Faktor Risiko Terjadinya Epilepsi Pada Anak Palsi Serebral

5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Palsi serebral
2.1.1 Definisi palsi serebral
Palsi serebral adalah gangguan permanen gerakan dan bentuk tubuh, yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik, gangguan tidak bersifat progresif,
terjadi saat perkembangan otak janin dan bayi. Gangguan motorik sering
disertai dengan gangguan sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, gangguan
perilaku, epilepsi, dan gangguan muskuloskeletal.10
Karakteristik klinik palsi serebral tidak spesifik, penjelasan tentang
palsi serebral menyangkut kerusakan fungsi motorik yang terjadi pada masa
awal kanak– kanak dan ditandai dengan perubahan sifat otot yang biasanya
berupa spatisitas, gerakan involunter, ataksia atau kombinasi. Walaupun
pada umumnya yang terkena adalah lengan dan tungkai, namun seringkali
bagian tubuh yang lain juga terkena. Keadaan ini disebabkan karena
disfungsi otak dan tidak bersifat episodik atau progresif.11
2.1.2. Etiologi dan faktor risiko palsi serebral:
Etiologi palsi serebral pada sebagian besar anak tidak diketahui.12 Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya palsi serebral antara lain:3,13

1. Kerusakan otak di masa perinatal: hipoksik-iskemik, strok neonatal,
kerusakan otak karena trauma, dan perdarahan intrakranial.

6

2. Kerusakan otak pada prematuritas: periventricular leukomalacia (PVL)
atau necrosis white matter.
3. Abnormalitas perkembangan: malformasi otak intrauterin, gangguan
metabolik dan genetik.
4. Kerusakan otak di masa postnatal: kern ikterus, infeksi susunan saraf
pusat seperti meningitis neonati.
5. Faktor risiko prenatal: korioamnionitis pada ibu, pertumbuhan janin
terganggu, terpapar dengan toksin, dan infeksi Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes simplex virus (TORCH) kongenital.
2.1.3. Diagnosis palsi serebral
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Beberapa
pemeriksaan neurologi yang dapat dilakukan seperti pemeriksaan terhadap
perubahan tonus otot, kekuatan otot, refleks, dan koordinasi.14 Terdapatnya
refleks primitif yang persisten dan tidak adanya reflek protektif pada usia
yang seharusnya, merupakan gambaran penting yang menggambarkan

adanya gangguan pada traktus kortikospinalis.15
2.1.4. Klasifikasi palsi serebral
Secara garis besar, klasifikasi palsi serebral dapat dibagi menjadi:
1. Klasifikasi fisiologi dan topografi
Palsi serebral dapat dibagi dalam 2 kelompok fisiologi yaitu piramidal dan
ekstrapiramidal.13 Kelompok piramidal, gejala dapat berupa spastisitas atau

7

rigiditas. Spastisitas merupakan gejala yang paling dominan, ditemukan pada
70% - 85% dari seluruh kasus palsi serebral.16 Sedangkan kelompok
ekstrapiramidal antara lain diskinesia, korea, atetosis, distonia, dan ataksia.13
Klasifikasi palsi serebral

tipe spastik dapat dibagi berdasarkan

lokalisasi atau topografi disfungsi motorik, antara lain: diplegi, hemiplegi,
triplegi, kuadriplegi/tetraplegi.13
2. Klasifikasi fungsional
Klasifikasi fungsional berdasarkan tingkat keparahan gangguan aktivitas.17,18

Sistem klasifikasi fungsional motorik kasar / Gross Motor Function
Classification System (GMFCS) berdasarkan kemampuan untuk memulai
pergerakan dengan lebih menekankan pada duduk, berpindah tempat, dan
bergerak. GMFCS dibedakan berdasarkan kelompok umur dan terbagi
menjadi 5 tingkatan, yaitu:19,
Tingkat I

: berjalan tanpa hambatan

Tingkat II

: berjalan dengan hambatan

Tingkat III

: berjalan dengan menggunakan alat bantuan pegangan tangan

Tingkat IV

: bergerak sendiri dengan hambatan, kadang menggunakan alat

bantu mobilitas

Tingkat V

: berpindah tempat dengan menggunakan kursi roda

GMFCS dapat digunakan untuk menentukan pemilihan terapi yang
tepat sesuai dengan usia pasien dan tingkatan fungsi motorik, serta
memprediksi prognosis fungsi motorik kasar anak palsi serebral.18

8

2.2. Epilepsi
2.2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang dua kali atau
lebih tanpa penyebab, akibat lepasnya muatan listrik di neuron otak serangan
dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, motorik atau sensoris
yang sembuh secara spontan, sebagian besar berhenti sendiri berulang lebih
dari 24 jam dan setelah serangan kondisi kembali normal seperti biasa.20
2.2.2. Etiologi dan patofisiologi

Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh tidak aktifnya
sinaps inhibisi, stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi, atau perubahan
pada

keseimbangan

neurotransmiter

palsu

yang

memblokade

aksi

neurotransmiter alamiah.21
Sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme yang
mencetuskan sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan
berlebihan sehingga mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi belum

sepenuhnya diketahui namun dari studi sebelumnya,22 beberapa faktor yang
ikut berperan diantaranya :
a)

Gangguan pada membran sel neuron

Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium dimana membran neuron bersifat sangat
permeabel terhadap ion kalium dan sebaliknya kurang permeabel terhadap
ion natrium sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan

9

konsentrasi ion natrium yang rendah didalam sel pada keadaan normal.23,24
Pontensial membran ini dapat terganggu dan berubah oleh berbagai hal
misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau
kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas atau pengaruh
genetik. Bila keseimbangan terganggu sifat semipermiabel berubah sehingga
terjadi difusi ion natrium dan kalium melalui membran dan mengakibatkan
perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya dimana

potensial aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif
pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson.23
b)

Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paskasinaps

Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps. Potensial aksi
yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang kemudian
membebaskan

zat

transmiter

pada

sinaps

yang


mengeksitasi

atau

menginhibisi membran paskasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic
acid) mengakibatkan depolarisasi sedangkan zat transmiter inhibisi (GABA
atau Gama amino butyric acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron
penerimanya jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi
pada transmisi sinaps.23
Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi bila terjadi gangguan
mengakibatkan

bangkitan

terhadap

kejang.

keseimbangan ini dapat


Kegagalan

mekanisme

inhibisi

menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan begitu juga bila terjadi

10

gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasiinhibisi yang menimbulkan bangkitan epilepsi.23.25 Defisiensi piridoksin
metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada bayi karena fosfat
- piridoksin penting untuk sintesis GABA.23 Jaringan saraf dapat menjadi
hipereksitabel oleh perubahan homeostasis tubuh yang diakibatkan demam,
hipoksia, hipokalsemia, hipoglikemia, hidrasi berlebih dan keseimbangan
asam basa selain itu penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama
barbiturat,

dosis


lebih

bermacam

obat

dan

berbagai

toksin

dapat

meningkatkan hipereksitabilitas.23
c)

Sel glia


Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraselular di sekitar
neuron dan terminal presinaps dimana pada keadaan cedera fungsi glia
dalam mengatur konsentrasi ion kalium terganggu dan meningkatkan
eksitabilitas sel neuron disekitarnya.23,24 Telah banyak bukti bahwa astroglia
berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron
dimana pada penelitian eksperimental didapatkan bila kation dimasukan
kedalam sel astrosit melalui pipet mikro timbul letupan kejang pada sel
neuron disekitarnya.23
2.2.3. Diagnosis Epilepsi
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang berupa Electroencephalografi (EEG) dan atau
Computed tomography scan (CT scan)

dan atau Magnetic resonance

11

imaging (MRI). EEG bisa menunjukkan abnormalitas paroksismal aktivitas
otak. Diagnosis epilepsi tidak boleh hanya dengan berdasarkan EEG (
dengan beberapa pengecualian), dengan alasan 5% sampai 8% anak sehat
menunjukkan abnormalitas EEG interiktal.26 EEG bisa dipakai untuk
penegakkan diagnosis epilepsi bila aktivitas kejang terekam saat EEG.27
MRI merupakan modalitas pencitraan pilihan untuk epilepsi karena
memberikan resolusi anatomik yang lebih baik.28 CT scan boleh digunakan
pada situasi akut untuk menentukan adanya lesi massa dan perdarahan.29
Neuroimaging hanya direkomendasikan bila ada kecurigaan epilepsi fokal
atau ketika klasifikasi sindroma yang meragukan, atau adanya dugaan
penyebab simtomatik. 28
2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan faktor etiologi maka epilepsi dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
A.

Epilepsi idiopatik

adalah sebuah sindrom yang hanya epilepsi, tanpa underlying lesion pada
struktur otak atau tanda-tanda dan gejala neurologis lain. Ini diduga genetik
dan biasanya tergantung usia. Penyebab epilepsi tidak diketahui dan
biasanya pasien tidak menunjukan manifestasi kelainan organik di otak dan
juga tidak mengalami penurunan kecerdasan dimana sebagian dari jenis
idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik.21

12

B. Epilepsi simtomatik
Penyebab diketahui dan dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh
berbagai kelainan intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak,
neoplasma otak, lesi iskemia, enselopati, abses otak dan jaringan parut atau
kelainan ekstrakranial dimana penyebab bermula ekstrakranial kemudian
mengganggu fungsi otak juga misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan,
gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan
keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat dan gangguan keseimbangan
cairan.21
2.3. Manifestasi neurologis epilepsi pada penderita palsi serebral
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling sering pada
anak-anak. Risiko epilepsi tertinggi pada pasien yang berhubungan dengan
kelainan otak seperti gangguan intelektual dan palsi serebral. Prevalensi
epilepsi setiap tahunnya berkisar sekitar 5 sampai 7 kasus per 10000 anak
dari lahir sampai usia 15 tahun. 30
Epilepsi terjadi pada 15 % sampai lebih dari 60 % anak dengan palsi
serebral. Kejang pada epilepsi terkait dengan kerusakan otak umumnya sulit
untuk dikontrol. Setengah pasien dengan epilepsi dan neurodefisit dapat
berhasil diobati dengan OAE (Obat anti Epilepsi ) jangka panjang. Sebuah
hasil yang baik (bebas kejang ≥ 1 tahun) telah dilaporkan pada 38% sampai
67% dari anak-anak dengan palsi serebral dan epilepsi. Anak-anak dengan
palsi serebral karena malformasi susunan saraf pusat, infeksi SSP memiliki

13

prognosis lebih buruk terhadap keluaran kejang dibandingkan dengan palsi
serebral dengan etiologi yang tidak diketahui. 31
Penelitian yang dilakukan di Egypt secara case control didapatkan dari
48 anak dengan palsi serebral berkembang menjadi epilepsi, hal ini dapat
menjelaskan bahwa anak-anak dengan palsi serebral mungkin menderita
cedera otak yang luas termasuk kortek, deep white matter dan central nuclei
yang mana bertanggung jawab untuk terjadinya epilepsi.5
2.4. Faktor risiko epilepsi pada anak dengan palsi serebral
Epilepsi pada anak palsi serebral sulit dikontrol dan dapat meningkatkan
derajat berat gangguan motor dan fungsi kognitif, oleh karena itu prognosis
nya buruk.9 Berikut adalah faktor-faktor risiko epilepsi pada anak dengan
palsi serebral :
1. Riwayat Kejang neonatus
Kehadiran kejang pada masa neonatus telah menjadi penanda
yang berguna untuk terjadinya epilepsi pada anak palsi serebral.
Pada berbagai penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa kejang
neonatus merupakan faktor resiko yang berperan untuk terjadinya
epilepsi pada pasien palsi serebral.

6,7,31

Epilepsi yang ditimbulkan

akibat kejang neonatus berhubungan dengan gangguan neurologis
yang permanen yaitu Mental retardasi dan palsi serebral.32
Neonatus dengan klinis kejang mempunyai risiko tinggi untuk
morbiditas dan mortalitas. Dalam tindak lanjut Studi dari 82

14

neonatus dengan kejang klinis, 17(27%) berkembang menjadi
epilepsi, 16(25%) menjadi palsi serebral, dimana 13 anak
menderita epilepsi dengan palsi serebral.33 Penelitian yang
dilakukan terhadap 77 pasien dengan kejang neonatus didapatkan
23 pasien (30%) meninggal dunia, dan dari 59% yang bertahan
hidup memiliki kelainan neurologi. 40 % menderita mental
retardasi, 43% palsi serebral, dan 21 % menderita epilepsi.34
2. Onset kejang
Penelitian yang dilakukan secara retrospektif pada tahun 2008,
didapatkan dari 65 anak palsi serebral dengan epilepsi diketahui
49.2 % anak mengalami onset kejang pertama usia 12 bulan
pertama kehidupan.35 Penelitian lain yang dilakukan di Nigeria
didapatkan 75.3% anak palsi serebral dengan epilepsi mengalami
onset kejang pertama sebelum berusia 1 tahun.36 Onset kejang
pertama pada usia dibawah 1 tahun sering dihubungkan dengan
kejadian epilepsi dimasa yang akan datang. Hal ini disebabkan
pada rentang usia ini otak masih dalam proses perkembangan
sehingga

setiap

gangguan

yang

terjadi

mungkin

akan

menyebabkan kerusakan otak. Kejang yang berlangsung dalam
waktu yang lama juga akan meningkatkan risiko kerusakan otak.
9,36

15

3. Usia gestasi
Penelitian yang dilakukan di Polandia didapatkan tidak ditemukan
hubungan antara usia gestasi dengan faktor risiko epilepsi pada
anak palsi serebral.9 Penelitian yang dilakukan secara crosssectional di Egypt pada 48 anak palsi serebral dengan epilepsi
didapatkan bahwa prematuritas secara statistik berpengaruh
terhadap kejadian palsi serebral dengan epilepsi.5
4. Kelainan pada pemeriksaan neuroimaging
Neuroimaging

dapat

digunakan

untuk

mengidentifikasi

abnormalitas struktural yang menyebabkan epilepsi.37 Selain
penentuan etiologi, neuroimaging juga berguna untuk menentukan
prognosis

dan

tatalaksana.28

perencanaan

Penelitian

yang

dilakukan pada tahun 2009 didapatkan dari 47 anak palsi serebral
dengan

epilepsi

didapatkan

neuroimaging yang abnormal.

40
38

anak

mempunyai

hasil

Penelitian yang juga dilakukan

pada tahun 2009 didapatkan 85.28 % anak dengan palsi serebral
memperlihatkan kelainan pada hasil CT-Scan atau MRI dimana
44.54% memperlihatkan epilepsi. 39
5. Riwayat epilepsi pada keluarga
Riwayat epilepsi pada keluarga meningatkan risiko individual untuk
mengalami epilepsi. Kondisi genetik yang diwariskan dari generasi
ke generasi mungkin menyebabkan terjadinya epilepsi. Pada

16

Negara-negara dengan kejadian perkawinan antara keluarga dekat
yang tinggi seperti di Yordania, Turki dan Pakistan menyebabkan
transmisi genetik epilepsi lebih tinggi dari pada ditempat lain.
Riwayat epilepsi dalam keluarga pada pasien dengan palsi serebral
akan meningkatkan risiko terjadi epilepsi.40
6. Riwayat Infeksi Susunan saraf pusat
Infeksi SSP sering ditemukan dinegara yang sedang berkembang,
30% sampai 50 % kasus diantaranya akan mengalami kecacatan.
Kecacatan yang paling sering ditemukan adalah palsi serebral dan
epilepsi, yang dapat terjadi bersamaan atau berdiri sendiri.
Beberapa penelitian, menyatakan bahwa resiko terjadinya epilepsi
meningkat bila palsi serebral terjadi akibat komplikasi infeksi
SSP.36,41

17

2.5.

Kerangka Konseptual

Kerusakan Otak masa perinatal
Kerusakan Otak masa postnatal
Kerusakan Otak Pada Prematuritas
Abnormalitas Perkembangan
Faktor risiko prenatal

Riwayat Kejang
Neonatus

Onset Kejang Pertama
Palsi serebral
Usia gestasi

Riwayat epilepsi di
keluarga
Riwayat
infeksi
susunan saraf pusat

Kelainan
imaging

Epilepsi

Tanpa Epilepsi

= Yang diteliti

Gambar 2.5 Kerangka konseptual

neuro