BAGAIMANA BILA SYOK LISTRIK TERJADI

-

-








1)
2)
3)

4)






BAGAIMANA BILA SYOK LISTRIK TERJADI?
Apabila terjadi syok listrik, AC switching segera di off kan/dipadamkan dan semua elektroda
harus dijauhi dari penderita. Penderita dipindahkan dengan menggunakan bahan-bahan isolator agar
petugas dapat terhindar dari bahaya syok. Pengobatan terhadap syok tergantung berat ringannya syok.
Ringan :
Penderita diistirahatkan
Diberi minum dengan air dingin dengan tujuan agar tidak menyebabkan vasodilatasi/pelebaran
pembuluh darah dan berkeringat banyak yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.
Berat :
Penderita ditelentangkan agar mudah bernafas.
Pakaian dibuka/dilonggarkan agar mendapat udara yang cukup, hindari ruang yang panas/pengap
yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah.
Apabila kesadaran menurun dan kegagalan pernafasan dapat dilakukan pernafasan buatan melalui
“mulut ke mulut”, “mulut ke idung” atau beri oksigen melalui kantong udara atau masker.
Kalau terjadi jantung berhenti berdenyut, lakukan mesase jantung.
BAGAIMANA MENGHINDARI SYOK LISTRIK?
Karena bahaya syok sangat fatal, dapat mengakibatkan kematian sehingga dipandang perlu untuk
melakukan tindakan pencegahan meliputi alat-alat yang digunakan, penderita, ruangan, dan petugas.
Terhadap alat listrik yang digunakan :
Alat listrik harus mempergunakan three wire cord/kabel tiga urat dan dihubungkan ke ground sekuat

mungkin.
Segala tombol dan tahanan harus berada pada live (kawat fasa).
Seluruh tombol harus “turn off” dalam posisi mati apabila sudah tidak digunakan dan sterker harus
dicabut dari sumber arus apabila tidak digunakan dalam jangka waktu lama.
Alat pacu jantung atau kateter harus diisolasi dan hindari dari sentuhan logam.
Lakukan prosedur tes secara teratur.
Alat-alat listrik, pipa radiator diletakkan sedemikian rupa sehingga terhindar dari pegangan penderita.
Terhadap penderita :
Jika ada orang yang tersengat listrik, segera hubungi pertolongan medis jika tanda-tanda atau gejalagejala di bawah ini tampak pada korban :
Serangan jantung
Masalah pada irama jantung (arrhythmias)
Kegagalan bernafas
Sakit dan kontraksi pada otot
Epilepsi/ayan
Kesemutan dan rasa geli
Tidak sadar/pingsan
Sementara menunggu pertolongan datang, ikuti langkah-langkah ini:
Lihat dulu, jangan disentuh!
Tubuh korban mungkin masih teraliri listrik. Menyentuh korban akan menjadikan anda korban
berikutnya.

Jika mungkin, matikan sumber listriknya dulu.
Jika tidak bisa, jauhkan sumber listrik dari korban dan penolong dengan menggunakan benda-benda
non konduktif, misalnya kayu atau plastik (pastikan benda-benda tersebut dalam keadaan kering).
Cek tanda-tanda sirkulasi darah pada korban.
Cek pernapasan, batuk atu gerakan tubuh. Jika tidak ada, segera mulai lakukan CPR (tekhnik
menyelamatkan nyawa yang digunakan ketika pernafasan atau detak jantung seseorang terhenti).
Idealnya, CPR terdiri dari dua unsur, Memompa jantung atau disebut juga CPR tangan, dikombinasikan
dengan nafas buatan dari mulut ke mulut.
Cegah syok
Baringkan korban dan jika mungkin posisikan kepala korban sedikit lebih rendah dari pinggang, dan
naikkan kakinya.
Kiat-kiat khusus:
Jangan menyentuh korban dengan tangan kosong jika tubuh korban masih tersentuh arus listrik.
Jangan mendekati kabel-kabel tegangan tinggi sampai aliran listrik benar-benar sudah dimatikan.
Jaga jarak minimal 20 kaki (6 meter) atau bahkan lebih jauh jika kabelnya berlompatan atau
mengeluarkan bunga api.
Jangan memindahkan korban kecuali jika korban masih terancam bahaya bila berada di tempatnya
semula.

-


Terhadap ruangan :
Lantai ruangan terbuat dari bahan tanpa penghantar listrik atau dipasang karpet karet.
Ruangan harus sekering mugkin.
Terhadap petugas :
Diberi pendidikan keterampilan tentang penggunaan alat-alat listrik.
Pendidikan terhadap bahaya syok dan tekhnik proteksi yang baik.
CPR ABC to ‘CAB’ New AHA guidlines for resuscitation
Thursday, 11 November 2010 22:48 administrator
American Heart Association (AHA) telah mengeluarkan panduan
Resusitasi Jantung paru (RJP) secara periodik sejak tahun 1966 hingga
sekarang. Publikasi panduan AHA tahun 2010 ini mengangkat banyak
perhatian karena mengeluarkan sebuah perubahan standarisasi
algoritma baru terutama untuk BLS yang cukup berbeda dari publikasi
tahun 2005 yang telah dipakai secara universal dalam berbagai elemen.
Basic Life Support (BLS)
BLS adalah pilar dasar pertolongan pertama henti jantung. Aspek
penting dalam BLS adalah pengenalan dini terhadap henti jantung dan
mengaktivasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, RJP dini
yang berkualitas, penggunaan alat defibrilasi otomatis sesuai dengan

indikasi.

Gambar 1. Chain of Survival3
Perubahan yang terlihat adalah pada algoritma Basic Life Support (BLS)
umum untuk dewasa dan anak (terkecuali neonatus), yaitu urutan “A-BC” (Airway, Breathing, Chest compression) yang telah lama digunakan
kini berubah menjadi “C-A-B” (Chest compression, Airway, Breathing).
Rekomendasi ini berdasarkan studi analisis komprehensif dari literatur
mengenai resusitasi yang pernah dipublikasikan. Proses ini berlangsung
selama 36 bulan, didalamnya terdapar 356 ahli resusitasi dari 29 negara
yang telah menganalisa, mengevaluasi, mendebatkan dan
mendiskusikan hal tersebut.
Alasan untuk perubahan tersebut adalah :
• Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka
keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang
dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF)
atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut
elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest
compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation).
• Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali
tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk

memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau
alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka
kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit
tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal
dilakukan sekitar 18 detik).

• Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan
RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini
namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway
adalah prosedur yang kebanyakan orang umum temukan paling sulit.
Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan
prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP.
Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut
setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS bagi
korban dewasa yaitu sederhana untuk penolong non petugas kesehatan
dan khusus untuk petugas kesehatan. Berikut algoritma terbaru dan
penjelasannya.
Algoritma sederhana ini diperuntukan untuk semua penolong untuk

mempelajari, mengingat, dan mempraktekkan.
Pengenalan dini. Jika seorang penolong menemukan korban dewasa
yang tidak ada respon (tidak ada pergerakan atau respon terhadap
stimulus luar) atau melihat korban tiba-tiba jatuh pingsan, maka
penolong harus memastikan keamanan tempat kejadian lalu mengecek
respon dengan menepuk bahu korban selagi meneriakkan nama korban.
Jika penolong lebih dari satu orang maka langkah-langkah dalam
algoritma ini dapat dilakukan bersamaan dan sinergis.
Aktivasi sistem respon darurat. Penolong sebaiknya mengaktivasi sistem
respon darurat yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang
mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, hal ini dapat beruba
menghubungi rumah sakit, polisi, atau instansi terkait. Penolong non
petugas kesehatan harus siap menerima instruksi dan melakukannya.2
Jika melihat korban tidak berespon dan dan tidak bernapas atau hanya
sesak terengah-engah maka penolong dapat mengasumsikan bahwa
korban mengalami henti jantung.
Pemeriksaan denyut nadi. Riset menunjukkan bahwa terdapat kesulitan
dalam pemeriksaan denyut nadi korban baik dilakukan oleh penolong
non petugas ksesehatan ataupun petugas kesehatan sehingga dapat
membuang waktu yang berharga. Karena hal tersebut maka terdapat

dua rekomendasi baru yaitu :
• Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk
memeriksa denyut nadi korban, penolong sebaiknya berasumsi bahwa
korban mengalami henti jantung jika melihat gejala yang disebutkan
diatas.
• Untuk petugas kesehatan, pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak
lebih dari 10 detik jika lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan
denyut nadi yang definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP
dengan kompresi dada.
Resusitasi Jantung Paru dini. Berbeda dengan panduan BLS AHA 2005,
kompresi dada dilakukan terlebih dahulu sebelum adanya dua kali
ventilasi awal sehingga membentuk algoritma “C-A-B”. Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik). Untuk
mendapatkan kompresi dada yang efektif dalam algoritma tersebut
terdapat dua kata kunci yaitu “push hard, push fast” yang berarti
“tekan kuat, tekan cepat” hal ini memudahkan penolong non petugas
kesehatan dalam melakukan kompresi seefektif mungkin. Dalam RJP
yang efektif, kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100
kompresi/menit dengan kedalaman sekitar 5 cm (2 inchi). Lokasi
kompresi dilakukan pada tengah dada pasien.


Setelah kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus dilanjutkan
dengan ventilasi mulut ke mulut sebanyak dua kali ventilasi. Hal yang
perlu diperhatikan adalah berikan jarak 1 detik antar ventilasi,
perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang
masuk adekuat, dan perbandingan kompresi dan ventilasi untuk satu
siklus adalah 30 : 2.
Pengunaan alat defibrilasi otomatis. Algoritma diatas menunjukan
adanya langkah terpisah untuk mendapatkan alat defibrilasi otomatis.
Jika hanya terdapat satu penolong maka sebaiknya setelah mengaktivasi
sistem darurat, penolong diharapkan mencari alat defibrilasi otomatis
(jika tersedia dan dekat) lalu kembali ke korban untuk melakukan RJP.
Jika ada lebih dari satu penolong maka langkah tersebut dilakukan
bersamaan.2
Tipe strategi RJP. Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan
pada penolong sesuai dengan keadaannya.
Pertama, untuk penolong non petugas kesehatan yang tidak terlatih,
mereka dapat melakukan strategi “Hands only CPR” (hanya kompresi
dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga petugas kesehatan
hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.

Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka
dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan
ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan hingga
petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada sebanyak
satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 :
2. Lakukan hal tersebut hingga advanced airway tersedia, kemudian
lakukan kompresi dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan
ventilasi setiap 6-8 detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas
kesehatan penting untuk mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan
penyebab paling mungkin yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika
melihat seseorang yang tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat
berasumsi bahwa korban mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas
kesehatan mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan tidak
bernapas atau hanya sesak terengah-engah, maka petugas sebaiknya
mengaktifasi sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari
dan menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan
melakukan RJP. Namun jika petugas menemukan korban tenggelam atau
henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-BC) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem
respon darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab

arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya
dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang
diketahui.
Untuk petugas kesehatan, prinsip dasar langkah-langkah algoritma
tetap sama dengan yang sederhana.
Pengenalan dini. Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak
responsive maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat
kejadian dan memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan
teriakkan nama korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas
atau terengah-engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban,
erangan atau gerakan. Korban yang tidak responsif serta tidak ada
nafas atau hanya terengah-engah maka petugas kesehatan dapat

mengasumsi bahwa korban mengalami henti jantung.
Aktivasi sistem darurat. Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon
darurat yang dalam hal ini berarti menghubungi institusi yang
mempunyai fasilitas/layanan gawat darurat, contohnya menghubungi
rumah sakit, polisi, atau instansi terkait.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal yang
tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :
• Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel,
listen”. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan
alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat
disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional maupun
bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering
kali terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai
pernafasan yang adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa pernafasan
dengan “look, feel, listen” dan direkomendasikan untuk menganggap
pernafasan terengah sebagai tidak ada pernafasan.
• Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan,
pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika lebih
dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang definitive maka
petugas sebaiknya memulai RJP.
Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk meminimalisir
waktu untuk memulai RJP.
Resusitasi Jantung Paru dini. Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP
dengan algoritma “C-A-B” . Lakukan kompresi dada sebanyak 30
kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria penting untuk mendapatkan
kompresi yang berkualitas adalah :
• Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit.
• Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm),
sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anteriorposterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2
inchi (5 cm).
• Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila perlu dengan
bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang diinginkan sehingga
dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi yang efektif selama tidak
memakan waktu).
• Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.
• Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.
• Menghindari ventilasi berlebihan.
• Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian
setiap 2 menit.
Setelah itu melakukan langkah Airway dan Breathing. Kriteria peting
pada Airway dan Breathing adalah :
• Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Namun
jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas
melalui jaw thrust.
• Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi
dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada
korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.

Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
• Pastikan hidung korban terpencet rapat
• Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
• Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
• Berikan satu ventilasi tiap satu detik
• Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama
satu detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan
kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau
sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2
menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus
dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas
kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk
pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan
setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan
program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat

diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak
dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme.
Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life
Support ) datang, atau korban mulai bergerak.
Posisi mantap. Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada
korban tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik. Tidak
ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang stabil dan hamper
lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan yang berada lebih bawah ke
kepala sembari mengarahkan kepala menuju tangan dan menekuk kedua kaki
menunjukan banyak manfaat.2