Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia

M. B AHARUDIN : Kritik atas Corak Pemikiran Teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016 248 buruk menurut akal buruklah dia, demikianlah K.H. Siradjuddin Abbas men- jelaskan. Menurut K.H. Siradjuddin Abbas kepercayaan seperti di atas tidak dibenarkan oleh kaum Ahl al-Sunnah wa ’l-Jamā’ah, karena yang menentukan baik dan buruk itu adalah Tuhan dan rasul-Nya yang terdeskripsi dalam al-Qur’an dan Sunnah bukan akal. Apa yang dikatakan oleh al-Qur’an dan Sunnah maka baiklah ia dan apa yang dikatakan buruk oleh al-Qur’an dan Sunnah buruklah ia. Ditambahkan Siradjuddin Abbas bahwa akal itu digunakan untuk meneliti sebagai instrumen pelaksana, bukan untuk menentukan hukum sesuatu. Yang sebenarnya berhak menentukan hukum-hukum adalah Qur’an dan Sunnah, yang lain tidak. Akal itu diberi kedudukan yang tinggi untuk memahami tiap sesuatu, baik persoalan yang kecil maupun persoalan yang besar, dan bahkan untuk menge- tahui wujud-Nya Allah dan sifat-sifat-Nya dipergunakan juga akal pikiran. Siradjuddin Abbas menandaskan bahwa dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menyuruh manusia mempergunakan akalnya dan mengajak orang-orang yang tidak mau memakai akalnya. Akan tetapi dalam menetapkan hukum dan menetapkan hal-hal yang terjadi di alam ghaib, semuanya itu hanya ditetapkan oleh syariat dari Tuhan, karena agama itu punya Tuhan bukan punya akal. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa meskipun K.H. Siradjuddin Abbas lebih mengedepankan wahyu daripada akal dalam rangka mendapatkan penge- tahuan keagamaan, namun ia tidak melupakan akal dalam memformulasikan pendapat-pendapatnya. Dengan perkataan lain, menurut K.H. Siradjuddin Abbas, dalam mendapatkan pengetahuan tentang agama, wahyu adalah sebagai sumber pengetahuan yang utama, namun demikian ia tidak menegasikan peran akal.

2. Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia

Persoalan kebebasan dan keterpaksaan manusia ini sudah banyak dikaji oleh para filosof dan para teolog. Di kalangan teolog, aliran teologi rasional Mu’tazilah yang memberikan daya besar kepada akal yang dipunyai manusia, menganut paham kebebasan manusia. Menurut aliran ini manusia mempuyai kebebasan dalam berkehendak dan berkuasa atas perbuatannya. Manusia menciptakn perbuatan-perbuatannya sendiri, berbuat baik dan berbuat buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan, adalah atas kehendak dan kemauan manusia itu sendiri. Sedangkan daya untuk mewujudkan kehendak tersebut telah terdapat dalam diri manusia sebelum manusia melakukan perbuatan. 19 ____________ 19 Muḥammad ibn ‘Abd al-Karīm al-Shahrastanī, al-Milāl wa al-Niḥāl Kairo: tp., 1951, h. 81. M. B AHARUDIN : Kritik atas Corak Pemikiran Teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016 249 Bagi Mu’tazilah daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempuyai bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan itu diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam diri manusia. Jadi, kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sepenuhnya perbuatan manusia dan bukan perbuat- an Tuhan. Allah tidak mengetahui segala apa pun yang diperbuat manusia. Juga apa yang diberbuat oleh manusia bukanlah qudrat dan bukan iradat Allah. Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala yang diamal- kannya itu dan semuanya dengan qudrat dan iradat manusia sendiri. Tuhan tidak campur tangan dalam membuktikan amalan-amalan manusia itu. 20 Di kalangan aliran teologi tradisional Asy’ariyah yang memberikan daya lemah kepada akal manusia, menempatkan manusia pada posisi yang lemah serta banyak bergantung pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Asy’arī sendiri sebagai tokoh terpenting dalam aliran As’ariyah, dalam menjelaskan persoalan kebebasan dan keterpaksaan manusia ini menampilkan teori al-Kasb acquisition, perolehan. 21 Al-Kasb menurut Asy’arī adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, atau sesuatu yang timbul dari al- muktasib orang yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan. 22 Daya atau kesanggupan itu tidak terwujud sebelum adanya pebuatan. Adanya daya itu bersamaan dengan kegiatan suatu perbuatan. Dengan cara seperti itulah manusia melakukan suatu perbuatan dalam arti tidak menciptakan perbuatan tesebut. Pencipta perbuatan pada hakikatnya adalah Tuhan. Dengan demikian daya manusia kelihata tidak efektif dalam kasb, karena bagaimanapun daya manusia tetap tidak mempuyai efek. Yang efektif dalam perwujudan perbuatan manusia tetap daya dan kemauan Tuhan. Pada akhirnya, manusia tetap di- tempatkan Abū Ḥasan al-Ash’arī pada posisi pasif, karena tanpa adanya kemauan dan perbuatan Tuhan, manusia tidak akan mampu mewujudkan perbuatannya. Sementara itu aliran Mātūridiyah Bukhārā sepaham dengan Mātūridiyah Samarkand, ketika sama-sama mengatakan terdapat dua daya dalam diri ____________ 20 Harun Nasution, Teologi Islam, Analisa Perbandingan, h. 102. 21 Yunan Yusuf, Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, h. 63. 22 Ibid. M. B AHARUDIN : Kritik atas Corak Pemikiran Teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016 250 manusia. Namun Mātūridiyah Bukhārā berbeda dengan Mātūridiyah Samar- kand manakala Maturidiah Bukhara ketika mengatakan bahwa manusia tidak mempuyai daya untuk mencipta. Daya yang ada pada diri manusia itu, hanya bisa untuk menjadikan manusia mampu melakukan perbuatannya. Maka dalam hal ini hanya Tuhan yang dapat mencipta dan dalam ciptaan Tuhan itu terdapat perbuatan manusia. Ini berarti manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang sudah diciptakan Tuhan bagi dirinya. 23 Menurut K.H. Siradjuddin Abbas pemikiran-pemikiran teologi rasional Mu’tazilah di atas adalah tidak sesuai dengan ajaran Ahlu al-Sunnah wa al- Jamā’ah. Menurutnya, yang diimami oleh Imām Abū Ḥasan al-Ash’arī, karena paham ini bertentangan dengan hadis dan al-Qur’an dan tersalah dalam mengambil logika tentang keadilan Tuhan, juga sangat keliru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam menolak pandangan Mu’tazilah tentang paham kebebasan dan keterpaksaan manusia itu Siradjuddin Abbas mengemukakan beberapa dalil al-Qur’an di antaranya, pertama: “Dan Tuhan yang menjadikan kamu dan apa yang kamu kerjakan” QS. al-Ṣāffāt [37]: 96. 24 Menurut Siradjuddin Abbas, jelaslah dalam ayat ini bahwa yang menjadikan manusia dan yang menjadikan pekerjaan manusia adalah Tuhan, bukan manusia. Kedua, “Dan kalau mereka mendapatkan kebaikan mereka katakan ini dari Tuhan, dan kalau mereka mendapat bahaya dikatakannya ini dari engkau hai Muhammad. Katakanlah kepada mereka: “Semuanya dari Tuhan tetapi kenapa mereka tidak mengerti sesuatu kejadian” QS. al-Nisā [4]: 78. 25 Menurut Siradjuddin Abbas hal ini menunjukkan bahwa semua yang buruk-baik dari Tuhan atau sudah dalam takdir Tuhan. Ketiga, “Allah yang menjadikan segala sesuatu dan Dia Maha Esa dan Maha Perkasa” QS. al-Ra’d [13]: 16. Nyata dalam ayat ini bahwa yang menjadikan tiap-tiap sesuatu hanyalah Tuhan. Dengan ayat-ayat al-Qur’an di atas terbukalah kebohongan i’tiqād kaum Mu’tazilahQadariyah yang menyatakan bahwa semua yang dikerjakan oleh manusia itu adalah atas perbuatan dan kehendak manusia Tuhan tidak campur tangan. 26 ____________ 23 ‘Abd al-Jabbar Ibn Aḥmad, Syarḥ al-Uṣūl al-Khamsah Kairo: Maktabah Wahbah,1965, h. 107. 24 K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlususunnah wal-Jamaah, h. 232. 25 Ibid., h. 233. 26 Ibid., h. 234. M. B AHARUDIN : Kritik atas Corak Pemikiran Teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas J URNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember 2016 251 Sejauh pembacaan penulis terhadap tulisan Siradjuddin Abbas tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia, tidak ditemukan argumen-argumen raional yang dilakukannya. Penulis hanya menemukan argumen-argumen teks- tual al-Qur’an. Itupun tidak disertai dengan penjelasan-penjelasan yang luas dan mendasar. Hanya berisi sekedar penolakan terhadap paham pandangan- pandangan Mu’tazilah. Karena itu dapat digarisbawahi bahwa Siradjuddin Abbas cenderung mengikuti pemikiran teologi tradisional al-Asy’ariyah.

3. Sifat-sifat Tuhan