Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H.

60 tersebut ditemukan aspek-aspek pelanggaran yang diatur di masing-masing Negara. Padahal, perdagangan diciptakan untuk mendorong nilai ekonomi pada suatu komunitas besar yang disebut negara. Masyarakat termasuk di dalamnya bisa ikut menikmati tumpahan ekonomi dari proses ini. Oleh karena itu, Ahli berharap, majelis hakim dapat mempertimbangkan keterangan ahli ini sebagai bagian untuk mencegah degradasinya perdagangan Indonesia di masa depan.

2. Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H.

Inti Permasalahan yang dimintakan pendapatnya kepada saya yaitu berkenaan dengan gugatan mengajukan permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Pengampunan Pajak” terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang untuk selanjutnya disebut sebagai “Undang-Undang Dasar”, terutama terhadap pengujian Pasal-pasal sebagai berikut: 1 Pengujian Materiil Pasal 1 ayat 1, Pasal 1 ayat 7, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 23A Undang-Undang Dasar; 2 Pengujian Materiil Pasal 19 ayat 1 dan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar; 3 Pengujian Materiil Pasal 11 ayat 2, Pasal 11 ayat 3, Pasal 11 ayat 5, Pasal 20, dan Pasal 22 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar; 4 Pengujian Materiil Pasal 1 ayat 7, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar; 5 Pengujian Materiil Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 23 Undang-Undang Pengampunan Pajak terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar; Di antara materi-materi yang dimohonkan untuk diuji, maka berdasarkan kompetensi dan pengetahuan yang saya miliki dan dimintakan kepada saya untuk dijelaskan sesungguhnya terutama berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 20 Undang-Undang Pengampunan Pajak dimana rumusan dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 61 “Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.” Ketentuan ini sesungguhnya memiliki dampak yang luas bukan hanya dalam penegakan hukum dibidang perpajakan tetapi penegakan hukum terutama hukum pidana secara keseluruhan. Harus disadari bahwa penegakan hukum dibidang perpajakan adalah terutama harus dimaknai sebagai bentuk penegakan hukum di bidang administrasi. Karena Undang-Undang Pajak adalah Undang-Undang Administratif yang bersanksi pidana. Tujuan dari penegakan hukum pajak adalah untuk mendapatkan pendapatan negara semaksimal mungkin dari sektor pajak. Sehingga hal ini menjadi berbeda dari tujuan penegakan hukum utamanya dalam hukum pidana yaitu menjaga ketertiban umum dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam konteks kebijakan tentang Tax Amnesty, maka hal ini dapat dimaklumi manakala adanya pembatasan kewenangan penuntutan oleh Jaksa penuntut umum. Filosofi dalam hukum pidana sebagai “ultimum remedium” sesungguhnya memberikan pesan bahwa penggunaan sarana hukum pidana selayaknya digunakan dengan hati-hati. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak pada dasarnya sudah memberikan jalan adanya mekanisme administratif yang dapat menyebabkan kewenangan penyidikan menjadi hapus manakala dengan itikad baik wajib pajak “dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan”, yang artinya tanpa suatu kebijakan tentang Tax Amnesty, sutau penghentian proses peradilan pidana dalam bidang perpajakan sudah merupakan mekanisme kebijakan yang dipilih dengan mengedepankan filosofi hukum pidana sebagai ultimum remedium. Akan tetapi, kebijakan ini agak menjadi suatu semangat yang “berlebihan, ketika dirumuskan dalam bentuk rumusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 tersebut di atas. Harus dipahami bahwa sesungguhnya ranah penegakan hukum pidana dibidang perpajakan tidak hanya berjalan sendirian. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 62 Tindak pidana ini tidak jarang berhubungan juga dengan tindak pidana lainnya misalnya dengan pemalsuan surat atau dokumen Pasal 263, Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP misalnya atau dengan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, illegal fishing, illegal loging, tindak pidana pertambangan atau tindak pidana lainnya. Oleh karenanya pembatasan status dimana dinyatakan bahwa status dokumen yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain tidak dapat menjadi dasar dilakukannya penyelidikan, penyidikan, danatau penuntutan pidana, membuat ketentuan ini berimbas pada kualitas dari dokumen yang akan menjadi alat bukti atau barang bukti dalam proses penyidikan atau penuntutan bukan hanya dalam tindak pidana perpajakan tetapi juga pada tindak pidana lainnya. Berkaitan dengan hal itu maka mohon kiranya kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa rumusan dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang “unconstitutional condition”, dan karenanya menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan keberlakukan atas ketentuan tersebut.

3. Drs. Basuki Widodo