Tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

(1)

ABSTRAK

TRADISI TINGALAN DALEM JUMENENGAN DI KRATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

Oleh : Ruma Patmiati

Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan cikal bakal dari kebudayaan Jawa. Sebagai pusat dan sumber kebudayan Jawa kraton Surakarta Hadinigrat memiliki banyak tradisi yang masih dilaksanakan hinga saat ini. Upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan merupakan salah satu ritual yang wajib dilaksanakan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Paku Buwono XIII dinobatkan sebagai raja pada tanggal 25 di bulan Rajab pada penanggalan Jawa. Karena itu, Tingalan Dalem Jumenengan Paku Buwono XII di Karaton Surakarta Hadinigrat saat ini akan selalu digelar pada tanggal 25 bulan Rajab setiap tahunnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah rangkaian proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui proses Tingalan Dalem Jumenengan di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Hasil dari penelitian ini adalah ada dua tahap dalam proses Tingalan Dalem Jumenengan yaitu persiapan dan upacara inti. Proses persiapan Tingalan Dalem Jumenengan adalah unjuk uningo yaitu pengumuman atau pemberitahuan kepada leluhur dalam bentuk ziarah ke makam leluhur Karaton Surakarta di Imogiri dan Kota Gedhe serta ke Pantai Parang Kusumo yang diyakini sebagai tempat penguasa pantai selatan yaitu Kanjeng Ratu Kencanasari. Selanjutnya adalah Jamasan yang berarti memandikan atau membersihkan semua benda pusaka yang akan digunakan dalam upacara Tingalan Dalem Jumenengan. Persiapan yang paling penting adalah latihan tari Bedhaya Ketawang yang dilaksanakan sejak 10 hari sebelum upacara selam 9 kali. Selain itu pada rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan dilakukan wisuda atau pemberian gelar abdi dalem yang dianggap berjasa kepada Karaton Surakarta. Pada upacara inti, ada dua proses penting yaitu pisowanan ageng dan pertunjukan tari Bedhaya Ketawang. Pisowanan ageng adalah menghadapnya seluruh abdi dalem yang memiliki hak sowan kepada sinuhun. Puncak acara sekaligus penutupan upacara Tingalan Dalem Jumenengan adalah pertunjukan tari Bedhaya Ketawang.


(2)

TRADISI TIGALAN DALEM JUMENENGAN DI KARATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

Oleh

RUMA PATMIATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(3)

TRADISI TINGALAN DALEM JUMENENGAN DI KARATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT

( Skripsi )

Oleh

RUMA PATMIATI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Jamasan ... 103

2. Wisuda Abdi Dalem ... 104

3. Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ... 106


(5)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Analisis Masalah ... 5

1. Identifikasi Masalah ... 5

2. Pembatasan Masalah ... 6

3. Rumusan Masalah . ... 6

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Kegunaan Penelitian ... 6

3. Ruang Lingkup Penelitian ... . 7

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN PARADIGMA ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Konsep Tradisi ... 8

2. Konsep Tingalan Dalem Jumenengan . ... 9

3. Konsep Kebudayaan ... 11

B. Kerangka Pikir ... 13

C. Paradigma ... 15

III. METODE PENELITIAN ... 16

A. Metode Penelitian ... 16

B. Variabel Penelitian ... 17

1. Definisi Operasional ... 17

2. Informan ... 18

C. Teknik Pengumpulan Data ... 19

1. Teknik Dokumentasi ... 19

2. Teknik Observasi ... 19

3. Teknik Wawancara . ... 20

4. Teknik Kepustakaan ... 22

D. Teknik Analisis Data ... 22


(6)

2. Penyajian Data ... 23

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. Hasil ... 25

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 25

1.1.Bagian-bagian Karaton Surakarta Hadiningrat ... 26

2. Riwayat dan Penobatan Paku Buwana XIII ... 33

3. Berbagai Macam Upacara Adat di Karaton Surakarta ... 36

3.1. Upacara Grebeg Suro ... 36

3.2. Peringatan Berdirinya Negara Surakarta ... 37

3.3. Upacara Grebeg Mulud ... 37

3.4. Upacara Wilujengan Nagari Maesa Lawung ... 38

3.5. Malam Selikuran ... 39

3.6. Upacara Grebeg Syawal ... 40

3.7. Upacara Grebeg Besar ... 40

3.8. Peringatan Surakarta Menjadi Bagian RI ... 41

3.9. Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ... 41

3.9.1. Sejarah Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ... 42

3.9.2. Makna dan Tujuan Tingalan Dalem Jumenengan .. 44

3.9.3. Proses Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ... 48

3.9.3.1. Tahap Persiapan ... 48

3.9.3.2. Upacara Inti Tingalan Dlem Jumenengan ... 53

3.9.4. Perlengkapan Upacara ... 61

B. Pembahasan ... 62

1. Persiapan Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ... 63

2. Tingalan Dalem Jumenengan ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Informan ... 68

2. Daftar Istilah ... 69

3. Pedoman Wawancara ... 71

4. Rekapitulasi Hasil Wawancara ... 73

5. Surat Izin Penelitian di Karaton Kasunanan Surakarta ... 97

6. Surat Izin Penelitian di Sasana Pustaka... 98

7. Surat Keterangan Penelitian di Karaton Kasunanan Surakarta ... 99

8. Surat Keterangan Penelitian di Sasana Pustaka ... 100

9. Komisi Pembimbing ... 101

10.Rencana Judul Kaji Tindak skripsi... 102


(8)

(9)

(10)

Motto

Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah

penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah

keberanian dan keyakinan yang teguh.

(Andrew Jackson)


(11)

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Kecamatan Tanjungbintang Kabupaten Lampung Selatan pada tanggal 21 Maret 1992, merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Suwarso dan Ibu Wagiyah.

Peneliti memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Jatibaru kecamatan Tanjungbintang Kabupaten Selatan pada tahun 1998.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Tanjungbintang, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Tanjungbintang pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Lampung pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Sejarah melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Serdang Kecamatan Tulang Bawang Udik Kabupaten Tulag Bawang Barat pada tahun 2013, serta penulis juga melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1 Tulang Bawang Udik pada tahun 2013.


(12)

SANWACANA

Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

TRADISI TINGALAN DALEM JUMENENGAN DI KARATON

KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT.

Penulisan skripsi ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi, dimana dalam proses penyelesaiannya peneliti mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si. selaku Dekan FKIP Unila.

2. Bapak Dr. Thoha B.S. Jaya, M. selaku Pembantu Dekan I FKIP Unila.

3. Bapak Drs. Iskandar Syah, M.H. selaku Pembantu Dekan III FKIP Unila, dan juga selaku pembimbing utama sekaligus Pembimbing Akademik. Terimakasih atas bimbingan, saran, dan kritik yang sangat bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS FKIP Unila.


(13)

5. Bapak Drs. Maskun, M.H. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unila, sekaligus pembahas utama. Terima kasih atas kesediannya menjadi dosen pembahas utama dalam ujian skripsi dan memberi masukan serta arahan dalam penyelesaian skripsi.

6. Bapak Drs. Wakidi, M. Hum. selaku pembimbing kedua yang telah sabar membimbing dan memberi masukan serta saran yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah serta para pendidik di Unila pada umumnya yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak terhingga kepada peneliti.

8. Terimakasih kepada Bapak dan Ibu ku tercinta atas semua Doa, cinta dan pengorbanannya demi keberhasilanku.

9. Kakak-kakak dan adik-adikku, terimakasih atas semua semangat dan kasih sayangnya, kalian adalah saudara terbaik dan anugrah Tuhan yang terindah dalam hidupku.

10.Sahabatku Acil yang telah melewati suka duka bersama selama kuliah, Resti dan Amel yang telah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Gusti Puger, Mas Cici, Kanjeng Win, Kanjeng Yus, dan Ibu Gin, terima kasih atas kesediaannya menjadi narasumber dalam penelitian ini.

12.Teman-teman pendidikan Sejarah Angkatan 2010, angkatan genap dan ganjil yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga kebersamaan ini akan tetap terjaga selamanya.


(14)

13.Segenap pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil. Semoga Allah SWT membalas segala amal kebaikan kita semua.

Peneliti sangat menyadari keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan informasi yang ada pada diri peneliti, sehingga skripsi ini masih perlu penyempurnaan, maka peneliti mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk membantu peneliti dimasa yang akan datang. Peneliti berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bandar Lampung, Oktober 2014

Peneliti


(15)

(16)

1

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan budaya bangsa yang ada di Indonesia. Setiap manusia dan masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat serta kebudayaan sendiri.

Kebudayaan dalam suatu masyarakat menunjukkan tinggi rendahnya paradaban masyarakat itu sendiri. Kebudayaan timbul karena suatu kebiasaan yang dilakukan manusia dalam suatu lingkup sosial tertentu dan dilakukan terus menerus secara turun-temurun. Ruang lingkup kebudayaan Jawa sangat luas, meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Walaupun demikian daerah daerah tersebut merupakan daerah kejawen. Dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa, dua daerah luas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut (Kodiran, 2004: 329).

Karaton Surakarta didirikan oleh Paku Buwana II pada tahun 1746 untuk menggantikan Karaton Kartasura yang telah hancur akibat Geger Pecinan (Darsiti


(17)

2

Soeratman, 1989: 1). Semenjak pindahnya Karaton Kartasura ke Desa Sala maka Karaton disebut dengan Karaton Surakarta Hadiningrat. Nama ini ternyata terus dipakai secara luas sampai sekarang, bahkan memiliki konotasi kultural.

Karaton berfungsi sebagai ekspresi mikrokosmos dari bentuk makrokosmos yang dapat ditiru oleh masyarakat. Raja menjadi obyek paling utama dan suci, dan dari dirinyalah seluruh sistem berputar. Karena raja sebagai pusat pemerintahan, maka akhirnya karaton pun menjadi pusat budaya, acuan nilai, adat, aturan, dan sumber ilmu bagi masyarakat dan lingkungannya baik secara fisik dan non fisik. Dalam konsep orang Jawa tentang organisme negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos negara. Pandangan tentang alam yang terbagi dalam mikrokosmos dan makrokosmos adalah sesuatu yang pokok bagi pandangan dunia orang Jawa (Soemarsaid Moertono, 1985: 32). Sampai saat ini Karaton Surakarta Hadiningrat masih sangat dihormati keberadaannya oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa menganggap bahwa Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan pusat dan sumber kebudayaan Jawa. Warisan budaya Karaton Surakarta Hadiningrat kaya akan makna dan ajaran hidup bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu warisan budaya Krataon bisa menjadi salah satu alternatif bagi orientasi perjalanan hidup manusia.

Karaton Surakarta dan segala isinya merupakan budaya peninggalan para leluhur yang pernah berkuasa yang sampai sekarang masih dapat disaksikan. Pada umumnya masyarakat mengakui bahwa karaton sebagai sumber kabudayan Jawa. Cabang-cabang kebudayaan Jawa, khususnya di Surakarta, dapat dirunut kembali ke sumbernya yaitu Karaton Surakarta.


(18)

3

Karaton Surakarta Hadinigrat memliki banyak tradisi yang masih dilaksanakan hinga saat ini. Upacara-upacara adat Karaton Surakarta Hadiningrat ini menjadi tradisi setiap tahunnya dan masih sangat sakral dan religius. Inti kebudayaan Karaton Surakarta berupa gagasan, hasil pemikiran manusia berupa perilaku hidup menyembah kepada tuhan dan perilaku hidup sosial budaya. Nilai yang terkandung di dalamnya diwariskan pelestariannya dari generasi ke generasi. Nilai dari warisan budaya Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu kekayaan dan memberikan ciri khusus bagi masyarakat Jawa.

Kebudayaan Karaton Surakarta sebagai sebuah warisan budaya yang besar meliputi segi fisik dan non fisik. Keduanya merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sebab segi fisiknya menjadi wadah dari segi budaya non fisiknya. Budaya nonfisik karaton yang diwariskan sampai sekarang berupa berbagai bentuk seni budaya, misalnya; tari, musik, busana, pusaka, sastra dan sebagainya. Bentuk warisan lainnya adalah adat tata cara karaton yang sampai saat ini sebagian besar dijalankan dan dilestarikan, misalnya; Upacara Tingalan Dalem Jumenengan, Upacara Grebeg Sura, Mulud, dan Besar, pemeliharaan pusaka, Upacara sesaji Mahesa Lawung, Perkawinan Agung dan sebaginya.

Upacara adat yang bersifat sakral dan paling utama dari upacara yang ada di Karaton Surakarta adalah Tingalan Dalem Jumenengan atau upacara ulang tahun penobatan raja. Kendati dalam upacara ini menghadirkan sejumlah tamu undangan di Bangsal Sasana Sewaka, tapi tradisi ini sepenuhnya milik raja (Bram Setiadi dkk, 2000: 245). Tingalan Dalem Jumenengan merupakan salah satu upacara penting yang wajib dilaksanakan di kerajaan-kerajaan yang masih


(19)

4

mempunyai hubungan keturunan dengan Kerajaan Mataram Islam. Salah satu makna upacara peringatan penobatan raja ini adalah sebagai bagian dari pengesahan kedudukan raja tentu saja mempunyai arti tersendiri (Soemarsaid Moertono, 1985: 69). Cara-cara seperti ini merupakan upaya yang terpenting untuk meningkatkan kewibawaan raja. Sebab, karena dia merupakan sumber kekuasaan yang pokok, menyeluruh dan tunggal dalam negara, perhatian utamanya adalah menegakkan kewibawaan, dan untuk itu ia harus terus-menerus memperlihatkan kebesarannya (Soemarsaid Moertono, 1985: 71).

Belum ditemukan sumber yang jelas menganai sejarah upacara sakral ini, namun beberapa sumber mengatakan bahwa upacara ini berasal dari masa Sultan Agung berkuasa. Upacara ini merupakan bentuk legitimasi kekuasaan raja, untuk menunjukkan bahwa masih ada raja yang berkuasa di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Saat ini, raja yang sedang berkuasa di Kasunanan Surakarta Hadinigrat adalah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi yang bergelar Sampeyan Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono XIII yang dinobatkan sebagai raja pada Jum‟at, 10 September 2004, atau tanggal 25 di bulan Rajab pada penanggalan Jawa. Karena itu, Tingalan Dalem Jumenengan Karaton Surakarta Hadinigrat saat ini akan selalu digelar pada tanggal 25 bulan Rajab. Sementara lokasi pergelaran upacara Tingalan Dalem Jumenengan Karaton Surakarta Hadiningrat adalah Bangsal Sasana Sewaka.

Sakralnya upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan ini tidak hanya terlihat dari kekusyukan para tamu yang hadir dalam upacara peringatan saja tetapi juga dari tradisi yang dijalankan selama prosesi digelar. Saat acara sedang berlangsung,


(20)

5

sang raja akan duduk di atas dhampar yang berada di Pendopo Agung Sasana Sewaka ditemani oleh para abdi dalem, kerabat dan juga para pejabat. Upacara Tingalan Dalem Jumenengan ini sifatnya agak tertutup dan pribadi. Tempat pelaksanaannya di pendapa Sasanasewaka dan para putri, seperti biasanya, duduk di dalem Prabasuyasa. (Darsiti Soeratman,1989: 152).

Tingalan Dalem Jumenengan adalah upacara peringatan penobatan raja yang wajib dilakukan setiap tahun sesuai tanggal raja dinobatkan. Upacara ini merupakan upacara yang penting dan sakral yang akan terus diselenggarakan oleh Karaton Surakarta Hadiningrat setiap tahunnya selama masih ada raja yang berkuasa di sana.

B.Analisis Masalah

1. Indentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah Tingalan Dalem Jumenengan sebagai berikut:

1. Sejarah tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

2. Makna tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

3. Proses tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta berupa kirab Tingalan Dalem Jumenengan.


(21)

6

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka masalah dalam penelitian ini penulis membatasi pada proses pelaksanaan tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Diharapkan dengan pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat memfokuskan pada pokok kajian yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian.

3. Rumusan Masalah

Sesuai dengan batasan masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan adalah bagaimanakah rangkaian proses tradisi Tingalan Dalem Jumenengan ke-10 SISKS Paku Buwono XIII di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat?

C.Tujuan Penelitian, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui rangkaian proses pelaksanaan tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

2. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian tentunya akan dapat memberikan berbagai manfaat bagi semua orang yang membutuhkan informasi tentang masalah yang penulis teliti, adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:


(22)

7

a. Secara teoritis, adalah menjadi bahan sumbangan pengetahuan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya mengenai kebudayaan Jawa tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta.

b. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai bahan informasi kepada peminat kebudayaan yang ingin mengetahui proses tradisi Tingalan Dalem Jumenengan serta menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

3. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi suatu kerancuan dalam sebuah penelitian, perlu penulis berikan batasan ruang lingkup yang akan mempermudah pembaca memahami isi karya tulis ini. Adapun ruang lingkup tersebut adalah :

a. Objek Penelitian : Tradisi Tingalan Dalem Jumenegan di Karaton Kasunanan Surakarta.

b. Subjek Penelitian : Abdi dalem dan Sentana Karaton Kasunanan Surakarta .

c. Tempat Penelitian : Karaton Kasunanan Surakarta. d. Waktu Penelitian : 2014


(23)

8

REFERENSI

Kodiran. 2004.”Kebudayaan Jawa” dalam Koentjaraningrat (ed) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Halaman 329.

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa. Halaman 1.

Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Halaman 32.

Bram Setiadi dkk. 2001. Raja di Alam Republik:Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Halaman 245. Soemarsaid Moertono. Op.cit,. Halaman 69.

Ibid, halaman 71.

Darsiti Soeratman. Op.cit,. Halaman 152

Sumber lain:


(24)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA

A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Tradisi

Tradisi (bahasa latin traditio “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu dan agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain.

Tradisi merupakan suatu kebiasaan dalam adat istiadat yang dipelihara turun-temurun yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan (G. Kartasapoetra, 1992; 427). Pendapat lain mengatakan tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan (Mursal Esten, 1999: 21). Pendapat lain mangatakan tradisi ialah kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat, ia merupakan


(25)

9

kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga sukar disisih-sisihkan dengan pemerincian yang tetap dan pasti (Rendra, 1984: 3).

Dalam kehidupan setiap bangsa di dunia dan di dalam lingkup kebudayaannya masing-masing, tiap-tiap bangsa memiliki kebiasaan hidup (adat-istiadat) yang merupakan aturan tata hidupnya. Kebiasaan yang telah berpuluh-puluh tahun dianut oleh suatu kelompok masyarakat itu dikenal sebagai tradisi (Budiono Herusatoto, 2012: 1).

Tradisi merupakan gambaran sikap dan prilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Tradisi Karaton adalah tradisi yang hidup dan berkembang di istana Kerajaan Jawa. Dalam penelitian ini tradisi yang dimaksud adalah tradisi yang hingga saat ini masih dilestarikan di Karataon Surakarta Hadiningrat, khususnya tradisi Tingalan Dalem Jumenengan.

2. Konsep Tingalan Dalem Jumenengan

Ritual adat Tingalan Dalem Jumenengan adalah salah satu penerapan adat dan istiadat kerajaan Jawa yang dinilai paling sakral dan bermakna penting. Ritual adat ini diadakan untuk memperingati hari ulang tahun kenaikan tahta raja. Upacara Tingalan Dalem Jumenengan dilaksanakan pda tanggal 25 Rajab pada penanggalan Jawa, bertepatan dengan 25 Mei 2014.


(26)

10

Tingalan Dalem Jumenengan adalah upacara peringatan kenaikan tahta raja. Dalam bahasa Jawa tingalan berarti peringatan, kata dalem merujuk pada panggilan kehormatan untuk raja Jawa, dan jumenengan berasal dari kata jumeneng yang berarti bertahta (Suyami, 2008: 82). Tingalan Dalem Jumenengan harus dilakukan dalam rangka perayaan ulang tahun penobatan raja yang merupakan keturunan dari Kerajaan Mataram. Acara sakral ini harus dilakukan rutin setiap tahun oleh pihak Karaton karena apabila tidak maka ada kepercayaan bahwa raja yang menduduki tahta tersebut akan dihukum oleh para leluhur. Proses upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan yaitu persiapan dan upacara inti.

Upacara ini berbeda dengan upacara-upacara peringatan lain seperti upacara ulang tahun raja. Karena pada upacara ini dipertunjukkan tarian sakral Bedhaya Ketawang yang hanya boleh dipertunjukkan setahun sekali yaitu pada upacara Tingalan Dalem Jumenengan. Bahkan rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta ini berbeda dengan rangkaian upacara Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yangjuga merupakan keturunan dari Kerajaan Mataram.

Raja menurut orang Jawa adalah orang yang memimpin sutau kerajaan dan memiliki berbagai sifat para dewa dalam dirinya serta memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Saat ini, raja yang sedang berkuasa di Kasunanan Surakarta Hadinigrat adalah SISKS Paku Buwono XIII yang dinobatkan sebagai raja pada

Jum‟at, 10 September 2004, atau tanggal 25 di bulan Rajab pada penanggalan

Jawa. Karena itu, Tingalan Dalem Jumenengan Karaton Surakarta Hadinigrat saat ini akan selalu digelar pada tanggal 25 bulan Rajab.


(27)

11

Tradisi Tingalan Dalem Jumenengan harus dilaksanakan di dalam Karaton. Karaton memiliki arti sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, filsafat dan kulturil (kebudayaan). Karaton dapat diartikan lingkungan seluruh struktur dan bangunan wilayah Karaton yang mengandung arti tertentu yang berkaitan dengan salah satu pandangan hidup Jawa yang sangat esensial.

3. Konsep Kebudayaan

Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Segala bentuk pemikiran intelektual dan keindahan seni dapat diekspresikan melalui budaya. Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk tertinggi diciptakan agar dapat menggunakan akal dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan berbagai keterbatasan jasmaninya, manusia harus berusaha dengan akalnya untuk menciptakan berbagai peralatan yang dapat melindungi dan mengembangkan diri.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya kelakuan (Soerjono Soekanto, 1981 : 238). Selanjutnya dapat dijelaskan pula bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti perasaan-perasaan manusia serta menjadi sistem nilainya. Hal itu terjadi karena kebudayaan diselimuti oleh nilai-nilai moral yang bersumber dari nilai-nilai yang pandangan hidup dan sistem etika yang dimiliki manusia. Dengan demikian, kebudayaan Jawa adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh umumnya orang Jawa dan digunakan sebagai acuan bertingkah laku.


(28)

12

Dalam hal ini budaya karaton maksudnya pengertian budaya menurut Karaton Surakarta Hadiningrat. Bukan pengertian budaya menurut orang lain, bukan pengertian budaya menurut pandangan di luar Karaton Surakarta. Budaya Karaton

atau juga dapat disebut kabudayan karaton. Kata budaya berarti “woh

pangolahing budi” ‘hasil olah budi‟. Makna tersebut mengandung dua pengertian

yaitu (1) produk, tercermin dalam kata woh „buah‟, dan (2) proses, tercermin

dalam perkataan pangolahing budi olah budi‟ (wawancara dengan KGPH Puger).

Kata Karaton berasal dari kata Ratu „raja‟, dan karaton itu bearti: pedalemaning

ratu „kediaman raja‟, dan ratu „raja‟ menjadi “Pangembaning budaya Jawi”.

Pangemban budaya Jawa yang didukung bersama-sama oleh putra sentana, abdi dalem,dan kawula tresna. Pernyataan budaya adalah woh pangolahing budi terdapat makna bahwa ngolah budi „mengolah budi‟, itu merupakan karya manusia yang didasari lahir dan batin bersama-sama (wawancara dengan KGPH Puger).

Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa budaya karaton sebagai suatu produk yang melalui proses penciptaan secara lahir dan batin yang disertai permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar dapat memancarkan perbawa dan wibawa. Perbawa yaitu daya kekuatan yang tidak tampak, sedangkan wibawa adalah kekuatan yang tampak. Dengan demikian budaya merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan.

Sehubungan dengan arti pentingnya budaya dalam kehidupan, termasuk karaton, maka ada satu ungkapan yang terkenal dari karaton. Ungkapan tersebut berbunyi : kuncara ruming bangsa dumunung aneng luhuring budaya yang artiya


(29)

13

kemasyuran keharuman suatu bangsa terletak pada keluhuran budaya. Ungkapan tersebut merupakan Sabda Sampeya Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana X, yang menunjukkan fungsi betapa pentingnya budaya Karaton dalam kehidupan, khususnya kehidupan di lingkungan Karaton Surakarta (wawancara dengan KRA Budayaningrat). Betapa arti pentingnya budaya Karaton dalam lingkungan kehidupan karaton melahirkan suatu anggapan bahwa karaton sebagai sumber budaya dan bukan sebagai pusat budaya.

Karaton sebagai sumber budaya maksudnya karaton memiliki fungsi sebagai asal budaya, dalam arti karaton sedagai sumber budaya Jawa. Hal ini perlu ditegaskan sebab ada istilah karaton sebagai pusat budaya. Disini ada dua pengertian yang berbeda. Karaton sebagai sumber budaya mengandung makna bahwa karaton sebagai tempat asal budaya, sedangkan karaton sebagai pusat budaya mengandung maksud bahwa karaton sebagai tempat berkumpulnya budaya. Sumber budaya juga mengandung makna tempat asal inspirasi, dan pusat budaya mengandung makna tempat koordinasi dari beberapa inspirasi.

B. Kerangka Pikir

Upacara adat Tingalan Dalem Jumenengan Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan implementasi eksistensi raja di Karaton Surakarta. Karaton sekarang mempunyai visi-misi pokok yang berbeda ketika masih menjadi pusat pemerintahan, demikian juga dengan kedudukan raja yang sudah berbeda. Dahulu raja merupakan Kepala Pemerintahan dan pemegang kebijakan. Karaton Surakarta


(30)

14

Hadiningrat merupakan lembaga adat yang masih menjalankan semua upacara adat yang diamanatkan oleh leluhur sejak masa Kerajaan Mataram.

Tingalan Dalem Jumenengan adalah salah satu upacara kerajaan Jawa yang dinilai paling sakral dan bermakna penting. Tradisi ini wajib dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati kenaikan tahta raja yang sedang berkuasa sesuai tanggal penobatannya sebagai raja. Mengingat sakralnya upacara ini tentu saja banyak tahap yang harus dilakukan agar kesakralan dan kelancaran upacara ini tetap terjaga. Beberapa tahapan dalam acara ini adalah tahap persiapan dan pelaksanaan upacara inti. Tahap-tahap ini merupakan proses utama dari upacara sakral Tingalan Dalem Jumenengan.


(31)

15

C. Paradigma

Keterangan:

: Garis kegiatan : Garis tujuan

Tradisi Tingalan Dalem Jumenengan

Persiapan Tingalan Dalem Jumenengan

Pelaksanaan Tingalan Dalem Jumenengan


(32)

16

REFERENSI

Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 241

Mursal Esten. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa. Halaman 21

Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia. Halaman 3 Budiono Herusatoto. 2011. Mitologi Jawa. Depok: Oncor. Halaman 1

Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta:Refleksi Mitologi Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Halaman 82.

Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa. Halaman 1

Soekanto, Soerjono. 1981. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Halaman 238

Skripsi:

Reza Andesta. 2013. Tradisi Pengadangan Dalam Adat Perkawinan Suku Ogan Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu. Skripsi Jurisan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sumber lain:

http://www.karatonsurakarta.com/arsitektur1.html diakses tanggal 20 Mei 2014 pukul 19.32 WIB.


(33)

16

III. METODE PENELITIAN

A. Metode yang Digunakan 1. Metode Deskriptif

Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi (Sumadi Suryabrata, 2012: 75). Pendapat lain mengatakan, metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode deskriptif memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan sebenarnya (Hadari Nawawi, 1993: 73).

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa metode deskriptif adalah metode penelitian yang ditujukan pada pemecahan masalah yang ada pada situasi sekarang, yang dilakukan dengan pengumpulan data, klasifikasi, analisis, pengolahan data dan membuat kesimpulan, dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan yang diselidiki secara obyektif.


(34)

17

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan konsep dari gejala yang bervariasi yaitu objek penelitian. Variable dapat diartikan sebagai gejala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan. Sering pula dinyatakan variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Sumadi Suryabrata, 2012: 25). Pendapat lain mengatakan bahwa variable merupakan sesuatu hal yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dengan kata lain, variabel penelitian adalah setiap hal dalam suatu penelitian yang datanya ingin diperoleh (Juliansyah Noor, 2011: 48).

Dengan demikian, maka variabel adalah sesuatu yang memiliki bermacam-macam nilai dan dapat dijadikan obyek penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan variabel tunggal, yaitu : proses pelaksanaan tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

1. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah konsep atau variabel agar dapat diukur, dengan cara melihat pada dimensi (indikator) dari suatu konsep atau variabel. Dimensi dapat berupa: perilaku, aspek, atau sifat/karekteristik (Juliansyah Noor, 2011:97). Sedangkan menurut Sumadi Suryabrata, definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yangdi definisikan yang dapat diamati (Sumadi Suryabrata, 2012: 29). Dengan demikian, maka operasional variabel adalah definisi yang memberi arti atau


(35)

18

menspesifikasikan suatu kegiatan, sehingga obyek yang kita dapat di amati dan dapat di teliti, diukur dengan jelas.

Dalam penelitian ini penulis merumuskan definisi operasional variabel dari Karaton Kasunanan Hadiningrat yang meliputi: tahap persiapan dan tahap pelaksanaan tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

2. Informan

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai tradsi Tingalan Dalem Jumenengan maka penulis menggunakan informan. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki kaitan langsung dan mengerti tentang Tingalan Dalem Jumenengan. Supaya lebih terbukti informasinya, peneliti menetapkan informan dengan kriteria sebagai berikut :

a) Individu yang bersangkutan merupakan orang yang mengikuti langsung dan mengerti tentang acara Tingalan Dalem Jumenengan.

b) Individu yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai masalah yang akan diteliti.

c) Individu yang bersangkutan memiliki kesediaan dan waktu yang cukup. d) Individu yang bersangkutan telah berusia dewasa.

Kriteria yang digunakan untuk memilih informan adalah para Abdi Dalem dan Sentana di Karaton Kasunanan Surakarta Hadingrat yang memahami tentang proses upacara Tingalan Dalem Jumenengan.


(36)

19

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang diinginkan lebih akurat. Teknik pendukung dalam pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Teknik Dokumentasi

Sebagian besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat, catatan harian, cendera mata, laporan, artefak, dan foto. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi waktu silam (Juliansyah Noor, 2012: 141). Dengan menggunakan teknik dokumentasi peneliti berusaha untuk mengumpulkan informasi tertulis maupun lisan yang berkaitan dengan proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta.

2. Teknik Observasi

Teknik ini menuntut adanya pengamatan dari peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian. Alasan peneliti melakukan observasi yaitu untuk menyajikan gambaran realistis pelaku atau kejadian, menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia, dan evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu (Juliansyah Noor, 2012: 140). Observasi dalam penelitian kualitatif dilakukan terhadap situasi sebenarnya yang wajar, tanpa dipersiapkan, dirubah atau bukan yang diadakan khusus untuk


(37)

20

keperluan penelitian. Observasi harus dilakukan pada objek penelitian sebaai sumber data dalam keadaan asli ( Hadari Nawawi, 1993: 186).

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti yaitu proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta.

3. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan langsung dengan yang diwawancarai (Juliansyah Noor, 2012: 138). Wawancara juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data dari penelitian ini. Wawancara harus dilaksanakan dengan efektif, artinya dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya dapat diperoleh dari sebanyak-banyaknya. Teknik wawancara dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses mencari keterangan untuk tujuan penelitian dan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan (Juliansyah Noor, 2012: 139).

a. Wawancara Terstruktur

Dalam wawancara terstruktur pewawancara menyampaikan beberapa pertanyaan yang sudah disiapkan pewawancara sebelumnya (Hadari Nawawi, 1993: 185), jadi wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan dan kemudian menyusun pertanyaan dalam bentuk daftar-daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan.


(38)

21

Dalam wawancara ini peneliti mewawancarai abdi dalem dan Sentana yang mengetahui proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Informan tersebut yaitu KGPH Puger selaku adik kandung Paku Buwana XIII yang menjabat sebagai Pengageng (Kepala) museum dan pariwisata Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KP Winarnokusumo yang menjabat sebagai wakil Pengageng Sasana Wilapa, KRA Budayaningrat yang merupakan abdi dalem pengajar, Ibu Sugini sebagai abdi dalem penjaga Sasana Pustaka serta BRM Suryo Triono yang merupakan pangeran sentana.

Menyusun daftar pertanyaan dilakukan agar dapat mempermudah peneliti dalam mengingat hal-hal yang akan ditanyakan pada informan. Sehingga melalui wawancara terstruktur informasi yang hendak dicari dapat tersusun dengan baik dan kemungkinan pertanyaan yang terlewatkan menjadi sedikit sehingga informasi yang diperoleh bisa diperoleh lebih lengkap.

b. Wawancara Tidak Terstruktur

Wawancara tidak terstruktur dilakukan pada awal penelitian, karena terkadang informan memberikan keterangan kadang muncul jawaban yang tidak terduga yang tidak akan muncul pada saat wawancara terarah dilakukan, dan hal itu bisa menambah informasi yang diperoleh terkait informasi yang akan diteliti. Berdasarkan pernyataan tersebut maka teknik wawancara tidak terstruktur digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi secara langsung melalui tanya-jawab dengan informan, sehingga mendapat informasi yang lebih jelas mengenai proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta.


(39)

22

Dalam wawancara ini peneliti akan mewawancarai Abdi Dalem dan Sentana yang mengikuti proses Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

4. Teknik Kepustakaan

Kepustakaan adalah cara pengumpulan data dan informasi dengan bantuan-bantuan material yang terdapat dalam ruang perpustakaan misalnya koran, majalah-majalah, catatan-catatan, kisah sejarah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koetjaraningrat, 1983 ; 83).

Berdasarkan teknik kepustakaan yang dikemukakan di atas peneliti berusaha mempelajari dan menelaah buku-buku untuk memperoleh data-data yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti yaitu tentang Tradisi Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

D. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh tidak berupa angka-angka sehingga penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis data adalah kegiatan analisis mengkategorikan data untuk mendapatkan pola hubungan, tema, menaksirkan apa yang bermakna, serta menyampaikan atau melaporkan (Husaini Usman, 2009: 84). Menurut Husaini Usman, langkah-langkah dalam menganalisis data dalam suatu penelitian adalah sebagai berikut:


(40)

23

1. Reduksi Data

Data yang diperoleh kemudian dituangkan dalam bentuk laporan, selanjutnya adalah proses mengubah rekaman data ke dalam pola, kategori dan disusun secara sistematis. Proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabstrakan, dan transformasi data di lapangan. Proses ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Fungsi dari reduksi data ini adalah menajamkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir sehingga bisa ditarik ksimpulan. Data yang direduksi akan memberikan gambaran mengenai hasil pengamatan yang mempermudah peneliti dalam mencari kembali data yang diperoleh jika diperlukan.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah penampilan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dari pengambilan tindakan. Bentuk penyajiannya antara lain dengan cara memasukkan data ke dalam sebuah matrik, grafik, dan bagan yang diinginkan atau bisa juga hanya dalam bentuk naratif saja.

3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah data direduksi kemudian data dimasukkan ke dalam bentuk bagan, matrik, dan grafik maka tindak lanjut peneliti adalah mencari arti, konfigurasi yang mungkin menjelaskan alur sebab akibat dan sebagainya. Kesimpulan harus senantiasa diuji selama penelitian berlangsung.


(41)

24

Langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti dalam mengambil kesimpulan adalah :

1. Mencari data-data yang relevan dengan penelitian.

2. Menyusun data-data dan menyeleksi data-data yang diperoleh dari sumber yang didapat dari lapangan.

3. Setelah semua data diseleksi barulah ditarik kesimpulan dan dituangkan dalam bentuk penelitian (Husaini Usman, 2009: 84-85).


(42)

25

REFERENSI

Sumadi Suryabrata.2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 75.

Hadari Nawawi.1993. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 73.

Sumadi Suryabrata. Op.cit,. Halaman 25.

Juliansyah Noor. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Halaman 48. Ibid. Halaman 97.

Suryabrata, Sumadi. Op.cit,. Halaman 29. Juliansyah Noor. Op.cit,. Halaman 141. Ibid, Halaman 140.

Hadari Nawawi. Op.cit,. Halaman 186. Juliansyah Noor. Op.cit,. Halaman 138. Ibid. Halaman 139.

Hadari Nawawi. Op.cit,. Halaman 185.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Halaman 83.

Husaini Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 84.


(43)

66

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai proses upacara Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarata Hadiningrat, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada empat tahap dalam persiapan upacara Tingalan Dalem Jumenengan yaitu Unjuk Uningo, Jamasan, latihan Tari Bedhaya Ketawang, dan wisudan (pemberian gelar) kepada abdi dalem Karaton Surakarta.

2. Dalam acara inti ini terdapat dua tahap yaitu pisowanan ageng dan pertunjukan tari Bedhaya Ketwang. Dalam Pisowanan ageng, para abdi dalem yang memiliki hak sowan datang ke Karaton Surakarta Hadiningrat untuk menghadap raja. Pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang adalah puncak sekaligus penutup dari upacara Tinggalan Dalem Jumenengan.

B. Saran

Sehubungan dengan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti sampaikan diantaranya :


(44)

67

1. Diharapkan untuk masyarakat Karaton Surakarta dapat membantu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan asli Surakarta yang sudah ada terutama dalam tradisi-tradisi Karaton.

2. Diharapkan agar konflik internal yang terjadi di Karaton Surakarta Hadiningrat tidak mengganggu kelestarian tradisi Karaton yang telah dipertahankan sejak dulu.


(45)

DAFTAR PUSTAKA

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa. Herusatoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Depok: Oncor.

Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara.

Kodiran. 2004.”Kebudayaan Jawa” dalam Koentjaraningrat (ed) Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mulyono, Slamet. 2008. Kamus Pepak basa Jawa. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nawawi, Hadari. 1993. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.

Setiadi, Bram. 2001. Raja di Alam Republik:Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Halaman 245.


(46)

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.

Suryabrata, Sumadi.2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suryoguritno, Haryono. 2006. Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar. Jakarta: PT.

Indonesia Kebanggaanku.

Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta:Refleksi Mitologi Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

Usman, Husaini. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara Wirabhumi, K.P. 2004. Mas Behi: Angger-Angger dan Perubahan zaman.

Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kebudayaan Karaton Surakarta.

Sumber lain:

http://www.karatonsurakarta.com

Skripsi:

Andesta, Reza. 2013. Tradisi Pengadangan Dalam Adat Perkawinan Suku Ogan Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu. Skripsi Jurisan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sitaresmi, Andina Dyah. 2009. Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Tesis:

Moersid, Ananda. 2002. Ruang Temporal Simbolik: Relasi Ruang, Ritual dan Konsep Kekuasaan pada Ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningrat. Tesis Program Studi Antropologi Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia. Jakarta.


(1)

2. Menyusun data-data dan menyeleksi data-data yang diperoleh dari sumber yang didapat dari lapangan.

3. Setelah semua data diseleksi barulah ditarik kesimpulan dan dituangkan dalam bentuk penelitian (Husaini Usman, 2009: 84-85).


(2)

25

REFERENSI

Sumadi Suryabrata.2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Halaman 75.

Hadari Nawawi.1993. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 73.

Sumadi Suryabrata. Op.cit,. Halaman 25.

Juliansyah Noor. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Halaman 48. Ibid. Halaman 97.

Suryabrata, Sumadi. Op.cit,. Halaman 29. Juliansyah Noor. Op.cit,. Halaman 141. Ibid, Halaman 140.

Hadari Nawawi. Op.cit,. Halaman 186. Juliansyah Noor. Op.cit,. Halaman 138. Ibid. Halaman 139.

Hadari Nawawi. Op.cit,. Halaman 185.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Halaman 83.

Husaini Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Halaman 84.


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang dilakukan mengenai proses upacara Tingalan Dalem Jumenengan di Karaton Kasunanan Surakarata Hadiningrat, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Ada empat tahap dalam persiapan upacara Tingalan Dalem Jumenengan yaitu Unjuk Uningo, Jamasan, latihan Tari Bedhaya Ketawang, dan wisudan (pemberian gelar) kepada abdi dalem Karaton Surakarta.

2. Dalam acara inti ini terdapat dua tahap yaitu pisowanan ageng dan pertunjukan tari Bedhaya Ketwang. Dalam Pisowanan ageng, para abdi dalem yang memiliki hak sowan datang ke Karaton Surakarta Hadiningrat untuk menghadap raja. Pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang adalah puncak sekaligus penutup dari upacara Tinggalan Dalem Jumenengan.

B. Saran

Sehubungan dengan penelitian yang telah peneliti lakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti sampaikan diantaranya :


(4)

67

1. Diharapkan untuk masyarakat Karaton Surakarta dapat membantu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan asli Surakarta yang sudah ada terutama dalam tradisi-tradisi Karaton.

2. Diharapkan agar konflik internal yang terjadi di Karaton Surakarta Hadiningrat tidak mengganggu kelestarian tradisi Karaton yang telah dipertahankan sejak dulu.


(5)

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Angkasa. Herusatoto, Budiono. 2011. Mitologi Jawa. Depok: Oncor.

Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara.

Kodiran. 2004.”Kebudayaan Jawa” dalam Koentjaraningrat (ed) Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.

Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mulyono, Slamet. 2008. Kamus Pepak basa Jawa. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Nawawi, Hadari. 1993. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Noor, Juliansyah. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. Rendra. 1984. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.

Setiadi, Bram. 2001. Raja di Alam Republik:Keraton Kasunanan Surakarta dan Paku Buwono XII. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Halaman 245.


(6)

Soeratman, Darsiti. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Tamansiswa.

Suryabrata, Sumadi.2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suryoguritno, Haryono. 2006. Keris Jawa Antara Mistik dan Nalar. Jakarta: PT.

Indonesia Kebanggaanku.

Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta:Refleksi Mitologi Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press.

Usman, Husaini. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara Wirabhumi, K.P. 2004. Mas Behi: Angger-Angger dan Perubahan zaman.

Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kebudayaan Karaton Surakarta.

Sumber lain:

http://www.karatonsurakarta.com

Skripsi:

Andesta, Reza. 2013. Tradisi Pengadangan Dalam Adat Perkawinan Suku Ogan Desa Lunggaian Kecamatan Lubuk Batang Kabupaten Ogan Komering Ulu. Skripsi Jurisan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sitaresmi, Andina Dyah. 2009. Istilah Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hinggil Keraton Surakarta Hadiningrat. Skripsi Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Tesis:

Moersid, Ananda. 2002. Ruang Temporal Simbolik: Relasi Ruang, Ritual dan Konsep Kekuasaan pada Ritual Tingalandalem Jumenengan di Keraton Surakarta Hadiningrat. Tesis Program Studi Antropologi Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik . Universitas Indonesia. Jakarta.