Pemeriksaan Kebuntingan Pada Sapi Perah Dan Kepentingannya Dalam Pengelolaan Reproduksi Sapi Perah

PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN PADA SAP I PERAH DAN KEPENTINGANNYA
DALAM PENGElOlAAN REPRODUKSI SAPI PERAH

SKRIPSI

oleh
BENNY LlLII{ ERNAWATI
B. 160496

..

FAKUL.TAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN
19

a

5

BOGOR


RINGKASAN

BENNY LILIK ERNAWATI.

Pemeriksaan Kebuntingan Pada

Sapi Perah Dan Kepentingannya Dalam Pengelolaan ReprQ
duksi Sapi Perah (dibawah perobimbing utama SOEBADI
PARTODlHARDJO dan perobimbing pembantu BAMBANG PURWANTARA) •

Ternouth (1983) dan Arthur (1975) menyatakan, bahwa
pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah digunakan untuk
mengetahui dan memperoleh keterangan tentang status reproduksi pada seekor sapi at au sekuropulan ternak sapi.

Meto-

de terbaik yang digunakan didalaro pelaksanaan pemeriksaan
kebuntingan pada sapi perah adalah eksplorasi manual melalui rektal.
Salisbury and VanDemark (1961) roengeroukakan suatu


ー・セ@

dapat, bahwa didalam usaha pengelolaan reproduksi sapi perah, met ode peroeriksaan kebuntingan per rektal merupakan
salah satu cara yang dapat digunakan untuk roendiagnosa ter
hadap kemungkinan adanya penyakit penyebab infertilitas
dan sterilitas secara cepat dan teliti.

Peroeriksaan keburr

tingan per rektal juga sangat roerobantu dalam evaluasi kebe£
hasilan pelaksanaan program Inseminasi Buatan (IE).
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Parsonson
(1961), kasus gangguan reproduksi yang pernah ditemukan pada sebuah perusahaan sapi perah meliputi 262 kasus penderita sista folikel dan sista luteal, 345 kasus adalah penderita endometritis dan pyometra.

Dari hasil pemeriksaan ini

didapatkan 27.7% dari jumlah penderita endometritis dan
pyometra disebabkan oleh infeksi Brucella abortus.

Laing


(1970) menambahkan. kasus kemajiran yang lain adalah pertumbuhan uterus yang abnormal. sista pada dinding vagina.
hipoplasia ovarium dan kadang-kadang ditemukan tumor
rium.

iii

ッカ。セ@

PEMERIKSAllN KEEUNTINGAN PADA SAPI PBRAH DAN KEPENTINGANNYA
DALAM PENGELOLAAN REPRODUKSI
セゥャNpi@

PERil.H

SKRIPSI

oleh
EBNNY LILIK ERNAWATI


B.

16 0496

Sarjana Kedokteran Hewan

SKRIPSI INI TELAE DIPERIKSA
DAN DISETUJUI OLEH

Prof. Dr. Soebadi Partodihardjo
Pembimbing Utama

Drh. Bam1'l ng Purwantar
Pembimbing Pembantu

Bogor,

4,Ho.r-e-I- 1985

PEMERlKSAAN KEBUNnNGAN PADA SAPI PBRAH DAN KBPENTINGANNYA

DALAM PBNGE10LAAN REPRODUKSI SAPI PERAH

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogar

}'AKULTAS IU;DOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

1985

Kupersembahkan kepada :
Ayahnda. ibunda Berta
kakak dan adik-adikku
yang tercinta.

KATA

pセngatr@

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
Skripsi ini diajukan sebagai syarat bagi Sarjana Kedok
teran Hewan untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakul-.
tas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Kami menya-

dari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karenanya segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada Bapak Soebadi Partodihardjo
yang telah membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini,
demikian pula kepada Sdr. Drh. Bambang Purwantara.
Disamping itu, rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap staf perpustakaan FKH-IPB, BPPH-Bogor,
dan BFT Ciawi-Bogor yang telah menyediakan
ー・イオウエ。ォXョァケセL@


dan rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik yang telah dilimpahkan pada kami mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.
Mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya sebagai karya
ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Bogor, Desember 1984
Penulis

DAF':rAR lSI

Judul

...................................................................................

i

Ringkasan ........................................................................................

ii

Kata Pengantar ..............................................................................


iv

Da:ftar lsi .. . .. . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . . .. .. .. .. . .. . . .. . . .. .. . .. .. . . . .. .. .. .. ..

v

Da:ftar Tabel .. . . .. . .. . .. .. . .. .. . .. . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. . .. ..

vi

Da:ftar Gambar .. . .. . .. . . .. .. .. . . . .. .. . . .. . .. . . . .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. vii
Bab

I.
II.

III.

Pendahuluan . . . . .. . . . . . .. . .. . . . . . . .. . .. . .


Siklus Reproduksi Pada Sapi Perah Betina • •
1 • Puoertas .. .. .
. . . .. .. . .. .. .. .. . .. .

... . . . .. . . . . ..
2. Siklus Berahi ... . . .. . . .. .. . .. ..... .. . . .. . . ... .
Fertilisasi .. .. .. . . .. . .. . . . . . .. .. ... .. .. .. . . .. ... .
4. Kebuntingan .. ... .. . .. ... . .. ..... .. .. .. .. ... . .
Tehnik Pemeriksaan Kebuntingan .. . .. .. .. . .. .. ..
1•
2.

IV.

... ... . . .

Anatomi Alat Reproduksi Sapi Betina •••
Metode Pemeriksaan Kebuntingan ................


1

3
3
4
8

13

19
19
22

Pemeriksaan Kebuntingan Dalam Pengelolaan
Reproduksi Sapi Perah ••.••••.••.••.•••••••
1•

2.

Pemeriksaan Kebuntingan dalam Pelaksa

naan Program Inseminasi Buatan ••••• ZMセN@

30
30

Palpasi per-rektal dalam Pengawasan
Penyakit Penyebab Infertilitas Dan ste
rilitas ............................. -:-.

39

Kesimpulan • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Daftar Pus taka

48

V.

v

DAFTAR TlIBEL

T.abel 1.

Lamanya berbagai periode siklus berahi
dan jarak post partum pada sapi perah • • • • • • •

Tabel 2.

7

Umur kebuntingan pada berbagai jenis
sapi perah ••••••••.•.....•••....•...••..•••• 18

Tabel 3.

Karakteristik perkembangan uterus pada
sapi bunting 35 - 91 hari ••••••••••••••• セ@ ••• 35

Tabel 4.

Karakteristik perkembangan uterus pada
sapi bunting 3 - 9 bulan •••••••••••••••••••• 36

vi

D.ilFTAR GAjvJBAR

1.

Reaksi akrosom spermatozoa dan penetrasi spermatozoa ke dalam ovum ••....•........•..•...•.....• 12

2.

Anatomi organ reproduksi sapi betina •••••••••••••• 20

3.

Diagram sistem pembuluh darah arterial pada
saluran reproduksi sapi betina ••••••....•••••••••• 21

4.

Diagram tulang pelvis sapi betina, dan caracara palpasi per rektal .........................•. 26

5.

Hubungan antara kadar progesteron dalam susu
pada sa pi laktasi dengan waktu setelah dilakukan inseminasi ...•.......................•.•.••• 28

.................. ..... 31

6.

Uterus sapi bunting 70 hari

7.

Uterus sapi bunting 90 hari • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • 32

8.

Uterus sapi bunting 110 hari • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • 33

9.

Uterus sapi menjelang akhir kebuntingan • • • • • • • • • • • 34

10.

Macam-macam pertumbuhan abnormal pada alat
reproduksi sapi betina ....•..•........•..•......•• 43

vii

I.

PENDAHULUAN

Di Indonesia susu merupakan salah satu sumber protein
hewani dengan skala produksi 'yang masih rendah, dibawah
butuhan yang diperlukan.

Dengan sernakin rneningkatnya

ォセ@

ォ・ウセ@

daran rnasyarakat terhadap pentingnya gizi serta kebutuhan
sebagai bahan baku industri pengolahan susu dan rnengingat
produksi susu dalarn negeri hanya rnencapai ± 17,5% dari seluruh kebutuhan, maka perlu adanya pemikiran terhadap usaha penambahan jumlah sapi perah untuk rneningkatkan produksi susu.
Sehubungan dengan usaha rneningkatkan produksi susu,
rnaka diperlukan suatu cara dan keahlian tertentu untuk rnenanggulangi terjadinya penurunan jumlah populasi ternak
ウセ@

pi perah sebagai akibat serangan berbagai macam penyakit
reproduksi, baik yang bersifat infeksius atau non-infeksius
berupa gangguan fungsi fisiologis yang pad a umumnya masih
banyak merupakan masalah di Indonesia.
Perneriksaan kebuntingan adalah salah satu cara dengan
menggunakan metode khusus untuk menentukan keadaan hewan
bunting atau tidak.

Selain itu perneriksaan kebuntingan

dapat digunakan untuk rnembantu dalam pelaksanaan program
Inserninasi Buatan (IB) dan untuk mendiagnosa terhadap kemungkinan adanya kelainan dalam saluran reproduksi hewan.
Hafez, 1974 (dikutip dari Zernjanis 1970) menyatakan,
bahwa met ode yang dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada sapi meliputi perneriksaan melalui palpasi rek-

2

tal, harmon assay dan penentuan karakteristik kimia fisik
daripada sekresi vagina dan serviks.

Dari beberapa meto-

de tersebut, metode pemeriksaan kebuntingan melalui palpasi rektal merupakan met ode yang umum dan praktis digunakan
disamping metode pengukuran kadar hormon progesyeron dalam
susu yang pernah dicoba untuk mendiagnosa kebuntingan pada
perusahaan sapi perah (Laing, 1970 dalam Hafez 1980).
Pemeriksaan kebuntingan didalam pengelolaan reproduksi sapi perah selain mempunyai kegunaan untuk membantu dalam pelaksanaan program Inseminasi Buatan, juga berg una
、セ@

lam pengawasan terhadap penyakit penyebab infertilitas dan
sterilitas yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan
reproduksi sapi perah.

Penggunaan metode pemeriksaan ke-

buntingan melalui palpasi rektal selain cepat dan mempunyai
ketepatan yang tinggi. juga dapat digunakan untuk

mendiag

nosa dengan segera dan kemungkinan untuk dilakukan
ー・ュイゥセ@

saan secara lengkap terhadap organ reproduksi (Hafez 1980).
Dengan demikian melalui cara pemeriksaan kebuntingan
diharapkan dapat membantu usaha peningkatan jumlah populasi
ternak. khususnya dalam usaha pengembangan ternak sapi perah yang sekaligus menjamin peningkatan produksi susu.

II.

SIKLUS REPRODUKSI PADA SAPI PERAH Bm:INA

Siklus reproduksi adalah serangkaian kejadian biologik
ke1amin yang me1iputi proses reproduksi da1am tubuh dari
ウセ@

atu makh1uk hidup, yang berlangsung secara sarnbung menyarnbung hingga terlahir generasi baru (Partodihardjo, 1980).
Arthur (1975) menyatakan, bahwa siklus reproduksi diatur oleh adanya pengaruh timbal balik antara sistem syaraf
pusat dengan kelenjar pituitary anterior dan ovarium.
Partodihardjo (1980) mengernukakan pendapatnya, bahwa
secara garis besar proses reproduksi meliputi periode pube£
tas, siklus berahi, fertilisasi dan kebuntingan.
1.

Pubertas
Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980) menjelaskan, bahwa

pubertas atau dewasa kelamin adalah periode dalam pertumbuh
an yang ditandai dengan mulai berfungsinya garnet untuk memproduksi benih.

Selain itu juga dijelaskan, bahwa pubertas

pacla 5api betina ditandai dengan keadaan sa pi yang sudah 5i
ap menerima pejantan.

Kadang-kadang disertai dengan ovula-

5i spontan.
Menurut pendapat Morrow et a1 (dalam Hafez 1980), pubertas pada anak sapi perah ditunjukkan oleh kebiasaan estrus beberapa minggu sebelum terjadinya ovulasi pertama.
Cole and Cupps (1969) menyatakan, bahwa saat pubertas ditetapkan sebagai umur hewan untuk memulai aktivitas reproduksinya.

4
Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980) menjelaskan, bahwa pubertas terjadi pada umur yang berbeda-beda.

Perbeda-

an tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama faktor genetik, pertumbuhan dan makanan.

Pendapat ini diper-

jelas oleh Fincher et al (1956) yang mengatakan, bahwa dengan pemberian makanan yang sangat baik pada anak sapi perah, pubertas kadang-kadang dapat dicapai lebih awal dan
pada umur 6 - 8 bulan mulai rnenunjukkan gejala berahi.
Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa pubertas juga dipengaruhi oleh faktor sosial.
Selain itu Cole and Cupps (1969) menjelaskan, bahwa
pada sapi Friesian Holstein (FE) pubertas rata-rata terjadi pada umur 9 - 18 bulan dengan berat badan mencapai sekitar 260 kg.
Menurut pendapat Stewart (1979), pubertas pada sapi
FE terjadi pada umur 13,2 bulan dan untuk sapi Shorthorn
terjadi pada umur 11,1 bulan, sedangkan sapi Jersey mencapai pubertas pada umur 11,9 bulan.

Selain itu dijelaskan

juga, bahwa umur pubertas dipengaruhi juga oleh kesehatan
lingkungan.
2.

Siklus Berahi
Satu siklus berahi adalah jarak antara berahi yang sa-

tu sampai dengan berahi berikutnya (Partodihardjo 1980).
Arthur (1975) menjelaskan, bahwa terjadinya siklus berahi berhubungan dengan keadaan ovarium, yang sebagian be-

5

sar pada rnamalia rnencapai puncak berahi pada saat terjadi
pelepasan satu atau lebih ovum.

Ternouth (1983) menyata-

kan, bahwa panjang siklus berahi pada sapi dibedakan antara sikIus pendek yang terjadi kurang dari 18 hari, dan siklus panjang yang berkisar antara 25 - 48 hari.

Sedangkan

pada sapi perah siklus berahi berkisar antara 17 - 24 hari,
dengan rata-rata 21 hari (Hawk and Bellows dalam Hafez,

1980).
Toelihere (1981) membagi siklus berahi dalam dua tahap, yaitu tahap folikuler yang meliputi proestrus dan estrus;

dan tahap luteal yang meliputi metestrus dan dies-

trus.

Sedangkan Arthur (1975) dan Fincher セ@

セ@

(1956)

membagi siklus berahi dalam lima tahap, yaitu tahap proestrus, estrus, metestrus, diestrus dan anestrus.

Selain

\

itu Ternouth (1983), Partodihardjo (1980) dan 20elihere

(1981) juga menyatakan, bahwa secara umum sikIus berahi
ュセ@

liputi tahap proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.
Proestrus adalah tahap sebelum estrus, dimana folikel
de Graaf bertumbuh (Toelihere 1981).

Pertumbuhan folikel

tersebut terjadi atas pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH) , dengan menghasilkan sejumlah estradiol yang
kin bertambah (Baker dalam Ternouth, 1983).

ウ・セ@

Pada tahap

ini keadaan uterus meluas, mukosa uterus padat dan udema-

tUB, dan kelenjar menjadi aktif (Arthur 1975).

Disamping

itu vagina menjadi hiperemis, serviks mulai mengalami relaksasi dan sekresi serviks menjadi lebih cair dan berlebihan (Baker dalam Ternouth, 1983).

Pada tahap ini hewan

6

rnulai rnenampakkan gejala berahi, walaupun belum mau IDeneri
IDa pejantan untuk mengadakan kopulasi (Partodihardjo 1980).
Estrus sering diartikan sebagai tahap penerimaan pejantan (Arthur 1975).

Pada tahap ini serviks dalam keada-

an relaksasi, vagina meluas, vulva merah dan bengkak (Baker dalam Ternouth, 1983 dan Partodihardjo 1980).

Ditam-

bahkan oleh Arthur (1975), bahwa kelenjar serviks dan kelen jar uterus banyak mengeluarkan cairan lendir yang kental.

Dengan palpasi rektal terhadap ovarium diternukan ada

nya folikel yang matang.

Ovarium terasa sedikit menonjol,

licin dan halus pada salah satu permukaannya.

Pada sapi

perah estrus terjadi selama 12 - 24 jam, dan ovulasi
エ・イェセ@

di 10 - 11 jam setelah akhir estrus, sedangkan estrus pertama setelah partus terjadi sesudah 32 - 69 hari.

Menurut

pendapat Hawk and Bellows (dalam Hafez 1980), estrus pada
sapi perah terjadi selama 13 - 17 jam dan ovulasi terjadi
25 - 32 jam setelah mulai estrus, sedangkan jarak estrus
pertama dengan kelahiran berkisar antara 20 - 70 hari.
Metestrus adalah tahap segera setelah estrus, dimana
korpus luteum tumbuh secara cepat dari sel-sel granulosa
folikel yang telah pecah (Arthur 1975 dan Toelihere 1981).
Tahap metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh
ィッセ@

mon progesteron yang dihasilkan pleh korpus luteum (Toe lihere 1981).

Selain itu Partodihardjo (1980) menambahkan,

bahwa pada tahap ini sapi telah menolak pejantan untuk aktivitas kopulasi.

Ditambahkan juga oleh Arthur (1975), bah

wa Ilada tahap ini pembuluh darah dan kelenjar mukosa uterus

7

menjadi sangat aktif, sedangkan sekresi dari vagina menjadi berkurang.

Serviks mulai menutup, kadang-kadang diser-

tai dengan sedikit perdarahan yang mengalir dari uterus ke
vagina (Partodihardjo 1980).

Pendapat ini diperkuat oleh

Baker (.dalam Ternouth 1983) yang menyatakan, bahwa dalam
tahap ini 30% kejadian yang menunjukkan terjadinya perdarahan pada sapi.

Toelihere (1981) menambahkan, bahwa ta-

hap ini berlangsung selama 3 - 5 hari.
rabel 1.

Lamanya berbagai periode siklus berahi dan jarak
postpartum pada sapi perah.
Periode

No.

Lama
Selang
Ra"Ga-rata

1.

estrus (jam)

13 - 17

15

2.

ovulasi setelah awal

25 - 32

29

17 - 24

21

10 - 40

20

20 - 70

34

32 - 50

45

estrus (jam)

3.

panjang siklus estrus
(bari)

4.

proses kelahiran dengan
ovulasi pertama (hari)

5.

proses kelahiran dengan
estrus pertama (hari)

6.

proses kelahiran dengan

involusi uterus (hari)
Sumber: Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animal.
Lea and Febiger. Philadelphia, U.S.A.

8

Diestrus adalah tahap terakhir dan terlama dalam siklus berahi pada ternak mamalia (Toelihere 1981).

Korpus

luteum menjadi matang dan bertambah aktif untuk menghasil
kan progesteron (Baker dalam Ternouth 1983).

Selain itu

dijelaskan juga oleh Arthur (1975); dalam fase ini uterus
dalam keadaan relax dan serviks menutup, sedangkan lendir
vagina berkurang dan lengket juga mukosa vagina menjadi
cat.

ーセ@

Fase ini berlangsung selama 13 hari, dan pada fase

ini mulai terjadi perkembangan folikel-folikel primer dan

sekunder yang akhirnya kembali ke fase proestrus (Toelihere 1981).
3.

Fertilisasi
Austin, 1957 (dikutip oleh Salisbury and VanDemark

1961) mengatakan, bahwa fertilisasi adalah peristiwa
「・イエセ@

munya ovum dan spermatozoa yang diikuti dengan proses bersatunya kedua jenis sel tersebut.

Anderson (dalam Cole and

Cupps 1977) dan Swenson (1970) menjelaskan, bahwa proses
fertilisasi secara umum meliputi tahap kapasitasi spermatQ
zoa di dalam saluran reproduksi betina dan tahap penetrasi
spermatozoa ke dalam ovum.
3.1.

Kapasitasi Spermatozoa Dalam Saluran Reproduksi
Bet.ina
Menurut Swenson (1970), kapasitasi spermatozoa

ュセ@

rupakan salah satu perjalanan spermatozoa di dalam saluran reproduksi betina untuk memperoleh kemampuan di

9

dalam usaha membuahi ovum.
Proses kapasitasi spermatozoa terjadi di dalam
uterus dan oviduct, yang berlangsung dalam dua mekanisme yaitu mekanisme pembuangan faktor dekapasitasi

dari sel spermatozoa dan pengaktifan enzim akrosom
(reaks1 akrosom) (Anderson dalam Cole and Cupps, 1977).
Anderson (dalam Cole and Cupps 1977) juga menjelaskan, bahwa faktor dekapasitasi ada di dalam plasma
seminal yang menyelimuti spermatozoa.

Penghilangan

faktor dekapasitasi mungkin hasil pengaktifan satu
atau lebih enzim akrosom, yang meliputi akrosin dan ne
uraminidaselike.

Kemudian diikut1 dengan reaksi pele-

bUran membran plasma dan membran akrosom sebelah luar
dari sel spermatozoa, sehingga terjadi pembebasan enzim yang membantu spermatozoa untuk menembus kumulus
oophorus dan korona radiata.
Partodihardjo (1980) menambahkan, bahwa reaksi
akrosom yang berupa perubahan membran spermatozoa

Hセ@

langnya akrosom) terjadi pada batas pertemuan istmus
dan ampula atau "Ampula-Isthmus Junction" (ll IJ).
Menurut hasil pengamatan Anderson (dalam Cole and
Cupps 1977), kapasitasi spermatozoa normal terjadi dibawah pengaruh kadar estrogen yang tinggi.

Kapasitasi

di dalam uterus lebih responsif terhadap pengaruh hormon daripada kapasitasi yang terjadi di dalam oviduct.
3.2.

Penetrasi Spermatozoa Ke Dalam Ovum

10

Menurut pendapat Austin and Bishop, 1957
Hセᆳ

tip oleh Salisbury and VanDemark 1961), proses penetrasi spermatozoa ke dalam ovum yang terjadi di bagian ampula dari oviduct, meliputi penembusan terhadap
lapis sel granulosa, zona pellucida dan membran vitel
lin yang merupakan dinding sel ovum.
Mann, 1944 and Meyer, 1967 (dikutip oleh Salisbury and" VanDemark 1961); dan Cole and Cupps (1977)
menjelaskan, bahwa enzim hyaluronidase yang dihasilkan
selama reaksi akrosom berfungsi mencairkan a5am hialuronik yang merupakan perekat sel-sel granulosa.

Kemu-

dian spermatozoa dapat dengan mudah menyusup ke dalamnya dan berusaha untuk menembus zona pellucida.
Austin, 1957 (dalam Salisbury and VanDemark 1961)
menjelaskan, bahwa dengan posisi kepala menyentuh dan
menusuk, spermatozoa berusaha menembus zona pellucida.
Disamping itu Cole and Cupps (1977) menambahkan, bahwa dengan adanya enzim proteolitik akrosoma termasuk
akrosin yang disebut juga dengan trypsinlike enzyme
atau acrosomal proteinase, spermatozoa dapat menembus
zona pellucida.
Diikuti oleh pendapat Jamane, 1956 (dikutip oleh
Salisbury and VanDemark 1961), bahwa setelah spermatozoa menembus zona pellucida, segera masuk ke dalam ruang perivitellin yang kemudian dengan posisi kepala
perU keadaan semula menyentuh membran vitellin".

ウセ@

Seba

11
gai akibatnya terjadilah aktivitas ovum dengan membentuk tonjolan keeil, yang disebabkan oleh pengaruh enzim yang dibawa spermatozoa ke dalam ovum terhadap asam hialuronik dalam ovum.

Diikuti oleh pendapat Aus-

tin, 1957 (dalam Salisbury and VanDemark 1961), bahwa
dengan terbentuknya tonjolan tersebut spermatozoa dapat lebih mudah menyusup ke dalam sitoplasma sel ov,urn.
Kemudian kepala spermatozoa putus dan mengembang, sehinggga tampak tidak berbentukj inti sel memudar dan
nukleoli jelas, dengan membran disekelilingnya, yang
bersifat basofilik.

Diikuti dengan peristiwa terurai-

nya kromosom inti sel spermatozoa dan ovum, kemudian
berpasangan dan membentuk inti baru (Zamboni et al 1970
dikutip oleh Cole and Cupps, 1977; dan Partodihardjo.
1980).
Menurut Austin, 1957 (dikutip oleh Salisbury and
VanDemark 1961), bahwa setelah tubuh spermatozoa masuk
ke sitoplasma ovum, kepala spermatozoa melebur kemudian pronuklei jan tan dan bet ina saling menyatu dan mem-

-

bentuk inti baru yang kemudian berkembang hingga terben
.

tuk makhluk baru.

Waktu yang di'butuhkan mulai dari pel!!

bentukan pronuklei sampai terjadi pembelahan pertama di
perkirakan berkisar antara 12 - 20 jam.
Menurut Toelihere (1981). waktu yang dibutuhkan m,!;!;
lai dari penetrasi spermatozoa sampai pembelahan pertama kemungkinan tidak melebihi 24 jam.

12

Gambar 1.

Reaksi akrosom spermatozoa dan penetrasi spermatozoa kedalam ovum.

-----

membran aorosom
sebelah dalam

Oセ@ , dp

Cumulus Oophorus
00rona. Radiata
Pellucida

\

rnembran

plasma
(A)

membran acrosom
sebelah luar

セhb@



-

c:
Q)

8 r-

c:
o.....
Q)
..- 4rII)
Q)

0>

o.....

/I

e.

II

0

t
estrus

I

15

20

t
estrus

,

... I

I :

30

25
GLス。セZ@

telch

tu

(lHU'i)

ゥiセsgャョ。Nウ@

Bf.)-



Sumber: Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in
Farm Animals. Lea and Febiger. Philadelphia, U.S.A.
Heap

セ@

セ@

(dalam Hafez 1980) membuktikan

ォ・「ョ。セ@

an met ode tersebut dengan mengambil sejumlah contoh
BU

bセ@

sa pi yang telah diinseminasi setelah 21, 24, dan 42

hari.

Penyelidikan ini menghasilkan nila! kebenaran

29
berkisar antara 77.5% - 8596 untuk sapi bunting, dan
85.796 - 10ryh untuk sapi tidak bunting.
Bulman and Lamming (1978) menjelaskan, bahwa yang
dilakukan dalam metode pengukuran kadar progesteron
adalah men cat at dan mengumpulkan data dari setiap sa-

pi yang akan diperiksa mengenai kadar progesteron pada saat estrus pertama dan beberapa hari setelah dila
kukan inseminasi.
Fu= (dalam Bulman and Lamming 1978) menambahkan.
bahwa bahan yang diperlukan dalam met ode analisa progesteron adalah antiserum BF 456 no.6.

IV.

PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN DALAM PENGELOLAAN
REPRODUKS I SAPr PERAH

Kruif and Brand (1978) mengemukakan pendapatnya, bahwa keuntungan memiliki perusahaan sapi perah ditentukan

0-

leh jumlah susu yang dihasilkan dan sejumlah anak sapi yang
dilahirkan.
Salisbury and VanDemark (1961) menjelaskan, bahwa mengetahui dengan pasti status reproduksi sapi betina adalah
besar kegunaannya didalam pengelolaan reproduksi sapi perah.
Pemeriksaan kebuntingan merupakan salah satu cara untuk mengatasi sedini mungkin terhadap kemungkinan adanya penyakit
penyebab infertilitas dan sterilitas yang bersifat merugikane

Disamping itu pemeriksaan kebuntingan juga dapat di-

gunakan untuk membantu pelaksanaan program lnseminasi Buatan (IB).
1.

PRE Dalam Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan
1.1.

Diagnosa Kebuntingan
Ternouth (1983) menyatakan, bahwa pemeriksaan ke-

buntingan merupakan salah sa.u cara untuk memonitor dan
membuktikan basil Inseminasi Buatan secara cepat dan la
yak.

Dengan melalui palpasi rektal dapat diketahui se-

cara pasti sapi dalam keadaan bunting dan dari hasil pe
ngamatan tidak menunjukkan estrus kembali selama satu
siklus berahi.

Pendapat ini diperjelas oleh Salisbury

31
and VanDemark, 1961 ( dikutip oleh Ternouth 1983), bah
wa satu siklus berahi yang dipergunakan sebagai dasar
diagnosa hasil IB adalah berkisar antara 28 - 35 hari.
Menurut pendapat Anderson, 1965 (dikutip oleh Ternouth
1983), interval waktu yang digunakan sebagai dasar diagnosa hasil IB adalah 30 - 60 hari.
Ternouth (1983) menjelaskan, bahwa mendiagnosa
ォセ@

buntingan melalui palpasi rektal pada umur kebuntingan
muda dapat ditemukan beberapa perubahan di dalam uterus yang meliputi penipisan dinding uterus, pengumpulan cairan allantois di dalam kedua tanduk kornua yang
mulai dapat ditemukan pacta umur kebuntingan 8 minggu,
dan hilangnya bagian runcing di ujung tanduk kornua.
Gambar 6.

uterus sapi bunting 70 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. veterinary Reproduc
tion and Obstetrics. Bailliere ゥョ、。ャM[@セ
London.
Disamping itu Ternouth (1983) juga menjelaskan,
bahwa pada sapi dara fremitus dalam A. uterina media
mulai dapat dideteksi pada umur kebuntingan 13 minggu.

32

Kotiledon mulai dapat ditemukan pada umur kebuntingan

13 - 16 minggu.
Gambar 7.

Uterus sapi bunting 90 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. Veterinary Reprodue
tion and Obstetrics. Bailliere Tindal17
London.
Menurut pendapat Arthur (1975), kotiledon pertama kali
dapat dikenali melalui palpasi rektal pada umur kebuntingan antara

3t - 4 bulan, dengan cara meraba garis

tengah sepanjang 8 - 10 em di depan agak ke bawah pin£
gir pelvis.

Menurut Salisoury and VanDemark (1961) dan

Ternouth (1983), bahwa ketrampilan seseorang untuk dapat
melldiagnosa kebuntingan seeara tepat hanyalah mungkin
BGtelah umur kebuntingan mencapai 60 hari atau lebih.
Wisconsin (dalam Salisbury and VanDemark 1961)
ュセ@

ngatakan, bahwa metode klinik sangat memuaskan untuk
mendiagnosa kebuntingan apabila dalam palpasi dapat ditemukan kantong amnion di dalam uterus.

Diperkuat oleh

33
Ternouth (1983), bahwa kantong amnion dapat dipalpasi
pada umur kebuntingan 5 minggu dan cara ini telah digunakan oleh beberapa operator dalam mendeteksi kebun
tingan dan menentukan umur kebuntingan.
Ternouth (1983) juga mengemukakan pendapatnya
エ・セ@

tang perubahan yang terjadi di dalam uterus pada umur
kebuntingan diatas tiga bulan, bahwa serviks dalam keadaan tertarik ke arah pinggir pelvis dan sementara ka
rena berat turun ke lantai pelvis.

Fetus mencapai ab-

domen pada umur kebuntingan antara 5 - 7 bulan.
Menurut pendapat Arthur (1975), bahwa
セ・エオウ@

dapat

dipalpasi pada umur kebuntingan 120 - 160 hari dan dalam prakteknya lebih dari 50% dapat dilakukan, walaupun dalam kasus lain mungkin £etu8 tidak dapat dipalpa
si.

Gambar 8.

Uterus sapi bunting 110 hari.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. veterinary Reproduc
tion and Obstetrics. Bailliere Tindall:
London.

34

Gambar 9.

Uterus sapi menjelang akhir kebuntingan.

Sumber: Arthur, G.H. 1975. Veterinary Reprodue
tion and Obstetrics. Bailliere ゥョ、。ャセ@
London.
Ternouth (1983) menegaskan, bahwa diagnosa kebuntingan dapat dipastikan bila dapat dipalpasi fetus, kotiledon atau fremitus.

Fada umur kebuntlngan tiga bulan

diameter arteri pada sisl kornua bunting 0,3 cm dengan
fremitus redup;

dan pada umur kebuntingan empat bulan

diameter arteri menjadi dua kali lipat dengan fremitus
jelaS, sedangkan pada umur kebuntingan delapan bulan di
ameter arteri mencapai 1,3 em dengan fremitus sangat
ェセ@

las.
Disamping itu Cowie, 1948 {dikutip oleh Salisbury

35
Tabel 3.

I

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN UfERUS PADA SAPI BUNTING
35 - 91 liARI

UMUR PANJANG
(liARI) FETUS

tCm)
35

VOLUME TOTAL
CAlRAN fィセal@
(ml)

UKURAN KO
TlLEDON
(Cm)

CIRI-CIRI LAIN

Kantong amnion ber

+ 1.0

1

bentuk bola denga
diameter 3.2 cm.
42

2.5

Kantong amnion

150

0-

val berukuran 5.1
x 3.8 cm.
49

+

56
59

:!:.

3.75

!. 150

5.0

112

Diameter kornua

6.0

190

bunting 5.1-&.4cm

63

7.3

70

10.0

475

77

+ 11.0

855

84

:!:. 14.0

760

91

+ 15.0

870

2.5x1.3

Diameter kornua
bunting 7.6-8.9cm,
kadang-kadang ada
:fremitus.

Sumber:

Arthur, G.H. 1975. Veterinary r・ーイッ、オ」エセョ@
and
Obstetrics. Bailliere Tindall, London.
Ternouth, J.H. 1983. Dairy Cattle Research Tehniques. Brisbane, Australia.

36
Tabel 4.
kapセtris@

ANJAN( VOLUME toセiャヲeᄋ@

IUl'iU'RTPOSlS1: FErUS
(BULAh)

CilIRAN FETA
(ml)

FETUS

I

(Gm)

PERKEMBANGAN UTERUS

KlfRJIN KOTr:..

L1illON
(Cm)

1m

CURNOA

DIAMETER

GRA VID

FREMITUS

ARTERI (Gm)

3

Dekat ke bawah pinggir
pelvis.

15

870

2.5x1.3

0.3

4

Tengah ventral dinding
bawah pinggir
pelvis.

28

3080

3.8x1.9

0.6

5

Di bawah dan
40
lebih kekanan
dari garis エセ@
ngah.
Pada lantai ab 52
domen lebih kk
kanan dari gal
ris tengah.

3905

4.5x2.5

6680

5.1x3.2

6

I

セ@

3 - 9 BULAN.
F· R EWT'[ U S
CORNUA NON-GRAVID

PADA SAPI BUNnNG

I

サcAャセ@
,,,"

Redup

0.3

Tidak ada

Fetus sebesar tikus besar.

Jelas

0.3

Tidak ada

Lekukan pada uterus dapat ditentukan. .i