Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari Dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter

(1)

STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM

ASY’ARI

DAN HAMKA TENTANG PENDIDIKAN

KARAKTER

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh:

Nuriah Miftahul Jannah

NIM. 1112011000024

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), “Studi Komparasi Pemikiran KH.

Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter”

Kata kunci: Komparasi, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Pemikiran Hamka, Pendidikan Karakter

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang konsep pendidikan karakter, serta mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan karakter dari kedua tokoh tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat analisis deskriptif, dengan metode komparasi dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/library research, yaitu pengumpulan data yang bersifat kepustakaan

Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa mempelajari dan mengidentifikasikan data-data melalui berbagai literatur bersumber pada buku primer dan buku sekunder yang berkaitan dengan kedua tokoh yang dibahas. Adapun data primer bersumber dari personal dokumen dari KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. Dan data sekunder diperoleh dari publikasi ilmiah berupa buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, yang mengkaji tentang pemikiran kedua tokoh tersebut terkait pendidikan karakter.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pendidikan karakter perspektif KH. Hasyim Asy’ari adalah adanya usaha yang mendorong terbentuknya karakter yang positif dalam berperilaku adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh pada ketauhidan. Segala kondisi yang terjadi, para pelaku pendidikan senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah. Sedangkan pendidikan karakter dalam perspektif Hamka adalah usaha bersama dari orang tua, guru dan masyarakat untuk membangun budi pekerti. Pendidikan orang tua, pengetahuan dasar agama, dan keteladanan guru sebagai pelengkap terbentuknya kesempurnaan jiwa yang berdasarkan pada nilai-nilai budi pekerti luhur.


(6)

ii

ABSTRACT

Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), "The Comparative Study of Thought

KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about Character Education"

Keyword: The Comparative, The Thought of KH. Hasyim Asy’ari, The Thought of Hamka, Character Education

This study aims to determine the thought of KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about the concept of character education, and to know the similarities and differences in educational character the both of tought. This study used a qualitative approach that is both descriptive analysis, the comparison method and the type of study is a literature / library research, namely the collection of data literaturely.

Using the techniques of data collection in the form of studying and identifies data related to both personage discussed ideas through various literature sourced in the primer and sekunder about thought of personage both in the researched. The primary data sourced from personal documents of KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. And secondary data sourced from scientific publication (books, journals, articles, thesis and mini thesis, etc) about tought of personage both which especially character education.

The results obtained from this study that the character education in the perspective of KH. Hasyim Asy’ari is there are efforts that encourage the formation of a positive character in the act is to live up to the noble values and sticking to monotheism. All conditions that occur, the perpetrators of education always responds with kindness and morality al-karimah. While character education in the perspective of Hamka was a joint effort of parents, teachers and the community to build character. Parent education, basic knowledge of religion, and exemplary of teachers as a complement to the formation of the perfection of soul based on the values of noble character.


(7)

iii

KATA PENGANTAR











Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat sehat dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia dan sosok yang penuh rahmat bagi alam semesta

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit menghadapi rintangan dan hambatan. Maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

iv

5. Dr. Akhmad Shodiq, M.A, Dosen Pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. Achmad Gholib, M.Ag, Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama studi. 7. Ayahanda tercinta Mahlil Mochsen (almarhum) dan Ibunda tersayang

Fatmah Ibrahim yang selalu jadi inspirasi dan doa yang tak terhingga, (semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka). 8. My lovely brothers Ndoa, Boya, Iki, Bamal yang selalu ada buat

penulis yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. My sisters in law Mbak Dwi, Mbak Tin, Mbak Ni, dan Mbak Yuli yang senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis.

9. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan sabar memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menempuh studi.

10.Ibu Sabngati Istinganah, Staf administrasi Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11.Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah UIN Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.

12.Pimpinan dan Staf Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.

13.Terima kasih buat sahabat sejati, sahabat seperjuangan yang menginspirasi Arruum Arinda, Farisha, Hanny Puspitasari, Syifa Alawiyah, Bahiyatul Musfaidah yang selalu bersama baik suka maupun duka.


(9)

v

14.Terima kasih buat sahabat terbaik yang pertama kali bersama menempuh studi Evia Fajriati Kusmana, Annisa Khanza Fauziah, Mutia Anggraini dan Masturah Yasmin Hafidzoh yang selalu membantu dan peduli dari awal hingga sekarang.

15.Teman-teman PAI angkatan 2012 yang tidak bisa penulis sebut satu per satu yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling membantu, memotivasi dalam proses belajar di kampus UIN Jakarta.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, bagi mereka semua yang telah membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan skripsi ini tiada kata yang paling indah selain ucapan terima kasih dan syukur, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka semua dan penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 31 Oktober 2016


(10)

vi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan ... 14

2. Tujuan Pendidikan ... 18

3. Pendidik ... 21

4. Peserta Didik ... 23

B. Konsep Karakter 1. Pengertian Karakter ... 25

2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter... 28

C. Konsep Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter ... 33


(11)

vii

2. Tujuan Pendidikan Karakter ... 34

3. Fungsi Pendidikan Karakter ... 37

4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam ... 38

D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Objek dan Waktu Penelitian... 43

B. Metode Penelitian... 43

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45

D. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KH. Hasyim Asy’ari... 47

1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari ... 47

2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari ... 48

3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari... 50

4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari ... 52

a. Pendidikan ... 53

b. Tujuan Pendidikan ... 54

c. Pendidik ... 55

d. Peserta didik ... 57

e. Pendidikan Karakter ... 58

B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) ... 60

1. Riwayat Hidup Hamka ... 60

2. Latar Belakang Pendidikan Hamka ... 61

3. Karya-karya Hamka ... 64

4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka ... 66

a. Pendidikan ... 66

b. Tujuan Pendidikan ... 68

c. Pendidik ... 69


(12)

viii

e. Pendidikan Karakter ... 72

C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter ... 74

D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka ... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Implikasi ... 84

C. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(13)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 30


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Problematika masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya kontrol diri pada materi ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia pendidikan juga turut merasakan dampak dari kemodernan. Semua penemuan teknologi canggih saat ini mempunyai efek yang tidak terduga. Perkembangan peradaban yang semakin maju membawa pengaruh yang signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam kehidupan keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa.

Dampak globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.1

Pupuh Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah mencatat bahwa suatu negara dan bangsa bisa hancur bukan karena ekonomi, bukan karena militernya lemah, bukan karena tsunami alam yang menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan negara akan hancur karena akhlak

dan moral bangsanya telah rusak”.2

Adapun kasus datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) yang tega melukai

1 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1

2 Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.2


(15)

2

leher dan menebas tangan dosennya sendiri hingga tewas. Kejadian ini sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi.3 Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu semakin baik akhlaknya.

Data yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan menyebutkan bahwa Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, pada Oktober hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan terorganisir juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan mengenai kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di peringkat 109 dunia.4 Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa adanya masalah dalam dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga menjadi potret buruk pendidikan Indonesia.

Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan, kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya tinggi.5 Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar hingga ke tingkat pendidikan tinggi.

Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal

3 Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45 a.m (http://www.kompas.com)

4 Ika Akbarwati, Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)

5 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 22


(16)

pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena telah kehilangan karakter itu sendiri.6

Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai al-Qur‟an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan. Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diajarkan al-Qur‟an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal.7

Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu, ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya

.

8

Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi pendidikan Islam dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak terpisah dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk membentuk karakter anak didik selaku generasi muda yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan bangsa,

6Ibid., h. 2

7Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 55

8 Sumedi, Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012, h. 185


(17)

4

secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata.9

Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa.10

Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.11

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.12

BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

9 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 1

10 Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779

11 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 123

12Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 4


(18)

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.13

Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini, khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam implementasinya.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru harus dirubah.

Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.14 Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.15

13Ibid.., h. 7

14Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5

15Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum


(19)

6

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.16 Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.17

Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur‟an pengertian akhlak (khuluq) adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan.18 Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap

perbuatan manusia”.19

Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :











































Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.20

16Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1

17Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4

18Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11

19Mahjuddin,op. cit, h. 3

20Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII h. 638


(20)

Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:

ِِإ

ِِقَاْخَأاَِمِراَكَمَِمِمَتِأُِتْثِعُبِاَمَن

Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (H.R. Imam Baihaqi).21

Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna.

Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya dengan personalitas (kepribadian) seseorang.22 Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang lain.23

Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.24

Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.25

21A mad Ibnu al usaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 ), h. 472

22 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52

23Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116 24 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), h. 24

25Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012), h. 165


(21)

8

Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam.

Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan”.26

Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan budaya.27

Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.

26Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011,

h. 217


(22)

Diantara tokoh-tokoh intelektual muslim di Indonesia yang memiliki perhatian besar dan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah KH..

Hasyim Asy‟ari dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Keduanya adalah ulama yang memiliki integritas dan keteguhan dalam ilmu agama serta banyak melahirkan karya. Kedua tokoh ini merupakan ulama pejuang dan pejuang yang ulama dalam perlawanannya terhadap kolonial Belanda.

“Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan

pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”. Ini pernyataan KH.

Hasyim Asy‟ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang

terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya dengan membuka pengajian dan membangun pesantren.28 KH. Hasyim

Asy‟ari membawa perubahan baru sepulangnya dari Makkah, dengan

mendirikan pesantren Tebu Ireng yang terkenal di Jombang sampai sekarang. Tebu Ireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan perkembangan ilmu pengetahuan umum.

Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh agama, yang semenjak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren Nggedang dimana ia belajar agama langsung dari ayahnya yang seorang ulama yang sangat mendukung kemajuan ilmu agama. Karena merasa haus akan ilmu, Hasyim Asya‟ari kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa.

Karakteristik dari Kiai Hasyim adalah kekonsistenannya dalam memegang tradisi. Dengan pandangan tradisionalisme yang dipertahankannya KH. Hasyim Asy‟ari banyak mengadopsi tradisi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan normativitas.29 KH.

Hasyim Asy‟ari adalah ulama sekaligus penulis yang banyak melahirkan

karya. Sebagaimana nampak dalam karya-karyanya yang meliputi bidang pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya.

28Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 19

29Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta:


(23)

10

Keinginan yang sangat kuat untuk mempertahankan bangunan tradisi tersebut, maka bersamaan dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai

Hasyim Asy‟ari mendirikan Nahdatul Ulama atau kebangkitan ulama

(NU). Organisiasi Islam terbesar di tanah air.30 Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas beliau sebagai pendiri NU, melainkan karena beliau juga termasuk pemikir dan pembaharu pendidikan Islam yang dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang.31

Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy‟ari sebagai

seorang yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, melalui tangan beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing.32

Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka adalah seorang ulama dan tokoh Islam yang sangat toleran dalam kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut akidah.33 Ia adalah putra dari seorang tokoh dan ulama berdarah minang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang sangat menginginkan anaknya kelak menjadi seorang ulama. Selain belajar dari ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak.34

Menurut Sutan Mansyur, dari kecil dalam diri Abdul Malik Karim Amrullah memang sudah ada tanda-tanda ia akan menjadi orang besar. Kata dan pikirannya selalu didengar oleh teman-teman sebayanya, menjadikan dia selalu menonjol dalam pergaulan.35 Hamka menurut

30Ibid., h. 83

31Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi Kepustakaan dalam

kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3

32Ibid., h. 6

33Irfan Hamka, Ayah, (Republika: Jakarta, 2014),Pengantar Penerbit Republika dalam Novel Ayah, h. viii

34Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h. 109

35Shalahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta: Intimedia, 2003), h. 63


(24)

Abdurrahman Wahid adalah seorang intelektual yang mempunyai pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum.36

Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya bahwa semua orang pada dasarnya baik dan punya kemungkinan untuk menjadi lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, buya bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap tegas dalam mempertahankan prinsip terbukti saat ia mundur dari ketua MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama bagi umat Islam.37

Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang pemikirannya banyak dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, dan teori-teori beliau cetuskan dalam bukunya banyak digunakan untuk memecahkan masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun, pendidikan. Selain itu, beliau juga melahirkan karya fenomenal berupa tafsir Al-Azhar yang banyak digunakan masyarakat dalam memahami

al-Qur‟an.38

KH. Hasyim Asy‟ari dan Buya Hamka adalah sosok yang tidak

diragukan lagi, selain menonjol dalam hal- hal yang telah disebutkan di atas, keduanya dikenal cukup concern dan sangat peduli dengan nasib pendidikan umat serta berwawasan jauh ke depan. Dilihat dari sikap dan karakter mereka yang mempengaruhi pemikiran terhadap sesuatu. Dalam hal pendidikan, keduanya memfokuskan pentingnya pendidikan akhlak atau budi pekerti dalam proses pendidikan.

Beranjak dari apa yang dipaparkan di atas, dipahami bahwa karakter atau budi pekerti adalah perilaku manusia menuju sifat-sifat baik yang berdampak postif untuk lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut, peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul:

36Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224

37Ibid., h. 66

38Laeli Nafilah, “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka (Telaah buku “Lembaga Hidup”

Karya Hamka)” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta: 2011, tidak dipublikasikan, h.4


(25)

12

“Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa masalah mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia

2. Paradigma guru yang belum mengetahui pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter

3. Media pertelevisian yang kurang memperioritaskan pendidikan 4. Minimnya pengetahuan dasar agama, pendidikan dari orang tua

serta pengawasan kepada anak dalam menghadapi arus globalisasi

5. Pola hidup bangsa Indonesia yang cendrung westernisasi akibat perkembangan zaman.

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar, maka dalam pembahasannya penulis membatasi dan merumuskan permasalahan pada hal-hal ini sebagai berikut :

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk lebih terarahnya penelitian ini dibatasi pada pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terhadap pendidikan karakter.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yang akan dikaji, yaitu:

a. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter?

b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim


(26)

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter

b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH.

Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah :

a. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang

pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terkait pendidikan

karakter. Dan sebagai salah satu syarat menempuh jenjang strata satu.

b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter. c. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan

bacaan, sehingga masyarakat bisa mengambil pelajaran positif dari pemikiran kedua tokoh ini.


(27)

14

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Konsep Pendidikan

1.

Pengertian Pendidikan

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau

peadgogos” yang berarti pembimbing anak, atau seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya ke arah kemandirian dan sikap tanggung jawab.1 Pendidikan berasal dari kata “didik” yang artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan

pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses

pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.2

Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses membimbing, mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memelihara dan menumbuhkembangkan kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang baik dalam pertumbuhan ke arah kedewasaan.

Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga istilah, yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Istilah “tarbiyah” (

ةيبرت

) dari kata (

ّ بر

) mengandung arti mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan menumbuh kembangkan dengan penuh kasih sayang. Pengertian “ta’lim

1Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32

2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 326


(28)

(

ميلعت

) dari kata kerja (

م لع

) yang berarti pengajaran, pengarahan, dan

pendidikan. Dan “ta’dib” (

بدعت

)

dari kata (

بدأ

)

yang berarti pendidikan,

kepatuhan, sopan santun.3

Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi manusia yang terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut terdapat unsur pendidik, peserta didik, dan unsur caranya.4

Kata al-ta’lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya diartikan dengan pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengartikan kata yu’allimu dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali hanya mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisik. Kata al-ta’lim ini termasuk yang paling popular dan banyak digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti

pada kegiatan majelis ta‟lim.

Sedangkan kata al-ta’dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai sarana tranformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan.5

Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya yang dilakukan pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi

3Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), h. 8-14

4Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 19


(29)

16

peserta didik baik jasmani maupun rohani melalui serangkaian proses bimbingan dan arahan agar pesera didik menjadi individu yang lebih baik.

Islam sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada kegiatan pendidikan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah perintah untuk membaca (iqra’) yang terdapat dalam Q.S. al-„Alaq (ayat 1-5).6

Dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang setinggi-tingginya karena menguasai ilmu. Bagi mereka yang berilmu dan menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah akan mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Allah.

ّ



ّ

ّ

ّ



ّ

ّ

ّ

ّ



ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ



ّ

ّ

ّ

ّ

ّ



ّ

ّ



ّ



ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ



ّ



Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscahaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Mujadilah : 11)7

Selanjutnya pengertian pendidikan menurut Drikarya yang mengungkapkan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia

6Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430, h.79


(30)

muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan menuntun segala kodrat yang terdapat dalam diri anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.9 Pengertian ketiganya mengenai pendidikan lebih ditekankan pada proses bimbingan individu menuju pada pembentukan karakter atau kepribadian menjadi manusia yang seutuhnya.

Pendidikan yang dirumuskan dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berkarakter mulia. Bahwa dalam hal ini, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.10

Dalam buku Higher Education for American Democracy, Education is an institution of civilized society, but the purpose of education are not the same in all societies. Pendidikan merupakan suatu lembaga dalam tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama dalam setiap masyarakat.11

Oleh karenanya, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan secara sadar berupa pembinaan, pengajaran pikiran dan jasmani anak didik

8Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.3

9 Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 3

10Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3


(31)

18

berlangsung sepanjang hayat untuk meningkatkan kepribadiannya, agar dapat menjalankan peranan dalam lingkungan masyarakat secara tepat sesuai dengan kondisinya.

Pendidikan pada umumnya menghasilkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah dapat dikategorikan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan yang merupakan proses mendidik, dalam hal ini tidak hanya pada ranah kognitif (mentransfer pengetahuan), akan tetapi mendidik berarti mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul lahir batin yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai luhur kehidupan sehingga menjalankan peran manusia sebagaimana mestinya.12

Jadi, upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka pengajaran, bimbingan, pelatihan, dan penanaman nilai-nilai luhur pada diri anak dengan tujuan mempersiapkan mereka sebagai sumber daya manusia unggul untuk dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik di masa sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang dinamakan dengan pendidikan.

2.

Tujuan Pendidikan

Tujuan merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan, peranan tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses pendidikan. Tidak ada tujuan di luar proses pendidikan yang memberi makna bahwa pendidikan adalah sepanjang hayat.13

John Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan sebagai anggota masyarakat melalui

12Tafsir Al-Qur‟an Tematik Jilid 8, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur‟an, 2014), h.3


(32)

penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif.14 Maksudnya dengan pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik bertujuan untuk menjalankan perannya sebagai individual dan anggota masyarakat sesuai yang diharapkan.

Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan kemana arah perkembangan murid-murid akan diarahkan. Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan.15

Tujuan pendidikan pada umumnya adalah membentuk kepribadian yang utama sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidup suatu bangsa. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.16

Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian anak didik yang kuat jasmani, rohani dan nafsaninya (jiwa) yakni kepribadian muslim yang dewasa.17 Sesuai dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju kedewasaan.

14Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 14

15Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), h.47

16Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h.4


(33)

20

Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada penguasaan kompetensi yang bersifat kognitif, tetapi yang lebih penting adalah pencapaian pada aspek afektif. Hasil dari pendidikan Islam adalah sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-hari yang sejalan dengan ajaran Islam.18

Abdurrahman Saleh Abdullah dalam buku Educational Theory A Qur’anic Outlook, sebagaimana yang dikutip oleh Heri Gunawan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus meliputi empat aspek, yang meliputi :

a. Tujuan jasmani (ahdaf al-jismiyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah fi al-ardh, melalui keterampilan fisik. b. Tujuan rohani dan agama (ahdaf ruhaniyah wa ahdaf

al-diniyah). Bahwa proses pendidikan ditujukkan dalam rangka meningkatkan pribadi manusia dari kesetiaan yang hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan akhlak qurani yang diteladani oleh Nabi Saw sebagai perwujudan perilaku keagamaan.

c. Tujuan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelektual manusia untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan menelaah ayat-ayat-Nya yang membawa kepada perasaan keimanan kepada Allah.

d. Tujuan sosial (ahdaf al-ijtimayyah). Proses pendidikan ditujukan dalam rangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi yang tercermin sebagai al-nas yang hidup pada masyarakat plural.19

18Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 13

19 Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 11


(34)

Terkait dengan keempat aspek yang harus diperhatikan dalam menyusun tujuan pendidikan sebagaimana disebut di atas, memiliki artian bahwa pendidikan tidak saja mengarahkan pada pengembangan potensi intelektual, tetapi lebih dari itu perlu keseimbangan antara terpenuhinya kebutuhan jasmani, kerohaniaan, dan sosial peserta didik. Dalam hal ini, pendidikan harus mengacu pada ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.

3.

Pendidik

Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah.20 Dalam hal ini, pendidik sebagai pelaksana pendidikan dengan sasarannya adalah peserta didik. Mempunyai peran dan tanggung jawab dan pada umumnya ditujukan untuk orang tua, guru, dan pelatih.21

Dari uraian di atas, bahwa pendidik adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, baik jasmani dan rohaninya dalam memberikan bimbingan menuju kedewasaannya.

Abuddin Nata menyebutkan pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.22

Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik ialah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan, pendidik diantaranya adalah orang tua, dan orang dewasa lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.23

20Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 65

21Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25

22Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.62


(35)

22

Menurut Langeveld, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak. Yang disebut pendidik karena adanya peranan dan tanggung jawab dalam mendidik seorang anak.24

Dari pengertian ketiga ahli tersebut, dipahami bahwa pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya. Oleh karena itu, pendidik bukan saja guru yang bertugas di sekolah, melainkan semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak kecil sampai ia dewasa terutama orang tua.

Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi penting dalam proses pendidikan. Dialah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan perkembangannya agar tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang diharapkan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.25

Pendidik menurut Islam bukanlah sekedar pembimbing melainkan juga figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu, pendidik muslim haruslah aktif dari dua arah. Secara eksternal dengan jalan mengarahkan atau membimbing peserta didik dan secara internal dengan jalan menginternalisasikan karakteristik akhlak mulia.26

Mendidik yang merupakan peran dari seorang guru mempunyai tugas dan fungsi yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

24Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 10

25Abuddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 205

26Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 112


(36)

Nomor.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah jalur formal.27

Sejalan dengan tugas yang harus diemban oleh pendidik yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut, maka yang dinamakan pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik baik dalam kegiatan pendidikan, pengajaran dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur atau karakter mulia dari pendidikan anak usia dini hingga menengah melalui jalur formal maupun informal.

4.

Peserta Didik

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun informal, pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.28 Peserta didik berstatus sebagai subjek didik karena ia pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya, yang ingin mengembangkan diri secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.29

Dari keterangan tersebut, peserta didik selain sebagai anggota masyarakat juga merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain secara berkesinambungan dalam proses pengembangan potensi diri yang dimiliki, baik pada jalur pendidikan formal maupun informal.

27Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2

28 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 5


(37)

24

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun keseimbangan pada bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.30

Melalui paradigma di atas, jelas bahwa aktivitas pendidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dengan demikian, untuk mengarahkan tujuan pendidikan dan merancang kurikulum keadaan mereka harus menjadi perhatian utama.

Selanjutnya, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Isnawati, bahwa tugas dan kewajiban peserta didik ialah :

a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih

b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan

c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat

d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya

e. Peserta didik hendaknya belajar dengan sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.31

Berdasarkan hal tersebut unsur yang paling penting pada diri peserta didik ialah harus meluruskan niat terlebih dahulu, karenanya menuntut

30 Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 47

31 Isnawati. skripsi, Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Ahmad Dahlan Tentang Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h.20


(38)

ilmu adalah sebuah ibadah yang memerlukan hati yang bersih. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi diri dan mencari pengetahuan dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya.

B.

Konsep Karakter

1.

Pengertian Karakter

Istilah karakter berasal dari charaassein bahasa Latin yang berarti

“dipahat atau diukir”.32

Membentuk karakter diibaratkan mengukir di atas permukaan besi yang keras. Dalam kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.33

Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang dengan yang lain.34 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi character yang berarti, tabiat, budi pekerti, watak.35 Secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri.36

Dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang baik yang terpatri dalam diri manusia dan diimplementasikan dalam perilaku keseharian. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter tidak diwariskan,

32 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Inrenalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 27

33Ibid., h.28

34Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h, 623

35Jhon M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.107

36Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: , Ar-Ruzz Media, 2012), h. 20


(39)

26

tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan,37

Character is the sum of all the qualities that make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, and your action” (Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataaan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang). Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.38

Terkait pengertian karakter ada beberapa ahli yang memiliki berbagai pemahaman. Mereka memberikan pemaknaan karakter sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh ahli tersebut. Sudewo menyatakan bahwa karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembangkan amanah dan tanggung jawab.39 Adiwimarta mengartikan karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dengan lainnya.40

Dalam hal ini Sudewo lebih menekankan pengertian karakter pada perwujudan perilaku baik manusia yang bersumber dari kesadaran menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan. Simon Philips mengungkapkan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.

37 Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 41

38 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 120

39Husaini, Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1 Januari-Juni 2014, h.77


(40)

Berbeda dengan Doni Kusuma yang mengartikan karakter adalah kepribadian yang dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari berbagai bentukan yang diterima dari lingkungan. Misalnya, lingkungan keluarga.41

Adapun istilah karakter dalam pandangan Islam menurut Quraish Shihab dinamai rusyd. Ia bukan hanya nalar, tetapi gabungan antara nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa. Ia terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Karakter dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman tersebut. Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena ia erat kaitannya dengan kalbu.42

Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas, tetap, dan bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.43 Pada dasarnya karakter tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instan) semuanya harus melewati proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai dewasa.44

Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya. Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul

41M. Najib, Novan Ardhy Wiyani, Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Gava Media,2016), h. 59

42Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 714

43Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 61

44Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ( Bandung: PT.Remaja RosdaKarya, 2011), h. 108


(41)

28

dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya.45

Ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed menjelaskan terdapat empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yang meliputi, tahap pembiasaan, sebagai awal perkembangan karakter anak. tahap pemahaman dan penalaran terhadadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari. Dan selanjutnya tahap pemaknaan, yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan manfaatnya dalam kehidupan.46

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas moral atau budi pekerti individu yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan lainnya dan menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu yang bernilai baik yang diperoleh dari lingkungannya. Seseorang bisa dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai-nilai luhur yang dikehendaki masyarakat yang dapat digunakan sebagai kekuatan dalam kehidupannya.

2.

Nilai-nilai Pembentukan Karakter

Nilai adalah suatu keyakinan, misi, atau filosofi yang penuh makna. Nilai dapat bergerak dari sesuatu yang umum dan mengandung arti, tujuan dan manfaat yang seimbang.47

Adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan dalam pendidikan karakter, antara lain :

a. Empat karakter utama Rasulullah saw, yaitu:

45Nur Zaini, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014, h.12

46Abdul Majid, Op.cit., h. 109


(42)

1) Shiddiq / Honesty (kejujuran) memupuk nilai pembentukan karakter untuk tidak berbohong atau tidak berdusta kepada diri sendiri dan orang lain

2) Amanah / Trustable (bertanggung jawab) memupuk nilai pembentuk karakter keadilan dan kepemimpinan yang baik, integritas, disiplin dan tanggung jawab yang tinggi terhadap kepercayaan yang diberikan

3) Tabligh / Reliable (menyampaikan) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter pecaya diri, bijaksana, toleransi, cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain 4) Fathonah / smart (cerdas) memupuk nilai-nilai

pembentukan karakter keberanian, mandiri, kreatif, arif, dan rendah hati.48

b. Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang bersumber dari agama, pancasila dan tujuan pendidikan nasional. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama, yaitu kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli), dan kecerdasan (cerdas).49

Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa sekaligus, tetapi harus bertahap. Keempat nilai utama tersebut menggambarkan peserta didik sangat ditentukan oleh perangainya dari

48Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), h.7


(43)

30

olah hati (jujur), olah pikir (cerdas), dan olah raga (tangguh) serta olah rasa dan karsa (peduli).

Kemendiknas kemudian mencanangkan 18 nilai-nilai pembentukan karakter yang dijabarkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

No. Nilai Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain

2. Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada

upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya

4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi


(44)

berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya

6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas

8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain

9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar 10. Semangat kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan

berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya 11. Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap dan berbuat

yang menunjukan kesetiaan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa 12. Menghargai prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong

dirinya untuk mengasilkan sesuatu yang berguna bagi masyaraat, dan


(45)

32

mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain

13. Bersahabat/komunikatif Tindakan yang mmeperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain

14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya

15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya 16. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu

berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi

17. Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa


(46)

C.

Konsep Pendidikan Karakter

1.

Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha sadar untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperhatikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.50 Menurut Elkind dan Freddy Sweet sebagaimana dikutip

oleh Pupuh Faturahman bahwa “Character education is the deliberate

effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values”(Pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan inti nilai etika).51

Sudrajat mengartikan pendidikan karakter sebagai proses pembelajaran penguasaan dan pemilikan nilai karakter, atau nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT yang dilakukan dengan membiasakan kebenaran dan menanamkan nilai akhlak mulia di dalam hati dan dilaksanakan oleh panca indera.52 Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter adalah hal-hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru yang berpengaruh pada karakter anak yang diajarnya.

Pendidikan karakter dapat didekati dengan menumbuhkan dan menanamkan keyakinan tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam diri anak. Metodenya antara lain dengan penyampaian kisah-kisah tentang

50 Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja RosdaKarya, 2011), h.5

51Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.15

52 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 38


(47)

34

figur-figur yang kokoh kepribadiannya, membiasakannya, dan menerapkan reward and punishment.53

Terdapat tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dengan sifat-sifat baik yang diberdayakan melalui proses yang panjang.

Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku tentang sifat-sifat baik. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan penting yang mencakup perkembangan sosial individu.54

Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan karakter tidak hanya terjadi pada lingkungan sekolah, akan tetapi setiap elemen dalam kehidupan mulai dari lingkungan rumah, tempat bermain, dan bermasyarakat perlu melakukan usaha bersama dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter mulia pada diri individu. Sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.

2.

Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu

53Salman Harun, Tafsir Tarbawi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h.30

54 Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2014), h. 18


(48)

pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.55

Pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang berakhlakul karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab.56 Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat juga pernah

ditegaskan oleh Martin Luther King, “Intelligence plus character, that is

goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).57

Islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan pendidikan. Untuk mewujudkan pembentukan akhlak pada anak, Al-Ghazali menawarkan sebuah konsep pendidikan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan.58 Hal tersebut menjadi fokus bahwa akhlak atau pembentukan karakter adalah tujuan utama pendidikan dalam Islam.

Tujuan utama pendidikan karakter dalam Islam adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.59

55 Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), h. 44

56Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 22

57 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 29

58Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h.32

59Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h. 98


(49)

36

Menurut Mulyasa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta secara utuh, terpadu dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.60

Kemudian ia menambahkan bahwa pendidikan karakter sebagai proses yang berkelanjutan tanpa akhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang berkesinambungan (countinous quality improvement), ditunjukkan pada terwujudnya sosok manusia berkualitas dan memiliki daya saing.

Menurut Kemendiknas, tujuan pendidikan karakter antara lain :

a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan bangsa

b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius

c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.

d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan

e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.61

Pendidikan karakter idealnya harus diimplementasikan secara utuh agar dapat membantu siswa dalam hal mengidentifikasi nilai-nilai positif

60 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 34

61 Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 24


(50)

bagi diri sendiri serta orang lain, mampu berkomuniaksi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, dan mampu berpikir rasional dan memiliki kesadaran emosional terhadap pola tingkah laku diri sendiri. Dalam hal ini tujuan pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya.62

3.

Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. Selanjutnya dilakukan perbaikan terhadap perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.63

Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, diantaranya ialah: a. Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan

karakter membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai yang mencerminkan falsafah pancasila dan karakter bangsa.

b. Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan bermartabat.

c. Fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai

62 Jafar Anwar, Op. Cit, h. 34-35

63 Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media, 2013), h. 45


(51)

38

dengan nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat.64

Ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui pengukuhan pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma agama konstitusional UUD 1945, penguatan komitmen bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penguatan nilai-nilai keberagaman sesuai dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, serta penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global.65

4.

Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan

Islam

Pendidikan Islam, khususnya pendidikan agama Islam (PAI) mempunyai posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi materi yang wajib diajarkan pada setiap sekolah. Pendidikan agama Islam pada prinsipnya memberikan pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai spiritualitas pada peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak, beretika serta berbudaya sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional.66

Akhlak merupakan pilar utama dalam pendidikan Islam, hal ini sesuai dengan latar belakang perlunya diterapkan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana tujuan pendidikan nasional untuk menciptakan generasi bangsa yang bermutu dimulai dengan pembangunan karakter.

64 Binti Maunah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1, April 2015, h.92

65Yopi Fajar Suryadi, skripsi, Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin Fananie Dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 21

66Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIODATA PENULIS

Nuriah Miftahul Jannah, kelahiran Ende, 13 Februari 1995. Semenjak menjadi mahasiswa, penulis berdomisili di Kosan Darwin, Jalan Kertamukti Gg H. Nipan, No.74 RT.001/008, perumahan Griya Nipah, Pisangan, Ciputat Timur-Tangerang Selatan. Ketika menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), HMJ PAI (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Pernah menjadi pengurus Asrama Putri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012/2013. Penulis pernah menjadi admin/staff di kantor jurusan PAI. Anggota di Lentera Muda Ciputat. Selain itu, penulis adalah tim dalam akreditasi jurusan PAI tingkat ASEAN (AUN-QA).