Seleksi In vitro Embrio Somatik pada Beberapa Genotipe Kedelai untuk Toleransi Cekaman Kekeringan dan Toksisitas Aluminium

SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK PADA BEBERAPA
GENOTIPE KEDELAI UNTUK TOLERANSI TERHADAP
CEKAMAN KEKERINGAN DAN TOKSISITAS ALUMINIUM

ADAM SAEPUDIN

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI DAN PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Seleksi In
vitro Embrio Somatik pada Beberapa Genotipe Kedelai untuk Toleransi
Cekaman Kekeringan dan Toksisitas Aluminium adalah karya saya dengan
arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Adam Saepudin
NRP A263090031

RINGKASAN
ADAM SAEPUDIN. Seleksi In vitro Embrio Somatik pada Beberapa Genotipe
Kedelai untuk Toleransi Cekaman Kekeringan dan Toksisitas Aluminium.
Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA, DIDY SOPANDIE dan SINTHO
WAHYUNING ARDIE.
Produksi nasional kedelai masih belum mencukupi kebutuhan, sehingga
setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai. Produksi kedelai juga mengalami
penurunan, tercatat produksi pada tahun 2013 sebesar 807.5 ribu ton menurun
sebesar 35.6 ribu ton dibandingkan dengan produksi tahun 2012 (BPS 2014).
Rendahnya produksi nasional kedelai terutama disebabkan oleh menurunnya luas
panen. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan produksi adalah
dengan perluasan areal tanam, perbaikan varietas, dan perbaikan teknologi
budidaya. Pengembangan kedelai di lahan suboptimal yang bersifat masam dan

mengalami kekeringan (drought) memerlukan kultivar unggul yang toleran
kekeringan dan tanah masam. Program perluasan areal tanam (ekstensifikasi)
antara lain dapat dilakukan pada lahan suboptimal, seperti contohnya pada lahan
kering maupun pada tanah-tanah masam yang pemanfaatannya masih belum
optimal. Kultivar unggul dapat dirakit melalui perbaikan genetik baik melalui
persilangan konvensional maupun melalui pendekatan teknik kultur in vitro atau
bioteknologi tanaman.
Keragaman genetik yang tinggi dibutuhkan dalam perbaikan varietas
tanaman. Salah satu teknik untuk meningkatkan keragaman adalah melalui induksi
variasi somaklonal, misalnya melalui embriogenesis somatik. Varian somaklon yang
diperoleh dari embriogenesis somatik kemudian dapat diseleksi menggunakan agen
seleksi melalui seleksi in vitro sehingga diperoleh somaklon dengan sifat yang
diinginkan. Keberhasilan seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman kedelai dengan
sifat yang diinginkan memerlukan beberapa hal, yaitu tersedianya keragaman di
tingkat sel atau jaringan, metode seleksi in vitro untuk mengidentifikasi sel atau
jaringan sesuai dengan sifat yang diinginkan, dan metode regenerasi sel jaringan
menjadi tanaman secara in vitro yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
mendapatkan media induksi dan proliferasi, serta meregenerasikan kalus embriogenik
pada lima genotipe kedelai, (2) mendapatkan varian somaklon kedelai yang putatif
toleran cekaman kekeringan, dan (3) mendapatkan somaklon kedelai yang putatif

toleran cekaman kekeringan dan aluminium.
Penelitian ini terdiri atas 3 percobaan, yaitu (1) induksi embrio somatik (ES)
lima genotipe kedelai melalui, (2) seleksi in vitro empat genotipe kedelai
menggunakan PEG untuk menghasilkan somaklon yang putatif toleran kekeringan,
dan (3) seleksi in vitro empat genotipe kedelai menggunakan PEG dan AlCl3 untuk
menghasilkan somaklon yang putatif toleran cekaman kekeringan dan tanah masam.
Hasil percobaan pertama menunjukkan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan
NAA pada media dasar MS dapat menginduksi embriogenesis somatik pada kelima
genotipe kedelai yang digunakan. Semua genotipe kedelai yang diuji (Tanggamus,
Anjasmoro, Yellow biloxi, CG-22-10 dan SP-10-4) menghasilkan kalus
embriogenik dicirikan dengan diperolehnya kalus yang memiliki struktur kompak
dengan warna kalus yang putih kekuningan, serta teridentifikasinya struktur pre-

embryogenic mass (PEM) pada kalus tersebut dengan ciri-ciri berbentuk
isodiametris, memiliki nukleus yang besar dan sitoplasmanya pekat. Media
induksi dan proliferasi embrio somatik terbaik untuk kelima genotipe kedelai
adalah MS + 5 ppm 2,4-D + 5 ppm NAA. Genotipe Tanggamus memberikan
jumlah ES tertinggi, dan menghasilkan keempat tahap embrio somatik yang
terbentuk (globular, hati, torpedo dan kotiledon) disamping genotipe Yellow
biloxi. Genotipe Tanggamus berhasil membentuk kecambah dan beregenerasi

membentuk plantlet pada media MS+2,4-D 40 ppm dan media MS+10 ppm 2,4D+10 ppm NAA.
Tujuh kandidat somaklon toleran cekaman kekeringan telah berhasil
didapatkan dari seleksi in vitro menggunakan PEG pada empat genotipe kedelai
(Tanggamus, Yellow biloxi, SP-10-4 dan CG-22-10) pada percobaan kedua.
Pengamatan histologi menunjukkan terdapat kalus embriogenik dan embrio
somatik yang tetap hidup (survive) dengan sel-selnya yang tidak mengalami
kerusakan. Ketujuh kandidat somaklon tersebut berasal dari genotipe Tanggamus
yang berhasil diregenerasikan.
Diamater kalus dan jumlah kalus segar (survive) cenderung sama untuk
keempat genotipe kedelai yang dicobakan. Diduga genotipe CG-22-10 dan SP-104 memiliki sifat toleran terhadap cekaman Al berdasarkan seleksi ganda
menggunakan PEG yang dilanjutkan dengan AlCl3. Sejumlah kandidat varian
somaklon toleran kekeringan dan toksisitas Al (pada tahap embrio somatik) telah
dihasilkan dari seleksi ganda menggunakan agen seleksi PEG dan AlCl3 pada
empat genotipe kedelai, yaitu Tanggamus (13 kandidat), Yellow biloxi (8
kandidat), CG-22-10 (5 kandidat), dan SP-10-4 (10 kandidat).
Berdasarkan hasil seluruh rangkaian penelitian ini, telah diperoleh metode
untuk mengembangkan seleksi in vitro pada beberapa genotipe kedelai dengan
agen penyeleksi PEG dan AlCl3 untuk menghasilkan kandidat somaklon yang
toleran kekeringan dan atau tanah masam. Diharapkan metode seleksi in vitro ini
dapat diterapkan pada genotipe kedelai lainnya dalam upaya mendapatkan calon

varietas kedelai yang toleran cekaman kekeringan dan atau tanah masam.
Kata kunci : Glycine max (L.) Merr., 2,4-D, PEG, AlCl3, embrio somatik, varian
somaklon, seleksi in vitro.

SUMMARY
ADAM SAEPUDIN. In Vitro Selection of Somatic Embryos on Several Soybean
Genotypes for Drought Tolerance and Aluminum Toxicity. Supervised by NURUL
KHUMAIDA, DIDY SOPANDIE dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
The increasing demand of soybean is not met by national production.
Indonesia‟s soybean imports have increased every year due to decreasing national
production. Therefore, expansion of soybean harvested area should be the main
priority in the effort to increase soybean production. However, the targeted area
should not be in competition with the other more profitable crops such as corn and
rice. The main marginal lands such as acid soils and drought-prone areas in
Indonesia, can be developed as an expansion of soybean planting areas. Efficient crop
improvement programs should be targeted to generate high yielding soybean varieties
grown in soil with high acidity and drought. The constraint in developing soybean
varieties for adaptation to adverse environmental condition is low genetic variability.
Genetic variability can induced by conventional and non conventional plant
breeding. In vitro selection is one strategy from non conventional plant breeding to

produce plants that can be used as a source of variation in a breeding program. The
use of somatic embryo for in vitro selection program is very valuable since the
selected traits will be inherited in the progenies. Some factor are required to the the
success of in vitro selection : the availability of variability in cell and tissues levels,
the method of in vitro selection, and plant regeneration method used. Embryogenesis
somatic was reported to be genotype specific for soybean. The general objective of
this research was to obtain soybean promising lines tolerant to Al toxicity and
drought. Specifically, this study was aimed to obtain the optimum medium for
induction and proliferation of somatic embryo, and to regenerate embryogenic callus
of five soybean genotypes; to obtain tolerant drought somaclone (putative); and to
obtain tolerant Al and drought somaclones (putative). This study consisted of three
experiments, which were (1) induction of somatic embryo four soybean genotypes via
somatic embryogenesis, (2) in vitro selection of four soybean genotypes using PEG
to generate a putative somaclone drought tolerant, and (3) in vitro selection of four
soybean genotypes using AlCl3 after PEG to generate a putative somaclone acid soil
and drought tolerant.

In the preliminary induction showed that based on number of embryogenic
callus, the best somatic embryo-induction medium was MS containing 2 g L-1
gelrite + 3% sucrose +NAA 5 mg/l +2,4-D 5 mg/l +Vit B5 for all genotypes.

Increasing number of globular somatic embryo of all genotypes was obtained
from the optimation of embryo somatic induction media being used, and
Tanggamus genotype showed the highest number of globular somatic embryo
which followed by Yellow biloxi genotype. Tanggamus and Yellow biloxi
genotypes were also successfully formed the four steps of somatic embryos
(globular, heart, torpedo and cotyledonary stages), but in regeneration medium
only Tanggamus genotype was regenerated into plantlet.
Seven tolerant drought somaclone (putative) were succesfully obtained from
in vitro selection of four soybean genotypes (Tanggamus, Anjasmoro, Yellow

biloxi, CG-22-10 dan SP-10-4) using PEG selection agent. Histological
examination showed that the embryogenic callus and somatic embryos were
remain survived in the selection medium, and there were not damaged cells
founded on that survived embryogenic callus and somatic embryos. The seven
tolerant drought somaclone (putative) obtained were Tanggamus genotypes that
succesfully regenerated into plantlet.
Callus diameter and percentage of fresh callus (surviving callus) were tend
to be similar for all soybean genotypes tested indicating that CG-22-10 and SP10-4 genotypes were tolerance character to Al stress based on double selection
using PEG and AlCl3 respectively. Somaclone candidates of somatic embryos
tolerant to drought and Al toxicity (putative) were obtained from each genotypes,

those were Tanggamus (13 candidates), Yellow biloxi (8 candidates), CG-22-10
(5 candidates), and SP-10-4 (10 candidates).
Based on all steps of the experiment, the methods of in vitro selection
using PEG and AlCl3 selection agents from several soybean genotype have already
developed for generating a putative somaclone acid soil and drought tolerant.
Hopely, this methods could be applicated to other soybean genotypes in focusing to
the effort of obtaining the candidates of soybean varieties with tolerance to acid soil
and drought.
Keywords: Glycine max (L) Merr., 2,4-D, PEG, AlCl3, somatic embryo,
somaclone variant, in vitro selection.
.

©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis

dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB

SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK PADA BEBERAPA
GENOTIPE KEDELAI UNTUK TOLERANSI TERHADAP
CEKAMAN KEKERINGAN DAN TOKSISITAS ALUMINIUM

ADAM SAEPUDIN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.
Dr. Ir. Dewi Sukma, M.Si

Penguji luar pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.
Dr. Ir. Ali Husni, M.Si.

Judul Disertasi : Seleksi In vitro Embrio Somatik pada Beberapa Genotipe Kedelai
untuk Toleransi Cekaman Kekeringan dan Toksisitas Aluminium
Nama
NIM

: Adam Saepudin
: A 263090031

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS
Ketua

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr
Anggota


Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP., M.Si
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS

Tanggal Ujian :

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta‟ala
atas segala petunjuk dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011
hingga Agustus 2014 ini ialah seleksi in vitro, dengan judul Seleksi In vitro
Embrio Somatik pada Beberapa Genotipe Kedelai untuk Toleransi Cekaman
Kekeringan dan Toksisitas Aluminium.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Dr. Ir.
Nurul Khumaida, MS, Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan Dr. Sintho
Wahyuning Ardie, SP., M.Si selaku komisi pembimbing yang dengan penuh
ketulusan telah membimbing dan mengarahkan selama perencanaan, pelaksanaan,
dan penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.
Ir. Yudiwanti Wahyu E.K., MS selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman IPB; Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. dan Dr. Dewi
Sukma SP, M.Si selaku penguji luar komisi pada saat Ujian Tertutup yang telah
memberikan banyak saran; Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. dan Dr. Ir. Ali Husni
M.Si, yang sudah bersedia menjadi penguji luar komisi pada Ujian Terbuka. .
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas bantuan
Beasiswa BPPS selama mengikuti studi, dan terima kasih kepada I-MHERE B.2c
IPB untuk dana penelitian.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
mahasiswa PBT khususnya angkatan 2009 atas kebersamaan selama studi, Ibu Siti
Kholifah dan Ibu Juju Juariah di Laboratorium Kultur Jaringan I dan III, Bapak
Joko Mulyono, dan Bapak Iwan di IPB atas bantuannya selama penelitian.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, H. Dodo
Sudarno dan ibu Hj. Junah, mertua, istri dan anak-anakku tercinta serta seluruh
keluarga atas segala doa, motivasi, dan perhatiannya.
Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

6

Hipotesis

6

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kedelai

9
9

Kultur Jaringan

10

Embriogenesis somatik

11

Variasi somaklonal pada kultur jaringan

13

Seleksi in vitro

15

Pengaruh cekaman kekeringan pada tanaman

16

Pengaruh cekaman aluminium pada tanaman

18

Penggunaan PEG dan AlCl3 pada seleksi in vitro terhadap cekaman
kekeringan dan toleran toksisitas Al

19

Mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan

20

INDUKSI EMBRIO SOMATIK LIMA GENOTIPE KEDELAI

25

Abstract

25

Pendahuluan

25

Bahan dan Metode

26

Hasil dan Pembahasan

29

Simpulan

41

SELEKSI IN VITRO EMPAT GENOTIPE KEDELAI DENGAN PEG
UNTUK MENGHASILKAN SOMAKLON YANG PUTATIF TOLERAN
KEKERINGAN

43

Abstract

43

Pendahuluan

43

Bahan dan Metode

45

Hasil dan Pembahasan

46

Simpulan

54

SELEKSI IN VITRO EMPAT GENOTIPE KEDELAI DENGAN PEG DAN
AlCl3 UNTUK MENGHASILKAN SOMAKLON YANG PUTATIF
TOLERAN KEKERINGAN DAN TOKSISITAS ALUMINIUM

54

Abstract

55

Pendahuluan

55

Bahan dan Metode

56

Hasil dan Pembahasan

57

Simpulan

65

PEMBAHASAN UMUM

66

SIMPULAN DAN SARAN

72

Simpulan

72

Saran

72

DAFTAR PUSTAKA

73

LAMPIRAN

80

DAFTAR TABEL
Halaman
3.1

Komposisi media induksi kalus embriogenik ......................................... 27

3.2

Pengaruh media induksi dan genotipe terhadap diameter kalus
(cm) per eksplan pada 5 MST................................................................. 30

3.3

Pengaruh media induksi dan genotipe terhadap jumlah klump
Kalus embriogenik per botol .................................................................. 31

3.4

Jumlah embrio somatik lima genotipe kedelai pada media induksi
17 (3% sukrosa + 2,4-D 10 mg/l + NAA 10 mg/l) pada 12 MSP .......... 32

3.6

Jumlash ES lima genotipe kedelai setelah disubkultur dari media
Induksi I4 ke media proliferasi I8 pada 8 MSP ...................................... 33

3.7

Jumlah ES lima genotipe kedelai pada media induksi I7, I8 dan I9
Pada 6 MST ............................................................................................ 38

4.1

Pengaruh konsenterasi PEG dan genotipe terhadap persen kalus segar
(score) setelah satu bulan kultur pada 4 MSK ........................................ 47

4.2

Pengaruh konsenterasi PEG dan genotipe terhadap persen kalus segar
(score) setelah satu bulan kultur pada 8 MSK ........................................ 48

4.3

Pengaruh konsenterasi PEG dan genotipe terhadap persen kalus segar
(score) setelah satu bulan kultur pada 12 MSK ...................................... 48

4.4

Pengaruh konsenterasi PEG terhadap jumlah kalus embriogenik .......... 50

5.1

Jumlah ES genotipe Tanggamus hasil seleksi ganda PEG dan AI pada
5 MSK..................................................................................................... 64

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.1

Kerangka berpikir penelitian ..................................................................

6

1.2

Tahap penelitian......................................................................................

9

2.1

Tahapan embriogenesis somatik. Sel somatik (nongametik)
mengalami diferensiasi untuk membentuk struktur bipolar yang berisi
bakal tunas dan akar. Embriosomatik ini akan mengalami pematangan
dan berkecambah ....................................................................................

11

2.2

Skema alur ontogeni embrio somatik kedelai. a. Pembelahan pertama
embrio somatic; b. Pembelahan antiklinal sel basal proembrio; c, f. Dua seri
pembelahan periklinal sel-sel basal; g. embrio bentuk globular; h. Embrio
bentuk hati; i. Embrio bentuk torpedo; j. Fase kotiledon; k. Pembesaran
embrio globular primer; l. Struktur yang membesar dengan tiga pusat
pertumbuhan; m. Differensiasi embrio sekunder dari embrio ................ 13

2.3

Skema osmotic compensation (osmotic adjustment) ..............................

2.4

Model sekresi anion asam organik dari akar tanaman yang distimulasi
aluminium ............................................................................................... 24

3.1

Kalus non embriogenik genotipe SP-10-4 yang dikulturkan pada media
induksi 3% sukrosa+2,4-D10mg/l+NAA10mg/l pada 6 MSC (A) dan kalus
embriogenik genotipe SP-10-4 yang dikulturkan pada media induksi 3%
sukrosa+2,4-D5mg/l+NAA5mg/l pada 6 MSC (B) ................................ 29

3.2

Berbagai tahapan ES lima genotipe kedelai yang dihasilkan, A (SP-10-4), B
(Anjasmoro), C (Tanggamus), D (CG-22-10), dan E (Yellow biloxi).... 34

3.3

Pengaruh media proliferasi terhadap jumlah kalus embriogenik genotipe
Anjasmoro, Yellow biloxi, dan SP-10-4 pada 5 MSP. Angka-angka yang
diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT (α = 0.05). Seluruh media menggunakan media
dasar MS, gelrite 2 g/l dan mengandung vitamin B5 .............................. 35

3.4

Pengaruh media proliferasi terhadap jumlah kalus embriogenik genotipe
Anjasmoro, Yellow biloxi, dan SP-10-4 pada 5 MSP. Angka-angka yang
diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT (α = 0.05). Seluruh media menggunakan media
dasar MS, gelrite 2 g/l dan mengandung vitamin B5 .............................. 36

3.5

Proliferasi ES pada genotipe Tanggamus. ES globular dan torpedo sebelum
proliferasi (A), ES globular bertambah disertai terbentuknya kotiledon
setelah proliferasi (B) .............................................................................. 37

3.6

Tahapan embriogenesis somatik pada genotipe Yellow biloxi (A Fase
globular, B Fase hati, C Fase torpedo dan D Fase kotiledon) dan pada
genotipe Tanggamus (E Fase globular, F Fase hati, G Fase torpedo dan H
Fase kotiledon) ........................................................................................ 39

4

Histologi embrio fase globular (efg) yang terhubung dengan struktur
menyerupai suspensor (ssp) pada jaringan ekspannya (A) dan dicirikan
dengan sel-sel berukuran kecil dengan sitoplasma yang pekat dan terdapat
banyak inti yang besar (B) ...................................................................... 40

4

Regenerasi ES genotipe Tanggamus pada media MS0 (A, B, C dan D) dan
sesudah disubkultur dari media MS0 ke media MS+2 ppm GA3+4 ppm
BAP (E, F, G dan H) .............................................................................. 41

4.1

Skoring penampilan kondisi kalus kedelai pada media seleksi PEG….

21

46

4.2

Pengaruh genotipe terhadap diameter kalus yang dikulturkan pada media
seleksi PEG. TA = Tanggamus, YE = Yellow biloxi, CG = CG-22-10 dan
SP = SP-10-4...........................................................................................
49

4.3

Kondisi kalus yang dihasilkan setelah seleksi menggunakan PEG 0 %
(A), 5 % (B), 10 % (C), 15 % (D), dan 20 % (E) PEG untuk
genotipe Tanggamus ...............................................................................

51

4.4

Pengamatan histologi ES yang hidup (survive) setelah seleksi pada media
PEG. A Fase globular pada 0% PEG, B Fase globular dan hati pada 5%
PEG, C Fase globular dan hati pada 10% PEG, D Fase hati pada 15% PEG,
dan E Fase globular pada 20% PEG .......................................................
52

4.5

Seleksi kalus embriogenik pada media PEG (A) dan regenerasinya pada media
MS0 + 1g/l arang aktif (B, C, D dan E) .......................................................
53

5.1

Pengaruh Konsentrasi AlCl3 pada media seleksi ganda terhadap diameter
59
kalus genotipe Tanggamus pada 5 MSK ................................................

5.2

Pengaruh Konsentrasi AlCl3 pada media seleksi ganda terhadap diameter
kalus genotipe CG-22-10 pada 5 MSK ...................................................
59

5.3

Pengaruh Konsentrasi AlCl3 pada media seleksi ganda terhadap diameter
kalus genotipe Yellow biloxi pada 5 MSK .............................................
60

5.4

Pengaruh Konsentrasi AlCl3 pada media seleksi ganda terhadap diameter
kalus genotipe SP-10-4 pada 5 MSK ......................................................
61

5.5

Pengamatan histologi ES genotipe Tanggamus setelah seleksi in vitro
menggunakan AlCl3. (A) Fase hati dan globular pada 0% AlCl3,
(B) Fase globular yang hidup pada 50 ppm AlCl3, (C) Fase globular
yang mengalami kerusakan pada 100 ppm AlCl3, (D) Fase globular dan
hati yang hidup pada 200 ppm AlCl3 dan (E) Kerusakan ES bertambah
63
pada 400 ppm AlCl3 ...............................................................................

5.6

Kalus embriogenik genotipe Tanggamus setelah seleksi ganda pada media
0 ppm (A), 50 ppm (B), 100 ppm (C), 200 ppm (D) dan 400 ppm AlCl3
pada 5 MSK ............................................................................................
64

6.1

Tahapan metode seleksi in vitro untuk mendapatkan somaklon putatif toleran
kekeringan dan atau tanah masam ...............................................................
71

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Komposisi Media Murashige and Skoog dan Media Gamborg ..................

80

2

Deskripsi kedelai varietas Tanggamus ..................................................

81

3

Deskripsi kedelai varietas Anjasmoro ...................................................

82

4

Deskripsi kedelai genotipe Yellow biloxi, CG 22-10 dan SP-10-4 ............

83

5

Prosedur penyiapan preparat parafin untuk analisis histologi kalus
Kedelai ...................................................................................................

84

6

Prosedur pembuatan media padat untuk seleksi in vitro dengan AlCl3 ......

86

7

Tanaman induk kedelai sumber eksplant kotiledon muda......................

87

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan tanaman pangan tergolong
penting setelah padi, khususnya di Indonesia digunakan sebagai pangan maupun
bahan pakan ternak. Kedelai dikenal juga sebagai bahan pangan yang
mengandung gizi tinggi terutama protein nabati. Biji kedelai mengandung 42-45%
protein (Bhatnaghar dan Tiwari 1996).
Produksi nasional kedelai masih belum mencukupi kebutuhan, sehingga
setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai. Rata-rata kebutuhan kedelai per
tahun sebesar 2.1 juta ton, sementara produksi total dalam negeri baru mencapai
900 ribu ton, karena itu masih dibutuhkan impor sebesar 1.2 juta ton
(Kementerian Pertanian 2010). Produksi kedelai juga mengalami penurunan,
tercatat produksi pada tahun 2013 sebesar 807.5 ribu ton menurun sebesar 35.6
ribu ton dibandingkan dengan produksi tahun 2012 (BPS 2014). Pemerintah
merencanakan untuk mengurangi impor kedelai hingga 20 % per tahun dan
meningkatkan produksi dalam negeri 20 % per tahun sehingga target swasembada
kedelai dapat tercapai (Kementerian Pertanian 2010).
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan produksi agar
impor dapat ditekan maupun swasembada kedelai adalah dengan perluasan areal
tanam, perbaikan varietas, dan perbaikan teknologi budidaya. Untuk program
perluasan areal tanam (ekstensifikasi) antara lain dapat dilakukan pada lahanlahan marginal, seperti contohnya pada lahan kering maupun pada tanah-tanah
masam yang pemanfaatannya masih belum optimal. Sekitar 47.6 juta hektar
(32.4%) dari luas total daratan Indonesia merupakan lahan kering yang umumnya
didominasi

oleh

tanah

masam

podsolik

merah

kuning

(Karama

dan

Abdurrachman 1993). Jenis tanah podsolik merah kuning ini terutama menyebar
di luar pulau Jawa, yaitu Sumatera dan Kalimantan.
Menurut Sopandie (2006) peningkatan produksi di lahan marginal dapat
dicapai melalui berbagai pendekatan yaitu (1) perbaikan potensi hasil dari galurgalur beradaptasi luas, (2) perbaikan taraf adaptasi tanaman terhadap cekaman
abiotik dan resistensi terhadap cekaman biotik, dengan membuat genotipe

2

tanaman yang lebih sesuai dengan lingkungan tumbuh, (3) perbaikan teknik
budidaya yang berbasis pengetahuan fisiologis dan ekofisiologis tanaman.
Faktor-faktor tersebut harus sinergis agar peningkatan hasil dapat tercapai.
Baik program intensifikasi maupun program ekstensifikasi membutuhkan
kultivar unggul (perbaikan varietas). Bagi pengembangan kedelai di lahan
marginal yang mempunyai sifat tanah masam dan bersifat kering atau yang
mengalami kekeringan (drought),

penggunaan kultivar unggul ini sangat

dibutuhkan yaitu kultivar unggul yang mempunyai toleransi terhadap cekaman
kekeringan dan atau tanah masam. Kultivar unggul ini dapat dirakit melalui
perbaikan genetik baik melalui persilangan konvensional maupun melalui
pendekatan teknik kultur in vitro atau bioteknologi tanaman.
Variasi somaklonal adalah variasi genetik tanaman yang dihasilkan
melalui kultur jaringan atau kultur sel (Larkin dan Scowcroft 1981), yang meliputi
semua variasi genetik yang terjadi pada hasil regenerasi dari sel yang tidak
terdiferensiasi, protoplas, kalus maupun jaringan. Variasi genetik ini akan
diekspresikan pada tanaman regeneran dalam bentuk karakter-karakter varian
yang kemudian akan diwariskan ke keturunannya melalui perbanyakan vegetatif
maupun generatif (Ignacimuthu 1997).
Variasi somaklonal dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik
untuk sifat-sifat yang berguna untuk tujuan pemuliaan tanaman. Selain itu variasi
somaklonal juga merupakan sarana alternatif dalam pemuliaan tanaman untuk
menghasilkan varietas-varietas baru yang resisten terhadap penyakit dan
herbisida, toleran terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim misalnya kekeringan
(drought tolerance) serta dapat memperbaiki kualitas maupun hasil dari tanaman
(Ignacimuthu 1997). Jain (2001) menyatakan bahwa kultur in vitro dapat
menginduksi variasi somaklonal dan dengan penggunaan seleksi in vitro pada
tingkat sel dan jaringan menggunakan agen penyeleksi diharapkan dapat diperoleh
karakter yang diinginkan.
Perkembangan teknik in vitro yang sangat pesat memberikan harapan
untuk mencari sumber-sumber keragaman genetik baru melalui evaluasi dan
seleksi variasi somaklonal. Untuk memperoleh regeneran mutan yang akan
diseleksi baik di tingkat sel dan jaringan (in vitro) atau ditingkat tanaman (uji

3

lapang/ex vitro) maka sel-sel atau jaringan mutan harus bisa diregenerasikan
penjadi plantlet (Maralappanavar et al. 2000), sehingga perubahan genetik di
tingkat sel akan direpresentasikan dalam bentuk karakter-karakter morfologi
maupun fisiologi di tingkat tanaman. Pemilihan dan penggunaan metode kultur in
vitro yang tepat dan efisien akan mempengaruhi kecepatan maupun frekuensi
variasi genetik yang ditimbulkan (Kumar 1995).
Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor penghambat utama
dalam meningkatkan produksi tanaman kedelai terutama pada daerah-daerah yang
mempunyai hambatan ketersediaan air baik secara alami maupun teknis. Usaha
untuk mengatasi masalah kekurangan air selama ini adalah dengan perbaikan
sistem irigasi teknis, namun usaha ini dirasakan terlalu besar biayanya dan tidak
seimbang dengan peningkatan hasil yang diperoleh (Sloane et al. 1990). Oleh
karena itu perlu dicari alternatif lain untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu
diantaranya adalah dengan pengembangan kedelai toleran terhadap cekaman
kekeringan (drought).
Di samping kekeringan, cekaman karena tanah masam dan kelarutan
aluminium yang tinggi juga merupakan faktor penghambat utama dalam
meningkatkan produksi nasional kedelai. Meskipun dapat dilakukan upaya
pengapuran pada tanah masam, namun upaya tersebut merupakan tindakan yang
kurang efisien karena tidak berjangka panjang dan memerlukan biaya yang cukup
tinggi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah penggunaan kedelai yang
toleran terhadap cekaman Al. Bagi lahan-lahan marginal yang biasanya
mempunyai karakteristik lahan kering dan sekaligus dengan kemasaman yang
tinggi, maka upaya merakit varietas kedelai yang toleran terhadap keduanya
(kekeringan dan tanah masam) merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan
produksi tanaman kedelai.
Studi yang mengarah untuk mendapatkan galur yang toleran kedua-duanya
baik cekaman kekeringan maupun tanah masam umumnya dirasakan masih sangat
kurang, atau yang ada masih bersifat single tolerance seperti galur-galur yang
toleran kekeringan atau tanah masam. Salah satu metode yang dapat
dikembangkan dalam upaya mendapatkan galur-galur kedelai yang toleran
kekeringan dan sekaligus toleran kemasaman tinggi adalah melalui induksi variasi

4

somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG yang
kemudian diikuti agen penyeleksi AlCl3. Penggunaan teknik in vitro dengan
induksi embrio somatik (ES) diharapkan akan menghasilkan varian-varian
somaklon yang diinginkan dan dapat diregenerasikan.
Poly-ethyleneglycol (PEG) diharapkan dapat digunakan untuk menyeleksi
tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan homogenitas yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan PEG yang merupakan senyawa yang larut
sempurna dalam air, dapat menyebabkan penurunan potensial air, sehingga dapat
digunakan untuk mensimulasi besarnya potensial air tanah (Michel dan Kauffman
1973). Begitu pula penggunaan media yang mengandung AlCl3 pada kultur kalus
embriogenik pada kondisi pH 4 diharapkan dapat menyeleksi massa sel-sel
embriogenik tanaman kedelai untuk ketahanan aluminium.
Tersedianya metode seleksi yang efektif dengan model seleksi PEG dan
AlCl3 ini, selanjutnya digunakan untuk menyeleksi kalus-kalus embriogenik hasil
kultur jaringan yang toleran terhadap cekaman kekeringan dan sekaligus toleran
terhadap tanah masam. Kalus embriogenik hasil seleksi ini diharapkan dapat
diregenerasikan dan menjadi varian somaklonal yang putatif toleran cekaman
kekeringan dan atau tanah masam. Kerangka berpikir penelitian ini disajikan pada
Gambar 1.1.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan varian somaklon
kedelai yang tahan kekeringan dan atau tanah masam melalui seleksi in vitro
menggunakan teknik embriogenesis somatik dan agen penyeleksi berturut-turut
PEG dan AlCl3. Varian somaklon yang dihasilkan diharapkan akan berguna bagi
upaya memperoleh kandidat varietas yang toleran kekeringan dan tanah masam.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan media induksi dan proliferasi kalus embriogenik, serta
meregenerasikan kalus embriogenik pada lima genotipe kedelai.
2. Mendapatkan somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman kekeringan.
3. Mendapatkan somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman kekeringan dan
toksisitas Al.

5

Produksi kedelai nasional rendah – Konsumsi nasional kedelai tinggi
defisit
Impor kedelai

Swasembada Kedelai
(100%)

Revitalisasi Pertanian

Perluasan Areal
Tanam

Perbaikan Tanaman

Lahan Marginal:
- Lahan Salin

- Tanah Masam
(Acid Soil)
- Lahan Kering

Teknologi
Budidaya

Perbaikan Varietas

Bioteknologi :
- Kultur Haploid
- Fusi Protoplas
- Variasi Somaklonal
- Seleksi In vitro
- Rekayasa Genetik
Seleksi In Vitro

Varian somaklonal tahan kekeringan dan
atau tanah masam (putatif)

Kandidat varietas tahan kekeringan
dan atau tanah masam

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian

Konvensional

-ZPT
- Mutagen
(radiasi, EMS)
- PEG
- AlCl3

6

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai : (1)
protokol induksi embriogenesis somatik, proliferasi kalus embriogenik dan
regenerasinya pada beberapa genotipe kedelai, (2) metode seleksi in vitro
menggunakan media selektif PEG untuk mendapatkan varian somaklon toleran
kekeringan, (3) metode seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi berturutturut PEG dan AlCl3

untuk mendapatkan varian somaklon toleran cekaman

kekeringan dan toksisitas Al, (4) regenerasi kalus embriogenik maupun embrio
somatik hasil seleksi in vitro, sehingga diperoleh kandidat somaklon toleran
cekaman kekeringan dan toksisitas Al pada tingkat plantlet.
Hipotesis
Pada setiap tahap percobaan dapat ditarik hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat media induksi dan media proliferasi kalus embriogenik yang optimal
pada masing-masing genotipe.
2. Terdapat varian somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman kekeringan.
3. Terdapat varian somaklon kedelai yang putatif toleran cekaman kekeringan
dan toksisitas Al.
4. Regenerasi kalus embriogenik dapat dilakukan pada beberapa genotipe
kedelai.
Ruang Lingkup Penelitian
Keberhasilan seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman kedelai dengan
sifat yang diinginkan memerlukan tersedianya keragaman di tingkat sel atau
jaringan, metode seleksi in vitro untuk mengidentifikasi sel atau jaringan sesuai
dengan sifat yang diinginkan, dan metode regenerasi sel jaringan menjadi
tanaman secara in vitro yang efektif. Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan
yaitu (1) induksi variasi somaklonal lima genotipe kedelai melalui embriogenesis
somatik, (2) seleksi in vitro empat genotipe kedelai menggunakan PEG untuk
menghasilkan somaklon yang putatif toleran kekeringan, dan (3) seleksi in vitro
empat genotipe kedelai menggunakan PEG dan AlCl3 untuk menghasilkan somaklon
yang putatif toleran cekaman kekeringan dan Al. Percobaan pertama dilakukan

untuk mendapatkan kalus embriogenik, proliferasi dan optimasinya serta

7

meregenerasikan kalus embriogenik maupun embrio somatik pada empat genotipe
kedelai. Kalus embriogenik hasil proliferasi yaitu berupa klum kalus embriogenik
kemudian diseleksi pada percobaan kedua dan percobaan ketiga. Seleksi in vitro
menggunakan PEG pada percobaan kedua bertujuan untuk menghasilkan
somaklon yang putatif toleran cekaman kekeringan. Percobaan ketiga bertujuan
untuk mendapatkan somaklon toleran terhadap cekaman kekeringan dan
aluminium (putatif) berturut-turut menggunakan agen penyeleksi PEG dan AlCl3.
Garis besar kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 1.2.

8

Kotiledon muda kedelai

Induksi dan optimasi kalus
embriogenik (KE)

Output :
Embrio
Somatik (ES)

Regenerasi
ES

Output :
Plantlet
(Protokol ES)

Proliferasi KE
Seleksi KE dengan PEG

Proliferasi KE putatif tahan
kekeringan

Output : KE putatif tahan
kekeringan

Seleksi dengan AlCl3
Regenerasi ES
Output : KE putatif tahan
kekeringan dan tanah masam
Output : Plantlet
Regenerasi ES

Output : Plantlet

Output : Varian somaklon
putatif tahan kekeringan

Output : Varian somaklon
putatif tahan kekeringan dan
atau tanah masam

Gambar 1.2. Tahap Penelitian.
Keterangan : KE = kalus embriogenik, ES = embrio somatik

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kedelai
Kedelai (Glycine max (L.) Merill) adalah tanaman yang termasuk kelas
Dikotiledon, ordo Polypetales, famili leguminosae, subfamily Papilionaceae,
genus Glycine yang terdiri atas dua subgenus yaitu Glycine dan Soja. Subgenus
Soja terdiri atas G. max (L.) Merill dan G. soja Sieb Zucc. Dua spesies ini
diketahui mengandung jumlah kromosom diploid 2n=40 dengan simbol genom
GG merupakan hasil domestikasi dari jenis liar Soja yang menurut klasifikasinya
termasuk subgenus Soja (Hardley dan Hymowitz 1973).
Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan
oleh manusia sejak 2 500 SM. Menurut laporan, kedelai mulai dikenal di
Indonesia sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai
yaitu di pulau Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara dan pulaupulau lainnya. Masuknya kedelai ke Indonesia diduga dibawa oleh para imigran
Cina yang mengenalkan beberapa jenis masakan yang berbahan baku biji kedelai
(Adisarwanto et al. 2001).
Kedelai merupakan tanaman semusim (annual) bersemak, tegak dan
berdaun banyak. Akar kedelai mempunyai sebuah tudung akar dengan sejumlah
akar sekunder serta banyak sekali mengandung rambut akar. Hipokotil paling
bawah menyebabkan kedelai mempunyai akar adventif yang bercabang-cabang.
Bakteri Rhizobium yang membentuk nodul akar berbentuk bulatan yang menonjol
terjadi dari sel-sel korteks akar yang membengkak (Adisarwanto et al. 2001).
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe
determinate

dan indeterminate. Pertumbuhan batang tipe determinate

ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai
berbunga. Sementara pertumbuhan batang indeterminate dicirikan bila pucuk
batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai
berbunga. Di samping itu terdapat varietas hasil persilangan yang mempunyai tipe
batang mirip keduanya sehingga dikategorikan sebagai semideterminate atau
semiindeterminate (Adie & Krisnawati 2007).

10

Tanaman kedelai di Indonesia yang mempunyai panjang hari rata-rata 12
jam dan suhu udara yang tinggi (>30oC), sebagian besar mulai berbunga pada
umur antara 5-7 minggu. Tanaman kedelai termasuk peka terhadap perbedaan
panjang hari, khususnya saat pembentukan bunga. Periode berbunga pada
tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3
minggu untuk daerah tropik seperti Indonesia.
Kultur Jaringan
Istilah kultur jaringan digunakan untuk menjelaskan semua prosedur kultur
tanaman yang dilakukan secara aseptik menyangkut pertumbuhan protoplas
tanaman, sel, jaringan, organ, embrio, dan pertumbuhan planlet. Karena
pertumbuhan berlangsung dalam kondisi steril dan dengan lingkungan kultur yang
dikondisikan, maka metode ini disebut kultur in vitro (Struik 1991).
Adanya metode kultur jaringan ini didasarkan pada alasan bahwa suatu
tanaman dapat dipisahkan ke dalam bagian-bagian komponennya (organ, jaringan,
atau sel) yang dapat dimanipulasi secara in vitro kemudian ditumbuhkan kembali
menjadi tanaman yang lengkap. Kultur jaringan tanaman, bersama-sama dengan
genetika molekuler merupakan teknologi yang pokok untuk melakukan rekayasa
genetika (Caponetti et al. 2005).
Menurut Hartmann dan Kester (1990) terdapat lima jenis regenerasi
tanaman secara vegetatif yang dilakukan melalui kultur jaringan, yaitu :
(1) Kultur ujung meristem (meristem-tip culture), yaitu teknik propagasi yang
menggunakan ujung tunas termasuk meristem apikal tunggal sebagai
eksplannya. Jenis kultur ini terutama digunakan untuk mendapatkan tanaman
bebas virus.
(2) Proliferasi tunas aksilar (axillary shoot proliferation), jenis ini digunakan
untuk

memanipulasi

perbanyakan

tunas

aksilar

dengan

menekan

perpanjangan tunas terminal sehingga diperoleh multiplikasi tunas mikro
untuk kemudian diakarkan secara in vitro atau distek untuk diakarkan di luar
sistem in vitro yang disebut stek mikro (microcutting).
(3) Induksi tunas adventif (adventitious shoot induction), teknik ini dilakukan
dengan jalan menginisiasi tunas adventif baik secara langsung (direct)

11

maupun secara tidak langsung (indirect) melalui kalus yang dihasilkan dari
eksplan sebagai akibat perlukaan dan perlakuan zat pengatur tumbuh.
(4) Organogenesis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu proses
terbentuknya organ-organ seperti tunas dan akar dari massa sel kalus setelah
eksplan ditanam.
(5) Embriogenesis somatik, istilah ini merujuk pada perkembangan embrio secara
lengkap dari sel-sel vegetatif yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan
yang ditumbuhkan pada media kultur. Bila embrio terbentuk langsung dari
kultur anther atau mikrospora, prosesnya disebut androgenesis.

Proses

pembentukan embrio dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebut
gynogenesis.
Embriogenesis somatik
Embriogenesis somatik adalah proses dimana sel-sel somatik (non
gametic) mengalami diferensiasi untuk membentuk suatu struktur bipolar yang
berisi bakal tunas dan bakal akar. Embrio somatik ini mirip dengan embrio
zigotik, mengalami pematangan dan berkecambah.

Proses ini seperti

diilustrasikan pada Gambar 2.1 (Smith 2000).

Gambar 2.1. Tahapan embriogenesis somatik. Sel somatik (nongametik)
mengalami diferensiasi untuk membentuk struktur bipolar
yang berisi bakal tunas dan akar. Embriosomatik ini akan
mengalami pematangan dan berkecambah (Smith 2000).

12

Untuk menginduksi embriogenesis somatik pada wortel dan beberapa
spesies tanaman lainnya, kalus harus ditempatkan pada media yang mengandung
auksin. Setelah adanya pengaruh auksin (auxin pulse), sel-sel kemudian
dipindahkan ke media bebas hormon untuk terjadinya pembentukan embrio.
Proses ini juga membutuhkan suatu reduksi nitrogen (glisin, glutamine, akstrak
yeast, atau ammonium). Penggunaan nitrogen satu-satunya dalam bentuk NO3
akan sulit atau jarang membentuk embrio. Multiplikasi tanaman melalui kultur
sel dengan embriogenesis somatik

merupakan metode yang potensial untuk

produksi tanaman dalam jumlah banyak (Smith 2000).
Embriogenesis somatik dapat terjadi dalam dua cara yang berbeda yaitu
secara tidak langsung (melalui pertumbuhan fase kalus) atau secara langsung
(tanpa fase kalus), keduanya dapat digunakan untuk multiplikasi tanaman secara
cepat dengan tingkat multiplikasi yang tinggi. Embriogenesis somatik banyak
digunakan untuk keperluan pemuliaan tanaman, di samping untuk memproduksi
tanaman dalam jumlah banyak (Struik 1991).
Menurut Von Arnold et al. (2002) pada kultur in vitro tahapan-tahapan
regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik biasanya terdiri atas lima
langkah berikut :
(1) Inisiasi kultur embrionik yaitu dengan mengkultur eksplan pada medium
yang diperkaya zat pengatur tumbuh (ZPT) terutama auksin dan kadang juga
sitokinin.
(2) Proliferasi kultur embriogenik, dilakukan baik pada medium padat atau cair
yang mengandung ZPT seperti pada kultur inisiasi.
(3) Prematurasi atau histodiffrensiasi, dilakukan pada medium yang mengandung
ZPT dengan kadar rendah atau tanpa ZPT, hal ini bertujuan agar terjadi
hambatan proliferasi dan terbentuk embrio somatik dan perkembangan awal
embrio.
(4) Maturasi embrio somatik dilakukan pada media yang dilengkapi dengan ABA
dan/atau dengan menurunkan potensial osmotik.
(5) Perkembangan tanaman pada medium tanpa ZPT.
Embriogenesis somatik pada kedelai pertama kali dilaporkan oleh
Christianson et al. (1983). Jaringan kalus embrionik berhasil diinduksi dari

13

eksplan poros embrio zigotik. Jaringan embriogenik dapat berproliferasi tetapi
system ini sulit diulang dan asal dari embrio somatik tidak diketahui. dos Santos
et al (2006) menggambarkan tiga kemungkinan alur ontogenetik perkembangan
embrio somatik kedelai berdasarkan analisis histologi seperti terlihat pada
Gambar 2.2.
Finer (1988) dengan menggunakan eksplan embrio zigotik muda telah
berhasil menginisiasi pembentukan embrio somatik dan jaringan embriogenik
pada kedelai kultivar „Fayette‟. Dalam penelitian ini Finer menggunakan media
dasar MS (Murashige dan Skoog 1962) yang diperkaya dengan vitamin B5
Gamborg (Gamborg et al. 1976) dan 40 mg L-1 2,4-D. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa proliferasi embrio berasal dari sel-sel permukaan/apikal dan
hanya sedikit sel yang terlibat dalam pembentukan embrio somatik.

Gambar 2.2. Skema alur ontogeni embrio somatik kedelai. a. Pembelahan pertama
embrio somatik; b. Pembelahan antiklinal sel basal proembrio; c, f. Dua
seri pembelahan periklinal sel-sel basal; g. embrio bentuk globular; h.
Embrio bentuk hati; i. Embrio bentuk torpedo; j. Fase kotiledon; k.
Pembesaran embrio globular primer; l. Struktur yang membesar dengan
tiga pusat pertumbuhan; m. Differensiasi embrio sekunder dari embrio
primer yang membesar; n. Tahap dini embrio globular asal sel-sel
epidermal yang berdekatan; o. penggabungan embrio globular; p.
embrio tahap kotiledon yang berhimpitan; ac = sel apikal; bc = sel basal
(dos Santos et al. 2006)

14

Variasi somaklonal pada kultur jaringan
Bila tanaman diregenerasikan dari jaringan kalus (baik melalui
embriogenesis somatik maupun pembentukan tunas adventif) maka sering terjadi
suatu genotipe baru muncul. Fenomena ini disebut variasi somaklonal dan dapat
terjadi dalam banyak spesies tanaman. Banyak kemungkinan penyebab dari
timbulnya variasi somaklonal ini, salah satunya adalah disebabkan oleh adanya
keragaman yang secara alami sudah ada dalam tanaman asal, tetapi keragaman ini
makin besar atau dapat ditingkatkan oleh adanya kondisi kultur yang dibuat
selama pertumbuhan kultur jaringan (Struik 1991).
Variasi somaklonal pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu
perubahan suatu karakter yang diwariskan, yang disebabkan oleh berubahnya
pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat DNA atau gen yang
mengalami mutasi kecil (mutasi titik), maupun pada tingkat kromosom yang
disebut dengan mutasi besar. Oleh karena itu, mekanisme kejadiannya hampir
sama dengan efek mutagenesis konvensional (dengan radiasi) yakni bersifat acak.
Variasi somaklonal dapat dicapai dari eksplan yang telah berhasil
dikulturkan yaitu melalui kultur protoplast, kultur sel embriosomatik, regenerasi
langsung, dan seleksi in vitro. Untuk meningkatkan keragaman genetik, seleksi in
vitro merupakan salah satu metode keragaman somaklonal yang telah banyak
dimanfaatkan. Peningkatan keragaman somaklonal dapat dilakukan melalui
induksi mutagen fisika yaitu menggunakan radiasi sinar gamma, sinar X dan
mutagen kimia yang menggunakan antara lain kolkisin, EMS atau DEMS (Ancora
dan Sanino 1987). Metode pemberian mutagen baik secara kimia maupun ionisasi
radiasi ini menarik untuk menginduksi mutasi yang terjadi pada tiap-tiap individu
sel (single cell). Kegunaan variasi somaklonal menjadi populer, dikarenakan
dengan variasi somaklonal dapat dihasilkan tanaman dengan suatu karakter baru,
atau merupakan produk mutasi yang bermanfaat (Struik 1991).
Kombinasi perlakuan kultur in vitro dengan mutagen fisik merupakan
salah satu program yang diprioritaskan dan dikembangkan di Cina (Younchang
dan Liang 1997). Kombinasi perlakuan kultur in vitro dengan mutagen ini telah
dilaporkan lebih efektif dibandingkan faktor tunggal kultur in vitro. Variasi
somaklonal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti :

15

(a) Sumber tanaman (spesies, genotipe dan tingkat ploidi)
(b) Asal eksplan
(c) Prosedur kultur jaringan dan lama pengkulturan
(d) Komposisi media (khususnya hormon) dan kondisi kultur
(e) Penggunaan mutagen
Sejumlah laporan membuktikan bahwa pada tanaman kedelai hasil kultur
jaringan menampakkan adanya variasi somaklonal. Stephens et al. (1991)
melaporkan bahwa proses kultur jaringan kedelai melalui embriogenesis somatik
pada kultivar komersial Asgrow „3127‟ dapat menginduksi variasi beberapa
karakter agronomi diantaranya maturitas, ketegakan tanaman, tinggi tanamn
kandungan minyak dan protein biji tetapi tidak bervariasi pada kualitas biji, dan
berat biji atau hasil biji kering. Ranch et al (1985) melaporkan bahwa 44 famili
yang diturunkan dari empat genotipe kedelai yang diregenerasikan melalui
embriogenesis langsung dengan eksplan kotiledon muda pada generasi R1
maupun R2, 5 diantaranya menunjukkan variasi sterilitas, maturitas, daun yang
menebal, jumlah biji per rumpun polong yang rendah, dan warna daun yang tetap
hijau

sampai

panen.

Sepuluh

tanaman

yang

diregenerasikan

melalui

embriogenesis dengan menggunakan 15 mg/l NAA dan mg/l 2,4 D pada kultivar
McCall menunjukkan variasi komposisi asam lemak (Hildebrand et al. 1989).
Seleksi in vitro
Seleksi in vitro adalah teknik yang sangat berguna untuk menghasilkan
somaklon yang mempunyai karakteristik tertentu. Dengan teknik ini, variasi
somaklonal akan dapat diinduksi dan hasilnya dapat diseleksi dalam media
selektif yang sesuai. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi yang
lebih besar dan lebih homogen dapat diberikan ke populasi sel dan jaringan
tanaman sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya varian tanaman
yang diinginkan (Widholm 1996). Husn