CORPORATE CRIMINAL LIABILITY OF ILLEGAL FISHING IN INDONESIA
CORPORATE CRIMINAL LIABILITY OF ILLEGAL FISHING IN INDONESIA
An Analysis of Court Decision Number 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB
Oksimana Darmawan
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM Jl. H.R. Rasuan Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta 12940
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 28 November 2017; revisi: 21 Agustus 2018; disetujui 21 Agustus 2018
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.292
ABSTRAK
jawab. Hal ini tampak tidak sebanding dengan efek Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dari kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu diadakan revisi terhadap undang-undang tersebut,
bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional. Mengingat kerugian sehingga korporasi sebagai pelaku kejahatan yang
sesungguhnya dapat dimintai pertanggungjawaban dan yang ditimbulkannya sangat besar dan sebagian besar
dijatuhi sanksi pidana.
pelakunya adalah korporasi, maka perlu dikaji bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak Kata kunci: hukum laut dan perikanan, pidana ini. Tulisan ini mengkaji bagaimana Putusan pertanggungjawaban pidana korporasi, illegal fishing. Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB terhadap kapal asing yang melakukan praktik illegal fishing di perairan
Indonesia. Metode analisis yang diterapkan untuk ABSTRACT
menjawab permasalahan adalah dengan menggunakan Illegal fishing refers to activities which contravene a metode yuridis kualitatif. Pelaku tindak pidana illegal state’s fisheries law and regulations, or international fishing di wilayah perairan Indonesia secara umum conventions. Considering that the losses incurred are so adalah setiap orang yang diartikan perseorangan atau massive and most of the perpetrators are corporations, korporasi. Dalam hal pertanggunggjawaban pidana the corporate criminal liability for this crime should be korporasi disebutkan dalam Pasal 101 Undang-Undang appraised. This paper examines how the Ambon District Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Undang- Court Decision Number 01/PID.SUS/PRK/2015/ Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan PN.AMB responds to foreign vessels conducting illegal Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang fishing in Indonesian waters. The problem was analyzed Perikanan, diketahui bahwa Indonesia masih menganut using qualitative juridical methods. The perpetrators sistem pertanggungjawaban yang kedua, yaitu korporasi of illegal fishing in Indonesian territorial waters in sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung general are anyone as an individual or corporation.
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
In corporate criminal liability, as stated in Article 101 of the crimes committed. Therefore, it is necessary to of Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Law revise the law, so that corporation as the perpetrator Number 45 of 2009 concerning Amendments to Law can actually be held accountable and become a legal Number 31 of 2004 concerning Fisheries, Indonesia subject to criminal sanctions. still adheres to the second system of liability, in which Keywords: marine and fisheries law, corporate criminal the corporation as the responsible decision maker and
liability, illegal fishing.
board. This seems to be out of proportion to the effects
I. PENDAHULUAN
turut sebagai ruang penghidupan rakyat Indonesia,
A. Latar Belakang
namun, tidak memberikan sesuatu yang cukup berarti bagi mereka yang menggantungkan
Indonesia sering disebut negara bahari hidupnya pada pengelolaan sumber daya pesisir
dikarenakan sebagian besar wilayahnya terdiri dan laut Indonesia, seperti nelayan dan petambak
dari laut. Menurut catatan WALHI, Indonesia tradisional, menjadi komunitas masyarakat yang
adalah negara kepulauan terbesar di dunia, rapuh secara ekonomis, pendidikan, kesehatan,
yang memiliki 18.110 pulau dengan garis pantai dan hal-hal mendasar lainnya (Hans, 2009).
sepanjang 108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia
Secara ekonomi, hasil sumber daya memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas pesisir telah memberikan kontribusi terhadap 3,2 juta km 2 yang terdiri dari perairan kepulauan pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada seluas 2,9 juta km 2 dan laut teritorial seluas 0,3 tahun 1989. Potensi perikanan yang saat ini juta km 2 .
baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Secara biofisik, wilayah pesisir
Indonesia juga mempunyai hak eksklusif di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
untuk memanfaatkan sumber daya kelautan seluas
tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau 2,7 km pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif
dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. (ZEE). Wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari
Namun, kekayaan pesisir dan kelautan yang kita 140 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia
miliki, terdapat lebih dari 5.254.400 orang di yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari
wilayah pesisir hidup dalam kondisi yang sangat garis pantai. Secara administratif kurang lebih 42
miskin (WALHI, 2009).
kota dan 181 kabupaten berada di pesisir, serta terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga
Hal ini menunjukkan kurang maksimalnya Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial pemanfaatan sumber daya laut yang diperparah ekonomi (WALHI, 2009).
dengan lemahnya sistem keamanan laut. Maraknya kasus pencurian ikan oleh kapal-
Sejak awal dikumandangkan Deklarasi kapal besar dengan peralatan yang lebih
Djoeanda tahun 1957 telah memberikan keteguhan canggih menunjukkan bahwa pengawasan
atas konsepsi Indonesia sebagai negara kelautan dan perlindungan terhadap wilayah perairan
yang besar, berdaulat, dan sejahtera. Laut tidak Indonesia kurang diperhatikan. Kasus-kasus ini
hanya dilihat sebagai media juang negara, tetapi sering terjadi tanpa adanya upaya yang serius dari
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
Sudah banyak produk perundang-undangan pelaku yang sesungguhnya yaitu corporate yang
yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk ‘membackingi’ kegiatan tersebut. Hal ini yang
mengatur masalah perikanan, mulai dari undang- menyebabkan kerugian besar terhadap negara,
undang sampai dengan instruksi menteri. Dengan kalangan nelayan tradisonal, dan masyarakat
ini diharapkan dapat meminimalkan kejahatan di pesisir.
bidang perikanan serta dapat memaksimalkan
Kerugian negara akibat penangkapan ikan pemanfaatan dan perlindungan sumber daya secara liar ( illegal fishing) oleh kapal-kapal laut. Namun, produk perundang-undangan yang penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan dihasilkan belum dapat meminimalkan illegal kian meningkat sejalan dengan semakin fishing, karena belum menyentuh korporasi banyaknya jumlah kasus-kasus pelanggaran sebagai pelaku yang sesungguhnya. Bahkan, bidang perikanan. Menurut data Pengawasan pemerintahan Joko Widodo membuat kebijakan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan menenggelamkan kapal pelaku illegal fishing, Perikanan pada tahun 2005 jumlah pelanggaran hal ini masih menimbulkan ‘kontroversi’, apakah yang ditangani DKP 174 kasus, tahun 2006 naik kebijakan ini akan efektif memberantas illegal menjadi 216 kasus, hingga September 2007 fishing di Indonesia. Hal yang perlu dicatat, sudah ada 160 kapal ikan liar yang diproses apakah kebijakan ini sudah menyentuh korporasi secara hukum (www.merdeka.com).
sebagai pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Selama tahun 2010-2014, kapal pengawas
Majelis hakim dalam Putusan Nomor 01/ perikanan telah berhasil memeriksa 14.951 kapal PID.SUS/PRK/2015/PN.AMB memberikan perikanan, dan menangkap 492 kapal perikanan putusan pada pelaku illegal fishing yang yang diduga pelaku illegal fishing (DJPSDKP, dilakukan oleh kapal asing di Wanam yang 2015). Kasus tersebut terus meningkat dari tahun merupakan wilayah yuridiksi Indonesia. Dalam ke tahun karena penanganan belum menyentuh amar putusannya disebutkan, sebagai berikut: pada akar masalahnya.
1. Menyatakan terdakwa ZNL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
Barang bukti kasus-kasus illegal fishing tindak pidana melanggar “membawa keluar
yang didapat jajaran DKP, rata-rata potensi wilayah Republik Indonesia jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan”;
kerugian negara mencapai antara 1-4 miliar rupiah per kapal. Jika sampai September 2007 ada 160
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kapal yang ditangkap, berarti minimal kerugian
terhadap terdakwa ZNL dengan pidana denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan
negara akibat penangkapan ikan liar tahun ketentuan apabila denda tidak dibayar 2007 saja berkisar antara Rp.160 miliar sampai
maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan;
Rp.640 miliar. Dari riset DKP pada (DJPSDKP,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
3. Menetapkan barang bukti berupa: Kapal D. Tinjauan Pustaka
M.V. Hai Fa, 3,830 GT berbendera Panama,
1. Sejarah Perkembangan Peraturan
ikan campuran ±800.658 kg (selain ikan hiu martil 15 ton), udang 100.044 kg; dokumen
tentang Kelautan dan Perikanan
kapal M.V. Hai Fa, dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu HY melalui
Departemen Kelautan dan Perikanan resmi terdakwa; sedangkan 15 ton ikan hiu martil berdiri sendiri pada masa pemerintahan Presiden
dirampas untuk negara; Abdurrahman Wahid, sebelumnya masalah
4. Membebankan kepada terdakwa biaya perikanan berada di bawah Departemen Pertanian
perkara sebesar Rp.5.000,- dan Peternakan. Dengan pemisahan ini sektor
Keputusan ini sempat menimbulkan kelautan diharapkan dapat menjadi penggerak polemik karena dianggap sangat tidak sebanding di bidang ekonomi, sekaligus bukti perhatian dengan kejahatan yang dilakukan serta kerugian pemerintah terhadap sektor kelautan. yang ditanggung oleh negara, oleh karena itu
Lembaga baru yang khusus mengurusi permasalahan ini sangat menarik untuk dikaji.
sektor kelautan dan perikanan ini dipimpin oleh seorang menteri yang secara langsung
B. Rumusan Masalah
bertanggung jawab kepada presiden. Sejak berdiri hingga sekarang banyak sekali produk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat regulasi yang telah dikeluarkan untuk mengatur
dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana hal- hal yang terkait dengan bidang tersebut, hal
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/ ini untuk menyempurnakan peraturan- peraturan
PN.AMB berdampak terhadap kapal asing yang lama yang sudah ada. Berikut perkembangan
melakukan praktik illegal fishing di perairan peraturan-peraturan yang mengatur tentang
Indonesia?
kelautan dan perikanan.
C. Tujuan dan Kegunaan
Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusive (ZEE),
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk yang mengatur tentang kedaulatan wilayah
menganalisis putusan pengadilan terhadap pelaku perairan Republik Indonesia. Dalam Konvensi illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing di Hukum Laut ketiga 1982 (UNCLOS) membagi
wilayah perairan Indonesia. pengelolaan perikanan pada ZEE dan laut
Terkait kegunaan penelitian ini bersifat lepas. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa teoritis dan praktis (terapan). Bersifat teoritis, yaitu tentang Hukum Laut Ketiga menunjukkan telah penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam diakuinya rezim zona ekonomi eksklusif selebar rangka pengembangan ilmu hukum khususnya 200 mil sebagai bagian dari wilayah Republik mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi Indonesia (Solihin, 2006). dalam hukum perikanan; sedangkan kegunaan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun praktis, yaitu penelitian ini dapat dipakai sebagai
1983 menyebutkan bahwa: “Zona Ekonomi masukan dalam pemberantasan kejahatan illegal
Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan fishing serta revisi Undang-Undang Perikanan. berbatasan dengan laut wilayah Indonesia
sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
ikan dan lingkungannya.
dan air di atasnya dengan batas terluar 200
2. Setiap orang atau badan hukum dilarang mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah melakukan perbuatan yang mengakibatkan Indonesia.” pencemaran dan kerusakan sumber daya
Terkait pengenaan pidana, apabila ikan dan atau lingkungannya. bertentangan dengan ketentuan kegiatan-kegiatan
3. Barangsiapa melakukan di dalam wilayah yang diperbolehkan di ZEE, antara lain (Pasal 5):
perikanan Republik Indonesia melakukan
1. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber usaha perikanan di bidang penangkapan daya alam hayati harus mentaati ketentuan
ikan tanpa izin.
tentang pengelolaan dan konservasi yang Sementara itu yang termasuk dalam
ditetapkan oleh Pemerintah Republik pelanggaran adalah (Pasal 26 dan Pasal 27):
Indonesia.
1. Barangsiapa melakukan di dalam wilayah
2. Eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber perikanan Republik Indonesia melakukan
daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE usaha perikanan di bidang pembudidayaan
Indonesia oleh orang atau badan hukum atau
ikan tanpa izin.
pemerintah negara asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan
2. Barangsiapa melanggar ketentuan yang oleh Pemerintah Republik Indonesia
ditetapkan dalam Pasal 4, yaitu tentang: untuk jenis tersebut melebihi kemampuan
a. alat-alat penangkapan ikan; Indonesia untuk memanfaatkannya.
b. syarat-syarat teknis perikanan yang
3. Melakukan kegiatan penelitian ilmiah harus dipenuhi oleh kapal perikanan;
di ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan
c. ketentuan peraturan perundang- dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat
undangan yang berlaku mengenai yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik
keselamatan pelayaran; Indonesia.
d. jumlah yang boleh ditangkap dan Kedua, Undang-Undang Nomor 9 Tahun
jenis serta ukuran ikan yang tidak 1985 tentang Perikanan. Ketentuan pidana dalam
boleh ditangkap;
undang-undang ini dibedakan menjadi dua, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pengertian kejahatan
e. daerah, jalur, dan waktu atau musim adalah:
penangkapan;
1. Setiap orang atau badan hukum dilarang
f. pencegahan pencemaran dan melakukan kegiatan penangkapan dan
kerusakan, rehabilitasi dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan
peningkatan sumber daya ikan; serta bahan dan/atau alat yang dapat
g. lingkungannya;
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
i. pembudidayaan ikan dan kapal asing yang meliputi hak lintas damai, hak
perlindungannya; lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, dan
j. pencegahan dan pemberantasan hama hak akses dan komunikasi. Penegakan kedaulatan serta penyakit ikan;
dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan
k. hal-hal lain yang dipandang perlu Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
untuk mencapai tujuan pengelolaan konvensi hukum internasional (Pasal 11- 24).
sumber daya ikan. Kelima, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
Dari ketentuan ini, diketahui bahwa subjek 2004 tentang Perikanan, yang dibentuk sebagai
tindak pidana dalam undang-undang ini terdiri respon atas perkembangan teknologi yang mana
dari dua kategori, yaitu orang dan badan hukum. belum tertampung dalam Undang- Undang
Ketiga, Undang-Undang Nomor 17 Nomor 9 Tahun 1985. Dalam undang-undang ini Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations konsep tentang “perikanan” memiliki arti yang Convention (UNCLOS). Konvensi Perserikatan lebih luas daripada undang-undang terdahulu. Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Selain itu, ada hal baru terkait konsep korporasi ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations sebagai subjek hukum. Korporasi diartikan Convention on the Law of the Sea (konvensi PBB sebagai “kumpulan orang dan/atau kekayaan tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani yang terorganisasi baik merupakan badan hukum oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia maupun bukan badan hukum.” Konsep ini sama dan dua satuan bukan negara di Montego Bay, dengan konsep korporasi yang terdapat dalam Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. semua undang-undang tentang tindak pidana Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958 khusus yang mencantumkan korporasi sebagai tentang Hukum Laut, Konvensi PBB tentang pelaku tindak pidana. Hukum Laut tersebut mengatur rezim hukum laut
Terkait tindak pidana dalam undang- secara lengkap dan menyeluruh, yang rezim satu
undang ini juga terdiri dari dua, yaitu kejahatan sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
dan pelanggaran. Perumusan tentang kejahatan Keempat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun maupun pelanggaran juga semakin kompleks dan
1996 tentang Perairan Indonesia, yang mengatur bervariasi dibandingkan dengan undang-undang tentang Kedaulatan Negara Republik Indonesia di yang lama. Hal ini dikarenakan modus tentang perairan Indonesia. Pasal 3 menyebutkan wilayah kejahatan maupun pelanggaran juga telah banyak perairan Indonesia yaitu: (1) Wilayah Perairan berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, teknologi. perairan kepulauan, dan perairan pedalaman; (2)
Keenam, Undang-Undang Nomor 21 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar
Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan
12 mil laut yang dikukur dari garis pangkal Ketentuan-Ketentuan Konvensi PBB tentang
kepulauan Indonesia. Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
birokrasi, maupun aspek hukum. Konvensi PBB tentang hukum laut
Kelemahan pada aspek manajemen (UNCLOS) tahun 1982 mengatur secara garis pengelolaan perikanan antara lain belum besar mengenai beberapa spesies ikan yang terdapatnya mekanisme koordinasi antar instansi mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang terkait dengan pengelolaan perikanan. yang beruaya terbatas ( straddling fish), serta Sedangkan pada aspek birokrasi, antara jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory lain terjadinya benturan kepentingan dalam
fish). Pada tahun 1995 PBB telah menyusun suatu pengelolaan perikanan. Kelemahan pada aspek persetujuan baru untuk mengimplementasikan hukum antara lain masalah penegakan hukum,
ketentuan tersebut yaitu United Nation rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi Implementing Agreement (UNIA 1995).
relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar
UNIA 1995 merupakan persetujuan kewenangan pengadilan negeri tersebut.
multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis
ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang 2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Illegal
beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63
Fishing di Wilayah Perairan Republik
dan Pasal 64 UNCLOS 1982 (Undang-Undang
Indonesia
Nomor 17 Tahun 1985). Mengingat UNIA Sesuai Pasal 103 Undang-Undang Nomor 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001
31 Tahun 2004, tindak pidana yang dikategorikan dan tujuan pembentukan persetujuan ini untuk sebagai “kejahatan” adalah sebagai berikut:
menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun,
a. Pemilik kapal perikanan, pemilik maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal
perusahaan perikanan, penanggung jawab yang mendesak bagi Indonesia. Pasal 3 ayat (1)
perusahaan perikanan, dan/atau operator menegaskan konservasi dan pengelolaan untuk
kapal perikanan yang dengan sengaja di sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan
wilayah pengelolaan perikanan Republik ikan yang beruaya jauh di luar wilayah yurisdiksi
Indonesia melakukan usaha penangkapan nasional.
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/
Ketujuh, Undang-Undang Nomor 45 Tahun atau cara, dan/atau bangunan yang dapat 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
merugikan dan/atau membahayakan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
kelestarian sumber daya ikan dan/atau Undang-undang ini hadir tidak untuk menghapus
lingkungannya (Pasal 84 ayat (3)). undang-undang yang telah ada, akan tetapi ada
beberapa perubahan dalam pasal-pasalnya untuk
b. Setiap orang yang dengan sengaja di menyesuaikan dengan perkembangan teknologi
wilayah pengelolaan perikanan Republik sehingga dapat memenuhi kebutuhan hukum.
Indonesia memiliki, menguasai, membawa,
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
a. Setiap orang yang membangun, mengimpor yang tidak sesuai dengan ukuran yang atau memodifikasi kapal perikanan yang
ditetapkan, alat penangkap ikan yang tidak tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu
sesuai dengan persyaratan, atau standar
(Pasal 95).
yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/ atau alat penangkapan ikan yang dilarang
b. Setiap orang yang mengoperasikan (Pasal 85).
kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak
c. Setiap orang yang dengan sengaja mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, kapal perikanan Indonesia (Pasal 96).
mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, c. Nakhoda yang mengoperasikan kapal pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,
penangkap ikan berbendera asing yang dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke
tidak memiliki izin penangkapan ikan, dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan
yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (Pasal 88).
perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
d. Setiap orang yang memiliki dan/atau dalam palka (Pasal 97 ayat (1)); yang
mengoperasikan kapal penangkap telah memiliki izin penangkapan ikan
ikan berbendera Indonesia melakukan dengan satu jenis alat penangkapan ikan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang
perikanan Republik Indonesia dan/atau di membawa alat penangkapan ikan lainnya
laut lepas yang tidak memiliki Surat Izin (Pasal 97 ayat (2)); yang telah memiliki izin
Penangkapan Ikan (SIPI) (Pasal 93 ayat penangkapan ikan, yang tidak menyimpan
(1)), memiliki dan/atau mengoperasikan alat penangkapan ikan di dalam palka
kapal penangkap ikan berbendera asing selama berada di luar daerah penangkapan
melakukan penangkapan ikan di wilayah ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan
pengelolaan perikanan Republik Indonesia perikanan Republik Indonesia (Pasal 97
yang tidak memiliki SIPI (Pasal 93 ayat
ayat (3)).
d. Nakhoda yang berlayar tidak memiliki
e. Setiap orang yang memiliki dan/atau surat izin berlayar kapal perikanan yang
mengoperasikan kapal pengangkut ikan di dikeluarkan oleh syahbandar (Pasal 98).
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan
e. Setiap orang asing yang melakukan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak
penelitian perikanan di wilayah pengelolaan memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan
perikanan Republik Indonesia yang tidak (SIKPI) (Pasal 94).
memiliki izin dari pemerintah, (pasal 99).
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
Terkait illegal fishing adalah istilah yang 3. Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana
poluler untuk menyebut tindak pidana di bidang
Illegal Fishing di Wilayah Perairan
perikanan, sehingga perlu dikaji, karena istilah ini
Indonesia
tidak tersurat dalam undang-undang perikanan. Perancis, sebagai negara yang banyak
Menurut Pengawasan Sumber Daya membawa pengaruh secara tidak langsung Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan terhadap sistem hukum di Indonesia melalui dan Perikanan Republik Indonesia, secara negara jajahannya Belanda, baru memasukkan
harfiah illegal fishing diartikan sebagai kegiatan korporasi sebagai subjek hukum dalam kodifikasi perikanan yang tidak sah; kegiatan perikanan Code de Commerce tahun 1807 (Aliansi Nasional
yang tidak diatur oleh peraturan yang ada Reformasi KUHP, 2015: 6). Dari Code de (DJPSDKP, 2008).
Commerce dan Code de La Marine ini kemudian konsep mengenai korporasi secara nyata masuk
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 ke dalam sistem hukum Belanda yang terdapat di
memberikan pengertian yang luas terhadap dalam Wetboek van Koopenhandel (Said, 1987:
konsep perikanan. Dalam Pasal 1 ayat (1) 3). Melalui pemberlakuan asas konkordansi,
disebutkan bahwa: “Perikanan adalah semua perkembangan mengenai korporasi sebagaimana
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan terdapat di dalam Wetboek van Koopenhandel di
dan pemanfaatan sumber daya ikan dan Belanda membawa pengaruh terhadap ketentuan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, mengenai korporasi di Ned. Indie, di mana salah
pengolahan sampai dengan pemasaran, satu wilayahnya adalah Indonesia. Dari sinilah
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perkembangan mengenai korporasi masuk ke
perikanan.” wilayah Indonesia (Aliansi Nasional Reformasi
Konsep perikanan yang diberikan oleh KUHP, 2015: 6). undang-undang sangat luas, tidak hanya sekedar
Menurut Prasetya, kata korporasi adalah kegiatan penangkapan ikan tapi juga termasuk
sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
biasa dalam bidang hukum lain, khususnya lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
bidang hukum perdata, sebagai badan hukum pengolahan sampai dengan pemasaran.
atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai Setelah konsep illegal fishing yang dibuat rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris oleh lembaga yang berwenang disinkronkan disebut legal entities atau corporation (Muladi &
dengan konsep perikanan menurut Undang- Priyatno, 1991: 13). Undang Nomor 31 Tahun 2004 (Pasal 1 ayat
Terkait korporasi adalah badan hukum, (1)), maka dapat diketahui bahwa semua bentuk- maka terhadap korporasi memiliki definisi
bentuk tindak pidana baik yang merupakan tersendiri. Subekti mendefinisikan badan “kejahatan” maupun “pelanggaran”dalam
hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau undang- undang tersebut dapat disebut sebagai
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan tindak pidana illegal fishing.
melakukan perbuatan seperti manusia, serta
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
atas, Sjahdeini menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
Menurut Garner, mengemukakan bahwa korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit,
pengertian korporasi diambil dari istilah dalam maupun melihat artinya yang luas. Beliau
bahasa Inggris “corporation” yang berarti menyatakan, bahwa menurut artinya yang sempit,
badan hukum atau sekelompok orang yang oleh yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan
undang-undang diperbolehkan untuk melakukan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya perbuatan sebagaimana seorang individu sebagai
untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan subjek hukum, berbeda dengan para pemegang
hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, sahamnya (Garner, 2003: 147).
hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari Ferber menyatakan bahwa korporasi korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat
adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai apa saja yang dapat dilakukan oleh manusia. suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan Korporasi dapat membeli dan menjual properti, “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati baik yang nyata secara pribadi dan atas namanya secara hukum apabila matinya korporasi itu diakui sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi dapat oleh hukum (Sjahdeini, 2006: 44). menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya
Arti secara luas sebagai pengertian korporasi sendiri (Ferber, 2002: 18). dalam hukum pidana, beliau mendefinisikan
Hakikat dari korporasi dapat dilihat korporasi, bahwa dalam hukum pidana, korporasi pendapat klasik Haldane LC, bahwa korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum pikirannya sendiri dibanding dengan tubuhnya seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau sendiri; kehendak yang dijalankan dan bersifat perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan mengarahkan harus secara konsisten dilihat pada hukum yang digolongkan sebagai korporasi seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin menurut hukum pidana, tetapi juga firma, disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan mengarahkan pikiran dan kehendak dari atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi (Gillies, menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum 1990: 126).
(Sjahdeini, 2006: 45).
Menurut Rahardjo yang dimaksud dengan Dalam ketentuan umum KUHAP yang korporasi adalah badan yang diciptakannya digunakan sampai saat ini, Indonesia masih
itu terdiri dari corpus , yaitu struktur fisiknya menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur oleh manusia, sedangkan badan hukum (rechts animus yang membuat badan itu mempunyai persoon) yang dipengaruhi oleh pemikiran Von kepribadian. Oleh karena badan hukum ini Savigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction merupakan ciptaan hukum, maka kecuali theory) yang menganggap kepribadian hukum penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh merupakan kesatuan-kesatuan dari manusia hukum (Rahardjo, 2000: 13).
merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
perekonomiannya sudah baik mulai mencari cara untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak
Korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut, salah satunya dengan menggunakan
terjadi di luar KUHP, dalam perundang-undangan instrumen hukum pidana (bagian dari hukum
khusus, sedangkan KUHP sendiri masih tetap publik). Di Indonesia sendiri korporasi sudah
menganut subjek tindak pidana berupa “orang” dicantumkan sebagai salah satu subjek pelaku
(lihat Pasal 59 KUHP). Subjek tindak pidana pidana di berbagai perundang-undangan tindak
korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-Undang pidana khusus, salah satunya dalam tindak pidana
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 illegal fishing. angka 13; Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 1 angka 19; Undang-
Berbagai bentuk kejahatan illegal fishing Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah yang diidentifikasi dalam Undang-Undang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 mengenal beberapa Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan pelaku terhadap tindak kejahatan tersebut. Para Tindak Pidana Korporasi Pasal 1 angka 1; Undang- pelakunya, antara lain (Pasal 84-100), yaitu: setiap Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang- orang; nakhoda atau pemimpin kapal perikanan; Undang Nomor 25 Tahun 2003 Pasal 1 angka 2 ahli penangkapan ikan; anak buah kapal; pemilik tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang pada kapal perikanan; pemilik perusahaan perikanan; intinya mengatakan: “Korporasi adalah kumpulan penanggung jawab perusahaan perikanan; orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik operator kapal perikanan; pemilik perusahaan merupakan badan hukum maupun bukan badan pembudidayaan ikan; kuasa pemilik perusahaan hukum” (Priyatno, 2004: 18-19) .
pembudidayaan ikan; penanggung jawab pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
Dewasa ini, korporasi merupakan bentuk perikanan Republik Indonesia. organisasi bisnis yang paling penting. Korporasi
berkembang menjadi institusi, tidak saja dalam dunia Kata “setiap orang” dalam undang- bisnis yang mencari keuntungan, melainkan juga undang ini diartikan sebagai perseorangan atau sebagai bentuk organisasi publik dan swasta yang korporasi. “Korporasi” sendiri diartikan sebagai tujuannya tidak mencari keuntungan. Korporasi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang telah tumbuh menjadi konsep yang canggih dalam terorganisasi baik merupakan badan hukum bekerja sama dan pengumpulan modal. Berbeda maupun bukan badan hukum (Pasal 1 ayat (14) dengan aktivitas ekonomi masyarakat primitif dan (15)). Artinya, undang-undang ini mengakui yang hanya dilakukan secara individual atau bahwa korporasi sebagai salah satu subjek tindak paling jauh antar kelompok keluarga, korporasi pidana illegal fishing. dihimpun dengan mengikutsertakan pihak-pihak
Dalam perkembangannya, ada usaha untuk luar, bahkan melampaui batas-batas negara.
menjadikan korporasi sebagai subjek hukum
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
Tahap ketiga merupakan permulaan adanya dianggap tidak adil kalau korporsi tidak dikenakan
tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam hak dan kewajiban seperti halnya manusia.
tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut Kenyataan ini yang kemudian memunculkan
korporasi dan meminta pertanggungjawabannya tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai
menurut hukum pidana. Di samping itu, dalam subjek hukum dalam hukum pidana. delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang
Tahap pertama, ditandai dengan usaha-usaha diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga pada perorangan (natuurlijk person). Apabila tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap Alasan lainnya, bahwa dengan hanya memidana dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut para pengurus tidak atau belum ada jaminan (Muladi & Priyatno, 1991: 169-196). Pandangan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh tersebut. Dengan memidana korporasi dengan asas societas delinquere non potest yaitu badan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. korporasi itu, diharapkan bisa memaksa korporasi Dalam tahap ini membebankan “tugas pengurus” untuk menaati peraturan yang bersangkutan (zorgplicht) kepada pengurus.
(Priyatno, 2004: 27-28).
Tahap kedua, ditandai dengan pengakuan
yang timbul sesudah Perang Dunia 1 dalam II. METODE
perumusan undang-undang, bahwa suatu Penelitian yang dilaksanakan adalah perbuatan pidana dapat dilakukan oleh korporasi. penelitian hukum normatif yang menggunakan
Namun tanggung jawab untuk itu menjadi beban tiga pendekatan yaitu: pendekatan perundang- dari pengurus badan hukum. Perumusan yang undangan (statute approach), pendekatan kasus khusus ini yaitu apabila suatu perbuatan pidana (case approach), dan pendekatan konseptual dilakukan oleh suatu pengurus atau karena suatu (conceptual approach). Statute approach badan hukum, tuntutan pidana dan pidana harus adalah pendekatan dengan menggunakan dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Secara legislasi dan regulasi (Mahmud, 2009: 97), perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih penulis menggunakan produk perundang- dari anggota pengurusnya kepada mereka yang undangan perikanan beserta peraturan pelaksana memerintahkan atau kepada mereka yang secara
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
illegal fishing dalam pertimbangan hukum yang komprehensif, kemudian dideskripsikan dan tercantum pada putusan pengadilan, dihubungkan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan
dengan pandangan dan doktrin-doktrin ahli selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan hukum (Panggabean, 2014: 170).
diberikan argumentasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan
Bahan hukum diperoleh dari telaah pustaka. atas permasalahan yang dibahas adalah melalui
Bahan hukum di bidang hukum (dipandang dari
analisis yuridis kualitatif.
sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
primer, yaitu bahan pustaka yang berisikan Konsep liability atau pertanggungjawaban pengetahuan ilmiah yang baru dan mutakhir, dalam hukum pidana merupakan konsep sentral
ataupun pengertian baru tentang fakta yang yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam diketahui mengenai suatu gagasan (Soekanto bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan & Mamudji, 1998: 34), yaitu: Pancasila, UUD sebutan ‘mens rea.’ Doktrin ‘mens rea’ ini NRI 1945, undang-undang yang mengatur dilandaskan pada konsep, bahwa suatu perbuatan tentang perikanan beserta peraturan pelaksana tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali di bawahnya, undang-undang yang mengatur jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa tentang KUHP, peraturan perundangan lain yang Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an berkaitan dengan pokok permasalahan, dan act does not make a person guilty, unless the putusan yang akan dikaji.
mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas ini, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk
Bahan hukum sekunder, bersifat dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus
primer, seperti: hasil penelitian berupa buku mengenai konsep pertanggungjawaban pidana reus) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea)
korporasi dan konsep illegal fishing, selain itu hasil seminar maupun lokakarya yang membahas
(Ali, 2008: 39).
Pembahasan mengenai pertanggungjawaban tentang illegal fishing.
pidana (strafbaarheid) harus didahului dengan pembahasan tentang konsep perbuatan pidana
Teknik pengumpulan bahan hukum yang (strafbaarfeit). Sebab tidak adil, jika tiba-tiba
dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31 pada perbuatan pidana dan secara subjektif
Tahun 2004 dan Perubahannya menyebutkan, yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana
bahwa: ”Dalam hal tindak pidana perikanan karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
dilakukan oleh korporasi, tuntutan, dan sanksi pidana adalah asas legalitas (principle of legality),
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat
dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari adalah asas kesalahan (principle of culpability).
pidana yang dijatuhkan.” Dengan demikian, Hal ini berarti bahwa pelaku perbuatan pidana
meskipun korporasi diakui sebagai pelaku tindak hanya akan dipidana, jika ia mempunyai kesalahan
pidana, akan tetapi tidak dapat dimintakan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
pertanggungjawaban pidana. Pengaturan
Kaitannya dengan tindak pidana dalam demikian akan menimbulkan banyak kelemahan, bidang perikanan, Undang-Undang Nomor 9 yaitu menjadi tidak sebandingnya antara Tahun 1985 mengakui adanya ‘badan hukum’ (di hukuman dengan dampak atau kerugian yang samping orang-perorangan) sebagai subjek hukum ditimbulkannya. Di samping itu, penjatuhan dalam tindak pidana perikanan [Pasal 6 ayat (1) pidana kepada pengurus korporasi juga tidak dan Pasal 7 ayat (1)], namun undang-undang ini cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tidak mengatur lebih lanjut kapan suatu badan tersebut tidak melakukan tindakan serupa di hukum dikatakan melakukan tindak pidana, dan kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas korporasi juga tidak sedikit yang berlindung tindak pidana tersebut. Akibatnya, penanganan di balik korporasi-korporasi boneka (dummy kasus-kasus tindak pidana perikanan sulit company) yang sengaja mereka bangun untuk dituntaskan, khususnya yang melibatkan pihak melindungi korporasi induknya. korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang
Melihat rumusan pertanggungjawaban diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan
pidana korporasi pada undang-undang positif, seperti nakhoda kapal, kepala kamar mesin, dan
dapat dikatakan bahwa Indonesia masih anak buah kapal, sedangkan pihak-pihak yang
menganut sistem pertanggungjawaban pidana berada di belakang mereka (korporasi) nyaris
yaitu korporasi sebagai pembuat dan pengurus tidak pernah tersentuh.
yang bertanggung jawab. Padahal menurut Titik terang dari persoalan tersebut data Pengawasan Sumber Daya Kelautan sebenarnya mulai tampak, ketika diatur prinsip dan Perikanan, kerugian yang ditimbulkan pertanggungjawaban korporasi dalam Undang- akibat tindak pidana dalam bidang perikanan Undang Nomor 31 Tahun 2004, di mana yang sangat besar. Dari sini dapat dikatakan bahwa dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan Indonesia masih belum serius menangani tindak tidak saja mereka yang merupakan pelaku pidana tersebut, dikarenakan salah satu pilar langsung di lapangan, tetapi juga pihak korporasi bagi penegakan hukum, yaitu aspek yuridis yang berada di belakang mereka. Namun, normatifnya masih rapuh.
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
Menurut penulis, penjatuhan pidana kepada 2009 tentang Perubahan Atas Undang- korporasi akan lebih efektif, karena secara tidak
Undang Nomor 31 Tahun 2004, yaitu langsung akan berimbas juga pada pengurusnya.
setiap orang yang melanggar ketentuan Ketika korporasi sebagai wadah dan alat
mengenai sistem pemantauan kapal dibiarkan, bukan tidak mungkin orang lain masih
perikanan dipidana dengan pidana denda bisa menjalankannya, akan tetapi ketika korporasi
paling banyak Rp.250.000.000,-; sebagai wadah dan alat dibekukan, maka orang-
3. Pasal 7 ayat (2) huruf m yakni melakukan orang yang ada di dalamnya secara otomatis juga
usaha dan/atau kegiatan pengelolaan akan bubar.
perikanan wajib mematuhi ketentuan Diketahui bahwa terdakwa ZNL adalah
mengenai jenis ikan yang dilarang nakhoda kapal M.V. Hai Fa berbendera Panama
untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan tertangkap di Wanam oleh Pengawas Perikanan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Satker PSDKP Kimaan. Kapal M.V. Hai Fa adalah
Republik Indonesia; perbuatan terdakwa milik PT. AML yang berada di Avona Kabupaten
ZNL diatur dan diancam dengan sanksi Kaimana. Atas perbuatannya, terdakwa didakwa:
pidana Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
1. Melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf d jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
yakni, melakukan usaha dan/atau kegiatan tentang Perubahan Atas Undang-Undang
pengelolaan perikanan wajib mematuhi Nomor 31 Tahun 2004, yaitu setiap orang
ketentuan mengenai persyaratan atau yang melanggar ketentuan mengenai jenis
standar prosedur operasional penangkapan ikan yang dilarang untuk diperdagangkan,
ikan, dan diancam dengan sanksi pidana dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari
Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf d wilayah Republik Indonesia di pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dengan pidana denda paling banyak
jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
Rp.250.000.000,-
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, yaitu setiap orang
Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa, yang melanggar ketentuan persyaratan atau sebagai berikut: standar prosedur operasional penangkapan
1. Menyatakan terdakwa ZNL selaku nakhoda ikan, dipidana dengan pidana denda paling
kapal M.V. Hai Fa terbukti secara sah dan banyak Rp.250.000.000,-;
meyakinkan menurut hukum, bersalah
2. Melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf e yakni melakukan perbuatan pidana; “Melanggar melakukan usaha dan/atau kegiatan
ketentuan jenis ikan yang dilarang pengelolaan perikanan wajib mematuhi
untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan ketentuan mengenai sistem pemantauan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik kapal perikanan; dan diancam dengan
Indonesia;” melanggar Pasal 100 jo. Pasal sanksi pidana Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2)
7 ayat (2) huruf m Undang-Undang Nomor huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun
31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun
45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.
4. Membebankan kepada terdakwa biaya perkara sebesar Rp.5.000,-
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ZNL dengan pidana denda sebesar
Majelis hakim menyatakan meski tidak Rp.200.000.000,- subsider enam bulan memiliki Surat Laik Operasi, kapal M.V. Hai kurungan.
Fa sudah memiliki Surat Persetujuan Berlayar. Kemudian bukti kedua berupa vessel monitoring
3. Menyatakan barang bukti berupa: kapal system (VMS), penyidik menemukan VMS M.V. Hai Fa berbendera Panama, ikan kapal M.V. Hai Fa hanya mengalami gangguan campuran ±800,658 kg (selain ikan hiu 15 khususnya pada daya listrik, sehingga dipastikan ton), udang 100,044 kg, dokumen kapal kapal M.V. Hai Fa akan dikembalikan kepada untuk dikembalikan kepada yang berhak pemiliknya, tidak bisa dirampas dan disita bagi melalui terdakwa; sedangkan ikan hiu negara atau ditenggelamkan. Sementara barang lonjor/lanjaman dan martil sebanyak 15 ton bukti lain, seperti ikan campuran dan udang dirampas untuk negara. sebanyak 900.702 kg, terdiri dari ikan beku
4. Membebankan kepada terdakwa biaya 800.658 kg dan udang beku 100.044 kg, dianggap
perkara sebesar Rp.10.000,- tidak memiliki masalah (Detik News, 2015). Amar Putusan Nomor 01/PID.SUS/
Hakim mengabulkan seluruh tuntutan jaksa, PRK/2015/PN.AMB, sebagai berikut:
akan tetapi banyak pihak menilai bahwa putusan ini tidak sebanding dengan kejahatan yang
1. Menyatakan terdakwa ZNL terbukti secara dilakukan serta dampak yang ditimbulkannya,
sah dan meyakinkan bersalah melakukan bahkan membuat Menteri Kelautan dan Perikanan
tindak pidana melanggar “membawa keluar Susi Pudjiastuti menitikkan air mata, merasa
wilayah Republik Indonesia jenis ikan yang semua usaha, dan jerih payahnya selama ini tidak
dilarang untuk diperdagangkan;” dihargai (CNN Indonesia, 2015). Bagaimana
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu tidak, kapal yang diduga telah mencuri ikan, terhadap terdakwa ZNL dengan pidana seperti ikan campuran dan udang sebanyak denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan 900.702 kg, terdiri dari ikan beku 800.658 kg dan ketentuan apabila denda tidak dibayar udang beku 100.044 kg, serta menyelundupkan 15 maka diganti dengan pidana kurungan ton ikan hiu martir dan hiu lonjor yang merupakan selama enam bulan;
jenis ikan yang dilarang untuk diekspor ke luar negeri berdasarkan peraturan Menteri Kelautan
3. Menetapkan barang bukti berupa: kapal dan Perikanan Nomor 59/Permen-KP/2014, M.V. Hai Fa, 3,830 GT berbendera Panama, hanya mendapat sanksi ringan. Hal ini sangat ikan campuran ±800.658 kg (selain ikan hiu disayangkan dan menunjukkan pemerintah masih martil 15 ton), udang 100.044 kg, dokumen belum serius melindungi sumber daya lautnya. kapal M.V. Hai Fa untuk Dikembalikan kepada pemiliknya yang sah yaitu HY
Pengadilan menyatakan bahwa kapal M.V. melalui terdakwa; sedangkan 15 ton ikan Hai Fa tidak terbukti melakukan illegal fishing.
hiu martil dirampas untuk negara; Majelis hakim menyatakan terdakwa ZNL hanya
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192
Aksi Menteri Kelautan dan Perikanan Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/ yang mengajukan banding atas putusan tersebut PN.AMB ini menimbulkan polemik, sehingga berbuah tuntutan balik terhadapnya. CK, pemilik akhirnya jaksa penuntut umum memutuskan kapal M.V. Hai Fa. melaporkan Susi ke Mabes mengajukan banding. Sayangnya, majelis hakim Polri. CK merasa nama baik dirinya dan citra pengadilan tingkat banding memperkuat vonis perusahaan menjadi buruk, karena dicemarkan atas nakhoda M.V. Hai Fa berupa membayar oleh Susi sehingga sangat memengaruhi denda Rp.200 juta, dengan menimbang bahwa kegiatan bisnisnya (www.teropongsenayan. untuk kepentingan pemeriksaan tingkat banding, com). Pengakuan CK terkait citra perusahaan penuntut umum tidak mengajukan memori dan dilaporkannya Menteri Susi, dinilai kuat, banding. Pertimbangan lainnya adalah setelah bahwa yang melakukan illegal fishing adalah mempelajari berita acara sidang dan putusan korporasi. Menghukum nakhoda kapal adalah pengadilan tingkat pertama, majelis hakim salah sasaran, karena pelaku yang sesungguhnya pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa tidak merasakan efek apapun dari hukuman putusan tingkat pertama dinilai sudah tepat dan tersebut, ironinya jusru melakukan tuntutan balik benar dasar pertimbangan hukumnya (www. terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan. Hal kabar24.bisnis.com).
ini tidak akan membuat jera dan tidak menutup kemungkinan kapal tersebut akan mengulangi
Kapal M.V. Hai Fa bukan milik pribadi atau perbuatannya lagi dengan nakhoda kapal yang
perseorangan, akan tetapi milik sebuah korporasi berbeda, atau bahkan melakukan perbuatan yang
yaitu Hai Yi Shipping Limited yang dicarter oleh sama dengan menggunakan kapal yang berbeda.
PT. DRA. Kapal tersebut berdasarkan keterangan yang tertera di dalam SIKPI khusus mengangkut
Putusan Nomor 01/PID.SUS/PRK/2015/ ikan milik perusahaan PT. AML, PT. DRA, dan PN.AMB memang sudah sesuai dengan ancaman PT. WLI. Kapal ini beroperasi menjalankan maksimum dalam pasal dakwaan yang diajukan serangkaian kegiatan korporasi untuk mencapai jaksa. Namun, dalam hal ini patut dicatat, bahwa tujuan korporasi.
hukuman pidana denda yang diberikan tidak
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Illegal Fishing di Indonesia (Oksimana Darmawan)
| 187
188 |
Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 171 - 192