Application of Kappa Carragenan from Kappaphycus alvarezii Seaweed as Edible Film on Peeled Boiled Shrimp

(1)

APLIKASI KAPPA

KARAGINAN DARI RUMPUT LAUT

Kappaphycus alvarezii

SEBAGAI

EDIBLE COATING

PADA UDANG KUPAS REBUS

NURLAILA ERVINA HERLIANY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Aplikasi Kappa Karaginan dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Coating pada Udang Kupas Rebus” adalah

karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Nurlaila Ervina Herliany


(3)

Kappaphycus alvarezii Seaweed as Edible Film on Peeled Boiled Shrimp. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH.

One of the most popular seaweed in Indonesia is Kappaphycus alvarezii that

produce carrageenan. Carrageenan is a linear polysaccharide polymer, has a lot of function in industrial used such as viscosifier and gelling agent. Using carrageenan as edible film can improve its economic value. The research was carried out to study: (1) the optimum of KOH concentration (0.5; 1 and 1.5% w/v) and extraction time (1; 2 and 3 hours) to produce carrageenan, (2) the effect of carrageenan concentration (0.5; 1; 1.5 and 2% w/v) on the characteristic of edible film and (3) the effect of application carrageenan on coating of boiling shrimp quality during chill storage. This research consist of three steps as follows, carrageenan extraction, making of edible film and application carrageenan solution on boiling shrimp coating. The research shows that yield and viscosity of carrageenan were influenced by interaction of KOH concentration and extraction time. The best treatment was extraction with 0.5% KOH solution for 1 hour. Using 1.5% carrageenan on making edible film exhibited better properties in compared to others. Carrageenan concentration demonstrated significant effect on tensile strength and elongation percentage, however exhibited insignificant effect on thickness and water vapor transmission rate. SEM analysis shows that addition of carrageenan could improve the internal structure of edible film. Application of carrageenan solution on boiling shrimp coating indicate that coating application could extend its shelf life until 9 days based on value of total microbes for frozen boiling shrimp (SNI 01-3458-2006), while uncoated product could extend only 3 days.


(4)

Kappaphycus alvarezii sebagai Edible Film pada Udang Kupas Rebus. Dibimbing oleh

JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH.

Pengolahan karaginan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai jual rumput laut Indonesia. Pemanfaatan karaginan sebagai bahan baku edible film

merupakan salah satu upaya untuk mendorong berkembangnya industri pengolahan karaginan di dalam negeri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan (1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang optimum dalam menghasilkan tepung kappa karaginan, (2) konsentrasi tepung kappa karaginan dalam menghasilkan edible film

dengan karakteristik yang optimal dan (3) pengaruh penggunaan edible coating dalam

mempertahankan mutu udang kupas rebus selama penyimpanan dingin.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu optimasi metode ekstraksi karaginan, pembuatan edible film dari karaginan dan aplikasi edible film karaginan untuk

mempertahankan mutu udang kupas rebus. Penelitian tahap 1 menggunakan dua faktor, yaitu konsentrasi KOH (0,5; 1 dan 1,5% b/v) dan lama ekstraksi (1,2 dan 3 jam). Penelitian tahap 2 menggunakan empat konsentrasi karaginan, yaitu 0,5; 1; 1,5 dan 2% (b/v). Penelitian tahap terakhir menggunakan dua faktor, yaitu aplikasi edible coating

(tanpa coating dan coating) dan lama penyimpanan (0, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 hari).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen dan viskositas karaginan yang dihasilkan. Metode ekstraksi terbaik adalah menggunakan KOH 0,5% selama 1 jam dengan karakteristik rendemen 45,64%, viskositas 18cP, kadar air 16,26%, kadar abu 35,90%, kadar abu tak larut asam 0,32%, kadar sulfat 5,04%, dan kekuatan gel 385,63 gel force.

Variasi konsentrasi karaginan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kekuatan tarik dan persen pemanjangan film, tetapi tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap

ketebalan dan laju transmisi uap air. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bahwa penambahan karaginan mampu memperbaiki struktur internal film. Konsentrasi

karaginan 1,5% menghasilkan edible film terbaik dengan karakteristik ketebalan 0,070

mm, kuat tarik 5516,67 kgf/cm2, persen pemanjangan 43,05% dan laju transmisi uap air 0,0060 g/m2/hari.

Aplikasi coating karaginan pada udang kupas rebus menunjukkan bahwa coating

mampu mempertahankan mutu udang kupas rebus yang disimpan dingin. Jika dibandingkan dengan produk tanpa coating, penggunaan coating menghasilkan

perubahan nilai TPC, TVBN, pH, kadar air, kadar protein dan sensoris yang lebih lambat. Berdasarkan nilai TPC untuk udang kupas rebus beku (SNI 01-3458-2006), maka aplikasi coating mampu memperpanjang daya simpan produk udang kupas rebus

dari 3 hari menjadi 9 hari.


(5)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

PADA UDANG KUPAS REBUS

NURLAILA ERVINA HERLIANY

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

NRP : C 351090081

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si

Ketua Dra. Ella Salamah, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

Dan tiada sama antara dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu melihat kapal-kapal membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-N ya dan supaya kamu bersyukur ( QS Fathir : 12)

Dia membiarkan dua lautan yang mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. M aka nikmat T uhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ? ( QS Ar R ahmaan : 19-21)

K arya kecil ini kupersembahkan untuk K edua orangtuaku, Papa dan M ama Serta kedua adikku, Afief dan Shifa


(10)

alvarezii sebagai Edible Coating pada Udang Kupas Rebus.”

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Ella Salamah,M.Si sebagai anggota komisi yang telah mencurahkan waktu dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis.

2. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran.

3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi yang tiada henti memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan.

4. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2009, bu Lily, mbak Mut, p Den, p Untung dan Yoyo, untuk kebersamaan yang singkat tetapi sangat bermakna bagi penulis

5. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP, mbak Lilis, mbak Iis, mas Ridho, mbak Erika, mbak Vita, bu Rita, mbak Nikma, bu Jul, mbak Uci, Tyas, Fikri, dan Eka, yang

telah membantu penulis selama menyelesaikan studi di THP

6. Segenap karyawan serta staff THP IPB yang telah membantu penyelesaian studi penulis

Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis mengakui bahwasannya karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk penyempurnaan dikemudian hari. Akhir kata, penulis mengharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya.

Bogor, September 2011

Nurlaila Ervina Herliany

NRP C351090081


(11)

bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Negeri 5 Yogyakarta tahun 2004 kemudian diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Gadjah Mada pada tahun yang sama melalui jalur Ujian Masuk Universitas Gadjah Mada dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studinya pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(12)

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Hipotesis ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kappaphycus alvarezii ... 8

2.2 Karaginan ... 9

2.2.1 Kelarutan... 12

2.2.2 Viskositas ... 12

2.2.3 Pembentukan gel ... 13

2.2.4 Stabilitas pH ... 14

2.2.5 Pembuatan karaginan ... 15

2.2.6 Aplikasi karaginan ... 16

2.3 Edible Film ... 17

2.4 Aplikasi Edible Film dalam Bidang Pangan ... 22

3 METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Waktu dan Tempat ... 24

3.2 Bahan dan Alat... 24

3.3 Tahapan Penelitian ... 25

3.4 Prosedur Analisis ... 29

3.4.1 Rendemen ... 29

3.4.2 Kadar air (Metode Gravimetri, AOAC 1995) ... 29

3.4.3 Kadar abu (Metode Gravimetri, AOAC 1995) ... 30

3.4.4 Kadar abu tak larut asam (FMC 1977) ... 31

3.4.5 Kadar sulfat (AOAC 1995) ... 31

3.4.6 Viskositas (FMC 1977) ... 32

3.4.7 Kekuatan gel (FMC 1977) ... 32

3.4.8 Ketebalan film (ASTM 1983) ... 32

3.4.9 Kuat tarik dan persen pemanjangan (ASTM 1983)... 32

3.4.10 Laju transmisi uap air (ASTM 1967) ... 33

3.4.11 TPC (Fardiaz 1983) ... 33

3.4.12 Kadar protein (AOAC 1995) ... 34

3.4.13 Derajat keasaman (pH) (AOAC 1995) ... 35

3.4.14 TVBN (AOAC 1995) ... 35

3.4.15 Struktur mikroskopis menggunakan SEM (Toya et al. 1986) ... 35


(13)

4.1 Optimasi Ekstraksi Karaginan ... 39

4.1.1 Rendemen ... 41

4.1.2 Viskositas ... 43

4.1.3 Karakteristik tepung karaginan terbaik... 41

4.2 Karakteristik Edible Film ... 45

4.2.1 Ketebalan dan laju transmisi uap air film ... 46

4.2.2 Persentase pemanjangan dan kekuatan tarik film ... 48

4.2.3 Struktur mikroskopis film ... 51

4.3 Aplikasi Edible Coating ... 52

4.3.1 TPC (Total Plate Count) ... 53

4.3.2 TVBN (Total Volatile Bases Nitrogen) ... 54

4.3.3 Derajat keasaman (pH) ... 54

4.3.4 Kadar protein... 57

4.3.5 Kadar air ... 57

4.3.6 Organoleptik ... 58

(1) Lapisan coating ... 60

(2) Pengeringan ... 61

(3) Perubahan warna ... 62

(4) Kenampakan ... 64

(5) Rasa ... 65

(6) Bau ... 66

(7) Tekstur ... 68

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1 Simpulan ... 70

5.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71


(14)

1 Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii ... 9

2 Spesifikasi mutu semi refined carrageenan dan refined carrageenan ... 10

3 Spesifikasi standar mutu karaginan ... 10

4 Daya kelarutan kappa, iota dan lamda karaginan ... 13

5 Stabilitas jenis karaginan pada pH alkali dan asam ... 15

6 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air ... 17

7 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar susu ... 18

8 Fungsi edible film pada produk pangan ... 19

9 Alternatif penggunaan edible film berdasarkan jenis film ... 20

10 Karakteristik tepung karaginan terbaik ... 43

DAFTAR GAMBAR


(15)

3 Struktur kimia kappa, iota dan lamda karaginan ... 11

4 Mekanisme pembentukan gel karaginan ... 14

5 Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan ... 26

6 Diagram alir pembuatan edible film ... 27

7 Diagram alir prosedur aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus ... 29

8 Histogram rerata rendemen karaginan yang diekstraksi selama 1, 2,

dan 3 jam... 40

9 Histogram rerata viskositas karaginan yang diekstraksi selama 1, 2,

dan 3 jam... 41

10 Reaksi eliminasi gugus sulfat polimer karaginan oleh alkali ... 42

11 Film yang dihasilkan dari karaginan konsentrasi 0,5% (A); 1% (B); 1,5% (C) dan 2% (D)... ... 46

12 Skema penetrasi uap air melalui bahan polimer ... 47

13 Histogram rerata ketebalan ( ) dan laju transmisi uap air film ( ) ... 48

14 Histogram rerata persentase pemanjangan ( ) dan kekuatan tarik film ( ) .... 50

15 Struktur mikroskopis film berbagai konsentrasi karaginan (A)0,5%; (B) 1%; (C) 1,5% dan (D) 2%... .... 51

16 Histogram nilai log TPC udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating... 53

17 Histogram rerata TVBN udang kupas rebus selama penyimpanan ○ Tanpa coating dan coating... . 55

18 Histogram rerata pH udang kupas rebus selama penyimpanan Tanpa coating dan coating... 56

19 Histogram rerata kadar protein udang kupas rebus selama penyimpanan Tanpa coating dan coating... 58

20 Histogram rerata kadar air udang kupas rebus selama penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating... 59

21 Histogram nilai organoleptik lapisan coating udang kupas rebus selama penyimpanan. Tanpa coating dan coating ... 61


(16)

penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating ... 63

24 Histogram nilai organoleptik kenampakan udang kupas rebus selama

penyimpanan. ○ Tanpa coating dan coating ... 64

25 Histogram nilai organoleptik rasa udang kupas rebus selama penyimpanan.

Tanpa coating dan coating ... 66

26 Histogram nilai organoleptik bau udang kupas rebus selama penyimpanan.

○ Tanpa coating dan coating ... 67

27 Histogram nilai organoleptik tekstur udang kupas rebus selama

penyimpanan. Tanpa coating dan coating ... 69


(17)

2 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai rendemen karaginan ... 80

3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai viskositas karaginan ... 81

4 Analisis ragam (ANOVA) ketebalan dan laju transmisi uap air film ... 82

5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai persentase pemanjangan dan kuat tarik film... 83

6 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai TPC ... 84

7 Analisis ragam (ANOVA) TVBN ... 85

8 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai pH ... 86

9 Analisis ragam (ANOVA) kadar protein ... 87

10 Analisis ragam (ANOVA) kadar air ... 88

11 Analisis Krusskal Wallis lapisan coating ... ... 89

12 Analisis Krusskal Wallis pengeringan ... 90

13 Analisis Krusskal Wallis perubahan warna... 91

14 Analisis Krusskal Wallis kenampakan ... 92

15 Analisis Krusskal Wallis bau ... 93

16 Analisis Krusskal Wallis rasa ... 94


(18)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karaginan merupakan polisakarida linier yang tersusun atas molekul galaktan dengan unit-unit utamanya adalah galaktosa. Karaginan dapat diekstraksi dari rumput laut merah (Rhodophyceae) dengan menggunakan air atau larutan

alkali. Karaginan terdiri atas garam ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan dibagi atas 3 kelompok utama berdasarkan gugus sulfatnya yaitu kappa, iota dan

lamda karaginan (Winarno 1990).

Sumber karaginan untuk daerah tropis, khususnya Indonesia adalah

Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil kappa karaginan. Permintaan karaginan

di dunia mengalami peningkatan secara eksponensial setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan tingginya permintaan karaginan maupun bahan baku rumput laut penghasil karaginan di dunia. Dampaknya adalah mulai dikembangkan budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii secara massal termasuk di Indonesia.

Perkembangan budidaya rumput laut di Indonesia juga didorong oleh target Kementerian Kelautan Perikanan yaitu ingin mewujudkan Indonesia sebagai produsen rumput laut terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan salah satu targetnya adalah mampu memproduksi rumput laut sebesar 14 juta ton pada tahun 2014 (Irsyadi 2010).

Budidaya rumput laut secara besar-besaran belum diimbangi dengan teknologi pengolahan yang memadai. Akibatnya Indonesia hanya mampu mengekspor rumput lautnya dalam bentuk kering sehingga nilai jualnya rendah dalam perdagangan dunia. Pengolahan rumput laut menjadi karaginan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai jual rumput laut Indonesia. Selain itu, pengolahan rumput laut menjadi karaginan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan karaginan untuk industri pangan dan nonpangan di dalam negeri.

Irianto et al. (2005) menyatakan bahwa karaginan dalam industri pangan

dan nonpangan berfungsi sebagai bahan penstabil (stabilisator), pengental

(thickener), pembentuk gel dan pengemulsi. Campo et al. (2009) menambahkan


(19)

dari keju cottage, untuk mengontrol viskositas dan tekstur pudding serta makanan pencuci mulut berbahan dasar susu, sebagai bahan pengikat dan penstabil pada industri pengolahan daging untuk pembuatan sosis dan hamburger rendah lemak.

Salah satu upaya pemanfaatan karaginan yang saat ini sedang dikembangkan adalah sebagai edible film pada produk pangan. Edible film adalah

suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, cahaya, lipida, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan. Terdapat tiga kelompok penyusun edible film, yakni : hidrokoloid, lipida, dan campurannya (komposit)

(Donhowe dan Fennema 1994).

Edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih

dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum diaplikasikan pada bahan dan produk

pangan. Edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk langsung pada

bahan dan produk pangan, biasanya dengan cara pencelupan; sedangkan enkapsulasi adalah suatu aplikasi yang ditujukan untuk membawa komponen

flavor sehingga diperoleh bentuk flavor yang memiliki sifat seperti tepung

(Arpah 1997).

Karaginan berpotensi untuk dikembangkan sebagai edible film karena

sifatnya yang elastis, dapat dimakan dan dapat diperbarui. Hal ini juga tidak terlepas dari tingginya produksi rumput laut dalam negeri yang dapat diolah menjadi karaginan. Pemanfaatan karaginan menjadi edible film diharapkan

mampu mendorong berkembangnya sektor pengolahan karaginan di dalam negeri. Pengembangan metode ekstraksi karaginan terus dilakukan untuk mendapatkan optimasi dalam proses ekstraksinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappa karaginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005). Suryaningrum et al. (2003) juga telah

melakukan penelitian mengenai pengaruh volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii.

Penelitian mengenai optimasi proses ekstraksi karaginan belum diarahkan sesuai dengan tujuan penggunaan karaginan tersebut. Setiap aplikasi karaginan memiliki tujuan yang berbeda sehingga diperlukan karakteristik karaginan yang


(20)

berbeda pula. Variasi karakteristik ini dapat diperoleh jika digunakan metode ekstraksi yang berbeda sehingga diperlukan pemilihan metode ekstraksi untuk tiap tujuan penggunaan karaginan. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian ini yang salah satu tahapan penelitiannya adalah menentukan metode ekstraksi karaginan untuk tujuan pembuatan edible film.

Faktor lainnya yang mempengaruhi karakteristik edible film yang

dihasilkan adalah konsentrasi karaginan yang digunakan. Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk menghasilkan edible

film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara tepung kappa karaginan

dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1. Penelitian mengenai pengaruh

konsentrasi tepung karaginan terhadap karakteristik edible film yang

menggunakan gliserol belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui karakteristik edible film dari berbagai konsentrasi

tepung kappa karaginan serta mempelajari pengaruh penggunaan edible film

tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. 1.2 Rumusan Masalah

Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat

dimakan, diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai barrier

atau penghalang terhadap transfer massa (misal kelembaban, oksigen, lipida dan zat terlarut) serta sebagai carrier atau zat pembawa bahan makanan dan aditif

untuk meningkatkan penanganan makanan (Donhowe dan Fennema 1994). Permintaan konsumen akan teknik pengemasan yang ramah lingkungan, produk yang lebih alami dan tanpa menggunakan bahan pengawet mengakibatkan permintaan akan edible film terus meningkat khususnya untuk industri pangan.

Dampak dari semua itu adalah diperlukannya bahan baku pembuatan edible film

dalam jumlah yang melimpah.

Karaginan yang diekstrak dari rumput laut merah (Rhodophyta)

merupakan salah satu bahan baku yang potensial bagi pembuatan edible film. Sifat

karaginan yang dapat membentuk gel dan elastis, dapat dimakan serta dapat diperbarui merupakan alasan yang mendukung penggunaannya sebagai bahan baku edible film. Karaginan juga mengandung serat makanan yang baik untuk


(21)

pencernaan sehingga penggunaannya sebagai edible film dapat memberikan nilai

tambah bagi edible film yang dihasilkan. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid

mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipida, dan memiliki sifat mekanis yang diinginkan, serta dapat meningkatkan kesatuan struktural produk (Arpah 1997). Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk

menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara

tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1.

Cha et al. (2002) meneliti pengaruh penambahan bahan antimikroba pada edible film kappa karaginan untuk menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen.

Konsentrasi tepung kappa karaginan yang digunakan dalam penelitiannya adalah 1% dengan penambahan gliserol dan polietilen glikol sebagai plasticizer.

Pengembangan metode esktraksi karaginan terus dilakukan untuk meningkatkan karakteristik karaginan yang dihasilkan. Selain untuk meningkatkan karakteristik karaginan, pengembangan metode ekstraksi juga harus disesuaikan dengan tujuan pengaplikasian karaginan. Hingga saat ini, berbagai penelitian mengenai metode ekstraksi karaginan belum dikaitkan dengan tujuan aplikasinya. Penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi larutan KOH dalam proses ekstraksi kappakaraginan telah dilakukan oleh Basmal et al. (2005).

Suryaningrum et al. (2003) juga telah melakukan penelitian mengenai pengaruh

volume larutan pengekstrak terhadap mutu karaginan kertas dari Kappaphycus alvarezii.

Pemanfaatan karaginan sebagai edible film dipengaruhi oleh karakteristik

dan konsentrasi karaginan yang digunakan, tetapi penelitian mengenai masalah tersebut belum ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik karaginan dan edible film yang dihasilkan serta untuk

mengetahui pengaruh aplikasi edible film tersebut dalam mempertahankan mutu

udang kupas rebus.

1.3 Kerangka Pemikiran

Plastik merupakan bahan pengemas yang populer saat ini. Permintaannya terus meningkat, baik sebagai bahan pengemas dalam bidang pangan maupun


(22)

nonpangan. Edible film merupakan salah satu bahan pengemas yang cocok

diaplikasikan pada bahan pangan karena sifatnya yang aman dan dapat dimakan. Indonesia memiliki sumber bahan baku edible film yang melimpah, salah satunya

adalah karaginan. Penggunaan karaginan sebagai edible film didasarkan pada

beberapa pertimbangan seperti keamanan pangan, mudah didapat, merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui dan biodegradable. Selain itu, karaginan kaya

akan serat sehingga penggunaannya sebagai edible film diharapkan dapat

memberikan nilai tambah kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan edible film

karaginan adalah karakteristik serta konsentrasi karaginan yang digunakan. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik edible film yang dihasilkan.

Faktor-faktor yang menentukan karakteristik karaginan antara lain adalah konsentrasi larutan pengekstrak (KOH) dan lama ekstraksi sehingga keduanya perlu diteliti untuk mengetahui karakteristik karaginan yang dihasilkan.

Bahan pengemas seperti edible film dan coating berfungsi untuk

melindungi produk dari kerusakan, baik kerusakan fisik, kimia maupun mikrobiologi. Aplikasi edible coating karaginan pada udang kupas rebus perlu

diteliti untuk mengetahui perubahan parameter-parameter fisik, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan yang menunjukkan kemampuan edible coating

tersebut dalam mempertahankan mutu udang kupas rebus. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari :

(1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang optimum dalam menghasilkan tepung kappakaraginan,

(2) konsentrasi tepung kappa karaginan dalam menghasilkan edible film

dengan karakteristik yang optimal,

(3) pengaruh penggunaan edible coating dalam mempertahankan mutu udang


(23)

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(1) konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang berbeda akan menghasilkan karaginan dengan karakteristik yang berbeda,

(2) perbedaan konsentrasi tepung karaginan akan menghasilkan karakteristik

edible film yang bervariasi,

(3) edible coating dari karaginan dapat digunakan untuk mempertahankan


(24)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Terbuat dari bahan kimia sintetis

Isu kesehatan

Kebutuhan akan alternatif bahan pengemas

Karaginan sebagai bahan baku

Aman, sumberdaya yang dapat diperbarui,

biodegradable ,

dan kaya serat Optimasi ekstraksi

karaginan

Karakteristik karaginan

Aplikasi pada udang kupas rebus

Dapat mempertahankan mutu udang kupas rebus Optimasi konsentrasi karaginan

Bahan pengemas plastik

Edible film


(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kappaphycus alvarezii

Kappaphycus alvarezii merupakan rumput laut kelas Rhodophyceae

penghasil kappa karaginan. Dalam dunia perdagangan, rumput laut jenis ini lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii atau cottonii saja. Klasifikasi Kappaphycus alvarezii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieraceae Genus : Kappaphycus

Spesies : Kappaphycus alvarezii

Ciri fisik Kappaphycus alvarezii yaitu mempunyai thallus silindris,

permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik, yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan kualitas pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat


(26)

Gambar 2 Kappaphycus alvarezii (Sumber : koleksi pribadi).

Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemaknya sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega 3 dan 6 dalam jumlah yang cukup tinggi (Winarno 1990). Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia Kappaphycus alvarezii

Komponen Persentase (% db) Karbohidrat 57,52

Protein 3,46

Lemak 0,93

Air 16,05

Serat kasar 7,08

Sumber : Yunizal (2004)

2.2 Karaginan

Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan berfungsi sebagai stabilisator, bahan pengental, pembentuk gel atau pengemulsi dalam bidang industri (Winarno 1990). Spesifikasi standar mutu karaginan dapat dilihat pada Tabel 2.


(27)

Tabel 2 Spesifikasi standar mutu karaginan Kriteria Konsentrasi

Abu total ≤ 35%

Abu tak larut asam ≤ 1%

Sulfat 18-40% (db)

Viskostas (1,5% pada 75oC ) ≥ 5 cPs

Susut pengeringan Max. 12%

Timah Max. 10 ppm (0,001%)

As Max. 3 ppm (0,0003%)

Timbal Max. 40 ppm (0,004%)

Sumber : FCC (1981), diacu dalamGlicksman (1983)

Kappa karaginan terutama dihasilkan dari rumput laut

Kappaphycus alvarezii. Kappa karaginan tersusun atas (1,3)-D-galaktosa-4-sulfat

dan (1,4)-3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karaginan juga mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya

gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat menghasilkan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1990). Struktur kimia kappa, iota, dan lamdakaraginan dapat dilihat pada Gambar 3.


(28)

Gambar 3 Struktur kimia kappa,iota dan lamdakaraginan (Viana et al. 2004).

Iota karaginan ditandai dengan adanya 4-sulfat ester pada setiap residu D-glukosa dan 2-sulfat ester pada setiap gugusan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1990).

Lamda karaginan tersusun atas ikatan 1,3-D-galaktosa-2-sulfat dan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat. Lamda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan karena memiliki sebuah residu disulfat α-(1,4)-D galaktosa. Lamda

karaginan yang terekstraksi oleh alkali kuat akan menjadi teta karaginan

(θ-karaginan) dengan melepas 6-sulfat dari ikatan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat untuk membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Glicksman 1983).

2.2.1 Kelarutan

Karakteristik kelarutan karaginan dalam air dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting antara lain tipe karaginan, temperatur, pH, kehadiran ion tandingan dan zat-zat terlarut lain. Gugus hidroksil dan sulfat pada karaginan bersifat hidrofilik sedangkan gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Karaginan

Kappa karaginan karaginan

Iotakaraginan


(29)

jenis iota bersifat lebih hidrofilik karena adanya gugus 2-sulfat yang dapat menetralkan 3-6 anhidro-D-galaktosa yang kurang hidrofilik. Karaginan jenis

kappa kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3-6 anhidro-D-galaktosa (Towle 1973).

Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium lebih mudah larut. Lamda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis garamnya (Winarno 1990). Perbedaan kelarutan kappa, iota dan lamdakaraginan

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Daya kelarutan kappa, iota dan lamdakaraginan

Medium Kappa Iota Lamda

Air panas Larut di atas suhu 60 oC*

Larut di atas suhu 70 oC

Larut di atas suhu 60 oC*

Larut di atas suhu 70 oC

Larut

Air dingin Garam natrium larut Garam K, Ca, dan NH4

tidak larut (mengembang)

Garam natrium larut Garam Ca memberi dispersi thixotropic

Semua garam larut

Susu panas Larut Larut Larut*

Susu dingin Tidak larut Tidak larut Larut* Larutan gula pekat Larut panas Sukar larut Larut panas Larutan garam

pekat

Tidak larut Larut panas Larut panas

Sumber : Glicksman (1983) *Winarno (1990)


(30)

2.2.2 Viskositas

Wicaksono (1999) menyatakan bahwa viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid. Pada dasarnya pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan antar dua lapisan molekul yang berdekatan. Viskositas yanng tinggi dari suatu bahan disebabkan karena gesekan internal yang besar sehingga cairannya mengalir.

Pendinginan kappa dan iota karaginan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati suhu pembentukan gel dan adanya kation K+ dan Ca2+ karena mulai terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. (Guiseley et al. 1980).

2.2.3 Pembentukan gel

Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Jala ini kemudian menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis (Fardiaz (1989).

Kappa karaginan dan iota karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan

dan membentuk gel kembali jika didinginkan. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air. Proses terakhir ini disebut sineresis (Fardiaz 1989). Mekanisme pembentukan gel karaginan dapat dilihat pada Gambar 4.


(31)

Gambar 4 Mekanisme pembentukan gel karaginan (Glicksman 1983). Ion monovalen yaitu K+, NH

4+, Rb+, dan Cs+ membantu pembentukan gel karaginan. Kappa karaginan akan membentuk gel yang paling kuat dengan sifat gel yang keras dan elastis. Iota karaginan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca2+ (Glicksman 1983).

2.2.4 Stabilitas pH

Karaginan akan stabil pada pH 7 atau lebih, tetapi pada pH yang rendah stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu. Penurunan pH akan menyebabkan hidrolisis polimer karaginan mengakibatkan turunnya viskositas dan kemampuan pembentukan gel (Glicksman 1983). Stabilitas jenis karaginan yang disebabkan oleh perubahan pH disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Stabilitas jenis karaginan pada pH alkali dan asam

Stabilitas Kappa Iota Lamda

Pada pH netral dan alkali

Stabil Stabil Stabil

Pada pH asam (3,5) Terhidrolisis dalam larutan ketika dipanaskan. Stabil dalam bentuk gel

Terhidrolisis dalam larutan. Stabil dalam bentuk gel

Terhidrolisis

Sumber : Glicksman (1983)

Pendinginan Pemanasan Pendinginan


(32)

2.2.5 Pembuatan karaginan

Proses pembuatan karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan baku, ekstraksi karaginan dengan menggunakan bahan pengekstrak, pemurnian, pengeringan dan penepungan.

1. Penyiapan bahan baku

Rumput laut hasil panen dicuci dengan menggunakan air bersih untuk menghilangkan lumpur, karang, pasir, kerang, serta benda asing lainnya. Rumput laut yang telah bersih kemudian direndam agar proses ekstraksi mudah dilakukan karena perendaman dapat membengkakkan sel-sel dinding rumput laut. 2. Ekstraksi

Ekstraksi karaginan dilakukan pada suhu didih air, yaitu 90-95 oC selama 1-5 jam. Volume air yang digunakan untuk ekstraksi berkisar antara 20-40 kali berat rumput laut. Larutan alkali yang digunakan dapat menghasilkan rumput laut yang bersih dengan kadar air yang rendah sehingga dapat mencegah terjadinya degradasi kimia dan biologi serta dapat meningkatkan rendemen karaginan yang dihasilkan (Asmorowati 2001).

3. Penyaringan

Penyaringan adalah salah satu unit proses dimana komponen solid tidak terlarut dalam suspensi solid-likuid, dipisahkan dari komponen likuidnya dengan melewatkan suspensi tersebut melalui suatu membran yang dapat menahan solid di permukaannya (Rozi 2007).

4. Pemurnian

Proses pemurnian dilakukan dengan cara pengendapan (presipitasi). Pada proses ini karaginan akan mengendap dan memisah dari komponen lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan cara menambahkan KCl, alkohol atau pembekuan. Penambahan alkohol pada filtrat dapat menyebabkan terbentuknya serat-serat koagulan yang selanjutnya dipisahkan dengan menggunakan sentrifus atau penyaring halus (McHugh 2003).

5. Pengeringan dan penepungan

Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan dengan memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan oleh media pengering yang biasanya berupa


(33)

udara. Ada dua cara pengeringan, yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering (Rozi 2007). Pengeringan menggunakan oven dilakukan pada suhu 60 oC (Istini dan Zatnika 1991). Penepungan dilakukan dengan cara menghaluskan karaginan kering yang dihasilkan. Nasution (2007) menjelaskan bahwa penepungan bertujuan untuk memperluas permukaan karaginan sehingga akan mempermudah proses pelarutan karaginan.

2.2.6 Aplikasi karaginan

Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer (penstabil), thickener (bahan pengental), pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain. Sifat ini

banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya (Winarno 1990). Penggunaan karaginan dalam pengolahan pangan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu untuk produk-produk berbahan dasar air dan produk-produk berbahan dasar susu. Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air dan susu dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.


(34)

Tabel 5 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar air Produk Fungsi Jenis Karaginan Konsentrasi

(%)

Dessert Gel Gelasi Kappa + iota

Kappa + iota + locus bean gum (LBG)

0,5-1,0

Jeli rendah kalori Gelasi Kappa + iota

Kappa+ galaktomanan

0,5-1,0

Pakan hewan kalengan

Stabilisasi lemak, pengental

Kappa + LBG 0,2-1,0

Sirup Suspensi, bodying Kappa + lamda 0,3-0,5

Minuman serbuk bercitarasa buah

Bodying Sodium kappa, lamda 0,3-0,5

Pizza, saus barbecue Bodying Kappa 0,2-0,5

Susu imitasi Bodying Iota, lamda 0,03-0,06

Puding (non dairy) Pemantap emulsi Kappa 0,1-0,3

Pasta gigi Pengikat Sodium kappa, iota, lamda 0,8-1,2

Lotions Bodying Sodium kappa, iota, lamda 0,2-1,0

Cat air Suspensi Kappa + galaktomanan, iota

0,15-0,5

Sumber : McHugh (1987)

2.3 Edible Film

Edible film adalah lapisan tipis dan kontinu yang dibuat dari bahan yang

dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan atau diletakkan di antara komponen makanan yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa (misalnya oksigen, kelembaban, lipida, zat terlarut), sebagai agen pembawa bahan tambahan pangan, dan atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Donhowe dan Fennema 1994).


(35)

Pada awalnya, fungsi edible film adalah untuk mencegah kehilangan

kelembaban pada buah segar atau untuk mengurangi absorbsi oksigen pada buah yang pada akhirnya dapat menekan laju respirasi. Film kemudian digunakan untuk

menstabilkan gradien aktivitas air dan mempertahankan berbagai sifat tekstural

yang dimiliki oleh komponen bahan pangan yang berbeda-beda (Donhowe dan Fennema 1994).

Tabel 6 Penggunaan karaginan dalam produk pangan berbahan dasar susu

Produk Fungsi Jenis Karaginan Konsentrasi (%)

Frozen dessert :

Es krim/es susu Mencegah pembentukan whey, mengontrol pencairan

Kappa 0,01-0,03

Produk susu pasteurisasi : Coklat, citarasa buah Susu skim Campuran krim untuk keju ’cottage’

Suspensi, bodying Bodying Daya lekat Kappa Kappa, Iota Kappa 0,025-0,035 0,025-0,035 0,02-0,035

Produk susu sterilisasi : Coklat

Formula susu bayi

Suspensi, bodying

Stabilisasi lemak dan protein

Kappa Kappa

0,01-0,035 0,02-0,04

Milk Gels :

Puding Puding dingin

Ready to eat desserts

Gelasi

Pengental, gelasi Mengendalikan sineresis

Kappa, kappa + iota Kappa, iota, lamda Iota

0,2-0,3 0,2-0,5 0,1-0,2

Cold prepared milks :

Susu instan

Shakes

Suspensi, bodying

Suspensi, bodying

Lamda Lamda

0,1-0,2 0,1-0,2 Susu asam :

Yoghurt Bodying Kappa + locus bean gum 0,2-0,5

Sumber : McHugh (1987)

Komponen edible film dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu


(36)

antaranya adalah protein, derivat selulosa, pati, alginat, pektin dan polisakarida lainnya. Lipida yang cocok adalah lilin, asil gliserol dan asam lemak. Film

campuran atau komposit dapat berbentuk bilayer, dimana lapisan yang satu adalah hidrokoloid dan lapisan lainnya adalah lipida (Donhowe dan Fennema 1994).

Edible film dari hidrokoloid mempunyai kelebihan yaitu dapat mencegah

reaksi deteriorasi pada produk pangan dengan jalan menghambat gas-gas reaktif, terutama oksigen dan karbondioksida (Arpah 1997Film hidrokoloid umumnya

mudah larut dalam air sehingga sangat menguntungkan dalam penggunaannya, terutama pada produk pangan yang memerlukan perebusan atau pemasakan terlebih dahulu (Arpah 1997). Polimer hidrokoloid yang digunakan sebagai edible film dapat berupa protein, karbohidrat atau turunan dari keduanya. Salah satu

bahan edible film dari karbohidrat adalah karaginan. Suryaningrum et al. (2005)

menyatakan bahwa sifat karaginan yang dapat membentuk gel dan elastis, dapat dimakan serta dapat diperbarui merupakan alasan yang mendukung penggunaannya sebagai bahan baku edible film. Karaginan juga mengandung serat

makanan yang baik untuk pencernaan sehingga penggunaannya sebagai edible film dapat memberikan nilai tambah bagi edible film yang dihasilkan.

Suryaningrum et al. (2005) telah melakukan penelitian untuk

menghasilkan edible film dari kappa karaginan dengan perbandingan antara

tepung kappa karaginan dan plasticizer (tepung tapioka) adalah 2:1.

Cha et al. (2002) meneliti pengaruh penambahan bahan antimikroba pada edible film kappa karaginan untuk menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen.

Konsentrasi tepung kappa karaginan yang digunakan dalam penelitiannya adalah 1% dengan penambahan gliserol dan polietilen glikol sebagai plasticizer. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa edible film kappa karaginan yang ditambah

dengan agen antimikroba memiliki nilai tensile strength (kuat tarik) dan persen

pemanjangan yang lebih rendah dibandingkan kontrol (tanpa penambahan agen antimikroba).

Larotonda (2007) juga telah meneliti pengaruh penambahan tepung karaginan berbagai konsentrasi pada edible film dari tepung Quercus suber.


(37)

karaginan yang ditambahkan, maka nilai tensile strength (kuat tarik) dan persen

pemanjangan edible film tersebut juga semakin tinggi. Peningkatan konsentrasi

tepung karaginan juga menyebabkan meningkatnya transparansi film yang

dihasilkan.

Komponen penyusun edible film yang cukup besar adalah plasticizer. Plasticizer secara umum dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap gas, uap

air dan zat terlarut. Penambahan plasticizer juga dapat meningkatkan elastisitas

dan daya kohesi film. Larotonda (2007) menyebutkan bahwa plasticizer yang

umumnya ditambahkan pada edible film adalah poliol (gliserol, sorbitol, polietilen

glikol 400), mono-, di-, atau oligosakarida, lipida dan turunannya.

Pengaruh berbagai plasticizer pada edible film tepung Quercus suber

dengan penambahan tepung kappa karaginan telah diteliti oleh Larotonda (2007).

Plasticizer yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu plasticizer hidrofilik dan

hidrofobik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa plasticizer hidrofilik memiliki

nilai tensile strength (kuat tarik), persen pemanjangan dan transparansi yang lebih

tinggi dibandingkan plasticizer hidrofobik. Larotonda (2007) menyatakan bahwa

gliserol merupakan plasticizer hidrofilik yang paling cocok diaplikasikan pada edible film tepung Quercus suber dengan penambahan tepung kappa karaginan.

2.4 Aplikasi Edible Film dalam Bidang Pangan

Aplikasi edible film pada produk pangan didasarkan pada sifat-sifat

proteksi dari pengemas tersebut, dalam hal ini adalah memperpanjang umur simpan melalui pencegahan reaksi-reaksi deteriorasi produk pangan (Arpah 1997). Bahan yang sering ditambahkan pada edible film antara lain antimikroba,

antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer.

Edible film telah lama digunakan sebagai bahan pengemas pada produk

pangan seperti daging, ayam, dan hasil perikanan. Edible film juga mampu

menghambat kehilangan senyawa-senyawa volatil dan mencegah kontaminasi bau dari luar pada produk daging, ayam atau perikanan.

Ismudiyati (2003) telah melakukan penelitian mengenai kemampuan

edible coating kappa karaginan semi refined pada fillet ikan patin. Penelitiannya


(38)

mikroba pada fillet ikan patin. Fillet ikan patin yang diberi coating mengandung

total mikroba sebanyak 1,5 x 106 kol/g sedangkan fillet ikan patin tanpa coating

mengandung total bakteri sebanyak 2 x 107 kol/g pada hari penyimpanan ke-10.

Edible film juga mampu menghambat pertumbuhan kapang pada produk

pangan. Penelitian Honesty (2003) menunjukkan bahwa aplikasi edible film

kitosan pada dodol rumput laut dapat mencegah pertumbuhan kapang sampai hari ke-15 (tidak ditemukan kapang). Pada produk dodol rumput laut yang dikemas menggunakan kertas ditemukan kapang sebanyak 6 x 102 kol/g pada hari ke-15.


(39)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanan pada bulan November 2010 hingga April 2011. Bahan baku rumput laut Kappaphycus alvarezii berasal dari petani rumput laut di

Pulau Panjang Kabupaten Serang. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium antara lain laboratorium program studi THP (Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik serta Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan), laboratorium program studi Ilmu Pangan (Laboratorium Pengolahan dan Biokimia Pangan dan Gizi), Laboratorium Balai Pengujian Ekspor Impor Jakarta dan Laboratorium Geologi Kuarter PPGL.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu bahan untuk ekstraksi karaginan, pembuatan edible film karaginan dan bahan

untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus. Bahan baku untuk ekstraksi karaginan adalah rumput laut Kappaphycus alvarezii sebagai penghasil kappa

karaginan. Kappa karaginan yang dihasilkan dengan spesifikasi terbaik akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Bahan pendukung yang

digunakan untuk ekstraksi karaginan meliputi KOH teknis dan isopropil alkohol teknis, sedangkan bahan yang digunakan untuk karakterisasi karaginan adalah BaCl2, H2O2, dan KCl. Pada tahap pembuatan edible film, bahan yang digunakan adalah tepung karaginan dan gliserol. Bahan yang digunakan untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus adalah score sheet, larutan TCA 7%, larutan

asam borat 4%, larutan K2CO3 jenuh, larutan HCl 1/70 N, larutan H2SO4 pekat, akuades, NaOH, larutan asam borat 4%, indikator BCG-MR, larutan HCl 0,01 N dan nutrien agar.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini juga terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu alat yang digunakan untuk ekstraksi karaginan, pembuatan edible film karaginan dan alat untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus.


(40)

wadah kaca, ember/baskom, kain saring, termometer, oven, dan kompor listrik; sedangkan alat untuk karakterisasi karaginan adalah seperangkat alat uji kadar air dan abu, rheoner, refluks, hot plate, magnetic stirer, erlenmeyer, timbangan,

cetakan silinder, dan termometer. Pembuatan edible film menggunakan alat-alat

antara lain adalah hot plate, magnetic stirer, cetakan kaca, dan oven; sedangkan

untuk karakterisasi edible film alat yang digunakan adalah jangka sorong. Alat

yang digunakan untuk analisis penurunan mutu udang kupas rebus adalah lemari pendingin, cawan petri, seperangkat alat uji protein, pHmeter, timbangan, autoklaf dan kompor listrik.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap optimasi ekstraksi kappa karaginan serta karakterisasi tepung karaginan yang dihasilkan. Tahap kedua adalah pembuatan edible film dari tepung karaginan terbaik yang

dihasilkan pada tahap pertama, sedangkan tahap ketiga adalah aplikasi edible coating karaginan untuk mempertahankan mutu udang kupas rebus.

Tahap 1. Optimasi ekstraksi karaginan

Ekstraksi karaginan dilakukan berdasarkan metode Sinurat et al. (2006)

yang telah dimodifikasi. Perlakuan yang diberikan untuk menentukan metode ekstraksi karaginan adalah konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Parameter yang digunakan untuk menentukan metode ekstraksi yang optimal adalah rendemen dan viskositasnya. Pada tahap 1 akan diperoleh konsentrasi KOH dan lama ekstraksi yang akan digunakan dalam proses ekstraksi karaginan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Sebelum digunakan dalam pembuatan edible film, tepung

karaginan dikarakterisasi terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifatnya meliputi rendemen, kekuatan gel (FMC 1977), viskositas (FMC 1977), kadar air (AOAC 1995), kadar abu (AOAC 1995), kadar abu tak larut asam (FMC 1977), dan kadar sulfat (AOAC 1995). Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan dapat dilihat pada Gambar 5.


(41)

Gambar 5 Diagram alir prosedur ekstraksi karaginan (Sinurat et al.* 2006 yang

telah dimodifikasi).

Pencucian

Penepungan Pengeringan

Pengendapan dengan IPA 1,5 x volume filtrat Penyaringan

Ekstraksi dengan variasi konsentrasi KOH 0,5%; 1%* dan 1,5% (faktor A) dan variasi lama ekstraksi 1; 2* dan 3 jam (faktor B), perbandingan rumput

laut dan larutan KOH 1:40 pada suhu 90-95 oC

Residu

Filtrat

Tepung karaginan Rumput laut kering

Uji: rendemen, viskositas Perendaman dalam air 24 jam

Pengecilan ukuran

Tepung karaginan terbaik

Karakterisasi : kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kekuatan gel, kadar sulfat


(42)

Tahap 2. Pembuatan edible film

Edible film yang dihasilkan dari tepung karaginan dengan konsentrasi

berbeda kemudian dianalisis untuk menentukan karakteristiknya. Pada tahap ini akan didapatkan edible film dengan karakteristik terbaik untuk konsentrasi tepung

karaginan yang digunakan. Parameter yang diuji meliputi ketebalan menggunakan alat jangka sorong, kuat tarik dan persen pemanjangan dengan testing machine

MPY (ASTM 1983), laju transmisi uap air dengan metode cawan (ASTM 1967) dan struktur mikroskopis menggunakan scanning electron microscope (SEM).

Diagram alir pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir pembuatan edible film (Cha et al.* 2002 yang telah

dimodifikasi).

Larutkan dalam air suhu 80 oC dan dihomogenkan selama 30 menit

Penuangan pada plate

Pengeringan suhu 50 oC selama 8 jam Penambahan plasticizer (gliserol) 0,75%

dihomogenkan Larutan homogen

Edible film

Tepung karaginan (0,5%; 1%*; 1,5%; 2%)

Uji : Ketebalan, kuat tarik, persen

pemanjangan, WVTR, SEM


(43)

Tahap 3. Aplikasi edible coating pada udang kupas rebus

Udang kupas rebus akan diaplikasikan menggunakan larutan karaginan konsentrasi terbaik pada tahap 2 dengan cara pencelupan untuk melihat pengaruh penggunaan larutan karaginan terhadap mutu udang kupas rebus yang disimpan pada suhu dingin (2 oC). Sebelum dilakukan penelitian utama untuk melihat pengaruh penggunaan coating karaginan terhadap mutu udang kupas rebus,

dilakukan penelitian pendahuluan untuk menentukan daya simpan udang kupas rebus tanpa coating pada suhu dingin (2 oC). Udang kupas rebus tanpa coating

disimpan dalam lemari pendingin suhu 2 oC kemudian dilakukan pengamatan TPC setiap 2 hari sekali untuk mengetahui jumlah bakteri udang selama penyimpanan. Udang kupas rebus dikatakan busuk atau tidak dapat diterima lagi jika jumlah bakterinya melebihi 5,0x104 kol/g (SNI 01-3458.1-2006). Lama pengamatan dan selang pengamatan untuk penelitian utama ditentukan berdasarkan daya simpan udang hingga mengalami kebusukan yang merupakan hasil dari penelitian pendahuluan. Diagram alir prosedur aplikasi edible coating

pada udang kupas rebus dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir prosedur aplikasi edible coating karaginan pada udang

kupas rebus (Riyanto 2006 yang telah dimodifikasi).

Pencelupan dalam larutan karaginan 40 oC selama 5 detik

Pengamatan tiap 3 hari meliputi TPC, kadar air, pH, kadar protein, TVBN, organoleptik

Penyimpanan pada suhu dingin (4-6oC) Udang kupas rebus


(44)

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis kimia, fisika dan mikrobiologi. Analisis kimia yang dilakukan terdiri dari kadar air, kadar abu, viskositas, pH, kadar abu tak larut asam, kadar sulfat, kekuatan gel, kadar protein dan TVBN. Analisis fisika yang dilakukan meliputi rendemen, ketebalan film,

persentase pemanjangan dan kuat tarik film serta laju transmisi uap air film;

sedangkan analisis mikrobiologi yang dilakukan adalah TPC. 3.4.1 Rendemen

Analisis rendemen dilakukan dengan cara membandingkan berat tepung karaginan dengan berat rumput laut kering yang digunakan. Rendemen dihitung berdasarkan rumus :

Rendemen (%) = Berat karaginan kering

Berat rumput laut kering x 100% 3.4.2 Kadar air (Metode Gravimetri, AOAC 1995)

Sampel karaginan yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 1-2 gram dalam botol timbangan yang telah bersih dan kering dan diketahui beratnya. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama waktu tertentu tergantung jenis bahannya. Untuk bahan-bahan yang relatif kering seperti biji-bijian, kedelai, kacang-kacangan memerlukan waktu 3-5 jam, sedangkan bahan-bahan basah memerlukan waktu 24 jam. Makin besar kandungan air dalam suatu bahan pangan makin lama waktu pemanasan yang diperlukan. Pengeringan dilakukan selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang; perlakuan ini diulangi sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan yang dihitung dengan rumus :

Kadar air ( %) = Ber at awal −akhir


(45)

3.4.3 Kadar abu (Metode Gravimetri, AOAC 1995)

Analisis kadar abu dilakukan dengan cara memanaskan sampel hingga menjadi abu menggunakan muffle furnace. Pertama-tama, krus porselen dengan

tutupnya dipijarkan dalam muffle furnace kemudiandidinginkan dalam oven dan

dimasukkan ke dalam eksikator sampai dingin. Krus yang telah dingin ditimbang untuk mengetahui berat krus kosong.

Sampel karaginan kering ditimbang dalam krus porselen yang telah diketahui beratnya (kira-kira 2 gram), selanjutnya dipanaskan di atas kompor listrik sehingga bahan menjadi arang. Kemudian dipijarkan dalam muffle suhu

600 oC selama  6 jam sampai menjadi abu berwarna keputih-putihan, biarkan

muffle sampai menunjukkan suhu kamar, kemudian baru dibuka tutupnya. Krus

didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven suhu 105 oC selalam 1 jam kemudian dimasukkan ke dalameksikator hingga dingin. Krus yang telah dingin selanjutnya ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar abu (% db)= Berat abu (g)

Berat sampel kering (g) x 100%

3.4.4 Kadar abu tak larut asam (FMC 1977)

Karaginan yang telah diabukan kemudian didihkan dengan 25 ml HCl 10% selama 5 menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring dengan kertas saring tidak berabu (kertas saring Whatman 42). Kertas saring diabukan seperti prosedur di atas lalu didinginkan dalam oven suhu 105 oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam esikator dan selanjutnya ditimbang. Kadar abu tak larut asam dihitung dengan rumus :

Kadar abu tak larut asam(%) = Berat abu


(46)

3.4.5 Kadar sulfat (AOAC 1995)

Karaginan sebanyak 1 gram dimasukkan kedalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N dan direfluks sampai mendidih selama 1 jam. Sebanyak 25 ml larutan H2O2(1:10) ditambahkan dan direfluks selama 5 jam sampai larutan menjadi jernih. Larutan yang diperoleh dipindahkan kedalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih, kemudian ditambahkan 10 mL larutan BaCl2 (tetes demi tetes sambil diaduk) diatas penangas air selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berabu dan dicuci dengan aquades mendidih hingga bebas klorida. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut :

Kadar Sulfat (%) =P x

BM SO4

BM BaSO4

Berat sampel x 100% P = berat endapan BaSO4 (garam)

3.4.6 Viskositas (FMC 1977)

Larutan karaginan konsentrasi 1,5% dipanaskan dalam bak air mendidih sambil diaduk secara teratur hingga mencapai suhu 75 oC. Viskositas diukur menggunakan alat viscometer pada saat suhu larutan mencapai 75 oC. Pembacaan

dilakukan setelah 1 menit putaran penuh untuk spindel no 1. Viskositas yang terukur mempunyai satuan poise (1 poise = 100 centipoise).

3.4.7 Kekuatan gel (FMC 1977)

Larutan panas dimasukkan kedalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 oC selama 2 jam. Gel dalam cetakan dimasukkan kedalam alat ukur (Rheoner RE-3305) sehingga plunger yang akan bersentuhan


(47)

3.4.8 Ketebalan film (ASTM 1983)

Ketebalan film diukur dengan jangka sorong yang mampu mengukur

ketebalan dengan ketelitian 0,001 mm. Ketebalan sebuah film diukur pada lima

tempat yang berbeda. Dari lima tempat tersebut kemudian di rata-rata. 3.4.9 Kuat tarik dan persen pemanjangan (ASTM 1983)

Daya rentang dan persen pemanjangan diukur dengan Testing Machine

MPY (tipe : PA-104-30, Ltd. Tokyo, Jepang). Daya rentang ditentukan berdasarkan beban maksimum dan persen pemanjangan dihitung pada saat film

pecah atau sobek.

Kuat tarik kgf/cm2 = Gaya Luas 3.4.10 Laju transmisi uap air (ASTM 1967)

Laju transmisi uap air diukur dengan menggunakan water vapor transmition rate tester bargerlahr metode cawan. Tutup cawan diletakkan

sedemikian rupa sehingga bagian yang beralur menghadap ke atas. Film

diletakkan ke dalam tutup cawan, lalu cincin karet diletakkan untuk sealing ke

dalam, ditutup hingga cincin tersebut menekan film.

Cawan ditimbang dengan ketelitian 0,0001 g kemudian diletakkan dalam

humidity chamber, ditutup lalu kipas angin dijalankan. Cawan ditimbang tiap hari

pada jam yang sama dan ditentukan pertambahan berat cawan. Nilai laju transmisi uap air ditentukan dengan rumus :

WVTR g/m2/hari =g x 24 t x a 3.4.11 TPC (Fardiaz 1993)

Uji mikrobiologis dilakukan dengan perhitungan jumlah mikroba yang ada dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Campuran diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 ml larutan garam 0,85% steril sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Kemudian dilakukan prosedur serupa untuk pengenceran 10-3 dan seterusnya hingga


(48)

pengenceran 10-5. Agar steril dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku. Sebanyak 0,1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar tersebut. Contoh diratakan di atas permukaan medium agar menggunakan batang gelas steril dan diinkubasi pada suhu 10 oC selama 5 hari. Jumlah koloni dihitung berdasarkan rumus :

Jumlah Koloni ( kol/ g) =Koloni yang terhitung x 1

Faktor Pengenceran 3.4.12 Kadar protein (AOAC 1995)

Pengujian kadar protein dilakukan dalam tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Tahapan pengujian kadar protein adalah sebagai berikut :

a. Destruksi

Labu diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 400 oC di dalam ruang asam. Destruksi dilakukan hingga larutan menjadi bening (1-1,5 jam). Hasil destruksi kemudian didinginkan dan diencerkan dengan akuades secara perlahan hingga mencapai 100 ml.

b. Destilasi

Sebanyak 10 ml hasil dekstruksi dipipet dan dimasukkan ke dalam labu destilasi. Ujung kondensor harus terendam di bawah larutan asam borat. Tambahkan sampel hasil destruksi dengan 8-10 ml larutan NaOH kemudian lakukan destilasi sampai berwarna hijau kebiruan.

c. Titrasi

Titrasi hasil destilasi menggunakan larutan HCl 0,01 N hingga larutan berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus :

Kadar protein (%) = Kadar N x 6,25

3.4.13 Derajat keasaman (pH) (AOAC 1995)

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pHmeter digital. Sebelum digunakan, alat pHmeter dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 4 lalu dicelupkan pada buffer pH 7 dan dibiarkan sesaat hingga stabil.


(49)

3.4.14 TVBN (AOAC 1995)

Analisis TVBN dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 100 gram dan ditambah dengan 300 ml larutan TCA 7% kemudian dihaluskan. Larutan disaring dengan kertas saring hingga didapat filtrat jernih. Lakukan destilasi, destilat ditampung dengan 15 ml HCl 0,01 M. Tambahkan beberapa tetes indikator merah fenol ke dalam destilat kemudian dititrasi dengan NaOH 0,01 M hingga berwarna merah muda.

3.4.15 Struktur mikroskopis menggunakan SEM (Toya et al. 1986)

Scanning electron microscope (SEM) merupakan mikroskop yang bekerja

dengan prinsip pancaran elektron diradiasi terhadap specimen. Sampel yang akan diuji menggunakan SEM harus dalam keadaan kering, bisa ditempel pada

specimen holder dengan ukuran 8 mm, bebas dari kotoran dan tidak berminyak. Specimen holder dibersihkan dengan hand blower untuk menghilangkan

debu-debu pengotor kemudian sampel ditempelkan. Spesimen selanjutnya diberi lapisan tipis (coating) dari emas-paladium (Au : 80% dan Pd : 20%) dengan

menggunakan mesin ion sputter JFC-1100. Pemberian coating bertujuan agar

sampel atau spesimen yang akan dipotret menggunakan SEM dapat menghantarkan listrik. Ketebalan coating adalah 400 Å. Spesimen yang telah

dicoating dimasukkan ke dalam specimen chamber pada mesin SEM untuk

dilakukan pemotretan.

3.4.16 Uji organoleptik (SNI 2006)

Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah uji skoring menggunakan 30 orang panelis non standar. Pengujian dilakukan pada ruangan khusus organoleptik yaitu Laboratorium Organoleptik program studi THP IPB. Sampel yang akan diamati diberi kode sesuai dengan tabel kode contoh. Lembar pengujian skoring mengacu pada lembar penilaian sensori udang kupas rebus beku. Tiap panelis diminta untuk mengisi skor sampel yang diamati pada lembar yang tersedia. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dan diurutkan dari besar ke kecil untuk selanjutnya diuji menggunakan uji Krusskal Wallis.


(50)

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian tahap 1 dan 3 menggunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor. Pada tahap 1, faktor A adalah konsentrasi KOH 0,5%; 1% dan 1,5%, sedangkan faktor B adalah lama ekstraksi 1; 2 dan 3 jam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pada tahap 3, faktor A adalah aplikasi coating dan tanpa coating, sedangkan faktor B adalah

lama penyimpanan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Model matematika rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dapat dirumuskan sebagai berikut :

Yijk = µ+ A1 + B1 + (AB)ij + Єijk

Keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum

Ai = Pengaruh utama faktor A pada taraf ke-i Bj = Pengaruh utama faktor B pada taraf ke-j

Penelitian tahap 2 menggunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Rancangan acak lengkap (RAL) dapat ditulis dalam model matematika sebagai berikut:

Yij= µ + τi+ Єij

Keterangan : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Nilai tengah umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i


(51)

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam untuk mengetahui adanya pengaruh atau tidak dari masing-masing perlakuan pada tingkat signifikansi 95%. Apabila ada pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (DMRT) untuk melihat perbedaan dari masing-masing perlakuan (Sastrosupadi 2004).

Data organoleptik diolah menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal Wallis (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah :

H= 12 n+(n+1)+

Ri2

ni - 3 (n+1)

H1= H pembagi

Pembagi=1- ∑T

( n-1)( n+1) dengan T=(t-1)(t+1)

Keterangan :

n = jumlah data total

ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Ri2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-i

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku


(52)

H1 = H terkoreksi

t = banyaknya pengamatan seri

Apabila data hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut perbandingan berganda (multiple comparison) untuk

mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda (multiple comparison) dapat dirumuskan sebagai berikut :

|R −R > Zα k ( n + 1) 6 Keterangan :

R = rata-rata ranking perlakuan ke-i

Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j

k = banyaknya ulangan n = jumlah data total


(53)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap 1 adalah optimasi ekstraksi karaginan dan karakterisasi tepung karaginan terbaik yang dihasilkan. Tahap 2 merupakan tahap pembuatan edible film dari tepung karaginan terbaik dan tahap 3

adalah tahap aplikasi coating karaginan dalam mempertahankan mutu udang

kupas rebus yang disimpan dingin. 4.1 Optimasi Ekstraksi Karaginan

Optimasi metode ekstraksi perlu dilakukan untuk menghasilkan karaginan yang sesuai dengan arah pemanfaatannya, yaitu sebagai bahan baku pembuatan

edible film. Metode ekstraksi yang dapat menghasilkan karaginan dengan nilai

rendemen dan viskositas tertinggi adalah metode ekstraksi yang optimal. 4.1.1 Rendemen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen karaginan yang dihasilkan berkisar antara 12,11 - 45,64%. Rendemen terendah dihasilkan oleh perlakuan konsentrasi KOH 1,5% dengan lama ekstraksi 3 jam sedangkan rendemen tertinggi merupakan hasil ekstraksi menggunakan konsentrasi KOH 0,5% dengan lama ekstraksi 1 jam. Berdasarkan hasil analisis ragam, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95%, interaksi antara kedua faktor tersebut juga berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan KOH 0,5% selama 1 jam menghasilkan rendemen tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan KOH 1,5% selama 1 jam, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Histogram rerata rendemen karaginan dapat dilihat pada Gambar 8.


(54)

Gambar 8 Histogram rerata rendemen karaginan.

Gambar 8 menunjukkan bahwa interaksi antara peningkatan konsentrasi KOH sejalan dengan semakin lamanya ekstraksi mengakibatkan rendemen karaginan yang dihasilkan semakin menurun. Penurunan ini terjadi karena peningkatan konsentrasi KOH dan lama ekstraksi menyebabkan larutan karaginan yang dihasilkan semakin kental sehingga susah untuk disaring. Suryaningrum et al. (2003) juga mengemukakan bahwa rendahnya rendemen karaginan akibat

waktu ekstraksi yang terlalu lama disebabkan oleh semakin banyaknya penguapan yang menyebabkan larutan karaginan semakin kental dan cepat membentuk gel sehingga sulit untuk disaring. Penurunan rendemen juga dapat disebabkan oleh fragmentasi polimer karaginan akibat terlalu lama kontak dengan larutan KOH dan suhu tinggi.

4.1.2 Viskositas

Nilai viskositas karaginan tertinggi diperoleh dari ektraksi menggunakan KOH konsentrasi 0,5% dengan waktu ekstraksi 1 jam yaitu 18,00 cP. Nilai

45,64d 33,53c 40,83d 23,95b 29,22c 15,07a 20,00b 22,52b 12,11a 0 10 20 30 40 50 60

0,5 1 1,5

R e ra ta r e n d e m e n (% )

Konsentrasi KOH (%)


(55)

viskositas karaginan terendah adalah 5,17 cP yang merupakan hasil ekstraksi menggunakan KOH konsentrasi 1,5% dengan waktu ekstraksi 3 jam. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa interaksi antara variasi konsentrasi KOH dan lama ekstraksi berpengaruh (p<0,05) terhadap viskositas karaginan yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan KOH 0,5% selama 1 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan KOH 0,5% selama 3 jam tetapi berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya. Histogram rerata viskositas dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Histogram rerata viskositas karaginan.

Gambar 9 menunjukkan bahwa viskositas karaginan akan semakin menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi KOH dan lama ekstraksi. Menurut Suryaningrum et al. (2003), konsentrasi KOH yang tinggi diikuti dengan

semakin lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan terjadinya fragmentasi polimer karaginan yang dapat menurunkan berat molekul polimer karaginan. Nilai viskositas erat kaitannya dengan berat molekul polimer karaginan, dimana semakin tinggi berat molekul polimer maka nilai viskositas juga semakin tinggi.

18,00d 6,08ab 5,67a 10,75bc 8,25ab 6,67a 13,92cd 7,25ab 5,17a 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24

0,5 1 1,5

R e ra ta v is k o s ita s (c P)

Konsentrasi KOH (%)


(56)

Penggunaan larutan KOH dalam proses ekstraksi karaginan bertujuan untuk meningkatkan daya gelasi larutan karaginan. Kappa karaginan mengandung dua gugus sufat, yaitu gugus 6-sulfat dan gugus 4-sulfat. Semakin tinggi konsentrasi KOH yang digunakan maka grup 6-sulfat yang tereliminasi juga semakin banyak sehingga kandungan sulfat dalam polimer karaginan menurun dan menyebabkan penurunan nilai viskositas larutan karaginan. Reaksi eliminasi gugus sulfat oleh alkali dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Reaksi eliminasi gugus sulfat polimer karaginan oleh alkali. (Campo et al. 2009)

4.1.3 Karakteristik tepung karaginan terbaik

Tepung karaginan terbaik adalah tepung karaginan yang memiliki nilai rendemen dan viskositas tertinggi. Nilai rendemen yang tinggi menunjukkan bahwa metode ekstraksi karaginan yang digunakan dapat menghasilkan karaginan dalam jumlah tinggi, yang berdampak pada keuntungan secara ekonomi. Viskositas juga merupakan parameter penting yang berkaitan erat dengan kemampuan tepung karaginan untuk diaplikasikan sebagai edible film. Larutan

karaginan yang terlalu encer sebagai akibat rendahnya nilai viskositas menyebabkan larutan karaginan sukar dicetak menjadi edible film. Berdasarkan

kedua parameter tersebut, maka metode ekstraksi yang dapat menghasilkan karaginan dengan spesifikasi terbaik adalah ekstraksi menggunakan konsentrasi


(57)

KOH 0,5% dengan lama ekstraksi 1 jam. Karakteristik tepung karaginan terbaik dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik tepung karaginan terbaik

Spesifikasi Tepung

karaginan terbaik

FCC Basmal et al.

(2003)

Basmal et al.

(2005)

Suryaningrum et al.

(2003)

Rendemen (%) 45,64 - 16,56 29,33 49,03

Viskositas (cP) 18 ≥ 5 14,9 15 112

Kadar air (%) 16,26 - 10 9,4 27,59

Kadar abu (%) 35,9 ≤ 35 24,55 14,1 14,4

Kadar abu tak larut asam (%)

0,33 ≤ 1 0,9 0,23 0,3

Kadar sulfat (%) 5,04 18 - 40 18,25 18,1 14,19

Kekuatan gel (gf)

385,63 - - - -

Rendemen tepung karaginan yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Basmal et al. (2003) dan Basmal et al. (2005) yaitu

berturut-turut 16,56% dan 29,33Penelitian Basmal et al. (2003) menggunakan

konsentrasi KOH 3,5% dengan lama ekstraksi 2 jam untuk menghasilkan tepung karaginan sedangkan Basmal et al. (2005) menggunakan konsentrasi KOH 12%

dengan waktu ekstraksi 2 jam. Penggunaan konsentrasi KOH yang tinggi dan proses ekstraksi yang lebih lama menyebabkan rendemen yang didapatkan semakin rendah karena larutan karaginan semakin kental sehingga sulit untuk disaring.

Nilai viskositas tepung karaginan hasil penelitian telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh FCC yaitu ≥ 5 cP. Apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, viskositas karaginan hasil penelitan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Basmal et al. (2003) dan Basmal et al. (2005) yaitu berturut-turut


(1)

Lampiran 12 Analisis Krusskal Wallis pengeringan

Tabel 1 Kruskall Wallis pengeringan

Pengeringan

Chi-Square 217,052

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai pengeringan

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F

Kontrol hari ke-12 30 5,5000

Kontrol hari ke-9 30 6,0000

Coating hari ke-21 30 6,7667

Coating hari ke-15 30 7,0333

Coating hari ke-18 30 7,2333 7,2333

Kontrol hari ke-6 30 7,2333 7,2333

Coating hari ke-9 30 7,7667 7,7667

Coating hari ke-12 30 7,8000 7,8000

Coating hari ke-6 30 8,2333 8,2333

Kontrol hari ke-3 30 8,5333 8,5333

Coating hari ke-3 30 8,8333

Kontrol hari ke-0 30 8,9333

Coating hari ke-0 30 8,9667

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata


(2)

Lampiran 13 Analisis Krusskal Wallis perubahan warna

Tabel 1 Kruskall Wallis perubahan warna

Diskolorasi

Chi-Square 259,883

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai perubahan warna

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F

Kontrol hari ke-12 30 5,4000

Coating hari ke-21 30 5,4333

Coating hari ke-18 30 6,3667

Coating hari ke-15 30 6,5333

Kontrol hari ke-9 30 7,0000

Kontrol hari ke-6 30 7,1333

Coating hari ke-12 30 7,2000

Coating hari ke-9 30 7,2667

Coating hari ke-6 30 7,8667

Kontrol hari ke-3 30 8,0333 8,0333

Coating hari ke-3 30 8,4667

Coating hari ke-0 30 9,0000

Kontrol hari ke-0 30 9,0000

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata


(3)

Lampiran 14 Analisis Krusskal Wallis kenampakan

Tabel 1 Kruskall Wallis kenampakan

Kenampakan

Chi-Square 162,170

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai kenampakan

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F G

Kontrol hari ke-12 30 5,6000

Coating hari ke-21 30 5,6667

Coating hari ke-15 30 6,0667 6,0667

Coating hari ke-18 30 6,2667 6,2667

Kontrol hari ke-9 30 6,4000 6,4000 6,4000

Coating hari ke-12 30 6,4667 6,4667 6,4667

Kontrol hari ke-6 30 6,6000 6,6000 6,6000 6,6000

Kontrol hari ke-3 30 6,8000 6,8000 6,8000

Coating hari ke-9 30 6,9333 6,9333

Coating hari ke-6 30 7,2000 7,2000

Coating hari ke-3 30 7,7333

Coating hari ke-0 30 8,5333

Kontrol hari ke-0 30 8,6667

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata


(4)

Lampiran 15 Analisis Krusskal Wallis bau

Tabel 1 Kruskall Wallis bau

Bau

Chi-Square 184,268

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai bau

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F

Coating hari ke-21 30 4,3333

Kontrol hari ke-12 30 4,3333

Coating hari ke-18 30 5,4000

Coating hari ke-15 30 5,7333 5,7333

Kontrol hari ke-9 30 5,8667 5,8667 5,8667

Kontrol hari ke-6 30 6,2000 6,2000 6,2000

Coating hari ke-12 30 6,3333 6,3333 6,3333

Coating hari ke-9 30 6,4667 6,4667

Kontrol hari ke-3 30 6,7333

Coating hari ke-3 30 7,6000

Coating hari ke-6 30 7,6000

Coating hari ke-0 30 7,9333

Kontrol hari ke-0 30 8,0000

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata


(5)

Lampiran 16 Analisis Krusskal Wallis rasa

Tabel 1 Kruskall Wallis rasa

Rasa

Chi-Square 171,898

df 7

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai rasa

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E

Coating hari ke-12 30 4,3333

Coating hari ke-9 30 5,2000

Kontrol hari ke-3 30 5,6000

Kontrol hari ke-6 30 5,6000

Coating hari ke-6 30 6,4000

Coating hari ke-3 30 8,2000

Coating hari ke-0 30 8,8000

Kontrol hari ke-0 30 8,8667

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata


(6)

Lampiran 17 Analisis Krusskal Wallis tekstur

Tabel 1 Kruskall Wallis tekstur

Tekstur

Chi-Square 169,686

df 12

Asymp, Sig, ,000

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kruskall Wallis, interaksi antara aplikasi (tanpa

coating

dan

coating

)

dengan lama penyimpanan mempengaruhi

nilai tekstur

yang diamati

Tabel 2 Uji lanjut

multiple comparison

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

A B C D E F

Coating hari ke-21 30 5,4000

Kontrol hari ke-12 30 6,0000 6,0000

Coating hari ke-15 30 6,4000

Coating hari ke-18 30 6,4667

Coating hari ke-12 30 7,2000

Kontrol hari ke-9 30 7,5333 7,5333

Kontrol hari ke-6 30 7,6667 7,6667 7,6667

Coating hari ke-9 30 7,8000 7,8000 7,8000

Kontrol hari ke-3 30 8,1333 8,1333 8,1333

Coating hari ke-6 30 8,2667 8,2667

Coating hari ke-3 30 8,6000

Kontrol hari ke-0 30 8,6667

Coating hari ke-0 30 8,8000

Subset yang sama menunjukkan bahwa antar perlakuan (interaksi antara aplikasi

dan lama penyimpanan) tidak berbeda nyata,