Uji Jumlah Peringkat (Rank-Sum Test) untuk Data Bergerombol

!

*
#! #
# !
2* ! *
# &

"
"#
$
' ( ) #
* (
*
* #
* * #! #
& #
* * #
!
! #
* *

&
' ( )
#
." #
&
* #
&
/ * * ! ! * #
! #
* ! & # # !
# !
! & # # *
# ! &
*
*
! 0
&
&
' ( ) #
." #

!
&
+
& # # *
+3 454556 #
* ! *
/
! 0 # & ! #
"

"
!

( 9
! ,

&
#
&
#


!
&
( !

&

! !
&

&
&

,

' ( )
"

,


&

%
#

# & &
&
* &
+
! ! *
#
#
#
- #
#
!
! /
& # # !
!
! *

&
"
* *0 1
#
!
!
! #
#
#
*
!
& #
* *0 &
&
#
#

!

*

'

&
&

#

,
&

!
&#
* *
7 /
58
+
! ,#

! " #$ $
% & '()


&*
* !

*

*

*/

&
*

&

& #
*

#


9
9
*
#/
9 %:3;54

!

/

!

!

9

,

!


" *
# ,
,
9 :6?6;6:;$? >
9@AB
= >

S

T

3!# UVWXYW

TZ

sehingga untuk uji hipotesis dua arah kita
menolak H0 jika 252 5[;\] ^_` .
Untuk kepentingan simulasi dan analisis
telah dibuat syntax uji Datta Satten dua arah
dalam bahasa R. Syntax tersebut dapat dilihat

pada Lampiran 1.
(
Uji XKB diperkenalkan oleh M. M. Xiong,
J. Krushkal, dan E. Boerwinkle (1998). Uji ini
adalah pengembangan dari uji TDT yang telah
ada sebelumnya. XKB menggunakan statistik
uji TDT yang dapat dihitung menggunakan
persamaan berikut:
aba

d

c 7c `
D

e

e

(8)


f6 `

+c

(

* + (* ,

(9)

+c

(

* + (* ,

(10)

>J

G

H"

GH 7 c

D

`D

7J

GH 7 c

Kendall & Stuart (1973) menyatakan
bahwa untuk menguji suatu hipotesis yang
berbasis contoh acak diperlukan pembagian
ruang contoh (W) menjadi dua daerah. Jika
contoh yang teramati x jatuh pada salah satu
daerah ini, katakan w, maka hipotesis akan
ditolak; jika x jatuh pada daerah
komplemennya, W)w, maka hipotesis harus
diterima. W)w dikenal sebagai daerah
penerimaan dan w dikenal sebagai daerah
kritik dari suatu uji.
Jika sebaran peluang dari pengamatan
dibawah hipotesis yang diuji (H0) diketahui,
nilai w dapat ditentukan. Jika H0 diketahui
benar, peluang untuk menolak H0 sama dengan
nilai α, dapat ditulis sebagai berikut:
0,1 g

`%

,

(11)

+ (* adalah observasi pada grup 1,
anggota ke k dari gerombol ke i,
adalah jumlah anggota grup 1,
adalah jumlah anggota grup 0.

/

2

Nilai α disebut juga sebagai ukuran dari
suatu uji atau juga tingkat nyata (level of
significance), merupakan kesalah tipe I yang
yang
mungkin
dilakukan.
Sedangkan
kesalahan tipe II disebut sebagai β merupakan
fungsi dari H1 (hipotesis alternatif), yaitu:
h

dimana:

"

0,1 g

$

2

/

Peluang komplemen dari h yang juga
merupakan fungsi dari H1 disebut kuasa uji
(power of test), yaitu # $ h 0,1 g 2 /
Jika
kuasa
pengujian
rendah
maka
kemungkinan besar percobaan yang dilakukan
memberikan kesimpulan yang salah.
Semakin jauh perbedaan nilai parameter
dengan nilai yang dihipotesiskan maka nilai h
akan semakin kecil dan sebaliknya, sehingga
kuasa uji tersebut meningkat. Galat jenis I dan
galat jenis II saling berhubungan. Menurunnya
peluang yang satu akan menaikkan peluang
yang lain, tetapi dengan meningkatkan ukuran
contoh (n) akan memperkecil keduanya secara
bersama sama (Walpole 1988).

4

)

*

!
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data simulasi dan data sekunder berupa
IPK mahasiswa TPB IPB angkatan 43 dengan
grup yang dibandingkan adalah mahasiswa
perempuan dan laki laki.
Model umum dari uji Datta Satten adalah
sebagai berikut:
+(*

i

j)(*

kl

n

i m( o

p(*

(12)

dimana:
+(* adalah observasi ke k pada gerombol
ke i.
i adalah nilai intersep
j adalah pengaruh grup
)(* adalah grup pada observasi ke k dan
gerombol ke i.
k adalah besar pengaruh gerombol
i adalah pembobot peubah ke j
m( adalah peubah ke j yang berpengaruh
terhadap observasi dalam gerombol ke i.
p(* adalah pengaruh acak.
Sebagai perbandingan dengan model
umum, berikut ini adalah penjelasan peubah
yang digunakan dalam uji Datta Sattern untuk
data sekunder IPK mahasiswa TPB IPB
angkatan 43:
+(* adalah IPK mahasiswa ke k pada
kelas i.
i adalah nilai intersep
j adalah pengaruh jenis kelamin
)(* adalah jenis kelamin mahasiswa ke k
dan kelas i.
k adalah besar pengaruh kelas
i adalah pembobot peubah ke j
m( adalah peubah ke j yang berpengaruh
pada mahasiswa kelas i.
p(* adalah pengaruh acak.
Uji Datta Satten hanya menggunakan
peubah +(* (IPK mahasiswa ke k pada kelas
i) dan )(* (jenis kelamin mahasiswa ke k dan
kelas i). Dalam data sekunder terdapat data
nama kelas yang berformat tulisan sehingga
harus diubah terlebih dahulu menjadi data
berformat angka agar dapat digunakan dalam
uji Datta Satten. Selain itu terdapat juga data
jenis kelamin yang berformat tulisan sehingga
harus diubah menjadi data berformat angka
yang bernilai 0 dan 1.

Data simulasi dalam penelitian ini
dibangkitkan menggunakan perangkat lunak R
versi
2.9.1.
Data
simulasi
tersebut
dibangkitkan menggunakan nilai intersep nol
dan hanya menggunakan dua peubah (m( dan
m(J ) yang berpengaruh pada gerombol ke i.
Dengan kondisi demikian, model data simulasi
yang digunakan dapat dituliskan sebagai
berikut:
+(*

j)(*

k m(

m(J

p(* ,

(13)

dimana:
+(* adalah observasi ke k pada gerombol
ke i,
γ adalah besar pengaruh grup,
)(* adalah grup dari observasi ke k dan
gerombol ke i,
k adalah besar pengaruh gerombol,
m( dan m(J adalah peubah peubah yang
menyebar tertentu dalam gerombol ke i
yang berpengaruh terhadap observasi
dalam gerombol ke i,
p(* adalah pengaruh acak yang menyebar
tertentu.
Dalam penentuan grup, pembangkitan data
dibagi menjadi dua berdasarkan proporsi
kedua grup dalam gerombol, yaitu:
1. Pembangkitan data bergerombol dimana
proporsi kedua grup dalam tiap gerombol
merata
(berimbang).
Ilustrasi
pembangkitan pertama ini dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1

Simulasi dengan Proporsi Grup
dalam Gerombol Merata.

2. Pembangkitan data bergerombol dimana
ada satu grup yang memiliki proporsi
lebih besar (mendominasi) dibandingkan
dengan grup lain. Simulasi ini
menggunakan proporsi 0.9 untuk grup
yang mendominasi dalam suatu gerombol
dan proporsi 0.1 untuk grup yang lain.
Ilustrasi pembangkitan data kedua ini
dapat dilihat pada Gambar 2.

5

)
#

Gambar 2 Simulasi dengan adanya Grup yang
Mendominasi
dalam
Suatu
Serombol.
Populasi yang dibangkitkan dalam tiap
simulasi
berukuran
100.000
dengan
menggunakan tiga kombinasi nilai γ, k, dan
lima sebaran yang berbeda. Nilai γ dan k yang
digunakan adalah 0, 0.5, dan 1. Dengan
menggunakan ketiga kombinasi tersebut,
jumlah populasi yang dibangkitkan adalah
sebanyak 45. Sebaran yang dipakai adalah
Normal (0,1), Lognormal (0,1), F (1,2),
Uniform (0,2), dan Exponensial (1). Ukuran
contoh yang dipakai dalam simulasi adalah 20
dengan ulangan sebanyak 1000. Nilai kuasa
uji diperoleh dengan persamaan:
qrAsA rtu

vw ;x [y ;* z

vw ;x v ; F;

vw ;x [y ;* z

(14)

Syntax perhitungan kuasa uji ketika
proporsi kedua grup dalam gerombol
berimbang dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sedangkan untuk syntax perhitungan kuasa uji
ketika ada grup yang mendominasi dalam
gerombol dapat dilihat pada Lampiran 4.
)

Pada penelitian ini ada empat kriteria yang
mempengaruhi kuasa uji yaitu γ, k, sebaran D,
dan tingkat keragaman grup dalam suatu
gerombol. Data simulasi dikatakan memiliki
keragaman grup yang tinggi apabila proporsi
grup 0 dan grup 1 dalam tiap gerombol relatif
berimbang.
Sebaliknya, data simulasi
dikatakan memiliki keragaman grup yang
rendah apabila ada grup yang mendominasi
pada tiap gerombol.
Nilai kuasa uji seharusnya memberikan
nilai yang sekecil kecilnya ketika nilai j 3
karena nilai j 3 menunjukkan bahwa tidak
ada pengaruh grup dalam data bangkitan
sehingga dalam uji perbandingan dua grup
diharapkan nilai kuasa uji yang sekecil
kecilnya. Sebaliknya, untuk nilai
j 3
diharapkan nilai kuasa uji yang sebesar
besarnya.
!+

%

Pengaruh gerombol terhadap nilai kuasa uji
dilihat berdasarkan nilai k ketika nilai γ yang
digunakan sama dan sebaran yang digunakan
juga sama. Pada Tabel 1 dapat kita lihat bahwa
pengaruh k tidak begitu besar terhadap nilai
kuasa uji ketika tidak ada perbedaan pengaruh
grup (nilai j 3). Untuk nilai j 3, nilai k
memberikan pengaruh negatif terhadap nilai
kuasa uji ketiga metode. dimana semakin
besar nilai k maka semakin besar penurunan
nilai kuasa uji.
Tabel 1 Kuasa Uji Wilcoxon, Datta Satten,
dan XKB pada Sebaran Uniform
Ketika Keragaman Grup dalam
Gerombol Tinggi.

'

Penelitian ini dilakukan dengan langkah
langkah:
1. Membangkitkan data simulasi seperti
yang telah dijelaskan pada bahan,
2. Menghitung kuasa uji Wilcoxon, uji
XKB, dan uji Datta Satten,
3. Membandingkan ketiga kuasa uji,
4. Menguji perbandingan IPK TPB IPB
angkatan 43 mahasiswa perempuan dan
laki laki menggunakan uji Datta Satten,
5. Membuat
kesimpulan
dari
hasil
pengujian perbandingan IPK TPB IPB
angkatan 43 mahasiswa perempuan dan
laki laki yang diperoleh.

γ

θ

Sebaran

0
0
0
0.5
0.5
0.5
1
1
1

0
0.5
1
0
0.5
1
0
0.5
1

unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)
unif(0,2)

Kuasa Uji
W
0.053
0.054
0.054
0.767
0.623
0.393
0.998
0.989
0.904

DS
0.059
0.046
0.047
0.603
0.508
0.318
0.997
0.966
0.792

XKB
0.050
0.055
0.051
0.823
0.674
0.443
1.000
0.998
0.931

6

!

%

Nilai kuasa uji yang diperoleh pada tiap
sebaran dapat dibandingkan dengan melihat
kuasa uji pada nilai γ yang sama dan nilai k
yang sama. Pembahasan ini hanya akan
ditampilkan nilai kuasa uji ketika j 3 dan
k 3 yang dapat dilihat pada Tabel 2, nilai
kuasa uji ketika j 3{| dan k 3{| yang
dapat dilihat pada Tabel 3, dan nilai kuasa uji
ketika j # dan k # yang dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa nilai kuasa
uji terbesar ketika j 3 (tidak ada pengaruh
grup), k 3 (tidak ada pengaruh gerombol),
dan keragaman grup dalam gerombol tinggi
diperoleh ketika data dibangkitkan dengan
sebaran Uniform(0,2). Nilai kuasa uji terkecil
pada Tabel 2 diperoleh ketika data
dibangkitkan dengan sebaran F(1,2), kecuali
untuk uji Datta Satten dimana kuasa uji
terkecil didapat ketika data dibangkitkan
menggunakan sebaran Lognormal(0,1).
Tabel 2 Kuasa Uji Wilcoxon, Datta Satten,
dan XKB ketika j 3, k 3, dan
Keragaman Grup dalam Gerombol
Tinggi.
γ

θ

Sebaran

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(1)

W
0.051
0.039
0.039
0.053
0.049

Kuasa Uji
DS
XKB
0.054 0.051
0.043 0.037
0.050 0.014
0.059 0.050
0.047 0.047

Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai kuasa
uji terbesar ketika j 3{|, k 3{|, dan
keragaman grup dalam gerombol tinggi
diperoleh ketika data dibangkitkan dengan
sebaran Uniform(0,2). Nilai kuasa uji terkecil
pada Tabel 3 diperoleh ketika data
dibangkitkan dengan sebaran F(1,2).
Tabel 3 Kuasa Uji Wilcoxon, Datta Satten,
dan XKB ketika j 3{|, k 3{|,
dan Keragaman Grup dalam
Gerombol Tinggi.
γ

θ

0.5
0.5
0.5
0.5
0.5

0.5
0.5
0.5
0.5
0.5

Sebaran
norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(1)

W
0.28
0.19
0.10
0.62
0.37

Kuasa Uji
DS XKB
0.23 0.30
0.15 0.12
0.07 0.03
0.51 0.67
0.29 0.32

Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai kuasa
uji terbesar ketika j #, k #, dan
keragaman grup dalam gerombol tinggi
diperoleh ketika data dibangkitkan dengan
sebaran Uniform(0,2). Nilai kuasa uji terkecil
pada Tabel 4 diperoleh ketika data
dibangkitkan dengan sebaran F(1,2).
Tabel 4 Kuasa Uji Wilcoxon, Datta Satten,
dan XKB ketika j #, k #, dan
Keragaman Grup dalam Gerombol
Tinggi.
γ

θ

Sebaran

1
1
1
1
1

1
1
1
1
1

norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(rate=1)

W
0.509
0.325
0.121
0.904
0.627

Kuasa Uji
DS
XKB
0.393 0.528
0.222 0.203
0.097 0.041
0.792 0.931
0.473 0.575

Secara keseluruhan, Tabel 2, 3, dan 4
memperlihatkan bahwa nilai kuasa uji terbesar
diperoleh ketika data dibangkitkan dengan
sebaran Uniform(0,2). Besarnya nilai kuasa uji
yang diperoleh ketika data dibangkitkan
menggunakan
sebaran
Uniform(0,2)
kemungkinan disebabkan karena nilai tengah
sebaran
Uniform(0,2)
lebih
kecil
dibandingkan sebaran lain dalam simulasi.
Secara keseluruhan, Tabel 2, 3, dan 4
memperlihatkan bahwa nilai kuasa uji terkecil
diperoleh ketika data dibangkitkan dengan
sebaran F(1,2), kecuali pada kuasa uji Datta
Satten ketika γ dan θ bernilai nol (Tabel 2).
Kecilnya nilai kuasa uji yang diperoleh ketika
data dibangkitkan menggunakan sebaran F
kemungkinan disebabkan karena nilai tengah
sebaran F(1,2) lebih besar dibandingkan
sebaran lain yang digunakan dalam simulasi.
Adapun penyimpangan yang terjadi pada
kuasa uji Datta Satten pada Tabel 2
kemungkinan disababkan pengaruh acak.
Metode XKB memiliki nilai kuasa uji
terbaik ketika data dibangkitkan dengan
sebaran Normal dan Uniform. Kedua sebaran
tersebut memiliki kurva sebaran yang simetrik.
Lampiran 5 memperlihatkan bahwa uji XKB
memiliki kuasa uji terbaik pada hampir
seluruh sebaran yang memiliki kurfa sebaran
simetrik, yaitu sebaran Normal dan Uniform.
Semakin tidak simetrik sebaran yang
digunakan, nilai kuasa uji XKB yang
didapatkan semakin buruk. Perbedaan yang
paling mencolok adalah ketika data
dibangkitkan dengan sebaran F dan
Lognormal dimana didapatkan kuasa uji XKB
jauh lebih kecil dibandingkan kedua uji lain.

7

Selain data yang dibangkitkan dengan
sebaran Normal dan Uniform, uji Wilcoxon
memiliki nilai kuasa uji yang terbesar
dibandingkan kedua uji lainnya. Sedangkan
untuk uji Datta Satten, secara keseluruhan
tidak menghasilkan kuasa uji terbaik pada
sebaran tertentu, akan tetapi nilai kuasa uji
Datta Satten tidak terlalu jauh dibandingkan
kedua metode lainnya.
!
+

+

$

%

Tabel 5 menampilkan kuasa uji ketika
keragaman grup dalam gerombol rendah
(proporsi kedua grup dalam gerombol
berimbang). Ketika k 3, nilai kuasa uji pada
ketiga uji masih belum menampakkan
kejanggalan karena nilai kuasa uji yang
didapat ketika j 3 mendekati 0.05. Akan
tetapi ketika k 3, nilai kuasa uji Wilcoxon
dan XKB yang didapat ketika j 3 jauh lebih
besar dari 0.05.
Lampiran 6 memperlihatkan
bahwa
semakin besar nilai k maka kuasa uji
Wilcoxon dan XKB pada saat j 3 semakin
menjauhi 0.05. Kuasa uji yang besar ketika
j 3 ini berarti resiko yang kita hadapi ketika
menolak
padahal
benar juga besar. Oleh
karena itu kita sebaiknya tidak memakai uji
XKB dan Wilcoxon untuk data dimana ada
grup yang mendominasi dalam suatu
gerombol. Tidak seperti kedua uji lainnya, uji
Datta Satten mendapatkan nilai kuasa uji yang
mendekati 0.05 ketika j 3, k 3 dan
keragaman grup dalam gerombol rendah.
Dengan demikian, untuk data dimana ada grup
yang mendominasi dalam suatu gerombol
lebih baik menggunakan uji Datta Satten.

Tabel 5 Kuasa Uji Wilcoxon, Datta Satten,
dan XKB ketika j 3 dan
Keragaman Grup dalam Gerombol
Rendah.
γ

θ

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0.5
0.5
0.5
0.5
0.5
1
1
1
1
1

Sebaran
norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(1)
norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(1)
norm(0,1)
lnorm(0,1)
f(1,2)
unif(0,2)
exp(1)

Kuasa Uji
W
DS XKB
0.04 0.05 0.05
0.05 0.05 0.04
0.04 0.04 0.02
0.06 0.06 0.06
0.05 0.05 0.04
0.10 0.06 0.11
0.10 0.04 0.09
0.11 0.06 0.08
0.11 0.06 0.12
0.10 0.05 0.09
0.15 0.05 0.16
0.14 0.05 0.15
0.13 0.05 0.09
0.13 0.05 0.14
0.16 0.05 0.18
'

#

$#

Gambar 3 memperlihatkan bahwa sebaran
data IPK pada tiap kelas berbeda. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh kelas terhadap
IPK mahasiswa. Pengaruh kelas tersebut bisa
disebabkan beberapa faktor seperti perbedaan
dosen yang mengajar, perbedaan teman
sekelas, dan beberapa faktor lainnya.
Boxplot pada Gambar 3 menunjukkan
bahwa kelas yang memiliki rata rata IPK
terbesar adalah kelas B01 dengan rata rata IPK
3.135. Sebaliknya, kelas yang memiliki rata
rata IPK terkecil adalah kelas B09 dengan
rata rata IPK 2.6548.

Gambar 3 Boxplot IPK Mahasiswa TPB IPB Angkatan 43 per Kelas.

8

Gambar 4 memperlihatkan bahwa proporsi
mahasiswa laki laki dan perempuan tidak
merata, dimana banyak kelas didominasi oleh
mahasiswa perempuan. Walaupun demikian
ada pula kelas yang didominasi mahasiswa
laki laki, seperti kelas A3, A12, dan B28.
Karena ada banyak kelas yang didominasi
grup
tertentu
maka
kita
sebaiknya
menggunakan uji Datta Satten.
Tabel 6 memperlihatkan bahwa jumlah
perempuan pada Mahasiswa TPB IPB
Angkatan 43 lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah laki laki. Ukuran pemusatan
(diwakili oleh mean dan median) mahasiswa
perempuan lebih besar dibandingkan laki laki.
Sebaliknya, ukuran keragaman (diwakili oleh
ragam) mahasiswa perempuan lebih kecil

dibandingkan laki laki. Nilai statistika
deskriptif lainnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6

Tabel Ringkasan IPK Mahasiswa
TPB IPB Angkatan 43.
IPK

Statistik

Laki
laki
1169
2.766
2.390
2.810
3.170
0.326
0.530
4.000

Banyak data
Mean
Kuartil 1
Median
Kuartil 3
Ragam
Terendah
Tertinggi

Perempuan

Total

1590
2.905
2.610
2.920
3.250
0.259
0.440
4.000

2759
2.846
2.500
2.890
3.220
0.292
0.440
4.000

60
50
40
30
20
10

A01
A03
A05
A07
A09
A11
A13
A15
A17
A19
A21
A23
A25
A27
B01
B03
B05
B07
B09
B11
B13
B15
B17
B19
B21
B23
B25
B27

0

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

Gambar 4 Histogram Jumlah Mahasiswa Laki Laki dan Perempuan disetiap Kelas.
##

)

&

Syntax R yang digunakan dalam uji Datta
Satten dua arah pada data TPB IPB angkatan
43 dapat dilihat pada Lampiran 7. Keluaran
perangkat lunak R 2.91 dengan menggunakan
syntax tersebut ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 7 Output Uji Datta Satten pada Data
IPK TPB IPB Angkatan 43.
Statistik
Nilai
S

10.94730

? >

11.88311

mAB >

0.03709851

Z.stat

4.858559

p)value

#{#} ~ • E #37€

Nilai statistik Z yang dihasilkan dalam uji
Datta Satten sebesar 4.858559 dan p)value
sebesar #{#} ~ • E #37€ . P)value yang
sangat kecil ini menandakan adanya
perbedaan IPK TPB antara laki laki dan
perempuan pada mahasiswa IPB angkatan 43.
Dengan menggunakan uji Datta Satten satu
arah diketahui bahwa IPK mahasiswa
perempuan lebih tinggi dibandingkan IPK
laki laki.
)

,
)

Uji Datta Satten lebih kekar dibandingkan
kedua uji lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
nilai kuasa uji ketika data dalam suatu
gerombol memiliki grup yang relatif sama
(keragamannya rendah) dan k 3.

9

Analisis
dengan
data
sekunder
menghasilkan p)value sebesar #{#} ~ • E
#37€ . Hal ini berarti pada taraf nyata 5% kita
dapat menyatakan bahwa nilai IPK TPB
mahasiswa perempuan berbeda dengan nilai
IPK TPB mahasiswa laki laki. Dengan
menggunakan uji Datta Satten satu arah
diketahui bahwa IPK mahasiswa perempuan
lebih tinggi dibandingkan IPK laki laki.
,
Simulasi yang dilakukan masih memiliki
beberapa kekurangan. Kekurangan tersebut
yaitu simulasi belum melihat pengaruh jumlah
contoh yang diambil dari populasi dan
terbatasnya
sebaran
yang
digunakan.
Keterbatasan tersebut perlu dikembangkan
agar diperoleh hasil yang lebih baik.
Seringkali dalam kenyataan kita temui
data yang memiliki lebih dari tiga grup dalam
suatu populasi. Oleh karena itu sebaiknya
dilakukan penelitian lanjutan yang membahas
uji Datta Satten untuk grup sebanyak m.

-

,

Daniel, W. W. 1990. Applied Nonparametic
Statistics. Boston: PWS KENT.
Datta, S., & Satten, G. A. 2005. Rank)Sum
Test for Clustered Data. JASA , 908.
Kendall, M., & Stuart, A. 1973. The Advanced
Theory of Statistics. New York: Hafner
Publishing Company.
Walpole. 1988. Pengantar Statistika. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Wolfe, H. 1973. Nonparametric Statistical
Methods. Canada: John Wiley & Sons,
Inc.
Xiong, M. M., Krushkal, J., & Boerwinkle, E.
1998. TDT statistics for mapping
quantitative trait loci. Annals of Human
Genetics , 431 452.

LAMPIRAN

11

$

.

/

&

!

##### menghitung F.hat {1/2(F(X_ik )+F(X_ik ))}
n< length(X)
F.hat< numeric(n)
for (i in 1:n){
F.hat[i]< (sum(X