Nekara PEMBAHASAN 2.1 Hasil-Hasil Penelusuran
3
Mengapa sarkofagus kita masukkan ke dalam bahasan arsitektur Bali? karena Arsitektur Tradisional Bali ATB yang kita terima sekarang punya latar belakang atau dilatari oleh
konsep “keluhuran”, artinya menghormati leluhur dalam bentuk proses penanaman mayat, kemudian pengabenan dan memukuratau nyekah dan terakhir upacara ngelinggihang
Hyangdewa atau dewapitara di Sanggah KemulanArdana, 1982 – 15.
Di samping itu juga adanya kepercayaan pada hulu-teben atas-bawah yang ditampilkan dalam wujud meletakkan arah kepala mayat kearah bukit atau gunung, kepercayaan ini
merupakan keyakinan masyarakat Bali pada masa itu bahwa roh nenek moyang atau leluhur mereka berada di tempat ketinggian atau gunung. Konsep ini hulu-teben sampai
sekarang masih berlaku dalam setiap perencanaan lingkungan perumahan di Bali. Pola orientasi penataan desa-desa tradisional di Bali juga masih menerapkan konsep hulu-
teben ini. Penghormatan kepada para leluhur pada masa ini berlanjut hingga kini, di Bali banyak
ditemukan tempat suci yang bertujuan untuk menghormati leluhurnya. Seperti sanggah atau pemerajan dapat dijumpai hampir disetiap pekarangan rumah tinggal di Bali. Polanya juga
berkembang dari sanggah ini melebar ke merajan agung, panti sampai kepada kawitan leluhurnya.
Ada suatu pemikiran dimana awal peristiwa pengabenan kita perkirakan bahwa itu murni kebudayaan asli yang ada di Bali. Ternyata pada abad 8 SM di Yunani Bertens, 1984
– 15. sesuai dengan hasil kesusastraannya yang terkenal berjudul Ilias dan Odyssea sebuah
puisi karya Homeros yang kemudian di filmkan dengan judul The Troya catatan: kalau data ini mengandung suatu kebenaran, disini ada sebuah prosesi pembakaran mayat yang
memiliki kesamaan dengan apa yang kita kenal di Bali sebagai bentuk pengabenan. Terutama dalam hal adanya Bale Gumi di dalam film itu jelas divisualisasikan suatu bentuk
tempat yang ditinggikan guna menempatkan mayat pahlawan yang akan dikremasi tersebut. Demikian pula sebelum pembakaran dimulai kedua mata sang mayat diberi dua buah kaca
terlebih dahulu, dan hal ini dijumpai pula peristiwa yang semacam itu hingga saat ini di Bali. Lengkap diceritakan bahwa setelah 12 hari terhitung sejak pembakaran dilakukan, diadakan
upacara kembali, hal ini di Bali kita kenal sebagai bentuk upacara ngerorasin. Tentu ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah ini sebuah kebetulan atau memang ada suatu
peristiwa yang memang memungkinkan peradaban dua bangsa dapat saling mempengaruhi?
[1] Prinsip-prinsip dalam orientasi prosesi penghormatan terhadap leluhur inilah yang menjadi
pedoman disain dalam ATB yang diwarisi hingga kini. Yakni orientasi kaja-kelod. Termasuk didalamnya pengaturan waktu-waktu untuk pelaksanaan atau kegiatan yang berlangsung.
Karena arsitektur tidak hanya diartikan sebagai penataan bentuk namun juga tata waktu Robi, 1983- hal 171.