juga tersedia pada bahasa Indonesia agar dipandang intelektual dan modern.
3. Pernyataan eksistensi diri
Orang berberbahasa berkomunikasi untuk menunjukan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepatnya eksistensi diri.
Kita dapat memodifikasi frasa filosof Prancis Rene Descartes 1596-1650 yang terkenal itu Cogito Ergo Sum “saya berpikir, maka saya ada”
menjadi “Saya beerbicara, maka saya ada”. Bila kita berdiam diri, orang lain akan memperlakukan kita seolah-olah kita tidak eksis. Namun kita
berbicara, kita menyatakan bahwa sebenarnya kita ada. Fungsi berbahasa berkomunikasi sebagai eksistensi diri sering terlihat pada uraian penanya
seminar. Meskipun penanya sudah di ingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung kepokok permasalahan, penanya atau komentator itu
sering berbicara panjang lebar, menguliahi hadirin, dengan argumen- argumen yang tidak relavan.eksistensi diri juga sering dinyatakan oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR dalam sidang-sidang mereka yang bertele-tele, karena mereka merasa dirinya paling benar dan paling
penting, setiap orang ingin berbicara dan didengarkan. Fenomena itu misalnya pernah muncul dalam sidang-sidang selama
berlangsungnya sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR bulan Oktober 1999 malalui banjir interupsi dari begitu banyak peserta
sidang, khususnya pada 3 hari pertama. Banyak interupsi yang asal-asalan, tidak relavan, kekanak-kanakan, kocak, konyol, menjengkelkan, naif, dan
terkadang memuakkan.
B. URGENSI BERBAHASA BAGI MANUSIA
Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Terbukti dari penggunaannya untuk percakapan sehari-hari, tentu ada peran bahasa yang membuat satu sama lain
dapat berkomunikasi, saling menyampaikan maksud. Tak hanya dalam bentuk lisan, tentu saja bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan.
Pemikiran seseorang tentunya akan lebih mendapat pengakuan ketika sudah “dituliskan” sehingga orang lain yang membaca akan mengetahui apa yang
7
ingin disampaikan seorang penulis. Pada dasarnya seluruh kegiatan manusia akan sangat berkaitan erat dengan bahasa. Entah sekedar bercakap-cakap dengan
teman, atau dalam kegiatan formal seperti sekolah, kuliah bahkan dalam pekerjaan. Filsafat juga tidak dapat lepas dari bahasa. Banyak filsuf yang justru
mengawali pemikirannya dari problem bahasa. Tentunya bahasa disini bukan berarti sekedar mempelajari tata gramatikal bahasa ataupun bahasa asing,
melainkan bagaimana pengertian seseorang dapat terpengaruh ‘hanya’ dari penggunaan kata-kata atau pemikiran. Sangat penting untuk dapat tetap berpikir
kritis dalam mengerti ucapan seseorang maupun teks. Teori-teori yang berkembang dalam filsafat bahasa inilah yang kemudian
menjadi alat bagi setiap orang untuk dapat lebih mengeksploitasi sebuah pemikiran, baik yang terucapkan maupun dalam bentuk teks.Mungkin akan
terkesan “ah, bahasa kan sama saja dengan perbincangan sehari-hari, apa susahnya sih? Toh, ucapan-ucapan itu bisa saja mudah dimengerti.” Memang
kesannya bahasa tidak ada kaitannya dengan filsafat. Tapi Bahasa ternyata tidak hanya mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi
juga dapat menjadi hal yang kompleks. Sebuah perjanjian antar negara juga menggunakan bahasa yang disepakati pihak-pihak yang terkait agar tercapai
kesepakatan. Tanda-tanda yang hadir dalam kehidupan kita sehari-hari juga bagian dari bahasa. Contoh, rambu-rambu lalu lintas tentu akan sangat tidak efisien jika
dituliskan dalam bentuk huruf. Para pengguna jalan tentu tidak akan sempat membaca tulisan-tulisan itu.
Karena itu untuk mempermudah, dibuat simbol-simbol yang dikonvensikan dan dimengerti masyarakat. Lalu bagaimana dengan bahasa isyarat?
Ada orang-orang yang tentu tidak dapat menggunakan bahasa verbal, karen itu dibuatlah kode-kode khusus agar komunikasi tetap dapat berjalan
dengan baik. Dan banyak kode-kode khusus lain yang dibuat untuk mempermudah menyampaikan sebuah pesan. Bahasa verbal pun ternyata tidak
dapat diartikan secara harafiah begitu saja. Ada kalanya sebuah teks atau percakapan akan menggunakan ‘kode-kode’
penyampaian. Misalkan dalam bahasa puisi. Ataupun politikus-politikus yang
8
menggunakan kiasan-kiasan ketika berpidato atau sekedar menjawab pertanyaan- pertanyaan. Dari banyaknya peran bahasa ini, kita dapat melihat bahwa mengerti
bahasa bukan hal yang mudah. Harus ada kekritisan dalam menerjemahkan sebuah pesan. Inilah pentingnya peran interpretasi. Tanpa interpretasi, tentunya
semua akan mengalir dengan datar. Nampak membosankan bukan jika puisi ditulisakan sama dengan percakapan sehari-hari. Justru simbol-simbol yang ada
semakin memperindah penggunaan bahasa. Kudera dalam bukunya The Art of Novel mengatakan bahwa manusia
akhir-akhir ini memiliki kecenderungan ‘malas’ menginterpretasi segala sesuatu. Semakin maju perkembangan zaman, manusia justru semakin terlihat pasrah
menerima begitu saja segala sesuatu yang hadir. Tak ada keinginan untuk mengartikan tanda-tan da disekitarnya. Akibatnya, keberagaman hidup semakin
berkuran. Ada kesan ingin menyeragamkan segalanya. Menyedihkan sekali jika suatu saat semua orang menjadi ‘robot’ yang tidak memiliki keunikan masing-
masing. Hal ini terjadi akibat hilangnya sense seseorang untuk berani memaknai teks.
Ada tiga tipe orang-orang yang dianggap sebagai iblis pematian makna. Tipe pertama adalah orang-orang yang selalu menertawakan ide-ide baru. Tipe-
tipe oang semacam ini yang seringkali menjatuhkan mental seseoarang yang ingin menyampaikan ide baru, dan tentu saja seperti oang-orang konservatif, mereka
tidak menginginkan perubahan. Tipe yang kedua adalah orang-orang yang tidak mau mengartikan bahasa dan tanda yang ada, ibarat umat yang ‘dibodohi’ oleh
nabinya, mereka menurut begitu saja pada dogma yang disampaikan oleh sang nabi. Hal ini sangat berbahaya terutama bagi kreatifitas. Tanpa imajinasi tentunya
tidak akan ada keberagaman hidup. Dan tipe yang terakhir adalah tipe orang- orang yang hanya meniru yang sudah ada. Ketiga tipe inilah yang seharusnya
dihindari oleh setiap orang agar perkembangan bahasa, tanda, dan pemaknaan menjadi lebih beragam.Filsafat mencoba membawa bahasa pada pembahasan
yang lebih kritis. Ada beberapa poin yang dapat dikaitkan dengan bahasa. Antara lain
dengan
9
1. akal, yang sangat erat dengan logika. 2. Makna dan interpretasi, yang merupakan bagian yang sudah melekat
dengan bahasa. 3. Konvensi, karena tanpa konvensi bahasa tidak ada artinya karena tidak
dimengerti oleh semua orang. 4. Dimensi bahasa obyektif, dapat dimengerti oleh semua untuk mengatasi
ruang dan bersifat universal dan ilmiah. 5. Intertekstualitas, bagaimana teks-teks lain saling mempengaruhi
pemahaman seseorang. Dan dari sinilah kita kemudian dapat mencoba menganalisa sebuah teks atau
tanda dengan aliran-aliran yang berkembang dari filsafat bahasa
C. MANUSIA UNGGUL KARENA BAHASANYA