MENEROPONG KEWARGANEGARAAN INDONESIA Mer

MENEROPONG KEWARGANEGARAAN
INDONESIA
(Merujuk pada Kasus Arcandra Tahar, Gloria Natapraja Hamel, dan 177
Calon Haji Indonesia di Filipina)
Oleh: Lando Alfa Martogi Manurung1

SOROTAN KASUS
Kewarganegaraan adalah hak bagi setiap orang. Masa kini, kewarganegaraan sseorang
menjadi isu primadona dalam dunia olahraga. Sering kita jumpai bahwa seorang pesepakbola
muda (biasanya berusia kisaran 18-20) memiliki kewarganegaraan ganda dan diwajibkan
memilih salah satu kewarganegaraan negara anggota FIFA agar karirnya jelas di kemudian
hari. Bahkan, Indonesia tidak ketinggalan pula mengenai hal itu. Malahan, baru-baru ini
Indonesia dikejutkan dengan 3 kasus yang terjadi dalam kurun waktu berdekatan yaitu,
pengangkatan Arcandra Tahar (memiliki Paspor Amerika Serikat selain Paspor Indonesia
)pada 27 Juli 2016 sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM),
lolosnya Gloria Natapraja Hamel (memiliki Paspor Perancis) sebagai anggota Pasukan
Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka)pada 17 Agustus 2016, dan terakhir kepemilikan
Paspor Filipina oleh 177 Calon Haji Indonesia yang berangkat melalui Filipina pada Musim
Haji tahun ini, yaitu tahun 2016. Berita nasional memfokuskan perihal kewarganegaraan pada
kedua masalah pertama, sementara masalah terakhir lebih menyorot pada penyelenggaraan
pelaksanaan haji daripada edukasi mengenai kewarganegaraan calon haji walaupun

sebenarnya dapat dijadikan bahan diskusi mengenai kewarganegaraan. Tidak bisa dipungkiri
pula bahwa kedua masalah pertama terpicu akibat kondisi menyongsong Hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-71 pada 17 Agustus 1945 sebagai
perwujudan patriotisme warga negara.

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran angkatan 2011.

PEMBAHASAN SEBAGAI INFORMASI DAN EDUKASI
Pembahasan ini merupakan hasil pandangan pribadi dan kajian penulis dalam melihat
ketiga permasalahan di atas dilihat dari sudut Hukum Tata Negara yang didukung oleh
beberapa sumber bacaan untuk menguatkan pendapat pembahasan ini. Pembahasan ini
melihat ketiga kasus tersebut tanpa memperhatikan apa niatan politik di balik ketiga peristiwa
tersebut sehingga akan menghasilkan pendapat yang agak kaku jika dilihat dari kacamata
masyarakat umum. Dengan membaca pembahasan ini, pembaca diharapkan dapat
memperoleh informasi dan mendukung tersedianya informasi dasar berbasis kasus mengenai
kewarganegaraan ganda yang merujuk pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU No.12 Tahun 2006). Sehingga, pada akhirnya
polemik mengenai kewarganegaraan ketiga kasus tersebut dapat berkurang karena adanya

pembahasan berikut.

KEWARGANEGARAAN SEBAGAI HAK ASASI MANUSIA
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengungkapkan 4 syarat keberadaan negara 2,
yaitu:
(1) Ada penduduk tetap ( a permanent population)
(2) Ada wilayah tertentu ( a defined territory)
(3) Ada pemerintah (a government)
(4) Memiliki kemampuan secara mandiri untuk melakukan hubungan dengan negara lain
( a capacity to enter into relations with other states).
Syarat pertama tersebut memiliki pengertian tidak sekadar penduduk. Melainkan
penduduk tetap yang berarti warga negara. Sebab komposisi penduduk adalah gabungan
antara penduduk tetap dengan penduduk tidak tetap. Penduduk tetap berarti berada dalam
wilayah tersebut terus-menerus atau setidaknya bermukim di dalam wilayah tersebut tanpa
waktu yang terbatas. Sementara, penduduk tidak tetap berada dalam wilayah tersebut hanya

2

Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia dalam UU No. 12 Tahun 2006, Yogyakarta: FH UII Press ,
2009, hlm. 1.


dalam jangka waktu tertentu dengan alasan tertentu pula. Dengan demikian, penduduk tetap
tidak berbeda pengertiannya dengan warga negara.
Sebagai komponen penting dalam menyusun Negara Kesatuan Republik Indonesia 3,
warga negara ditegaskan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 28D
ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan”. Kewarganegaraan pulalah yang menimbulkan adanya hak dan
kewajiban dari orang terkait terhadap negaranya dan sebaliknya. Setiap hak dan kewajiban
tersebut tercantum didalam konstitusi dan peraturan yang ada di bawahnya. Dengan
demikian, jika seseorang dihalang-halangi dalam proses mendapatkan kewarganegaraan
secara segaja, bisa jadi pelaku dituntut melanggar HAM walaupun terlihat sederhana.
Selanjutnya, jika diperhatikan secara saksama UU No.12 Tahun 2006 tidak
memberikan kesempatan bagi setiap Warga Negara Indonesia menjadi apatride (tidak
berkewarganegaraan) yang berarti tidak ada peluang bagi orang tersebut untuk melepaskan
kewarganegaraan Indonesia tanpa memperoleh kewarganegaraan asing baginya. Yang
menjadi

kekhasan

undang-undang


ini

dibandingkan

undang-undang

mengenai

kewarganegaraan lainnya adalah mengenai kemudahan seseorang yang telah kehilangan
kewarganegaraan Indonesia untuk memperolehnya kembali tanpa mengikuti proses
naturalisasi yang membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini dapat dimaklumi, karena begitu
banyak warga negara Indonesia baik akibat politik maupun sosial telah berpindah
kewarganegaraan

demi

mempertahankan

hidup


di

negara

lain.

Undang-Undang

Kewarganegaraan ini menjadi peraturan mengenai kewarganegaraan tersempurna untuk saat
ini jika dibandingkan dari peraturan yang telah ada terlebih dahulu karena tidak melihat Suku,
Agama, Ras, Antar-golongan (SARA); “pemaaf” (memberikan peluang mudah untuk
memperoleh kembali Kewarganegaraan Indonesia); dan tentunya memperjuangkan
kesetaraan gender (memberikan hak kepada wanita untuk memilih kewarganegaraan
layaknya seperti hak yang dimiliki oleh laki-laki)4.
Hal penting lainnya yang dianut oleh UU No. 12 Tahun 2006 ini adalah mengenai
asas-asas yang terkandung di dalamnya 5, yaitu:

3


Lihat Penjelasan Umum UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.

4

Lihat Bagir Manan, Op.cit., hlm 112 mengenai asas equal facility.

5

Ibid,hlm 9.

(1) Asas ius sanguinis (law of the blood)
Asas ini menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
(2) Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas.
Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran,
yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UU No.12 Tahun 2006.
(3) Asas kewarganegaraan tunggal
Asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi tiap orang.
(4) Asas kewarganegaraan ganda terbatas.

Asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006.
Asas yang menjadi sorotan utama disaat isu mengenai globalisasi merebak di dunia
adalah asas kewarganegaraan tunggal. Banyak negara-negara maju yang menganut
kewarganegaraan ganda dan segala variasinya (akan dibahas sepintas pada bagian akhir).
Sementara Indonesia kukuh pada anti kewarganegaraan ganda untuk warga negara berusia
dewasa. Hal ini dinilai menyulitkan kebingungan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang
ingin berkarya di luar negeri namun masih mencintai Indonesia.

MENTERI ESDM DIJABAT OLEH “ORANG ASING”
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan
pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Begitulah perkataan Bung Hatta (Wakil Presiden Indonesia 1945-1956).6 Tidak dapat
dipungkiri bahwa kejujuran sangat dekat dengan integritas.

6

James Luhulima, Kolom Politik Kompas, Sabtu, 20 Agustus 2016, hlm 2.

Pada 27 Juli 2016, Arcandra Tahar diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, Joko

Widodo menjadi Menteri ESDM. Beliau memiliki rekam jejak yang sangat bagus dalam
meniti karirnya sebagai seorang profesional dibidang eksploitasi oil and gas. Secara
kemampuan praktik, beliau yang meraih gelar master dan doktor di luar negeri ini sangat
layak dijadikan menteri. Namun, pada tanggal 15 Agustus 2016, beliau diberhentikan oleh
presiden melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam jumpa pers di Kantor Presiden.
Praktis, masa jabatan beliau hanya 20 hari dan memecahkan rekor menjadi menteri paling
singkat masa jabatannya sejak Indonesia berdiri. Hal ini tentu mengejutkan banyak pihak.
Pemberhentian ini berawal dari munculnya pembicaraan di grup Whatsapp yang
meributkan mengenai Arcandara Tahar yang telah memperoleh kewarganegaraan Amerika
Serikat

pada Maret 2012. Pada awalnya, beliau bersikeras bahwa beliau masih

berkewarganegaraan Indonesia. Namun, presiden berkehendak lain dan ingin menyelesaikan
masalah ini dengan memberhentikan beliau. Tindakan ini dirasa penulis adalah tindakan yang
tepat karena presiden hendaknya mematuhi undang-undang.
Pada pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara (UU No. 39 Tahun 2008) menyatakan bahwa ada beberapa syarat utama untuk
menjabat seorang menteri, yaitu:
a. Warga Negara Indonesia.

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan.
d. Sehat jasmani dan rohani.
e. Memiliki integritas dan kepribadian yang baik.
f. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap akrena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Berdasarkan informasi yang diperoleh7, Arcandra Tahar telah memperoleh
Kewarganegaraan Amerika Serikat pada Maret 2012. Namun, beliau tetap mempertahankan
7

Lihat Kompas Edisi Sabtu, 20 Agustus 2016.

Kewarganegaraan Indonesianya dengan memperbaharuinya di Konsulat Jenderal Republik
Indonesia di Houston, Amerika Serikat, pada Februari 2012 yang akan berlaku hingga tahun
2017. Anehnya, ketika beliau ditawarkan menjadi menteri oleh presiden, kemungkinan besar
beliau tidak mengaku memiliki kewarganegaraan asing. Hal ini tentu membuatnya tidak
memenuhi kualifikasi di atas bahwa calon menteri harus berintegritas. Integritas dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian mutu, sifat, atau keadaan yang

menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan; kejujuran. Dari pengertian tersebut kita mengetahui bahwa
integritas bermakna kejujuran. Sementara, Arcandra Tahar telah tidak jujur mengenai
kewarganegaraannya kepada masyarakat Indonesia pastinya. Apakah beliau adalah benar
tidak berkewarganegaraan Indonesia lagi? Jawabnya dalah tidak. Ketika beliau telah
menerima kewarganegaraan Amerika Serikat, otomatis kewarganegaraan Indonesia yang
beliau miliki terlepas ditambah lagi dalam memperoleh kewarganegaraan asingnya, ia
mengangkat sumpah. 8 Lalu, apakah pasal 23 huruf b9 tidak dapat berlaku untuk beliau dalam
pengertian ketentuan tersebut berlaku jika orang terkait ketahuan memiliki kewarganegaraan
ganda? Penulis berpandangan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku dalam kondisi seperti
itu. Justru kondisi tersebut berlaku jika orang tersebut karena suatu hal diberikan
kewarganegaraan asing dan ia tidak menolaknya. Terlebih lagi, tidak ada pengaturan khusus
mengenai WNI yang ketahuan berkewarganegaraan ganda dalam peraturan yang ada
sehingga memungkinkan pelaksanaan pasal 23 huruf b dalam pemahaman orang tersebut
ketahuan berkewarganegaraan ganda. Dengan kata lain, beliau telah tidak memenuhi
kualifikasi sebagai Menteri ESDM.
Sepintas, sebagian mungkin mempertanyakan apa alasan filosofis seorang menteri
harus dijabat oleh WNI, bukan warga negara asing seperti beberapa negara asing yang pernah
mengizinkan menterinya berasal dari luar negara mereka pula. Hikmahanto Juwana
berpendapat


bahwa

jabatan menteri merupakan personifikasi dari negara.

Yang

mendudukinya tentu harus mengutamakan negara yang diwakili kepentingannya. Sangat sulit
dipahami bahwa orang yang berkewarganegaraan asing mengutamakan kepentingan engara
yang asing pula baginya sementara dia harus bersumpah dan selalu memegang sumpah setia

8

Lihat pasal 23 huruf a dan f UU No. 12 Tahun 2006.

Berbu yi de ikia tidak e olak atau tidak elepaska kewarga egaraa lai , seda gka ora g ya g
bersa gkuta
e dapat kese pata u tuk itu

9

jabatan tersebut.10 Sehingga, hal ini menutup kemungkinan peluang seorang asing menduduki
jabatan menteri di Indonesia secara keseluruhan.
Mengenai nasib Arcandra Tahar yang diduga turut kehilangan Kewarganegaraan
Amerika Serikatnya setelah dilantik menjadi pejabat negara Indonesia mengakibatkan beliau
berstatus apatride (tidak memiliki kewarganegaraan), bisa saja andaikan itu benar pemerintah
Indonesia mengeluarkan Surat Perjalanan Laksana Paspor khusus bagi orang tanpa
kewarganegaraan jika beliau akan bepergian ke luar wilayah Indonesia atas pertimbangan
kemanusiaan dan ketertiban umum (openbaar orde)11 walaupun hal ini sebenarnya sangat
jarang terjadi. Langkah terbaik untuk mempertahankan melekatnya hak dan kewajiban beliau
saat ini adalah demikian. Selanjutnya, apakah mungkin ada cara khusus untuk Arcandra
Tahar memperoleh kembali Kewarganegaraan Indonesia? Jawabannya adalah ya. Pasal 20
UU No. 12 Tahun 2006 membuka peluangnya selain dalam konsiderans menimbang undangundang ini menyatakan bahwa adanya jaminan terhadap potensi seseorang dalam rangka
penegakan HAM. Pasal 20 ini termasuk unik karena memusatkan perhatian pada kata-kata
“alasan kepentingan negara”. Menurut Bagir Manan, ketentuan tersebut adalah turunan
ketentuan dari aturan sebelumnya, yaitu pasal 6 Undang-Undang No. 62 Tahun 1958.
Namun, Bagir Manan berpendapat bahwa pewarganegaraan dengan cara ini menuntut
inisiatif dari penerima kewarganegaraan, bukan dari pemerintah Indonesia.12 Jelas bahwa
Arcandra Tahar memenuhi kualifikasi demi kepentingan negara dalam hal eksplorasi oil and
gas dalam memenuhi kebutuhan energi negara.beliau adalah ahli yang tepat dibidang
tersebut. Namun, tentunya untuk meraihnya Arcandra Tahar harus memastikan bahwa dia
tidak memiliki kewarganegaraan lain dan lolos dari pertimbangan Dewan perwakilan Rakyat
(DPR).

PASKIBRAKA ADALAH PUTERA-PUTERI TERBAIK INDONESIA
Gloria Natapradja Hamel adalah anggota Paskibraka Putri 2016. Sejak awal seleksi
hingga lolosnya dia menjadi anggota Paskibraka tidak ada halangan apapun dari panitia

10

Hikmahanto Juwana, Opini Kompas: Talenta Indonesia dan Dwikewarganegaraan, Kamis, 25 Agustus 2016.

11

Bagir Manan, Op.cit., hlm 126.

12

Ibid, hlm 116.

seleksi. Namun, beberapa hari sebelum hari puncak, yaitu sebelum pada tanggal 17 Agustus
2016 tersiar kabar bahwa Gloria memiliki paspor Perancis. Bukan karena ia memiliki
kewarganegaraan ganda, melainkan orang tuanya tidak mendaftarkan dia sebagai WNI yang
menurut pasal 41 UU No. 12 Tahun 2006. Alhasil, ia hanya berkewarganegaraan Perancis
dan dia bersekolah di Indonesia dengan status sebagai Warga Negara Asing (WNA). Hal ini
kemudian dikonfirmasi benar oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.
Pada upacara penaikan Bendera Pusaka, Gloria tidak ikut tampil. Hal ini dinilai
penulis sebagai keputusan tepat mengingat dari hukum positif yang ada walaupun
sesungguhnya hal tersebut cukup mengecewakan Gloria dan sebagian rakyat Indonesia. Tapi
harus diakui bahwa kesalahan seperti ini menjadi sorotan publik bertepatan dengan
merebaknya kasus Arcandra Tahar.
Paskibraka dalam Buku I Pedoman Kegiatan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka
dalam Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Nomor 0065 Tahun 2015
(selanjutnya disebut Buku Pedoman) mengungkapkan dalam Hakekat Paskibraka bahwa
Paskibraka merupakan putera-puteri terbaik bangsa, kader pemimpin bangsa yang direkrut
dan diseleksi secara bertahap dan berjenjang, melalui sistem dan mekanisme pendidikan dan
pelatihan yang menamakan nilai-nilai kebangsaan serta penguatan aspek mental dan fisik
agar memiliki kemampuan prima dalam melaksanakan tugas sebagai pasukan pengibar
bendera pusaka. Penekanan pada putera-puteri bangsa menjadi hal penting sebab menjadi
kata pertama sekaligus syarat utama untuk bergabung dengan Paskibraka. Kemudian, dalam
Buku Pedoman tersebut terdapat pula syarat untuk menjadi anggota Paskibraka,13 yaitu:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Tidak buta warna;
d. Memiliki tinggi dan berat badan yang ideal (lihat dalam Juklak Seleksi);
e. Pada waktu seleksi di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, peserta seleksi masih
kelas X. Pada waktu penugasan (17 Agustus) duduk di kelas XI SLTA atau sederajat.
f. Lulus seleksi sesuai dengan jenjang tingkat seleksi;
13

Lihat dalam halaman 17 Buku Pedoman.

g. Bersedia mengikuti pemusatan pendidikan dan pelatihan;
h. Memiliki surat izin dari kepala sekolah dan orang tua/wali;
i.

Memiliki prestasi akademik yang baik.
Dari hal-hal diatas dapat ditemukan bahwa Gloria tidak memenuhi syarat dasar

sebagai Warga Negara Indonesia walaupun ia telah bersekolah di Indonesia karena selama 4
tahun yang diberikan UU No 12 Tahun 2006 tidak digunakan oleh orang tuanya untuk
mendaftarkannya sebagai WNI.14 Hal ini merupakan kesalahan fatal yang kemudian dipadu
dengan cerobohnya petugas perekrutan Paskibraka.
Sehingga, seharusnya Gloria Natapradja Hamel tidak lolos menjadi anggota
Paskibraka kecuali orang tuanya dapat membuktikan bahwa Gloria memperoleh
kewarganegaraan Indonesia. Apalagi dalam konsiderans menimbang Peraturan Menteri
Pemuda dan Olaharaga no 0065 tahun 2015 mengingatkan kembali bahwa pengibaran
Bendera Pusaka dilakukan oleh putera-puteri terbaik dari seluruh Indonesia. 15 Hal tersebut
mengingatkan kembali bahwa syarat WNI merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar
mengingat pengibaran Bendera Pusaka adalah peristiwa yang sekaligus mengenang detikdetik perjuangan Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Mungkin hal ini terdengar sulit bagi banyak pihak tetapi hukum
telah menentukan sebelum kejadian ini terjadi dan telah ada jawabannya.

BERHAJI DENGAN TERPAKSA MEMAKAI PASPOR ASING
Terdapat 177 calon haji 2016 asal Indonesia yang tertahan di Filipina akibat memakai
paspor palsu Filipina. Hal ini tentu menampar wajah kementerian Agama Indonesia yang
kurang cermat dalam mengontrol perjalanan haji warganya. Media beramai-ramai
memberitakan mengenai nasib ataupun jadi/tidak jadinya berangkat ke Arab Saudi untuk
menunaikan ibadah Haji. Tidak banyak yang sadar bahwa kejadian ini sedikit berkenaan
dengan persoalan kewarganegaraan. Hal ini disebabkan oleh calon haji tersebut memegang
paspor palsu Filipina. Jika dicermati, tentu akan banyak yang bertanya apakah hal tersebut
14

Lihat Hikmahanto Juwana dalam Opini Kompas: Talenta Indonesia dan Dwikewarganegaraan, Kamis, 25
Agustus 2016.

15

Lihat konsiderans menimbang huruf b.

mengakibatkan kehilangan kewarganegaraan Indonesia? Mungkin pembahasan mengenai hal
itu hanya sedikit saja namun patut pula untuk dijawab.
Seperti yang kita ketahui bahwa jadwal tunggu Haji di Indonesia bermacam-macam
dan biasanya bertahun-tahun. Sementara, terdapat oknum tertentu dari Filipina yang bekerja
sama dengan oknum pelaksan tur haji di Indonesia yang menawarkan waktu tunggu yang
cukup singkat, yaitu 1 tahun.tentu hal ini menggiurkan. Sebanyak 177 calon haji akan
diberangkatkan dari Filipina dengan Paspor Filipina karena menggunakan jatah kuota
cadangan haji Filipina dengan cara ilegal. Ilegal karena ke 177 calon haji tersebut diberikan
paspor palsu Filipina dan bahkan sebagian besar dari mereka tidak mengetahui bahwa mereka
akan diberikan itu dan hal tersebut melanggar hukum negara tersebut. Sampai musim haji
tiba, 177 calon haji tersebut tetap bermukim di Indonesia sehingga terlihat janggal jika dalam
1 tahun dari pendaftaran mereka dapat memperoleh kewarganegaraan Filipina andaikan
mereka benar-benar jujur berpindah kewarganegaraan.
Selanjutnya,

apakah dengan kepemilikan Paspor

Filipina

walaupun palsu

mengakibatkan 177 calon haji tersebut kehilangan kewarganegaraan Indonesia? Jawabannya
adalah tidak. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 pasal 23 huruf a dinyatakan bahwa kehilangan
kewarganegaraan jika memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri. Hal ini
perlu ditegaskan bahwa ke 177 tidak pernah memiliki dasar “atas kemauannya sendiri”.
Bahkan, mengucapkan sumpah menjadi warga negara Filipinapun tidak. Paspor diberikan
kepada mereka tanpa pernah dikabarkan jauh-jauh hari bahwa mereka akan berhaji sebagai
seseorang berkewarganegaraan Filipina. Lalu, mungkin ada pertanyaan yang timbul
bagaimana dengan pasal 23 di huruf h undang-undang yang sama.16 Pasal tersebut memang
tidak menyebutkan persoalan paspor palsu atau tidak. Namun jika ditelusuri dengan logika
umum, kita mengetahui bahwa kata ‘paspor’ di ketentuan tersebut merujuk pada paspor
sebenar-benarnya yang diakui oleh negara bersangkutan. Bagir Manan menyebutkan
setidaknya seseorang akan memenuhi ketentuan tersebut jika memiliki paspor ataupun Surat
Perjalanan Laksana Paspor.17 Dari situ dapat diartikan bahwa paspor palsu tidak mendapatkan
tempat alias tidak diakui sebagai pemenuhan ketentuan huruf h tersebut. Maka,

16

Bunyinya demikian, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang
dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya
17

Bagir Manan, Op. Cit., hlm 120.

kesimpulannya adalah bahwa ke-177 calon haji tersebut tetap memegang kewarganegaraan
Indonesia.

ADMINISTRASI PEWARGANEGARAAN DUNIA YANG LEMAH
Sub judul ini dinilai penulis tidak berlebihan. Hal ini dapat kita lihat dari apa yang
terjadi pada ketiga kasus di atas. Ketiganya memiliki permasalahan tidak adanya koneksi
antar negara mengenai pewarganegaraan. Misalkan A adalah Warga Negara Indonesia yang
kemudian beberapa tahun kemudian berpindah menjadi Warga Negara Amerika Serikat.
Kepindahannya tidak menuntut adanya pemberitahuan kepada negara asal (Indonesia) dari
negara

tujuan

(Amerika

Serikat)

agar

tidak

terjadi

kesalahan

pada

pendataan

kewarganegaraan negara masing-masing. Hal inilah yang terjadi pada Arcandra Tahar. Untuk
mengetahui kebenarannya, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kecerobohan pemilihannya dipastikan harus mengecek langsung ke sistem pendataan warga
negara milik Amerika Serikat. Hal ini tentu merepotkan walaupun terlihat sederhana. Begitu
pula dengan kasus 177 calon haji. Sementara untuk kasus Gloria, negara bisa terhitung lalai
karena menyebabkan seorang WNA menjadi anggota Paskibraka. Namun di sisi lain, bisa
jadi orang tua Gloria tidak mendaftarkan anaknya menjadi WNI sesuai ketentuan UU No. 12
Tahun 2006 akibat kurangnya persebaran informasi mengenai undang-undang tersebut.
Orang tuanya memang tidak memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut, sementara kita
tahu bahwa dalam hukum berlaku asas fiksi hukum (semua orang dianggap tahu hukum).
Dengan demikian, ada dua hal yang harus diperbaiki dalam hal administrasi
pewarganegaraan ini, yaitu:
1) Hendaknya ada satu sistem khusus mengenai pendataan warga negara yang berpindah
kewarganegaraan agar mencegah terjadinya penyelundupan kewarganegaraan yang
mengakibatkan adanya peluang dwikewarganegaraan di negara yang menganut asas
kewarganegaraan tunggal. Hal ini dikarenakan bahwa pelepasan atau kehilangan
kewarganegaraan khususnya di Indonesia, dan dunia pada umumnya tidak
mengharuskan adanya keputusan presiden atau penetapan tertentu.
2) Adanya persebaran informasi mengenai peraturan kewaragnegaraan yang efektif
untuk

mencegah adanya kelalaian warga

negara

maupun petugas dalam

mempertahankan ataupun melepaskan kewarganegaraan seperti yang dikehendaki
orang terkait.

QUO VADIS, POLITIK PEWARGANEGARAAN INDONESIA?
Bagir manan membedakan prinsip politik pewarganegaraan menjadi 2, yaitu:
immigrant state dan non immigrant state.18 Prinsip immigrant state biasanya dijalankan oleh
negara berpenduduk jarang dengan memperlancar arus masuk orang asing menjadi warga
negaranya sementara non immigrant state adalah kebalikannya. Negara immigrant state
memiliki kecenderungan untuk menggunakan asas kewarganegaraan ganda karena
penduduknya jarang walaupun ada negara yang menetapkan demikian karena keterkaitan
budaya atau sejarah. 19 Indonesia menurut pandangan penulis termasuk kepada non immigrant
state karena bukan tergolong pada negara yang berpenduduk jarang dan menganut asas
kewarganegaraan tunggal pula.
Saat ini banyak pihak yang mengusulkan agar Indonesia menganut asas
kewarganegaraan ganda. Faktanya banyak Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar
negeri memiliki keinginan menjadi warga negara tempat mereka berdomisili sementara
walaupun mereka tetap ingin menjadi WNI. Selain itu, negara-negara maju sangat akrab
dengan dwikewarganegaraan sehingga memungkinkan menjadi WNI sembari menjadi warga
negara salah satu negara maju tersebut.
Ada tiga masalah penerapan dwikewarganegaraan menurut Hikmahanto Juwana 20,
yaitu:

18

Ibid, hlm 88.

19

Misalkan saja seperti Turki dengan Jerman yang memiliki kaitan sejarah bahwa banyak Bangsa Turki yang
berpindah ke Jerman dan berganti kewarganegaraan. Hal ini kemudian disiasati dengan diperbolehkannya
dwikewarganegaraan diantara kedua negara. Adapula kaitan sejarah antara Spanyol dengan negara bekas
koloninya sejak revolusi industri. Hal ini mengakibatkan Sapnyol memperbolehkan kewarganegaraan ganda
dengan negara-negara seperti Filipina, Arentina, Bolivia, dan sebagainya.
20

Hikmahanto Juwana, Loc. Cit.

1) Dwikewarganegaraan yang utuh dalam penerapannya akan memungkinkan orang
asing yang tak punya kaitan dengan Indonesia dapat memiliki kewarganegaraan
Indonesia.
2) Dwikewarganegaraan rentan disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.
3) Secara keamanan pun masalah dwikewarganegaraan sangat rentan mengingat
berbagai instansi pemerintah di Indonesia belum memiliki alat canggih untuk dapat
mendeteksi pemilik paspor ganda.
Benar bahwa dwikewarganegaraan memiliki banyak masalah. Namun, masalah yang
timbul sekarang adalah banyaknya aliran manusia berkualitas berpindah dari negara
berkembang menuju negara maju. Indonesia telah kehilangan beberapa orang karena
terganjal asas kewarganegaraan tunggal. Mahfud MD mengungkapkan bahwa hukum harus
diaktualkan

sesuai

dengan

perkembangan

masyarakat.

Gagasan

pemberlakuan

dwikewarganegaraan bisa saja diteruskan untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat
Indonesia. 21
Harus diwaspadai jika suatu saat Indonesia menganut asas dwikewarganegaraan,
maka orang asing akan berlomba menjadi Warga Negara Indonesia karena Indonesia
memiliki sumber daya alam melimpah. Bisa saja mereka hanya dengan tujuan mencari makan
dan setelah selesai tidak akan peduli lagi dan cederung pragmatis. Namun, fenomena brain
drain

22

yang dialami oleh negara maju menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan.

Sementara, nasionalisme WNI yang berpindah kewarganegaraan tidak perlu diragukan.
Kebanyakan dari mereka yang pernah diliput oleh media menyatakan bahwa mereka cinta
Indonesia.
Maka dari itu, penulis menawarkan konsep yang berbeda dengan politik
pewarganegaraan pada umumnya dan bahkan mungkin akan terbilang baru sepengetahuan
penulis. Penulis menyarankan agar Indonesia menganut “Multikewarganegaraan Terbatas
untuk Bangsa Asli Indonesia”. Maksudnya seperti apa? Konsep tersebut berbeda dengan
21

22

Mahfud MD, Opini Kompas: Pengaturan Dwikewarganegaraan, Rabu, 7 September 2016.

Lihat Kolom Kompas Politik & Hukum: Transnasionalisme dan Jalan Pintas, Rabu, 24 Agustus 2016.
Diungkapkan bahwa brain drain adalah perpindahan kaum cemerlang dari negara berkembang menuju negara
maju akibat dari berbagai faktor, misalkan jaminan hidup, sarana penelitian, dan sebagainya.

dwikewarganegaraan terbatas yang kita ketahui selama ini, yaitu dwikewarganegaraan anakanak hingga usia 18 tahun. “Multikewarganegaraan Terbatas untuk Bangsa Asli Indonesia”
yang dimaksud penulis adalah bahwa seorang Bangsa Indonesia Asli menurut pasal 2 UU No.
12 Tahun 200623 diperbolehkan untuk memiliki berbagai kewarganegaraan asing selain
kewarganegaraan Indonesia. Hal ini akan sangat membantu Indonesia karena ini menjadi
salah satu siasat mempercepat pembangunan Indonesia diberbagai bidang. Misalkan saja,
seorang peneliti Indonesia merasa kesulitan melakukan penelitian mengenai nuklir di
Indonesia akan hijrah ke Swiss untuk mengembangkan penelitiannya yang akan mungkin
dilakukan jika dia juga menjadi warga negara Swiss. Ketika ia nantinya berhasil, akan besar
peluangnya untuk membantu Indonesia. Masih banyak pula bidang lainnya yang akan
bernasib sama. Tidak bisa dipungkiri, jika kita tetap menunggu dan tidak menciptakan sistem
yang menguntungkan, kita akan tertinggal dari negara lain. Selama niat dan tujuannya baik
dan dilakukan dengan cara yang santun tanpa meninggalkan kesan sekadar memanfaatkan
negara tujuan, konsep ini akan menguntungkan banyak pihak karena akan mengurangi beban
negara-negara dunia dalam mengurangi ketertinggalan pembangunan, kemiskinan, dan
mengurangi jurang perbedaaan “negara-negara utara” dan “negara-negara selatan”.
Menurut konsep yang diajukan penulis ini pulalah bahwa warga negara yang disahkan
oleh undang-undang menurut pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 (pada umumnya yang melalui
naturalisasi) tidak diberikan hak “Multikewarganegaraan Terbatas untuk Bangsa Asli
Indonesia”. Hal ini untuk mencegah orang asing hanya memanfaatkan Indonesia sebagai
tempat untuk sekadar cari makan. Dengan konsep ini pulalah Indonesia tetap santun dengan
tidak “mencaplok” warga negara asing yang berkualitas untuk menjadi warga negaranya
seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju selama ini. Keberanian bangsa kita
untuk memajukan konsep ini akan ditunggu di masa yang akan datang dan mungkin akan
penulis bahas kembali lebih detil pada kesempatan lebih lanjut.

23

Jika kita cermati, Bangsa Indonesia Asli adalah orang yang sejak lahir memegang kewarganegaraan
Indonesia.