66
dibangun dengan prinsip self assessment system. Bahkan semakin lama perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self
assessment system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus memperhatikan prinsip tersebut, termasuk
mental yang terbangun dari pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan.
Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan system self assessment cenderung mengalami stagnasi. Sampai
dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun pelaporan hutang pajaknya.
Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem quasi self assessment dan quasi official
assessment. Terminologi Quasi yang diartikan semu dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah
murni.
Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan
PP 46 dengan mengenakan sebesar 1 dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil
menengah.
Begitu pula Sistem quasi official assessment juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan
kanvasing atau penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan tax
compliance yang rendah karena dalam metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya.
4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan
Dengan target pajak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target
penerimaan setinggi-tingginya. Untuk memenuhi target, fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para
kepala kantor mengakali penerimaan dan pengeluaran pajak dengan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
67
menggunakan modus
mempercepat penyelesaiaan
kasus pemeriksaan, memaksakan pengenaan pajak yang bersifat grey area,
memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran dll, demi
pencapaian target penerimaan tahun ini. Artinya Penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang.
Sebaliknya pengeluaran tahun ini di tunda ke tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi sebelum reformasi birokrasi.
Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih
apabila menyangkut jumlah yang material. Seringkali kasus keberatan di tolak bukan karena tingkat kebenaan kasus tersebut, tapi lebih
dikarenakan pertimbangan dampak terhadap target penerimaan.
Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip self assessment system. Karena akan
menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan kekacauan misalkan
potensi pajak masing-masing KPP sulit terukur, momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja
aparatur pajak, menyuburkan terjadinya korupsi dll.
5. Maksimalisasi target penerimaan pajak
Dengan prinsip sistem self assessment, target penerimaan seharusnya mengarah pada titik paling optimum yang bisa digali optimalisasi.
Idealnya pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang
dapat dilakukan dengan penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak potensial. Profiling dilakukan
untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen Pajak memilliki
acuan benchmark mengenai kondisi usaha dan laba yang diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di
intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
68
Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya maksimalisasi.
Hal ini tentunya dapat memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat
akan pajak.
B. P embangunan
sistem pajak yang tidak mengarah pada cita-cita pajak bangsa.
1. Arah
kebijakan yang bertumpu pada target penerimaan
Dari tahun
ke tahun pembuat kebijakan lebih berfokus pada pencapaian target penerimaan. Ada kecendrungan pembuat
kebijakan lebih fokus pada bagaimana menaikan target penerimaan. Perangkat hukum tinggal disiapkan agar kebijakan
tersebut menjadi legal.
Tentu saja tolok ukur target penerimaan, pada akhirnya menjadikan
masyarakat menjadi
fihak yang paling dirugikan. Karena masyarakat sebagai fihak yang memiliki kewajiban membayar pajak. Masyarakat
menjadi fihak yang harus menanggung beban atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Bahkan disaat target penerimaan pajak tercapai dan dianggap sebagai
suatu keberhasilan maka tahun berikutnya, target penerimaan akan ditetapkan lebih tinggi. Begitu pula sebaliknya akan lebih memberatkan
masyarakat, jika target penerimaan pajak tidak tercapai dan dianggap sebagai kegagalan. Karena pemerintah akan melakukan berbagai
upaya, yang intinya akan menaikan target penerimaan pajak. Pada akhirnya masyarakat hanya dipandang sebagai objek pengenaan
pajak. Potensi pajak masyarakat yang sesungguhnya tidak pernah tergali, bahkan cenderung menjadi semakin menjauh.
2. Sistem pajak