Kajian Arsitektur Interior Berlandaskan Kebudayaan Tradisional (Kasus Studi Kampung Daun Culture Galery And Cafe)

(1)

(Kasus Studi : Kampung Daun Culture Galery and Cafe)

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah DI.38309 Skripsi Semester II tahun akademik 2010/2011

 

Oleh:

Ciptaning Mandiri 52006004

   

   

PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

2011


(2)

i

Arsitektur Nusantara dianggap sebagai cerminan jati diri dan budaya bangsa Indonesia. Dalam arus globalisasi yang demikian deras, arsitektur Nusantara diharapkan mampu bertahan dan menunjukkan eksistensinya. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan arsitektur rumah tradisional Kampung Cijelag, Desa Tomo, Kabupaten Sumedang sebagai bagian dari arsitektur Nusantara yaitu arsitektur tradisional Sunda. Objek studi yang diambil adalah Kampung Daun Culture Galery and Cafe, yang merupakan salah satu restoran yang bernuansa Parahyangan yang mempunyai keunikan tersendiri. Kampung ini merupakan salah satu contoh perkampungan di Jawa Barat, dimana masih terdapat rumah-rumah tradisional Sunda yang mampu bercerita tentang bagaimana sebenarnya makna yang terkandung pada bentukan arsitektur Sunda.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan kompilasi data-data yang terdapat di lapangan serta kajian yang diperoleh dari studi pustaka. Data yang ditelaah meliputi informasi tentang pola ruang dan bentuk arsitektural, dan susunan ruang. Dari literatur, diambil intisari yang penting untuk penelitian. Tulisan ini akan tertuju kepada sebuah kesimpulan bahwa arsitektur sebagai komunikasi visual pada bangunan tidak dapat terlepas dari sebuah budaya, dalam hal ini adalah budaya Sunda yang dianalisis melalui Kampung Daun Culture Galery and Cafe.


(3)

ii

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberi kekuatan hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya. Dan atas izin-Nya pula penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu.

Penulis menyusun skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Desain (S.Ds.) pada Program Studi Desain Interior Fakultas Seni dan Desain, Program Sarjana Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM).

Mulai dari proses penelitian hingga penyusunan akhir skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, perhatian, dan dukungan yang bermanfaat. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. Hary Lubis selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta pengarahan dalam proses asistensi hingga penyusunan akhir skripsi ini.

Demikian pula pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

ƒ Drs. Hary Lubis selaku Dekan Fakultas Desain, UNIKOM.

ƒ Cherry Dharmawan, S.Sn., M.Sn. sebagai Ketua Program Studi Desain

interior dan sebagai dosen wali yang telah mengarahkan penulis dalam pengambilan studi.

ƒ Tiara Isfiaty, S.Sn., M.Sn. sebagai Dosen Koordinator Tugas Akhir.

ƒ Para dosen penguji yang telah memberi masukan-masukan untuk

memperbaiki skripsi ini pada kesempatan preview hingga sidang.

ƒ Para staff pengajar terutama dosen Program Studi Desain Interior yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.


(4)

iii

ƒ Teman-teman Fakultas Desain angkatan 2006-2007 yang telah berbagi suka

duka selama ini serta memberi dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

ƒ Teman-teman seperjuangan : Ardy Nugraha, Diany Nasution, dan Uky, yang

memberikan dukungan selama ini.

ƒ Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan baik moral maupun material.

ƒ Demikian pula seluruh keluarga tercinta terutama bunda dan ayahanda

tercinta yang telah mendidik dan membesarkan ananda, serta kakakku tersayang Sendy Selaras dan Rival Kharisma yang telah menemani dan memberikan dukungan dalam penelitian.

ƒ Untuk seseorang yang disana yang tiada henti-hentinya untuk memberikan

dukungan, terima kasih!

Bandung, Agustus 2011


(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pariwisata dewasa ini adalah sebuah bisnis besar. Jutaan orang mengeluarkan triliunan dollar Amerika, meninggalkan rumah dan pekerjaan untuk memuaskan atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk menghabiskan waktu luang (leisure). Hal ini menjadi bagian penting dalam kehidupan dan gaya hidup di negara-negara maju. Namun demikian memposisikan pariwisata sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini mulai terlihat sejak berakhirnya Perang Dunia II di saat pariwisata meledak dalam skala besar sebagai salah satu kekuatan sosial dan ekonomi (MacDonald, 2004 dalam Diarta, 2009: 32).

Pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara sudah tidak di ragukan lagi, banyak negara sejak beberapa tahun terakhir menggarap pariwisata dengan serius dan menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan di dalam perolehan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun pengetasan kemiskinan. Pergerakan pariwisata berlangsung secara terus menerus dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dahulu hanya kelompok elite masyarakat yang dominan berwisata, sekarang hal itu dilakukan oleh hampir semua lapisan masyarakat (Hennig,1999 dalam Diarta, 2009: 15) dan jika berbicara tentang pariwisata tentunya tidak bisa dipisahkan dengan berbagai sarana akomodasi.

Sebagai suatu komoditas jasa, pariwisata juga dapat dipahami menggunakan pendekatan produk. Artinya, pariwisata merupakan suatu komoditas yang sengaja diciptakan untuk merespons kebutuhan masyarakat ( McIntosh, Goeldner, dan Ritchie, 1995 dalam Diarta, 2009: 17). Seperti salah satu restoran yang berada di Kota Bandung yang sengaja diciptakan untuk merespon kebutuhan masyarakat.


(6)

Dikutip dari buku Pengantar Ilmu Pariwisata, budaya sangat penting peranannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya orang lain tersebut. Industri pariwisata mengakui peran budaya sebagai faktor penarik dengan mempromosikan karakteristik budaya lokal. Sumber daya budaya dimungkinkan untuk menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisatanya.

Seperti yang terjadi pada kasus studi yang merupakan bangunan baru, tetapi menggunakan unsur-unsur tradisi. Unsur-unsur tradisi yang dipakai disini adalah tradisi Sunda. Di dalam rumah tradisional Sunda, ruangannya dibagi berdasarkan kedudukan dan fungsi anggota keluarga. Pembagian itu didasarkan kepada tiga daerah yang terpisah terbedakan penggunaannya yaitu : daerah wanita, daerah laki-laki dan daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki). Di daerah wanita terdapat sebuah ruangan yang fungsinya untuk memasak yang dinamakan dengan pawon, ruangan tersebut telah diatur dalam suatu ketentuan yang berlaku atau sering juga disebut pakem.

Penelitian diarahkan pada kasus studi ini karena memiliki unsur tradisional Sunda yang sangat kental yang membedakannya dengan restoran-restoran lain. Bukan hanya makanannya saja yang mengusung unsur tradisional tetapi menerapkan unsur bangunan tradisional juga. Pada kasus studi mengambil bentuk rumah tradisional Sunda. Bentuk dan gaya rumah adat Sunda ini pun sudah jarang ditemui, khususnya di daerah perkotaan. Tentunya hal ini bukan tanpa alasan. Kemajuan zaman dan adanya pengaruh budaya dari bangsa lain, membuat banyak bentuk rumah orang Sunda lebih bergaya modern. Hal ini menarik bagi penulis untuk mempelajarinya secara lebih dalam.

Proses pergeseran kebudayaan di Indonesia, khususnya di pedesaan, telah menyebabkan pergeseran terhadap wujud-wujud kebudayaan yang terkandung dalam arsitektur tradisional. Pembangunan bangsa yang dewasa ini giat dilakukan


(7)

di negara kita, pada hakekatnya adalah proses pembaharuan di segala bidang dan merupakan pendorong utama terjadinya pergeseran-pergeseran dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam bidang arsitektur tradisional.

Pergeseran-pergeseran itu cepat atau lambat akan membawa perubahan-perubahan terhadap bentuk, struktur dan fungsi arsitektur tradisional yang pada gilirannya akan menjurus ke arah berubah arsitektur tradisional dalam masyarakat.

Suku Sunda memiliki karakteristik yang unik yang membedakannya dengan masyarakat suku lain. Karakteristiknya tercemin dari kebudayaan yang dimilikinya baik dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian, dan lain sebagainya. Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.

Arsitektur dan interior Kampung Daun Culture Galery and Cafe sendiri merujuk pada rumah masyarakat tradisional Sunda. Penelitian diarahkan pada Kampung Cijelag, karena Kampung ini memiliki unsur rumah tradisional Sunda yang utuh dengan sifat tradisional yang menonjol dibandingkan dengan daerah yang lainnya.

1.2Identifikasi Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas, maka fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam kasus studi yang terjadi saat ini. Dari hasil observasi pada kasus studi terdapat beberapa masalah yang dianggap sangat penting, yaitu :

1. Pada kasus studi terdapat tampilan lokal Sunda, pada arsitektur maupun interiornya yang merujuk pada Kampung Cijelag, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang.


(8)

2. Kampung Daun Culture Galery and Cafe, menyesuaikan bentuk arsitektur dan interiornya dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada perancangan restorannya.

3. Ada perubahan-perubahan bentuk, struktur dan fungsi arsitektur

tradisional pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe yang berada di Jln Sersan Bajuri, Bandung. Perubahan bentuk itu ditandai dengan adanya bentuk bangunan yang lebih bergaya modern yang dipengaruhi oleh budaya dari bangsa Eropa. Pada kasus studi terdapat bangunan cafe yang lebih bergaya modern, hal ini terlihat pada interior bangunan tersebut. 4. Transportasi

Untuk masalah transportasi, kasus studi ini pun sulit dijangkau karena gerbang masuk menuju restauran jaraknya cukup jauh. Hal ini menyulitkan pengunjung restauran yang tidak membawa kendaraan. Tetapi sebagian besar pengunjung yang datang kesini membawa kendaraan pribadi. Adapun pengunjung yang memakai kendaraan pariwisata, seperti turis mancanegara yang datang dari negara Korea, Jepang, dan terutama wisatawan dari Eropa yang datang saat disana sedang liburan musim panas. Karena pada restauran ini, target segmentasinya adalah kalangan menengah ke atas.

5. Sosial

Terdapat masalah sosial yang posistif maupun negatif. Hal ini bisa dilihat hal positifnya, restoran ini menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk sekitar, karena sebagian besar pegawai disana merupakan penduduk setempat sehingga mengurangi tingkat pengangguran penduduk setempat. Sedangkan negatifnya, restoran ini target segmentasinya adalah kalangan menengah ke atas. Restoran ini ditujukkan restoran keluarga, walaupun ada sebagian orang yang datang tidak membawa keluarganya. Karena kasus studi ini merupakan konsep bisnis restoran dan galery, bukan sebuah penginapan sehingga jauh dari hal-hal yang tidak diinginkan (melanggar norma agama).


(9)

1.3Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada identifikasi masalah, terdapat suatu masalah yang teramati yaitu mengenai perkembangan salah satu restoran di kota Bandung yang memakai arsitektur interior tradisional dengan bernuansa Parahyangan. Dalam rumusan masalah ini hal-hal tersebut ditandai dengan memunculkan nilai lokal setempat pada arsitektur maupun interior restoran tersebut.

Berdasarkan hasil observasi maka dapat disimpulkan ada beberapa masalah yang terjadi di Kampung Daun adalah sebagai berikut :

ƒ Berupa apa saja tampilan lokal Sunda pada arsitektur dan interior

Kampung Daun Culture Galery and Cafe yang bergaya rumah tradisional Sunda ini.

ƒ Bagaimana unsur visual yang merujuk pada rumah masyarakat tradisional

Sunda itu disesuaikan dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada perancangan restoran bergaya Sunda tersebut.

ƒ Apa saja perubahan tentang aturan fungsi pakai kebudayaan tradisional

Sunda yang sebenarnya, dengan aturan fungsi pakai yang berada di Kampung Daun Culture Galery and Cafe.

1.4Batasan Masalah

Berbicara mengenai desain interior tidak lepas kaitannya dengan arsitektur. Maka dalam tulisan ini banyak uraian yang menyinggung masalah interior dan arsitekturnya. Permasalahan yang selalu muncul dalam perbincangan umumnya masalah fungsi, gaya yang dipakai, suasana yang dimunculkan pada arsitektur interior tersebut. Karena luasnya persoalan arsitektur interior, maka harus membatasi masalah.


(10)

Secara mendasar, permasalahan dibatasi terutama pada unsur visual yang terdapat dalam kasus studi yang menjadi objek penelitian. Objek penelitian itu pun dibatasi lagi meliputi segi pertama yaitu jenis bangunan. Jenis bangunan yang akan dibatasi adalah restoran. Segi kedua dalam pembatasan obyek penelitian adalah lokasi obyek penelitian yaitu Kampung Daun Culture Galery and Cafe. Ketiga, telaah dalam skripsi ini membatasi arsitektur tradisional daerah Jawa Barat, yaitu rumah masyarakat tradisional Sunda. Dan yang akan dibahas dalam tulisan ini, terutama mengenai unsur visual interior dan arsitektur. Unsur interiornya yang akan dibahas disini adalah, seperti lantai, pintu, jendela, dinding (bilik), furniture, skema material, elemen dekoratif, skema warna, konsep penghawaan, konsep pencahayaan. Sedangkan arsitekturnya yang akan dibahas disini adalah dilihat dari struktur bangunannya yang dibagi ke dalam tiga bagian pokok, yaitu bagian bawah (umpak/tatapakan), bagian tengah (tihang-tihang, palupuh, pintu, jendela, dan bilik), bagian atas (atap/hateup). Terakhir, kategori arsitektur rumah masyarakat tradisional Sunda yang dijadikan obyek penelitian yaitu Kampung Cijelag, Desa Tomo, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang.

1.5Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan penelitian kebudayaan tradisional dalam kaitannya dengan pengungkapan kembali nilai lokal tiada lain untuk :

Maksudnya :

1. Mendeskripsikan unsur-unsur arsitektur tradisional yang terdapat pada

Kampung Daun Culture Galery and Cafe.

2. Mencari, mengolah, dan meninjau data mengenai unsur arsitektur interior yang mengungkapkan nilai kebudayaan tradisional yang terdapat pada kasus studi ditinjau dari teori arsitektur masyarakat tradisional daerah Jawa Barat.

3. Untuk menambah wawasan mengenai arsitektur tradisional, terutama


(11)

4. Untuk melengkapi hasil penelitian arsitektur tradisional khususnya arsitektur tradisional Jawa Barat pada umumnya telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

Tujuannya :

1. Memahami arsitektur interior kebudayaan tradisional salah satunya

kebudayaan Sunda, dalam hal ini bangunan restoran sebagai kasus studi.

2. Membandingkan kebudayaan tradisional setempat dengan bangunan

restoran yang terdapat pada kasus studi.

3. Dapat memberikan informasi mengenai arsitektur tradisional Jawa Barat.

4. Melengkapi pembendaharaan pengetahuan tentang pengertian arsitektur

tradisional, aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional, jenis-jenis bangunan arsitektur tradisional, dan susunan ruangan.

1.6Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan metode deskriptif, yang dimaksud metode deskriptif adalah : “Suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran pada masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. ( Nazir, 1982 : 83 ).

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kajian teoritis mengenai arsitektur tradisional khususnya pada interior dan arsitektur daerah Jawa Barat yang diperoleh dari studi pustaka dan referensi lainnya yang dianggap relevan.

2. Survey dilakukan melalui pengamatan secara observasi mekanik terhadap interior dan arsitektur pada kasus studi.


(12)

1.7Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dimaksudkan untuk memudahkan dalam memahami permasalahan dan pembahasannya. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini, antara lain :

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini dikemukakan latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, maksud dan tujuan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Arsitektur Interior Kebudayaan Tradisional

Bab ini meliputi uraian teori-teori tentang konsep arsitektur tradisional : Pengertian arsitektur tradisional, aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional, jenis-jenis bangunan arsitektur tradisional, dan susunan ruangan, teknik dan cara pembuatan rumah tradisional.

Bab III Arsitektur Interior Bangunan Kampung Daun

Bab ini memaparkan tentang pengertian restoran, penerapan arsitektur interior di Kampung Daun Culture Galery and Cafe, konsep material dan teknik kontruksi bangunan, elemen dan dekoratif pada kasus studi.

Bab IV Kesimpulan

Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian dan pembahasan, yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak.


(13)

BAB II

ARSITEKTUR INTERIOR KEBUDAYAAN TRADISIONAL

2.1 Pengertian Arsitektur Tradisional

Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil, kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi, pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.

Arsitektur selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia dan zamannya. Karena manusia berubah maka sering pula aturan yang berlaku berubah. Di dalam beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna atau interpretasi dari bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena nilai kemasyarakatan berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan tersebut menurut pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147).

Lebih lanjut dijelaskan dalam Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

(1981/1982), bahwa “ arsitektur tradisional ialah suatu bangunan yang bentuk,

struktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan

sebaik-baiknya”. Kebudayaan dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata „budaya‟ yang

berarti suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah

kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan

merupakan seluruh sikap, adat istiadat, dan kepercayaan yang membedakan sekelompok orang dengan kelompok lain, kebudayaan ditransmisikan melalui bahasa, objek material, ritual, institusi (misalnya sekolah), dan kesenian, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya (Dictionary of Cultural Literatur).


(14)

Gambar 01. Arsitektur Nusantara Sumber : http//www.tamanmini.com

2.2 Aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional

Mengingat bahwa tuntutan kebutuhan manusia selalu berkembang, arsitekturnya pun akan terus berkembang. Arsitektur tersebut disesuaikan dengan kebutuhan kini dengan beragam aspek kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan landasan dalam merancang suatu arsitektur masa kini. Dijelaskan Eko Budihardjo, 1996: 62 bahwa “Kekhasan seni-budaya lokal, iklim tropis, bahan bangunan setempat, dan tuntutan kebutuhan masyarakat wajib ditimba sebagai sumber ilham

dan landasan perancangan.”

Hal tersebut diperinci oleh A. Sindharta dalam makalah “Landasan

Pengembangan Arsitektur Indonesia” (Eko Budihardjo,1997: 39-40) dengan

mengemukakan empat landasan untuk merintis dan mengembangan arsitektur Indonesia masa kini, antara lain:

1. Karena iklim merupakan faktor sangat penting, harus dipertimbangkan dalam perancangan dan perencanaan,

2. Penggunaan bahan lokal seperti batu bata, genting, kayu, bambu, hasil produksi industri rakyat harus tetap dianjurkan, di samping bahan produksi teknologi maju,


(15)

3. Seni kerajinan yang banyak ragamnya seperti seni ukir, ornamen, seni pahat, seni tenun, dan seni anyam harus dimanfaatkan untuk memberi ciri kepada arsitektur modern Indonesia.

4. Keanekaragaman budaya daerah, harus tetap dikembangkan, karena justru

keanekaragaman itulah merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

Dalam skripsi ini, akan dijabarkan lebih lanjut dua aspek tradisional meliputi budaya dan masyarakat.

2.2.1 Aspek Tradisional Budaya

„Bentuk Mengikuti Budaya‟ dicetuskan pertama kali oleh Skolimowski tahun

1976. Hal itu merupakan salah satu upaya menemukan kembali identitas atau jati diri dalam setiap karya baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.

Eko Budihardjo (1997: 6) mengemukakan “Karena terkait erat dengan keinginan kegiatan, dan perilaku manusia, makhluk berbudaya, maka suatu arsitektur semestinya juga sebagai salah satu cerminan budaya. Sehingga secara idealnya,

arsitektur Indonesia harus dapat pula mencerminkan budaya Bangsa Indonesia.” Ditambahkan olehnya dalam bagian lain tulisannya (1997: 9), “Sebagai budaya

bangsa dapat mempengaruhi arsitektur, maka arsitektur pun dapat membentuk

kebudayaan para pelakunya.”

Masalah kebudayaan merupakan aspek yang berpengaruh dalam pengembangan arsitektur tradisional. Pola hidup masyarakat pun turut membentuk arsitektur pemukimannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arsitektur adalah bagian yang integral dari pengembangan kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan menjadi salah satu aspek penting dalam wacana arsitektur interior tradisional. Konsep tradisional sendiri merupakan satu istilah yang menekankan aspek kebudayaan sebagai bagian utama dari sebuah lingkungan binaan.


(16)

2.2.2 Aspek Tradisional Masyarakat

Hindro T. Soemardjan pada Diskusi Panel Ikatan Mahasiswi Arsitektur FT-UI tahun 1982 sebagaimana dikutip dari buku Menuju Arsitektur Indonesia (Budihardjo, 1996: 108) yang menuturkan “Arsitektur adalah pengejawantahan (manifestasi) dari kebudayaan manusia. Atau dengan kata lain, arsitektur selalu

dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya.” Pernyataan ini didukung oleh Adhi Moersid (Budihardjo, 1996: 31) yang secara rinci menyebutkan bahwa “Arsitektur

yang kita huni merupakan manifestasi dari hidup kita sehari-hari, cermin kebudayaan kita, petunjuk dari tingkat perasaan artistik yang kita miliki, menggambarkan tingkat teknologi kita, kemakmuran kita, struktur sosial

masyarakat kita.”

Dapat disimpulkan bahwa, bangunan tradisional merupakan suatu bangunan yang terbentuk karena latar belakang budaya masyarakat. Oleh sebab itu, bangunan tradisional merupakan ungkapan budaya dan jalan hidup masyarakat, serta merupakan cerminan langsung dari masyarakat dalam mencoba mengekspresikan sesuatu.

Dari uraian di atas diketahui bahwa arsitektur merupakan cerminan suatu masyarakat, maka hal tersebut perlu dikaitkan dengan karakteristik masyarakat

yang bersangkutan. Akan tetapi pada arsitektur tradisional dalam

perkembangannya di waktu sekarang, tradisi dalam masyarakat itu sendiri bukan faktor penentu sekarang ini disebabkan arsitektur selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia dan zamannya. Karena manusia berubah maka sering pula aturan yang berlaku berubah. Di dalam beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna atau interpretasi dari bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena nilai kemasyarakatan berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan tersebut, sesuai dengan meminjam pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147).


(17)

2.3 Jenis-jenis bangunan kebudayaan tradisional Sunda 2.3.1 Bangunan dilihat dari bentuk atapnya

Suhunan Jolopong

Dikenal juga dengan sebutan suhunan panjang. “Jolopong” adalah istilah Sunda, artinya : tergolek lurus. Bentuk jolopong, memiliki suhunan yang sama panjangnya dengan kedua sisi bidang atap yang sejajar dengan suhunan itu. Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap, kedua bidang atap ini dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama (rangkap) dari kedua bidang atap. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah. Sedangkan pasangan sisi lainnya lebih pendek dibanding dengan dengan suhunan dan memotong tegak lurus kedua ujung suhunan itu. Dengan demikian, di kedua bidang atap itu berwujud dua buah bentukan persegi panjang. Sisi pendeknya bertemu pada kedua ujung suhunan. Pada tiap ujung batang suhunan, kedua sisi atap pendek membentuk sudut puncak dan apabila kedua ujung bawah kaki itu dihubungkan dengan suatu garis imaginer, akan membentuk segitiga sama kaki.

Gambar 02. Tampak atas suhunan Jolopong


(18)

Gambar 03. Suhunan Jolopong

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 04. Potongan depan suhunan Jolopong


(19)

Jogo Anjing atau Tagog Anjing

adalah bentuk atap yang memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan, bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya sangat pendek bila dibanding dengan panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar pelindung agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyinari ruangan dalam bagian depan. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibanding dengan tiang-tiang belakangnya, batang suhunan terletak di atas puncak-puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya terdapat di bawah atap belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper (tepas).

Gambar 05. Tampak samping suhunan Jogo Anjing


(20)

Gambar 06. Tampak depan suhunan Jogo Anjing

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 07. Tampak atas suhunan Jogo Anjing


(21)

Badak Heuay ( Hateup Badak Heuay )

adalah bangunan yang atapnya mirip dengan tagog anjing, perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.

Gambar 08. Tampak samping suhunan Badak Heuay

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 09. Tampak depan suhunan Badak Heuay


(22)

Gambar 10. Denah suhunan Badak Heuay

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Parahu Kumureb ( Jubleg Nangkub )

adalah bentuk atap yang memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap sama luasnya, berbentuk trapesium samakaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masing dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga samakaki dengan kedua titik ujung suhunan merupakan titik-titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium. Atap ini disebut juga oleh masyarakat kampung Panday kabupaten Sumedang terkenal dengan atap jubleg nangkub, yaitu diartikan sebagai bentuk atap yang memiliki lima buah bidang atap, satu pasang berbentuk trapesium siku-siku, satu bidang berbentuk segitiga samakaki dan pada sisi lainnya tidak berbidang atap. Pada bentuk atap jubleg nangkub, terdapat dua buah jure (batang kayu yang menghubungkan salah satu ujung batang suhunan kepada kedua sudut rumah), secara landai sehingga terbentuk satu bidang atap segitiga. Sisi bidang atap berbentuk segitiga inilah yang dijadikan sebagai bagian depan rumah. Bila dilihat bentuk atap ini dari samping rumah, mirip dengan jubleg (lesung) yang nangkub (telungkup).


(23)

Gambar 11. Suhunan Parahu Kumureb

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 12. Tampak samping suhunan Parahu Kumureb Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat


(24)

Gambar 13. Tampak atas suhunan Parahu Kumureb

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 14. Suhunan Jubleg Nangkub


(25)

Gambar 15. Tampak samping suhunan Jubleg Nangkub

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 16. Tampak atas suhunan Jubleg Nangkub


(26)

Julang Ngapak

adalah bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari arah muka rumahnya, bentuk atapnya menyerupai sayap dari burung julang (nama sejenis burung) yang sedang merentang. Bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan dari bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara kedua bidang-bidang atap itu. Bidang atap tambahan pada masing-masing sisi bidang atap itu nampai lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Menurut Yahya Ganda (1982, hal 45-57).

Gambar 17. Suhunan Julang Ngapak


(27)

Gambar 18. Potongan depan suhunan Julang Ngapak

Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat

Gambar 19. Suhunan Julang Ngapak


(28)

2.3.2 Bagian – bagian Rumah Jika Dilihat dari Fungsinya

Bagian Bawah Tatapakan

yaitu penahan dasar dari pada tiang rumah yang terbuat dari batu. Dibuat dari batu padas dari bagian yang paling keras, atau dapat pula dibentuk dari bata disusun menyerupai balok dengan ukuran panjang 1 meter dan tingginya 0,5 meter.

Bagian Tengah Tihang

merupakan bagian rumah tinggal yang sangat penting karena menyangga atap bangunan. Tihang dibuat dari kayu berbentuk segi empat berukuran 15 x 15 Cm. Tihang juga berguna untuk menempelkan dinding-dinding. Tihang-tihang untuk atap tambahan (emper) dibuat lebih kecil, dari pada tihang-tihang utama (disebut pula sasaka).

Palupuh/talupuh

dibuat dari kayu-kayu bilah yang disusun diatas balok-balok kayu atau bambu yang disebut darurung (dasar palupuh/lantai). Fungsinya sebagai lantai rumah yang memisahkan kolong dengan ruangan. Karena itu lantai yang terbuat dari palupuh dapat menghangatkan suasana udara dalam ruangan.

Pintu

dalam bahasa Sunda disebut panto. Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan ukuran manusia. Bagian ini dapat dibuat dari kayu atau bambu yang dianyam. Rangka pintu disebut jejeneng panto juga dibuat dari kayu.

Jendela Jalosi

yakni jendela yang berfungsi untuk mengatur pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan-papan kayu sedemikian rupa sehingga udara dapat bebas keluar masuk.


(29)

Dinding

merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai pemisah antara ruangan dalam rumah dengan alam sekitar (luar rumah) dan membentuk kesatuan ruangan-ruangan dalam rumah. Bagian ini terbuat dari bahan bambu yang dianyam (disebut bilik) dan bahan kayu (disebut gebyog). Dinding menempel langsung pada bagian luar dari tiang rumah, panjangnya dari lincar ( bagian dari rumah, kayu tipis penjepit bagian bawah rumah) sampai ke pamikul (kayu di bawah pangherat).

Bagian Atas Atap/hateup

Merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai penutup rumah, yang melindungi dari terik sinar matahari dan air hujan.

2.4 Susunan Ruangan

2.4.1 Pembagian ruangan berdasarkan bentuk atap

Ruangan-ruangan yang ada pada bangunan-bangunan rumah tempat tinggal pada umumnya sebagai berikut :

Pada rumah tinggal dengan atap suhunan panjang atau jolopong, pada umumnya terdiri atas :

- ruangan depan, disebut emper atau tepas.

- ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan. - ruangan samping, disebut pangkeng.

- ruangan belakang, terdiri atas : a. dapur, disebut pawon.

b. tempat menyimpan beras, disebut padaringan.

Pada rumah tinggal dengan atap leang-leang, ruangan-ruangannya, pada

umumnya terdiri atas :

- ruangan depan (emper). - ruangan tengah (tengah imah). - kamar tidur (pangkeng)


(30)

Pada umumnya rumah-rumah dengan bentuk atap jure, sistem pembagian ruangan secara lebih lengkap, adalah sebagai berikut :

- ruangan paling depan bawah atap, disebut balandongan. - ruangan depan dalam rumah disebut tepas.

- ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah). - ruangan-ruangan samping disebut pangkeng. - ruangan belakang disebut dapur (pawon).

2.4.2 Pembagian ruangan berdasarkan kedudukan dan fungsi anggota keluarga

Pembagian itu didasarkan kepada tiga daerah yang terpisah terbedakan penggunaannya yaitu :

- daerah wanita

- daerah laki-laki

- daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki).

Ruangan dapur hanya dipergunakan untuk keperluan memasak makanan untuk keperluan seluruh keluarga, ruangan ini dipergunakan khusus untuk wanita, terdiri atas istri atau anak perempuannya. Laki-laki dapat masuk ke ruangan ini, misalnya untuk mengambil makanan pada saat istri dan anak perempuannya bekerja di ladang. Selain dapur, goah (tempat untuk menyimpan padi atau gabah) juga merupakan ruangan untuk wanita.

Ruangan depan adalah ruangan untuk laki-laki, ruangan ini tanpa dinding, sehingga orang luar dapat langsung berjalan ke ruangan tersebut.

Ruangan netral adalah ruangan tengah yang disebut “tengah imah” atau

patengahan”, ruangan ini dipergunakan baik untuk wanita (istri), laki-laki (suami) maupun anak-anak mereka. Menurut Yahya Ganda (1982, hal 65-68).


(31)

2.4.3 Fungsi Ruangan-ruangan

Emper, berfungsi untuk menerima pengunjung (tamu).

Balandongan, berfungsi untuk menambah kesejukkan bagi penghuninya

di dalam rumah.

Pangkeng, dipergunakan sebagai tempat tidur.

Tengah imah, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga yang terdiri, atas suami, istri dan anak.

Pawon, berfungsi sebagai dapur.

Menurut Yahya Ganda (1982, hal 68).

2.5 Teknik dan cara pembuatan rumah tradisional

Dikutip dari Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat (1981/1982), dilihat dari struktur bangunannya, rumah-rumah tradisional dapat dibagi dalam tiga bagian pokok, yang ada pada rumah tradisional. Ketiga pokok tersebut adalah :

 Bagian bawah : umpak (tatapakan),

 Bagian tengah : tihang-tihang, palupuh, pintu, jendela dan bilik,

 Bagian atas : atap (hateup).

2.5.1 Bagian Bawah

Bagian paling bawah dari bangunan tempat tinggal ialah batu tatapakan (umpak) yang berfungsi sebagai pondasi. Pondasi umpak sangat baik digunakan pada tanah yang mengandung pasir, tanah liat yang kering atau bercadas. Pondasi umpak ini sangat cocok digunakan pada rumah pola panggung. Umpak (tatapakan) dibuat dari batu padas yang diambil dari badan-badan gunung di daerah pegunungan berbatu padas. Beberapa bentuk-bentuk batu tatapakan, diantaranya :

 Bentuk utuh (bulat), yakni batu alam yang diambil dari sungai bekas letusan gunung, biasa dipakai untuk alas kaki golodog (tangga di muka pintu yg terbuat dari kayu.

 Bentuk lesung (lisung), yakni batu berbentuk balok yang berdiri tegak dengan permukaan pada sisi atas lebih kecil daripada permukaan sisi bawah, banyak dipakai pada rumah tempat tinggal dan leuit (lumbung).


(32)

 Bentuk kubus (balok), yakni batu berbentuk kubus ditegakkan dengan sisi-sisi atas dan bawah sama besar.

Pada saat ini batu tatapakan sudah jarang dilakukan, akibat berganti dengan susunan batu bata yang dilapisi oleh tembok (adonan) semen.

2.5.2 Bagian Tengah

Bagian tengah terdiri dari beberapa bagian, yaitu :

Palupuh

Palupuh (talupuh) adalah bagian yang dibuat dari bambu yang dilempengkan menjadi lempengan-lempengan bambu. Jenis bambu yang dingunakan untuk membuat palupuh ialah bambu awitali (bambu tali).

Tihang

Bagian ini terbuat dari kayu atau bambu. Jenis kayu yang digunakan ialah kayu jati, jeungjing, suren. Adapun bambu yang digunakan ialah bambu jenis: awibitung, awilengka (hideung). Pada tihang tepas (emper), banyak rumah yang menggunakan bambu sebagai bahannya.

 Bilik

Bahan untuk membuat bilik ialah bambu tali (awitali) atau menggunakan awi gombong. Awi tali adalah jenis bambu yang batangnya lurus-lurus berwarna hijau atau kuning kehijau-hijauan. Panjang batangnya antara 10-20 m, besar batang 2,5 – 10 cm dan panjang antara ruasnya 30-65 cm.

Panto

Pintu (basa Sunda: panto), adalah bagian rumah yang terbuat dari kayu atau bambu. Pintu dari kayu disebut panto, pintu dari bambu disebut sorolok. Pintu dari bambu sudah jarang ditemukan, kalaupun ada pintu jenis ini dipasang di bagian belakang (dapur).


(33)

Jenis kayu yang dipergunakan untuk membuat pintu ialah: kayu jati, jeungjing, dan suren. Sedangkan bambu yang sering digunakan ialah bambu bitung dan bambu tali atau awi tali (untuk biliknya).

 Jendela

Jendela (jandela), adalah bagian rumah yang berfungi sebagai lubang keluar masuknya angin. Tidak semua tempat tinggal memiliki jendela. Pada rumah jaman dahulu, jendela dibuat lebih kecil seperti lubang angin.

2.5.3 Bagian Atas

Bagian atas dari bangunan tempat tinggal ialah atap (hateup). Bahan-bahan untuk membuat atap (hateup) ialah: daun kelapa, jerami ijuk atau alang-alang. Atap yang dibuat dari bahan-bahan alam ini masih ditemukan sampai sekarang pada bangunan tradisional. Satu bidang atap terbuat dari anyaman alang-alang (welit) disebut rangken. Menurut Yahya Ganda (1982, hal 159-170).


(34)

BAB III

ARSITEKTUR INTERIOR BANGUNAN KAMPUNG DAUN

3.1Pengertian Restoran

Restoran berasal dari Bahasa Inggris „restaurant‟ sebagaimana dikutip dari

Oxford Leaner’s Pocket Dictionary diartikan sebagai tempat di mana makanan dapat dibeli dan dimakan (Manser, 1995: 353). Menurut Ritchie (1994: 306), restoran adalah bagian dari sistem industri yang menyediakan layanan kepada orang-orang yang jauh dari rumah.

Fasilitas pada restoran untuk menyediakan makanan salah satunya ditentukan oleh permintaan pasar. Adapun hal yang umumnya diharapkan konsumen ketika memasuki restoran menurut Max Fengler (1971 : ix) antara lain mendapatkan makan siang dalam suasana informal, murah, dan secepat mungkin. Selain itu, baik di sore hari, di waktu luangnya, atau pun ketika butuh hiburan, konsumen ingin menikmati hidangan dan pelayanan.

Jadi, salah satu tuntutan desain interior restoran adalah kemampuan menciptakan suasana. (Aristiandi dalam Swasty, 2004: 72) mengutarakan lima faktor yang mempengaruhi suasana restoran yaitu :

1. Faktor penglihatan, yang dihasilkan dari penataan cahaya baik itu cahaya siang hari maupun cahaya buatan.

2. Faktor penciuman, yang memperlihatkan udara dalam ruang agar terhindar dari bau-bau yang tidak diinginkan.

3. Faktor pendengaran, dengan memanfaatkan musik untuk menghindari

kebosanan maupun rasa sepi.

4. Faktor sentuhan, yang meliputi segala sesuatu yang disentuh tubuh seperti kenyamanan posisi duduk, ketinggian meja makan, dan sebagainya.


(35)

Dalam menyusun kebutuhan desain, adalah berguna untuk mengelompokkan restoran ke dalam jenis-jenis berbeda, dan perbedaan yang paling penting adalah cara penyajian makanan dan pelayanan. Menurut cara pelayanannya, restoran diklasifikasikan ( Fred Lawson dalam Swasty, 2004 : 72- 77) sebagai berikut :

1. Snack bar

Jenis ini biasanya terbatas pada makanan ringan dan minumam yang dipilih dari pajangan atau dipesan dan dibawa oleh konsumen ke meja makan. Variasi konsep ini yang diadaptasi dalam situasi berbeda meliputi:

Public bar catering, Sandwich bar catering, Coffe bar.

Gambar 20. Snack Bar Sumber : http//www.google.com 2. Cafe

Jenis ini biasanya dibatasi dua hingga tiga jenis makanan utama yang sudah dipiringkan di dapur, dan dapat dilayani oleh pramusaji, meskipun sebenarnya masakan dapat dipesan dan diambil sendiri pada sebuah counter. Untuk kue-kue dan makanan kecil dapat dipilih sendiri pada counter khusus. Tata letak furnitur dalam ruang makan harus dirancang untuk penggunaan area yang maksimal dan pemberian ruang 0,83 m2 tiap orang sering dipakai.

Gambar 21. Cafe


(36)

3. Kafetaria Swalayan

Layanan ini memiliki keuntungan antara lain :

Karyawan yang dibutuhkan untuk menyajikan hidangan dapat dikurangi, Layanan makanan dalam jumlah besar atas kedatangan konsumen pada satu waktu dapat dipercepat,

Pilihan jenis makanan dimudahkan dan meja counter berlaku sebagai area promosi penjualan. Sedangkan kerugiannya terletak pada ruang luas yang dibutuhkan oleh meja counter dan area sirkulasinya. Ruang yang dibutuhkan rata-rata 1,4 – 1,7 m2 per orang tamu.

Gambar 22. Kafetaria Sumber : http//www.google.com 4. Counter

Prinsip layanan ini mirip dengan snack bar tapi menawarkan lebih beragam sajian hidangan kepada konsumen. Untuk memaksimalkan tempat duduk, seringkali ditambah oleh layanan pramusaji ke meja makan. Ruang yang dibutuhkan bervariasi dari 1,4 m2 – 1,9 m2 per orang tamu.

5. Coffee Shop

Menghidangkan masakan yang dilakukan pramusaji ke meja makan dengan pilihan makanan ringan dan minuman yang tercantum di menu. Kue-kue dapat ditempatkan pada kereta dorong atau rak khusus. Gaya restoran ini biasanya modern tapi dengan penekanan pada suasana informal dan selera rasa yang tinggi. Ukuran dan peralatan dapur dibuat minimal dan normalnya meliputi fasilitas untuk memasak yang cepat seperti microwave dan oven. Contoh restoran jenis ini banyak dijumpai di hotel-hotel.


(37)

Gambar 23. Coffee Shop Sumber : http//www.coffecommunity.com 6. Buttery Bar

Jenis ini merupakan pengembangan dari konsep pelayanan counter dengan satu hingga dua menu utama.

7. Restoran Khusus

Penekanan pada cara penyediaan yaitu:

a. Pada gaya persiapan hidangan dan penampilannya sesuai dengan ciri yang ditonjolkan, misalkan masakan China, Jepang, Meksiko, dan lain-lain.

b. Keistimewaan tertentu di dalam pengolahan macam-macam masakan

seperti daging sapi, ikan, ayam, udang, dan lain-lain.

Unsur-unsur desain, dekorasi, serta hiasan perlengkapan harus mencerminkan keistimewaan yang akan ditonjolkan. Jika memungkinkan, hal-hal asli yang serba khas sebaiknya digabungkan ke dalam desain.

Gambar 24. Restoran Khusus Sumber : http//www.google.com 8. Restoran tradisional

Masakan telah disiapkan dalam piring yang kemudian dihidangkan di hadapan konsumen. Meja makan lebar, penyusunannya tidak terikat besar ruangan.


(38)

Penekanan pada penampilan masakan itu sendiri dengan cara menyempurnakan perlengkapan yang berkenaan dengan penyajian makanan. Restoran jenis ini umumnya memiliki dapur yang sangat luas.

Gambar 25. Restoran Tradisional Sumber : http//www.google.com 9. Restoran Hiburan

Perhatian dalam desain interior biasanya ditempatkan pada penciptaan suasana yang tepat menggunakan kombinasi pengaturan tempat duduk, cahaya, warna, efek permukaan dan unsur dekoratif untuk menghasilkan kesan yang diinginkan. Furniture biasanya dirancang khusus untuk tujuan ini dan seringkali diatur dalam kelompok kecil untuk keleluasaan pribadi. Perlengkapan yang dibutuhkan dalam hiburan meliputi area panggung dan lantai dansa mempengaruhi tata letak meja dan kursi, pelayanan, dan fasilitas pendukung.

Gambar 26. Restoran Hiburan Sumber : http//www.google.com

10. Banquet (perjamuan, pesta makan) Jenis restoran ini biasanya:


(39)

dapat menampung konsumen yang banyak pada satu waktu,

memiliki tata suara, tata cahaya dan tata udara yang baik untuk kegunaan beragam,

terdapat perlengkapan khusus untuk memasak, menyimpan dan membawa makanan dan minuman untuk memudahkan pelayanan yang cepat.

Gambar 27. Banquet Sumber : http//www.google.com

11. Layanan makanan jarak jauh, terdiri dari: Bawa pulang,

Pesan antar,

Pelayanan makanan untuk rumah sakit,

Makanan yang disediakan pada unit-unit penjualan, Pelayanan kamar (hotel/instansi),

Pelayanan dalam perjalanan (pesawat terbang, kereta api, kapal).

Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa restoran dalam bentuk apapun merupakan perusahaan jasa dalam bidang makanan dan minuman. Restoran yang ada kini cenderung tidak hanya menawarkan atau menjual hidangan saja tetapi juga suasana tempat. Hal tersebut ditegaskan oleh Agus Sachari (1986: 78) dalam buku Desain Gaya dan Realitas yang

mengungkapkan “Desain Interior, dari segi ekonomi lebih banyak kecenderungan

untuk menjual suasana. Ekonomi suasana ini menjadi penting ketika manusia

menjadikan lingkungan buatan yang nyaman dan bergengsi. “Untuk itu, desain

interior pada suatu restoran memegang peranan yang cukup penting dalam menciptakan suasana sekaligus tempat yang nyaman.


(40)

3.2Penerapan Arsitektur Interior Tradisional di Kampung Daun Culture Galeri and Cafe

3.2.1 Latar Belakang Restoran

Kampung Daun Culture Galery & Cafe berdiri pada 13 November 1999. Gagasan pendiriannya berasal dari pengelola perumahan Trinity Villas, yang merupakan satu areal dengan lokasi restoran ini berada. Pengelolaannya juga berada di bawah manajemen yang sama dengan pengelola Trinity Villas. Kemudian dibuatlah saung-saung yang dapat digunakan oleh pengunjung. Pada awalnya, saung yang ada baru berjumlah 4 buah. Tahun demi tahun berganti, Kampung Daun terus berkembang. Saung-saungnya juga terus bertambah, hingga sekarang mencapai 60 buah saung. Areal yang digunakan, yang awalnya tidak mencapai 1 hektar, dan sekarang luasnya hampir mencapai 2 hektar.

Tempat yang alami, indah dan jauh dari hiruk pikuk kota membuat Ruth Tamzil de Fernandes terinspirasi membuat saung sederhana untuk tempat makan dan melepas penat. Nama Kampung Daun sendiri diambil karena di tempat ini dahulu dipenuhi labu-labu siam. Filosofi labu siam adalah semakin rimbun semakin merunduk. Jadi, Kampung Daun merupakan perkampungan yang low profile serta penuh kebersahajaan. Daun labu siam pun dijadikan lambang Kampung Daun.

Nama Populer : Kampung Daun Culture Gallery & Cafe

Alamat : Jalan Sersan Bajuri Km. 4,7 No. 88 RR1 Bandung

Utara/Cihideung

Telepon : (022) 2787915, 2784572, 2784573

Fax : (022) 2787881

Situs : kampungdaun.net

Cara pelayanan makanan berupa ala carte (pemesanan makanan melalui

pramusaji) dan cafe (untuk kue-kue dan makanan kecil dapat dipilih sendiri pada


(41)

dinamakan Culture Galery and Cafe karena restoran ini bukan hanya sekedar tempat makan, tetapi terdapat juga galery dimana tamu yang datang bisa berbelanja di tempat ini.

Kampung daun berada di sebuah lembah kecil di belahan utara kota Bandung yang diapit oleh dua tebing batu alami dengan sebuah sungai yang mengalir dari gunung Burangrang tepatnya di wilayah lingkungan perumahan Villa Trinity. Dengan tekad untuk mengenalkan keunikan yang dimiliki perkampungan sekitar kepada para pengunjung yang sebagian besar berasal dari kota besar. Kampung Daun mempunyai berbagai karakteristik dan keunikan wilayah pedesaan yang masih bersifat tradisional tapi elegan. Kampung Daun men-service secara casual,. Kampung Daun menawarkan suasana perkampungan yang eksotik, di tengah sejuknya udara pegunungan.

3.2.2 Fasilitas dan Pelayanan yang Tersedia di Kampung Daun

Selamat datang di Kampung Kami, Kampung Daun”, sapaan akrab itu menyambut. Pengunjung saat memasuki area Kampung Daun Culture Galery and Cafe. Sebelum memasuki area Kampung Daun, pengunjung dapat memesan tempat terlebih dahulu. Pada sisi kiri sebelum pengunjung masuk. Selanjutnya, mereka akan menghubungi pelayan lainnya yang ada di dalam dan pengunjung akan diberi nomor saung tempat pengunjung bersantap. Saung yang diberikan biasanya berdasarkan jumlah orang karena ukuran saung yang berbeda sehingga kapasitas yang ditampung juga berbeda. Di cafe ini pengunjung dapat menemui pedagang keliling yang menjual dodol lipet, gulali, dan harum manis yang duduk berjejer di tepi jalan setapak Kampung Daun, dan tidak ketinggalan hiburan setempat dapat dinikmati di sini. Pengamen yang bermain harpa dan kecapi dengan jari-jarinya yang lentur, berkeliling dari saung ke saung, serasa berada di kampung.


(42)

Berikut adalah fasilitas yang tersedia di Kampung Daun Culture Galery and Cafe :

Live Music Lesehan

Wi-fi akses internet

Pembayaran Cash, BCA Card, Visa, Master Card Kapasitas >600 orang

29 saung kecil

4 saung dengan kapasitas 30-50 orang Bumi Cai (rumah di atas air)

RB (rumah besar)

Curug 2AB (curug A dan curug B, dimana view-nya langsung ke arah air terjun

Balai Ageung (berupa pendopo yang berada di atas) dengan kapasitas 200-300 orang

Panggung Hiburan

Galeri yang berisi macam pakaian dan souvenir yang bisa dibeli oleh pengunjung.

3.2.3 Analisis Aspek Visual

Kampung Daun memberikan sesuatu yang lain berupa paduan nilai seni dan keanekaragaman budaya.

Suasana kampung yang penuh keramahan, tenang, dan hommy terasa kental.

Kampung Daun mempunyai lebih mengeksplorasi alam.

Selain pemandangannya yang indah, udaranya pun sejuk karena terletak di daerah yang cukup tinggi. Suasana yang asli tersebut tidak banyak berubah setelah Kampung Daun berdiri. Saung-saung didirikan tepat di bawah bukit. Selain pepohonan alami yang telah ada, ditambahkan pula beberapa pohon lain yang


(43)

merupakan hasil budidaya sendiri. Dengan demikian, hadirlah suasana perkampungan dengan suasana yang alami dan pemandangan yang eksotik. Saung-saungnya lebih didisain untuk tamu yang datang berkelompok, ada yang dapat menampung untuk 4 orang, 6 atau 8 orang, dan ada juga yang dapat menampung hingga 30 dan 50 orang.


(44)

TABEL ANALISIS ASPEK VISUAL PADA

ARSITEKTUR KAMPUNG DAUN CULTURE GALERY AND CAFE

A: Arsitektur I: Interior

Unsur Visual Tradisional Sunda

(Kampung Cijelag, Desa Tomo) Studi Kasus : Kampung Daun A I Kesimpulan

Bagian Atas

Atap / Hateup ATAP JULANG NGAPAK

Saung

Office

ATAP TAGOG ANJING

Cafe

 Bentuk atap julang ngapak, atap tagog anjing,

atap jolopong ditransformasikan ke dalam

bangunan yang ada pada kasus studi.

Tepas pada rumah tradisional Sunda diadopsi ke dalam tempat makan lesehan pada restoran.

Penggabungan selektif antara unsur tradisional dan modern dan muncul dengan cara berbeda.

Mengawinkan dua unsur berbeda (bangunan

modern dan unsur tradisional); yang

menghasilkan unsur baru di mana identitas masing-masing unsur tidak utuh lagi.

Mendampingkan bangunan bergaya modern di

antara bangunan bergaya tradisional,

penggabungan kedua unsur tersebut tidak berpengaruh dalam arsitektur tradisional itu

sendiri karena masih terlihat unsur

tradisionalnya.

Untuk atapnya sendiri memakai atap daun kelapa, alang-alang yang dipadukan dengan genting, maupun genting itu sendiri. Dalam hal atap sudah dipengaruhi oleh budaya luar, yaitu salah satunya dengan menggunakan atap.


(45)

Saung

ATAP JOLOPONG

Saung


(46)

Bagian Tengah

Tiang-tiang / Tihang-tihang Kayu :

Jati Jeunjing Suren Bambu :

Awibitung

Awilengka (hideung)

Kayu

Office

Saung

Galery

Bambu Bitung

Pawon

 Pada bagian tihang pada Kampung Cijelag

dan kasus studi sama-sama menggunakan material yang sama.


(47)

Lantai / Palupuh

Pintu / Panto

Palupuh

Terbuat dari kayu-kayu bilah yang disusun diatas balok-balok kayu atau bambu. Palupuh ini tidak dipaku tetapi diikat pada bilah lantai pada kaki dinding. Sebagai penutup lantai palupuh digunakan papan bambu lapis yang dibuat mirip dengan tripleks.

Panto

Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan ukuran manusia. Dibuat dari bambu atau kayu yang dianyam.

Lantai kayu, untuk lantai interior

menggunakan lantai kayu yang terdapat pada ruang office, saung, dan galeri.

Plesteran, digunakan untuk eksterior yang terdapat pada area pawon, cafe, dan luar galeri.

Batu alam, digunakan untuk jalan yang menuju saung-saung.

Pintu, dengan arah bukaan ke dalam.

Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan standar desain, dan terbuat dari kayu.

Lantai pada kasus studi menggunakan lantai kayu tidak menggunakan palupuh, karena disesuaikan dengan kondisi pada zaman sekarang. Palupuh sendiri pada zaman

sekarang sulit diperoleh, dan

pemeliharaannya pun sulit.

Pintu pada kasus studi didesain lebih modern, dan material yang digunakan berupa kayu yang tanpa dianyam seperti bilik.


(48)

Jendela

Dinding / Bilik

Jendela Sayap

titik engsel

titik kunci

Bilik

Biliknya menggunakan pola sasak dan kepang.

Pola Kepang

Pola Sasak

Jendela jungkir/jungkit, dengan arah bukaan dalam ke luar.

Dalam Luar

Bilik digunakan pada pawon, tetapi

tidak digunakan penuh, hanya

setengah bagian dari tinggi dinding. Menggunakan pola kepang.

Pada ruang Office dinding

menggunakan kayu jati.

Perbedaannya, jendela yang berada pada Kampung Cijelag adalah menggunakan jendela dengan bukaan sayap, sedangkan pada kasus studi Kampung Daun Culture Galery and Cafe menggunakan jendela jungkir/jungkit.

Pada dindingnya sendiri menggunakan unsur alam yang terbuat dari bilik pada pawon, kayu pada ruang office, dan ada sebagian yang memakai unsur batu alam pada dapurnya.

Untuk biliknya sendiri sama-sama

menggunakan pola kepang. Perbedaannya pada kasus studi Kampung Daun, dinding yang terbuat dari bilik tidak digunakan penuh pada dinding hanya dipakai sebagian dari tinggi dindingnya.


(49)

Pada dapur dinding terbuat dari batu kali yang dipadukan dengan dinding kayu.

Bagian Bawah

Umpak / Tatapakan Bentuk utuh/bulat

Bentuk Lesung Bentuk Kubus/balok

Bentuk Lesung  Untuk tatapakannya sendiri pada kasus studi

banyak memakai bentuk lesung.

Furniture -  Untuk materialnya sendiri tidak disebutkan

furniture apa saja yang digunakan pada rumah tradisional Sunda, sedangkan pada kasus studi lebih banyak menggunakan furniture yang terpengaruh dari budaya luar seperti kursi, meja.

Salah satu cafe hanya diberi naungan atap model tenda. Isinya, meja dengan empat kursi kayu.


(50)

Skema Material

Bambu

Awibitung ( bambu bitung)

Pada studi kasus material yang banyak dijumpai adalah :

1. Kayu, banyak dijumpai pada tiang bangunan, maupun furniturenya.

 Sama-sama menggunakan material alam,


(51)

Awitali ( bambu tali )

Awilengka/hideung

Kayu

Jati

Jeunjing

Suren

1. 2. Bambu Bitung, banyak ditemui pada


(52)

Daun Kelapa

Jerami ijuk/alang-alang

Alang-alang

3. Daun Kelapa, banyak dipakai pada atap saung.

4. Jerami Ijuk/alang-alang, dipakai pada atap dapur.

Elemen Dekoratif -  Kampung Daun sendiri tidak menggunakan

ragam hias yang diambil dari kebudayaan tradisional Sunda, karena seperti kita ketahui bahwa ada kelangkaan akan ragam hias pada rumah-rumah tradisional Sunda, yakni :

1. Tidak ada kebiasaan pada orang Sunda pada

masa lampau membuat ukiran-ukiran

tertentu pada bagian-bagian rumah seperti tiang (saka) rumah dan sebagainya.

2. Perhatian orang Sunda pada waktu itu lebih banyak perhatiannya pada soal bangunan itu sendiri, yang sewaktu-waktu

ditinggalkannya dalam rangka kehidupan semi sedenter.


(53)

dibuat pada bagian-bagian rumah yang terbuat dari bambu yang tidak tahan lama sehingga mudah hilang.

Pada kasus studi menggunakan ornamen Betawi (ondel-ondel), dan pada salah satu atap bangunannya terdapat ornamen Bali.

Menurut Drs.Saleh Danasasmita, yang dikutip pada Arsitektur Tradisional Jawa Barat, mengatakan bahwa orang Sunda pada yang masa lampau dikenal sebagai orang nomad, hidup secara semi sedenter dengan

berpindah-pindah mengikuti perladangan, sehingga

mereka tidak pernah mendirikan rumah-rumah permanen.

Skema Warna Pada umumnya bangunan maupun

interior pada rumah tradisional Sunda tidak memiliki warna yang mengikat. Biasanya warna materialnya dipilih sesuai dengan warna asli (alam).

Fibria Mugia Mukti pada makalah

akademik UNIKOM (2002: 51)

sebagimana dikutip dari buku “Sejarah Perkembangan seni Pewayangan di Jawa Barat”, (Proyek Penelitian & Pencatatan Kebudayaan Jawa Barat, 1987) hal 107-109, pada tradisi masyarakat Sunda dikenal konsep penggunaan warna yang memiliki

makna perlambangan, hal ini

penerapannya disesuaikan dengan arah mata angin. Arah mata angin tersebut dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”, Nu opat kalima pancer melambangkan alam manusia atau buana panca tengah. Persesuaian warna dengan arah mata angin ini dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :

Seperti pada rumah tradisional Sunda, pada kasus studi ini pun tidak

menggunakan warna-warna yang

mengikat pada material arsitektur maupun interior restoran. Warna materialnya pun disesuaikan dengan warna aslinya (alam).

 Skema warna pada kasus studi, sama halnya

dengan warna yang digunakan pada rumah tradisional Sunda, yaitu warna interiornya disesuaikan dengan warna aslinya (alam).


(54)

Utara

Lambang Warna Hitam

Barat Tengah Timur

Lambang Warna Lambang Lambang Warna Kuning Aneka Warna Putih

Selatan

Lambang Warna Merah

Konsep Penghawaan Sistem penghawaan yang digunakan

pada rumah tradisional Sunda adalah penghawaan alami. Penghawaan alami ini didapatkan melalui jendela jalosi, yakni jendela yang berfungsi untuk mengatur petukaran udara dari dalam ke luar ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan-papan kayu yang sedemikian rupa sehingga udara dapat bebas keluar masuk.

Sistem penghawaan pada kasus studi ini adalah menggunakan penghawaan alami. Penghawaan alami didapatkan pada ventilasi udara dan lubang-lubang angin.

 Sistem penghawaan disini, sama-sama

menggunakan penghawaan alami. Karena Kampung Daun Culture Galery and Cafe sendiri berada di daerah pegunungan yang udaranya cukup sejuk.

Konsep Pencahayaan Pencahayaan disini menggunakan

pencahayaan buatan yaitu

menggunakan lampu minyak/ obor. Selain pencahayaan buatan, rumah

tradisional ini pun menggunakan

pencahayaan alami yang cukup didapat dari sinar matahari melalui jendela dan pintu.

Konsep pencahayaan disini terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Pencahayaan Alami

menggunakan daylight, melalui

lubang ventilasi dan bukaan pintu.

2. Pencahayaan buatan

- General Lighting : menggunakan

lampu downlight. Seperti pada

musholla, office, toilet, dan pada ruang galery.

-Special Lighting : menggunakan

lampu spotlight dan lampu

gantung, pada beberapa tempat yang menjadi vokal point.

Lampu spotlight : Galery, counter cafe.

Lampu Gantung : Cafe,

saung, pawon, area Kampung Daun.

-Lampu Obor : sepanjang kiri kanan jalan sepanjang area restoran yang menuju saung-saung.

 Pencahayaan disini sama-sama

menggunakan pencahayaan daylight yang melalui lubang ventilasi bukaan jendela, dan pintu. Selain itu sama-sama menggunakan lampu obor.


(55)

3.3 Konsep Material dan Teknik Konstruksi 3.3.1 Atap

Atap pada kasus studi menggunakan 2 jenis atap, yaitu menggunakan atap perisai dan atap pelana. Atap perisai menggunakan jenis atap perisai patah ke dalam, yang terlihat seperti atap julang ngapak pada rumah tradisional Sunda. Atap perisai ini digunakan pada ruang office dan salah satu saung pada kasus studi. Sedangkan atap pelana digunakan pada saung-saung. Struktur atapnya memakai bahan yang terbuat dari daun kelapa, alang-alang, bahkan genting modern.

Gambar 28. Atap Perisai, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

Gambar 29. Atap Pelana, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti


(56)

3.3.2 Tiang

Unsur utama bangunan terdiri dari rangka tiang dan balok kayu. Tiang ini terletak di atas kolom batu yang disebut tatapakan. Ketinggian tiang dan dimensi tiang tersebut ditentukan oleh proporsi bangunan. Bagian ini terbuat dari kayu dan bambu. Bambu yang digunakan adalah bambu bitung, sedangkan untuk kayu menggunakan kayu bangkirai. Material bambu digunakan pada pawon, sedangkan material kayu digunakan kayu pada ruang office, saung-saung, dan ruang serbaguna.

Gambar 30. Tiang Bambu dan Kayu, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

3.3.3 Lantai

Lantai interiornya menggunakan papan kayu bangkirai, sedangkan untuk interior menggunakan plesteran dan lantai yang terbuat dari batu alam digunakan pada jalan menuju saung-saung.


(57)

Gambar 31. Pola Lantai, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

3.3.4 Pintu dan Jendela

Daun pintu dan jendela terbuat dari kayu bangkirai, untuk pintunya menggunakan pintu putar biasa dengan arah buka ke dalam. Sedangkan untuk jendelanya menggunakan jendela jungkir/jungkit dengan arah bukaan dari dalam ke luar.

Pintu, dengan arah bukaan ke dalam.

Jendela jungkir/jungkit, dengan arah bukaan dalam ke luar.


(58)

3.3.5 Dinding

Untuk dindingnya menggunakan dinding permanen dan semi permanen. Untuk dinding permanen menggunakan dinding batu alam (batu pecah), sedangkan untuk yang dinding semi permanen menggunakan dinding rangka (menggunakan kerangka yang terbuat dari kayu). Untuk dinding semi permanen menggunakan bahan bilik dan papan-papan kayu. Untuk dinding permanen terdapat pada dapur, sedangkan dinding semi permanen terdapat pada pawon, office, maupun pada saung-saungnya.

Gambar 32. Dinding Permanen (batu pecah), Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

Gambar 33. Dinding Semi Permanen (kayu), Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti


(59)

3.3.6 Tatapakan

Pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe, untuk tatapakannya

menggunakan batu berbentuk balok yang berdiri tegak dengan permukaan pada sisi atas lebih kecil daripada permukaan sisi bawah (bentuk lesung).

Gambar 34. Tatapakan bentuk lesung, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

3.4 Elemen Dekoratif dan Warna 3.4.1 Elemen Dekoratif

Kampung Daun sendiri tidak menggunakan ragam hias yang diambil pada kebudayaan tradisional Sunda, karena seperti kita ketahui bahwa ragam hias pada arsitektur Sunda hanya terdapat pada rumah-rumah bangsawan (keraton), karena seperti kita ketahui bahwa ada kelangkaan akan ragam hias pada rumah-rumah masyarakat tradisional Sunda, yakni ;

1. Tidak ada kebiasaan pada orang Sunda pada masa lampau membuat ukiran-ukiran tertentu pada bagian-bagian rumah seperti tiang (saka) rumah dan sebagainya.


(60)

2. Perhatian orang Sunda pada waktu itu lebih banyak perhatiannya pada soal bangunan itu sendiri yang sewaktu-waktu ditinggalkannya dalam rangka kehidupan semi sedenter.

3. Beberapa bentuk ragam hias sederhana dibuat pada bagian-bagian rumah yang terbuat dari bambu yang tidak tahan lama sehingga mudah hilang.

Gambar 35. Beberapa ragam hias, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

3.4.2 Skema Warna

Pada umumnya bangunan maupun interior pada rumah tradisional Sunda tidak memiliki warna yang mengikat. Biasanya warna materialnya dipilih sesuai dengan warna asli (alam). Seperti pada rumah tradisional Sunda, pada kasus studi ini pun tidak menggunakan warna-warna yang mengikat pada material arsitektur maupun interior restoran. Warna materialnya pun disesuaikan dengan warna aslinya (alam).


(61)

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian pengungkapan arsitektur interior tradisional pada arsitektur interior restoran bergaya Parahyangan di kota Bandung, terungkap bahwa:

1. Tampilan lokal Sunda pada kasus studi, arsitekturnya terdapat pada bentuk atap, tiang-tiang, pintu dan tatapakan. Sedangkan untuk interiornya terdapat pada lantai. Tampilan lokal Sunda pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe terdapat pada atapnya yang menggunakan bentuk atap Julang Ngapak pada ruang office dan saungnya, atap tagog anjing terdapat pada cafe dan saung, atap jolopong terdapat pada bagian kasir (tempat pembayaran) dan saung. Untuk tiangnya sendiri menggunakan material bambu dan kayu, sedangkan untuk tatapakannya menggunakan batu berbentuk lesung (lisung). Konsep pencahayaan dan penghawaan di Kampung Daun terdapat persamaan dan perbedaan dengan yang berada di Kampung Cijelag. Konsep pencahayaannya sama-sama menggunakan cahaya alami yang terdapat pada sinar matahari , sedangkan perbedaannya di Kampung Daun sendiri dilengkapi pencahayaan buatan seperti pencahayaan umum (general lighting) dan pencahayaan khusus (special lighting).

Untuk materialnya sendiri sama-sama menggunakan material yang berasal dari alam, namun di Kampung Daun sendiri terdapat material lain seperti genteng (atap), metal (hendel pintu) yang terdapat pada kasus studi.

2. Unsur visual yang merujuk pada rumah tradisional Kampung Cijelag disesuaikan dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada perancangan restoran tersebut, terdapat pada bentuk atap julang ngapak, tagog anjing, atap jolopong yang ditransformasikan ke dalam bangunan yang ada pada kasus studi. Sedangkan tepas pada rumah tradisional Sunda diadopsi ke dalam tempat


(62)

makan lesehan pada restoran. Untuk salah satu biliknya pada kasus studi dengan yang berada pada kampung Cijelag sama-sama menggunakan pola kepang. Tatapakan pada Kampung Daun menggunakan bentuk lesung.

3. Adanya perubahan struktur dan fungsi tradisional dilihat dari struktur kedudukan dan fungsi anggota keluarga pada kasus studi, akibat disesuaikan dengan fungsi guna pakai. Perubahan tentang aturan fungsi pakai kebudayaan tradisional Sunda yang terdapat pada Kampung Cijelag, dengan aturan fungsi pakai yang berada di Kampung Daun Culture Galery and Cafe terlihat pada

fungsi pakai tepas, tepas/emper pada kampung Cijelag fungsinya sebagai

tempat untuk menerima pengunjung (tamu), sedangkan pada kasus studi berfungsi sebagai tempat makan lesehan. Pawon pada Kampung Cijelag berfungsi sebagai dapur dan digunakan khusus untuk wanita terdiri atas istri dan anak perempuannya yang berada di belakang ruangan, sedangkan pada kasus studi fungsinya tetap sama yaitu sebagai dapur, namun digunakan juga oleh koki (berjenis kelamin laki-laki) yang berada di tengah restoran, tradisi disini hanya sebagai pandangan. Kaidah-kaidah arsitektur tradisional Sunda seperti susunan ruangan, pembagian ruangan fungsi dan anggota keluarga, dan fungsi ruangan tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam perancangan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pengungkapan arsitektur tradisional bergaya Parahyangan di kota Bandung dilakukan melalui penampilan aspek-aspek visual saja. Hal ini dilakukan sebagai pembentuk suasana dan daya tarik dari bangunan komersial tersebut.


(63)

xi Buku

Budihardjo, Eko. (1996). Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Djambatan.

Diarta,I Ketut Surya (2009), Pengantar Ilmu Pariwisata.Yogyakarta,CV Andi Offset

Ekadjati,Edi S.(1995), Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta.

Fengler, Max. (1971). Restaurant Architecture and Design. London: Leonard Hill Books.

M, Nazir. (1998). Metode Riset Penelitian. Jakarta : PT. Pren Halindo.

Ritchie, Brent. J.S. (1994). Travel, Tourism and Hospitality Research, USA: John Willey & Sons.

Sachari, A., Sunarya, Y. (2001). Wacana Transformasi Budaya. Bandung: ITB. Wessing, Robert (1978), Cosmology and Social Behaviour in a West Javanese

Settlement, Ohio University Center for Internasional Studies, Athens.

Internet

Adistiani, Renny Y. (2000). Magnum café, surganya es krim mania. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.tabloidbintang.com

NN. (2003). Anjungan Daerah. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.tamanmini.com

NN. (2001). .... Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.coffeecommunity.com

Yelita (2000). Macam-macam Restoran. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.google.com

Qureshi, Huma. (2003). Kriteria restoran. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.google.com


(64)

xii

Purwa Jawa Barat. Bandung: UNIKOM.

Swasty, Wirania. (2004). Pengungkapan Kembali Nilai Lokal Bali dengan Idiom Neo-Vernacular pada Arsitektur dan Interior Restoran. Bandung: FSRD- ITB.

Kamus

Manser, Martin H. (1995). Oxford Leaner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University.


(65)

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Ciptaning Mandiri

Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 27 Juli 1987

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Islam

PENDIDIKAN FORMAL

1. TK Perwari di Bandung, berijazah tahun 1994

2. SD Negeri Merdeka V/II di Bandung, berijazah tahun 2000 3. SMP Negeri 40 di Bandung lalu pindah

ke SMP Negeri 1 di Cimahi, berijazah tahun 2003 4. SMA Negeri 2 di Cimahi, berijazah tahun 2006 PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Microsoft Office ( World dan Excel )

2. Autocad 2D

3. 3D Max

4. Corel Draw

5. Adobe Photoshop

6. Macromedia Flash

7. Internet

PENGALAMAN BERORGANISASI

1. Ketua Paskibra Sekolah Menengah Pertama 40 Bandung periode

2000-2001

2. Pengurus Karang Taruna Unit 18 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi

Utara Kota Cimahi Jawa Barat Periode 2005-2006 Sebagai Sekretaris KONTAK

Alamat : Komplek Cipageran Asri Blok E8 No.3 Cimahi 40511

Kota Cimahi Jawa Barat.

Telepon : 082116515733


(1)

56

2. Perhatian orang Sunda pada waktu itu lebih banyak perhatiannya pada soal bangunan itu sendiri yang sewaktu-waktu ditinggalkannya dalam rangka kehidupan semi sedenter.

3. Beberapa bentuk ragam hias sederhana dibuat pada bagian-bagian rumah yang terbuat dari bambu yang tidak tahan lama sehingga mudah hilang.

Gambar 35. Beberapa ragam hias, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti

3.4.2 Skema Warna

Pada umumnya bangunan maupun interior pada rumah tradisional Sunda tidak memiliki warna yang mengikat. Biasanya warna materialnya dipilih sesuai dengan warna asli (alam). Seperti pada rumah tradisional Sunda, pada kasus studi ini pun tidak menggunakan warna-warna yang mengikat pada material arsitektur maupun interior restoran. Warna materialnya pun disesuaikan dengan warna aslinya (alam).


(2)

57

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penelitian pengungkapan arsitektur interior tradisional pada arsitektur interior restoran bergaya Parahyangan di kota Bandung, terungkap bahwa:

1. Tampilan lokal Sunda pada kasus studi, arsitekturnya terdapat pada bentuk atap, tiang-tiang, pintu dan tatapakan. Sedangkan untuk interiornya terdapat pada lantai. Tampilan lokal Sunda pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe terdapat pada atapnya yang menggunakan bentuk atap

Julang Ngapak pada ruang office dan saungnya, atap tagog anjing terdapat pada cafe dan saung, atap jolopong terdapat pada bagian kasir (tempat pembayaran) dan saung. Untuk tiangnya sendiri menggunakan material bambu dan kayu, sedangkan untuk tatapakannya menggunakan batu berbentuk lesung (lisung). Konsep pencahayaan dan penghawaan di Kampung Daun terdapat persamaan dan perbedaan dengan yang berada di Kampung Cijelag. Konsep pencahayaannya sama-sama menggunakan cahaya alami yang terdapat pada sinar matahari , sedangkan perbedaannya di Kampung Daun sendiri dilengkapi pencahayaan buatan seperti pencahayaan umum (general lighting) dan pencahayaan khusus (special lighting).

Untuk materialnya sendiri sama-sama menggunakan material yang berasal dari alam, namun di Kampung Daun sendiri terdapat material lain seperti genteng (atap), metal (hendel pintu) yang terdapat pada kasus studi.

2. Unsur visual yang merujuk pada rumah tradisional Kampung Cijelag disesuaikan dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada perancangan restoran tersebut, terdapat pada bentuk atap julang ngapak, tagog anjing, atap

jolopong yang ditransformasikan ke dalam bangunan yang ada pada kasus studi. Sedangkan tepas pada rumah tradisional Sunda diadopsi ke dalam tempat


(3)

58

makan lesehan pada restoran. Untuk salah satu biliknya pada kasus studi dengan yang berada pada kampung Cijelag sama-sama menggunakan pola kepang. Tatapakan pada Kampung Daun menggunakan bentuk lesung.

3. Adanya perubahan struktur dan fungsi tradisional dilihat dari struktur kedudukan dan fungsi anggota keluarga pada kasus studi, akibat disesuaikan dengan fungsi guna pakai. Perubahan tentang aturan fungsi pakai kebudayaan tradisional Sunda yang terdapat pada Kampung Cijelag, dengan aturan fungsi pakai yang berada di Kampung Daun Culture Galery and Cafe terlihat pada fungsi pakai tepas, tepas/emper pada kampung Cijelag fungsinya sebagai tempat untuk menerima pengunjung (tamu), sedangkan pada kasus studi berfungsi sebagai tempat makan lesehan. Pawon pada Kampung Cijelag berfungsi sebagai dapur dan digunakan khusus untuk wanita terdiri atas istri dan anak perempuannya yang berada di belakang ruangan, sedangkan pada kasus studi fungsinya tetap sama yaitu sebagai dapur, namun digunakan juga oleh koki (berjenis kelamin laki-laki) yang berada di tengah restoran, tradisi disini hanya sebagai pandangan. Kaidah-kaidah arsitektur tradisional Sunda seperti susunan ruangan, pembagian ruangan fungsi dan anggota keluarga, dan fungsi ruangan tidak sepenuhnya diaplikasikan dalam perancangan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pengungkapan arsitektur tradisional bergaya Parahyangan di kota Bandung dilakukan melalui penampilan aspek-aspek visual saja. Hal ini dilakukan sebagai pembentuk suasana dan daya tarik dari bangunan komersial tersebut.


(4)

xi

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budihardjo, Eko. (1996). Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Djambatan.

Diarta,I Ketut Surya (2009), Pengantar Ilmu Pariwisata.Yogyakarta,CV Andi Offset

Ekadjati,Edi S.(1995), Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta.

Fengler, Max. (1971). Restaurant Architecture and Design. London: Leonard Hill Books.

M, Nazir. (1998). Metode Riset Penelitian. Jakarta : PT. Pren Halindo.

Ritchie, Brent. J.S. (1994). Travel, Tourism and Hospitality Research, USA: John Willey & Sons.

Sachari, A., Sunarya, Y. (2001). Wacana Transformasi Budaya. Bandung: ITB. Wessing, Robert(1978),Cosmology and Social Behaviour in a West Javanese

Settlement, Ohio University Center for Internasional Studies, Athens.

Internet

Adistiani, Renny Y. (2000). Magnum café, surganya es krim mania. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.tabloidbintang.com

NN. (2003). Anjungan Daerah. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.tamanmini.com

NN. (2001). .... Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.coffeecommunity.com

Yelita (2000). Macam-macam Restoran. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.google.com

Qureshi, Huma. (2003). Kriteria restoran. Diakses tanggal 18 juli 2011 dari http://www.google.com


(5)

xii

Makalah Akademik

Mukti, Fibria Mugia. (2002). Kajian Arti Warna Kulit Wajah Wayang Golek Purwa Jawa Barat. Bandung: UNIKOM.

Swasty, Wirania. (2004). Pengungkapan Kembali Nilai Lokal Bali dengan Idiom Neo-Vernacular pada Arsitektur dan Interior Restoran. Bandung: FSRD- ITB.

Kamus

Manser, Martin H. (1995). Oxford Leaner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford University.


(6)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Ciptaning Mandiri Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 27 Juli 1987 Jenis Kelamin : Perempuan Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Islam

PENDIDIKAN FORMAL

1. TK Perwari di Bandung, berijazah tahun 1994

2. SD Negeri Merdeka V/II di Bandung, berijazah tahun 2000 3. SMP Negeri 40 di Bandung lalu pindah

ke SMP Negeri 1 di Cimahi, berijazah tahun 2003 4. SMA Negeri 2 di Cimahi, berijazah tahun 2006

PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Microsoft Office ( World dan Excel ) 2. Autocad 2D

3. 3D Max 4. Corel Draw 5. Adobe Photoshop 6. Macromedia Flash 7. Internet

PENGALAMAN BERORGANISASI

1. Ketua Paskibra Sekolah Menengah Pertama 40 Bandung periode 2000-2001

2. Pengurus Karang Taruna Unit 18 Kelurahan Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi Jawa Barat Periode 2005-2006 Sebagai Sekretaris

KONTAK

Alamat : Komplek Cipageran Asri Blok E8 No.3 Cimahi 40511 Kota Cimahi Jawa Barat.

Telepon : 082116515733