BAB III UPAYA INDONESIA MENGATASI ILLEGAL FISHING DI TINGKAT NASIONAL

(1)

BAB III

UPAYA INDONESIA MENGATASI ILLEGAL FISHING DI TINGKAT NASIONAL

Masalah illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia merupakan suatu ancaman yang dapat menganggu stabilitas keamanan negara, khususnya keamanan laut. Mengingat Indonesia sebagai salah satu negara yang mempunyai potensial sumberdaya perikanan yang cukup besar mengakibatkan permasalahan illegal fishing menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji.

Beberapa tahun terakhir ini praktek illegal fishing di perairan Indonesia semakin meningkat, hal ini terlihat dimana semakin maraknya kegiatan illegal fishing yang dilakukan kapal-kapal asing di beberapa wilayah perairan Indonesia yang memiliki sumberdaya perikanan yang cukup potensial. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai masalah illegal fishing, yaitu Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tantang Perikanan. Namun implementasi dari Undang-Undang tersebut belum begitu efektif karena semakin kompleksnya masalah illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia. Tetapi pemerintah Indonesia tidak mau tinggal diam menghadapi masalah ini, guna menekan tingkat kejahatan di perairan Indonesia.

III.1 Vessel Monitoring System (VMS)

Salah satu metode pengawasan terhadap operasional kapal-kapal perikanan adalah melalui VMS. Penerapan VMS telah menjadi kesepakatan internasional (FAO) bagi Negara-negara yang mengelola perikanan laut. VMS mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2003 dan hingga sekarang sistem ini terus dikembangkan guna menekan tingkat kejahatan perikanan.


(2)

VMS adalah salah satu bagian dari sistem pengawasan kapal yang berbasis satelit yang dalam implementasinya terdiri dari beberapa komponen yang merupakan subsystem disamping satelitnya sendiri sebagai wahana transformasi data dari kapal ke pusat pengendali: Bagian-bagian tersebut meliputi:

1. Transmitter yang dipasang di kapal ikan / patroli, dilengkapi dengan keypad sebagai sarana untuk mengirimkan laporan.

2. Sistem pengendali di pusat, Fishing Monitoring System (FMC) yang terdiri dari : komputer dan server yang berfungsi sebagai alat pengumpul, pengolah dan analisa data pelaporan serta penyebaran informasi ke perusahaan (pemilik kapal) sebagai mitra kerja.

3. Sistem pengendali di daerah, Regional Monitoring Centre (RMC) terdiri dari komputer dan server yang berfungsi sebagai alat pengumpul, pengolah dan analisa data untuk suatu wilayah pengamatan tertentu.

4. Jaringan yang berfungsi sebagai perantara tukar informasi maupun manajemen data.

5. SDM sebagai pelaku kegiatan masing-masing komponen agar system dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Melalui VMS ini kapal perikanan dipasangi Transmitter yang kemudian dapat dimonitor pergerakannya diruang kendali. Manfaat VMS dalam Pemantauan kapal perikanan diantaranya: 1. Dapat memonitor gerak kapal yang menyangkut : posisi kapal, kecepatan kapal, jalur lintasan

(tracking) kapal serta waktu terjadinya pelanggaran.

2. Hasil tracking VMS dapat dijadikan bahan analisis untuk mengetahui: penyalahgunaan alat tangkap, pelanggaran wilayah tangkap, praktek-praktek transshipment, ketaatan melapor di pelabuhan pangkapan.

3. Membantu memberikan informasi posisi kapal dalam beberapa kasus kejahatan dilaut (kehilangan kontak, pembajakan, kecelakaan).

4. Dapat dijadikan bahan dalam manajemen sumberdaya ikan: mengetahui hasil usaha penangkapan, mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya, menjadi bahan kebijakan manajemen pengelolaan sumberdaya ikan.


(3)

5. Dapat diintegrasikan dengan sistem radar satelit atau alat deteksi lainnya untuk mengidentifikasi kapal yang tidak memiliki transmitter (indikasi kapal illegal).

Sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan. Bahwa dalam penyelenggaraan VMS mulai tahun 2007 para pemiliki kapal perikanan diatas 100GT (gross tonnage) harus memasang alat tersebut. Bagi kapal berukuran 100GT harus membeli transmitter dan membayar “airtimenya” sendiri. Hingga saat ini kapal-kapal berukuran 100GT yang sudah memasang VMS telah mencapai sekitar 1200 unit yangterpasang pada kapal penangkap ikan. Sedangkan untuk kapal-kapal dibawah ukuran 30 GT telah dikembangkan VMS offline dimana bertujuan untuk mengetahui pola operasi kapal-kapal perikanan skala kecil serta daerah penangkapan yang digunakan. Transmitteruntuk ukuran ini disediakan oleh pemerintah serta tidak membayar “airtimenya”.

Untuk mengimplementasikan VMS telah dibangun Fishing Monitoring Center(FMC) di kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Regional Monitoring Center (RMC) di daerah Ambon dan Batam. Hingga saat ini dari Provinsi Aceh hingga Papua telah memiliki alat komunikasi yang diharapkan dapat mendukung system kerja VMS dalam menangani illegal fishing. Keuntungan yang dapat diperoleh atau dirasakan dengan menggunakan VMS ini antara lain:

1. Bagi Pemerintah adalah :

a. Mengurangi kerugian negara dari illegal fishing dan illegal ekspor.

b. Dapat melakukan pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.

c. Dapat memperoleh data dan informasi mengenai pemanfaatan sumber daya Kelautan dan Perikanan.secara cepat dan akurat.


(4)

2. Bagi Perusahaan Perikanan adalah :

a. Adanya jaminan berusaha (situasi yang kondusif, aman dan kepastian usaha jangka panjang).

b. Akses data dan informasi mengenai potensi dan pasar yang cepat dan akurat.

c. Memudahkan pengawasan operasi armada.

3. Bagi para nelayan tradisional adalah :

a. Adanya jaminan berusaha.

b. Menghilangkan potensi konflik sosial khususnya dengan perusahaan perikanan menengah dan besar.

c. Adanya peningkatan kesejahteraan disebabkan adanya peningkatan efisiensi produksi.

Dalam meningkatkan pengawasan praktek illegal fishing khususnya dalam menerapkan VMS pada semua kapal-kapal perikanan, pemerintah memiliki beberapa kendala dalam pengoperasian VMS ini, diantaranya adalah:

1. Kurangnya pemahaman bagi para nelayan mengenai VMS, sehingga masih banyaknya Transmitter yang telah dimiliki oleh para nelayan namun belum sepenuhnya VMS tersebut terpasang pada kapal-kapal penangkap ikan yang mereka miliki.

2. Kapal-kapal yang izinnya telah dicabut tetapi belum mengembalikan Transmitter yang mereka miliki. Baik yang atas rekomendasi Ditjen P2SDKP maupun yang tanpa rekomendasi Ditjen P2SDKP.

3. Masih adanya keterbatasan dalam penyediaan Transmitter , sehingga transmitter yang tersedia masih sangat kurang bila dibandingkan dengan jumlah izin penangkapan yang telah dikeluarkan.


(5)

Namun pemerintah tidak pesimes dengan adanya kekurangan yang dimiliki, malah sebaliknya pemerintah terus berusaha menekan jumlah praktek illegal fishingdengan berbagai cara agar kekayaan sumberdaya perikanan yang dimiliki dapat terselamatkan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

III.2 Upaya Pengawasan di Perairan Indonesia

Kegiatan illegal fishing telah memberikan banyak kerugian bagi negara, sehingga pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mulai menyusun program pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan. Upaya pengawasan ini juga menjadi prioritas dalam memberantas illegal fishing dan diharapkan dapat meminimalisir jumlah pelanggaran yang terjadi.

Pengawasan perikanan dilaksanakan oleh Pengawas Perikanan yang bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pengawas Perikanan terdiri atas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan dan non PPNS Perikanan. Adapun yang dimaksud dengan non PPNS Perikanan adalah Pegawai Negeri Sipil lainnya di bidang perikanan yang bukan sebagai penyidik, tetapi diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan.

Tersedianya sarana dan prasarana pengawasan di perairan Indonesia dalam memberantas illegal fishing merupakan hal yang sangat penting mengingat sangat luasnya wilayah perairan Indonesia. Untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal-kapal patroli, baik yang dimiliki oleh Departemen Kelautan dan Perikanan maupun bekerjasama dengan TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI Angkatan Udara.


(6)

Hingga tahun 2007 jumlah armada pengawasan mencapai 20 unit kapal pengawas dan 18 Speed Boat pengawas. Dari 4 (empat) unit kapal pengawas tersebut bernama Hiu Macan, Bernama Hiu dengan jumlah 10 (sepuluh). Nama kapal pengawasan lainnya bernama Barracuda dengan jumlah 2 (dua) buah, kapal bernama Todak berjumlah 2 (dua), sedangkan sisanya dua kapal Lanilla adalah Takalamungan dan Padaido masing-masing berjumlah 1 (satu) unit.Selain jumlah kapal pengawas perikanan yang mengalami perkembangan penambahan, jumlah anak buah kapalnya pun dari tahun ketahun terus meningkat. Hingga saat ini jumlah anak buah kapal telah mencapai angka 215 awak kapal.

Kapal-kapal armada pengawas perikanan nasional telah dimodernisasi, hal ini bertujuan agar pengawasan yang dilakukan dapat berjalan dengan optimal dan mengingat luasnya wilayah perairan territorial Indonesia maka diperlukan teknologi yang seimbang juga.Departemen Kelautan dan Perikanan dalam melakukan pengawasan tidak hanya bekerja secara sendirian, melainkan pengawasan tersebut juga dilakukan secara bersama-sama dengan instansi-instansi terkait seperti, TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI Angkatan Udara. Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dengan berbagai instansi terkait lainnya berguna untuk menggalang kemantapan dalam pengawasan jasa kelautan. Hal ini penting dilakukan agar terdapat kesamaan pemahaman serta meningkatkan sinergi antara instansi-instansi terkait. Ada beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam kerjasama ini diantaranya: Pertama, mengurangi tingkat pelanggaran yang terjadi di lapangan yang terkait dengan hal pemanfaatan dan pengelolaan jasa kelautan. Kedua, terciptanya mekanisme pengawasan yang menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan pengawasan jasa kelautan di lapangan. Ketiga, terciptanya koordinasi yang kuat dalam kegiatan pengawasan jasa kelautan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dan instansi terkait.

TNI AU memiliki peran penting dalam kegiatan pemberantas illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia, kegiatan yang dilakukan oleh TNI AU adalah dengan melakukan pengawasan dari udara menggunakan pesawat milik dari TNI AU, hal ini bertujuan agar dapat melihat secara


(7)

dekat kondisi aktivitas kapal penangkap ikan serta dilakukan pengambilan gambar yang dilakukan oleh kapal pengawas guna dijadikan bahan untuk melakukan operasi di laut. Pesawat yang digunakan dalam melakukan patroli adalah jenis pesawat Boeing 737 seri 200, pesawat ini dilengkapi dengan radar dan kamera FLIR sehingga cocok untuk operasi pengawasan surveillance.

Salah satu tugas TNI AL dalam memberantas praktek illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia adalah melakukan gelar operasi yang rutin dilakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang dimana TNI mempunyai fungsi untuk menegakkan dan menjaga keamanan laut sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut TNI AL melakukan gelar operasi yang rutin dilaksanakan setiap saat. Gelar operasi ini terbagi menjadi 2 yaitu:

pertama , pola operasi yang bersifat preventif , diarahkan kepada upaya pencegahan terhadap niat pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai pelanggaran di laut, dalam hal ini TNI AL meningkatkan patroli laut dan meningkatkan armada kapal yang dimiliki oleh TNI AL. kedua, pola represif, TNI AL memindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran di laut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Penanganan illegal fishing dalam rangka penegakan hukum diimplementasikan TNI AL dalam bentuk gelar operasi, dengan konsep konsentrasi dan dispresi menurut pembagian wilayah operasi yang telah ditetapkan dan bekerja secara terus menerus secara berkesinambungan. Tugas tersebut dilakukan secara sinergis dengan memanfaatkan unsur-unsur TNI AL demi melakukan pengawasan dan pengamanan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.

Selain itu Polisi Air juga memiliki tugas penting demi terjaganya kemanan wilayah perairan Indonesia dari praktek illegal fishing. Dalam melakukan pengawasan guna memberantas


(8)

illegal fishing Polisi Air melakukan patroli rutin dengan menggunakan kapal patroli polisi perairan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Polisi air juga dilakukan setiap waktu dan secara berkesinambungan demi terjaganyawilayah perairan Indonesia khususnya dari praktek illegal fishing yang telah memberikan dampak cukup besar bagi pemerintah Indonesia. Kerjasama dari semua pihak dalam memberantas illegal fishing mencapai hasil yang optimal hal ini bisa terlihat dari banyaknya kapal-kapal penangkap ikan yang melakukan pelanggaran dapat diketahui dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Adanya kewajiban dari semua pihak untuk dapat melindungi dan menjaga wilayah territorial perairan Indonesia dari segala tindakan illegal fishing, maka semua instansi pemerintah baik Departeman Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Polisi Air, dan TNI AU memiliki kesamaan tugas untuk menindak tegas para pelaku illegal fishing.

Selain para aparat pemerintah yang berperan dalam penanganan masalah illegal fishing yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, peran serta masyarakat dalam mendukung pengawasan praktek illegal fishing sangat besar manfaatnya, karena dalam hal ini masyarakat terutama kelompok-kelompok nelayan yang berhadapan langsung dengan kapal-kapal yang terindikasi melakukan illegal fishing , khususnya bagi kapal-kapal asing. Menurut Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, strategi yang melibatkan peran masyarakat akan menjadi prioritas juga, karena dengan peranserta secara langsung masyarakat diharapkan dapat memiliki rasa tanggung jawab juga terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan yang terdapat di seluruh perairan Indonesia.

Dirjen P2SDKP telah mengembangkan Sstem Pengawasan Berbasis Masyarakat (Siswasmas) melalui pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) yang hingga saat ini telah


(9)

tersebar keseluruh Indonesia. Sebelumnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan telah dilakukan sejak lama, namun untuk lebih mengoptimalkan peranserta masyarakat maka Departemen Kelautan dan Perikanan menata kelembagaannya sehingga menjadi Pokmaswas. Hingga saat ini jumlah anggota Pokmaswas yang tersebar diseluruh Indonesia mencapai 900 kelompok pengawas.

Pokmaswas ini merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan-nelayan ikan, serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya. Kinerja Pokmaswas hanya sekedar melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia. Bila diduga terjadi pelanggaran maka Pokmaswas wajib melaporkan kepada aparat pengawas terdekat.

Peningkatan upaya pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan Indonesia telah memberikan dampak positif pada produktivitas usaha perikanan, salah satunya adalah peningkatan produktivitas kapal pukat udang di perairan laut Arafura yang meningkat 31% dalam kurun waktu 4 tahun terakhir dan juga peningkatan produktivitas kapal nelayan di perairan laut Natuna.

III.3 Upaya Penegakan Hukum

Dalam penanganan illegal fishing diperlukan peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam menindak para pelaku illegal fishing. Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum laut 1982 (United nation Convention on tne Law of the sea 1982) pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-Undang no.17 tahun 1985, kemudian pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang-undang no.31 tahun 2004 tentang perikanan hal ini bertujuan agar para pelaku illegal fishing dapat ditindak sesuai dengan aturan. Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang no.31 tahun 2004 tentang perikanan sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional dalam bidang perikanan dan mengakomidisir masalah illegal fishing serta


(10)

mengimbangi perkembangan kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Dalam pelaksanaan penegakan hukum di laut Undang-Undang ini sangat penting dan strategis karena menyangkut kepastian hukum dalam sektor perikanan. Upaya penegakan hukum tidak bisa lepas dari 4 (empat) hal, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum. 2. Sarana dan prasarana yang menjadi alat untuk menegakan hukum. 3. Sumberdaya manusia yang menjadi pelaku untuk penegakan hukum. 4. Budaya hukum yang berkembang di masyarakat.

Keempat pilar penegak hukum tersebut harus dapat menopang secara keseluruhan sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan penegakan hukum dan dapat berjalan secara benar dan optimal.

Berlakunya Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang perikanan maka berbagai ketentuan hukum mengenai pengawasan cukup komplit terutama dalam hal pemberian kewenangan pengawasan yang semakin tegas dan besar perannya, seperti menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menahan. Selain itu penanganan pelanggaran atau tindak pidana juga jelas diatur hukum acaranya. Beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam Undang-Undang perikanan yang baru ini memberikan angin segar bagi mereka yang membutuhkan perlindungan hukum di sektor perikanan.Dalam melakukan penyidikan terhadap para pelaku illegal fishing maka pemerintah memberikan hak tersebut kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak sebandingnya luas wilayah laut yang harus diamankan dengan jumlah personil dan armada pengawasan untuk melakukan penegakan hukum jika hanya dilakukan oleh satu instansi saja yakni penyidik Perwira TNI AL atau penyidik Polri tanpa


(11)

didukung oleh instansi lainnya yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut dalam hal ini adalah PPNS Perikanan dengan harapan penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal.

TNI AL sebagai komponen utama pertahanan di laut, mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan kedaulatan negara di laut dan melindungi kepentingan nasional di laut bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan nasional lainnya. Untuk itu dibutuhkan kekuatan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya sehingga mampu mengamankan potensi laut untuk kepentingan bangsa serta mencegah pemanfaatan potensi laut oleh bangsa lain yang merugikan kepentingan bangsa Indonesia.


(12)

Bidang keamanan laut bukan hanya penegakkan hukum di laut, karena keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pemanfaatan laut, yaitu:

Pertama, laut bebas dari ancaman pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal loging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara keamanan di laut TNI AL selalu beriringan dan bekerjasama serta berkoordinasi dengan institusi dan lembaga baik internasional maupun nasional yang terkait. Sebagai salah satu penyelenggara keamanan di laut TNI AL berhak menyidik tindak pidanaillegal fishing yang terjadi di laut, hal ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku.Upaya-upaya TNI dalam melaksanakan penyelenggaraan keamanan di laut melalui rangkaian kegiatan patroli, penyidikan dan penindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan Hukum Laut Internasional terhadap segala bentuk pelanggaran hukum di laut serta melaksanakan pengamanan obyek vital nasional di laut. Selain itu kapal-kapal pengawas perikanan juga mempunyai kewenangan untukmelakukan tindakan penyelidikan, pengejaran, penghentian, pemeriksaan, pengawalan ke pelabuhan terdekat dan penyerahan (Berita Acara Pemeriksaan, kapal, tersangka dan barang bukti lainnya).

Semakin pesatnya kemajuan teknologi di bidang penangkapan ikan dan semakin kompleksnya perkara-perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi, maka dibutuhkan suatu lembaga pengadilan yang lebih profesional dengan didukung oleh sumberdaya manusia


(13)

(Hakim) yang benar-benar menguasai persoalan hukum di bidang perikanan. Pengadilan Perikanan tersebut bukan merupakan pengadilan yang mandiri berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu pengadilan khusus yang keberadaannya di bawah Peradilan Umum.

Kerjasama TNI AL, Polisi Air dan TNI AU dalam melakukan penegakan hukum secara garis besar juga akan melakukan hal yang sama dengan PPNS bila menemukan tindak kejahatan di laut. TNI AL dengan menggunakan armada kapalnya mereka akan melakukan operasi pengawasan dan bila terbukti adanya tindak pidana di laut maka akan melakukan penghentian dan pemeriksaan dan kemudian akan membawa kapal-kapal tersebut ke pelabuhan guna proses yang lebih lanjut yaitu pemberkasan perkara dan kemudian diserahkan kepada penuntut umum guna proses pengadilan.

Jumlah Kapal Perikanan yang Diperiksa dan Di Pengadilan dari Hasil Operasi yang dilaksanakan Tahun 2005-2007


(14)

Sumber: Baracuda, “Ditjen P2SDKP Gencar Melakukan Penanggulangan IUU Fishing”, Volume IV- no.3, Desember 2007

Dari hasil operasi yang dilakukan terlihat bahwa makin banyaknya praktek illegal fishing yang dilakukan di perairan Indonesia. Pemerintah akan memberikan sanksi kepada para pelaku illegal fishing yang telah merugikan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang perikanan dan kapal-kapal perikanan tersebut akan dihukum sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan demi tercapainya penegakan hukum dalam memberantas illegal fishing. Banyaknya kapal-kapal yang terbukti melakukan pelanggaran maka negara dapat menekan jumlah kerugian negara. Pada tahun 2005 kerugian yang bisa diselamatkan mencapai 267,545 juta rupiah, tahun 2006 mencapai 305,766 juta rupiah, sedangkan pada tahun 2007 kerugian yang bisa terselamatkan mencapai 1,271,208 milyar.

Dengan adanya peraturan tentang perikanan dan pengadilan khusus mengenai perikanan maka hal ini akan menunjang penegakan kedaulatan Republik Indonesia di laut dan ini akan mendorong pihak asing untuk dapat menghormati kedaulatan laut sebagai bagian dari kesatuan Republik Indonesia.


(1)

tersebar keseluruh Indonesia. Sebelumnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan telah dilakukan sejak lama, namun untuk lebih mengoptimalkan peranserta masyarakat maka Departemen Kelautan dan Perikanan menata kelembagaannya sehingga menjadi Pokmaswas. Hingga saat ini jumlah anggota Pokmaswas yang tersebar diseluruh Indonesia mencapai 900 kelompok pengawas.

Pokmaswas ini merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan-nelayan ikan, serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya. Kinerja Pokmaswas hanya sekedar melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia. Bila diduga terjadi pelanggaran maka Pokmaswas wajib melaporkan kepada aparat pengawas terdekat.

Peningkatan upaya pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan Indonesia telah memberikan dampak positif pada produktivitas usaha perikanan, salah satunya adalah peningkatan produktivitas kapal pukat udang di perairan laut Arafura yang meningkat 31% dalam kurun waktu 4 tahun terakhir dan juga peningkatan produktivitas kapal nelayan di perairan laut Natuna.

III.3 Upaya Penegakan Hukum

Dalam penanganan illegal fishing diperlukan peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam menindak para pelaku illegal fishing. Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum laut 1982 (United nation Convention on tne Law of the sea 1982) pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan Undang-Undang no.17 tahun 1985, kemudian pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang-undang no.31 tahun 2004 tentang perikanan hal ini bertujuan agar para pelaku illegal fishing dapat ditindak sesuai dengan aturan. Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang no.31 tahun 2004 tentang perikanan sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional dalam bidang perikanan dan mengakomidisir masalah illegal fishing serta


(2)

mengimbangi perkembangan kemajuan teknologi yang berkembang saat ini. Dalam pelaksanaan penegakan hukum di laut Undang-Undang ini sangat penting dan strategis karena menyangkut kepastian hukum dalam sektor perikanan. Upaya penegakan hukum tidak bisa lepas dari 4 (empat) hal, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum. 2. Sarana dan prasarana yang menjadi alat untuk menegakan hukum. 3. Sumberdaya manusia yang menjadi pelaku untuk penegakan hukum. 4. Budaya hukum yang berkembang di masyarakat.

Keempat pilar penegak hukum tersebut harus dapat menopang secara keseluruhan sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan penegakan hukum dan dapat berjalan secara benar dan optimal.

Berlakunya Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang perikanan maka berbagai ketentuan hukum mengenai pengawasan cukup komplit terutama dalam hal pemberian kewenangan pengawasan yang semakin tegas dan besar perannya, seperti menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menahan. Selain itu penanganan pelanggaran atau tindak pidana juga jelas diatur hukum acaranya. Beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam Undang-Undang perikanan yang baru ini memberikan angin segar bagi mereka yang membutuhkan perlindungan hukum di sektor perikanan.Dalam melakukan penyidikan terhadap para pelaku illegal fishing maka pemerintah memberikan hak tersebut kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak sebandingnya luas wilayah laut yang harus diamankan dengan jumlah personil dan armada pengawasan untuk melakukan penegakan hukum jika hanya dilakukan oleh satu instansi saja yakni penyidik Perwira TNI AL atau penyidik Polri tanpa


(3)

didukung oleh instansi lainnya yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut dalam hal ini adalah PPNS Perikanan dengan harapan penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal.

TNI AL sebagai komponen utama pertahanan di laut, mengemban tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan kedaulatan negara di laut dan melindungi kepentingan nasional di laut bersama-sama dengan komponen kekuatan pertahanan nasional lainnya. Untuk itu dibutuhkan kekuatan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya sehingga mampu mengamankan potensi laut untuk kepentingan bangsa serta mencegah pemanfaatan potensi laut oleh bangsa lain yang merugikan kepentingan bangsa Indonesia.


(4)

Bidang keamanan laut bukan hanya penegakkan hukum di laut, karena keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas pemanfaatan laut, yaitu:

Pertama, laut bebas dari ancaman pembajakan perompakan, sabotase maupun aksi teror bersenjata. Kedua, laut bebas dari ancaman navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran. Ketiga, laut bebas dari ancaman terhadap sumber daya laut berupa pencemaran dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi dan eksplorasi yang berlebihan. Keempat, laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun internasional seperti illegal fishing, illegal loging, illegal migrant, penyelundupan dan lain-lain.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara keamanan di laut TNI AL selalu beriringan dan bekerjasama serta berkoordinasi dengan institusi dan lembaga baik internasional maupun nasional yang terkait. Sebagai salah satu penyelenggara keamanan di laut TNI AL berhak menyidik tindak pidanaillegal fishing yang terjadi di laut, hal ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku.Upaya-upaya TNI dalam melaksanakan penyelenggaraan keamanan di laut melalui rangkaian kegiatan patroli, penyidikan dan penindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan Hukum Laut Internasional terhadap segala bentuk pelanggaran hukum di laut serta melaksanakan pengamanan obyek vital nasional di laut. Selain itu kapal-kapal pengawas perikanan juga mempunyai kewenangan untukmelakukan tindakan penyelidikan, pengejaran, penghentian, pemeriksaan, pengawalan ke pelabuhan terdekat dan penyerahan (Berita Acara Pemeriksaan, kapal, tersangka dan barang bukti lainnya).

Semakin pesatnya kemajuan teknologi di bidang penangkapan ikan dan semakin kompleksnya perkara-perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi, maka dibutuhkan suatu lembaga pengadilan yang lebih profesional dengan didukung oleh sumberdaya manusia


(5)

(Hakim) yang benar-benar menguasai persoalan hukum di bidang perikanan. Pengadilan Perikanan tersebut bukan merupakan pengadilan yang mandiri berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu pengadilan khusus yang keberadaannya di bawah Peradilan Umum.

Kerjasama TNI AL, Polisi Air dan TNI AU dalam melakukan penegakan hukum secara garis besar juga akan melakukan hal yang sama dengan PPNS bila menemukan tindak kejahatan di laut. TNI AL dengan menggunakan armada kapalnya mereka akan melakukan operasi pengawasan dan bila terbukti adanya tindak pidana di laut maka akan melakukan penghentian dan pemeriksaan dan kemudian akan membawa kapal-kapal tersebut ke pelabuhan guna proses yang lebih lanjut yaitu pemberkasan perkara dan kemudian diserahkan kepada penuntut umum guna proses pengadilan.

Jumlah Kapal Perikanan yang Diperiksa dan Di Pengadilan dari Hasil Operasi yang dilaksanakan Tahun 2005-2007


(6)

Sumber: Baracuda, “Ditjen P2SDKP Gencar Melakukan Penanggulangan IUU Fishing”, Volume IV- no.3, Desember 2007

Dari hasil operasi yang dilakukan terlihat bahwa makin banyaknya praktek illegal fishing yang dilakukan di perairan Indonesia. Pemerintah akan memberikan sanksi kepada para pelaku illegal fishing yang telah merugikan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang perikanan dan kapal-kapal perikanan tersebut akan dihukum sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan demi tercapainya penegakan hukum dalam memberantas illegal fishing. Banyaknya kapal-kapal yang terbukti melakukan pelanggaran maka negara dapat menekan jumlah kerugian negara. Pada tahun 2005 kerugian yang bisa diselamatkan mencapai 267,545 juta rupiah, tahun 2006 mencapai 305,766 juta rupiah, sedangkan pada tahun 2007 kerugian yang bisa terselamatkan mencapai 1,271,208 milyar.

Dengan adanya peraturan tentang perikanan dan pengadilan khusus mengenai perikanan maka hal ini akan menunjang penegakan kedaulatan Republik Indonesia di laut dan ini akan mendorong pihak asing untuk dapat menghormati kedaulatan laut sebagai bagian dari kesatuan Republik Indonesia.