Latar Belakang Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) T2 752010006 BAB I
1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Setiap budaya dari suatu kelompok masyarakat, pada dasarnya memiliki cara untuk menghadapi “siklus kehidupan”, salah satunya kematian. Didalamnya terdapat nilai-nilai
pendampingan pastoral yang secara tidak sadar telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui istilahnya seperti sekarang ini. Nilai-nilai pendampingan pastoral inilah yang
membuat masyarakat atau individu secara sadar atau tidak sadar merasakan adanya pendampingan pastoral sebagai upaya saling menolong dalam budaya tersebut, terutama
ketika menghadapi kematian, kehilangan dan kedukaan. Hal ini juga terjadi dalam budaya Sabu.
Pendampingan adalah proses perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang yang didampingi agar
dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan
berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritial, dan sosial.
1
Menurut Holifield, pastoral berkaitan erat dengan jabatan, wewenang, fungsi, dan tugas seorang pastor yang tertahbiskan. Sedangkan pastoral care cure of the souls, yang
dalam bahasa Indonesia bearti pendampingan pastoral diartikan lebih pada perorangan praktik umum, artinya dapat dilakukan oleh siapa saja yang ingin melayani sesama yang
membutuhkan.
2
Seseorang yang bersifat pastoral pastoral adalah kata sifat dari pastor
1
Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, Yogyakarta : Galang Press, 2006 hal. 57-58
2
Bahan kuliah Teori Pastoral,Salatiga: 2011, oleh Totok S. Wiryasaputra
2
adalah seseorang yang bersedia merawat, memelihara, melindungi, dan menolong orang lain. Jadi warna khas kristen dari pendampingan digambarkan melalui istilah “pastoral”.
3
Menilik makna pastoral yang seperti dimaksudkan diatas, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek pendampingan adalah manusia, khususnya anggota jemaat
dimana pastor atau pelayan melakukan tugas-tugas pastoralnya. Namun dalam perkembangan pemahaman terhadap tugas-tugas
gereja, pemaknaan pastoral pun mengalamai perkembangan, sehingga sering disebut bahwa pastoral juga mencakup pelayanan gereja
secara khusus, maupun pelayanan di luar gereja, kepada semua manusia. Orang Sabu memiliki sifat mobilitas tinggi. Hal ini mengakibatkan penyebarannya ke
seluruh wilayah di Nusa Tenggara Timur cukup menyolok. Daerah yang biasa menjadi tujuan rantauan adalah Ende, Kupang, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Hampir semua orang
Sabu yang merantau bertujuan untuk mencari pekerjaan dan sebagianya ada yang tinggal dan menetap selamanya di daerah tersebut. Jenis pekerjaan yang dicari beragam, sesuai dengan
latar belakang pendidikan yang mereka punya. Sebagian bekerja sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, kuli bangunan dan lain-lain. Sedangkan yang telah lama tinggal
menetap di daerah tertentu atau yang orang Sabu yang lahir dan besar di luar daerah asal orang tuanya biasanya bekerja sebagai pegawai negeri dan beberapa pekerjaan lain.
Suku Sabu memiliki budaya yang unik dan menarik yang tampak dari berbagai seni yang menonjol adalah seni tari dan tenun dan upacara-upacara adat, seperti kematian,
kelahiran dan lain-lain. Dapat dikatakan, kehidupan orang Sabu berjalan dari upacara satu ke upacara yang lain. Selain yang berkaitan dengan kegiatan musiman, ada upacara yang
berkaitan dengan tahap-tahap hidup manusia, mulai dari upacara kelahiran, “permandian”,
3
Aart Van Beek, Konseling Pastoral, Semarang: Satya Wacana, 1987, hal. 6
3
sunat, upacara memasah gigi atau gosok gigi, upacara perkawinan, upacara bagi orang sakit sampai upacara kematian.
4
Dari semua rangkaian upacara adat yang ada dalam budaya orang Sabu, penulis lebih tertarik untuk melakukan penelitian tentang upacara kematian. Dalam pandangan orang Sabu,
kematian menandai berakhirnya hubungan yang ada dan sekaligus perpisahan menuju ke dunia gaib “nun jauh disana”.
5
Orang Sabu mengenal dua jenis kematian, yakni made nata mati manis dan made haro mati asin. Jenis kematian itu didasarkan pada cara terjadinya.
Kematian wajar dan melewati proses yang berangsur-angsur seperti menderita panyakit, tergolong mati manis. Sebaliknya kematian yang datang secara tiba-tiba dan dianggap belum
saatnya tergolong mati asin, misalnya disambar petir, jatuh dari pohon, tenggelam, kena benda tajam dan bunuh diri dan lain lagi. Kedua jenis kematian itu menyebabkan adanya
perbedaan upacara yang dilakukan.
6
Dalam upacara kematian orang Sabu, terdapat berbagai tahap yang harus dilakukan. Dalam setiap bagiannya terdapat makna dan artinya masing-masing. Seperti, jika terjadi
kematian maka ada salah satu orang yang dituakan dalam keluarga itu, mendendangkan semacam nyanyian ratapan di samping jenazah mulai dari hari pertama meninggal sampai
sebelum dimakamkan. Isi dari nyanyian ratapan ini adalah susunan silsilah dari keluarga silsilah keturunan orang yang meninggal sampai kepada yang meninggal. Tujuan umumnya
adalah agar keluarga, baik keluarga yang tinggal serumah dengan orang yang meninggal maupun yang datang melayat serta teman dan kenalan orang yang meninggal ini mengetahui
dari ratapan tersebut ada hubungan keluarga atau tidak. Menurut penulis hal ini mungkin dilakukan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan anggota keluarga lainnya walaupun
salah satu anggota keluarga ada yang telah meninggal.
4
Nico L. Kana, Dunia Orang Sawu, Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983 , hal. 37
5
Ibid, hal.42
6
Ibid., hal.57
4
Setiap kebudayaan sebenarnya telah memuat berbagai “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” cultural means and wisdom untuk membantu warganya dalam
menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia. Kematiaan dan kedukaan merupakaan bagian integral dari siklus perkembangan kehidupan manusia, maka pastilah
setiap “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” dapat membantu warganya melewati kematian dan kedukaan. Dengan “perangkat” dan “kebijaksanaan budaya” tersebut, paling
tidak anggota masyarakat ditolong secara kultural. Orang yang sedang berduka dibantu sedemikian rupa sehingga tidak merasa sendirian dalam melintasi masa-masa sulit.
7
Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Siapa saja pasti mengalami hal itu, baik tua maupun muda, miskin maupun kaya, ataupun
lelaki dan perempuan, semuanya pasti akan mengalaminya. Kematian sering diibaratkan sebagai pencuri di malam hari ataupun sebagai tamu tak diundang, bahkan ada yang
mengibaratkan kematian sebagai musuh yang kejam.
8
Oleh karena itu orang yang berduka perlu terus didampingi selama masa berdukanya sehingga ia tidak mudah jatuh dalam
keterpurukan. Salah satu bentuk pendampingan yang dilakukan adalah melalui kebudayaan yang dimiliki oleh orang yang berduka tersebut.
Orang Sabu masih memegang tradisi ritual kebudayaan mereka dengan kuat. Akan tetapi jika ada orang yang telah tinggal di luar pulau Sabu, ritual yang dilakukan tidak lagi
serumit ritual asli yang masih dilakukan oleh orang-orang di pulau Sabu. Bagi orang yang masih melakukan ritual adat tertentu biasanya dikarenakan orang yang meninggal adalah
orang sudah tua atau orang yang dituakan sehingga masih sering melakukan hal itu atau ada anggota keluarga yang mengetahui dengan jelas tata cara ritual itu sehingga mereka
melakukan hal tersebut.
7
Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 29
8
Gladys Hunt, Pandangan Kristen tentang Kematian, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987, hal. 2
5
Bagi penulis hal ini menarik untuk diteliti, karena di zaman sekarang ini orang sering memandang adat istiadat sebagai sesuatu yang dianggap kuno dan sudah tidak sesuai lagi
dengan zaman sekarang sehingga tidak dapat dipakai lagi, tanpa mencoba menciptakan metode atau model yang baru yang dapat dipakai untuk mewujudkan kepedulian dan
pendampingan masyarakat dalam menghadapi krisis, sehingga menimbulkan semacam kekosongan eksistensial.
9
Bagi penulis cara yang paling tepat adalah merevitalisasi adat istiadat tadi dengan mengisi nuasa baru, seperti menambahkan aspek pendampingan dan nuansa keagamaan. Hal
tersebut menurut penulis merupakan cara yang tepat, daripada menghilangkan sama sekali adat istiadatnya. Oleh karena itu lewat ritual kematian yang dilakukan ini pastilah membawa
dampak bagi keluarga inti yang sedang berduka, bagi keluarga besar serta teman-teman yang datang melayat dan mengikuti proses ini. Sehingga didalamnya pastilah terdapat semacam
pendampingan pastoral tidak langsung yang terjadi. Kedukaan tidak hanya bisa dialami oleh individu saja tetapi juga bisa dialami oleh
suatu persekutuan yang bisa berduka karena kehilangan anggotanya. Dengan kata lain, baik individu, maupun persekutuan-persekutuan seperti : keluarga, suku, bangsa dapat
memberikan reaksi dengan suatu sikap tertentu terhadap suatu kehilangan yang penting.
10
Kedukaan ialah respon terhadap kesedihan emosional karena kehilangan yang besar. Kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat berarti akan mengakibatkan kesedihan.
11
Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka akan berpengaruh ke berbagai aspek kehidupan,
seperti jasmani, mental, sosial, dan rohani orang yang mengalaminya. Pastilah ritual ataupun upacara apapun yang diadakan pada saat kematian tidak
mengakhiri masa berkabung, tetapi bantuan orang-orang lain dalam menyatakan dukacita sangat bermanfaat secara psikologis dan bahwa waktu berkabung benar-benar bisa menolong
9
Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, Yogyakarta : Galang Press, 2006, hal. 21
10
J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hal.3
11
Creath Davis, Mengatasi Krisis Kehidupan, Yayasan Kalng Hidup : Bandung, 1995, hal. 189
6
keluarga dalam menghadapi kehilangan yang kritis yang akan mereka rasakan dalam hidup ini.
12
Menurut pendapat penulis, ritual adat yang dilakukan oleh keluarga dalam hal ini satu keturunan pastilah membawa dampak bagi orang-orang yang berduka, karena terlihat
rasa kepeduliaan dan rasa kekeluargaan yang sangat kental. Hal ini ritual budaya tetap perlu dijaga tetapi harus diberi makna baru baik secara psikologis maupun agama sehingga
hal tersebut dapat digunakan sebagai bentuk pelayanan pastoral bagi yang berduka. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka judul penelitian yang dirumuskan
adalah:
“Ritual Kematian Suku Sabu Kajian Pendampingan Pastoral Terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu”