Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya Palsi Serebral

TINJAUAN PUSTAKA

Korioamnionitis sebagai Faktor Risiko Terjadinya
Palsi Serebral
Siska Mayasari Lubis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik, Medan

123

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008

Kariomnionitis sebagai Faktor...

belum diketahui sepenuhnya. Beberapa bukti
memperlihatkan bahwa 70-80% kasus terjadi
akibat faktor prenatal sedangkan asfiksia lahir
6
mempunyai peranan yang kecil.
Korioamnionitis
berperan
sebagai

penyebab penting terjadinya palsi serebral.
Sejumlah penelitian memperlihatkan hubungan
yang bermakna antara korioamnionitis dengan
palsi
serebral
pada
bayi
prematur.
Korioamnionitis dapat menyebabkan fetal
inflammatory response, dan inflamasi ini
dapat menyebabkan cedera otak pada
neonatus
yang
dapat
mengakibatkan
6
terjadinya palsi serebral.
Korioamnionitis
Korioamnionitis merupakan infeksi yang
terjadi pada membran (korion) dan cairan

amnion.
Beberapa
buku
obstetri
memperlihatkan insidens berkisar 1% dari
seluruh persalinan. Di negara berkembang
dimana asuhan prenatal dan nutrisi ibu yang
buruk selama kehamilan mempunyai insidens
yang lebih tinggi dalam hal terjadinya
7
korioamnionitis.
Korioamnionitis dapat terjadi akibat
invasi mikroba ke cairan amnion dimana
bakteri yang mencapai rongga amnion
menyebabkan terjadinya infeksi serta inflamasi
8,9
di membran plasenta dan umbilical cord.
Infeksi amnion dapat terjadi baik pada
membran yang masih utuh maupun pada
membran yang telah ruptur dan lamanya

ruptur dari membran secara langsung
berhubungan
dengan
perkembangan
9
korioamnionitis.
Korioamnionitis dapat menyebabkan
bakteremia pada ibu, menyebabkan kelahiran
7
prematur dan infeksi yang serius pada bayi.
Penyebab tersering infeksi intrauterin adalah
bakteri yang ascending dari saluran kemih
8
ataupun genital bagian bawah atau vaginitis.
Organisme
penyebab
terjadinya
korioamnionitis adalah organisme normal di
vagina, termasuk Eschericia coli, selain itu
Streptokokus grup B juga sering berperan

8
Chlamydia
sebagai
penyebab
infeksi.
trachomatis sebagai salah satu bakteri
penyebab cervicitis juga berperan sebagai
bakteri penyebab infeksi intrauterin dan
10
berhasil diisolasi dari cairan amnion. Peran
virus sebagai penyebab korioamnionitis
10
sampai dengan saat ini belum jelas diketahui.

Gejala
korioamnionitis
dapat
asimtomatik dan berbeda-beda pada setiap
wanita, meskipun demikian, gejala yang
umum didapati dapat berupa demam,

peningkatan denyut jantung ibu dan janin,
uterus yang lembut dan nyeri, serta cairan
6,9
amnion yang bau.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Selama periode intrapartum
diagnosis korioamnionitis biasanya berdasarkan
gejala klinis, selain itu juga dilakukan kultur
cairan amnion dan sekret urogenital untuk
7
mengetahui kuman penyebab. Pemeriksaan
cairan amnion dilakukan dengan cara
6
amniosentesis.
Jalur Ascending Infeksi Intrauterin
Mikroorganisme dapat memasuki kantong
10
amnion dan fetus melalui jalur :
1. Naik dari vagina dan serviks

2. Penyebaran hematogen melalui plasenta
(infeksi transplasenta)
3. Retrograde dari rongga peritoneum
melalui tuba falopi
waktu
melakukan
4. Accidental pada
prosedur invasif, seperti amniosentesis,

percutaneus
fetal
blood
sampling,
chorionic villous sampling, atau shunting
Penyebab tersering infeksi intrauterin
adalah melalui jalur pertama yaitu bakteri naik
10
dari vagina dan serviks. Korioamnionitis
secara histologi didapati lebih sering dan lebih
berat pada daerah dimana terjadi ruptur

membran dibandingkan dengan daerah
lainnya, seperti placental chorionic plate atau
umbilical cord. Identifikasi bakteri pada kasus
ini mirip dengan bakteri yang terdapat di
saluran genital bagian bawah. Bila terjadi
8,10
infeksi kantong amnion selalu terlibat.
Stadium Ascending Infeksi Intrauterin
Infeksi intrauterin secara ascending dibagi
10
atas 4 stadium:
1. Terjadi perubahan flora normal di
vagina/serviks atau adanya organisme
patologis (cth: Neisseria gonorrhoea) di
bacterial
serviks.
Beberapa
bentuk
vaginosis juga dapat dijumpai pada
manifestasi awal stadium 1.

2. Organisme sudah masuk ke rongga
intrauterin dan berada di desidua, terjadi

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008

124

Tinjauan Pustaka

reaksi inflamasi lokal yang menyebabkan
desiduitis.
3. Mikroorganisme selanjutnya masuk ke
korion dan amnion. Infeksi selanjutnya
menyebar ke pembuluh darah fetus
(koriovaskulitis) atau melalui amnion
(amnionitis) ke dalam ruang amnion,
menyebabkan invasi mikroba pada ruang
amnion atau infeksi intra amnion. Ruptur
membran bukan menjadi syarat untuk
bisa terjadi infeksi intra amnion oleh

karena mikroorganisme mampu melewati
membran yang utuh.
4. Setelah masuk ke kantong amnion, bakteri
dapat masuk ke fetus melalui berbagai
jalur.
Aspirasi cairan yang terinfeksi oleh fetus
dapat menyebabkan pneumonia kongenital.
Otitis, konjungtivitis, dan omphalitis juga dapat
terjadi akibat penyebaran mikroorganisme dari
cairan amnion yang terinfeksi. Penyebaran
infeksi dari daerah yang tersebut di atas juga
dapat
menyebabkan
terjadinya
fetal
1
bakteremia dan sepsis.

factor, macrophage activation protein-1-α,
dan platelet-activating factor di dalam cairan

8
amnion selama infeksi intrauterin.
Beberapa
analisis
univariat
telah
memperlihatkan bahwa kadar IL-6 yang tinggi
merupakan faktor risiko utama untuk
terjadinya morbiditas yang berat pada
8,11
Pada korioamnionitis, IL-8 juga
neonatus.
mempunyai kadar yang tinggi di cairan
amnion. Meskipun demikian, tingginya kadar
IL-6 dan TNF-α di cairan amnion telah
dilaporkan lebih reliabel bila dibandingkan
8
dengan tingginya kadar IL-8.
B. Fagosit
Respons inflamasi pada korioamnionitis

juga melibatkan fagosit yang diaktivasi oleh
lipopolisakarida,
dan
terutama
oleh
lipopolisakarida yang berikatan dengan protein
dan larut di cairan amnion. Lipokalin, marker
aktivasi neutrofil, dan lisozim, marker aktivasi
monosit dan makrofag, didapati secara
bermakna lebih tinggi di plasma bayi yang
8
lahir dari ibu dengan korioamnionitis.
Interaksi antara sitokin dan fagosit dapat
diikuti oleh produksi radikal bebas dan produk
aktivasi fagosit lainnya yang terlibat dalam
8
kerusakan jaringan pada berbagai organ.
C. Metalloproteinases

Gambar 1: Stadium ascending infeksi intrauterin
Dikutip dari: NeoReviews 2002;3:e73-84

Korioamnionitis dan Mediator Inflamasi
A. Sitokin
Peningkatan pelepasan sitokin sebagai
akibat infeksi cairan amnion selama ini sudah
diketahui, terutama didapati kadar yang tinggi
dari interleukin 1 (IL-1), IL-6, tumor necrosis
factor-α (TNF-α), IL-8, colony-stimulating
125

Metalloproteinases (MMPs) merupakan
golongan zinc-dependent enzymes yang
mampu mendegradasikan komponen matriks
ekstraseluler. Beberapa diantaranya, seperti
MMP-7 dan MMP-9 terlihat di uterus,
amnion, korion, secara bersamaan dengan
inhibitornya. Peningkatan konsentrasi MMP-7
dan MP-9 terjadi selama invasi mikroba ke
rongga amnion selama kehamilan. MMP-8
yang berperan saat inflamasi terutama di
cairan serebrospinal, juga terlihat di amnion
selama invasi mikroba, tidak hanya berperan
sebagai indikator invasi mikroba ke amnion
tetapi juga merupakan indikator yang baik
tentang kondisi janin, dan tingginya kadar
MMP-8 berhubungan dengan prognosis yang
8
buruk..
Hubungan Korioamnionitis dengan Palsi
Serebral
Infeksi maternal sebagai suatu marker
untuk cedera otak neonatus masih menjadi
problema oleh karena sulitnya dalam

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008

Siska Mayasari Lubis

Kariomnionitis sebagai Faktor...

11

mendiagnosis korioamnionitis. Namun, ada
banyak bukti yang mendukung adanya
hubungan antara infeksi/inflamasi plasenta
12,13
dengan terjadinya palsi serebral pada anak.
Hubungan ini pertama sekali ditemukan
oleh Eastman dkk tahun 1950, mendapati
demam intrapartum 7 kali lebih sering terjadi
pada ibu-ibu dengan anak palsi serebral
dibandingkan dengan anak lain sebagai
kontrol. Penelitian berikutnya menemukan
peningkatan konsentrasi sitokin pada sampel
darah anak-anak penderita palsi serebral,
menambah dugaan bahwa proses inflamasi
perinatal merupakan penyebab penting
12
terjadinya palsi serebral.
Beberapa bukti memperlihatkan bahwa
inflamasi terlibat dalam patogenesis cedera
otak iskemik. Reaksi inflamasi dicetuskan oleh
iskemik pada sistem susunan saraf pusat (SSP)
yang terdiri dari peningkatan jumlah leukosit,
termasuk sel polimorfonuklear (PMN) yang
diikuti oleh monosit, aktivasi mikroglia, dan
membutuhkan ekspresi molekul adhesi spesifik
14
dan faktor kemotaktik.
Penelitian
terbaru
memperlihatkan
bahwa IL-1β dan TNF-α, kedua sitokin ini
dapat merangsang reaksi inflamasi di SSP. IL-6
merupakan suatu sitokin pleiotropic yang
mempengaruhi reaksi proinflamasi dan anti
inflamasi, produksinya ditingkatkan oleh
15
sitokin lain, termasuk IL-1β dan TNF-α.
Yoon dkk mendapati hubungan yang kuat
antara beberapa sitokin (IL-6, IL-1β, IL-8,
TNF-α) di cairan amnion dengan palsi serebral
pada satu studi kohort bayi sampai dengan
15
berusia 3 tahun.
TNF-α dan IL-6 dilepaskan dari sel T,
makrofag, mikroglia, dan astrosit, yang
merupakan faktor penting untuk regulasi tidak
hanya untuk maturasi dan pertumbuhan sel
tetapi juga dalam hal respons terhadap cedera
dan fungsi proteksi intraneural. Infeksi/inflamasi
dapat menyebabkan deregulasi pelepasan
sitokin dari sel-sel CNS dan menginfiltrasi selsel imun, menyebabkan kerusakan otak dan
jaringan lainnya. Penelitian pada hewan
percobaan telah memperlihatkan bahwa
lipopolisakarida merangsang mikroglia untuk
melepaskan sejumlah besar IL-1β, TNF-α, dan
IL-6. Tingginya kadar sitokin proinflamasi ini
seperti yang didapati pada korioamnionitis
bertanggung jawab untuk terjadinya cedera
8
otak.

Peningkatan kadar IL-6 dan IL-8 di SSP
pada bayi baru lahir berkaitan dengan derajat
ensefalopati, dan IL-6 berkaitan dengan
outcome. Meskipun demikian, apakah sitokin
inflamasi
secara
langsung
mempengaruhi
patogenesis cedera otak neonatus atau hasil dari
cedera otak sendiri, sampai dengan saat ini
16
belum dimengerti sepenuhnya.
Kolaborasi multisenter antara ahli obstetri,
neonatologi, dan neurodevelopmental dibutuhkan
dalam hal pencegahan dan tatalaksana masalah
6
ini. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk memahami mekanisme terjadinya
cedera otak pada bayi setelah terjadi
11
korioamnionitis.
Prognosis Palsi Serebral
Prognosis anak dengan palsi serebral
tergantung pada luas atau beratnya defisit
17
motorik. Lokasi dan tipe palsi serebral,
adanya epilepsi, derajat gangguan kognitif, dan
penyebab palsi serebral juga mempengaruhi
18
prognosis penderita palsi serebral.
Morbiditas dan mortalitas berhubungan
dengan beratnya palsi serebral dan juga
komplikasi yang terjadi (cth: gangguan
respirasi dan saluran cerna). Dengan
penatalaksanaan yang adekuat penderita dapat
bersosialisasi dalam lingkungan akademis
19
maupun lingkungan sosialnya.
RINGKASAN
Palsi serebral menggambarkan berbagai
gangguan fungsi motorik bersifat kronik, non
progresif, dan dikarakteristikkan dengan
adanya perubahan pada tonus otot serta
mempengaruhi gerakan, kekuatan otot,
keseimbangan, dan koordinasi.
Banyak bukti yang mendukung adanya
hubungan antara korioamnionitis dengan
terjadinya palsi serebral pada anak. Didapati
hubungan yang kuat antara beberapa sitokin
(IL-6, IL-1β, IL-8, TNF-α) di cairan amnion
dengan terjadinya palsi serebral. Namun,
masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk memahami mekanisme terjadinya palsi
serebral
pada
anak
setelah
terjadi
korioamnionitis.
Prognosis anak dengan palsi serebral
tergantung pada luas atau beratnya defisit
motorik. Dengan penatalaksanaan yang
adekuat penderita dapat bersosialisasi dalam
lingkugan akademis maupun lingkungan
sosialnya.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008

126

Tinjauan Pustaka

DAFTAR PUSTAKA
1. Swaiman KF, Russman BS. Cerebral
palsy. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S,
penyunting. Pediatric neurology. Edisi ke3. St. Louis: Mosby, 1999.h.312-22
2. Wollack JB, Nichter CA. Static
encephalopathies. Dalam: Rudolph CD,
Rudolph AM, penyunting. Rudolph’s
pediatrics. Edisi ke-21. New York:
McGraw-Hill, 2003.h.2197-202

11. Shalak LF, Laptook AR, Jafri HS, Ramilo
O, Perlman JM. Clinical chorioamnionitis,
elevated cytokines, and brain injury in
term infants. Pediatrics 2002;110:673-80
12. Ferriero DM. Neonatal Brain Injury. N
Eng J Med 2004;351:1985-95

JAMA

13. Redline RW, Riordan MA. Placental
lesions associated with cerebral palsy and
neurologic impairment following term
birth.
Arch
Pathol
Lab
Med
2000;124:1785-91

4. Johnston MV. Encephalopathies. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting.
Nelson
textbook
of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders, 2004.h.2024-5

14. Ancel AM, Alix AG, Salcedo DP,
Cabanas F, Valcarce M, Quero J.
Interleukin-6 in the cerebrospinal fluid
after perinatal asphyxia is related to early
and late neurological manifestations.
Pediatrics 1997;100:789-94

5. Perinatal asphyxia and trauma. Dalam:
Menkes JH, penyunting. Textbook of
child neurology. Edisi ke-5. Baltimore:
Williams & Wilkin, 1995.h.325-61

15. Paneth N, Korzeniewski S. The role of the
intrauterine and perinatal environment in
cerebral palsy. NeoReviews 2005;6:e13340

6. Wu YW, Colford JM. Chorioamnionitis as
a risk factor for cerebral palsy. JAMA
2000;284:1417-24

16. Bartha AI, Barber AF, Miller SP, Vigneron
DB, Glidden DV, Barkovich AJ, et al.
Neonatal encephalopathy: Association of
cytokines with MR spectroscopy and
outcome. Pediatrics 2004;56:960-6

3. Glass RM. Cerebral
2003;290:2760

palsy.

7. Sherman MP. Maternal choriamnionitis.
Diunduh dari: URL: http://www.emedicine.com/PED/topic89.htm
8. Bracci R, Buonocore G. Chorioamnionitis:
a risk factor for fetal and neonatal
morbidity. Biol Neonate 2003;83:85-96
9. Stoll BJ. Infections of the neonatal infant.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
Saunders, 2004.h.623-5
10. Romero R. Preterm Labor, intrauterine
infection, and the fetal inflammatory
respons
syndrome.
NeoReviews
2002;3:e73-84

127

17. Moe PG, Seay AR. Neurologic &
Muscular disorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM,
penyunting. Current pediatric diagnosis &
treatment. Edisi ke-16. New York: Lange
Medical books/McGraw-Hill, 2003.p.791
18. Wu YW, Day SM, Strauss DJ, Shavelle
RM. Prognosis for ambulation in cerebral
palsy: a population-based study. Pediatrics
2004;114:1264-71.
19. Ratanawongsa B. Cerebral palsy. Diunduh
dari: URL: http://www.emedicine.com/neuro/topic533.htm.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 2 y Juni 2008