Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) T2 752010006 BAB II

(1)

BAB II

TEORI PENDAMPINGAN PASTORAL, KEDUKAAN, RITUAL KEAGAMAAN

Setiap manusia pasti mengalami kematian, hal ini karena kematian merupakan bagian dari hidup manusia yang tidak bisa dihindari. Walaupun setiap orang pasti akan mengalaminya, seperti kematian yang terjadi pada dirinya sendiri maupun yang terjadi pada orang lain, kematian tetap merupakan perpisahan terakhir yang menyedihkan. Hal ini dikarenakan kematian memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia dan agama. Setiap budaya di Indonesia memiliki pemahaman dan respon tersendiri mengenai makna kematian yang tertuang dalam ritual kematian yang dilakukan.

Setelah seseorang mengalami kematian orang yang dikasihi, maka respon selanjutnya adalah ia merasa kehilangan dan setelahnya ia akan mengalami kedukaan. Pada masa itulah seseorang harus didampingi selama masa berduka sehingga tidak menimbulkan

berbagai persoalan mental, psikologis, dan sosial yang lebih serius.17 Oleh karena itu perlu

dilakukan pendampingan pastoral agar orang yang mengalami penderitaannya secara utuh

dan penuh dan merasakan kelima fungsi pendampingan pastoral yaitu penyembuhan,

pendampingan, bimbingan, perdamaian, serta pemberdayaan. Pada bab ini akan dipaparkan tentang teori yang digunakan penulis, seperti (1) Pendampingan Pastoral, (2) Kedukaan dan (3) Ritual Keagamaan.

2. 1. Pendampingan Pastoral

2. 1. 1. Pengertian Pendampingan Pastoral

Pendampingan berasal dari kata caring (bahasa inggris), yang berasal dari kata kerja

to care yang berarti merawat, mengasuh, memelihara, mengurus, memperhatikan,

17

Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 13-19


(2)

memedulikan. Dengan demikian caring dapat diartikan sebagai merawat, mengasuh,

memelihara, dan mengurus sesuatu atau seseorang dengan penuh perhatian dan kepedulian.18

Berbagai istilah digunakan untuk menggambarkan bagaimana manusia, dalam ajaran, ujaran, semangat, sikap, dan tindakan secara perorangan, pasangan, keluarga dan kelompok saling merawat, memedulikan, memperhatikan, mendengarkan, bagi rasa, bela rasa, menolong, mengubah, dan menumbuhkan, khususnya ketika sesama mengalami krisis. Hal ini secara umum disebut pendampingan. Menurut Wiryasaputra, pada dasarnya pendampingan tidak

terbatas pada situasi krisis. Pendampingan (caring) adalahcara untuk memfasilitasi seseorang

untuk merayakan sukacita dan penderitaannya19

Pada hakikatnya, pendampingan adalah proses perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritial, dan sosial. Karena pendampingan merupakan perjumpaan, maka ada dinamika yang terus berkembang. Dinamika itu berubah dari waktu ke waktu. Ada banyak irama dan warna. Pendampingan merupakan proses perjumpaan yang dinamis. Dalam pendampingan terjadi interelasi dan

interaksi antara pendamping dan orang yang didampingi.20

Pendampingan merupakan sebuah perjumpaan dimana kedua belah pihak, pendamping dan yang didampingi secara sukarela bersedia untuk saling menjumpai dan dijumpai. Melalui proses pendampingan, orang yang didampingi diharapkan dapat menolong diri sendiri pada masa kini dan masa yang akan datang bila menghadapi hal yang sama atau

18

Ibid., hal.65

19

Bahan kuliah Sejarah Pastoral,(Salatiga: 2011), oleh Totok S. Wiryasaputra

20

Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 57-58


(3)

berbeda. Bahkan, orang yang didampingi nantinya diharapkan mampu menolong orang lain

di lingkungannya yang membutuhkan.21

Dalam buku “Pastoral Care in Historical Perspective” dikatakan bahwa pelayanan

Kristen yang berupa pemeliharaan jiwa (Cure of Soul) disebut juga pendampingan pastoral.

Pendampingan pastoral telah banyak dilakukan terhadap situasi kehidupan manusia, yang bertujuan untuk meringankan atau menolong kebingungan yang melanda manusia.

Pendampingan pastoral atau pemeliharaan jiwa (kata yang dipakai pada masyarakat tradisional), terdiri dari tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan atas nama gereja, dan

yang menjurus kepada penyembuhan, pendampingan, bimbingan, dan perdamaian

orang-orang yang bermasalah, khususnya berhubungan dengan masalah-masalah yang paling pokok

dan mendasar dalam kehidupan manusia. 22

Menurut penulis, pemakaian kata pendampingan pastoral dibandingkan kata pemeliharaan jiwa ataupun penggembalaan lebih cocok pada masa sekarang ini, karena lebih menggambarkan kesetaraan antara yang melayani dan yang dilayani, dan lebih menggambarkan tanggung jawab seluruh umat beriman dan bukan hanya pandeta selaku gembala terhadap umatnya.

Kata pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan kata pastoral. Istilah pendampingan berasal dari kata kerja “mendampingi”. Mendampingi merupakan suatu kegiatan menolong orang lain yang karena sesuatu sebab perlu didampingi. Orang yang melakukan kegiatan mendampingi disebut “pendamping”. Antara yang didampingi dengan pendamping terjadi suatu interaksi sejajar dan atau relasi timbal balik. Pihak yang paling bertanggung jawab (sejauh mungkin sesuai dengan kemampuan) adalah pihak yang didampingi. Dengan demikian, istilah

21

Totok S.Wiryasaputra, Ready to Care, hal. 59

22

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall,1964), hal. 1-10


(4)

pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan mengutuhkan.

Istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam Bahasa Latin atau dalam bahasa

Yunani disebut poimen yang artinya gembala. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi

hal ini merupakan tugas pendeta yang harus menjadi gembala bagi jemaat atau dombaNya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”. Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau

memelihara. 23

Dalam pendampingan pastoral ada hubungan timbal balik antara orang yang akan di tolong dan yang akan menolong sehingga timbul suatu relasi antar keduanya. Pendampingan dapat dilakukan oleh semua orang. Wiryasaputra mengatakan pendampingan tidak hanya melakukan tindakan penyembuhan, melainkan juga pencegahan, peningkatan, pemulihan, dan

pemberdayaan.24 Penulis menarik kesimpulan bahwa pendampingan merupakan hal yang luas

yang dapat dilakukan oleh siapa saja (tidak hanya orang yang beragama Kristen) yang ingin melayani sesama secara lebih manusiawi. Pendampingan pastoral merupakan sesuatu yang lebih khusus lagi dari pendampingan. Hal ini dikarenakan pendampingan pastoral lebih bercirikan Kristen, seperti memakai referensi utama dalam mendampingi yaitu Alkitab.

Penulis juga menyimpulkan pendampingan pastoral adalah proses pertolongan kepada sesama manusia secara utuh mencakup aspek fisik, mental, spiritual dan sosial yang bersifat pastoral yaitu menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan dan memberdayakan. Hal ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus yang memiliki sifat merawat dan memelihara manusia dengan baik sehingga pendampingan pastoral tidak hanya memiliki aspek antar sesama manusia tetapi juga antara manusia dan Tuhannya.

2. 1. 2. Pendampingan Dalam Masyarakat Tradisional

23

Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta : BPK Gunung Mulya, 2007), hal. 9-10

24


(5)

Dalam perspektif sejarah peradaban manusia, sesungguhnya usia pendampingan setua umur manusia di bumi. Semangat, sikap dan tindakan memedulikan dan mendampingi sesama yang mengalami krisis melekat erat dengan sejarah keberadaban dan peradaban

manusia. 25 Semangat, sikap dan tindakan memedulikan dan mendampingi sesama yang

mengalami krisis dapat kita lihat dalam setiap komunitas yang ada di masyarakat. Setiap komunitas menciptakan perangkat sosial dan keagamaan untuk mewujudkan semangat memedulikan dan mendampingi. Berbagai perangkat sosial dan keagamaan yang diciptakan tadi diwariskan, dipelihara, disesuaikan, dan direvitalisasi dari zaman ke zaman. Dalam setiap komunitas, kita melihat kebiasaan saling memberi, mengunjungi, menyumbang, menolong, merawat, menguatkan, menghibur, dan menasihati. Selanjutnya, beragam perangkat sosial keagamaan, adat, pekerjaan, jabatan, obat, mantra, doa, kata sakti, nyanyian, puisi, cerita, dan lain-lain diciptakan dan dipelihara oleh setiap komunitas sebagai sarana untuk saling

mendampingi.26

Pendampingan terutama mengacu pada semangat, tindakan, memedulikan dan mendampingi secara generik. Pendampingan bisa dihubungkan dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh orang yang tidak berprofesi bantuan psikologi secara penuh waktu, namun menginginkan layanannya lebih manusiawi. Pendampingan mengacu pada hubungan diantara dua subjek, yakni orang yang “mendampingi” dan “didampingi” dalam posisi sederajat.27

Dalam masyarakat tradisional, seluruh anggota komunitas terlibat dalam pendampingan. Tidak ada yang monopoli dalam pendampingan. Namun dalam perkembangannya, sebagian besar dari mereka, berubah menjadi pengikut atau bahkan penonton. Peranan aktif diambil alih orang yang oleh komunitas dianggap memiliki karisma. Muncullah spesialisasi. Akhirnya tindakan kependampingan diserahkan sepenuhnya kepada

25

Ibid., hal. 17

26

ibid., hal. 18

27


(6)

tokoh yang secara kultural dan religius dipandang mempunyai kedudukan istimewa, misalnya orang yang diyakini memiliki kemampuan khusus, misalnya berhubungan dengan dunia gaib

(dunia roh nenek moyang). 28

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, pendidikan dan pelatihan formal, dengan kaidah ilmiah tentu tidak perlu. Biasanya, kemampuan memedulikan dan mendampingi orang yang mengalami krisis diyakini sebagai bakat sejak lahir, anugerah gaib dunia atas atau mukjizat. Kepedulian dan pendampingan merupakan hasil proses kultural dan diperoleh dari pengalaman. Pengakuan masyarakat juga muncul secara kultural dan alamiah. Dengan kata lain, dalam masyarakat tradisional, hubungan antara orang yang ditolong dan yang menolong

berdasar pada kepercayaan.29

2. 1. 3. Manusia

a) Manusia sebagai Makhluk Holistik

Orang yang didampingi adalah makhluk holistik yang sedang mengalami krisis. Ini berarti bahwa orang yang didampingi pertama-tama harus dilihat dalam persepektif kesatuan dan keseluruhan sebelum melihat aspek-aspeknya yang lebih rinci. Pendamping juga

merupakan makhluk holistik. Kata holistik berasal dari kata sifat wholistic dalam bahasa

Inggris. Kata holistik berasal dari kata benda whole yang berarti keseluruhan, utuh, lengkap,

dan sempurna. Secara konkret, ketika menghadapi orang yang sedang mengalami krisis, kita harus melihatnya secara lengkap, utuh dalam keseluruhan sebagai manusia, dan bukan sebagai kasus penyakit atau masalah tertentu.

Orang dapat disebut sehat bukan hanya karena “tidak adanya penyakit tertentu”, melainkan mampu hidup sehat secara utuh, fisik, mental, spiritual, dan sosial. Seseorang dikatakan sehat bila dia dapat hidup dan bertumbuh secara penuh, sempurna dalam seluruh

28

Ibid., hal. 22

29


(7)

aspek kehidupannya. Begitu pula orang dikatakan hebat bila dia mampu berelasi dan berinteraksi secara dinamis, penuh, selaras, dan seimbang dengan dirinya, sesamanya, dan Tuhannya.

Dalam pandangan holistik, manusia tidak bisa direduksi menjadi kasus atau penyakit tertentu. Fokus dan sasaran pelayanan tetap pada manusia. Yang kita tangani bukan penyakit atau persoalan, melainkan manusi dalam keutuhannya. Kemudian, manusia juga tidak dapat dipersempit hanya ke dalam aspek tertentu secara parsialistik, misalnya hanya melihat aspek fisik tanpa memperhatikan aspek kehidupan yang lain juga seperti mental, spritual, dan sosial.

Aspek hidup manusia, dapat digolongkan ke dalam empat aspek utama, yakni fisik, mental, spiritual dan sosial.

i. Aspek Fisik

Aspek ini berkaitan dengan bagian yang tampak dari hidup kita. Aspek ini terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya. Dengan aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur.

ii. Aspek Mental

Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan kepribadian manusia. Aspek ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan integrasi diri manusia. Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan bagian dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak tampak, sehingga tidak dapat diraba, disentuh, dan diukur. Aspek mental memampukan manusia berhubungan dengan diri sendiri dan lingkungannya secara utuh, memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan diri sendiri.


(8)

Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus dapat berhubungan dengan sang Pencipta sejati, Allah. Aspek ini mengacu pada

hubungan manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar

jangkauannya.Inilah aspek vertikal dari kehidupan manusia. Aspek ini juga tidak tampak. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu yang agung, yang berada di luar dirinya, dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, misalnya dunia gaib.

iv. Aspek Sosial

Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang idak mungkin berdiri sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar secara horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam sebuah interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak dapat tumbuh tanpa relasi dan interaksi. Aspek ini memampukan manusia tidak hanya berelasi dan berinteraksi dengan sesama manusia, melainkan juga dengan makhluk ciptaan lain : udara, air, tanah, tumbuhan, binatang, dan sebagainya.

Seluruh aspek hidup manusia saling berkaitan dan mempengaruhi secara sistematik dan sinergik membentuk eksistensi manusia sebagai keutuhan yang bertumbuh mencapai kepenuhannya. Kita dapat membedakan satu aspek dari aspek yang lain, namun pada dasarnya kita tidak dapat memisahkannya, karena keempat aspek tersebut saling berkaitan

dan mempengaruhi. 30

b) Manusia sebagai Makhluk Keperjumpaan

Pandangan ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan tentang manusia holistik. Hal ini terutama mengacu pada aspek sosial keberadaan manusia. Pada dasarnya

30


(9)

manusia selalu berada oleh, untuk dan dengan sesuatu atau orang lain. Manusia selalu sedang berelasi dan berinteraksi dengan dirinya sendiri (internal) dan dengan sesuatu yang berada di luar dirinya (eksternal), baik secara fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Hakikat dasar keberadaan manusia adalah bersama dengan sesuatu atau seseorang yang lain, bahkan pada waktu orang sendirian pun, sebenarnya “tidak sendirian”. Sesungguhnya, manusia bertumbuh dalam proses menjumpai dan dijumpai. Tanpa menjumpai dan dijumpai, manusia tidak akan bertumbuh. Melalui perjumpaan, orang selalu dalam proses menumbuhkan dan ditumbuhkan. Ia bertumbuh melalui proses memberi dan diberi, melukai dan dilukai, dan memakai dan dipakai. Dengan kata lain, kita bertumbuh melalui proses perjumpaan.Tanpa proses perjumpaan, manusia sesungguhnya tidak pernah akan bertumbuh. Pertumbuhan dicapai bila seseorang bersedia untukmemasuki dan dimasuki kehidupan yang lain. Pendampingan lahir sebagai akibat langsung dari hakikat perjumpaan manusia. Pendampingan adalah miniatur perjumpaan sejati antarmanusia untuk saling

menumbuhkan.31

2. 1. 4. Fungsi Pendampingan

William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle dalam bukunya yang berjudul Pastoral

Care in Historical Persepektif 32 mengatakan bahwa secara tradisional ada empat fungsi pastoral, yaitu :

1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari sebelumnya.

31

Ibid., hal. 45-49

32


(10)

2) Menopang (Sustaining), yaitu suatu fungsi pastoral yang menolong orang yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya terdapat pemulihan terhadap kondisi semula.

3) Membimbing (Guiding), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

membantu orang-orang yang kebingungan dalam pengambilan keputusan tertentu atas berbagai pilihan sulit yang dimilikinya.

4) Mendamaikan (Reconciling), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan Allah.

Howard Clinebell dalam bukunya Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Orang yang

didampingi Pastoral 33 menambahkan fungsi kelima dari pastoral, yaitu Memelihara atau

Mengasuh (Nurturing). Tujuan dari fungsi memelihara ini adalah memampukan orang untuk

mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka , di dalam sepanjang

perjalanan kehidupan yang mereka alami. Berbeda dengan Clinebell, dalam buku Ready to

Care34 Wiryasaputra menambahkan fungsi yang kelima dari pastoralyaitu memberdayakan

(empowering). Fungsi ini dapat juga disebut sebagai membebaskan (liberating) atau

memampukan, memperkuat (capacity building). Fungsi ini dipakai untuk membantu orang

yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Bahkan, fungsi ini juga dipakai untuk membantu seseorang menjadi pendamping bagi orang lain.

Penulis setuju dengan pandangan Wiryasaputra yang menambahkan fungsi yang

kelima dari pastoral yaitu memberdayakan (empowering). Hal ini dikarenakan penulis

melihat bahwa fungsi ini tidak hanya ditujukan untuk menolong diri sendiri tetapi juga untuk

33

Howard Clinenell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Orang yang didampinging Pastoral (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 2002), hal. 54

34


(11)

menolong orang lain yang sedang mengalami masalah. Jadi proses ini tidak berhenti pada diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.

2. 2. Kedukaan

2. 2. 1. Pengertian Kedukaan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online kedukaan diartikan sebagai

kesusahan dan kesedihan yang berasal dari kata duka yaitu susah hati dan sedih hati.35 Secara

umum pengertian kedukaan merupakan reaksi terhadap suatu kehilangan atau kematiaan36

Berikut ini adalah pandangan beberapa tokoh tentang arti kedukaan, yaitu :

i. Abineno mengatakan bahwa kedukaan lebih dari pada penderitaan. Kedukaan bukan

saja terbatas pada apa yang kita rasakan, kedukaan juga mencakup apa yang kita pikirkan, apa yang kita ingini atau kehendaki, serta apa yang kita lakukan atau

kerjakan.37

ii. Clinebell mengatakan bahwa kedukaan terkandung dalam segala perubahan,

kehilangan dan transisi kehidupan yang penting, tidak hanya dalam kematian dari

orang yang kita kasihi.38

iii. Wright mengatakan bahwa kedukaan adalah penderitaan emosi yang kuat karena

kehilangan, bencana atau ketidakberuntungan. Kedukaan diekspresikan dengan tangisan sebagai ungkapan perasaan kehilangan yang kuat. Muncul kinginan untuk

menyendiri atau untuk membatasi hubungan dengan orang lain.39

iv. Westberg menyebutkan bahwa kedukaan itu sebagai nafas kita. Kedukaan merupakan

gerakan yang terjadi atau berlaku pada waktu yg bersamaan atau serentak, dimana ada

35

pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

36

Tony Lake, Pergumulan di Kala Duka, (Jakarta ; BPK Gunung Mulia, 1992), hal. 6

37

J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka, hal.1

38

Howard Clinenell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Orang yang didampinging Pastoral, hal.284

39

H. Norman Wright, A Practical Guide For Pastors, Counselors and Friends, (California : Regal Books, 1993), hal. 153


(12)

kedukaan yang kecil ada juga kedukaan yang besar yang bia terjadi secara

bersamaan.40

v. Sullender mengatakan bahwa kedukaan sebagai reaksi emosi manusia terhadap

kehilangan, baik itu kehilangan seseorang, tempat, bagian tubuh, benda atau objek,

hubungan juga ide.41

vi. Wiryasaputra menyimpulkan bahwa kedukaan selalu berkaitan secara langsung

dengan kehilangan sesuatu atau seseorang yang diangap berharga atau bernilai. Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan. Sebenarnya kedukaan bukan hanya merupakan tanggapan seseorang secara kogntif dan emotif terhadap kehilangan, tetapi juga merupakan tanggapan seseorang secara holistik terhadap kehilangan atas sesuatu yang dianggap bernilai, berharga, atau penting. Tanggapan secara holistik berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, menta, spiritual, dan sosial). Kedukaan merupakan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya sebagai satu

kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah peristiwa kehilangan yang terjadi.42

vii. Penulis menyimpulkan bahwa kedukaan adalah suatu reaksi wajar yang dialami oleh

setiap orang yang mengalami kehilangan, seperti orang yang dikasihi ataupun benda yang dianggap penting. Penulis melihat ini sebagai keadaan yang kritis dalam kehidupan manusia. Reaksi terhadap kedukaan tidak hanya dengan menangis tetapi juga dapat membuat orang yang berduka menyendiri dan bahkan tidak dapat menangis. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa reaksi terhadap kedukaan akan berpengaruh dalam setiap aspek kehidupanya, sehingga kedukaan tidak hanya apa

40

Granger E. Westberg, Good Grief, (Philadelphia : Fortress Press, 1971), hal.11-12

41

R. Scott Sullender, Grief and Growth : Pastoral Resources for Emotional and Spiritual Growth, (New Jersey : Palist Press, 1985), hal.25

42

Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal.25


(13)

yang kita pikirkan, tetapi juga apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan serta apa yang kita akan kita lakukan.

2. 2. 2. Dua Sifat Utama Kedukaan

Dalam bukunya Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka,

Wiryasaputra mengatakan ada dua sifat utama dalam setiap kedukaan, yaitu unik dan holistik. Berikut ini adalah penjelasan tentang dua sifat kedukaan, yaitu

a) Kedukaan Bersifat Unik

Kedukaan sesunguhnya merupakan sebuah sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas, dan sangat pribadi. Pengalaman kedukaan yang dialami oleh seseorang kemungkinan besar tidak sama dengan pengalaman orang lain, walaupun kehilangan objek yang sama bahkan mungkin pada waktu yang sama. Selanjutnya, dapat terjadi orang yang sama mngalami perisiwa kehilangan yang sama, namun kedalaman kedukaannya berbeda.

b) Kedukaan Bersifat Holistik

Kedukaan yang kita alami berkaitan dengan dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita. Aspek-aspek tersebut adalah fisik, mental, spiritual dan sosial. Dalam pandangan holistic, keempat aspek tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yang

utuh dan sinergistik. 43

Abineno mengatakan bahwa proses berlangsungya kedukaan pada tiap orang berbeda satu dengan yang lain, karena orang-orang yang berduka (walaupun dalam satu peristiwa kehilangan yang sama) dalan proses kedukaan itu tidak sama. Selain itu juga

43


(14)

pengalaman hidup yang berbeda-beda, penting tidaknya kehilangan yang diderita adalah

beberapa hal yang membuat proses berlangsungnya kedukaan tiap orang berbeda-beda.44

Menurut Lake dalam bukunya yang berjudul Pergumulan di Kala Duka,

mengatakan cara untuk memahami kedukaan (dukacita) adalah memahami pribadi yang mengalaminya, serta hubungan yang ada antara dia dan orang yang menyebabkan dukacita. Strategi terbaik untuk menolong adalah dengan menjadi dengan menjadi pendengar yang baik.45

Sama seperti Wiryasaputra, bagi penulis, kedukaan merupakan sesuatu yang unik karena kedalaman rasa duka yang dialami seseorang pasti berbeda satu dengan yang lain. Seperti ketika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, belum tentu rasa duka antara satu anggota keluarga dengan yang lain sama. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, misalnya faktor kedekatan antara orang yang meninggal dengan orang yang berduka, rasa emosiaonal seseorang yang pastilah berbeda satu dengan yang lain dan faktor hubungan dalam keluarga antara keduanya, misalnya istri yang ditinggalkan suami akan berbeda rasa dukacitanya dengan anak yang kehilangan ayahnya. Penulis juga melihat bahwa rasa duka juga sangat kompleks karena bisa berpengaruh pada seluruh sendi kehidupan. Hal ini bisa bertambah parah jika tidak ditangani secara baik karena akan berpengaruh pada seluruh sendi kehidupannya.

2. 3. Ritual Keagamaan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan

simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari

44

Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka , hal.147-155

45


(15)

suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan

ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.46

Ritual sendiri secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara terminologis ritual merupakan ikatan kepercayaan yang antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanansosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakatberagama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalamritualitas yang diadakan oleh masyarakat.

Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain,ritualitas memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan Dengan memperhatikan dua pengertian istilah di atas, dapat diketahui bahwa tidak mungkin memahami bentuk, sifat, dan makna ritual masyarakat tanpa mengetahui secara mendalam simbol-simbol ritual yang digunakannya. Meskipun demikian istilah simbol dan ritual sebenarnya memiliki unsur-unsur yang saling menguatkan dan tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan lainnya 47

Dalam memahami sebuah agama upacara keagamaan atau ritual agama dan doktrin agama itu sendiri Ritus (ibadat) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, bersemadi (mengheningkan cipta), menyanyi, berdoa, memuja, mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci dan membaca.

46

http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual, diunduh 26 juli 2012, pada pukul 01.25 PM

47

http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2206664-pengertian-makna-ritual-budaya/, diunduh pada 26 juli 2012, pukul 01.04 PM


(16)

Ritus memberikan peranan-peranan tertentu kepada orang-orang yang ikut ambil bagian di dalamnya. Dengan pengulangan–pengulangan secara teratur dan cermat ritus tersebut menyalurkan emosi dan juga meningkatkan kekuatan pendorong timbulnya emosi tersebut dari simbol-simbol (lambang-lambang) yang dipakai. Ritus terutama akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama, karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi keyakinan terhadap adanya dunia yang gaib dengan memberikan cara-cara

pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.48

Adapun tiap upacara keagamaan terbagi ke dalam empat komponen, ialah: a) tempat upacara, b). Saat upacara, c). Benda-benda dan alat-alat upacara, d). orang-orang yang

melakukan dan memimpin upacara.49 Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam. (1)

Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus \para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; (4) ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurniaan dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual-ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota jemaah

dalam konteks peranan sekular mereka.50

Sebagai suatu penunjukkan sikap, ritual dan liturgi juga berkembang di sekitar berbagai kejadian penting, krisis dan transisi dalam kehidupan individu dan kelompok. Dalam semua agama, kelahiran, masa puber, perkawinan, menderita sakit, perubahan status

48

Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), 15-16

49

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Djakarta, 1964), hal. 230

50


(17)

dan kematian ditandai oleh ritual upacara suci.51 Ritual keagamaan merupakan sarana yang

menghubungkan manusia dengan yang keramat, inilah agama dan praktek (in action).Ritual

bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis seperti kematian, tidak begitu menggangu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita.

Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang

berbeda-beda, di antaranya upacara peralihan (rites of passage), yang mengenai tahapan-tahapan

dalam siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian dan upacara

intensifikasi (rites of intensification), yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok

mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu. Dalam salah satu karya klasik antropologi, Arnold van Gennep menganalisis upacara peralihan menjadi tiga tahap yakni separasi (upacara peralihan untuk memisahkan orang dari masyarakat); transisi (dalam upacara peralihan, isolasi seseorang sesudah mengalami separasi dan sebelum inkorporasi); inkorporasi (dalam upacara peralihan, penyatuan kembali seseorang ke dalam

masyarakat menurut statusnya yang baru).52

51

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987),hal. 76

52


(1)

kedukaan yang kecil ada juga kedukaan yang besar yang bia terjadi secara bersamaan.40

v. Sullender mengatakan bahwa kedukaan sebagai reaksi emosi manusia terhadap kehilangan, baik itu kehilangan seseorang, tempat, bagian tubuh, benda atau objek, hubungan juga ide.41

vi. Wiryasaputra menyimpulkan bahwa kedukaan selalu berkaitan secara langsung dengan kehilangan sesuatu atau seseorang yang diangap berharga atau bernilai. Kedukaan merupakan reaksi manusiawi untuk mempertahankan diri ketika kita sedang menghadapi peristiwa kehilangan. Sebenarnya kedukaan bukan hanya merupakan tanggapan seseorang secara kogntif dan emotif terhadap kehilangan, tetapi juga merupakan tanggapan seseorang secara holistik terhadap kehilangan atas sesuatu yang dianggap bernilai, berharga, atau penting. Tanggapan secara holistik berarti menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia (fisik, menta, spiritual, dan sosial). Kedukaan merupakan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan tanggapan holistik karena seseorang mengerahkan seluruh aspek keberadaannya sebagai satu kesatuan yang utuh untuk menghadapi sebuah peristiwa kehilangan yang terjadi.42 vii. Penulis menyimpulkan bahwa kedukaan adalah suatu reaksi wajar yang dialami oleh

setiap orang yang mengalami kehilangan, seperti orang yang dikasihi ataupun benda yang dianggap penting. Penulis melihat ini sebagai keadaan yang kritis dalam kehidupan manusia. Reaksi terhadap kedukaan tidak hanya dengan menangis tetapi juga dapat membuat orang yang berduka menyendiri dan bahkan tidak dapat menangis. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa reaksi terhadap kedukaan akan berpengaruh dalam setiap aspek kehidupanya, sehingga kedukaan tidak hanya apa

40

Granger E. Westberg, Good Grief, (Philadelphia : Fortress Press, 1971), hal.11-12 41

R. Scott Sullender, Grief and Growth : Pastoral Resources for Emotional and Spiritual Growth, (New Jersey : Palist Press, 1985), hal.25

42

Totok S.Wiryasaputra, Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal.25


(2)

yang kita pikirkan, tetapi juga apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan serta apa yang kita akan kita lakukan.

2. 2. 2. Dua Sifat Utama Kedukaan

Dalam bukunya Mengapa Berduka, Kreatif mengelola perasaan berduka,

Wiryasaputra mengatakan ada dua sifat utama dalam setiap kedukaan, yaitu unik dan holistik. Berikut ini adalah penjelasan tentang dua sifat kedukaan, yaitu

a) Kedukaan Bersifat Unik

Kedukaan sesunguhnya merupakan sebuah sebuah pengalaman yang bersifat unik, khas, dan sangat pribadi. Pengalaman kedukaan yang dialami oleh seseorang kemungkinan besar tidak sama dengan pengalaman orang lain, walaupun kehilangan objek yang sama bahkan mungkin pada waktu yang sama. Selanjutnya, dapat terjadi orang yang sama mngalami perisiwa kehilangan yang sama, namun kedalaman kedukaannya berbeda.

b) Kedukaan Bersifat Holistik

Kedukaan yang kita alami berkaitan dengan dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kita. Aspek-aspek tersebut adalah fisik, mental, spiritual dan sosial. Dalam pandangan holistic, keempat aspek tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan sinergistik. 43

Abineno mengatakan bahwa proses berlangsungya kedukaan pada tiap orang berbeda satu dengan yang lain, karena orang-orang yang berduka (walaupun dalam satu peristiwa kehilangan yang sama) dalan proses kedukaan itu tidak sama. Selain itu juga

43


(3)

pengalaman hidup yang berbeda-beda, penting tidaknya kehilangan yang diderita adalah beberapa hal yang membuat proses berlangsungnya kedukaan tiap orang berbeda-beda.44

Menurut Lake dalam bukunya yang berjudul Pergumulan di Kala Duka, mengatakan cara untuk memahami kedukaan (dukacita) adalah memahami pribadi yang mengalaminya, serta hubungan yang ada antara dia dan orang yang menyebabkan dukacita. Strategi terbaik untuk menolong adalah dengan menjadi dengan menjadi pendengar yang baik.45

Sama seperti Wiryasaputra, bagi penulis, kedukaan merupakan sesuatu yang unik karena kedalaman rasa duka yang dialami seseorang pasti berbeda satu dengan yang lain. Seperti ketika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, belum tentu rasa duka antara satu anggota keluarga dengan yang lain sama. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, misalnya faktor kedekatan antara orang yang meninggal dengan orang yang berduka, rasa emosiaonal seseorang yang pastilah berbeda satu dengan yang lain dan faktor hubungan dalam keluarga antara keduanya, misalnya istri yang ditinggalkan suami akan berbeda rasa dukacitanya dengan anak yang kehilangan ayahnya. Penulis juga melihat bahwa rasa duka juga sangat kompleks karena bisa berpengaruh pada seluruh sendi kehidupan. Hal ini bisa bertambah parah jika tidak ditangani secara baik karena akan berpengaruh pada seluruh sendi kehidupannya.

2. 3. Ritual Keagamaan

Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk tujuan

simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan suatu agama atau bisa juga berdasarkan tradisi dari

44

Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka , hal.147-155 45


(4)

suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan secara sembarangan.46

Ritual sendiri secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat. Secara terminologis ritual merupakan ikatan kepercayaan yang antarorang yang diwujudkan dalam bentuk nilai bahkan dalam bentuk tatanansosial. Ritual merupakan ikatan yang paling penting dalam masyarakatberagama. Kepercayaan masyarakat dan prakteknya tampak dalamritualitas yang diadakan oleh masyarakat.

Ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain,ritualitas memberikan motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktekkan Dengan memperhatikan dua pengertian istilah di atas, dapat diketahui bahwa tidak mungkin memahami bentuk, sifat, dan makna ritual masyarakat tanpa mengetahui secara mendalam simbol-simbol ritual yang digunakannya. Meskipun demikian istilah simbol dan ritual sebenarnya memiliki unsur-unsur yang saling menguatkan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya 47

Dalam memahami sebuah agama upacara keagamaan atau ritual agama dan doktrin agama itu sendiri Ritus (ibadat) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja mencakup pakaian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, bersemadi (mengheningkan cipta), menyanyi, berdoa, memuja, mengadakan pesta, berpuasa, menari, berteriak, mencuci dan membaca.

46

http://id.wikipedia.org/wiki/Ritual, diunduh 26 juli 2012, pada pukul 01.25 PM 47

http://id.shvoong.com/social-sciences/counseling/2206664-pengertian-makna-ritual-budaya/, diunduh pada 26 juli 2012, pukul 01.04 PM


(5)

Ritus memberikan peranan-peranan tertentu kepada orang-orang yang ikut ambil bagian di dalamnya. Dengan pengulangan–pengulangan secara teratur dan cermat ritus tersebut menyalurkan emosi dan juga meningkatkan kekuatan pendorong timbulnya emosi tersebut dari simbol-simbol (lambang-lambang) yang dipakai. Ritus terutama akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama, karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi keyakinan terhadap adanya dunia yang gaib dengan memberikan cara-cara pengungkapan emosi keagamaan secara simbolik.48

Adapun tiap upacara keagamaan terbagi ke dalam empat komponen, ialah: a) tempat upacara, b). Saat upacara, c). Benda-benda dan alat-alat upacara, d). orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.49 Ritual dapat dibedakan menjadi empat macam. (1) Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus \para leluhur, juga bekerja dengan cara ini; (3) ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; (4) ritual faktitif yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, pemurniaan dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Ritual-ritual faktitif berbeda dari ritual konstitutif karena tujuannya lebih dari sekedar pengungkapan atau perubahan hubungan sosial, tidak saja mewujudkan kurban untuk para leluhur dan pelaksanaan magi, namun juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh anggota jemaah dalam konteks peranan sekular mereka.50

Sebagai suatu penunjukkan sikap, ritual dan liturgi juga berkembang di sekitar berbagai kejadian penting, krisis dan transisi dalam kehidupan individu dan kelompok. Dalam semua agama, kelahiran, masa puber, perkawinan, menderita sakit, perubahan status

48

Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, (Jakarta : CV. Rajawali, 1985), 15-16 49

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Djakarta, 1964), hal. 230 50


(6)

dan kematian ditandai oleh ritual upacara suci.51 Ritual keagamaan merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat, inilah agama dan praktek (in action).Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis seperti kematian, tidak begitu menggangu bagi masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk diderita.

Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang berbeda-beda, di antaranya upacara peralihan (rites of passage), yang mengenai tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian dan upacara intensifikasi (rites of intensification), yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi satu. Dalam salah satu karya klasik antropologi, Arnold van Gennep menganalisis upacara peralihan menjadi tiga tahap yakni separasi (upacara peralihan untuk memisahkan orang dari masyarakat); transisi (dalam upacara peralihan, isolasi seseorang sesudah mengalami separasi dan sebelum inkorporasi); inkorporasi (dalam upacara peralihan, penyatuan kembali seseorang ke dalam masyarakat menurut statusnya yang baru).52

51

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987),hal. 76 52


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora T1 752015025 BAB II

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora T1 752015025 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora T2 752015025 BAB I

0 3 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu)

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) T2 752010006 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) T2 752010006 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu) T2 752010006 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Kematian Suku Sabu (Kajian Pastoral terhadap Ritual Kematian Bagi Orang Sabu)

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Ritual “Nyadiri” Bagi Kehidupan Suku Dayak Ngaju T2 752010016 BAB II

0 0 26