RELASI DALAM WACANA KUMPULAN CERPEN DI ATAS SAJADAH CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

(1)

RELASI DALAM WACANA

KUMPULAN CERPEN DI ATAS SAJADAH CINTA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh

WINDU BUDIARTA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Pendidikan Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ii ABSTRAK

RELASI DALAM WACANA

KUMPULAN CERPEN DI ATAS SAJADAH CINTA

KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh Windu Budiarta

Relasi dalam wacana memiliki peran cukup penting dalam kegiatan menulis cerpen karena merupakan salah satu penanda yang dapat menentukan tingkat keterbacaan dan kepaduan wacana cerpen yang ditulis seseorang. Oleh karena itu, bagaimana relasi dalam wacana kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy merupakan masalah dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan relasi dalam wacana kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan implikasinya terhadap pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.

Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini berupa cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy berjumlah 268 halaman. Data penelitian ini berupa cuplikan teks monolog dan dialog yang terdapat relasi dalam wacana.

Berdasarkan hasil analisis data, relasi dalam wacana penelitian ini dibatasi menjadi relasi referensi dan relasi leksikal. Relasi referensi terbagi atas referensi pronomina, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Relasi referensi yang ditemukan ada yang berbentuk endofora (anafora dan katafora) dan eksopora. Sementara itu, relasi leksikal yang ditemukan berupa reinterasi (repitisi, sinonim, dan hiponim) dan kolokasi (antonim ekslusif dan antonim inklusif). Semua jenis relasi ini, ditemukan pada cuplikan teks baik yang berbentuk monolog maupun dialog yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini.


(3)

iii

Penelitian ini berimplikasi dalam pembelajaran bahasa dan sastra di SMA, dengan mempelajari relasi dalam wacana, siswa mampu menulis atau berbicara dengan menggunakan bahasa yang komunikatif dan pilihan kata yang tepat sehingga wacana yang dihasilkan menjadi padu/utuh serta mudah dimengerti oleh kawan bicaranya (siswa lain). Standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan penggunaan relasi dalam wacana terdapat pada silabus SMA dalam aspek berbicara dan menulis.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTO ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI... 8

2.1 Batasan Wacana ... 8

2.2 Relasi Wacana ... 11

2.2.1 Relasi Referensi ... 11

2.2.1.1 Referensi Pronomina ... 13

2.2.1.2 Referensi Demonstratif ... 18

2.2.1.3 Referensi Klausal ... 19

2.2.2 Relasi Substitusi ... 19

2.2.3 Relasi Elipsi ... 21

2.2.4 Relasi Konjungsi ... 23

2.2.4.1 Konjungsi Koordinatif ... 24

2.2.4.2 Konjungsi Korelatif ... 24

2.2.4.3 Konjungsi Subordinatif ... 24

2.2.4.4 Konjungsi Antarkalimat ... 25

2.2.4.5 Konjungsi Antarparagraf ... 26

2.2.5 Relasi Leksikal ... 27


(7)

2.5 Pemilihan dan Penyusunan Bahan Ajar ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Prosedur Penelitian ... 43

3.2 Sumber Data ... 44

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Relasi Referensi ... 48

4.1.1 Referensi Pronomina ... 48

4.1.1.1 Pronomina Takrif ... 48

4.1.1.2 Pronomina Taktakrif ... 56

4.1.2 Referensi Demonstratif ... 57

4.1.3 Referensi Komparatif ... 59

4.2 Relasi Leksikal ... 61

4.2.1 Reinterasi (Pengulangan Kembali) ... 61

4.2.1.1 Repitisi ... 62

4.2.1.2 Sinonim ... 63

4.2.1.3 Hiponim ... 65

4.2.2 Kolokasi (Sanding Kata) ... 66

4.2.2.1 Antonim (inklusif) ... 66

4.2.2.2 Antonim (ekslusif) ... 68

4.3 Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 69

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1 Simpulan ... 80

5.2 Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTO ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI... 8

2.1 Batasan Wacana ... 8

2.2 Relasi Wacana ... 11

2.2.1 Relasi Referensi ... 11

2.2.1.1 Referensi Pronomina ... 13

2.2.1.2 Referensi Demonstratif ... 18

2.2.1.3 Referensi Klausal ... 19

2.2.2 Relasi Substitusi ... 19

2.2.3 Relasi Elipsi ... 21

2.2.4 Relasi Konjungsi ... 23

2.2.4.1 Konjungsi Koordinatif ... 24

2.2.4.2 Konjungsi Korelatif ... 24

2.2.4.3 Konjungsi Subordinatif ... 24

2.2.4.4 Konjungsi Antarkalimat ... 25

2.2.4.5 Konjungsi Antarparagraf ... 26

2.2.5 Relasi Leksikal ... 27


(10)

2.5 Pemilihan dan Penyusunan Bahan Ajar ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Prosedur Penelitian ... 43

3.2 Sumber Data ... 44

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Relasi Referensi ... 48

4.1.1 Referensi Pronomina ... 48

4.1.1.1 Pronomina Takrif ... 48

4.1.1.2 Pronomina Taktakrif ... 56

4.1.2 Referensi Demonstratif ... 57

4.1.3 Referensi Komparatif ... 59

4.2 Relasi Leksikal ... 61

4.2.1 Reinterasi (Pengulangan Kembali) ... 61

4.2.1.1 Repitisi ... 62

4.2.1.2 Sinonim ... 63

4.2.1.3 Hiponim ... 65

4.2.2 Kolokasi (Sanding Kata) ... 66

4.2.2.1 Antonim (inklusif) ... 66

4.2.2.2 Antonim (ekslusif) ... 68

4.3 Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 69

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1 Simpulan ... 80

5.2 Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi yang berupa pesan, ide, atau gagasan seseorang kepada seseorang lainnya. Sebagaimana pendapat Suyanto (2011: 15), bahasa adalah rangkaian sistem bunyi atau simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang memiliki makna dan secara konvesional digunakan oleh sekelompok manusia (penutur) untuk berkomunikasi kepada orang lain.

Pemahaman seseorang mengenai bahasa sangat diperlukan untuk menyusun ide atau gagasan yang dimilikinya menjadi suatu bahasa yang nantinya akan diwujudkan dalam suatu percakapan. Tak hanya dalam bentuk percakapan (lisan), bahasa juga digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa dalam bentuk tulisan dapat berupa kalimat, teks atau wacana. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar yang berada di atas tataran kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan, memiliki awal dan akhir, dan dapat disampaikan baik secara lisan maupun tulisan (Tarigan, 1987: 27).


(12)

Wacana yang baik adalah wacana yang mudah dipahami dan efektif dalam komunikasi. Seperti halnya bahasa pada umumnya, wacana juga memiliki dua unsur utama, yaitu bentuk (form) dan makna (meaning). Kepaduan makna dan kerapihan bentuk merupakan faktor penting untuk menentukan tingkat keterbacaan dan kepaduan wacana. Dalam setiap wacana yang padu/utuh pasti terdapat kalimat-kalimat yang saling berkaitan atau berhubungan, bukanlah kalimat-kalimat-kalimat-kalimat yang saling berdiri sendiri. perhatikan sebuah teks pendek berikut.

Nisa juga mendatangi rumah Lintang, diantar Dipo. Di sana, ia hanya ditemui oleh penjaga rumah yang bersikuku tidak mau membukakan pintu, padahal dulu begitu mudahnya dia bisa menemui Lintang (Aveus Har, 2009: 6).

Hanya dengan melihat contoh itu saja, seorang pemakai bahasa Indonesia sudah dapat mengetahui bahwa urutan-urutan kalimat itu merupakan sebuah teks, bukan kalimat yang hanya dideretkan begitu saja. Ada sesuatu yang dapat mengikat kalimat-kalimat itu menjadi sebuah teks, sesuatu yang dapat menyebabkan seorang pendengar atau pembaca langsung mengetahui bahwa ia berhadapan dengan sebuah teks atau wacana, dan bukan sebuah kumpulan kalimat tanpa sebuah ikatan.

Jika dalam sebuah kalimat terdapat ikatan-ikatan yang menghubungkan antara kata-kata penyusunnya, begitu jugalah dalam sebuah wacana terdapat ikata-katan-ikata-katan yang menghubungkan kalimat-kalimat penyusunnya. Jika kalimat-kalimat itu, dimulai dengan kata ‘lelaki’ sudah tentu nama-nama binatang, benda-benda mati, atau nama tumbuh-tumbuhan tidak dapat menggantikan kata ‘lelaki’ itu. Hanya nama manusia


(13)

atau pengganti nama manusia itu (pengacara, petani, pedagang, pencuri, dll.) yang dapat menggantikan kata ‘lelaki’ itu.

Berdasarkan contoh di atas, kalimat pertama yang berbunyi, Nisa juga mendatangi rumah Lintang, diantar Dipo. Pada kalimat berikutnya terdapat kata ia bukan kata kita atau kami. Karena kalimat kedua itu masih menceritakan Nisa, maka kata yang dipakai haruslah kata ‘ia’, ‘dia’, atau kata yang serupa dengan itu. Seperti ‘anak kecil’ atau ‘gadis itu’. Dengan demikian, ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti jika ingin membuat sebuah wacana, supaya wacana yang dibuat itu baik dan sempurna. Dalam membuat suatu wacana, diperlukan penghubung formal (alat relasi) yang dapat menghubungkan kalimat-kalimat itu supaya menjadi satu kesatuan yang utuh. Penghubung formal (alat relasi) itu disebut dengan tekstur. Tekstur inilah yang menghubungkan antarkalimat dalam sebuah wacana sehingga menjadi kesatuan yang utuh.

Wacana dapat disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Wacana dalam bentuk lisan dapat berupa percakapan saat berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan wacana dalam bentuk tulisan seperti pemberitahuan, makalah, esai, novel dan cerpen. Cerpen dapat diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa yang pendek, yang biasanya hanya terdiri atas 5-15 halaman. Dalam membaca sebuah cerpen biasanya seseorang memerlukan waktu kurang dari satu jam. Sebagaimana pendapat Edgar Allan Poe dalam Suyanto (2012: 46), yang mengemukakan cerpen adalah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam.


(14)

Di Indonesia banyak terdapat cerita pendek yang bertemakan tentang kehidupan, baik percintaan, persahabatan, adat istiadat maupun yang bertemakan islami. Salah satu pengarang yang menghasilkan cerpen bertemakan islami adalah Habiburrahman El Shirazy. Banyak orang yang mengenal Sosok Habiburrahman sebagai novelis bukan seorang cerpenis karena novel-novel terpopuler karya Habiburrahman sering diangkat dalam sebuah film, antara lain Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Padahal selain menulis novel, Habiburrahman El Shirazy telah banyak menghasilkan cerpen teladan islami berkualitas, seperti Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Ketika Derita Mengabadikan Cinta, dan Nyanyian Cinta. Cerpen-cerpen itupun tidak kalah bagus dengan novel ciptaannya. Seperti halnya novel, cerpen-cerpen karya Habiburrahman ini telah banyak yang diangkat dalam sebuah sinetron pada salah satu stasiun TV di Indonesia. Alasan Penulis memilih kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta bukan hanya karena kumpulan cerpen ini merupakan karya dari pengarang ternama dan segi isinya yang menarik, serta dalam kumpulan cerpen ini terdapat beberapa wacana baik berupa wacana monolog maupun wacana percakapan antartokoh yang dapat dijadikan sumber data peneltian oleh penulis.

Penelitian mengenai relasi dalam wacana ini berimplikasi terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Pada pembelajaran bahasa, relasi dalam wacana ini terdapat pada standar kompetensi mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita, sedangkan pada pembelajaran sastra, relasi dalam wacana ini terdapat dalam cerpen. Beberapa relasi


(15)

dalam wacana, ada yang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik cerpen. Salah satu standar kompetensi yang berkaitan dengan penggunaan relasi dalam wacana cerpen yaitu mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen. Pada saat menulis wacana cerpen, siswa haruslah memperhatikan kepaduan wacana dari cerpen yang dibuatnya sehingga dapat menentukan tingkat keterbacaan pembaca terhadap cerpen tersebut. Oleh karena itu, dengan mempelajari penggunaan relasi dalam wacana, siswa dapat menghasilkan sebuah wacana cerpen yang utuh/padu, wacana yang memiliki hubungan antarkalimat penyusun wacana cerpen tersebut sehingga seseorang yang membaca cerpen siswa dapat memahami apa yang ingin disampaikan siswa melalui cerpen itu. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana khususnya relasi referensi dan leksikal dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya. Salah satu cara untuk menghasilkan wacana cerpen yang padu adalah dengan menggunakan relasi dalam wacana.

Permasalahan itulah yang mendorong penulis melakukan penelitian mengenai relasi dalam wacana cerpen ini. Penulis berasumsi bahwa dalam sebuah cerpen pasti terdapat hubungan yang menyebabkan wacana cerpen itu menjadi padu. Oleh karena itu, untuk menghasilkan sebuah wacana yang utuh/padu, seseorang memerlukan pengetahuan mengenai penggunaan relasi dalam wacana yang dapat menentukan kepaduan wacana cerpen, tingkat keterbacaan dan memperkuat makna dari isi cerpen sehingga wacana yang dihasilkan seseorang dapat dipahami dengan mudah oleh si pembaca.


(16)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah relasi dalam wacana kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan implikasinya dalam pembelajaran sastra Indonesia di SMA?”.

Secara lebih rinci, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah relasi referensi dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman?

2. Bagaimanakah relasi leksikal dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman?

3. Bagaimanakah implikasinya dalam pembelajaran sastra Indonesia di SMA?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan

1. relasi referensi dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy;

2. relasi leksikal dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, dan;

3. implikasinya dalam pembelajaran sastra Indonesia di SMA.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.


(17)

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan mengenai relasi dalam wacana saat kegiatan menulis, khususnya menulis sebuah karangan yang berbentuk cerpen.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya yang sejenis untuk menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya mengenai relasi dalam wacana. Selain itu, penelitian ini bermanfaat pula sebagai masukan bagi para guru di SMA yang mengajarkan bahasa Indonesia dalam hal membuat sebuah karangan dalam bentuk cerpen. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi kepada siswa bahwa penggunaan relasi dalam wacana sangat mempengaruhi kepaduan wacana yang dihasilkan.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian ini sebagai berikut.

1. Sumber penelitian ini adalah cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Objek penelitian ini adalah relasi dalam wacana kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, yakni relasi referensi dan relasi leksikal.


(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Batasan Wacana

Para pakar bahasa pada umumnya memiliki pandangan yang sama tentang wacana, secara garis besar mereka berpendapat bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi. Meskipun demikian dalam berbagai sudut pandang tertentu, pendapat-pendapat mereka menunjukkan adanya perbedaan.

Tarigan (1987: 25) berusaha membatasi wacana dengan cara menguraikan wacana berdasarkan unsur penting yang terdapat di dalamnya. Unsur-unsur tersebut meliputi (a) satuan bahasa, (b) terlengkap/terbesar/tertinggi, (c) di atas kalimat/ klausa, (d) teratur/tersusun rapi/rasa koherensi, (e) berkesinambungan/kontinuitas, (f) rasa kohesi/rasa kepaduan, (g) lisan/tulis, dan (h) awal dan akhir yang nyata. Berdasarkan unsur-unsur tersebut, Tarigan (1987: 27) mengemukakan wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, memiliki awal dan akhir, dan secara nyata disampaikan secara lisan maupun tulisan.


(19)

Senada dengan pendapat Tarigan, Wahab (1991: 128) menyatakan bahwa wacana dapat diartikan sebagai organisasi bahasa yang lebih luas dari kalimat atau klausa, dan oleh karena itu dapat juga dimaksudkan sebagai satuan linguistik yang lebih besar, misalnya percakapan lisan atau naskah tulisan. Oleh karena itu, wacana tidak dapat dibatasi hanya pada bentuk-bentuk linguistik yang terpisah dari tujuan dan fungsi bahasa dalam proses interaksi manusia.

Lebih lanjut, Rusminto (2009: 5), mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa tertinggi dan terlengkap yang berada di atas tataran kalimat yang digunakan dalam kegiatan komunikasi. Dengan demikian, kajian terhadap wacana tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melatarbelakangi kegiatan komunikasi yang sedang berlangsung. Hal ini berarti kajian terhadap wacana merupakan kajian bahasa yang bersifat pragmatik.

Berbeda dengan pendapat para ahli sebelumnya, Teum A.Van Dijk dalam Lubis (1994: 21) mengemukakan wacana (dicourse) sama dengan teks, yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain terikat dengan erat. Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan kalimat tidak dapat ditafsirkan satu per satu. Sejalan dengan pendapat Van Dijk, Halliday dalam Lubis (1994: 21) mengemukakan bahwa kesatuan bahasa yang diucapkan atau tertulis panjang atau pendek, itulah yang dinamakan teks atau wacana. Teks adalah satu kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan karena bentuknya (morfem, klausa, kalimat) melainkan kesatuan artinya.


(20)

Pendapat Van Dijk dan Halliday yang menyatakan bahwa wacana sama dengan teks, mendapat pertentangan dari Edmondson dalam Rusminto (2009: 3) yang mengemukakan wacana berbeda dengan teks. Wacana adalah suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik, sedangkan teks adalah urutan ekspresi-ekspresi linguistik yang terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang terpadu.

Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih mengacu kepada pendapat yang disampaikan oleh Tarigan yang mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, memiliki awal dan akhir, dan secara nyata disampaikan secara lisan maupun tulisan. Karena Tarigan berusaha membatasi pengertian wacana dengan cara menguraikan unsur-unsur penting yang terdapat di dalamnya sehingga pendapat dari Tarigan tersebut lebih terperinci dan mudah dipahami oleh penulis.

Sebuah wacana itu dikatakan baik dan sempurna, jika di dalamnya terdapat kalimat-kalimat yang terikat sebagai satu kesatuan yang utuh. Sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Rusminto (2009: 24) kesatuan yang utuh dalam suatu wacana dapat terbentuk dengan menggunakan alat-alat formal yang dinamakan tekstur. Konsep tekstur adalah sesuatu yang menunjukkan kepada sesuatu yang menjadi pengikat antarkalimat yang menjadi sebuah wacana. Dapat disimpulkan bahwa tekstur itulah yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya sehingga


(21)

menjadi sebuah kesatuan. Dengan adanya tekstur dapat diketahui apakah kumpulan kalimat yang tersusun itu merupakan sebuah wacana atau bukan.

Tekstur itu ditandai oleh relasi (hubungan) yang erat (cohesive) atau terpadu. Tekstur ini menyebabkan seseorang tidak dapat menginterprestasikan sebuah kalimat tanpa memperhatikan kalimat yang lain. Kalimat yang satu mensyaratkan pengetahuan seseorang tentang kalimat lain yang sebelumnya atau yang sesudahnya.

2.2 Relasi Wacana

Relasi merupakan hubungan dalam wacana, relasi adalah hubungan antara suatu bagian baik hubungan frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan kalimat. Relasi yang erat (cohesive) dalam sebuah wacana dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yakni referensi, substitusi, elipsi, konjungsi, dan leksikal (Lubis, 1994: 28).

2.2.1 Referensi

Secara tradisional referensi berarti hubungan antara kata dengan benda, tetapi lebih luas lagi referensi dikatakan sebagai hubungan antara bahasa dengan dunia. Dalam analisis wacana referensi itu dianggap sebagai tindak tanduk dari si pembicara atau si penulis. Dengan kata lain, referensi dalam suatu kalimat sebenarnya ditentukan oleh si pembicara atau si penulis. Kita sebagai pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud (direferensikan) si pembaca atau si penulis.


(22)

Referensi dapat dibagi menjadi dua macam, yakni referensi endofora (meliputi anafora dan katafora) dan referensi eksofora. Endofora bersifat tekstual (referensi yang barada di dalam teks), sedangkan eksofora bersifat situasional (referensi yang berada di luar teks). Menurut Rusminto (2009: 26), berdasarkan posisi acuan/referensinya, endofora terbagi atas anafora dan katafora. Anafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan terlebih dahulu, sedangkan katafora merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian.

Pembagian jenis referensi dapat dibagankan sebagai berikut.

(Halliday dalam Lubis, 1994: 30)

Berikut ini merupakan contoh-contoh dari penggunaan relasi referensi. (1) Rumah itu terlihat bersih dan rapih, dia selalu membersihkannya.

(2) Amin, Budi, dan Cindy pergi ke sekolah bersama-sama. Mereka menggunakan sepeda.

(3) Kakak, adik, dan saya pergi ke bioskop. Kami akan menonton film Amazing The Spiderman.

Referensi

Exophora (situasional)

Endophora (tekstual)

Kataphora (to following text) Anaphora


(23)

(4) Dengan kepandaiannya yang luar biasa itu, Tristan berhasil menjuarai olimpiade sains di Bangkok.

(5) Mereka yang membunuh korban tadi malam. Para perampok sadis itu. (6) Beliau Rektor Unila yang baru. Pak Sugeng kembali menjabat pada

periode ini.

Kata dia pada contoh (1) merujuk silang pada unsur di luar teks, artinya bersifat eksopora karena dalam kalimat tersebut tidak didapatkan unsur yang merujuk silang pada dia sebagai pronomina persona III. Selanjutnya, unsur nya pada contoh (1) mengacu pada Rumah, kata mereka pada contoh (2) mengacu pada Amin, Budi, dan Cindy, dan kata kami pada contoh (3) mengacu pada kakak, adik, dan saya. Kata mereka, kami, dan unsur nya memiliki referensi endofora yang anafora karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan terlebih dahulu. Sementara itu, unsur nya pada contoh (4), mereka pada contoh (5), dan beliau pada contoh (6) termasuk endopora yang katafora karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian, yaitu Tristan, para perampok sadis, dan Pak Sugeng.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, bentuk relasi referensi terbagi menjadi tiga, yakni (a) referensi pronomina/personal, (b) referensi demonstatif, dan (c) referensi komparatif. Berikut akan dijelaskan satu per satu mengenai ketiga bentuk referensi tersebut.

2.2.1.1 Referensi Pronomina

Pronomina cenderung mengganti anteseden dalam fungsinya sebagai referensi, baik bersifat anafora maupun katafora. Semua pronomina dalam bahasa Indonesia hanya


(24)

mengganti orang atau hal lain yang dipersonifikasi, atau unsur nya yang dapat merujuk nonpersona.

Dilihat dari jelas tidaknya referensi pronomina dapat dibedakan antara pronomina takrif dan taktakrif. Pronomina takrif merujuk silang pada nomina yang referensinya jelas, seperti pronomina persona I, II, dan III (tunggal dan jamak). Untuk lebih memahami pronomina persona. Berikut ini akan diberikan penjelasan mengenai pronomina persona.

(a) Kata Ganti Persona Pertama

Kata ganti persona pertama adalah kategorisasi rujukan pernbicara kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain kata ganti persona pertama merujuk pada orang yang sedang berbicara. Kata ganti persona pertama dibagi rnenjadi dua, yaitu kata ganti persona pertama tunggal dan kata ganti persona pertama jamak. Kata ganti persona pertama tunggal mempunyai tiga bentuk, yaitu aku, saya, dan daku. Dalam hal pemakaiannya, bentuk persona pertama aku dan saya ada perbedaan. Bentuk saya adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Untuk tulisan formal pada buku nonfiksi, pidato, dan sambutan bentuk saya banyak digunakan bahkan pemakaian bentuk saya sudah menunjukan rasa hormat dan sopan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bentuk saya dipakai dalam situasi nonformal. Sebaliknya dengan bentuk aku lebih banyak dipakai dalam situasi yang tidak formal serta lebih menunjukkan keakraban antara pembicara dan lawan bicara.


(25)

Dengan kata lain bentuk saya tak bermarkah, sedangkan bentuk aku bermarkah keintiman (markedfor intimacy) (Purwo, 1983: 23).

Bentuk dan fungsi persona pertama tunggal berbeda dengan bentuk dan fungsi kata ganti persona pertama jamak. Bentuk kata ganti persona jamak meliputi kami dan kita. Bentuk persona pertama jamak kami merupakan bentuk yang bersifat ekslusif artinya bentuk persona tersebut merujuk pada pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, akan tetapi tidak mencakup orang lain dipihak lawan bicara. Se1ain itu, bentuk kami juga sering digunakan dalam pengertian tunggal untuk mengacu kepada pembicara dalam situasi yang formal. Dengan demikian, kedudukan kami dalam hal ini menggantikan persona pertama tunggal, yaitu saya.

Hal ini berhubungan dengan sikap pemakai bahasa yang sopan mengemukakan dirinya dan karenanya menghindari bentuk saya. Sebaliknya dengan bentuk kita, bentuk ini bersifat inkIusif artinya bentuk pronomina tersebut merujuk pada pembicara/penulis, pendengar/pembaca, dan mungkin pihak lain (Leech, 1979: 84). Oleh karena itu, bentuk kita biasanya digunakan oleh pembicara sebagai usaha untuk mengakrabkan atau mengeratkan hubungan dengan lawan bicara.

(b) Kata Ganti Persona Kedua

Kata ganti persona kedua adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada lawan bicara. Dengan kata lain, bentuk kata ganti persona kedua baik tunggal maupun jamak merujuk pada lawan bicara. Bentuk pronomina persona kedua tunggal adalah kamu dan engkau. Bentuk persona ini biasanya dipergunakan oleh:


(26)

a) Orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama.

b) Orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang statusnya lebih rendah.

c) Orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial (Purwo, 1984: 23).

Sebutan ketaklaziman untuk pronomina persona kedua dalam bahasa Indonesia banyak ragamnya, seperti anda. Bentuk anda biasanya digunakan untuk menghormat dan ada jarak yang nyata antara pembicara dan kawan bicara. Bentuk ketakziman anda juga dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Meskipun kata itu telah lama dipakai tetapi struktur nilai sosial budaya kita masih membatasi pemakaian kata ganti tersebut.

Bentuk persona kedua di samping mempunyai bentuk tunggal seperti tersebut di atas juga mempunyai bentuk jamaknya, yaitu kalian dan bentuk persona kedua tunggal yang ditambah dengan kata sekalian, seperti anda sekalian, kamu sekalian. Meskipun bentuk kalian tidak terikat pada tata krama sosial, yang status sosialnya lebih rendah umumnya tidak memakai bentuk itu terhadap orang yang lebih tua atau orang yang berstatus sosial lebih tinggi.

(c) Kata Ganti Persona Ketiga

Bentuk kata ganti persona ketiga merupakan kategorisasi rujukan pembicara kepada orang yang berada di luar tindak komunikasi. Dengan kata lain bentuk kata ganti persona ketiga merujuk orang yang tidak berada baik pada pihak pembicara maupun


(27)

lawan bicara. Bentuk kata ganti persona ketiga dalam bahasa Indonesia ada dua, yaitu bentuk tunggal dan bentuk jamak. Bentuk tunggal pronomina persona ketiga mempunyai dua bentuk, yaitu ia dan dia yang mempunyai variasinya. Selain kedua bentuk tersebut, dikenal juga bentuk ketakziman seperti bentuk beliau.

Dalam pemakaiannya, bentuk dia dan ia berbeda dengan bentuk beliau. Bentuk dia dan ia umumya digunakan oleh pembicara tanpa ada maksud untuk menghormati orang yang dirujuk, sedangkan bentuk beliau digunakan oleh pembicara untuk merujuk kepada orang lain yang patut untuk dihormati walaupun lebih muda dari pembicara.

Bentuk pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Di samping arti jamaknya, bentuk mereka berbeda dengan kata ganti persona ketiga tunggal dalam acuannya. Pada umumnya bentuk pronomina persona ketiga hanya untuk merujuk insani. Akan tetapi pada karya sastra, bentuk mereka kadang-kadang dipakai untuk merujuk binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Bentuk pronomina persona ketiga jamak ini tidak mempunyai variasi bentuk, sehingga dalam posisi manapun hanya bentuk itu yang dipergunakan. Penggunaan bentuk persona ini digunakan untuk hubungan yang netral, artinya tidak digunakan untuk lebih menghormati atau pun sebaliknya.

Lain halnya dengan pronomina taktakrif yang merujuk silang pada orang atau benda yang tidak tertentu, seperti seseorang, sesuatu, barang siapa, siapa-siapa, apa-apa, anu, masing-masing, setiap, sendiri (Rusminto, 2009: 28). Perhatikan contoh berikut.


(28)

(7) Saya dan naila akan mencari buku, kami tiba di toko buku jam 10.00 tadi.

(8) Mereka yang berkelahi tadi pagi, Andi, Udin, dan Joko mendapat hukuman skorsing.

(9) Seseorang yang terbukti melakukan tindakan pembunuhan secara disengaja, dapat dikenai sanksi hukuman penjara selama 15 tahun atau denda sebesar 250 juta rupiah.

Kata kami pada contoh (7) dan mereka pada contoh (8) adalah pronominal takrif atau kata ganti diri. Kata kami pada contoh (7) merujuk pada unsur sebelumnya Saya dan Naila sehingga disebut referensi pronomina yang anafora, sedangkan mereka pada contoh (8) merujuk pada unsur kemudian Andi, Udin, dan Joko sehingga disebut referensi pronomina yang katafora. Berbeda dengan pronomina taktakrif seseorang pada contoh (9) mengacu pada unsur di luar teks sehingga bersifat referensi eksofora.

2.2.1.2Referensi Demonstratif

Demonstratif merupakan kata ganti penunjuk, seperti ini, itu, di sini, di situ, dan di sana. Sebagai referensi, demonstratif dalam wacana dapat digunakan baik yang merujuk silang kemudian ataupun terdahulu (Rusminto, 2009: 29). Dengan demikian, bentuk demonstatif ini dapat bersifat anafora dan katafora.

Perhatikan contoh berikut.

(10) Di Sini, di Bank BNI mahasiswa Unila dapat membayar uang semesternya.

(11) Berdoalah kepada Allah SWT. Itu akan membuatmu lebih tenang. Di sini pada contoh (10) merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian, yakni Bank BNI sehingga di sini merupakan referensi demonstatif yang katafora, sedangkan


(29)

itu pada contoh (11) merujuk silang pada unsur sebelumnya, yakni berdoa sehingga itu merupakan referensi demonstratif yang anafora.

2.2.1.3Referensi Komparatif

Referensi komparatif merupakan referensi bandingan terhadap unsur yang dirujuk. Referensi komparatif ini ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti sama, persis, serupa, dan berbeda. Perhatikan contoh berikut.

(12) Persis benar wajah kedua anak kembar itu.

(13) Serupa harganya dengan harga yang ditawarkan toko sebelah. (14) Udin seorang pemalas, berbeda dengan adiknya.

Persis pada contoh (12) merujuk pada wajah kedua anak kembar itu. Serupa pada contoh (13) merujuk pada harga yang ditawarkan toko sebelah. Kata persis dan serupa merupakan referensi komparatif yang bersifat katafora karena merujuk pada unsur yang disebutkan kemudian. Sementara itu, berbeda pada contoh (14) merupakan referensi komparatif dari Udin, sehingga bersifat anafora.

2.2.2 Relasi Substitusi

Substitusi adalah proses pergantian unsur bahasa dengan unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk memperjelas suatu struktur tertentu (Kridalaksana dalam Rusminto, 2009: 30). Karena itu, relasi substitusi ini mirip dengan relasi referensi. Kedua relasi ini sama-sama merujuk pada unsur tertentu dalam wacana. Bedanya, relasi substitusi terletak pada satuan gramatikal karena pergantian unsur, sedangkan relasi referensi merupakan hubungan makna (Halliday dalam Lubis, 1994: 35). Selain itu, Sudaryat (2009) menambahkan


(30)

substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang dapat menunjukkan tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya. Jadi, pada substitusi ini hubungan itu terletak bukan pada maknanya melainkan pada kosakata dan satuan gramatikalnya. Perhatikan contoh berikut.

(15) Banyak sekali buah durian yang kamu beli. Berilah saya beberapa. (16) Joko sangat senang memakan es krim, padahal ia baru sembuh dari

sakit.

Beberapa pada contoh (15) adalah substitusi dari buah durian, sedangkan ia pada contoh (16) merujuk silang pada unsur sebelumnya, yakni Joko sehingga disebut relasi referensi endofora yang bersifat anafora.

Berdasarkan bagian kalimat yang dapat disubtitusikan, Lubis (1994: 35) membagi substitusi menjadi tiga macam, yakni (a) substitusi nominal, (b) substitusi verbal, dan (c) substitusi klausal.Perhatikan contoh dibawah ini.

(17) Buah mangga ini besar-besar. Saya beli yang ini. (18) Saya tidak suka buah ini. Belikan yang lain.

(19) Si Ipin melompati pagar sekolah. Si Upin melakukan juga.

(20) Siswa itu sudah dilarang membuang sampah sembarangan, tetapi ia masih berbuat juga.

(21) Pebulutangkis Indonesia berhasil menyapu bersih medali emas pada kejuaraan China Open.

Saya dengar begitu.

(22) Mahasiswa Bahasa ‘09 mendapatkan nilai C pada mata kuliah

perpustakaan. Saya harap tidak.

Pada contoh (17) yang ini adalah substitusi dari buah mangga, yang lain pada contoh (18) merupakan substitusi dari buah. Yang ini (17) dan yang lain (18) merupakan substitusi nominal dan bersifat anafora. Pada contoh (19) melakukan juga substitusi


(31)

dari melompati pagar sekolah, berbuat juga pada contoh (20) substitusi dari membuang sampah sembarangan. Melakukan juga (19) dan berbuat juga (20) merupakan substitusi verbal dan bersifat anafora. Kata begitu pada contoh (21) adalah

substitusi dari seluruh kalimat ‘Pebulutangkis Indonesia berhasil menyapu bersih

medali emas pada kejuaraan China Open, dan kata tidak pada contoh (22) adalah

substitusi dari seluruh kalimat ‘Mahasiswa bahasa ‘09 mendapatkan nilai C pada

mata kuliah perpustakaan. Kata begitu (21) dan tidak (22) merupakan substitusi klausal dan bersifat anafora karena substitusi terhadap seluruh kalimat yang disebutkan sebelumnya.

2.2.3 Relasi Elipsi

Elipsi adalah penghilangan satu bagian dari unsur atau satuan bahasa tertentu. Sebenarnya, elipsi prosesnya sama dengan substitusi, hanya saja elipsi ini disubstitusi oleh sesuatu yang tidak ada (Rusminto, 2009: 32). Elipsi ini biasanya menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Perhatikan contoh berikut.

(23) Hari ini saya yakin lulus ujian komprehensif. Semoga.

(24) Dengan bekerja keras, dia dapat membeli rumah. Mungkin.

Pada contoh (23) dapat dilihat bahwa hari ini saya yakin lulus ujian komprehensif. seluruhnya dihilangkan. Demikian juga, pada contoh (24) libur sekolah dihilangkan seluruhnya.


(32)

Untuk membedakan antara elipsi dengan substitusi dapat dilakukan dengan cara melihat dari ada tidaknya unsur yang menggantikan. Pada relasi substitusi terdapat unsur yang menggantikan, sedangkan dalam relasi elipsi tidak terdapat unsur yang menggantikan. Dengan demikian, dalam relasi elipsi ini terdapat unsur tertentu yang dihilangkan. Perhatikan contoh berikut.

(25) Indonesia bisa menang melawan Arab Saudi tadi malam jika memainkan Andik Vermansyah.

(a) Mungkin begitu. (b) Mungkin.

Kata begitu pada contoh (25a) adalah subtitusi dari seluruh kalimat (25) Indonesia bisa menang melawan Arab Saudi tadi malam jika memainkan Andik Vermansyah, sedangkan pada contoh (25b) adalah elipsi dari seluruh kalimat (25). Jadi, baik subtitusi maupun elipsi dapat terjadi pada seluruh kalimat. Elipsi dan substitusi seperti ini disebut klausal substitusi atau klausal elipsi (Lubis, 1994: 38).

Relasi elipsi jarang sekali yang bersifat katafora, elipsi sering kali bersifat anafora seperti contoh di atas. Namun, harus dipahami bahwa elipsi juga dapat terjadi pada unsur yang lebih luas dari klausal. Perhatikan contoh berikut.

(26) Ani membersihkan halaman depan. Tuti membersihkan ruang tamu, dan Sri membersihkan dapur. Paham semua?.

Dapat dilihat pada contoh (26) paham semua adalah elipsi dari kalimat-kalimat yang telah disebutkan sebelumnya.


(33)

Terdapat persamaan antara ketiga relasi yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni relasi referensi dengan relasi substitusi sama-sama merujuk pada unsur tertentu dalam wacana. Dan relasi subtitusi dengan relasi elipsi memiliki persamaan dalam hal penggunaannya. Oleh karena itu, untuk membedakan ketiga jenis relasi tersebut, diberikan penjelasan sebagai berikut.

Referensi Substitusi Elipsi

 merujuk unsur tertentu.  hubungan terletak pada

makna kata yang di rujuk.

 menggantikan unsur tertentu.

 hubungan terletak pada kosakata dan satuan

gramatikalnya.  dapat berupa

proverba.

 menghilangkan unsur tertentu.

Tabel 1. Perbedaan Antara Relasi Referensi, Substitusi, dan Elipsi.

2.2.4 Relasi Konjungsi

Konjungsi adalah kata yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, atau paragraf dengan paragraf. Contoh konjungsi yang menggabungkan kalimat dengan kalimat, atau klausa dengan klausa adalah agar, dan, atau, untuk, ketika, sejak, sebelum, sedangkan, tetapi, karena, sebab, dengan, jika, sehingga, dan bahwa. Sementara itu, contoh konjungsi yang menggabungkan antara paragraf dengan paragraf adalah sementara itu, dalam pada itu, dan adapun.

Berdasarkan perilaku sintaksisnya dalam kalimat, Tarigan, (TBBI, 1997) konjungsi (konjungtor) dibagi menjadi lima kelompok, (a) konjungsi koordinatif, (b) konjungsi


(34)

korelatif, (c) konjungsi subordinatif, (d) konjungsi antarkalimat, dan (e) konjungsi antarparagraf.

2.2.4.1Konjungsi Koordinatif

Konjungsi koordinatif berfungsi menghubungkan dua klausa yang berkedudukan setara atau penghubung antarkata yang membentuk frasa. Perhatikan contoh berikut.

(27) Kakak atau adik yang ingin mengantarkan ibu ke pasar.

(28) Mereka orang-orang yang miskin, tetapi mereka kurang diperhatikan. Pada contoh (27) konjungtor atau menghubungkan kata dengan kata, sedangkan pada contoh (28) konjungtor tetapi menghubungkan klausa dengan klausa.

2.2.4.2Konjungsi Korelatif

Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi ini terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh satu kata, frasa, atau klausa yang dihubungkan. Perhatikan contoh berikut.

(29) Baik Ipin maupun Upin selalu ramah terhadap temannya.

(30) Tidak hanya saudara, tetapi juga sahabatnya datang ke pesta ulang tahun Naila.

(31) Entah direstui entah tidak, saya akan tetap melamarmu. (32) Jangankan orang lain, ibunya sendiri pun tidak dihormati. (33) Perilakunya demikian santun sehingga saya jatuh cinta padanya.

2.2.4.3Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status yang sama. Jika dilihat dari perilaku sintaksis dan


(35)

semantisnya, konjungsi subordinatif dapat dibagi menjadi tiga belas kelompok. Berikut ini adalah kelompok-kelompok konjungsi subordinatif.

1) konjungsi subordinatif waktu: sejak, ketika, sebelum, sesudah, sampai, sambil, selama, setelah, sehabis, selesai, tatkala, sewaktu, sementara, seraya, selagi, 2) konjungsi subordinatif syarat: jika(lau), kalau, bila, manakala, asalkan,

3) konjungsi subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, seumpamanya, sekiranya,

4) konjungsi subordinatif tujuan: agar, supaya, biar,

5) konjungsi subordinatif konsersif: biarpun, meski (pun), kendati(pun), walau (pun), sungguhpun,

6) konjungsi subordinatif pembandingan: seakan-akan, seolah-olah, seperti, ibarat, alih-alih, laksana, daripada,

7) konjungsi subordinatif sebab: sebab, karena, oleh sebab, oleh karena, 8) konjungsi subordinatif akibat: sehingga, sampai(-sampai), maka, 9) konjungsi subordinatif hasil: maka(nya),

10)konjungsi subordinatif cara: dengan, tanpa,

11)konjungsi subordinatif kenyataan: padahal, sedangkan, 12)konjungsi subordinatif penjelasan: bahwa,

13)konjungsi subordinatif atributif: yang.

Untuk memperjelas penggunaan konjungsi subordinatif ini, perhatikan contoh berikut.

(34) Upin selalu mencuci tangan sebelum makan.

(35) Sapri akan membeli pesawat pribadi jika menang undian. (36) Dia akan memiliki banyak teman andaikan dia tidak sombong. (37) Kami harus belajar supaya lulus Ujian Nasional.

(38) Ipin tetap sekolah walaupun hari ini hujan lebat. (39) Kakak beradik itu seperti anjing dan kucing. (40) Hari ini Udin tidak masuk sekolah karena sakit.

(41) Keluarganya tidak memiliki cukup uang sehingga Sapri putus sekolah.

(42) Semua siswa mengikuti upacara bendera dengan khidmat.

(43) Ayah mengatakan bahwa Dani mengalami kecelakaan tadi malam. (44) Merpati adalah hewan yang setia terhadap pasangannya.

2.2.4.4Konjungsi Antarkalimat

Konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan antara kalimat satu dengan kalimat yang lain. Oleh karena itu, konjungsi ini selalu memulai suatu kalimat


(36)

baru dan tentu saja huruf pertama ditulis dengan huruf kapital. Contoh konjungsi antarkalimat adalah Biarpun demikian/begitu, Sekalipun demikian/begitu, Walaupun demikian/begitu, Meskipun demikian/begitu, Sungguhpun demikian/begitu, Kemudian, Sesudah itu, Selanjutnya, Sebaliknya, Namun, Akan tetapi, Dengan Demikian, Oleh karena itu, Bahkan, Tambahan pula (Rusminto, 2009: 36).

Berikut ini adalah contoh penggunaan beberapa konjungsi antarkalimat tersebut.

(45) Kondisi Imran memang sudah membaik. Akan tetapi, ia harus tetap beristirahat.

(46) Suaminya sangat baik. Sebaliknya, istrinya sangat cerewet.

(47) Pak Sabar seorang pemulung. Biarpun begitu, ia selalu bersedekah. (48) Samsudin terbukti menggunakan narkoba. Bahkan, ia adalah seorang

pengedar yang selama ini dicari polisi.

(49) Sering kali Badrun ditangkap polisi. Namun, ia masih merampok juga.

2.2.4.5Konjungsi Antarparagraf

Konjungsi antarparagraf pada umumnya digunakan saat memulai sesuatu paragraf. Hubungannya dengan paragraf sebelumnya berdasarkan makna yang terkandung pada paragraf sebelumnya. Konjungsi yang digunakan adapun, akan hal, mengenai, dalam pada itu. Perhatikan contoh berikut.

(50) Adapun terbongkarnya rahasia bahwa di bawah pohon itu tersimpan harta karun, bermula dari cerita Pak Broto yang pernah menjadi pembantu raja dan turut menanam harta tersebut beberapa tahun yang lalu.


(37)

2.2.5 Relasi Leksikal

Menurut Sudaryat (2009: 160-163), relasi leksikal ini dapat berupa, (a) reinterasi, (b) kolokasi, dan (c) antonim. Relasi leksikal dapat terjadi melalui diksi (pilihan kata) yang memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu. Relasi leksikal berupa pengulangan kembali (reintration) dan sanding kata (colocation) (Lubis, 1994: 42-45). Bentuk-bentuk relasi leksikal tersebut diuraikan berikut ini.

2.2.5.1 Reinterasi

Reinterasi atau pengulangan kembali unsur-unsur leksikal termasuk alat keutuhan wacana. Reinterasi dapat dilakukan dengan repitisi, sinonimi, dan hiponimi.

(a) Repitisi

Repitisi (pengulangan) adalah penggunaan kata atau frasa yang sama. Repitisi ini dapat dikatakan sebagai gaya seorang pengarang dalam menulis cerita. Menurut Nugiyantoro dalam Suyanto (2012: 52-53), gaya bahasa adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan dan efek yang diharapkan. Teknik pemilihan ungkapan ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan permajasan dan gaya retoris. Dalam hal ini, repitisi masuk ke dalam gaya retoris. Gaya retoris adalah teknik pengungkapan yang menggunakan bahasa yang maknanya langsung, tetapi diurutkan sedemikian rupa dengan menggunakan struktur, baik struktur kata maupun kalimat, untuk menimbulkan efek tertentu, misalnya dengan pengulangan kata. Perhatikan contoh berikut.


(38)

(51) Setiap anak pasti mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, ibu melahirkan kita, ibu mengasuh kita, ibu menjaga kita sampai tumbuh dewasa, dan ibu selalu mencintai dan menyayangi anaknya sampai di akhir usianya.

Pengulangan kembali kata ibu pada (51), merupakan gaya bahasa yang dipakai pengarang yang dimaksudkan untuk menimbulkan efek atau kesan tertentu pada hasil tulisannya, yaitu untuk menimbulkan efek tekanan pada kata ibu. Selain itu, untuk memperkuat tempo, bunyi, dan irama kalimat saat dibacakan sehingga dapat memperkuat isi dari kalimat itu.

(b) Sinonimi

Sinonimi adalah relasi leksikal yang dilakukan dengan menggunakan diksi yang secara semantik hampir sama maknanya dengan kata yang telah digunakan sebelumnya. Perhatikan contoh berikut.

(52) Dani sangat mencintai gadis itu. Wanita itu memiliki paras yang cantik dan berkepribadian santun. Tak salah dia memilihnya sebagai kekasih. (53) Para wisatawan banyak yang berlibur ke Pulau Bali. Turis-turis itu

berasal dari beberapa negara di Eropa.

Pada contoh (52) kata gadis merupakan sinonim dari wanita, sedangkan pada contoh (53) para wisatawan merupakan sinonim dari turis-turis.

(c) Hiponimi

Hiponimi berasal dari kata Yunani Kuno unoma ’nama’ dan kata hipo ’di bawah’. Jadi, hiponimi adalah nama/kata yang termasuk di bawah atau dicakupi oleh nama/kata lain. Hiponimi adalah ungkapan (kata, frasa atau kalimat) yang maknanya


(39)

dianggap merupakan bagian dan makna suatu ungkapan lain (Verhaar dalam Lubis, 1994: 43). Misalnya spidol, pena, pensil merupakan hiponim dari alat tulis, dan alat tulis adalah hipernimnya. Hipernim adalah nama yang membawahi atau mencakupi nama-nama lain atau ungkapan lain (Lyons dalam Lubis, 1994: 43).

Perhatikan contoh berikut.

(54) Banyak bunga yang bermekaran di kebun itu. Mawar, melati, anggrek, dan tulip tumbuh di sana.

(55) Tidak hanya mobil, bus kota, sepeda motor selalu melintasi jalan besar di Jakarta.

Kendaraan-kendaraan itu semakin membuat macet saja. (56) Amin menjual perabot rumah tangga.

Meja, kursi, dan lemari dijual dengan harga murah.

Pada contoh (54) kata mawar, melati, anggrek, dan tulip adalah hiponim dari kata bunga, pada contoh (55) kata mobil, bus kota, sepeda motor adalah hiponim dari kata kendaraan, sedangkan pada contoh (56) kata meja, kursi dan lemari merupakan hiponim dari perabot rumah tangga.

2.2.5.2 Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi atau sanding kata adalah pemakaian kata-kata yang berada di lingkungan yang sama. Kolokasi ini dapat berupa antonim (lawan kata) yang bersifat ekslusif dan inklusif (Lubis, 1994: 44-45).

(a) Antonim (eksklusif)

Antonim (ekslusif) adalah cara mengemukakan hubungan antarkalimat dengan mempertentangkan kata-kata tertentu. Perhatikan contoh berikut.


(40)

(57) Para pria dikumpulkan di sebelah kiri pengantin. Para wanita dikumpulkan di sebelah kanan pengantin.

(58) Ibunya sudah pergi lebih dahulu. Ayahnya datang belakangan.

Pada contoh (57) para pria merupakan antonim dari para wanita, sedangkan pada contoh (58) ibu merupakan antonim dari ayah.

(b) Antonim (inklusif)

Antonim (inklusif) adalah menghubungkan kalimat yang satu dan kalimat yang lain dengan menggunakan salah satu bagian, seperti urutan hari, bulan, tahun, warna perabot rumah tangga, dll (Lubis, 1994: 45). Perhatikan contoh berikut.

(59) Mid semester akan dilaksanakan pada bulan Oktober. Pada bulan Desember seluruh siswa mengikuti ujian semester.

(60) Ayah pergi ke Bandung hari Minggu. Kamis sudah pulang ke Lampung.

Pada contoh (59) terdapat dua macam antonim inklusif yang merelasikan antara kedua kalimat itu. Oktober dengan Desember dan Mid Semester dengan Ujian Semester. Oktober dan Desember merupakan bagian nama bulan, sedangkan mid semester dan ujian semester merupakan bagian dari kegiatan tes siswa sekolah. Pada contoh (60) juga terdapat dua macam antonim Inklusif yang merelasikan antara kedua kalimat tersebut. Bandung dengan Lampung dan Minggu dengan Kamis. Bandung dan Lampung merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sedangkan Minggu dan Kamis merupakan bagian dari nama hari.

Di atas, telah dijelaskan kelima macam relasi dalam wacana secara satu per satu. Pada wacana yang berbentuk tulisan misalnya cerpen, kelima relasi ini biasanya digunakan


(41)

penulis secara bervariasi dan berupa gabungan dari jenis relasi yang berbeda. Perhatikan contoh berikut.

(61) Gadis bermata bening melepaskan pelukannya. Ia memandang wajah pucat di hadapannya dalam-dalam. Wajahnya oval. Matanya bulat. Hidungnya manis. Alisnya tidak tebal dan tidak tipis. Bulu matanya lentik. Bibirnya tipis. Sungguh gadis cilik yang cantik.

Dari contoh (61) ini terdapat beberapa relasi yang membuat wacana ini menjadi padu. Pertama, unsur nya (kalimat 1) pada kata pelukannya merupakan relasi referensi endopora yang bersifat anaphora karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan terlebih dahulu, yakni gadis bermata bening. Kemudian, ia (kalimat 2) masih merujuk pada gadis bermata bening. Sedangkan unsur nya pada kata wajahnya, matanya, hidungnya, alisnya, bulu matanya, dan bibirnya merupakan relasi endopora yang bersifat katafora karena merujuk silang pada unsur yang disebutkan kemudian, yakni gadis cilik yang cantik. Kedua, relasi konjungsi yang berupa konjungsi koordinatif (dan) pada kalimat 2 yang digunakan untuk menggabungkan dua klausa yang sama dan konjungsi subordinatif atributif (yang) pada kalimat terakhir digunakan untuk menggabungkan klausa yang tidak memiliki status sintaksis yang sama. Ketiga, relasi kolokasi antonim inklusif, yakni unsur mata, hidung, alis, bulu mata, dan bibir merupakan bagian dari wajah.

2.3 Cerpen

Cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra fiksi. Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek.


(42)

Ukuran pendek di sini bersifat relatif (Suyanto, 2012: 46). Sejalan dengan pendapat tersebut, Edgar Allan Poe dalam Suyanto (2012: 46) mengemukakan ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jakob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Suyanto (2012: 46) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Sejalan dengan pendapat pakar sebelumnya, Suhendar dan Pien (1993: 156) mengemukakan cerpen atau cerita pendek. Kata pendek di sini tidak ada ketentuan yang pasti. Pendek di sini diartikan sebagai bacaan singkat yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu yang singkat, genrenya memunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. Isi cerpen berkisar antara 5-15 halaman.

Isi cerpen mengambarkan kejadian yang dialami kehidupan para pelaku cerita. Cerita akhirnya tak usah mengubah nasib pelakunya. Dengan kata lain pengarang cerpen tidak melukiskan seluruh masa kehidupan pelakunya, yang dipilih hanya sebagian saja yang benar-benar memunyai arti untuk ditampilkan. Cerpen dibuat sebagai tujuan untuk memberikan gambaran yang tajam dan jelas dalam bentuk yang tunggal, utuh, dan mencapai efek tunggal pula pada pembacanya.

Cerita pendek selain ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, ternyata peristiwa dan isi cerita yang disajikan juga sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Isi cerita memang pendek karena


(43)

mengutamakan kepadatan ide cerita. Karena peristiwa dan isi yang terdapat dalam cerpen sangatlah singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan novel atau roman.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa cerpen merupakan karya sastra fiksi dengan cerita singkat yang didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya, sehingga mampu memberikan efek tunggal dan tidak kompleks. Isi cerpen yang berkisar antara 5-15 halaman dapat memungkinkan pembaca untuk menyelesaikan bacaannya dalam sekali duduk.

2.4 Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Kemampuan siswa dalam menggunakan relasi dalam wacana dapat membantu siswa dalam hal keterampilan berbahasa, salah satunya dalam aspek kebahasaan menulis, khususnya dalam kegiatan menulis wacana cerpen. Pada dasarnya dalam menghasilkan sebuah wacana, siswa haruslah mempertimbangkan penggunaan relasi dalam wacana, sehingga wacana yang dihasilkan memiliki hubungan antarkalimat penyusunnya dan maksud yang ingin disampaikan melalui wacana itu dapat dimengerti oleh si pembaca (guru atau siswa lain). Beberapa bentuk relasi dalam wacana, ada yang berkaitan dengan unsur-unsur intrinsik sebuah cerpen, yakni referensi pronomina berkaitan dengan sudut pandang pengarang yang mengkaji tentang penggunaan kata ganti orang, dan gaya bahasa dalam cerpen yang berkenaan dengan pemilihan kata (diksi) yang tepat saat membuat sebuah wacana berkaitan dengan relasi leksikal. Oleh karena itu, dengan mempelajari penggunaan relasi dalam


(44)

wacana, siswa dapat menghasilkan sebuah wacana cerpen yang utuh/padu, wacana yang memiliki hubungan antarkalimat penyusun wacana cerpen tersebut sehingga seseorang yang membaca cerpen siswa dapat memahami apa yang ingin disampaikan siswa melalui cerpen itu. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana khususnya relasi leksikal dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya.

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dijelaskan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik agar mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulisan, serta menumbuhkan apresiasi terhadap karya sastra.

Dalam silabus Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), relasi dalam wacana terdapat dalam aspek kebahasaan berbicara dan menulis. Berikut ini adalah standar dan kompetensi dasar yang berkaitan dengan relasi dalam wacana untuk menciptakan sebuah wacana yang padu pada silabus SMA kelas X.

Aspek Produktif

1. Standar Kompetensi Berbicara

2. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan

informasi melalui kegiatan berkenalan, berdiskusi, dan bercerita.


(45)

Kompetensi dasar 2.3 Menceritakan berbagai pengalaman dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat.

Indikator  Menyampaikan secara lisan pengalaman

pribadi (yang lucu, menyenangkan,

mengharukan, dsb.) dengan pilihan kata dan ekspresi yang tepat.

 Menanggapi pengalaman pribadi yang disampaikan.

2. Standar Kompetensi Berbicara

6. Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi.

Kompetensi dasar 6.1 Mengemukakan hal-hal yang menarik atau mengesankan dari cerita pendek melalui kegiatan diskusi

Indikator  Menceritakan kembali isi cerita pendek yang

dibaca dengan kata-kata sendiri

 Mengungkapkan hal-hal yang menarik atau mengesankan.

 Mendiskusikan unsur-unsur intrinsik (tema, penokohan, alur, sudut pandang, latar, amanat)


(46)

cerita pendek yang dibaca.

 Mengidentifikasi kalimat langsung dan tidak langsung dalam cerpen.

3. Standar Kompetensi Menulis

16. Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen.

Kompetensi dasar 16.1 Menulis karangan berdasarkan kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar)

16.2 Menulis karangan berdasarkan pengalaman orang lain dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar).

Indikator  Menentukan topik yang berhubungan dengan

pengalaman orang lain untuk menulis cerita pendek.

 Menulis kerangka cerita pendek dengan memperhatikan pelaku, peristiwa, latar  Mengembangkan kerangka yang telah dibuat

dalam bentuk cerpen (pelaku, peristiwa, latar) dengan memperhatikan pilihan kata, tanda baca, dan ejaan.


(47)

Berdasarkan silabus tersebut, standar kompetensi dan kompetensi dasar ini bertujuan siswa mampu bercerita mengenai berbagai pengalaman yang pernah dialami dengan memperhatikan pemilihan kata (diksi) dan ekspresi yang tepat dan siswa juga mampu menulis cerpen berdasarkan pengalaman orang lain. Pada saat menulis cerpen, siswa tidak hanya dituntut untuk mengetahui unsur-unsur instrinsik sebuah cerpen, siswa juga dituntut harus memperhatikan penggunaan relasi dalam wacana cerpen, sehingga cerpen yang dihasilkan merupakan wacana yang padu, wacana yang memiliki hubungan antarkalimat penyusun wacana cerpen tersebut dan cerpen yang dihasilkan dapat dipahami dengan mudah oleh si pembaca.

2.5 Pemilihan dan Penyusunan Bahan Ajar

Bahan ajar adalah sebuah persoalan pokok yang tidak bisa dikesampingkan dalam satu kesatuan pembahasan yang utuh tentang cara pembuatan bahan ajar (Prastowo, 2011: 16). Bahan ajar berisikan tentang tujuan instruksional yang akan dicapai, memotivasi siswa untuk belajar, mengantisipasi kesukaran belajar mahasiswa melalui petunjuk cara belajar, memberi latihan dan menyediakan rangkuman. Uraian bahan ajar yang ditulis hendaknya dilengkapi dengan ilustrasi berupa: tabel, grafik, diagramm, gambar, foto dsb, yang dapat memperjelas bahan yang ditulis (Suyadi, 2005: 20).

Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Melalui bahan ajar guru akan lebih mudah dalam melaksanakan pembelajaran dan siswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Bahan ajar dapat dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik materi ajar yang akan


(48)

disajikan. Penentuan judul bahan ajar bergantung dari jumlah materi yang ada disetiap kompetensi. Apa bila jumlah materi pelajaran tidak lebih dari 4 jenis maka judul bahan ajar dapat diambil dari judul kompetensi. Namun, jika jumlah materi lebih dari 4 jenis maka sebaiknya judul bahan ajar dipisah berdasarkan setiap materi.

Lebih lanjut dalam panduan pengembangan bahan ajar yang dikeluarkan (Depdiknas: 2008: 6) disebutkan bahwa bahan ajar berfungsi sebagai berikut.

a. Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa.

b. Pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari/dikuasainya.

c. Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran.

Ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh apabila seorang guru mengembangkan bahan ajar sendiri, yakni antara lain; pertama, diperoleh bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, kedua, tidak lagi tergantung kepada buku teks yang terkadang sulit untuk diperoleh, ketiga, bahan ajar menjadi labih kaya karena dikembangkan dengan menggunakan berbagai referensi, keempat, menambah khasanah pengetahuan dan pengalaman guru dalam menulis bahan ajar, kelima, bahan ajar akan mampu membangun komunikasi pembelajaran


(49)

yang efektif antara guru dengan siswa karena siswa akan merasa lebih percaya kepada gurunya.

Di samping itu, guru juga dapat memperoleh manfaat lain, misalnya tulisan tersebut dapat diajukan untuk menambah angka kredit ataupun dikumpulkan menjadi buku dan diterbitkan. Dengan tersedianya bahan ajar yang bervariasi, maka siswa akan mendapatkan manfaat yaitu, kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik. Siswa akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap kehadiran guru. Siswa juga akan mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasainya (Depdiknas, 2008: 9).

Menurut (Prastowo, 2011: 40-41) berdasarkan bentuknya bahan ajar dibedakan menjadi empat, yaitu sebagai berikut.

a. Bahan cetak (printed), menurut (Kemp dan Dayton, 1989) sejumlah bahan yang dapat berfungsi untuk keperluan pembelajaan atau penyampaian informasi.

b. Bahan ajar dengar atau program audio, yakni semua sistem yang menggunakan sinyal radio secara langsung, yang dapat dimainkan atau didengar oleh seorang atau sekelompok orang.

c. Bahan ajar pandang dengar (audiovisual), yakni segala sesuatu yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak sekuensial.


(50)

d. Bahan ajar interaktif (interactive teaching materials), yakni kombinasi dari kedua buah media (audio, teks, grafik, gambar, animasi, dan video) yang oleh penggunanya dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk mengendalikan suatu perintah dan/atau perlakuan alami dari suatu presentasi.

Analisis kebutuhan bahan ajar adalah suatu proses awal yang dilakukan untuk menyusun bahan ajar. Di dalamnya terdiri atas tiga tahapan, yaitu analisis terhadap kurikulum, analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul bahan ajar. Menurut (Pratowo, 2011: 50-59) langkah pertama dalam menganalisis kurikulum untuk menentukan kmpetensi-kompetensi yang memerlukan bahan ajar. Untuk mencapai hal itu mesti mempelajari lima hal sebagai berikut. Pertama, standar kompetensi, yakni kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap tingkat dan/atau semester.

Kedua, kompetensi dasar, yakni sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyususn indikator kompetensi. Ketiga, indikator ketercapaian hasil belajar. Indikator adalah rumusan kompetensi yang spesifik, yang dapat dijadikan acuan kriteria penilaian dalam menentukan kompeten tidaknya seseorang.

Keempat, materi pokok, yakni sejumlah informasi utama, pengetahuan, keterampilan, atau nilai yang disusun sedemikian rupa oleh pendidik agar peserta didik menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Kelima, pengalaman belajar, yakni suatu aktivitas


(51)

yang didesain oleh pendidik supaya dilakukan oleh para peserta didik agar mereka menguasai kompetensi yang telah ditentukan melalui kegiatan pembelajaran yang telah diselenggarakan.

Setelah melakukan analisis kurikulum, langkah selajutya adalah menganalisis sumber belajar. Kriteria analisis terhadap sumber belajar dilakukan berdasarkan ketersediaan, kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkannya. Caranya adalah dengan menginventarisasi ketersedian sumber belajar yang dikaitkan dengan kebutuhan.

Langkah yang ketiga adalah memilih dan menentukan bahan ajar. Langkah yang ketiga ini bertujuan memenuhi salah satu kriteria bahwa bahan ajar harus menarik dan membantu peserta didik untuk mencapai kompetensi. Berkaitan dengan pemilihan bahan ajar, ada tiga prinsip yang dapat dijadikan pedoman. Pertama, prinsip relevansi. Maksudnya, bahan ajar yang dipilih hendaknya ada relasi dengan pencapaian standar kompetensi maupun kompetensi dasar. Kedua, prinsip konsistensi. Maksudnya, bahan ajar yang dipilih memiliki nilai keajegan. Ketiga, prinsip kecukupan. Maksudnya, ketika memilih bahan ajar, hendaknya dicari yang memadai untuk membantu siswa kompetensi dasar yang diajarkan.

Guru hendaknya mengadakan pemilihan bahan ajar berdasarkan wawasan yang ilmiah, misalnya; memperhitungkan kosa kata yang digunakan, memperhatikan segi ketatabahasaan dan sebagainya. Seorang guru hendaknya selalau berusaha memehami tingkat kebahasaan siswa-siwanya sehingga berdasarkan pemahama itu guru dapat memilih materi yang cocok untuk disajikan. Dalam usaha meneliti ketepatan teks


(52)

yang dipilih, guru hendaknya tidak hanya memperhitungkan kosa kata dan tata bahasa, tetapi perlu mempertimbangkan situasi dan pengertian isi wacana termasuk ungkapan dan referensi yang ada. Di samping itu, perlu juga diperhatikan cara penulis menuangkan ide-idenya dan hubungan antar kalimat dalam wacana itu sehingga pembaca dapat memahami kata-kata kiasan yang digunakan (Rahmanto, 1998:28).

Salah satu bentuk bahan ajar adalah bahan ajar cetak. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan ajar cetak. Pertama, kita harus memperhatikan informasi yang terkandung di dalamnya, apakah sesuai dengan bahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik atau tidak. Kedua, jangan sampai bahan ajar yang kita pilih terkandung materi yang kurang sesuai dengan materi yang seharusnya menjadi menu peserta didik dalam mencapai kompetensi (Prastowo, 2011: 376).


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Prosedur Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan relasi dalam wacana kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2010) menyatakan metode deskriptif kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menhasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sebuah metode yang sering dianggap lebih sebagai suatu seni daripada sebuah ilmu. Walaupun demikian, ada langkah-langkah analisis yang biasanya dilakukan peneliti kualitatif yang dapat dijadikan acuan dalam upaya untuk memahami dan menginterprestasikan data yang diperoleh (Anggoro, 2007: 6.18). Lebih lanjut, Margono (2010: 39) mengemukakan penelitian kualitatif lebih menekankan segi proses daripada hasil. Data yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti lebih kaya dari sekadar angka atau frekuensi.

Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif artinya metode yang dilakukan dengan maksud memuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis. Metode


(54)

kualitatif antara lain bersifat deskriptif, data yang dikumpulkan lebih banyak berupa kata-kata daripada angka-angka (Moleong, 2010: 5). Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk membuat deskripsi atau gambaran untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010: 6). Menurut Anggoro (2007: 6.18) penelitian kualitatif memulai kegiatan penelitiannya dengan suatu fokus, pertanyaan, permasalahan, maupun teknik pengumpulan data tertentu yang dapat diantisipasinya, pada kenyataanya selalu berubah sesuai dengan umpan balik yang diperoleh di lapangan. Oleh sebab itu, proses analisis pada penelitian kualitatif ini sering dianggap lebih sebagai suatu seni daripada suatu ilmu. Dengan metode penelitian kualitatif ini, peneliti ingin memberikan penjelasan mengenai relasi dalam sebuah wacana cerpen yang akan diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di SMA.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah kumpulan cerpen Di Atas Sajadah Cinta, yang diterbitkan oleh Replubika yang bekerjasama dengan Pesantren Basmala Indonesia dan MD Entertainment cetakan ke-6 pada Juni tahun 2006, tebal buku 268 halaman. Cerpen yang akan dianalisis meliputi beberapa cerpen dari keseluruhan cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Data yang akan dianalisis berupa cuplikan teks cerpen pada setiap monolog dan dialog yang terdapat relasi di dalamnya.


(55)

Contoh data yang akan dianalisis sebagai berikut.

 Gadis bermata bening melepaskan pelukannya terhadap anak itu.  Sarah memandang wajah pucat di hadapannya dalam-dalam.

 Matanya bulat, bulu matanya lentik, dan bibirnya yang tipis. Sungguh wanita yang cantik.

Cerpen-cerpen yang dianalisis oleh penulis sebagai berikut. 1. “Di Atas Sajadah Cinta”

2. “Buah Cinta Berasas Taqwa”

3. “Ketika Derita Mengabadikan Cinta” 4. “Pencinta Dunia di Zaman Nabi” 5. “Mukjizat Baginda Nabi”

6. “Sedekah Berlipat 120 Ribu Kali” 7. “Ketika Madinah Paceklik” 8. “Sang Penolong”

9. “Tubuh Seharum Kesturi” 10.“Hadiah Seratus Cambukan” 11.“Ya Allah, Butakan Matanya” 12.“Kritikan Putri Imam Ahmad” 13.“Pengorbanan Anak Kecil” 14.“Ketika Cinta Berbuah Surga” 15.“Nyanyian Cinta”


(56)

3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi karena sumber data yang digunakan peneliti berupa dokumen tertulis, yakni sebuah buku fiksi tentang kumpulan cerpen.

Dalam menganalisis data peneliti mengacu pada pendapat Anggoro (2007: 6.17). Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membaca satu persatu cerpen Di Atas Sajadah Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dengan menandai wacana cerpen yang terdapat relasi dalam wacana sampai penulis menemukan data yang valid dan bervariasi. Selanjutnya, peneliti mendaftar data yang diperoleh.

2. Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan berdasarkan relasi referensi dan relasi leksikal. Hal ini dilakukan untuk memilih data yang mungkin sama dan saling mendukung atau sama sekali berbeda, dan data yang tidak mendukung dalam penelitian ini.

3. Menganalisis data yang telah diklasifikasikan sesuai dengan relasi referensi dan leksikal.

4. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari pandangan-pandangan yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan secara umum.

5. Mendeskripsikan implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA.


(57)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, relasi wacana dalam penelitian ini dibatasi menjadi relasi referensi dan relasi leksikal. Relasi referensi terbagi atas referensi pronomina, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Relasi referensi yang ditemukan ada yang berbentuk endofora (anafora dan katafora) dan eksopora. Sementara itu, relasi leksikal yang ditemukan berupa reinterasi (repitisi, sinonim, dan hiponim) dan kolokasi (antonim ekslusif dan antonim inklusif). Semua jenis relasi ini, ditemukan pada cuplikan teks cerpen baik yang berbentuk prolog maupun dialog yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini.

Berdasarkan jelas tidaknya benda atau orang yang dirujuk, referensi pronomina dalam kumpulan cerpen ini dapat dibedakan antara pronomina takrif dan taktakrif. Pronomina takrif meliputi pronomina persona I, II, dan III yang berkaitan dengan sudut pandang pengarang ketika ingin menuliskan sebuah cerita. Kata-kata yang ditemukan pada penelitian meliputi kata saya, aku, kamu, kau, anda, kita, kami, kalian, dia, ia, beliau, mereka, dan -nya. Pronomina taktakrif berhubungan dengan kata-kata yang merujuk pada orang atau benda yang tidak tertentu, seperti seseorang, sesuatu, siapa, dan apa-apa. Sementara itu, relasi leksikal dapat terjadi melalui pemilihan kata yang digunakan pengarang saat menulis sebuah cerita.


(58)

Berdasarkan fungsinya, relasi leksikal ini digunakan untuk menimbulkan efek atau kesan tertentu serta untuk memperkuat tempo, bunyi, dan irama sehingga dapat memperkuat isi cerita yang ditulis pengarang.

Penelitian ini berimplikasi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Dengan mempelajari relasi dalam wacana, siswa mampu menulis sebuah wacana cerpen yang padu. Penggunaan relasi dalam wacana juga dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana juga membantu siswa untuk menggunakan bahasa yang komunikatif dalam kegiatan komunikasi lisan misalnya pada saat memberikan tanggapan terhadap cerita yang dibuat teman, siswa menggunakan diksi yang tepat dan bahasa yang komunikatif sehingga si penulis cerita mudah memahami tanggapan yang disampaikan temannya. Standar kompetensi dan kompetensi dasar mengenai pilihan kata dan penggunaan kalimat efektif terdapat pada silabus SMA terutama dalam aspek berbicara dan menulis.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan, relasi dalam wacana merupakan salah satu penanda yang dapat menentukan tingkat keterbacaan dan kepaduan wacana cerpen yang ditulis seseorang. Oleh karena itu, guru sebaiknya memberikan pengetahuan mengenai penggunaan relasi dalam wacana kepada siswa pada saat akan memberikan materi menulis sebuah cerpen, sehingga siswa dapat memanfaatkan relasi dalam wacana untuk menghasilkan sebuah wacana cerpen yang padu. Selain itu, guru juga dapat memanfaatkan media cerpen sebagai alternatif sumber


(59)

pembelajaran. Bagi siswa, pengetahuan mengenai penggunaan relasi dalam wacana dapat membantu siswa dalam menghasilkan sebuah wacana cerpen yang padu sehingga wacana yang dihasilkannya dapat mudah dipahami oleh siswa lain. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana juga dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, M. Toha. 2007. Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka. El Shirazy, Habiburrahman. 2006. Di Atas Sajadah Cinta. Jakarta: Replubika.

Har, Aveus. 2009. Lintang, Sebuah Kumpulan Cerpen. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1994. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Margono, S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J. 2010. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta:

Diva Press

Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar). Bandarlampung: Universitas Lampung.

Sudaryat, Yayat. 2009. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Suhendar dan Pien, 1993. Pendekatan Teori sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.

Suyadi, dkk. 2005. Pedoman Penulisan GBPP, SAP, dan Bahan Ajar. Bandar Lampung: Universitas Lampung

Suyanto, Edi. 2011. Membina, Memelihara, dan Menggunakan: Bahasa Indonesia Secara Benar. Yogyakarta: Ardana Media.


(61)

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh Dalam Cerpen Indonesia: Kajian Sosio-Psikosastra Cerpen Agus Noor dan Joni Ariadinata . Bandarlampung: Universitas Lampung.

Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tarigan, H.G. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandarlampung:

Universitas Lampung.

Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.


(62)

(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, relasi wacana dalam penelitian ini dibatasi menjadi relasi referensi dan relasi leksikal. Relasi referensi terbagi atas referensi pronomina, referensi demonstratif, dan referensi komparatif. Relasi referensi yang ditemukan ada yang berbentuk endofora (anafora dan katafora) dan eksopora. Sementara itu, relasi leksikal yang ditemukan berupa reinterasi (repitisi, sinonim, dan hiponim) dan kolokasi (antonim ekslusif dan antonim inklusif). Semua jenis relasi ini, ditemukan pada cuplikan teks cerpen baik yang berbentuk prolog maupun dialog yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini.

Berdasarkan jelas tidaknya benda atau orang yang dirujuk, referensi pronomina dalam kumpulan cerpen ini dapat dibedakan antara pronomina takrif dan taktakrif. Pronomina takrif meliputi pronomina persona I, II, dan III yang berkaitan dengan sudut pandang pengarang ketika ingin menuliskan sebuah cerita. Kata-kata yang ditemukan pada penelitian meliputi kata saya, aku, kamu, kau, anda, kita, kami, kalian, dia, ia, beliau, mereka, dan -nya. Pronomina taktakrif berhubungan dengan kata-kata yang merujuk pada orang atau benda yang tidak tertentu, seperti

seseorang, sesuatu, siapa, dan apa-apa. Sementara itu, relasi leksikal dapat terjadi melalui pemilihan kata yang digunakan pengarang saat menulis sebuah cerita.


(2)

Berdasarkan fungsinya, relasi leksikal ini digunakan untuk menimbulkan efek atau kesan tertentu serta untuk memperkuat tempo, bunyi, dan irama sehingga dapat memperkuat isi cerita yang ditulis pengarang.

Penelitian ini berimplikasi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Dengan mempelajari relasi dalam wacana, siswa mampu menulis sebuah wacana cerpen yang padu. Penggunaan relasi dalam wacana juga dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana juga membantu siswa untuk menggunakan bahasa yang komunikatif dalam kegiatan komunikasi lisan misalnya pada saat memberikan tanggapan terhadap cerita yang dibuat teman, siswa menggunakan diksi yang tepat dan bahasa yang komunikatif sehingga si penulis cerita mudah memahami tanggapan yang disampaikan temannya. Standar kompetensi dan kompetensi dasar mengenai pilihan kata dan penggunaan kalimat efektif terdapat pada silabus SMA terutama dalam aspek berbicara dan menulis.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan, relasi dalam wacana merupakan salah satu penanda yang dapat menentukan tingkat keterbacaan dan kepaduan wacana cerpen yang ditulis seseorang. Oleh karena itu, guru sebaiknya memberikan pengetahuan mengenai penggunaan relasi dalam wacana kepada siswa pada saat akan memberikan materi menulis sebuah cerpen, sehingga siswa dapat memanfaatkan relasi dalam wacana untuk menghasilkan sebuah wacana cerpen yang padu. Selain itu, guru juga dapat memanfaatkan media cerpen sebagai alternatif sumber


(3)

pembelajaran. Bagi siswa, pengetahuan mengenai penggunaan relasi dalam wacana dapat membantu siswa dalam menghasilkan sebuah wacana cerpen yang padu sehingga wacana yang dihasilkannya dapat mudah dipahami oleh siswa lain. Selain itu, penggunaan relasi dalam wacana juga dapat membantu siswa dalam memilih diksi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas dan memperkuat makna dari isi cerpen yang dibuatnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, M. Toha. 2007. Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka. El Shirazy, Habiburrahman. 2006. Di Atas Sajadah Cinta. Jakarta: Replubika.

Har, Aveus. 2009. Lintang, Sebuah Kumpulan Cerpen. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1994. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Margono, S. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J. 2010. Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta:

Diva Press

Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia (Buku Ajar). Bandarlampung: Universitas Lampung.

Sudaryat, Yayat. 2009. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Suhendar dan Pien, 1993. Pendekatan Teori sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.

Suyadi, dkk. 2005. Pedoman Penulisan GBPP, SAP, dan Bahan Ajar. Bandar Lampung: Universitas Lampung

Suyanto, Edi. 2011. Membina, Memelihara, dan Menggunakan: Bahasa Indonesia Secara Benar. Yogyakarta: Ardana Media.


(5)

Suyanto, Edi. 2012. Perilaku Tokoh Dalam Cerpen Indonesia: Kajian Sosio-Psikosastra Cerpen Agus Noor dan Joni Ariadinata . Bandarlampung: Universitas Lampung.

Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Tarigan, H.G. 1997. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandarlampung:

Universitas Lampung.

Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.


(6)

Dokumen yang terkait

PERILAKU TOKOH YANG ‘HASANAH’ DALAM NOVEL “AYAT-AYA T CINTA” KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN IMPLIKASINYA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

2 71 101

ASPEK MORAL DALAM TOKOH NOVEL BUMI CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY TINJAUAN: PSIKOLOGI SASTRA Aspek Moral Dalam Tokoh Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Tinjauan: Psikologi Sastra.

0 2 12

ASPEK MORAL DALAM TOKOH NOVEL BUMI CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY TINJAUAN: PSIKOLOGI SASTRA Aspek Moral Dalam Tokoh Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Tinjauan: Psikologi Sastra.

0 2 15

KONFLIK BATIN DALAEL SHIRAZY Konflik Batin dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

0 3 11

PENDAHULUAN Konflik Batin dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

0 2 35

KONFLIK BATINSHIRAZY Konflik Batin dalam Novel Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy: Tinjauan Psikologi Sastra dan Implementasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

3 16 16

ASPEK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN GADIS KOTA JERASH KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN KAWAN-KAWAN: TINJAUAN Aspek Sosila dalam Kumpulan Cerpen Gadis Kota Jerash Karya Habiburrahman El Shirazy dan Kawan-kawan: Timjauan Sosiologi Sastra.

0 2 13

MAKNA RELIGI NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY: Makna Religi Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy: Analisis Semiotik Dan Aplikasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di Madrasah Aliyah.

0 0 13

CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL CINTA SUCI ZAHRANA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

0 0 94

INTERAKSI SOSIAL DALAM NOVEL BUMI CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL-SHIRAZY PERSPEKTIF GEORG SIMMEL DAN KAITANNYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

0 0 103