PENGEMBANGAN KOMPOR MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN SUMBU BERSERAT TEMBAGA
PENGEMBANGAN KOMPOR MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN SUMBU BERSERAT TEMBAGA
Oleh
MUHAMMAD AGUS WINDRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada
Jurusan Teknik Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
(2)
ABSTRAK
PENGEMBANGAN KOMPOR MINYAK JELANTAH MENGGUNAKAN SUMBU BERSERAT TEMBAGA
Oleh
MUHAMMAD AGUS WINDRA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan serat tembaga pada sumbu kompor terhadap kinerja kompor minyak jelantah. Penelitian dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama pengujian kemampuan kapilaritas sumbu dan serat tembaga terhadap minyak jelantah dan waktu nyala api. Tahap kedua mendesain kompor sesuai dengan hasil yang didapat pada tahap pertama dan melakukan pengujian kemampuan kompor mendidihkan dan
menguapkan air. Aspek yang diamati adalah waktu pendidihan air, laju
penggunaan bahan bakar, efisiensi termal, dan jumlah air yang teruapkan dalam waktu 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan serat tembaga pada sumbu kompor menurunkan viskositasnya yang ditandai dengan naiknya daya serap sumbu terhadap minyak jelantah. Sumbu dengan komposisi 20% serat tembaga dan 80% kain menghasilkan kapilaritas terbaik yaitu meningkat dari 3,7 cm (tanpa serat tembaga) menjadi 7,5 cm. Kompor minyak jelantah ini mampu mendidihkan 3 kg air dalam waktu rata-rata 15 menit dengan laju bahan bakar sebesar 0,1275 kg/jam. Efisiensi termal kompor ini adalah 33,33%.
(3)
(4)
(5)
(6)
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 4
C. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bahan Bakar Nabati ... 6
B. Minyak Jelantah ... 7
C. Akibat Penggunaan Minyak Jelantah ... 9
D. Karakteristik Umum Bahan Bakar Minyak ... 10
1. Kapilarisasi ... 10
2. Viskositas ... 12
3. Titik Nyala ... 14
4. Panas Jenis ... 14
5. Nilai Kalor ... 14
6. Kadar Air ... 15
E. Proses Pembakaran Bahan Bakar Minyak ... 15
F. Efesiensi Termal ... 16
G. Gasifikasi ... 17
1. Pengertian Gasifikasi ... 18
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Gasifikasi ... 18
(7)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat ... 22
B. Alat dan Bahan ... 22
C. Metode Penelitian ... 22
D. Pelaksanaan Penelitian ... 23
E. Pengamatan ... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Campuran Serat Tembaga pada Sumbu ... 27
1. Nyala Api ... 27
2. Pengurangan Minyak ... 31
B. Pembuatan Kompor Minyak Jelantah ... 39
1. Tangki Minyak ... 40
2. Sarangan Dalam ... 41
3. Sarangan Luar ... 41
4. Panjang Kolom ... 42
5. Sumbu ... 43
C. Pengujian Kompor ... 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 50
B. Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
(8)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mengenai kompor dimulai abad ke-18. Sebelumnya, masyarakat Eropa memasak menggunakan tungku. Pada abad pertengahan, tungku dibuat lebih tinggi sehingga orang tidak harus berjongkok saat memasak. Kemudian, kompor mulai dikembangkan sampai akhirnya tidak dipergunakan sejak tahun 1753, karena menghasilkan banyak asap dan berbahaya. Lalu, pada tahun 1922 muncul kompor gas yang disebut AGA Cooker temuan Gustaf Dalen yang berkebangsaan Swedia dan masih populer sampai saat ini (Reksowardojo , 2005).
Kompor yang masih mudah kita temui dan dipakai masyarakat adalah kompor minyak tanah. Namun, seiring berjalannya waktu minyak tanah semakin langka dan mahal karena persediaan minyak bumi semakin menipis sedangkan kebutuhan akan bahan bakar terus meningkat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidatonya tanggal 27 September 2005 mengatakan bahwa, cadangan energi di Indonesia sudah amat terbatas. Cadangan minyak hanya cukup 18 tahun saja, cadangan gas cukup untuk 60 tahun, dan cadangan batu bara tersedia untuk 150 tahun (Budy, 2008).
Salah satu upaya yang digalakkan untuk mengatasi kelangkaan energi fosil ialah pengalihan sumber energi dari energi fosil menjadi energi yang terbaharukan
(9)
seperti bahan bakar nabati. Bahan bakar nabati atau biofuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian.
Biofuel atau bahan bakar nabati merupakan bahan baku yang sangat potensial untuk digunakan sebagai sumber energi. Bahan bakar nabati merupakan sumber bahan bakar yang dapat diperbaharui, dihasilkan secara periodik, mudah
didapatkan, memperlihatkan kesetabilan harga dan produksinya dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Di samping itu keuntungan lain yang didapat dari penggunaan bahan bakar nabati adalah tidak menambah jumlah kandungan CO2 di atmosfir. Pembakaran minyak
nabati hanya menghasilkan CO2 dan energi, CO2 yang dihasilkan tersebut
seimbang dengan CO2 yang diserap tanaman untuk respirasinya.
Salah satu sumber bahan bakar nabati yang dapat dimanfaatkan adalah minyak jelantah atau minyak goreng bekas. Minyak jelantah adalah limbah yang berasal dari minyak goreng. Sedangkan minyak goreng sendiri adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan yang dimurnikan, berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan. Minyak goreng dapat dihasilkan dari tanaman seperti kelapa, kelapa sawit, biji-bijian, kacang-kacangan, jangung dan kedelai (Ketaren, 1986).
Konsumsi perkapita minyak goreng mencapai 16,5 kg per tahun dengan konsumsi perkapita khusus untuk minyak goreng sawit sebesar 12,7 kg per tahun. Produksi
(10)
3
minyak goreng di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 6,43 juta ton (Hambali dkk, 2007). Meningkatnya jumlah penduduk, produksi, konsumsi nasional serta perkembangan industri, restoran, dan usaha fastfood akan menyebabkan
dihasilkannya minyak jelantah dalam jumlah yang cukup banyak. Namun apabila minyak jelantah tersebut dibuang sangatlah tidak efisien dan mencemari
lingkungan.
Untuk pemakaiannya sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah dibutuhkan peralatan atau kompor khusus sehingga penggunaan minyak jelantah sebagai bahan bakar dapat berfungsi dengan baik dan menghasilkan nyala api yang baik. Salah satu kekurangan minyak jelantah sebagai bahan bakar adalah pada
viskositas atau kekentalannya yang tinggi. Viskositas berpengaruh terhadap daya serap minyak. Semakin tinggi viskositas maka daya serap minyak terhadap sumbu akan semakin kecil. Salah satu cara untuk menurunkan viskositas adalah dengan menaikkan suhu minyak tersebut.
Dari latar belakang tersebut penulis merencanakan untuk mengembangkan kompor berbahan bakar minyak jelantah menggunakan serat tembaga yang akan dikombinasikan pada sumbu. Serat tembaga yang dipakai diharapkan dapat menjadi alat pemindah panas. Panas dari api yang dihasilkan pada ujung sumbu yang terbakar akan dipindahkan ke dalam minyak yang berada di dalam tangki melalui serat tembaga. Dengan meningkatnya suhu minyak jelantah,
viskositasnya akan menjadi lebih rendah dan akan mempercepat penyerapan terhadap sumbu. Selain itu juga, dengan penggunaan serat tembaga ini
(11)
diharapkan dapat mempercepat proses gasifikasi sehingga menghasilkan nyala api yang lebih baik.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh serat tembaga terhadap kualitas sumbu kompor minyak jelantah.
2. Memanfaatkan minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan informasi atau data yang berguna untuk menyempurnakan desain kompor minyak jelantah.
2. Dengan adanya kompor ini diharapkan dapat dimanfaatkannya bahan bakar alternatif dari minyak jelantah yang efektif dan efisien.
3. Diharapkan masyarakat dapat menggunaan teknologi kompor ini sehingga dapat menggerakkan perekonomian masyarakat.
(12)
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam rangka upaya untuk menekan penggunaan minyak tanah yang selanjutnya diganti dengan gas, maka pemakaian bahan bakar minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif merupakan suatu bagian dari proses energi terbarukan yang tidak dapat ditolak (Satriya, 2007).
Dalam hal ini, minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif minyak tanah menjadi hal yang sangat penting. Sebagian besar minyak nabati dapat digunakan untuk bahan bakar kompor baik yang menggunakan sumbu maupun kompor tekan dan lampu minyak dengan melakukan beberapa modifikasi pada peralatan tersebut. Minyak nabati dan minyak jelantah memiliki sifat fisika dan kimia yang berbeda dengan minyak tanah (Reksowardojo, 2008).
Pada kompor tekan, minyak nabati menyisakan kerak setelah pembakaran dan menyumbat lubang nosel, sedangkan pada kompor sumbu akan mengakibatkan mengerasnya sumbu kompor yang akan menghambat kapilaritas minyak selanjutnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang kompor yang mampu beradaptasi dengan sifat-sifat minyak tersebut terutama pada sifat densitas dan kekentalannya (Reksowardojo, 2008).
Terdapat dua kemungkinan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif terutama untuk kompor. Pertama, menggunakan secara langsung
(13)
minyak nabati yang memiliki karakter hampir sama dengan minyak tanah, atau melakukan karakterisasi minyak sehingga sesuai dengan kebutuhan kompor dan melakukan modifikasi kompor untuk disesuaikan dengan karakteristik minyak nabati tersebut (Soerawidjaja, 2006 diacu dalam Puslitbun 2007).
Supaya dapat dijadikan sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah, minyak nabati harus memiliki karaketristik yang hampir sama dengan minyak tanah. Salah satu karakteristik yang paling utama adalah angka kekentalan. Minyak nabati memiliki angka kekentalan yang sangat tinggi, sehingga pada pemakainnya minyak nabati harus mengalami proses-proses tertentu untuk menurunkan angka kekentalannya (Lide dan Frederikse 1995, diacu dalam Puslitbun 2007).
Titik bakar yang cukup tinggi dari minyak jelantah murni, memerlukan proses pembakaran tertentu untuk menghasilkan penyalaan yang baik (Reksowardjoyo, 2008). Oleh karena itu, penggunaan minyak jelantah memerlukan peralatan atau kompor khusus. Sedangkan untuk pemakaian kompor sumbu, minyak harus memiliki kekentalan yang kecil sehingga proses perambatan minyak melalui sumbu dapat berlangsung secara cepat agar proses pembakaran berlangsung secara kontinyu.
A. Bahan Bakar Nabati
Bahan bakar adalah zat yang mudah terbakar (Michael dan Howard, 2004). Bahan bakar terdiri dari senyawa organik yang tersusun atas karbon, hidrogen, sejumlah kecil oksigen, nitrogen dan sulfur. Bahan bakar juga dapat mengandung abu (Arthur dan Chaim, 1995).
(14)
7
Inpres No. 1 dan Perpres No. 5 Tahun 2006 menerjemahkan biofuel sebagai bahan bakar nabati (BBN). Bahan bakar nabati atau biofuel adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian. Ada tiga cara untuk pembuatan biofuel: pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian); fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas (mengandung hingga 60 persen metana), atau fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester, dan energi dari hutan (menghasilkan kayu dari tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar) (Wikipedia, 2010).
B. Minyak Jelantah
Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya, dapat digunakan kembali untuk keperluaran kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan (Wikipedia, 2010). Secara umum minyak jelantah mempunyai komposisi yang hampir sama dengan minyak goreng. Kandungan asam minyak jelantah dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan karakteristik minyak jelantah dapat dilihat pada Tabel 2.
(15)
Tabel 1. Kandungan asam minyak jelantah (Ketaren, 1986).
Komposisi Kandungan (%)
Asam miristat (C14:0) 1,1 - 3,5
Asam palmitat (C16:0) 40 - 46
Asam Stearat (C18:0) 3,6 – 4,7
Asam oleat (C18:1) 39 - 45
Asam linoleat (C18:2) 7,0 - 11
Tabel 2. Karakteristik minyak jelantah (Kheang et al, 2003).
Karakteristik Satuan Nilai
Kerapatan Pada Suhu 15 oC kg/m3 920
Kekentalan Pada Suhu 40 oC mm2/s 34,40
Kadar Air % massa 0,5007
Asam Lemak Bebas % 4,9
Nilai Peroksida meq/kg 1,8
Komponen Gliserida % 73,8
Lain-lain (non Gliserida) % 20,0
Waktu Induksi Jam 1,45
Komposisi asam lemak C14:0
% berat metil ester
0,9
C16:0 39,2
C18:0 5,3
C18:1 46,4
C18:2 8,1
Melihat karakteristik minyak jelantah terutama pada kekentalannya yang bernilai 34,40 mm2/s, menunjukkan bahwa minyak jelantah memiliki viskositas yang lebih rendah dari minyak jarak pagar yaitu 50,73 mm2/s. Sedangkan bila dibandingkan dengan minyak tanah yang memiliki viskositas antara 1,4-2,7 mm2/s, viskositas minyak jelantah memang 12 kali lipat lebih tinggi. Untuk itu diperlukan
(16)
9
pemanasan pada minyak jelantah untuk menurunkan viskositasnya sehingga dapat meningkatkan daya serapnya terhadap sumbu (Rahmat, 2007).
C. Akibat Penggunaan Minyak Jelantah
Menurut Ketaren (2005), tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah
terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng
menggunakan minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol yang membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein.
Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi (Ketaren, 2005). Maka, minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah mengalami penguraian molekul-molekul dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak bebas. Selain itu, minyak goreng ini juga sangat disukai oleh jamur aflatoksin. Jamur ini dapat
menghasilkan racun aflatoksin yang dapat menyebabkan penyakit pada hati.
Akibat dari penggunaan minyak goreng yang berulang kali dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Rukmini (2007) tentang regenerasi minyak goreng bekas dengan arang sekam menekan kerusakan organ tubuh. Hasil
penelitian pada tikus wistar yang diberi pakan mengandung minyak goreng bekas yang sudah tidak layak pakai terjadi kerusakan pada sel hepar (liver), jantung, pembuluh darah maupun ginjal.
(17)
Penggunaan minyak jelantah secara berulang-ulang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun. (Rukmini, 2007).
Menurut Ketaren tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying), karena selama proses menggoreng minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak.
D. Karakteristik Umum Bahan Bakar Minyak
Karakteristik umum bahan bakar minyak antara lain, kapilarisasi, viskositas, titik nyala, panas jenis, nilai kalor dan kadar air.
1. Kapilaritas
Sifat kapilaritas minyak pada sumbu merupakan bagian yang terpenting dalam sistim kompor sumbu. Naiknya minyak dari tangki minyak sampai ke bagian atas melalui sumbu untuk selanjutnya terbakar sangat dipengaruhi oleh sifat fisik minyak, diantaranya adalah kekentalan. Kekentalan menyebabkan naik atau turunnya daya penetrasi minyak terhadap sumbu, angka kekentalan yang tinggi menyebabkan daya penetrasi minyak turun. Tegangan permukaan yang rendah memberikan kemampuan penetrasi dan penyebaran yang baik, sifat pembasahan
(18)
11
berkaitan dengan sudut kontak cairan sedangkan densitas tidak banyak berpengaruh terhadap daya penetrasi (Mohtar 2008).
Kapilarisasi adalah gejala naiknya suatu fluida yang disebabkan oleh gaya kohesi atau gaya tarik menarik antara partikel yang sejenis, misalnya partikel minyak dengan partikel minyak, dan gaya adhesi atau gaya tarik menarik antara partikel yang berbeda jenis misalnya partikel minyak dengan partikel lain (Fayala et al. 2004).
Ketinggian yang dicapai suatu cairan dalam tabung kapiler dipengaruhi pula oleh jari-jari tabung dan densitas cairan. Untuk kapilarisasi pada bahan berpori, semakin rapat bahan tersebut maka akan semakin tinggi ketinggian yang dapat dicapai oleh cairan (Kwiatkoswka, 2008).
Hal lain yang mempengaruhi daya kapilarisasi adalah jenis bahan benang penyusun sumbu. Selain diakibatkan oleh perbedaan karakter dari setiap jenis benang, kapilarisasi juga sangat erat dihubungkan dengan nilai porositas sumbu. Ketinggian yang dapat dicapai oleh pergerakan minyak sepanjang sumbu akan semakin cepat bila ukuran diameter pori sumbu semakin kecil atau porositasnya semakin besar (Pant, 2008).
Sunandar pada tahun 2010 telah melakukan berbagai pengujian kapilaritas berbagai minyak nabati terhadap sumbu berdasarkan kenaikan suhu. Pengaruh suhu terhadap kapilaritas minyak jelantah dapat dilihat pada Gambar 1.
(19)
Waktu (menit)
Gambar 1. Pengaruh suhu terhadap kapilaritas minyak jelantah (Sunandar, 2010).
2. Viskositas
Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida. Viskositas diukur dari tahanannya untuk mengalir atau gesekan dalamnya. Viskositas dapat dinyatakan oleh jumlah detik yang digunakan oleh volume tertentu dan minyak untuk mengalir melalui lubang diameter kecil tertentu. Semakin rendah jumlah detiknya berarti semakin rendah viskositasnya. Jadi viskositas tidak lain menentukan kecepatan mengalirnya suatu cairan. Suatu bahan apabila dipanaskan sebelum cair terlebih dahulu menjadi viscous yaitu menjadi lunak dan dapat mengalir pelan-pelan (Anonim, 2006).
Viskositas merupakan sifat yang sangat penting dalam penyimpanan dan
penggunaan bahan bakar minyak. Viskositas mempengaruhi derajat pemanasan awal yang diperlukan untuk handling, penyimpanan dan atomisasi yang
memuaskan. Jika minyak terlalu kental, maka minyak akan sulit diserap oleh sumbu (Anonim, 2006).
(20)
13
Viskositas biasanya dinyatakan dalam waktu yang diperlukan untuk mengalir pada jarak tertentu. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi (Shreve dalam Tim Departemen Teknologi Pertanian, 2005).
Semakin besarnya gaya tarik menarik yang terjadi intermolekuler menyebabkan semakin besar viskositas cairan tersebut. Senyawa yang memiliki kemampuan besar untuk membentuk ikatan hidrogen, terutama yang terdapat tempat terikatnya hidrogen di setiap molekul, seperti gliserol, biasanya memiliki viskositas yang tinggi. Nilai viskositas akan semakin bertambah seiring dengan semakin
bertambahnya ukuran dan luas permukaan molekul. Minyak mengandung ikatan rantai karbon yang panjang sehingga akan meningkatkan viskositasnya. Grafik pengaruh suhu terhadap densitas dan kekentalan minyak jelantah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap densitas (a) dan kekentalan (b) minyak jelantah ( Sunandar, 2010)
(21)
3. Titik Nyala
Titik nyala suatu bahan bakar adalah suhu terendah di mana bahan bakar
dipanaskan sehingga uap mengeluarkan nyala sebentar bila dilewatkan suatu nyala api (Anonim, 2006).
4. Panas Jenis
Panas jenis adalah jumlah kkal yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1kg minyak sebesar 1°C. Satuan panas jenis adalah kkal/kg°C. Besarnya bervariasi mulai dari 0,22 hingga 0,28 tergantung pada specific gravity minyak. Panas jenis menentukan berapa banyak steam atau energi listrik yang digunakan untuk memanaskan minyak ke suhu yang dikehendaki. Minyak ringan memiliki panas jenis yang rendah, sedangkan minyak yang lebih berat memiliki panas jenis yang lebih tinggi (Anonim, 2006).
5. Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan ukuran panas atau energi yang dihasilkan, dan diukur sebagai nilai kalor kotor/gross calorific value atau nilai kalor netto/nett calorific value. Perbedaannya ditentukan oleh panas laten kondensasi dari uap air yang dihasilkan selama proses pembakaran. Nilai kalor kotor/gross calorific value (GCV) mengasumsikan seluruh uap yang dihasilkan selama proses pembakaran sepenuhnya terembunkan/terkondensasikan. Nilai kalor netto (NCV)
mengasumsikan air yang keluar dengan produk pengembunan tidak seluruhnya terembunkan. Bahan bakar harus dibandingkan berdasarkan nilai kalor netto (Anonim, 2006).
(22)
15
6. Kadar Air
Kadar air minyak pada umumnya sangat rendah sebab produk disuling dalam kondisi panas. Batas maksimum 1% ditentukan sebagai standar (Anonim, 2006).
E. Proses Pembakaran Bahan Bakar Minyak
Pembakaran bahan bakar merupakan reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksidan menghasilkan pertambahan temperatur. Oksidan biasanya berupa udara atau okigsen murni (Arthur dan Chaim, 1995). Hadyana, dkk (2003),
menjelaskan pembakaran sebagai proses oksidasi gas, cairan atau zat padat, yang menghasilkan kalor, dan sering juga cahaya.
Terjadinya proses pembakaran diperlukan adanya tiga syarat, yang dikenal dengan segitiga api, yaitu : (1) adanya bahan bakar, misalnya : minyak, gas alam,
biomassa, dll; (2) adanya udara (oksigen) dalam jumlah yang memadai sebagai pereaksi oksidasi; dan (3) adanya panas pemicu sehingga tercapainya titik nyala (flash point) bahan bakar itu. Jadi proses pembakaran minyak adalah reaksi oksidasi bahan organik minyak oleh oksigen dari udara yang menghasilkan energi panas api, dan hasil samping karbondioksida dan uap air (Budy, 2008).
Ketika terjadi pembakaran kimia, ikatan di dalam molekul dari reaktan menjadi terputus, dan atom dan elektron tersusun ulang menjadi produk (Michael dan Howard, 2004). Proses yang terjadi dalam pembakaran adalah proses oksidasi dengan reaksi sebagai berikut (Anonim, 2006).
C + O2→ CO2 + panas
H2 + ½ O2→ H2O + panas
(23)
Di dalam reaksi pembakaran, elemen-elemen bahan bakar yang mudah terbakar mengalami oksidasi yang cepat sehingga menghasilkan pelepasan energi
bersamaan dengan terbentuknya produk hasil pembakaran. Tiga elemen kimia utama yang mudah terbakar di dalam bahan bakar yang paling umum ditemukan adalah karbon, hidrogen dan sulfur. Pembakaran dituntaskan ketika semua karbon yang terkandung di dalam bahan bakar telah habis terbakar menjadi
karbondioksida, semua hidrogen telah terbakar menjadi air, dan semua sulfur telah habis terbakar menjadi sulfur dioksida, dan semua elemen-elemen yang mudah terbakar lainnya telah teroksidasi. Jika kondisi-kondisi ini tidak terpenuhi, pembakaran menjadi tidak tuntas (Michael dan Howard, 2004).
F. Efisiensi Termal
Efisiensi termal adalah suatu penentuan seberapa baik suatu peralatan mampu membakar suatu bahan bakar tertentu, yang ditunjukkan dalam persen (%).
Efisiensi pembakaran sempurna akan mempergunakan semua energi yang tersedia di dalam bahan bakar. Efisiensi pembakaran 100% secara realistis tidak akan tercapai (Kakati, 2006).
Proses pembakaran secara umum menghasilkan efisiensi dari 10% sampai 95%. Penentuan efisiensi pembakaran mengasumsikan bahan bakar secara lengkap terbakar dan didasarkan pada tiga hal (Turns, 1996):
1. Sifat kimia dan fisika bahan bakar 2. Suhu stack gas secara keseluruhan
(24)
17
Efisiensi termal langsung dipengaruhi oleh proses pencampuran antara udara dan bahan bakar. Efisiensi dapat didefinisikan sebagai perbandingan energi yang digunakan terhadap energi yang terkandung dalam bahan bakar.
Sebagai perbandingan, (Sunandar, 2010) telah melakukan percobaan pengukuran efisiensi termal beberapa jenis minyak nabati dengan menggunakan 3 jenis kompor. Efisiensi termal minyak nabati dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Efisiensi termal minyak nabati (Sunandar, 2010).
Jenis Kompor
Efisiensi Termal (%) Minyak Tanah Minyak Kelapa Minyak Kacang Tanah Minyak Bintaro Minyak Jelantah Minyak Jarak Pagar
Konvensional 37,9 - - - - -
Kompor Termodifikasi (pemindah panas)
41,2 - - - - -
Kompor Termodifikasi (kolom pendek)
44,5 25,6 17,3 19,7 18,4 24,5
G. Gasifikasi
Gasifikasi adalah proses yang berbeda dengan proses pembakaran maupun proses pembentukan biogas. Perbedaan gasifikasi dengan pembakaran terletak pada jumlah oksigen yang digunakan dalam proses, serta produk yang dihasilkan. Pada proses pembakaran menggunakan oksigen yang melebihi kebutuhan stokiometrik, selain itu produk yang dihasilkan berupa energi panas dan gas yang tidak terbakar. Sedangkan pada proses pembentukan biogas, proses yang terjadi adalah proses biologis seperti proses anaerobik.
(25)
Sementara itu, proses gasifikasi sangat bergantung pada reaksi kimia yang terjadi pada temperatur di atas 700 oC, untuk beberapa temperatur, rasio antara produk dari
karbondioksida (CO2) dan hidrogen (H2) dan produk dari karbon monoksida (CO) dan
air (H2O) yang mempengaruhi nilai dari konstanta kesetimbangan air-gas (Kp).
1. Pengertian Gasifikasi.
Gasifikasi adalah proses pengubahan materi yang mengandung karbon seperti batu bara, minyak bumi, maupun biomassa ke dalam bentuk karbon monoksida dan hidrogen dengan mereaksikan bahan baku yang digunakan ke dalam bentuk gas yang lebih mudah dibakar, sehingga hanya menyisakan abu dan sisa-sisa material yang tidak terbakar.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Gasifikasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses gasifikasi adalah : 1. Kandungan energi bahan reaktor yang digunakan
Bahan reaktor dengan kandungan energi yang tinggi akan memberikan pembakaran gas yang lebih baik.
2. Kandungan air dari bahan reaktor yang digunakan.
Bahan reaktor dengan tingkat kelembaban yang lebih rendah akan lebih mudah digasifikasi dari pada bahan reaktor dengan tingkat kelembaban yang lebih tinggi.
3. Distribusi ukuran bahan reaktor
Distribusi ukuran bahan reaktor yang tidak seragam akan menyebabkan bahan reaktor yang digunakan lebih sulit terkarbonisasi karena pembakaran yang tidak merata, dan mempengaruhi proses gasifikasi.
(26)
19
4. Temperatur reaktor gasifikasi
Temperatur reaktor ketika proses gasifikasi berlangsung sangat
mempengaruhi produksi gas yang dihasilkan. Untuk itu, reaktor gasifikasi perlu diberi insulasi untuk mempertahankan temperatur di dalam reaktor tetap tinggi.
H. Perkembangan Kompor Minyak Nabati
Pada beberapa tahun belakang antrian penduduk untuk membeli dan memperoleh beberapa liter minyak tanah, makin sering mengisi berita media masa. Hal ini dipicu oleh program pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas dalam rangka mengurangi biaya subsidi terhadap minyak tanah (Nuryanti dan Herdine 2007). Di sisi lain, pemerintah mulai melakukan kajian untuk mengkonversi minyak tanah menjadi bahan bakar avtur untuk pesawat terbang (Wahyuni, 2009). Menyikapi hal tersebut, pemerintah melalui departemen dalam negeri melakukan program desa mandiri energi berbasis nabati dan non nabati, yang berarti 60 persen dari kebutuhan energinya dipenuhi oleh sumber bahan bakar setempat terutama dari energi terbarukan (Dirjen PMD, 2008). Pada saat ini baru jenis kompor bertekanan yang sudah dapat dioperasikan dengan minyak nabati dengan beberapa modifikasi terutama pada bagian pengabutan bahan bakar sebelum masuk ke ruang bakar (Rahmat, 2007). Penelitian untuk kompor sumbu masih terus dikembangkan. Dengan sifat fisikokimia minyak yang jauh berbeda, kompor sumbu terus diupayakan dimodifikasi agar dapat dipergunakan untuk memasak dengan bahan bakar minyak nabati.
(27)
Dalam rangka menunjang program Pemerintah tentang desa mandiri, khususnya pada penyediaan bahan bakar sebagai sumber energi dari energi terbarukan diperlukan teknologi yang tepat guna yang mudah dioperasikan oleh semua lapisan pengguna. Sehubungan dengan itu pada saat ini telah ada dan sedang dalam penelitian untuk membuat kompor berbahan bakar minyak nabati.
Kompor yang dikembangkan pada saat ini umumnya adalah kompor bertekanan atau yang lebih dikenal dimasyarakat adalah kompor mawar atau semawar,
sedangkan pengguna kompor sumbu jumlahnya di Indonesia cukup besar terutama dibeberapa daerah yang jauh dari kota. Pada pemakainnya dalam rumah tangga dan industri sekala kecil, minyak dipakai sebagai bahan bakar untuk kompor baik kompor sumbu maupun kompor bertekanan. Pada kompor sumbu, minyak bekerja akibat gaya kapilaritas terhadap sumbu. Penyalaan terjadi pada bagian ujung sumbu. Sedangkan pada kompor bertekanan penyalaan disebabkan oleh perubahan fisik minyak akibat besarnya tekanan yang diberikan. Minyak diubah menjadi bentuk butiran halus uap dengan alat nosel dan terbakar pada bagian penyalaan (Rahmat, 2007).
Salah satu jenis kompor sumbu berbahan bakar minyak jelantah adalah seperti yang telah dikembangkan oleh Institut Pertanian Bogor. Modifikasi yang dilakukan adalah menambah alat pemindah panas atau heat transporter yang dipasang dalam kompor. Pemindah panas yang dirancang berupa batang besi berukuran diameter 1 cm dengan panjang 70 cm. Alat ini dibentuk menjadi huruf U dan selanjutnya alat ini dipasang melintang tepat di atas ruang bakar, kakinya melalui pinggir saringan udara dan ujungnya masuk ke dalam tangki minyak
(28)
21
sehingga tercelup sekitar 5 cm dalam minyak, seperti tampak pada Gambar 3 (Sunandar, 2010).
Gambar 3. Kompor minyak jelantah dengan alat pemindah panas.
Berdasarkan kompor-kompor minyak jelantah yang telah dikembangkan, dapat diasumsikan bahwa minyak jelantah membutuhkan proses pemanasan untuk menurunkan nilai kekentalannya. Suhu yang lebih tinggi akan membuat minyak jelantah lebih mencair dan kekentalannya akan berkurang. Dengan berkurangnya kekentalan, daya kapilaritas minyak jelantah akan meningkat sehingga api pada sumbu dapat menyala secara kontinyu. Serat tembaga digunakan sebagai alat pemindah panas dan untuk mempercepat proses gasifikasi sehingga menghasilkan nyala api yang lebih biru dan lebih panas. Diharapkan dengan pengembangan kompor dengan sumbu serat tembaga ini dapat memperbaiki dan
(29)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011 bertempat di Laboratorium Bioproses, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Serat tembaga, sumbu, gelas ukur, timbangan digital, stopwatch, mistar, cawan, kamera dan plat aluminium. Sedangkan bahan yang digunakan adalah minyak jelantah yang telah digunakan untung menggoreng tempe sebanyak 2 kali penggorengan. Minyak jelantah yang digunakan disaring terlebih dahulu menggunakan kain (baju kaus) dengan tujuan membersihkan partikel-partikel kotoran dari sisa penggorengan. Penyaringan tidak menggunakan kriteria saringan khusus karena untuk mempermudah proses penggunaan pada masyarakat khususnya.
C. Metode penelitian
Penelitian ini akan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah pengujian kemampuan kapilaritas sumbu dan serat tembaga terhadap minyak jelantah, waktu nyala api, serta mengetahui jumlah minyak jelantah yang terbakar. Diharapkan pada perlakuan tersebut akan didapatkan kombinasi sumbu dan serat tembaga
(30)
23
yang paling baik serta panjang sumbu optimum yang akan diterapkan pada kompor agar dapat mendapatkan nyala api yang optimum dan kontinyu.
Sedangkan pada tahap kedua adalah mendesain kompor sesuai dengan hasil yang didapat pada tahap pertama serta melakukan pengujian terhadap kemampuan kompor menguapakan air dan melakukan pengamatan diantaranya kemudahan penyalaan, warna nyala api, waktu pendidihan air, laju penggunaan bahan bakar, efisiensi termal, serta jumlah air yang terupakan dalam waktu 2 jam.
D. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Pada penelitian tahap pertama digunakan lampu tradisional dalam hal ini menggunakan gelas ukur yang dipakai dengan tujuan untuk memudahkan melihat dan mengukur jumlah dan tinggi minyak terbakar dengan asumsi semua sumbu pada kompor akan sama perlakuannya. Penelitian ini dirancang menggunakan kombinasi sumbu dan serat tembaga dengan komposisi sebagai berikut :
P1: komposisi sumbu kain 100 %, serat tembaga 0%, P2: komposisi sumbu kain 80%, serat tembaga 20%, P3 : komposisi sumbu kain 60%, serat tembaga 40%, P4 : komposisi sumbu kain 50%, serat tembaga 50%, P5 : komposisi sumbu kain 40%, serat tembaga 60%.
Perhitungan yang digunakan adalah % penampang. Diameter kolom sumbu yang dibuat pada kompor adalah 5 mm, dan memiliki luas penampang sebesar 19,625
(31)
mm2. Kemudian dibuat serat tembaga yang luas penampangnya mendekati persentasi yang diinginkan untuk dikombinasikan pada sumbu.
Setelah didapatkan kombinasi yang paling tepat atau dalam hal ini didapatkan kombinasi sumbu dan serat tembaga yang menghasilkan nyala api paling lama dan kemampuan serap minyak yang paling tinggi, penelitian dilanjutkan ke tahap kedua.
2. Pelaksanaan penelitian pada tahap kedua adalah sebagai berikut : 1) Menyiapkan alat dan bahan yang akan dipakai.
2) Melakukan perakitan kompor. 3) Pengujian kompor
Pengujian dilakukan dengan merebus air sebanyak 3 kg selama 2 jam, kemudian dihitung jumlah air yang teruapkan dan jumlah minyak yang terpakai selama proses pembakaran.
E. Pengamatan
Pada penelitian tahap pertama dilakukan untuk mengetahui kombinasi serat tembaga dan sumbu yang paling baik untuk dapat digunakan pada kompor. Pada tahap ini akan dilakukan pengamatan sebagai berikut :
1. Kandungan serat tembaga yang paling baik. 2. Kemampuan serap minyak terhadap sumbu. 3. Lama nyala api total.
4. Lama nyala api optimum.
5. Pengamatan visual yaitu pengambilan gambar nyala api yang dilakukan dengan range waktu 5 menit.
(32)
25
Untuk penelitan tahap kedua, dilakukan pengujian terhadap kompor. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemampuan kompor berbahan bakar minyak jelantah yang telah dibuat. Aspek-aspek yang akan diamati adalah sebagai berikut
1. Kemudahan penyalaan
Kemudahan penyalaan adalah proses untuk menyalakan kompor. Kompor dapat dinyalakan dengan cepat dan mudah atau sebaliknya.
2. Warna nyala api
Untuk pengamatan warna nyala api dapat dilakukan dari hasil pengamatan langsung secara visual ketika kompor dinyalakan dengan cara mengambil gambar api untuk mengetahui warna dan kualitas dari api tersebut.
3. Waktu pendidihan air
Waktu pendidihan air adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan 3 kg air sampai mencapai suhu 1000 C.
4. Laju penggunaan bahan bakar
Penggunaan bahan bakar diukur untuk mengetahui jumlah energi yang digunakan pada saat kompor digunakan. Laju penggunaan bahan bakar dirumuskan sebagai berikut :
FCR =
Banyaknya bahan bakar yang digunakan (kg)(33)
5. Efisiensi termal
Perbandingan jumlah energi yang digunakan dengan energi yang tersedia dalam bahan bakar. Dirumuskan sebagai berikut ;
Et = E1 + E2
E Minyak
x 100%
………...……… (2)Dimana:
Et = Efisiensi termal (%)
E1 = Energi untuk mendidihkan air dari suhu awal sampai
mendidih 1000C (kJ).
E2 = Energi untuk menguapkan air (kJ).
(34)
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Penambahan serat tembaga pada sumbu dapat meningkatkan suhu minyak dan menurunkan viskositas yang ditandai dengan meningkatnya kapilaritas sumbu. 2. Sumbu kompor yang ditambah 20% tembaga akan meningkatkan daya serap
minyak dari 3,7 cm menjadi 7,5 cm.
3. Masih terdapat deposit karbon pada ujung sumbu setelah pemakaian kompor. 4. Kompor minyak jelantah ini mampu mendidihkan 3 kg air dalam waktu
rata-rata 15 menit, dan mampu menguapkan air sebanyak 1,17 kg dalam waktu 2 jam, dengan laju bahan bakar sebesar 0,1275 kg/jam.
5. Efisiensi termal kompor minyak jelantah menggunakan sumbu berserat tembaga ini adalah sebesar 33,33 %.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memodifikasi sarangan untuk mendapatkan warna nyala api yang biru.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengamati karakteristik minyak jelantah yang digunakan untuk mengatasi adanya deposit karbon pada ujung sumbu.
(35)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia. www.efficiencyasia.org. Diakses tanggal 22 Februari 2009
Arthur, S and G. Chaim. 1995. Thermodynamics, From Concept to Application. Avenue. Prentice Hall
Budy. 2008. Minyak Jarak Alternatif Energi Masa Depan. Sinar Tani Edisi 7. Jakarta.
Dirjen PMD. 2008. Petunjuk Pelaksanaan Pilot Project Desa Mandiri Energi. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri. Jakarta.
Djazuli, M dan B. Prastowo. 2008. Bahan Bakar Nabati Alternatif Pengganti minyak Tanah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.30. No. 24.
Fayala F, M. Hamdaoui, A. Ghith, B.S. Nasrallah. 2004. Capillary Flow in Fabrics. Textile Research Journal. 70:4.
Hambali, E, S. Mudjalipah, dan A.H. Tambunan. 2005. Teknologi Bioenergi. Argo Media. 86 hlm.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Ketaren. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UIPress. Jakarta.
Kheang, L.S., C.Y. May, C.S. Foon, and M.A. Ngan. 2003. Used Frying Oil: Recovery And Application. MPOB Information Series. Malaysia. Kwiatkoswka, I and J. Hupka. 2008. An Investigation on Wetting of Porous
Materials. Physicochemical Problems of Mineral Processing.42:251-262. Michael, M and J. Howard. 2004. Termodinamika Teknik, Jilid II. Erlangga.
(36)
52
Mohtar. 2008. Tegangan Permukaan. http://mohtar.staff.uns.ac.id. [15Agustus 2009].
Nakpong, P. 2010. Biodiesel production from mixtures of vegetable oil and used cooking oil. Department of Chemistry, Faculty of Science and Technology, Rajamangala University of Technology Krungthep. Bangkok Thailand.
Nuryanti, S. Herdine. 2007. Analisis Karaktersitik Konsumsi Energi Pada Sektor Rumah Tangga di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta.
Pant, A, A Jain , A Das. 2008. Study on The Liquid Flow behavior of Cotton Wick. Fibers and Polymers. 9(2):176-186.
Puslitbun . 2007. Bahan Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga. http://www.puslitbun.org. Rahmat, B. 2007. Konversi Minyak Jelantah menjadi Biodiesel. Majalah Ilmiah
Wawasan Tridharma Kopertis Wilayah IV. Edisi 7 tahun XIX.
Rama , P. 2007. Meraup Untung dari Jarak Pagar. Agromedia Pustaka. Jakarta. Reksowardojo, I. 2005. Kompor Minyak Jarak Pagar. Ilmu dan Teknologi.
Koran Tempo. 5 Desember 2005 : C6-C7.
Reksowardojo, I. 2008. Stove for Plant Oils. Workshop on Renewable Energy Technology Application To support Eenergu. Economics. and Environment Vilage. 22-24 Juli 2008. Jakarta.
Rukmini, A. 1998. Kajian Perlakuan Minyak Goreng Bekas dengan Beberapa Bahan Tanaman Bersilikat. Tesis, Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.
San. 2009. Kapilaritas. http://www.gurumuda.com/category/fisika-sma/fluida-statis [11 Februari 2009]
Satriya, E. 2007. Menyoal Koversi Minyak Tanah ke Bahan Bakar Gas.
http://kolom.pacific.net.id/menyoal_konversi_minyak_tanah_ke_bahan_bakar_ gas_files. [21 Mei 2007]
Sunandar, K. 2010. Kajian Kapilaritas Minyak Nabati Pada Kompor Sumbu. Institut Pertanian Bogor. Jawa Barat.
Tim Departemen Teknologi Pertanian. 2005. Proses Pembuatan Minyak Jarak Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Universitas Sumatera Utara. Medan. Tuller, M. 2005. Capillarity. Water Resources Research 35(7):155-164.
(37)
Turns, R.S. 1996. An Introduction to Combustion : Concept and Application. Mc Graw-Hill.Inc. Singapore.
Wahyuni, D.N. 2009. Pertamina Berhenti Impor Avtur Akhir April 2009. www.detikfinance.com.
Wikipedia Bahasa Indonesia, “Minyak Jelantah”, termuat di http://id.wikipedia.org. Diakses tanggal 24 Maret 2010.
Whitten, W and Kenneth. 2000. General Chemistry with Quantitative Analysis. Saunders College Publishing. New York.
(38)
54
Perhitungan Laju Bahan Bakar
= ( )
( )
= .
= . /
Perhitungan Efesiensi Thermal
= + %
= ( ∆ ) + ( ∗ )
∗ %
=
( ∗ . ˚ ∗ ˚ − ˚ + ∗ .
. ∗ . / %
= , + .
. %
(39)
Perhitungan Persentasi Sumbu
Diameter kolom sumbu = 5 mm, r = 2,5 mm
L= πr2
L=π 2,52 L=19,625 mm2
Persentase 20 % serat tembaga
0,2= πr 2
19,625
πr2=0,2* 19,625 mm2
πr2=3,925 mm2 r2 = 3,925 mm
2
3,14 r2 =1,25mm r = 1,25 r=1,1180 mm D=2,236 mm
Persentase 40 % serat tembaga
0,4 = πr 2
19,625
πr2 = 0,4 * 19,625 mm2
πr2 = 7,85 mm2 r2 = 7,85 mm
2
3,14 r2 = 2,5 mm r = 1,58 mm D = 3,16 mm
(40)
56
Persentase 50 % serat tembaga
0,5 = πr 2
19,625
πr2 = 0,5 * 19,625 mm2
πr2 = 9,8125 mm2 r2 = 9,8125 mm
2
3,14 r2 = 3,125 mm r = 3,125 r = 1,7677 mm D = 3,53 mm
Persentase 60 % serat tembaga
0,6 = πr 2
19,625
πr2 = 0,6 * 19,625 mm2
πr2 = 11,775 mm2 r2 = 11,775 mm
2
3,14 r2 = 3,75 mm r = 3,75 r = 1,9304 mm D = 3,87 mm
(41)
Tabel 6. Hubungan % tembaga dengan ketinggian pengurangan minyak.
t (menit)
Ketinggian pengurangan minyak (cm)
0 % 20 % 40 % 50 % 60 %
0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
5 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2
10 0,5 0,5 0,6 0,5 0,4
15 0,8 0,7 1,0 0,8 0,6
20 1,0 1,0 1,3 1,1 1,0
25 1,3 1,3 1,8 1,4 1,2
30 1,5 1,5 2,3 2,0 1,5
35 2,0 2,5 3,4 2,4 2,0
40 2,5 2,8 3,8 3,0 2,4
45 2,7 3,2 4,2 3,8 3,2
50 2,9 3,6 4,8 4,3 3,7
55 3,0 4,2 5,3 4,6 4,2
60 3,3 4,5 5,5 5,0 4,4
65 3,5 4,8 5,7 5,3 4,7
70 3,7 5,1 5,9 5,5 4,9
75 - 5,5 6,5 5,7 5,3
80 - 5,8 6,7 5,9 5,7
85 - 6,1 7,0 6,0 5,9
90 - 6,2 - - 6,1
95 - 6,5 - - 6,3
100 - 6,8 - - 6,5
105 - 7,1 - - -
(42)
58
Tabel 7. Karakteristik minyak solar, minyak jelantah sawit, dan biofuel minyak jelantah sawit (Rahmat, 2007).
Parameter Minyak Solar Minyak Jelantah Sawit
Biofuel Minyak Jelantah Sawit
Kerapatan
Sfesifik 60/60 0F 0,820 – 0,870 0,9104
0,8733
Viskositas Kinematis 400C, cst
2,0 – 5,0 39,07 4,553
Titik Tuang, 0F Maksimal 65 50 55,4
Titik Nyala, 0F Minimal 150 478 363,2
Kadar Air, %
Volume Maksimal 0,05 Trace
Trace
Sisa Karbon, % Maksimal 0,1 0,318 0,0087
Nilai Pembakaran
Kotor , BTU/lb 19,031 – 19,220 18,952
19,089
Nilai Pembakaran
Bersih, BTU/lb 17,856 – 17,977 17,832
17,918
(43)
Tabel 8. Perbandingan minyak jelantah, biodiesel minyak jelantah dan minyak diesel (Rahmat, 2007).
Fuel Property Waste vegetable oil Biodiesel from waste vegetable oil Commercial diesel fuel Kinematic viscosity (mm2/s, at 313 K)
36,4 5,3 1,9 – 4,1
Density (kg/L, at 288 K)
0,924 0,897 0,075 – 0,840
Flash point (K) 485 469 340 – 358
Pour point (K) 284 262 254 – 260
Cetane number 49 54 40 – 46
Ash content (%) 0,006 0,004 0,008 – 0,010
Sulfur content (%) 0,09 0,06 0,35 – 0,55
Carbon residue (%)
0,46 0,33 0,35 – 0,40
Water content (%) 0,42 0,04 0,02 – 0,05
Higer heatine value (MJ/kg)
41,40 42,65 45,62 – 46,48
Free fatty acid (mg KOH/g oil)
1,32 0,10 -
(44)
60
Tabel 9. Nilai Spesifik Enthalpi Uap Air ( Hydrogen Analysis Resource center, 2010).
(1)
Perhitungan Persentasi Sumbu
Diameter kolom sumbu = 5 mm, r = 2,5 mm
L= πr2
L=π 2,52 L=19,625 mm2
Persentase 20 % serat tembaga
0,2= πr
2
19,625
πr2=0,2* 19,625 mm2 πr2=3,925 mm2
r2 = 3,925 mm
2
3,14 r2 =1,25mm r = 1,25
r=1,1180 mm D=2,236 mm
Persentase 40 % serat tembaga
0,4 = πr
2
19,625
πr2 = 0,4 * 19,625 mm2
πr2 = 7,85 mm2
r2 = 7,85 mm
2
3,14 r2 = 2,5 mm r = 1,58 mm
(2)
Persentase 50 % serat tembaga
0,5 = πr
2
19,625
πr2 = 0,5 * 19,625 mm2 πr2 = 9,8125 mm2
r2 = 9,8125 mm
2
3,14 r2 = 3,125 mm
r = 3,125
r = 1,7677 mm D = 3,53 mm
Persentase 60 % serat tembaga
0,6 = πr
2
19,625
πr2 = 0,6 * 19,625 mm2 πr2 = 11,775 mm2
r2 = 11,775 mm
2
3,14 r2 = 3,75 mm r = 3,75
r = 1,9304 mm D = 3,87 mm
(3)
Tabel 6. Hubungan % tembaga dengan ketinggian pengurangan minyak.
t (menit)
Ketinggian pengurangan minyak (cm)
0 % 20 % 40 % 50 % 60 %
0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
5 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2
10 0,5 0,5 0,6 0,5 0,4
15 0,8 0,7 1,0 0,8 0,6
20 1,0 1,0 1,3 1,1 1,0
25 1,3 1,3 1,8 1,4 1,2
30 1,5 1,5 2,3 2,0 1,5
35 2,0 2,5 3,4 2,4 2,0
40 2,5 2,8 3,8 3,0 2,4
45 2,7 3,2 4,2 3,8 3,2
50 2,9 3,6 4,8 4,3 3,7
55 3,0 4,2 5,3 4,6 4,2
60 3,3 4,5 5,5 5,0 4,4
65 3,5 4,8 5,7 5,3 4,7
70 3,7 5,1 5,9 5,5 4,9
75 - 5,5 6,5 5,7 5,3
80 - 5,8 6,7 5,9 5,7
85 - 6,1 7,0 6,0 5,9
90 - 6,2 - - 6,1
95 - 6,5 - - 6,3
100 - 6,8 - - 6,5
105 - 7,1 - - -
(4)
Tabel 7. Karakteristik minyak solar, minyak jelantah sawit, dan biofuel minyak jelantah sawit (Rahmat, 2007).
Parameter Minyak Solar Minyak Jelantah Sawit
Biofuel Minyak Jelantah Sawit
Kerapatan
Sfesifik 60/60 0F 0,820 – 0,870 0,9104
0,8733
Viskositas Kinematis 400C, cst
2,0 – 5,0 39,07 4,553
Titik Tuang, 0F Maksimal 65 50 55,4
Titik Nyala, 0F Minimal 150 478 363,2
Kadar Air, %
Volume Maksimal 0,05 Trace
Trace
Sisa Karbon, % Maksimal 0,1 0,318 0,0087
Nilai Pembakaran
Kotor , BTU/lb 19,031 – 19,220 18,952
19,089
Nilai Pembakaran
Bersih, BTU/lb 17,856 – 17,977 17,832
17,918
(5)
Tabel 8. Perbandingan minyak jelantah, biodiesel minyak jelantah dan minyak diesel (Rahmat, 2007).
Fuel Property Waste vegetable oil
Biodiesel from waste vegetable
oil
Commercial diesel fuel
Kinematic viscosity (mm2/s, at 313 K)
36,4 5,3 1,9 – 4,1
Density (kg/L, at 288 K)
0,924 0,897 0,075 – 0,840
Flash point (K) 485 469 340 – 358
Pour point (K) 284 262 254 – 260
Cetane number 49 54 40 – 46
Ash content (%) 0,006 0,004 0,008 – 0,010
Sulfur content (%) 0,09 0,06 0,35 – 0,55
Carbon residue (%)
0,46 0,33 0,35 – 0,40
Water content (%) 0,42 0,04 0,02 – 0,05
Higer heatine value (MJ/kg)
41,40 42,65 45,62 – 46,48
Free fatty acid (mg KOH/g oil)
1,32 0,10 -
(6)
Tabel 9. Nilai Spesifik Enthalpi Uap Air ( Hydrogen Analysis Resource center, 2010).