengan judul Aplikasi Response Surface Methodology pada Optimalisasi Kondisi Proses Pengolahan Alkali Treated Cottonii pada jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Sedangkan artikel dengan judul Production of carrageenan from Kappaphycus alvarezii on pilot plant scale: Optimization of extraction conditions with water after the alkaline treatment using response

surface methodology, telahdi Submit di Journal of Applied Phycology.