PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS DI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN MESUJI

(1)

ABSTRAK

PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS DI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN MESUJI

Oleh

FITDIA NIZILIL ASKI

Pemerintah sebagai penyelenggara negara merupakan elemen utama dalam pelaksanaan dan pengawasan dalam hal pengangkatan tenaga honorer. Seperti di Kabupaten Mesuji, berdasarkan data seleksi berkas BKD tahun 2014 jumlah honorer yang lolos berkas pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sejumlah 300 guru honorer. Pengangkatan tenaga honorer K2 menjadi CPNS tersebut didasarkan pada hasil listing Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tahun 2010 terhadap tenaga honorer yang belum masuk dalam database BKN pada tahun-tahun sebelumnya. Tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2012, yang merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penerapan prinsip good governance dalam pengangkatan tenaga honorer kategori II menjadi CPNS di Kabupaten Mesuji, dan fokus pada prinsip transparansi. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai Penerapan Prinsip Good Governance dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS di


(2)

deskriptif-kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip good governance dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS telah terlaksana dengan baik namun belum maksimal. BKD telah melaksanakan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan prosedur berdasarkan PP No. 48 tahun 2005 jo. PP No.43 tahun 2007. Hal ini ditunjukkan dengan adanya data tenaga honorer yang terdata sesuai dengan persyaratan/prosedur yakni kesesuaian usia, masa kerja dan sumber pembiayaan. Namun, masih ada tenaga honorer yang mengaku bahwa BKD tidak menyebarkan informasi secara transparan karena tidak begitu jelas dalam meyebarkan informasi

penerimaan CPNS.


(3)

ABSTRACT

THE PRINCIPLE OF TRANSPARENCY IN THE APPOINTMENT OF HONORARY WORKERS BEING EMPLOYESS AT DISTRICT EMPLOYMENT AGENCY

MESUJI

By

FITDIA NIZILIL ASKI

Government as state administrators is a key element in the implementation and supervision in terms of the appointment of temporary employees. As in Mesuji district, based on the data file selection of BKD in 2014 the number of files escaped honorary appointment of candidates for Civil Servants (CPNS) of 300 part time teachers. Appointment of honorary staff became civil servant K2 is based on the results listing the State Civil Service Agency (BKN) in 2010 against the honorarium that is not entered in the database BKN in previous years. About Government Regulation (PP) No. 56 of 2012, which is the second amendment to the Regulation No. 48 of 2005 on Appointment of Honorary Workers become candidates for Civil Servants.

This study aims to gain an overview of the application of the principles of good governance in the appointment of honorary staff category II became employess in Mesuji district, and focus on the principle of transparency. This type of research is descriptive type is intended to provide a clear picture of the Principles of Good Governance in the appointment of honorary


(4)

descriptive data analysis techniques-qualitative.

The results showed that the application of the principles of good governance in the appointment of honorary staff became civil servant has been performing well but is not maximized. BKD has executed the appointment of temporary employees in accordance with the procedure under PP 48 of 2005 jo. PP 43 of 2007. This is indicated by the data

honorarium recorded in accordance with the requirements / procedures that conformity age, period of employment and sources of financing. However, there are temporary employees who claim that BKD did not disseminate the information in a transparent manner because it is not so clear in transmit information

acceptance CPNS.


(5)

PRINSIP TRANSPARANSI

DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS DI BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT DAERAH

KABUPATEN MESUJI

Oleh

FITDIA NIZILIL ASKI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Fitdia Nizilil Aski dilahirkan di Mesuji pada tanggal 25 Maret 1992, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak A. Sekarmansyah dan Ibu Kusiriani.

Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1997 di TK Dharma Wanita Mesuji, kemudian pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri 1 Tanjung Raya, pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Mesuji yang diselesaikan pada tahun 2007, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Tanjung Raya di kelas IPS yang diselesaikan pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima melalui jalur Mandiri pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung dan selesai pada tahun 2015.


(10)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT, sebagai rasa syukur atas ridho serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kupersembahkan skripsi ini kepada:

Untuk Kedua orangtuaku, Ibu Kusiriani dan Bapak A. Sekarmansyah, terima kasih atas doa, kesabaran, motivasi, bimbingan dan saran yang selama ini tak

henti diberikan.

Kedua mbak perempuanku, Marisa Ankustiara danRechillia Rizkika, terima kasih atas doa, motivasi dan keceriaannya.

Dosen-dosen serta sahabat-sahabat terbaik yang turut memberikan saran, motivasi, juga doa yang menambahkan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Juga almamater tercinta. Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung.


(11)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “PRINSIP TRANSPARANSI DALAM PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CPNS DI BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT DAERAH KABUPATEN MESUJI”. Sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak terbantu dan didukung oleh beberapa pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan sekaligus Pembimbing utama, terima kasih atas semangat, arahan, bimbingan, solusi, dan waktu selama ini yang sangat membantu, serta atas kesabaran yang diberikan Bapak selama peneliti menjalani proses bimbingan.


(12)

terima kasih atas semangat, arahan, bimbingan, solusi, dan waktu selama ini yang sangat membantu, serta atas kesabaran yang diberikan Bapak selama peneliti menjalani proses bimbingan.

4. Bapak Drs. Sigit Krisbintoro, M.IP. selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Pemerintahan.

5. Ibu Dr. Ari Darmastuti, M.A. selaku pembimbing akademik, yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi di bidang akademik sejak awal perkuliahan sampai peneliti menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Jajaran Dosen Pengajar, Ibu Tabah, Ibu Dwi, Ibu Feni, Pak Maulana, Pak Pitojo, Pak Ismono, Pak Piping, Pak Syafar, Pak Syarief, Pak Suwondo, Pak Arizka, Pak Himawan, dan Pak Budi Kurniawan, serta dosen-dosen lain, terimakasih atas wawasan ilmu yang diberikan, mohon maaf apabila banyak hal yang kurang berkenan.

7. Seluruh staf Jurusan Ilmu Pemerintahan, Ibu Rianti, Pakde Jum, kyai Napoleon beserta rekan satpam serta Staf FISIP Universitas Lampung yang tak dapat ditulis satu per satu, terima kasih telah banyak membantu Peneliti selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

8. Seluruh Pegawai Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kabupaten Mesuji terimakasih untuk bantuan dan dukungannya, yang telah memberikan informasi dan data sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Ayahanda A. Sekarmansyah dan Ibunda Kusiriani yang dengan sabarnya telah mendidik penulis, yang dengan keikhlasannya selalu mendoakan, yang dengan segala kemampuannya selalu mengupayakan membantu penulis hingga menjadi seperti sekarang;


(13)

10. Kakakku Marisa Ankustiara dan Rechillia Rizkika dan Keluarga Besar yang selalu memotivasi penulis sampai sekarang;

11. Belinda Appriananti Beauty, adek yang selalu mendukung dan selalu siap mendengarkan keluh kesah penulis

13. Pinsensius Rinaldo Sinaga, Randy Mase Bustami, Satria Dharma, Annisa Alifa Rahmadhani, Ani Yuliani, Pratiwi Wulandari, Genta Rizkyansah, Siti Aisah, Netty Ariani Admar, Evi Suryani, Febby Puspitasari, Merrari Defri P, Indra Rinaldi S, Yuyun Diah Anggraini, Yuanita, Zakiyah Handayani sebagai sahabat yang selalu mendukung penulis serta barisan para mantan yang menjadi motivasi penulis menuju kesuksesan. Serta Teman-teman Ilmu Pemerintahan 2011 yang tidak dapat disebutkan satu- persatu;

14. Keluarga KKN Purbolinggo, Bapak Kades beserta jajarannya, dan semua teman-teman kelompok KKN Purbolinggo;

15. Kakak tingkat Ip 2009 dan 2010 serta adik tingkat IP 2012, 2013, dan 2014.

16. Tim Ratu Sekar Corporation, Mbak Puji, Bude Nanik, Bude Tatik, dan semua yang mendukung serta mendoakan kelancaran skripsi penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu tetapi namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kiranya Allah SWT memberi balasan yang tak terhingga. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Bandar Lampung, 04 September 2015

Penulis,


(14)

iv DAFTAR TABEL

TABEL

1. Tabel Penelitian Terdahulu ... 6 2. Daftar Peserta Tes CPNSD Kabupaten Mesuji Tahun 2014 ... 95


(15)

ii DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Kegunaan Penelitian ... 8

a. Secara Teoritis ... 8

b. Secara Praktis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Good Governance ... 10

B. Perwujudan Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 21

C. Transparansi ... 29

D. Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah ... 32

E. Keefektifan Transparansi ... 35

F. Aspek-Aspek Transparansi Yang Baik ... 39

G. Manajemen Kepegawaian ... 41

H. Pegawai Negeri Sipil ... 44

1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil... 44

2. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil ... 48

3. Fungsi Pegawai Negeri Sipil ... 48

I. Konsep Tenaga Honorer ... 50

1. Tenaga Honorer... 50

2. Prioritas Pengangkatan Tenaga Honorer... 52

J. Kerangka Pikir ... 55

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 59

B. Fokus Penelitian ... 60

C. Lokasi Penelitian ... 64

D. Jenis dan Sumber Data ... 64

E. Informan Penelitian ... 65

F. Teknik Pengumpulan Data ... 65

G. Teknik Pengolahan Data ... 66


(16)

iii

Daerah Kabupaten Mesuji... 72

1. Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah ... 72

2. Sekretaris Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah... 74

3. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian ... 75

4. Sub Bagian Perencanaan ... 76

5. Sub Bagian Keuangan ... 76

6. Bidang Pengadaan, Kesejahteraan dan Mutasi Pegawai ... 77

7. Sub Bidang Pengadaan dan Kesejahteraan Pegawai ... 77

8. Sub Bidang Mutasi Pegawai ... 78

9. Bidang Pembinaan, Pemberhentian dan Informasi Pegawai ... 79

10. Sub Bidang Pemberhentian dan Pembinaan Disiplin Pegawai ... 79

11. Sub Bidang Penyajian Data, Dokumentasi dan Informasi Pegawai ... 80

12. Bidang Pengembangan dan Diklat ... 81

13. Sub Bidang Pengembangan ... 81

14. Sub Bidang Diklat Penjenjangan dan Teknis Fungsional ... 82

C. Proses Pengangkatan Tenaga Honorer Kategori II di Kabupaten Mesuji ... 83

1. Persyaratan Umum ... 83

2. Tata Cara dan Syarat Melamar ... 84

D. Penetapan Kelulusan Tes TKD Hasil Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Mesuji Formasi Tahun 2014 ... 87

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Pengangkatan Tenaga Honorer ... 91

B. Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Kategori II Menjadi CPNS di Kabupaten Mesuji ... 101

C. Sistem Keterbukaan dan Standarisasi yang Jelas dan Mudah Dipahami ... 102

D. Pemahaman Akan Peraturan/Persyaratan ... 108

E. Mekanisme Pelaporan Maupun Penyebaran Informasi Penyimpangan Tindakan Aparat ... 112

VI. PENUTUP A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119


(17)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Bagan Kerangka Pikir ... 58 2. Foto Hasil Wawancara ... 125 3. Foto-foto Berkas ... 126


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Budaya birokrasi antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki lingkungan dan kronologi yang berbeda-beda, adanya pengaruh budaya tradisional kerajaan pada tiap-tiap daerah tersebut memiliki kesamaan, yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke dalam sistem birokrasi pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya keraton ke dalam birokrasi setidaknya akan memunculkan watak birokrasi yang cenderung menempatkan dirinya merasa lebih tinggi ketimbang masyarakat kebanyakan. Pada masyarakat Jawa misalnya, orang Jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan, keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang cenderung akan mengejar simbol status yang melekat pada dirinya.

Realitasnya, simbol status tidak dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Birokrasi dipandang sebagai salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol berupa prestise sosial yang tinggi di


(19)

2

masyarakat. Banyak masyarakat di Lampung yang sampai saat ini masih beranggapan bahwa menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dapat mengangkat citra dan status sosial di masyarakat. Dalam struktur sosial masyarakat Lampung, orang yang biasanya dihargai dan dianggap memiliki status yang tinggi adalah kalangan masyarakat yang memiliki gelar bangsawan, memiliki jabatan dalam pemerintahan, dan memiliki tingkat ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu upaya untuk memenuhi nilai-nilai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri. Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol budaya politik, seperti kekuasaan, kontrol, penguasaan sumber daya, sampai dengan prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan.

Akar budaya di atas adalah beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk menjadi PNS yaitu untuk mendongkrak status ekonomi dan sosial seseorang. Banyak alasan yang dilontarkan dalam menanggapi mengapa pilihan PNS masih menjadi pilihan utama dalam bursa kerja pasca pendidikan. Salah satunya, karena dengan menjadi PNS, kepastian ekonomi pada masa mendatang tidak diragukan, dan jika pandai membangun akses kekuatan ekonomi di level struktur kelembagaannya, orang tersebut tidak sulit untuk membangun dinasti, yang kemudian diteruskan oleh anak cucu nanti. Setidaknya dalam tradisi budaya masyarakat Indonesia lainnya, jika menjadi PNS, maka hidup akan tenang, ada jaminan masa depan, dan terpandang di mata masyarakat. Dinamika PNS dalam merengkuh profesinya, tidak lepas


(20)

dari bayang-bayang akan jaminan hidup berupa gaji dan tunjangan pensiun dari pemerintah. Terlebih pada saat ini didalam dunia PNS tidak adanya perbedaan antara pegawai rajin ataupun malas. Pemecatan nyaris tidak ada dan jika harus dilakukan pemecatan, prosedurnya sangat panjang. Sementara sektor informal atau wirausaha yang mensyaratkan persaingan dan etos kerja secara mandiri tidak terlalu diminati.

Pada saat ini proses penyelenggaraan rekrutmen dan seleksi pengadaan PNS sarat akan nuansa KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), kurang transparan, dan marak akan money politic. Hal ini juga didukung oleh pernyataan pengamat birokrasi Muhammad Nur Saddiq yang mengatakan:

Menurutnya proses pengadaan PNS di sebagian besar lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinilai oleh berbagai kalangan masih kental dengan hubungan kekerabatan, ikatan emosional, jaringan kewilayahan, dan nuansa kekeluargaan. Pelaksanaan rekrutmen PNS yang terjadi selama ini dipersepsikan masyarakat sangat tidak profesional. Hanya orang-orang yang memiliki hubungan dan koneksi dengan “orang dalam” atau panitia saja yang akan lulus menjadi PNS dengan imbalan materi berupa uang tertentu sebagai kompensasi. (Sindo News.com: 15 September 2014, pukul 09.00 WIB)

Sudah menjadi rahasia umum bahwa ingin masuk menjadi PNS harus memiliki uang puluhan juta sampai ratusan juta untuk menyuap orang dalam (panitia). Sepandai apapun seseorang, sebanyak apapun prestasi yang diraih seseorang, dan segudang keahlian atau keterampilan yang dimiliki oleh seseorang, tanpa adanya jaringan, koneksi, dan materi, maka niscaya seseorang tersebut akan sangat sulit untuk lulus menjadi PNS.

Hal ini selaras dengan kutipan dari koran Kompas pada edisi bulan September tahun 2010 menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering terjadi dalam perekrutan CPNS diberbagai instansi pemerintah


(21)

4

antara lain: munculnya peserta fiktif dan susulan, peserta tidak mengikuti ujian tapi dinyatakan lulus, pengumuman CPNS sebanyak dua kali, hasil rangking tidak diumumkan pada publik, pembatalan pegumuman yang terlanjur diumumkandan diganti dengan pengumuman baru, formasi terisi dengan kualifikasi pendidikan yang tidak tepat, penempatan tenaga honorer yang tidak pernah mengabdi tapi dinyatakan lulus, perubahan formasi tidak diumumkan, pengumuman ditandatangani Wakil Bupati yang seharusnya dilakukan oleh Bupati, peserta dengan rangking tertinggi tapi tidak lulus, penentuan kelulusan tenaga honorer tidak ditentukan oleh masa kerja, dan banyaknya SK (Surat Keputusan) siluman untuk tenaga honorer. (Kompas: 22 September 2010, pukul 14.00 WIB)

Seiring perkembangan sains dan teknologi, sebagian besar pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, dalam proses penerimaan PNS agar transparan, sebagai wujud nyata dari aplikasi e-government. Dengan penggunaan aplikasi e-government adanya publikasi mengenai hasil ujian dan diberikan kepada peserta yang bersangkutan. Namun dalam praktiknya, ada sinyalemen bahwa sistem tersebut masih bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga sulit untuk diakses publik. Hal ini menegaskan bahwa sebaik apapun sistem yang dibuat, apabila orang atau subyeknya tidak profesional, maka sistem tersebut sulit dapat berjalan dengan baik. Inilah yang kemudian memunculkan adagium “the man behind the gun”. Namun dalam praktiknya permasalahan seleksi CPNS seolah tak pernah usai padahal berbagai perbaikan dan upaya telah dilakukan dalam penyelenggaraan rekrutmen PNS. Namun pada kenyataannya pelaksanaan CPNS dari tahun ke tahun tetap saja tidak memuaskan berbagai pihak.

Kabupaten Mesuji dan instansi terkait dalam melakukan rekrutmen CPNS harus sesuai dengan mekanisme yang termuat dalam peraturan pemerintah,


(22)

yaitu diaturnya sejumlah persyaratan, kriteria, sistem, dan prosedur (mekanisme) pelaksanaan rekrutmen CPNS yang menjadi pedoman atau petunjuk teknis pelaksanaan bagi instansi terkait khususnya Badan Kepegawaian Daerah (BKD), baik itu untuk tenaga honorer Kategori I maupun Kategori II. Tenaga honorer Kategori I merupakan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sedangkan tenaga honorer Kategori II merupakan tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN/APBD.

Realitas yang terjadi selama ini berdasarkan hasil pengamatan terhadap proses pelaksanaan rekrutmen honorer menjadi CPNS di Pemerintahan Kabupaten Mesuji belum optimal dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan hasil kutipan koran Kompas.com pada September tahun 2014, terdapat beberapa hal yang seharusnya ditransparansikan dan dilaksanakan secara akuntabel sebagaimana tuntunan peraturan pemerintah, namun justru cenderung disalah artikan dan tidak dilaksanakan secara konsisten dan bertanggungjawab. Di samping itu, beberapa persyaratan seperti usia CPNS honorer dan masa pengabdian dipolitisir oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Permasalahan dasar mengenai ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan tenaga honorer dengan unit kerja mereka, serta maraknya praktik money politic yang bertujuan untuk meloloskan berkas pegawai di tingkat daerah maupun pusat. (Kompas.com: 12 September 2014, pukul 10.00 WIB)

Di Kabupaten Mesuji, berdasarkan data seleksi berkas BKD tahun 2014 jumlah honorer yang lolos berkas pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sejumlah 300 guru honorer. Pengangkatan tenaga honorer K2 menjadi CPNS tersebut didasarkan pada hasil listing Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tahun 2010 terhadap tenaga honorer yang belum masuk


(23)

6

dalam database BKN pada tahun-tahun sebelumnya. Tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2012, yang merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, sekitar 300 tenaga honorer Kategori I yang diloloskan oleh Badan Kepegawaian Daerah untuk diusulkan ke pemerintah pusat, sebanyak 52 dinyatakan tidak lulus uji berkas.

Menurut sumber yang tidak bisa disebutkan namanya, menyatakan bahwa tidak adanya hasil ujian tes CPNS yang dipublikasikan oleh panitia kepada para peserta tes CPNS. Sehingga mereka tidak dapat mengevaluasi dimana letak kekurangan hasil tes yang mereka lakukan dan tidak mengetahui alasan yang mendasari atas ketidaklulusan peserta tersebut. Hasil wawancara pada 13 Maret 2015.

Berikut adalah hasil penelitian terdahulu yang bertujuan guna meningkatkan analisis kita terhadap pengangkatan tenaga honorer yang terjadi disetiap kabupaten di Indonesia.

Tabel : Penelitian terdahulu terkait penggunaan prinsip transparansi dalam pengangkatan tenaga hosnorer.

No Nama Judul Fokus Penelitian

1 Ruri Retno N Analisis Prinsip Good Governance Dalam Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Melalui Pengangkatan Honorer Kategori II Tahun 2013

1. Prinsip Good governance dalam Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) melalui Pengangkatan Honorer K2 Pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Tahun 2013 pada tahap: a. Rekrutmen (Recruitment). b. Seleksi (Selection). c. Penempatan (Placement).


(24)

2. Kendala yang dihadapi dalam .

No Nama Judul Fokus Penelitian

2 Rika Rusmayanti Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Di Badan Kepegawaian Pendidikan Dan Pelatihan Daerah Kabupaten Bone Tahun 2013

Tahapan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Perencanaan

Penetapan nama yang akan diangkat Seleksi administrasi

Penetapan NIP

Pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS

3 Hidayyatulah Penerapan Prinsip Good Governance Terhadap Fungsi Dan Tugas Badan Kepegawaian Daerah Pada Proses

Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Cpns Di Kabupaten Barru Tahun 2013

Fokus pada prinsip transparansi dan akuntabilitas dengan melakukan studi pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Barru dan beberapa tenaga honorer yang terlibat dalam

pengangkatan honorer Kategori I ini.

Sumber: www.scrib.com akses tanggal 25 Juni 2015 pukul 10.00 WIB

Berdasarkan penelitian terdahulu yang penulis sajikan di atas, selanjutnya penulis ingin melakukan penelitian terkait penggunaan prinsip transparansi


(25)

8

dalam hal pengangkatan tenaga honorer di Kabupaten mesuji yang berfokus pada prinsip-prinsip transparansi.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang terkhusus pada tenaga honorer Kategori II (KII) di Kabupaten Mesuji dengan judul, ”Prinsip Transparansi dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS di Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kabupaten Mesuji”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut yaitu:

Bagaimana Prinsip Transparansi dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS di Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kabupaten Mesuji?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Prinsip Transparansi dalam Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS di Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kabupaten Mesuji.

D. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis


(26)

dan pengembangan ilmu pemerintahan, khususnya pengadaan birokrasi.

b. Secara Praktis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan dan aplikasi aktivitas birokrasi dalam proses rekrutmen pegawai.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Good Governance

Menyimak realita yang terdapat pada latar belakang permasalahan penelitian ini jelas sekali pangkal persoalan dalam pengadaan PNS sehingga perlu diawasi secara ketat oleh masyarakat. Oleh kerena itu keberadaan kontrol dari masyarakat dalam rekrutmen PNS berupa dibukanya ruang partisipasi publik dalam peraturan perundang-undangan kepegawaian dirasakan urgensinya.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana bentuk partisipasi publik dalam proses penerimaan CPNS dan langkah apa yang perlu diupayakan agar partisipasi publik tidak sekedar menjadi slogan tetapi bisa diwujudkan sebagai upaya mengurangi praktik KKN dalam rekrutmen, oleh karenanya negara akan mendapatkan PNS berkualitas melalui suatu proses transparan yang dimulai dari adanya pengumuman dibukanya lowongan, tahap pengajuan aplikasi, tes seleksi sampai dengan pengumuman hasil seleksi.

Saat ini banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan pelayanan yang baik dan mengelola urusan-urusan publik dengan baik dan benar. Namun banyak pada saat ini para petinggi daerah yang tidak mengerti mengenai bagaimana cara penerapan pemerintahan yang


(28)

baik dan dapat meningkatkan pelayanan secara maksimal dengan cara menggunakan prinsip-prinsip dari good governance. Pada dasarnya penerapan konsep good governance yang baik akan menimbulkan pemerintahan yang baik, namun ketika good governance tersebut tidak dijalankan dengan baik maka pemerintahan tersebut akan membawa dampak yang buruk bagi kinerja pegawai dan banyak sekali terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Menurut Sedarmayanti memberikan definisi governance sebagai “the authorittative direction and administration of the affairs of men/women in a nation, state, city, etc”. Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) dalam Sedarmayanti mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation affair at all levels”. Kemudian dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administrasi dalam pengelolaan negara. (Sedarmayanti, 2012)

Rencana strategis Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2003-2004 dalam buku Sedarmayanti menyebutkan bahwa proses pengelolaan pemerintahan yang demokratis, profesional menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak asasi manusia desentralistik, partisipatif, transparan, keadilan, bersih, dan akuntabel, selain berdaya guna, berhasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa. (Sedarmayanti, 2012)


(29)

12

United Nation Development Program (UNDP) dalam Sedarmayanti sebagaimanan yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut :

1. Partisipasi (Participation): setiap warga masyarakat memiliki suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentinganya. Partisipasi ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Aturan hukum (Rule of law): Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang status seseorang, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparansi (Transparency): Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga, dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Daya tangkap (Responsiveness): Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders” .

5.Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6.Berkeadilan (Equity): Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan , memiliki kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.


(30)

7. Efektivitas dan Efisien (Effectiveness and Eficiency): Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan keputusan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. 8. Akuntabilitas (Accountability): Para pembuat keputusan dalam

pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

9. Visi Strategi (Strategy Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. (Sedarmayanti, 2012)

Sedangkan Ghambir Bhatta sebagaimana dikutip Sedarmayanti mengungkapkan unsure-unsur utama governance (bukan prinsip) yaitu: akuntabilitas (accountability),transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan kompetensi managemen (managemen competence) dan hak -hak asasi manusia (human right). Tidak jauh berbeda, Ganie Rahman, menyebutkan ada empat unsur

utama yaitu accountability, adanya kerangka hukum (rule of law), informasi dan transparansi . (Sedarmayanti, 2012)

Sebuah pendekatan terbalik dilakukan oleh Kenneth Thomson, sebagaimana dikutip oleh Agus Dwiyanto, daripada menyebutkan ciri good governance, dia lebih suka menyebutkan ciri bad governance. Kebalikan dari ciri bad governance inilah yang layak disebut sebagai good governance. Menurut Thomson ciri bad governance adalah:


(31)

14

a. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara kekayaan dan sumber milik rakyat dan milik pribadi.

b. Tidak ada aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang tidak kondusif dalam pembangunan.

c. Adanya regulasi yang berlebihan sehingga menyebabkan “ekonomi biaya tinggi”.

d. Prioritas pembangunan yang tidak konsisten.

e. Tidak ada transparansi dalam pengambilan keputusan. (Dwiyanto, 2006)

Menurut Bappenas dalam buku Arifin Tahir menyatakan bahwa konsep tentang government, good governance, dan good public governance. Secara umum menurutnya istilah government lebih dipahami sebagai “pemerintahan” yaitu lembaga beserta aparaturnya yang memiliki tanggungjawab untuk mengurus Negara dan menjalankan kehendak rakyat. Governance merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan atau kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu diimplementasikan atau tidak diimplementasikan. (Tahir, 2011)

Pada dasarnya prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dapat menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik yang baik yang melibatkan sistem birokrasi dan ekstern birokrasi. Itulah sebabnya good governance bukan semata-mata mecakup relasi pemerintahan saja, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar, pemerintah, dan masyarakat sipil. Hal ini juga disampaikan oleh Arief dalam buku Arifin Tahir menyatakan bahwa good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik


(32)

secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. (Tahir, 2011)

Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Menurut Sedarmayanti hal ini dikarenakan adanya tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi.

Sedangkan Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa tuntutan adanya good governance ini timbul karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan demokratisasi sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula. Tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan dapat diwujudkan dengan mempraktikkan good governance. (Watisino, 2000)

Good governance telah menjadi wacana baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di dunia yang tidak dapat dilepaskan dari tulisan David Osborne dan Ted Gaebler mengajukan konsep yang berisi 10 (sepuluh) prinsip reinventing government sebagai konsep kewirausahaan yang bisa dijalankan oleh lembaga publik maupun lembaga-lembaga non profit lainnya. Konsep ini pada dasarnya menggeser spektrum semangat kewirausahaan ke birokrasi. Lahirnya konsep ini bagi Osborne dan Gaebler lebih banyak didasari dari latar belakang fundamental lembaga birokrasi (public) yang


(33)

16

berseberangan dengan lembaga bisnis (privat). Bagi lembaga bisnis, pendapatan terbesar mereka diperoleh dari pelanggan (konsumen), sedangkan bagi birokrasi sebagaian besar diperoleh dari pajak. Bagi lembaga bisnis (privat) persaingan adalah segalanya sedangkan bagi birokrasi (public) lebih banyak mengandalkan monopoli. (Krina,2002)

Berdasarkan konsep-konsep yang diajukan Osborne melalui buku-bukunya tersebut, nampaknya memberikan pengaruh yang kuat dalam kehidupan global sehingga memunculkan pemikiran baru yang mengarah pada perubahan paradigma dalam pola penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dari paradigma konvensional (tradisional) menjadi paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat. Perubahan tersebut lebih dikenal dengan pergeseran paradigma dari pemerintah (government) menjadi tata pemerintahan (governance) sebagai wujud dari interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang demikian kompleks, dinamis, serta beraneka ragam.

Perubahan paradigma di atas, memunculkan gerakan baru yang dinamakan “gerakan masyarakat sipil” (civil society movement). Inti dari gerakan ini adalah bagaimana membuat masyarakat lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi sebagian besar kepentingannya sendiri. Konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat sipil adalah semakin rampingnya bangunan birokrasi, karena sebagian besar pekerjaan pemerintah dapat dijalankan


(34)

sendiri oleh masyarakat maupun dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam rangka privatisasi.

Kemudian dalam praktiknya, perubahan besar yang diharapkan terjadi dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara ternyata tidak terjadi secara signifikan. Hal ini nampaknya tidak dapat dilepaskan dari sifat dan pengertian kata “pemerintah” (government) yang memang harus memerintah. Kemudian dengan memerintah maka akan terjadi suatu hubungan yang bersifat hierarkis, artinya pemerintah yang memerintah berada di atas sedangkan warga negara (masyarakat) yang diperintah berada di bawah. Untuk mengubah posisi hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (warga negara/masyarakat), dari yang semula bersifat hierarkis (atas bawah) menjadi heteraksi (kesetaraan), maka diperlukan perubahan filosofi dan konsep berpikir, termasuk penciptaan istilah baru yang tepat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan akibat pengaruh kuat yang mengglobal dari pandangan konsep Osborne-Gaebler (1992)maupun Osborne-Plastrik (1996) tersebut, Word Bank maupun United Nation Development Program (UNDP) mengembangkan istilahbaru yaitu

“governance” sebagai pendamping kata “government”.Kata governance

kemudian diterjemahkan dalam berbagai literatur bahasa Indonesia sebagai “tata pemerintahan” dan ada pula sebagai “kepemerintahan”. Menurut World Bank , kata governance diartikan sebagai cara , yakni cara bagaimana kekuasaan Negara digunakan untuk mengelolasumberdaya– sumberdaya


(35)

18

ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. (World Bank.com, 13 September 2014 )

Ganie-Rochman sebagaimana dikuti Joko Widodo menyebutkan bahwa konsep “governance” lebih inklusif daripada “government”. Konsep

“government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan

kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah) Sedangkan konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan Negara tapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan Negara, sehingga pihak – pihak yang terlibat juga sangat luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor Negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. (Widodo, 2001)

Lembaga Admnistrasi Negara (LAN) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam menyediakan public good dan service. Lebih lanjut LAN menegaskan dilihat dari functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya.

Pengertian governance yang dikemukakan oleh UNDP ini didukung oleh tiga kaki yakni politik, ekonomi, dan admnistrasi. Kaki pertama yaitu tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik, baik dilakukan oleh birokrasi sendiri maupun oleh birokrasi-birokrasi bersama politisi. Kaki kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi meliputi proses-proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi didalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Sedangkan kaki ketiga yaitu


(36)

tata pemerintahan di bidang administrasi, adalah berisi implementasi proses, kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik.

Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain yaitu ;

1. Negara atau tata pemerintahan (state)

2. Sektor swasta atau dunia usaha(private sector) 3. Masyarakat(society)

Ketiga domain tersebut berada dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sektor pemerintahan lebih banyak memainkan peranan sebagai pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak berkecipung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintahan maupun swasta. Karena didalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Sebagaiman yang telah dijabarkan oleh Lembaga Adminsitrasi Negara, bahwa governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam meyediakan public goods and services. Praktik terbaiknya disebut sebagai good governancemenurutWorld Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi


(37)

20

baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal danpolitical framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Good dalam good governance menurut LAN mengandung dua pengertian. Pertama , nilai- nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial. Kedua, aspek aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.Berdasarkan pengertian ini, LAN kemudian mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada dua hal yaitu, Pertama orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional dan Kedua aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untukmencapai tujuan-tujuan tersebut. Selanjutnya berdasarkan uraian di atas LAN menyimpulkan bahwa good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab serta efisien, dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat.

Konsep mengenai good governance (kepemerintahan yang baik) dapat ditemukan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dalam penjelasan pasal 2(d)mengartikan kepemerintahan yang baik yaitu “kepemimpinan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip – prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi,


(38)

efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”. (IKAPI, 2010)

B. Perwujudan Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Kemudian dari beberapa pengertian good governancedan karakteristiknya, Joko Widodo menyimpulkan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku, dan kebijakan yang dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka kepada publik, serta membuka kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (kontrol) dan jika dalam praktiknya telah merugikan rakyat, dengan demikian harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakan tersebut.Sedang sebagai perwujudan konkrit dari implementasi good governance di daerah adalah :

a. Pemerintah daerah administrasi publik diharapkan dapat berfungsi dengan baik dan tidak memboroskan uang rakyat.

b. Pemerintah daerah dapat menjalankan fungsinya berdasarkan norma dan etika moralitas pemerintahan yang berkeadilan.

c. Aparatur pemerintah daerah mampu menghormati legitimasi konvensi konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat.

d. Pemerintah daerah memiliki daya tanggap terhadap berbagai variasi yang berkembang dalam masyarakat. (Widodo, 2001)


(39)

22

Good governance berkaitan dengan tata penyelenggaran pemerintahan yang baik. Pemerintahan sendiri dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, Bagir Manan menjelaskan bahwa di negara Belanda yang kemudian juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia, dikenal adanya prinsip – prinsip atau asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik (algemene beginselven van behoorlijkbestuur general princiles of good administration), yang berisi pedoman yang harus diperegunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan perbuatan hukum (rechtshandelingen) administrasi negara.

Asas-asas ini antara lain mencakup motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang (willekeur), kehati-hatian (zorgvuldigheid), kepastian hukum, persamaan perlakuan tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan (detournement de pouvoir, fairness) dan lain-lain.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembahasan mengenai good and clean government di Indonesia baru dimulai pada tahun-tahun terakhir ini. Tetapi sebenarnya menurut Saldi Isra, dilihat dari perkembangan peraturan perundang-undangan pembicaraan ke arah pemerintahan yang baik dan benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk membuat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, pembicaraan good and cleangovernment , paling tidak sudah dimulai sejak awal tahun 1970–an,


(40)

yaitu dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto yang berjudul Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara pada tahun 1978. Kemudian secara kelembagaan, upaya itu dapat dilihat dari adanya “Proyek Penelitian tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)” yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989. Buku dan hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doktrin penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. (Isra, 2002)

Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an, tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktik penyelenggaraan negara. Hal ini karena menurut Saldi Isra AAUPB tidak memiliki kekuatan hukum yang memaksa. Oleh karena itu pelanggarnya tidak adapat dikenakan sanksi. Keinginan menjadikan good and clear government ke dalam norma hukum baru dimulai setelah Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan jatuhnya rezim orde baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kemudian diikuti dengan diterbitkanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). (Isra, 2002)


(41)

24

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tersebut kemudian diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penyelenggara Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, Pemerintah Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriska danPeraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah.

Demikian pula berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sekaligus membawa dasar perubahan dalam hak keuangan sehingga hal tersebut membawa perubahan keseluruhan dalamaspek kesisteman di pemerintah pusat dan pemerintah daerah (baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota).

Otonomi juga hendak mengubah atau mereform warna government yang bertitik tekan pada otoritas kepada governance yang betitik tekan pada interaksi diantara pemerintah (public), masyarakat (community), dan swasta


(42)

(profit maupun sosial).Didalam kerangka pelaksaan otonomi daerah, maka haruslah disadari makna, filosofi, atau prinsip yang harus diterapkan ialah sharing of power, distribution of income, dan empowering of regional administration. Semua ini ada didalam kerangka agar mencapai the ultimate goal of autonomy ialah kemandirian daerah terutama kemandirian masyarakat.Ini berarti bagaimana daerah memiliki kewenangan bukan sekedar penyerahan urusan untuk menyelenggarakan pemerintah daerah.

Good governance sendiri terdapat tiga domain yang terlibat didalamnya yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Untuk menyelenggarakan good governance diperlukan adanya pembagian peran yang jelas dari masing-masing domain tersebut. Apabila sebelumnya sumber-sumber kewenangan berpusat pada pemerintah sebagai institusi tertinggi yang mewakili negara, maka secara bertahap telah dilakukan transfer kewenangan dan tanggung jawab kepada institusi di luar pemerintah pusat. Transfer kewenangan dan tanggung jawab ini dilakukan dalam rangka desentralisasi.

Pada era otonomi daerah ini, dengan bergesernya pusat-pusat kekuasaan dan meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan lainnya di daerah maka konsekuensi logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya good governance di daerah.

Hal ini menurut Sadu Wasistiono karena adanya konsep good governance berlaku untuk semua jenjang pemerintahan, baik Pemerintah Pusat maupun


(43)

26

Pemerintah Daerah. Konsep good governance secara eksplisit maupun implisit menurut Sadu Wasistiono sudah masuk dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah maupun Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.Didalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 antara lain:

a. Pada konsiderans butir b maupun butir c ditekankan perlunya digunakan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat serta pemerataan dan keadilan.

b. Prinsip otonomi yang digunakan adalah luas, nyata dan bertanggung jawab. c. Didalam Pasal 37 ayat (2) dikemukakan perlunya bakal calon KDH

menyampaiakan visi, misi, serta rencana-rencana kebijakanya apabila terpilih sebagai KDH.

Bagitu pula dalam Undang - Undang Nomor 25 Tahun 1999 dikemukakan prinsip – prinsip good governance, antara lain;

a. Pada konsiderans butir b dikemukakan perlunya peningkatan kinerja daerah yang berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan.

b. Didalam konsiderans butir b juga dikemukakan perlunya keikutsertaan masyarakat,keterbukaan, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. c. Didalam Pasal 27 ayat (2) dikemukakan juga bahwa informasi yang dimuat

dalam sistem informasi keuangan daerah merupakan data terbuka yang dapat diketahui masyarakat. (Wasistiono, 2001)


(44)

Sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara lebih lengkap dan jelas memuat prinsip tentang good governance. Hal ini dapat ditemukan dengan adanya Asas Penyelenggaraan Negara dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas;

a. Asas kepastian hukum

b. Asas tertib penyelenggara negara c. Asas kepentingan umum

d. Asas keterbukaan e. Asas proporsionalitas f. Asas profesionalitas g. Asas akuntabilitas h. Asas efisiensi i. Asas efektifitas.

Bila kita cermati ke sembilan Asas Umum Penyelenggaraan Negara tersebut sebagaian besar merupakan kriteria yang ada dalam good governance. Sedangkan pengertian tentang asas-asas tersebut, dalam penjelasan Pasal 20 disebutkan bahwa Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, ditambah asas efisiensi dan asas efektivitas.


(45)

28

Dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 diberikan pengertian Asas Umum Penyelenggraan Negara tersebut sebagai berikut; a. Yang dimaksud dengan Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara

hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara. b. Yang dimaksud dengan Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas

yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

c. Yang dimaksud dengan Asas Kepentingan Umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

d. Yang dimaksud dengan Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara.

e. Yang dimaksud dengan Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.

f. Yang dimaksud dengan Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Yang dimaksud dengan Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara


(46)

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Transparansi

Konsep transparansi merupakan salah satu komponen terpenting dalam menjalankan pemerintahan yang menganut asas good governance. Karena dengan adanya konsep transparansi maka keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan berdampak baik bagi daerah. Pada saat ini konsep transparansi tidak digunakan secara maksimal karena adanya kepentingan-kepentingan yang mengharuskan keterbukaan itu menjadi barang langka.

Transparansi adalah sebuah wujud pertanggungjawaban dari pemerintah untuk masyarakat agar masyarakat dapat mengertahui apa yang sedang terjadi dan tanpa adanya kebohongan. Dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS keterbukaan adalah hal yang sangat dinanti oleh semua pihak agak dalam pengangkatan tidak terjadi kecurangan dan menjadi acuan kedepan bagi masyarakat. Secara harfiah kita dapat mengartikan transparansi sebagai bagian dari sebuah keterbukaan dalam melaksanakan tugas suatu proses kegiatan. Dengan demikian pemerintah harus terbuka dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.


(47)

30

Gaffar dalam buku Arifin Tahir mengemukakan bahwa ada delapan aspek mekanisme pengelolaan anggaran negara yang harus dilakukan secara transparansi yaitu sebagai berikut: 1) penetapan posisi jabatan atau kedudukan; 2) kekayaan pejabat publik; 3) pemberian penghargaan; 4) penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan; 5) kesehatan; 6) moralitas para pejabat dan aparatur pelayan publik; 7) keamanan dan ketertiban; 8) kebijakan strategi untuk pencerahan kehidupan masyarakat. (Tahir, 2011)

Konsep transparansi menurut Organisation for Economic Coorperation and Development (OECH) dalam buku Arifin Tahir mengungkapkan bahwa As transparency is a core governance value. The regulatory activities of government constitute one of the main contexs within which transparency, which is subtantially related to the rapid increase in number and influence of non governmental organisations (NGOs) or „civil society group‟, as well as to increasingly well educated and diverse populations.(Tahir, 2011)

Menurutnya bahwa konsep transparansi adalah merupakan nilai utama dari sistem pemerintahan. Konteks utama aktivitas pemerintah harus diyakini berdasarkan pada transparansi. Terdapat kekuatan publik yang menuntut transparansi yang lebih besar. Pada hakekatnya ada kaitanya dengan percepatan dan pengaruh terhadap organisasi swasta, sebagaimana terus meningkatkan populasi masyarakat.

Agus Dwiyanto menambahkanbahwa transparansi sebagai penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan didalam memperoleh informasi-informasi yang akurat dan memadai. Dari pengertian tersebut dijelaskan bahwa transparansi tidak hanya sekedar menyediakan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut. (Dwiyanto, 2006)


(48)

Agus Dwiyanto mengungkapkan tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Pertama, mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Persyaratan, biaya, waktu, dan prosedur yang ditempuh harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah diketahui oleh yang membutuhkan, serta berusaha menjelaskan alasannya. Indikator kedua merujuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholders yang lain. Aturan dan prosedur tersebut bersifat “simple, straight forward and easy to apply” (sederhana, langsung dan mudah diterapkan) untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi. Indikator ketiga merupakan kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik. Informasi tersebut bebas didapat dan siap tersedia (freely dan readily available). (Dwiyanto, 2006)

Dengan melihat uraian di atas, prinsip transparansi pemerintahan paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut:

a. Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan mudah dipahami dari semua proses-proses penyelenggaraan pemerintahan. b. Adanya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik

tentang proses-proses dalam penyelenggaraan pemerintahan.

c. Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi penyimpangan tindakan aparat publik didalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.


(49)

32

D. Transparansi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Format dan konsep transparansi yang akan kita implementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur oleh UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Bahkan dengan diberlakukannya UURI No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka sesuai dengan prisnsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang mengharuskanpenyelenggaraan negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif mengenai penyelenggaraan Negara. (IKAPI, 2010)

Azas keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Penerapan azas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa mengambil keputusan apa beserta alasannya” .


(50)

Menurut Rumajar Jefferson, formulasi dan implementasi otonomi daerah tidak menyimpang dari makna dan the ultimate goal, akan memberikan warna good governance bagi pemerintahan di daerah. Maksudnya bahwa pemerintahan yang penuh dengan kompatibilitas antar komponen, responsif, responsible, akuntabel dan transparans terhadap keberadaan, keinginan, tantangan, dan tuntutan daerah. Dengan demikian pemerintah daerah dapat menjamin bahwa kemandirin daerah dan masyarakat akan segera dapat cepat terealisir. (Jefferson, 2006)

Menurut Krina. P transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. (Krina, 2002)

Dengan demikian transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik. Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik adalah titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi


(51)

34

yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi profesional, bukan untuk membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusan-keputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas tentang transparansi, hal ini memberikan asumsi bahwa masalah transparansi merupakan sesuatu hal yang perlu dilakukan dalam rangka mewujudkan good governance. Transparansi harus menjadi komitmen dari seluruh elemen sehingga tujuan tersebut dapat dicapai. Transparansi yang telah diperdakan di beberapa kota/kabupaten di Indonensia, merupakan komitmen bersama antara legislatif dan pemerintah kota/kabupaten dalam mewujudkan good governance itu sendiri. Oleh sebab itu, konsep transparansi menurut perda dimaksud keadaan dimana setiap orang dapat mengetahui proses pembuatan dan pengambilan keputusan di pemerintahan umum.

Hal ini dapat diartikan bahwa setiap keputusan, rekomendasi, maupun kebijakan pemerintah daerah, merupakan sebuah informasi publik, selama hal itu tidak dibingkai oleh peraturan yang melindunginya. Informasi publik itu sendiri merupakan informasi yang diberikan, dibuat dan dipelihara oleh pemerintah. Informasi tersebut merupakan milik


(52)

masyarakat yang dipercayakan kepada pemerintah untuk melaksanakannya.

Perspektif pemerintahan daerah sebagaimana diamanahkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, salah satunya dilihat dalam dimensi sejauh mana peran masyarakat dalam mengakses dan melakukan kontrol sosial terhadap segala bentuk kebijakan pemerintahan daerah. Kontrol sosial masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan daerah dimaksudkan sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi langsung maupun tidak langsung proses penyelenggaraan dan tata pemerintahan daerah yang transparan.

E. Keefektifan Transparansi

Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakat sehinggatercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil – hasil yang dicapai.Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah


(53)

36

yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat beradasarkan preferensi publik.

Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu; (1) salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat, dan (2) upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan mengurangi kesempatan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut;

(1) Publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

(2) Publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya;

(3) Publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah;

(4) Transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga;

(5) Kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak diskriminatif daripemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.


(54)

Kemudian dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal ini disamping untuk mewujudkan transparansi juga akan sangat membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat. Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggungjawab). Artinya, transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan (untuk kemudian) dapat dipantau.

Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat publik dengan terlihatnya segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat luas.


(55)

38

Implementasi di pemerintah daerah Seringkali kita terjebak dalam “paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini; seakan-akan transparansi sudah dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan menyebarluaskannya ke setiap kantor Kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar yang tidak dibaca oleh sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu berubah menjadi “paradigma pemasaran”, yaitu bagaimana masyarakat menerima informasi dan memahaminya.

Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program pembangunan selama ini membutuhkan adanya upaya-upaya khusus untuk mendorong keingintahuan mereka terhadap data atau informasi ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan (diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen masyarakat, tidak bisa hanya dengan membuka akses masyarakat terhadap informasi belaka.

Kedua, pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan substansi atau materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media yang sesuai dengan budaya lokal jauh lebih


(56)

efektif dalam mencapai sasaran daripada “media modern” seperti televisi dan surat kabar.

Ketiga, seringkali berbagai unsur nonpemerintah misalnya pers, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) lebih efektif untuk menyebarluaskan informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting.

F. Aspek-Aspek Pencapaian Transparansi Yang Baik

Konsep transparansi menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat diketahui dengan mudah oleh para pengguna dan stakeholders yang membutuhkan. Jika segala aspek proses penyelenggaraan pelayanan seperti persyaratan, biaya dan waktu yang diperlukan, cara pelayanan, serta hak dan kewajiban penyelenggara dan pengguna layanan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah diakses dan dipahami oleh publik, maka praktik penyelenggaraan pelayanan itu dapat dinilai memiliki transparansi yang tinggi.

Sebaliknya, kalau sebagian atau semua aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan itu tertutup dan informasinya sulit sangat penting bagi para pengguna. Jika rasionalitas dari semua hal itu dapat diketahui dan diterima


(57)

40

oleh para pengguna, maka kepatuhan terhadap prosedur dan aturan akan mudah diwujudkan.

Para petugas penyelenggara layanan selama ini seringkali kurang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan mereka sering tidak bersedia menjawab pertanyaan semacam itu karena mereka merasa bukan sebagai pihak yang membuat peraturan penyelenggaraan pelayanan. Mereka mungkin merasa hanya menjadi pihak yang harus menerapkan peraturan tersebut sebagaimana adanya. Mungkin mereka sendiri juga tidak memahami logika dari semua peraturan mengenai penyelenggaraan pelayanan. Apapun posisi penyelenggara pelayanan, apakah menjadi bagian dari pemegang ketika membuat prosedur dan peraturan mengenai penyelenggaraan pelayanan sering tidak memperhatikan kepentingan dan kebutuhan dari para pengguna.

Begitu pula ketika informasi mengenai prosedur, persyaratan, dan cara memperoleh pelayanan dapat diperoleh dengan mudah oleh para pengguna, maka penyelenggaraan pelayanan tersebut dapat dikatakan memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Sebaliknya, kalau pengorbanan yang diperlukan oleh para pengguna untuk memperoleh informasi penyelenggara pelayanan dan bagian dari transparansi itu sendiri.

Sehubungan dengan itu, Hariyoso dalam Saldi mengatakan bahwa ada empat bentuk implikasi transparansi yang diperlukan, antara lain: (1) semua informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik harus terbuka bagi siapa saja. Ketidakterbukaan informasi akan mendorong terjadinya penyelewengan; (2) mekanisme kontrol tidak akan terjadi jika tidak ada keterbukaan dalam memperoleh akses informasi; (3)


(58)

masyarakat harus memiliki akses untuk memperoleh semua informasi atau dokumen yang berkaitan dengan publik; dan (4) semua informasi tersebut harus dapat atau mudah dimengerti oleh masyarakat. (Saldi,2002)

G. Manajemen Kepegawaian

Manajemen kepegawaian merupakan paduan kata manajemen dan kepegawaian yang masing-masing memiliki arti dan berdiri sendiri. Manajemen adalah melaksanakan perbuatan tertentu dengan menggunakan tenaga orang lain, sedangkan kepegawaian adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan kepegawaian. John B dan Minier dalam Moekijat, manajemen kepegawaian adalah suatu proses untuk mengembangkan, menerapkan dan menilai kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur, metode-metode, dan program-program yang ada hubungannya dengan individu dan organisasi. (Moekijat, 1989)

Selanjutnya Flippo dalam buku Sri Hartini (2012:13) memberikan batasan tentang manajemen kepegawaian (personnel management) sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pembinaan, kompensasi (pemberian gaji dan upah), integrasi, pemeliharaan dan pemberhentian (pensiun). Dalam batasan ini terdapat dua fungsi pokok, yakni :

1. Fungsi manajemen, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.


(59)

42

2. Fungsi operatif kepegawaian, meliputi pengadaan, pembinaan atau pengembangan, kompensasi (pemberian gaji atau upah), perawatan atau pemeliharaan, dan pemberhentian. (Hartini, 2010)

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa manajemen kepegawaian itu memang penting dalam organisasi yang memiliki andil yang cukup penting karena menyangkut manusia yang akan menentukan arah kemajuan dan kesuksesan dalam suatu organisasi.Dalam manajemen pegawai tentu dibahas mengenai pengadaan pegawai yang biasa disebut dengan rekrutmen. Pada dasarnya rekrutmen dilakukan untuk mengisi kebutuhan organisasi akan tenaga kerja atau karyawan yaitu untuk menduduki jabatan-jabatan yang ada dalam organisasi yang masih kosong.

Henry Simamora, dalam buku koleksi digital Universitas Kristen Petra menyatakan bahwa rekrutmen (recruitment) adalah serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian.(Simamora, 1999)

Rekrutmen adalah proses mencari, menemukan, mengajak, dan menetapkan sejumlah orang dari dalam maupun dari luar perusahaan sebagai calon tenaga kerja dengan karakteristik tertentu seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan sumber daya manusia. Hasil yang didapatkan dari proses rekrutmen adalah sejumlah tenaga kerja yang akan memasuki proses seleksi,


(60)

yakni proses untuk menentukan kandidat yang paling layak untuk mengisi jabatan tertentu yang tersedia di perusahaan. Terkait dengan rekrutmen dalam Peraturan Pemerintah No.98 tahun 2000 tentang pengadaan PNS disebutkan bahwa pengadaan Pegawai Negeri Sipil dilakukan mulai dari perencanaan, pengumuman, pelamaran, penyaringan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil sampai dengan pengangkatan menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Pelaksanaan rekrutmen dan seleksi merupakan tugas yang sangat penting, krusial, dan membutuhkan tanggung jawab yang besar. Hal ini karena kualitas sumber daya manusia yang akan digunakan perusahaan sangat tergantung pada bagaimana prosedur rekrutmen dilaksanakan. Langkah-langkah dalam perekrutan pegawai dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku disetiap perusahaan, organisasi ataupun instansi. Perbedaan tercermin dari nilai-nilai apa yang menjadi panutan. Suatu perusahaan berbeda dengan yang lain dan akan mempengaruhi setiap kebijakan penerimaan atau rekrutmen pegawai baru. Kebijakan-kebijakan yang bersifat politis dari kalangan birokrat atau penguasa juga akan mempengaruhi perekrutan.


(61)

44

H. Pegawai Negeri Sipil

1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil

Pada saat ini didalam masyarakat yang selalu berkembang, manusia senantiasa memiliki kedudukan yang makin penting, meskipun negara Indonesia menuju kepada masyarakat yang berorientasi kerja, yang memandang kerja adalah sesuatu yang mulia, tidaklah berarti mengabaikan manusia yang melaksanakan kerja tersebut. Demikian juga halnya dalam suatu organisasi, unsur manusia sangat menentukan sekali karena berjalan tidaknya suatu organisasi kearah pencapaian tujuan yang ditentukan tergantung kepada kemampuan manusia untuk menggerakkan organisasi tersebut ke arah yang telah ditetapkan.

Miftah Thoha memberikan pengertian bahwa pegawai adalah orang orang yang telah memenuhi syarat tertentu diangkat dan ditempatkan atau ditugaskan dan dipekerjakan dalam jajaran organisasi formal untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan atas prestasi atau hasil kerja diberikan imbalan berupa gaji. Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam suatu organisasi, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi swasta. Dikatakan bahwa pegawai merupakan modal pokok dalam suatu organisasi karena berhasil tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung pada pegawai yang memimpin dalam melaksanakan tugas-tugas yang ada dalam organisasi tersebut. Pegawai yang telah memberikan tenaga maupun pikirannya dalam melaksanakan tugas ataupun pekerjaan, baik itu organisasi pemerintah maupun organisasi swasta akan mendapat imbalan sebagai balas jasa atas pekerjaan yang telah dikerjakan. (Thoha, 2005)


(62)

Pengertian tentang pegawai menurut pendapat ahli di atas hal ini sesuai dengan pendapat Musanef yang mengatakan bahwa pegawai adalah mereka yang secara langsung digerakkan oleh seorang manajer untuk bertindak sebagai pelaksana yang akan menyelenggarakan pekerjaan sehingga menghasilkan karya-karya yang diharapkan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan.

Kranenburg dalam Sri Hartani, memberikan pengertian dari pegawai negeri, yaitu pejabat yang ditunjuk. Jadi, pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden, dan sebagainya. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pegawai sebagai tenaga kerja atau yang menyelenggarakan pekerjaan perlu digerakkan sehingga mereka mampu bekerja secara efektif. (Hartani, 2010)

Kemudian dari beberapa defenisi pegawai yang telah dikemukakan para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah pegawai mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Menjadi anggota suatu usaha kerja sama (organisasi) dengan maksud memperoleh balas jasa atau imbalan kompensasi atas jasa yang telah diberikan.

2. Pegawai didalam sistem kerja sama yang sifatnya pamrih.

3. Berkedudukan sebagai penerima kerja dan berhadapan dengan pemberi kerja (majikan).

4. Kedudukan sebagai penerima kerja itu diperoleh setelah melakukan proses penerimaan. Akan mendapatnya saat pemberhentian (pemutusan hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja).


(1)

dikenakan biaya apapun kepada tenaga honorer ke pihak BKD karena segala pembiayaan pelaksanaan pengangkatan telah dibebankan pada APBN/ABPD.

Penulis menilai bahwa BKD telah mengumumkan informasi kelulusan tenaga honorer K2 secara transparan dengan menerbitkan di surat kabar, website dan pengumuman di kantor bupati. Namun, BKD tidak begitu terbuka dalam hal memberikan data-data tenaga honorer.

Ditinjau dari segi mekanisme pengaduan, BKD telah memberikan kesempatan kepada tenaga honorer yang tidak lulus mengajukan keberatan. Dan dari beberapa bentuk keberatan honorer tersebut tidak ada yang melakukan protes akan penyimpangan tindakan ataupun adanya pemalsuan berkas, mereka hanya mempertanyakan alasan ketidaklulusan mereka menjadi CPNS.

Dari segi kesesuaian hukum, BKD telah melaksanakan pendataan sesuai dengan PP No. 43 tahun 2007. Tenaga honorer yang terdata sebagai tenaga honorer K1 telah terdata sesuai dengan usia yakni minimal 19 tahun dan maksimal 46 tahun, surat keputusan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, masa kerja di atas dari satu tahun mulai tahun 2008 sampai pada tahun pengangkatan dan sumber pembiayaan yang berasal dari APBD.


(2)

119

Mengenai mekanisme tindak lanjut pengaduan, BKD telah menindaklanjuti pengaduan honorer yang tidak lulus dengan memfasilitasi mereka menyampaikan keberatan ke BKN. BKD hanya mampu menindaklanjuti hanya pada tahap itu karena semua keputusan kelulusan ditentukan oleh BKN.

B. Saran

1. Dalam penyebaran informasi pengadaan PNS, BKD diharapkan lebih maksimal dalam menyebarkan informasi agar seluruh masyarakat mengetahui bentuk penyelenggaraan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, BKD diharapkan mampu memberikan informasi dan proses penyelenggaraan secara terbuka agar masyarakat tidak lagi beranggapan bahwa selalu ada kecurangan dalam kegiatan pemerintah terutama dalam hal pengangkatan tenaga honorer di Kabupaten lain yang ada di Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Dwiyanto, Agus. 2006. “Transparansi Pelayanan Publik”, dalam Agus Dwiyanto,ed .2006. Mewujudkan Good Governance Melalui

Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Handoko, T. Hani, 2012. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE: Yogyakarta

Hartani, sri, dkk, 2008. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

IKAPI, 2010. Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian Pegawai Negeri

Sipil. Fokus Media: Bandung

Jefferson, Rumajar, 2006. Otonomi Daerah : Sketsa, Gagasan Dan

Pengalaman. Media Pustaka : Manado.

Kaloh, J, 2010. Kepemimpinan Kepala Daerah Pola Kegiatan dan Prilaku

Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Sinar Grafika:

Jakarta


(4)

121

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Motik, Suryani Sidik. 2003. “Transparansi & Akuntabilitas dan Minat Berinvestasi”. Sinar Garfika: Jakarta

Ndraha, Taliziduhu. 2011. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru). Rineka Cipta: Jakarta

Pasolong, Harbani, 2011. Teori Administrasi Publik. Alfabeta, Bandung. Santosa, Pandji, 2012. Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good

Governance. Reflika Aditama: Bandung

Sedarmayanti, 2012. Good Governance Kepemerintahan Yang Baik Bagian 2. Mandar Maju: Bandung

Simamora, Henry, 1999. Manajemen sumber Daya Manusia edisi Ke Dua

Cetakan Ke dua. STIE YKPN: Yogyakarta.

Tahir, Arifin, 2011. Kebijakan Publik dan Transparansi Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah. Pustaka Indonesia Press: Jakarta

Thoha, Miftah, 2005. Administrasi Kepegawaian Daerah. Galia Indonesia: Jakarta.

Wasistiono, Sadu, 2001. Esensi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah. Jatinangor : Bunga Rampai

Widodo, Joko, 2001. Good Governance (Telaah dan Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi


(5)

B. Dokumentasi

- Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian - Peraturan Pemerintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai - PP No 48/2005 jo PP 43/2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer

Menjadi CPNS

- Pemerintah Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 joPeraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS

C. Media

http://sibigao.wordpress.com/2008/12/22/rekrutmen-sumber-daya-manusia-sdm-pada-multi-national-corporation-mnc%E2%80%99s/ : diakses tanggal8 September 2014, 10.00 WIB

http://psychosystem.wordpress.com/2011/02/09/recruitment/: diakses tanggal 14 September 2014, 08.00 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_negeri : diakses tanggal 8 September 2014, 09.00 WIB

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:zpShpe9m4NgJ:elib. unikom.ac.id/download.php?id%3D7080+teori+tentang+Pegawai+Ne geri+Sipil&hl=id&gl=id: diakses tanggal 10 September 2014, 12.30 WIB

http://carceres-carceres.blogspot.com/2012/06/faktor-faktor-mempengaruhi-rekruitmen-pegawai/ diakses tanggal 10September 2014, 16.00WIB


(6)

123

http://liveinternet.blogspot.com. Diakses tanggal 21 oktober 2014, 20.00 WIB http://radar mesuji.com. Diakses tanggal 8 Januari 2015, 09.00 WIB

http://mesujikab.go.id. Diakses tanggal 8 Januari 2015, 10.00 WIB http://translampung.com. Diakses tanggal 8 Januari 2015, jam 11.00 WIB http://kabupaten mesujimerintis.blogspot.com. Diakses tanggal 8 Januari

2015, 13.00 WIB

D. Jurnal

Ade , 2014. Makalah Ekonomi Syariah. Makalah ekonomi syariah

Lalolo Krina P, 2002 “indikator dan alat ukur akuntabilitas, transparasi dan partisipasi” Http// good governance : Bappenas.go.id./informasi.Htm, Sekretaris Good Public Governance. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Isra, Saldi. 2002. Konstitusi Baru: Salah Satu Upaya Menyelamatkan Indonesia Dari Keterpurukan.Jawa Barat: Kompas.

Wijaya, Titis, Wiwik, 2011. Korelasi Persepsi Masyarakat Sipil dan Penggunaan Atribut Misliter Di Kota Bandar Lampung. Skripsi