Peran Polri Dalam Pemberantasan Praktek Illegal Fishing Di Wilayah Perairan Indonesia

(1)

PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN PRAKTEK

ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

TESIS

Oleh

DEMAK OMPUSUNGGU 087005116/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN PRAKTEK

ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEMAK OMPUSUNGGU 087005116/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN

PRAKTEK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH

PERAIRAN INDONESIA Nama Mahasiswa : Demak Ompusunggu Nomor Pokok : 087005116

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan kepulauan, serta 2,7 juta km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Dalam rangka menjaga kekayaan nasional berupa sumber daya perikanan tentunya memerlukan tindakan pemerintah dalam menjaga sumber kekayaan alam yang dalam pendelagasian dari kewenangan negara ini diberikan kepada institusi Polri selaku institusi yang mempunyai tugas untuk mewujudkan keamanan dalam negari (Kamdagri) dan pemeliharaan Kamtibmas serta penegakan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Salah satu kewajiban Polri adalah pemberantasan praktek illegal fishing. Illegal fishing adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Permasalahan dalam penelitian tesis ini menyangkut karakteristik tindak pidana illegal fishing, peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal fishing dan hambatan Polri dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing terutama menyangkut peran Polri selaku penyidik..

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen). Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pemberantasan terhadap praktek illegal fishing yang dilakukan oleh Polri dirasakan masih lemahnya terutama menyangkut pengawasan (masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, sumber daya pengawasan yang masih belum memadai terutama dan sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak: hukum baik pusat maupun daerah, belum berkembangnya lembaga pengawasan, penerapan system yang belum optimal, belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya permalsuan izin) dan masih lemahnya "Law Enforcement" yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.

Di samping itu dalam rangka penegakan hukum pidana praktek illegal fishing yang memposisikan peran Polri dalam sistem peradilan pidana menunjukkan beberapa kelemahan terutama menyangkut proses penyidikan tindak pidana illegal fishing yakni koordinasi dan pemahaman penyidik PPNS terhadap penyidik Polri selaku Korwas sebagaimana diamanahkan oleh KUHAP. Kelemahan lainnya yakni


(6)

dalam kerangka pertanggungjawaban pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het

verboden zijr van het feit) untuk menjerat perusahaan perikanan yang melakukan

kegiatan penangkapan ikan di dalam sistem peradilan pidana. Kata Kunci: - Peran Polri


(7)

ABSTRACT

The Republic of Indonesia is an archipelago state with 17.508 islands, 81.000 km2 coastlines consisting of 0.3 millions km2 territorial water (5.17%), 2.8 millions

km2 insular water (48.28%), and 2.7 millions km2 Exclusive Economic Zone

(46.55%). This fact puts Indonesia on a strategic position and with big fishery resources potentials. To guard this national property in the form of fishery resources, the government needs to take an action and the authority to take the action is delegated to the Indonesian Police as an institution whose duties are to materialize the domestic security, to maintain the community security and order and to reinforce law as being instructed by Law No.2/2002. One of the duties of the Indonesian Police is to eliminate illegal fishing practice. Illegal fishing is an action of stealing conducted by catching fish without licenses called SIUP and SIPI, using the explosives, poisonous materials, dangerous materials, and any other material that can result in the damage and extinct of fishery resources. Law No.31/2004 on Fishery has classified fishery criminal act into 2 (two) kinds of criminal acts, namely, a crime in fishery (Articles 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, and 94) and violation in fishery (Articles 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, and 100). The research problems in this thesis concerns about the characteristics of the criminal act of illegal fishing, the role of the Indonesian Police in the system of criminal responsibility of the actor of the criminal act of illegal fishing, and the constraints faced by the Indonesian Police in dealing with the criminal act of illegal fishing especially the constraints related to the role of the Indonesian Police as the investigator.

This is a normative legal study with qualitative juridical approach. As an analytical descriptive study, this study not only describes a condition or good symptom in the system of positive or empirical law but also want to provide the rules as they should be (das sollen). The data obtained were analyzed based on the qualitative approach.

The result of this study showed that the elimination of illegal fishing practice which has been implemented by the Indonesian Police was still not optimal especially what was related to controlling activity (because the control facilities and infrastructures are limited, the inadequate quantity of controllers, the uncompleted regulations of legislation in the sector of fishery, fragile inter-law upholder coordination either in the central or local levels, the supervision institution is not well-developed, the system is not yet optimally applied, the license-issuing process is not in order that it is open to license counterfeiting) and the fragile “Law Enforcement” resulted in decreasing of the authority of law, less justice for the society, and increasing violation of law.

In addition, the process of upholding the criminal law for illegal fishing practice which put the Indonesian Police in a certain position in the system of criminal trial revealed several limitations especially those related to illegal fishing investigation process such as the coordination and the understanding of PPNS investigators towards the Indonesian Police investigators as the Korwas as stated in the Indonesian Criminal Codes. Another limitation was revealed in the determination of the actors’ responsibility to round up the fishing companies which do the fishing activities in the system of criminal trial.


(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

berkat dan kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian menyangkut tentang ” PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji, baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor, atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universeitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Megister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Anggota Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan yang telah memberikan banyak masukan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

5. Bapak Syafruddin S. Hasibuan SH, MH, DFM, selaku Anggota Pembimbing, atas bimbngan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis.

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Penguji, yang telah banyak memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya dalam penyempurnaan substansi tesis ini.

8. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara beserta pada pejabat utama Polda Sumatera Utara, Kepala Kepolisian Resor Pelabuhan Belawan dan Kepala Kepolisia Resor Kota Medan yang telah memberikan kesempatan, dorongan dan motivasi untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis untuk saudara-saudaraku dan keluarga, yang telah banyak berdoa sehingga penulis mendapat tuntunan dari Tuhan Yang Maha


(11)

Kuasa, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya. Khusus untuk anak-anakku dan Isteriku yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dalam menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendoakan, penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala bantuan dan perhatiannya.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk ini penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya dalam pemberantasan tindak Pidana Illegal Fshing di Wilayah Perairan Indonesia yang merugikan Negara Republik Indonesia.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi dan memberkati kita semua.

Hormat penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Demak Ompusunggu

Tempat/tgl lahir : Silando, 27 Juli 1964 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Kewarganegaraan : Indonesia

Pendidikan : 1. SD Negeri Silando (Lulus tahun 1976) 2. SMP Negeri Paranginan (Lulus tahun 1980) 3. SPG Negeri Tanjung Balai (Lulus tahun 1983)

4. S1 Hukum Universitas Amir Hamzah Medan (Lulus tahun 2007)

5. S2 Hukum Ekonomi Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus tahun 2010)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E.Keaslian Penulisan ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 20

G. Metode Penelitian... 33

BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH ... 36

A. Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal Fishing ... 36

B. Dampak Pencurian Ikan terhadap Ekosistem Kelautan ... 43

C. Illegal Fishing dan Pelanggaran Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 51

D. Karakteristik Tindak Pidana Illegal Fishing di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.. 54


(14)

BAB III PERAN POLRI DALAM PENERAPAN SISTEM

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING SEBAGAI BAHAGIAN DARI SISTEM

PERADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM)... 59

A. Peran Polri Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pokok di Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia ... 59

B. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Fishing ... 62

C. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing ... 73

D. Pertanggunjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing... 79

BAB IV HAMBATAN PENYIDIK POLRI SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) DALAM PENANGGULANGAN TIDAK PIDANA ILLEGAL FISHING ... 86

A. Hambatan dalam Tatanan Kebijakan Peraturan Perundang- undangan terkait Peraturan Perikanan... 86

B. Hambatan Penegakan Hukum oleh Polri terhadap Pemberantasan Praktek Illegal Fishing ... 92

1. Internal ... 93

2. Eksternal ... 96

C. Hambatan Penyidik dalam melakukan Rangkaian Kegiatan\ Penyhidikan Tindak Pidana Illegal Fishing ... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 112


(15)

ABSTRAK

Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelago State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 (5,17 %). Laut teritorial, 2,8 juta km2 (48,28 %) perairan kepulauan, serta 2,7 juta km2 (46,55 %) Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar. Dalam rangka menjaga kekayaan nasional berupa sumber daya perikanan tentunya memerlukan tindakan pemerintah dalam menjaga sumber kekayaan alam yang dalam pendelagasian dari kewenangan negara ini diberikan kepada institusi Polri selaku institusi yang mempunyai tugas untuk mewujudkan keamanan dalam negari (Kamdagri) dan pemeliharaan Kamtibmas serta penegakan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Salah satu kewajiban Polri adalah pemberantasan praktek illegal fishing. Illegal fishing adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan (Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94) dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan (Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100). Permasalahan dalam penelitian tesis ini menyangkut karakteristik tindak pidana illegal fishing, peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal fishing dan hambatan Polri dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing terutama menyangkut peran Polri selaku penyidik..

Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis kualitatif. Sifat penelitian deskriptif analitis artinya penelitian ini tidak hanya sekedar menggambarkan suatu keadaan atau gejala baik pada tatanan hukum positif maupun empiris tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya (das sollen). Analisis data digunakan dengan pendekatan kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pemberantasan terhadap praktek illegal fishing yang dilakukan oleh Polri dirasakan masih lemahnya terutama menyangkut pengawasan (masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan, sumber daya pengawasan yang masih belum memadai terutama dan sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak: hukum baik pusat maupun daerah, belum berkembangnya lembaga pengawasan, penerapan system yang belum optimal, belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya permalsuan izin) dan masih lemahnya "Law Enforcement" yang menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.

Di samping itu dalam rangka penegakan hukum pidana praktek illegal fishing yang memposisikan peran Polri dalam sistem peradilan pidana menunjukkan beberapa kelemahan terutama menyangkut proses penyidikan tindak pidana illegal fishing yakni koordinasi dan pemahaman penyidik PPNS terhadap penyidik Polri selaku Korwas sebagaimana diamanahkan oleh KUHAP. Kelemahan lainnya yakni


(16)

dalam kerangka pertanggungjawaban pelaku (de strafbaarheid van het feit atau het

verboden zijr van het feit) untuk menjerat perusahaan perikanan yang melakukan

kegiatan penangkapan ikan di dalam sistem peradilan pidana. Kata Kunci: - Peran Polri


(17)

ABSTRACT

The Republic of Indonesia is an archipelago state with 17.508 islands, 81.000 km2 coastlines consisting of 0.3 millions km2 territorial water (5.17%), 2.8 millions

km2 insular water (48.28%), and 2.7 millions km2 Exclusive Economic Zone

(46.55%). This fact puts Indonesia on a strategic position and with big fishery resources potentials. To guard this national property in the form of fishery resources, the government needs to take an action and the authority to take the action is delegated to the Indonesian Police as an institution whose duties are to materialize the domestic security, to maintain the community security and order and to reinforce law as being instructed by Law No.2/2002. One of the duties of the Indonesian Police is to eliminate illegal fishing practice. Illegal fishing is an action of stealing conducted by catching fish without licenses called SIUP and SIPI, using the explosives, poisonous materials, dangerous materials, and any other material that can result in the damage and extinct of fishery resources. Law No.31/2004 on Fishery has classified fishery criminal act into 2 (two) kinds of criminal acts, namely, a crime in fishery (Articles 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, and 94) and violation in fishery (Articles 87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, and 100). The research problems in this thesis concerns about the characteristics of the criminal act of illegal fishing, the role of the Indonesian Police in the system of criminal responsibility of the actor of the criminal act of illegal fishing, and the constraints faced by the Indonesian Police in dealing with the criminal act of illegal fishing especially the constraints related to the role of the Indonesian Police as the investigator.

This is a normative legal study with qualitative juridical approach. As an analytical descriptive study, this study not only describes a condition or good symptom in the system of positive or empirical law but also want to provide the rules as they should be (das sollen). The data obtained were analyzed based on the qualitative approach.

The result of this study showed that the elimination of illegal fishing practice which has been implemented by the Indonesian Police was still not optimal especially what was related to controlling activity (because the control facilities and infrastructures are limited, the inadequate quantity of controllers, the uncompleted regulations of legislation in the sector of fishery, fragile inter-law upholder coordination either in the central or local levels, the supervision institution is not well-developed, the system is not yet optimally applied, the license-issuing process is not in order that it is open to license counterfeiting) and the fragile “Law Enforcement” resulted in decreasing of the authority of law, less justice for the society, and increasing violation of law.

In addition, the process of upholding the criminal law for illegal fishing practice which put the Indonesian Police in a certain position in the system of criminal trial revealed several limitations especially those related to illegal fishing investigation process such as the coordination and the understanding of PPNS investigators towards the Indonesian Police investigators as the Korwas as stated in the Indonesian Criminal Codes. Another limitation was revealed in the determination of the actors’ responsibility to round up the fishing companies which do the fishing activities in the system of criminal trial.


(18)

(19)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kejahatan yang berlangsung lintas negara baik yang merupakan kejahatan terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan baik secara kualitas maupun kuantitas serta menjadi isu dalam berbagai pertemuan regional maupun internasional. Beberapa aspek terkait dengan perkembangan kejahatan, antara lain: 1munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru, semakin kompleksnya modus operandi, semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan, semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas pada satu negara akan tetapi juga lintas negara. Saat ini dan masa mendatang, tidak ada satupun negara di dunia yang bebas dari ancaman kejahatan lintas negara.

Kejahatan lintas negara di Indonesia tergolong sebagai kejahatan yang sangat berpotensi terjadi, karena beberapa faktor sebagai berikut: Pertama, Bentuk Negara Kepulauan dengan pantai terbuka. Kedua, Posisi silang wilayah Indonesia sebagai jalur perlintasan perdagangan dunia. Ketiga, Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan sebagai sumber pengirim Tenaga Kerja. Keempat, Sistem perdagangan bebas yang semakin terbuka. Kelima, Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.2

Bentuk negara kepulauan dengan pantai terbuka wilayah perairan mengandung arti bahwa wilayah Perairan Indonesia yang merupakan 2/3 bagian

1

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, perkembangan dan penanggulangan kejahatan Terhadap kekayaan negara dan Kejahatan transnasional, Jakarta september 2008, hal. 3

2


(20)

wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan, mencakup perairan kedaulatan dan yurisdiksi nasional, seluas kurang lebih 6 juta kilometer persegi.3 Upaya pengawasan dan pengamanan melalui tindakan pemberantasan yang dilakukan oleh Polri terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut termasuk sumber daya perikanan di wilayah perairan nasional, merupakan bagian penting dari upaya dukungan terhadap pembangunan ekonomi nasional dan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan pengawasan dan pengamanan tersebut, fokus upaya harus mencakup: pemberantasan penangkapan ikan secara tidak sah (Tanpa Ijin, Penyalahgunaan ijin meliputi daluwarsa, penangkapan ikan secara liar, alat tangkap), pengangkutan hasil tangkapan (Entry Point dan Exit point, Transhipment), bentuk-bentuk pelanggaran terkait lainnya (Undang-undang Pelayaran, Ketenagakerjaan, Penyalahgunaan BBM bersubsidi).4

Trend perkembangan lingkungan strategis baik global, regional maupun nasional di perairan Indonesia dimaksud tentunya mengandung berbagai gangguan keamanan yang dapat diprediksi akan semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitas yang tidak mengenal batas suatu negara. Pada perkembangan transnational yang ditandai dengan revolusi teknologi terutama informasi dan transportasi di samping berdampak pada pembangunan di berbagai bidang dan terintegrasinya sistem perekonomian dan keuangan dunia, juga memiliki efek samping pada kemajuan tindak kejahatan baik dari variasi modus operandi, pengorganisasian dan

3

http://www.google.co.id, Perairan dan kejahatan perikanan, diakses tanggal 18 Pebruari

2010

4


(21)

mobilitasnya.5 Berbagai bentuk ganguan Kamtibmas akan mewarnai dari skala terendah sampai dengan skala tertinggi dan menimbulkan dampak yang berspektrum luas di berbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan. Kejahatan yang terjadi dapat merupakan kejahatan di wilayah perairan terutama menyangkut tentang kejahatan terhadap kekayaan negara.6

Kejahatan terhadap kekayaan negara salah satunya adalah illegal fishing yang dapat berlangsung lintas negara di samping sangat merugikan negara dan masyarakat juga berpotensi merusak lingkungan yang membahayakan keberlangsungan tidak hanya generasi sekarang, melainkan juga generasi mendatang. Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap kejahatan kekayaan negara dan kejahatan

transnational merupakan wujud nyata penyelamatan kekayaan negara dan

membangun iklim persaingan usaha maupun investasi yang sehat yang pada akhirnya akan bermuara pada meningkatnya kemakmuran rakyat dan citra Indonesia di dunia internasional.7

Tidak tertanganinya masalah illegal fishing secara proporsional oleh pemerintah Indonesia menjadikan masalahnya menjadi komplek dan rumit seperti benang kusut. Kondisi ini dapat dimanfaatkan pelaku illegal fishing dari negara lain. Sebagai gambaran bahwa dapat dilihat negara Filipina yang merupakan negara

5

Ibid

6

Ibid,bahwa Polri membagi golongan Kejahatan ke dalam 4 (empat) golongan / jenis yaitu

kejahatan konvensional, seperti kejahatan jalanan, premanisme, banditisme, perjudian dll; kejahatan transnasional, yaitu : terorrism, illicit drugs trafficking, trafficking in persons, money loundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime and international economic crime; kejahatan terhadap kekayaan negara seperti korupsi, illegal logging, illegal fishing, illegal mining, penyelundupan, penggelapan pajak, penyelundupan BBM, dll; dan Kejahatan

yang berimplikasi kontijensi adalah : SARA, separatisme, konflik horizontal dan vertikal, unjuk rasa

anarkis, dll.

7


(22)

mengekspor tuna terbesar di dunia. Ironisnya 70 persen tuna yang mereka ekspor itu berasal dari Indonesia. Demikian pula dengan Thailand sebagai negara mengekspor ikan kaleng. Namun, banyak nara sumber meyakini bahwa ikannya juga berasal dari perairan Indonesia yang ditanggap secara ilegal. Di samping itu para pelaku illegal

fishing menggunakan BBM bersubsisdi di mana kerugian negara akibat

menggunakan BBM bersubsidi mencapai Rp500 miliar. Hal ini tentunya memerlukan penegakan hukum sebagai upaya pemberantasan yang profesional dan akuntabel untuk melindungi kekayaan negara. Banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing antara lain luasnya potensi laut yang belum terolah, peluang bisnis ikan yang menggiurkan dan kelemahan penagakan hukum.8

Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap praktek illegal

fishing di wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh Polri khususnya di selat

malaka merupakan suatu tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dengan tujuan terselamatkanya kekayaan negara. Untuk dapat dimintakannya pertanggungjawaban pelaku kejahatan illegal fishing tentunya harus dimulai dengan kriminalisasi yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana dan merupakan dasar untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakan hukum, norma dasar penegkan hukum pidana yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang mensyaratkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.9 Rumusan tersebut mengandung unsur antara lain:

8

Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, Kerugian Akibat Pencurian Ikan, http://www.google.co.id, diakses tanggal 14 Juli 2010

9


(23)

Pertama, hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, asas ini disebut asas

legalitas (lege), karena penguasa dalam melaksanakan tugas peradilan terkait ketentuan perundang-undangan maka akan terhindar dari kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya, hal ini berarti terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut.

Kedua, asas bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut

(asas non retroaktif).

Arti pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal fishing adalah tertanggulangi kejahatan terhadap kekayaan negara yang wajib untuk dilindungi, namun dalam praktek penegakan hukum dibandingkan dengan jumlah kerugian negara yang mencapai angka Rp. 30 Triliun per tahun kurang efektif.10 Adapun catatan penanganan kasus illegal fishing tergambar bahwa tindak pidana

illegal fishing yang diungkap sebanyak 429 kasus, diselesaikan 268 kasus. Kasus

dimaksud antara lain Kasus M.V.Golden Blessings (Bendera Philiphina), Putusan Pengadila Negeri Jayapura 28 Februari 2007 denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan penjara, barang bukti dikembalikan kepada pemilik (JPU banding), Putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor 24/Pid.B/2007/PT.JPR 5 Oktober 2007, pidana denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan kurungan, Barang bukti Kapal beserta kelengkapan dan uang hasil lelang ikan tuna 200 ton seharga Rp 210 Juta dirampas untuk negara ( terrdakwa kasasi). Kasus M.V. Cheng long (Bendera Panama), Putusan PN Surabaya Nomor 2180/Pid.B/PN.SBY tanggal 31 Oktober 2007, pidana

10

Aji Sularso, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, http://www.google.co.id, diakses tanggal 18 Pebruari 2010 bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan menghitung kerugian akibat illegal fishing mencapai angka Rp 30 triliun.


(24)

Perikanan dan Pelayaran, denda Rp 500 Juta, Subsider 4 bulan kurungan, BB kapal dan kelengkapan serta BB lelang Ikan 459 ton seharga 2.181.160.000 dirampas untuk negara (terdakwa banding). Kasus M.V.Piong Piong Hai-05099 ( Bendera China), Putusan PN Manokwari Nomor 48/Pid.B/2007/PN Mkw 23 November 2007 pidana Perikanan terdakwa 1 dan terdakwa 2 pidana penjara masing-masing 1 tahun dan denda Rp 200 Juta, menetapkan para terdakwa tetap ditahan, BB 1 set jaring dan 3 ekor ikan hiu yang sudah mati dirampas negara untuk dimusnahkan (JPU banding ), Putusan PT Jayapura Nomor 69/Pid/2007/PT.PJR 14 Desember 2007 pidana masing-masing 5 tahun dan denda Rp 1 Milyar Subsider 1 Tahun kurungan dan BB kapal beserta kelengkapan lainnya dirampas untuk negara. Kasus K.M. Thindo Mina 6 (Bendera Indonesia ), Putusan PN Tanjung Pinang Nomor 340/Pid.B/2007/PN TPI trp tanggal 19 September 2007 dirampas untuk negara, dan 4 unit ALKAP dimusnahkan (Inkrach).11 Lemahnya penegakan hukum di bidang pencurian ikan (illegal fishing) dibandingkan dengan jumlah praktek illegal fishing ini sebagaimana dikemukakan oleh Ansory sebagai berikut:12

“Kegiatan illegal fishing sejak tahun 1970-an sampai saat ini begitu marak terjadi di Indonesia bahkan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan modus operandi yang juga semakin beragam. Penyebabnya, antara lain dikarenakan adanya celah pada aturan (hukum) yang memberikan peluang illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Undang - Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 memungkinkan nelayan asing untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada pasal 29 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Namun, pada ayat (2) dinyatakan, kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang

11

Ibid

12

Ansory, Lemahnya Penegakan Hukum Trehadap Pelaku Illegal Fishing, http://www.yahoo.co.id, diakses tanggal 17 Pebruari 2010


(25)

melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum intenasional. Penyebab illgela fishing lainnya lainnya adalah kurang tegasnya penanganan para pelaku. Hal ini bisa dilihat pada banyak kasus illgeal fishing dimana para pelakunya dihukum sangat ringan. Padahal berdasarkan pasal 85 jo pasal 101 UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan secara tegas bahwa pelaku illgel fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Di samping itu adanya indikasi para aparat kurang serius dalam penanganan pelaku illgela fishing. Misalnya pada setiap tahun hampir terdapat 103 kasus tindak pidana di bidang perikanan dengan berbagai bentuk pelanggaran. Ironisnya hanya 77 kasus yang telah diajukan ke proses pengadilan sehingga menimbulkan kesan kurang profesionalnya para aparat dalam penanganannya”.

Berdasarkan rumusan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak pidana illegal fishing secara keseluruhan adalah menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan, membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan tanpa izin pejabat yang berwenang. Menyangkut sanksi pidana terhadap pelaku illegal fishing Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 khusunya pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan


(26)

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah)”. Berdasarkan pengertian ini dapat diklasifikasi bahwa pencurian ikan (ilegal fishing) adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan.

Menyangkut bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing dapat dirumuskan unsur bahwa pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan sengaja (termuat pada Pasal 8 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat (3), dan ayat(4 ). Dan karena kelalaiannya ( termuat dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dan ayat ( 4 ) melanggar ketent uan ( melawan hukum ) ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 2 ), ayat ( 3 ), dan ayat ( 4 ). Tindak pidana illegal fishing juga merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat ( 3 ) dan aturan kepidanaannya dirumuskan dalam Pasal 262– 265 ayat ( 4 ) KUHP Tentang Kejahatan Pencurian, dengan hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan, maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat Pasal 187 KUHP Tentang yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dengan hukuman terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang lain.


(27)

Modus operandi kejahatan illegal fishing mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan kejahatan lainya berkaitan dengan kejahatan di wilayah perairan negara Republik Indonesia baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem termasuk sebagai sub sistem adalah koordinasi terpadu antar lintas negara (transnational) maupun lemabaga otoritas di bidang kelautan dan perikanan. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang kekayaan negara khususnya di bidang perikanan yang memanfaatkan teknologi dalam penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-perseorangan yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan13 berupa tindak pidana yang dilakukan, melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi kejahatan.

Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh Polri Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara bekerjasama

13

Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 1987/1988, hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Bandingkan juga, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2000), hal. 67. Bahwa Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat persyaratan yakni, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang; Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.


(28)

dengan pengawasan perikannan dapat dideskripsikan pada penanganan kasus penangkapan ikan di jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua di perairan Kwala Batu bara Kabupaten Batu bara Sumatera Utara dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Adapun deskripsi kasus di atas dapat digambarkan sebagai berikut:14

“ Pada hari kamis tanggal 06 Nopember 2008 pukul 11.30 wib Kapal Patroli Polisi Perairan 303 yang melakukan patroli bersama-sama dengan Pengawas Perikanan pada Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan memergoki Kapal Ikan KM. Surya Mas I yang dinahkodai 1 (satu) orang nahkoda dengan 9 (sembilan) orang ABK warga negara Indonesia yang sedang melakukan penangkapan ikan di jalur –I, jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), pada posisi 03° 18 ' 386 " LU- 99 ° 45 ' 847 " BT Perairan Kwala Batu Bara Kab. Batu Bara dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua. Sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) pada Kapal Ikan KM Surya Mas I jalur terlarang pada Jalur – I (Lambung Kapal Oranye) sesuai dengan SK Mentan Np. 392/Kpts/IK.120/4/1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan dan Pasal 7 ayat (2) huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kapal ikan tersebut tertangkap di 3 (tiga) mil dari pantai perairan Batu bara Kabupaten Batu bara. Alat tangkap yang ditemukan adalah Purse Seine (Gandeng Dua) sesuai yang tertulis dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang terdiri: ukuran pukat lebih kurang 60 meter, panjang kebawah lebih kurang 25 meter, panjang tali dari mulut jaring 35 meter, ukuran mata jaring tengah lebih kurang 1 ½ Inci, kantong ½ Inci, ukuran mata jaring dari jaring lebih kurang 25 Cm yang digunakan dengan cara diam atau kapal dalam keadaan lego jangkar dan digunakan atau menangkap ikan diluar jalur I”.

14

Lihat, dalam Berita Acara Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Direktorat Kepolisian Perairan kepada PPNS Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Belawan Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, tertanggal 8 Nopember 2008.


(29)

Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illegal fishing sebagaimana dideskripsikan di atas diartikan sebagai dipidananya perbuatan pelaku (de

strafbaarheid van het feit atau het verboden zijr van het feit) dengan menggunakan

perangkat hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perikanan maupun KUH Pidana,15 artinya bahwa penggunaan perangkat hukum merupakan penjabaran dari asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana yakni “nullum delictum, nulla poena,

sine pravia lege poenali”. Hal ini mengandung pengertian bahwa kebijakan

penanggulangan kejahatan illegal fishing tetap dilakukan secara integral yang berarti segala usaha yang bersifat rasional dilakukan untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan secara terpadu dengan menggunakan sanksi pidana.16 Berkaitan dengan sistem pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan illegal fishing maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalah (schuld) pada pelaku

15

Mulyanto dalam Faisal Salam, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Pustaka, 2004), hal. 87, bahwa KUH Pidana adalah merupakan suatu kodifikasi hukum pidana yang tidak semua tindak pidana dimasukkan dalam kodifikasi tersebut. Tetapi hal ini tidak mungkin karena selalu timbul perbuatan-perbuatan yang karena perkembangan masyarakat yang tadinya bukan merupakan tindak pidana lalu menjadi tindak pidana. Sebagaimana diketahui dalam KUH Pidana terdapat suatu bagian yang memuat aturan umum yaitu buku kesatu, yang memuat asas-asas hukum pidana pada umumnya dan defenisi-defenisinya yang berlaku bagi seluruh bidang hukum pidana positif, baik yang dimuat dalam KUH Pidana maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Aturan penutup dari buku kesatu KUH Pidana (Pasal 103) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang yang bersangkutan ditentukan lain. Jadi semua tindak pidana di luar KUH Pidana harus tunduk pada aturan-aturan umum yang dimuat dalam buku kesatu KUH Pidana itu, kecuali apabila secara khusus diatur oleh peraturan undangan itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang memuat tindak pidana di luar KUH Pidana itu, berbeda dengan KUH Pidana. Sebab pada umumnya selain mengatur tentang segi-segi hukum pidana materiil (perumusan tindak pidana, macam-macam pidana dan lain-lain), juga mengatur secara khusus tentang segi-segi hukum pidana formal, yaitu bagaimana cara melaksanakan hukum pidana materiil itu, misalnya pengusutan, penuntutan, mengadili perkara dan lain-lain.

16

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, 2002), hal. 13 dan 74, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan.masyarakat yang merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat (Law as tool of social engineering). Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut


(30)

yang mempunyai tiga tanda, yakni:17 Pertama, kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de daderi). Kedua, hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Ketiga, tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertangungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.18

Selanjutnya dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku illegal fishing berupa kapal-kapal penangkapan ikan pada kasus-kasus di wilayah perairan Indonesia yang biasanya dilakukan oleh korporasi yang bergerak dibidang perikanan maka asas tindak pidana tanpa kesalahan (asas kesalahan) yang berlaku dalam hukum pidana selama ini menghambat penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal fishing, penyebabnya adalah perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana materil masih mengalami kelemahan karena adanya prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan (shuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana,19 tentunya berbeda dengan tindak pidana illegal fishing yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kekayaan Negara dan transnational

crime,20 sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana sebagai tindak

17

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV. Utomo, 2004), hal. 34.

18

Ibid

19

Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, Op.cit, hal. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undnag dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

20

Lihat, Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, (Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994), hal. 7 bahwa apabila kita menggunakan pendekatan teknis maka kejahatan ekonomi lebih menampakkan


(31)

pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat sebagaimana dirumuskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana,21 yakni: melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggungjawab, dengan kesengajaan atau kealpaan; dan tidak adanya alasan pemaaf atau pembenar.

Asas kesalahan ini merupakan asas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban pidana, artinya pidana hanya dijatuhkan terhadap mereka yang benar-benar telah melakukan kesalahan dalam suatu tindak pidana. Adapun mengenai pengertian kesalahan ini, Mezger mengatakan bahwa “kesalahan adalah keseluruhan syarat uang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana”.22 Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Perbedaan antara kesengajaan dan kelalaian semata-mata diperlukan dalam pembidanaan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu pada hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah dalam terjadinya suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan

dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk menilai kasus yang terjadi. Dalam hal ini batasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum tanpa menggunakan kekerasan bersifat melawan hukum yang hakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan.

21

Lihat, Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia, Op.cit, hal. 30 bahwa dasar ada tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana.

22


(32)

kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut:23

1. Ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku: 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang; 3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta’ 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.

Unsur untuk dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan pada adanya kesalahan berupa kesengajaan (dolus, opzet, intention) yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak. Kesalahan berupa kealpaan atau culpa yang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asas tindak pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld”. Asas ini tidak dijumpai pada KUH Pidana sebagaimana halnya asas legalitas, karena asas ini adalah asas yang ada dalam hukum tidak tertulis.24 Prinsip hukum acara pidana yang didasarkan kepada beberapa sistem pembuktian yang dianut di Indonesia dalam rangka meminta pertanggungjawbaan pelaku illegal fishing mengalami kendala apabila dihadapkan pada penanggulangan illegal fishing.25 Pada sistem peradilan pidana Indonesia

23

Lihat, Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67.

24

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hal. 3.

25

Satoehid Kartanegara dalam Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, (Bandung: MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006), hal. 135-137, bahwa Masalah pembuktian dalam rangka penegakan hukum pidana pada penanganan tindak pidana pencucian uang tidak terlepas dari prinsip-prinsip pembuktian yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Adapun prinsip-prinsip yakni:

1. Negatief Wettelijk Bewijsleer atau sistem pembuktian negatif, dalam sistem pembuktian ini alat-alat pembuktian yang diatur salam undang-undang saja belum cukup, masih dibutuhkan keyakinan hakim sehingga harus ada cukup alat-alat bukti yang diakui undang-undang dan keyakinan hakim.


(33)

mengandung pembuktian negatif lebih dominan untuk penanganan suatu peristiwa pidana.26 Konsekuensi yang timbuh adalah penekanan pada alat bukti yang cukup untuk dimulainya proses sistem peradilan pidana (penekanan pada pembebanan pembuktian), sedangkan dalam praktek illegal fishing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perikanan dan perikanan sangat sulit menerapkan beban pembuktian yang cukup untuk menjerat perusahanan-perusahaan yang melakukan praktek illegal fishing.

Usaha untuk pencapaian ke arah penegak hukum terhadap praktek illegal

fishing yang efektif dirasakan dewasa ini mengalami kesulitan cukup signifikan yang

disebabkan antara lain sistem penyidikan untuk menjerat pelaku sebagai tindak pidana maka terlebih dahulu harus membuktikan adanya unsur kesalahan menyangkut adanya indikasi perbuatan pidana pencurian ikan sehingga dapat diminta pertanggungjawaban (liability on fault or negligence atau fault liability).27 Hal ini

2. Positief Wettelijk Bewijsleer yakni tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam hal ini keyakinan hakim, cara pembuktian banyak didasarkan pada alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang.

3. Conviction In Time (Bloot Gemoedelijkke Overtuiging) yakni sistem pembuktian yang semata-mata pada keyakinan hakim dan tidak terikat dengan alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.

4. Conviction In Raissonee (Beredeneerde Overtuiging) yakni sistem yang menerapkan bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan-alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut dalam pembuktian tidak terikat pada alat-alat pembuktian yang sah diakui undang-undang saja melainkan dapat mempergunakan alat-alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang menguatkan hakim.

26

Ketentuan ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

27

Pandangan monistis beranggapan bahwa suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut aliran monistis unsur-unsur strafbaar feit ini meliputi baik unsur-unsur perbuatan yang lazim disebut obyektif, maupun unsur-unsur pembuat, yang lazim


(34)

sebagaimana dimuat dalam asas hukum pidana materil bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas “culpabilitas”, tiada pidana tanpa kesalahan).28 Selain itu dalam tatatan kontruksi melalui pemahaman hukum ditemukan juga bahwa kerangka hukum yang digunakan melalui pendekatan hukum administrasi sebagai suatu perbuatan pelanggaran perizinan. Untuk itu sangat diharapkan adanya pemahaman aparat penegak hukum di bidang penegakan illegal

fishing secara signifikan berdasarkan modus opzet pelaku.

Penanggulangan kejahatan illegal fishing secara represif dengan menggunakan kerangka KUH Pidana merupakan tindakan pemberantasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (crimal justice system). Penegakan hukum penanggulangan kejahatan melalui tindakan represif dimulai dari tindakan pihak kepolisian yang menempatkan Polri sebagai penyidik merupakan salah satu suatu proses dari penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan dinamakan unsur subjektif. Oleh karena dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga adanya anggapan bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. Menurut A. Z. Abidin, aliran monistis terhadap strafbaar feit penganutnya merupakan mayoritas di seluruh dunia, memandang unsur pembuat delik sebagai bagian dari strafbaar feit. Lihat, AZ. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 51

28

Lihat, Zainal Abidin Farid dalam Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2004), hal. 35 bahwa suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana harus memenuhi dua unsur yaitu: (1). Adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan (2) mens rea (mental element) yakni keadaan sikap batin. Lebih lanjut, Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat.


(35)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Dalam rangka menjerat pelaku kejahatan illegal fishing mengharuskan terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah atau tidaknya seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang dilakukannya, kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de veranttwoordelijkheid

rechtens).29

Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri30 sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan illegal fishing pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana31 adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of

human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem

peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.

29

Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan)

30

Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

31

Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(36)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan (problem) yang dapat dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian Tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik tindak pidana illegal fishing berdasarkan modus operandi pelaku di wilayah perairan?

2. Bagaimana peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

illegal fishing sebagai bahagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system)?

3. Bagaimana hambatan penyidik Polri sebagai sub sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk mengetahui karakteristik tindak pidana illegal fishing berdasarkan modus operandi pelaku di wilayah perairan.

2. Untuk mengetahui peran Polri dalam sistem pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illegal fishing sebagai bahagian dari sistem peradilan pidana (criminal

justice system).

3. Untuk mengetahui hambatan penyidik polri sebagai sub sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam penanggulangan tindak pidana illegal fishing.


(37)

D. Manfaat Penelitian

Dalam hal ini, penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana

illegal fishing dalam rangka penegakan hukum pada sistem peradilan pidana

(criminal justice system) dan penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi kalangan akademisi hukum yang mendalami bidang kajian penelitian ini, khsususnya diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan hukum pidana di bidang perikanan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap harta kekayaan negara dan transnational crime.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya di bidang illegal fishing untuk menangani dan menjerat pelaku tindak pidana illegal fishing. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan gambaran menyangkut sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan di dalam praktek penanganan kejahatan illegal fishing oleh Polri sebagai bahagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, penelitian yang berjudul “Peran Polri Dalam Pemberantasan Praktek


(38)

Illegal Fishing di Wilayah Perairan Indonesia” khususnya di Lingkungan Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun terkait dengan topik dan permasalahan dlam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Pemberantasan praktek illegal fishing pada dasarnya diarahkan pada pertanggungjawab pelaku tindak pidana illegal fishing yang tidak dapat dipisahkan dari kriminalisasi.32 Kriminalisasi illegal fishing berlandaskan pada perangkat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan sebagai suatu kejahatan kekayaan negara dan berpengaruh pada perekonomian nasional. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, oleh karena itu

32

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, (Semarang: Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988), hal. 22-23 bahwa syarat kriminalisasi pada umumnya meliputi adanya korban, kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan, harus berdasarkan asas ratio principle; dan adanya kesepakatan social (public support). Kriminalisasi termasuk salah satu masalah pokok dalam hukum pidana. Menganalisis syarat kriminal tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan itu terdapat syarat kriminalisasi yang harus didahului oleh pertimbangan-pertimbangan : Pertama, penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional. Kedua, penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Ketiga, perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Keempat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).


(39)

setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama, stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan (predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional.33 Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan sebagai white collar crime34.

Selanjutnya Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sebagai kriminalisasi terhadap praktek illgeal fishing telah mengklasifikasi tindak pidana

“illegal fishing” adalah sebagai berikut :

“1). Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

33

Leonard dalam Bismar Nasution, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004), hal. 12, selanjutnya dikatakan bahwa diantara kedua unsur itu penting pula diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan menjegah birokrasi yang berlebihan.

34

Suherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, (Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”.


(40)

2). Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 2 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 ( satu milliar dua ratus juta rupiah ).

3). Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab perusahaan perikanan, dan / atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan / atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat ( 3 ) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).

4). Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan / atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia bahan biologis, bahan peledak, alat dan / atau cara, dan / atau bangunan yang dapat merugikan dan / atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh ) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milliar rupiah ).

5). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), ayat ( 4 ) adalah merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran.

6). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat ( 1 ), ayat ( 3 ), dan ayat (4) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing- masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan.

7). Semua hasil perikanan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara.


(41)

Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah sebagai berikut :

1). Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.

2). Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan biodiversity laut / lingkungan ekosistem laut.

3). Setiap orang dilarang :

a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah / melanggar Undang-Undang.

b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat yang dapat merusak ekosistem laut.

c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan perairan Republik Indonesia, tanpa izin.

d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang. e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan

dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan. Peranan aparat penegakan hukum khusunya Polri terhadap penanggulangan tindak pidana illegal melalui tindakan pemberantasan pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana,35 artinya fungsionalisasi memegang peranan penting

35

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991, hal. 2, bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat.


(42)

dalam suatu penegakan hukum, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa fungsionalisasi hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretitasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum.36 Fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara nyata. Fungsionalisasi hukum pidana identik dengan operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana, yang hakikatnya sama dengan penegakan hukum. Dalam fungsionalisasi ini terdapat tiga tahapan kebijakan yaitu tahap kebijakan formulatif sebagai suatu tahap perumusan hukum pidana oleh pihak pembuat perundang-undangan. tahap kebijakan aplikatif sebagai tahap penerapan hukum pidana oleh penegak hukum, tahap kebijakan administratif, yaitu merupakan tahap pelaksanaan oleh aparat eksekusi hukum.37

Masalah pokok daripada penegakan hukum pada umumnya dan penegakan hukum tindak pidana illegal fishing untuk mengukur profesionalisme penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dikatakan Soerjono Soekanto terdiri dari :38

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

36

Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 157.

37

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 30

38


(43)

1. Faktor hukumnya sendiri yang dalam hal ini dibatasi pada Undang-Undang saja.

2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan masyarakat.

Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum yang terpadu, hubungan kerja sama tersebut di atas akan dapat mendekatkan pendirian masing-masing instansi penegak hukum dan akan memberikan citra positif untuk semua pihak khususnya sinkronisasi antara sub-sub sistem yang satu terhadap sub sistem peradilan pidana lainnya, sebab keberhasilan satu pihak dalam penyelenggaraan peradilan pidana mempunyai arti keberhasilan semua pihak.

Menyangkut tentang pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illgal fishing tidak dapat dipisahkan dari kerangka pertanggungjawaban pidana sebagaimana dianut pada faham hukum pidana. Menurut Sudarto, bahwa di samping kemampuan bertanggung jawab, bahwa kesalahan (schuld) dan perbuatan melawan hukum (wederechtelijk) dijadikan sebagai syarat untuk pengenaan pidana, yaitu bahwa pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawaban pidana dalam arti pidananya pembuat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:


(44)

1. ada suatu tindak pidana39 yang dilakukan oleh pembuat; 2. ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan; 3. ada pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. tidak ada alasan pemaaf.40

Selanjutnya menyangkut masalah pembuktian bagi aparat penegak hukum sebagai suatu tindakan refresif (sarana penal dalam kebijakan hukum pidana) terhadap pelaku tindak pidana illgal fishing di dasarkan pada unsur subjektif atau

mens rea dan unsur objektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan

yaitu knowledge (mengetaui atau patut menduga) dan intended (bermaksud).41 Penentuan unsur-unsur tindak pidana di bidang perikanan khusunya illegal fishing pada dasarnya mengalami kesulitan berupa beberapa masalah yang harus dibuktikan, yakni: Pertama, beban pembuktian yang signifikan bagi penyidikan terhadap pelaku dan Narkoda Kapal serta perusahaan perkapalan yang melakukan praktek illgeal

fishing. Kedua, harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui tentang atau maksud

39

Sesuai dengan Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. VI, (Bandung: PT. Eresco, 1989), hal. 55.

40

Hamzah Hatrik, Loc-Cit

41

Lihat, R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007), hal. 7 bahwa dalam hukum acara pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut undang-undang, sistem mana terkandung dalam padal 294 (1) RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada seorangpun dapat dihukum kecuali jika Hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya”. Sistem negatif menurut undang-undang tersebut diatas mempunyai maksud sebagai berikut:

a. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian yang ditetapkan dalam undang-undang.

b. Namun demikian biarpun bukti bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam undang-undang tadi jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut.

Jadi, dalam sistem tadi yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan hakim. Jika biarpun bukti bertumpuk-tumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana yang menjatuhkan hukuman dapat kita baca pertimbangan: “bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan atas kesalahan terdakwa”.


(45)

untuk melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Pembuktian sebagai salah satu tindakan aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice

system) tidak terlepas dari bekerjanya masing-masing sub sistem.

Berdasarkan naskah rancangan KUHP (1991/1992) dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan42.

Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri43 sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana illegal fishing pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana44 adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses kegiatan ini dimulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan oleh sub sistem

42

Hamzah Hatrik, Azas pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Srict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 12.

43

Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyangkut tentang peran Polri adalah beberapa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni : Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

44

Pasal 285 UU No. 8 Tahun 1981 selengkapnya berbunyi Undang-undang ini disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(1)

B. Saran

1. Diharapkan dalam mengklasifikasi tindak pidana illegal fishing tidak hanya difokuskan pada tindak pidana yang terdapat di dalam UU Perikanan melainkan dalam sistem pertanggungjawabannya adalah keterkaitan antara undang-undang yang menyangkut pengaturan di bidang kelautan dan pelayaran. Di samping itu diperlukan pendekatan terhadap sistem pertanggungjawaban dilihat dari aspek dampak lingkungan hidup akibat terjadinya pencurian ikan.

2. Diharapkan di dalam meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) pendekatan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yakni penyidik Polri sebagai sub sistem peradilan pidana (criminal justice

system) tidak hanya terfokus kepada pelaku dilapangan yakni Nahkoda dan awak

kapal, melainkan sudah mengarah pada pertanggungjawaban korporasi yakni badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang penangkapan ikan. Di samping itu perlunya koordinasi dengan Kepolisian Negara lain untuk melakukan tindakan kepolisian guna mencegah terjadinya praktek pencurian ikan di wilayah perbatasan.

3. Diharapkan adanya pemahaman PPNS di bidang perikanan menyangkut fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanahkan di dalam undang-undang. Agar penegakan hukum di bidang perikakan dalam berjalan secara terpadu diperlukan tindakan-tindakan pada proses penyidikan secara profesional, misalnya melakukan gelar perkara dengan melibatkan instansi-instansi samping terkait dengan kelautan dan pelayaran.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abidin, AZ., Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983

Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Cet. I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983

Arief, Barda Nawawi, Teori-teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1994

---, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998

---, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999

Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, 2000 ---, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Mandar

Maju, 1995

Armada, Wina, Wajah Hukum Pidana Pers, Cet. I, Jakarta: Kartini, 1989

Bethan, Syamsuharya, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan

Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Sebuah Upaya Penyelematan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Bandung: Alumni, 2008

Fauzi, Akhmad , Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Jakarta , 2005

Fuady, Munir, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003

Hatrik, Hamzah, Azas pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Indonesia (Srict Liability dan Vicarious Liability), Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1996

Hamzah, Andi Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika., 2002

Hasibuan, Rosmi, Penegakan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di

Perairan Indonesia (Suatu Studi Melalui Perairan Belawan Lantamal-I Sumatera Utara), USU Library

Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana


(3)

Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 1988 Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:

Bayumedia, 2006

Irman, Tb., Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Bandung: MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, 2002

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Cet. I, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982

Loqman, Loebby, Kekuasaan kehakiman Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1990

Mann, K.H, Ecology of Coastal Waters: a System Approach, In Anderson, D.J., P. Greic-Smith, and F.A. Pitelka (eds.) Studies in ecology, vol.8. University of California Press, California, 1982

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1980

Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994

Poernomo Bambang, Orientasi Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi. Yogyakarta: Amarta Buku, 1988

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. VI, Bandung: PT. Eresco, 1989

---, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur Bandung, , 1976 Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi di Indonesia, Bandung: CV. Utomo, 2004

R. Dahuri., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: PT. Pramadya Paramita, 1996

---, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB, 2003


(4)

Reksodiputro, Marjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994

Ryther, J.H, Potential productivity of the Sea, Science 130: 602 – 608, 1959 Sahetapy, J.E, Kejahatan Korporasi, Bandung: Penerbit Eresco, 1994

Salam, Faisal, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Pustaka, 2004

Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan

Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 2001

Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 1987/1988

---, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983 Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Garfindo

Persada, 2004

Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2007 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,1986

--- dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

B. Makalah, Jurnal dan Internet

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaikan pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991

Ansory, Lemahnya Penegakan Hukum Trehadap Pelaku Illegal Fishing,

http://www.yahoo.co.id, diakses tanggal 17 Pebruari 2010

Danuri, Bambang Hendarso, Kejahatan Berindikasi Kontijensi, Makalah Transformasi Reformasi Birokrasi Polri, Mabes Polri tanggal 11 Februari 2009


(5)

Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia, Semarang: Makalah dalam rangka HUT FH UNDIP, tanggal 11 Januari 1988

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, perkembangan dan penanggulangan kejahatan Terhadap kekayaan negara dan Kejahatan transnasional, Jakarta september 2008

Nasution, Bismar, Pengkajian Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan

Ekonomi, Medan: Pidato diucapkan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar

Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara di Hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara di Gelanggang Mahasiswa USU, Sabtu 17 April 2004

---, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di

Bidang Kehutanan, Medan: Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister

Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanggal 6 Mei 2004

Sutanto, Peran Polri Untuk Peningkatkan Efektifitas Penerapan UU TPPU, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote Address Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005

Sekolah Pasca Sarjana IPB, Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, Makalah Kelompok 7 Semenster Ganjil 2004 Falsafah Sains (PPS-702) Program Pasca Sarjana S3, November 2004

Sularso, Aji, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, http://www.google.co.id, diakses tanggal 18 Pebruari 2010

http://www.google.co.id, Perairan dan kejahatan perikanan, diakses tanggal 18

Pebruari 2010

Kerugian akibat “Illegal Fishing” Capai Rp 875 Miliar. Sumber: Kompas, 23 Januari 2008

Tekan Illegal Fishing, Dukung Produksi Ikan, Majalah Demersal 2008. 16 April 2008

Menyingkirkan Kapal Asing Demi Nelayan Nusantara. Laporan Utama, Gatra , 17


(6)

C. Peraturan

Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia KUH Pidana