Syok Kardiogenik

(1)

SYOK KARDIOGENIK

REFFARAT

Oleh

YUKE SARASTRI

NIM : 097115006

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN

VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 3

1.2 Tujuan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ... 5

2.2. Insidensi ... 5

2.3. Etiologi ... 6

2.4. Patofisiologi ... 8

2.4.1. Efek Sistemik ... 8

2.4.2. Patofisiologi Miokard ... 9

2.4.3. Disfungsi Miokard Reversibel ... 10

2.5. Gambaran Klinis ... 11

2.6. Penatalaksanaan ... 13

2.7. Penatalaksanaan Pada Kondisi Khusus ... 19

BAB III KESIMPULAN ... 22


(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan dimana perfusi jaringan tidak adekuat akibat dari disfungsi jantung, yang paling umum diakibatkan oleh infark miokard akut.1

Syok kardiogenik digambarkan sebagai suatu disfungsi miokard berat dengan hiposirkulasi sistemik atau perfusi jaringan yang tidak memadai (hipoksia jaringan secara umum) dalam keadaan volum vaskuler dan seluler yang memadai disertai juga dengan disfungsi maupun kegagalan multi organ.

Perkiraan insidensi syok kardiogenik bervariasi dari 5% sampai 10% pada penderita dengan infark miokard. Angka mortalitas penderita dengan syok kardiogenik masih tinggi, bervariasi antara 50% sampai 80%. Namun angka insidensi yang tepat masih sulit didapatkan karena banyaknya penderita yang meninggal sebelum mencapai rumah sakit tidak mendapatkan diagnosis yang tepat.

2

1

The Worcester Heart Attack Study, suatu studi analisis berbasis komunitas, menemukan insidensi syok kardiogenik sebesar 7.5%, angka insidensi ini tetap stabil dari tahun 1975 sampai 1988. Pada trial GUSTO-1, ankga insidensi syok kardiogenik sebesar 7.2%, angka yang serupa dijumpai pada studi-studi trombolitik multisenter lainnya.

1

Kunci untuk mendapatkan hasil yang baik adalah pendekatan terpadu termasuk penegakan diagnosis yang cepat dan penatalaksanaan awal untuk menjaga tekanan darah dan curah jantung. Revaskularisasi koroner yang cepat merupakan hal yang penting. Jika tersedia, kateterisasi jantung emergensi dan angioplasti dapat memberikan angka keselamatan yang lebih baik.


(4)

1.2.Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas lebih lanjut pengertian, patofisiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksaan dari suatu syok kardiogenik sehingga pembaca diharapkan dapat lebih waspada serta dapat memberikan penatalaksanaan yang maksimal dalam menghadapi kasus-kasus syok kardiogenik yang mungkin dijumpai.


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi

Defenisi klinis dari syok kardiogenik adalah adanya penurunan curah jantung dan adanya bukti hipoksia jaringan pada keadaan volum intravaskular yang memadai. Kriteria hemodinamik antara lain adanya hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg sedikitnya 30 menit) dan adanya penurunan cardiac index (< 2.2 L/menit/m2) dengan peningkatan PCWP (> 15 mmHg).

Diagnosis syok sirkulasi ditegakkan dengan pemantauan adanya hipotensi dan tanda-tanda klinis yang mengindikasikan adanya perfusi jaringan yang buruk, termasuk oliguri, penurunan kesadaran (clouded sensorium), dan ekstremitas yang dingin serta berbintik. Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan setelah didapatkan bukti disfungsi miokard dan faktor-faktor lain seperti hipovolum, hipoksia dan asidosis telah disingkirkan.

1,2,4,5

1,5

2.2. Insidensi

Perkiraan terhadap insidensi syok kardiogenik bervariasi antara 5% sampai 10% pada penderita dengan infark miokard. Angka insidens yang tepat sulit untuk diukur karena banyaknya penderita yang meninggal sebelum sampai ke RS tidak terdiagnosis dengan tepat. Sebaliknya, pemantauan awal dan agresif pada syok kardiogenik dapat meningkatkan secara nyata insidensi syok kardiogenik. The Worcester Heart Attack Study, suatu analisis berbasis komunitas, menemukan angka insidens syok kardiogenik sebesar 7.5%; angka ini tetap stabil dari tahun 1975 sampai 1988. Pada studi GUSTO-1, angka insidensi sebesar 7.2%, angka yang serupa dijumpai pada studi trombolitik multisenter lainnya.1,8


(6)

Setelah beberapa puluh tahun kestabilan isidensi syok kardiogenik, terlihat angka insiden menurun sejalan dengan meningkatnya rerata penggunaan PCI primer untuk infark miokard akut. Syok kardiogenik tetap merupakan komplikasi dari infark miokard akut STE sebesar 5% sampai 8% dan 2.5% pada kasus IMA non STE.3

2.3. Etiologi

Penyebab paling umum terjadinya syok kardiogenik adalah infark miokard akut yang luas, meskipun infark kecil pada penderita dengan gangguan fugsi ventrikel kiri sebelumnya juga dapat mencetuskan terjadinya syok. Syok yang memiliki onset yang terlambat dapat merupakan hasil dari perluasan infark, reoklusi dari arteri yang pernah infark sebelumnya, ataupun dekompensasi dari fungsi miokard pada daerah non infark akibat gangguan metabolik. Penting untuk diketahui bahwa area yang luas dari miokard yang tidak fungsional namun viabel dapat juga menyebabkan atau memiliki peran terhadap perkembangan syok kardiogenik setelah infark miokard.

Syok kardiogenik juga dapat disebabkan oleh komplikasi mekanik; seperti regurgitasi mitral akut, ruptur septum intraventrikular, atau ruptur free wall; maupun oleh infark ventrikel kanan luas. Penyebab lain syok kardiogenik termasuk miokarditis, kardiomiopati stadium akhir, kontusio miokard, syok sepsis dengan depresi miokard berat, disfungsi miokard setelah bypass kardiopulmonal yang berkepanjangan, penyakit jantung katup, dan kardiomiopati obstruktif hipertrofi.

1,3


(7)

Tabel 1. Penyebab syok kardiogenik.1

Penderita dapat mengalami syok kardiogenik sejak saat masuk RS, namun syok sering kali berkembang dalam beberapa jam setelahnya. Pada studi registri SHOCK (Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Shock), 75% penderita mengalami syok kardiogenik dalam 24 jam setelah presentasi awal, median keterlambatan yaitu 7 jam dari onset infark. Hasil dari studi GUSTO (Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen Activator for Occuded Arteries) juga serupa, dimana hasilnya menyatakan dari penderita dengan syok, 11% sudah mengalami syok pada saat kedatangan, dan 80% berkembang menjadi syok setelah masuk rawatan.

Diantara penderita dengan infark miokard, syok lebih sering berkembang pada penderita-penderita dengan usia tua, diabetes melitus, dan memiliki infark anterior. Penderita syok kardiogenik juga lebih sering memiliki riwayat infark sebelumnya, penyakit vaskular perifer, dan penyakit serebrovaskuler. Ejeksi fraksi yang menurun dan infark yang lebih luas juga merupakan prediktor terhadap perkembangan menjadi syok kardiogenik.

1,7,8

Syok kardiogenik paling sering dihubungkan dengan infark miokard anterior. Pada trial SHOCK, 55% merupakan infark anterior, 46% inferior, 21%


(8)

posterior, dan 50% pada lokasi yang multipel. Hasil angiografi sering menunjukkan penyakit koroner multivessel. Hal ini merupakan hal yang penting sebab, kompensasi hiperkinesis secara normal terjadi pada segmen miokard yang tidak terlibat pada infark miokard akut, dimana respon ini membantu menjaga curah jantung. Kegagalan dalam mendapatkan respon tersebut akibat dari infark sebelumnya ataupun stenosis koroner derajat tinggi, merupakan faktor resiko penting terhadap kejadian syok kardiogenik dan kematian.1

2.4. Patofisiologi 2.4.1. Efek Sistemik

Disfungsi jantung pada penderita syok kardiogenik umumnya diawali dengan infark miokard atau iskemi miokard. Disfungsi miokard terjadi akibat dari perburukan iskemia sehingga menghasilkan spiral mengarah ke bawah. Ketika massa ventrikel kiri mengalami iskemik atau nekrotik dan mengalami kegagalan untuk memompa, volum sekuncup dan curah jantung menurun. Perfusi miokard, yang bergantung kepada gradien tekanan antara sistem arterial koroner dan ventrikel kiri pada durasi diastol, mengalami gangguan oleh hipotensi dan takikardi. Sebaliknya, hal ini semakin memperburuk iskemik. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang disebabkan oleh kegagalan pompa semakin menurunkan tekanan perfusi koroner, dan wall stress akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang akan semakin mengakibatkan iskemik. Penurunan curah jantung juga mempengaruhi perfusi sistemik, yang dapat menghasilkan asidosis laktat dan lebih jauh mempengaruhi kema mpuan sistolik.

Ketika fungsi miokard mengalami penekanan, terjadi pengaktifan beberapa mekanisme kompensasi, termasuk stimulasi simpatetik untuk meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas serta retensi cairan pada ginjal untuk meningkatkan preload. Mekanisme kompensasi ini dapat menjadi maladaptif dan dapat memperburuk situasi ketika terjadi syok kardiogenik. Peningkatan denyut jantung an kontraktilitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan memperburuk iskemik. Retensi cairan dan gangguan


(9)

pengisian diastolik yang disebabkan takikardi dan iskemi dapat menghasikan kongesti pulmonal dan hipoksia. Vasokonstriksi untuk menjaga tekanan darah dapat meningkatkan afterload miokard, lebih jauh dapat mempengaruhi kemampuan kardiak dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kebutuhan yang meningkat pada keadaan perfusi yang tidak memadai, dapat memperburuk iskemia dan menghasilkan suatu siklus yang akan berujung pada kematian apabila siklus tersebut tidak diatasi.1

Gambar 1. Spiral mengarah ke bawah pada syok kardiogenik.1,2

2.4.2.Patologi Miokard

Syok kardiogenik dikarakteristikkan dengan adanya disfungsi baik sistolik maupun diastolik. Penderita yang mengalami syok setelah masuk RS sering kali memiliki perluasan infark, yang dapat terjadi akibat reoklusi, perburukan trombus intrakoroner, ataupun kombinasi dari penurunan tekanan perfusi koroner dan penigkatan kebutuhan oksigen miokard. Miosit pada zona border dari area infark lebih mudah mengalami episode iskemik tambahan, sehingga segmen-segmen ini memiliki resiko. Perluasan infark mekanik, yang terlihat lebih dramatis setelah


(10)

serangan infark miokard anterior luas, dapat juga berpengaruh terhadap perkembangan lanjut terhadap syok kardiogenik.

Iskemia yang jauh dari daerah infark dapat juga memiliki pengaruh penting terhadap disfungsi sistolik pada penderita syok kardiogenik. Hipotensi dan gangguan metabolik dapat mengganggu kontraktilitas pada miokard yang tidak terkena infark pada penderita dengan syok. Hal ini dapat membatasi hiperkinesis dari segmen yang tidak terlibat, sehingga mekanisme kompensasi dapat terlihat segera setelah infark miokard.

1

Fungsi diastolik miokard juga dapat terganggu pada penderita syok kardiogenik. Iskemik miokard menyebabkan penurunan compliance, meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri pada volum diastolik akhir. Terjadi peningkatan pada volum ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi untuk menjaga volum sekuncup, yang lebih jauh dapat meningkatkan tekanan pengisian. Peningkatan tekanan ventrikel kiri dapat berujung pada edema paru dan hipoksemia.

3

1

2.4.3. Disfungsi Miokard Reversibel

Area yang luas dari miokard yang tidak berfungsi namun viabel dapat juga memiliki peran terhadap perkembangan terjadinya syok kardiogenik pada penderita setelah mengalami serangan infark miokard. Disfungsi yang reversibel ini dapat dijelaskan melalui dua kategori: stunning dan hibernation.

Myocardial stunning menunjukkan disfungsi post iskemik yang bertahan meskipun telah mendapatkan kembali aliran darah yang normal; bagaimanapun, akhirnya kemampuan miokard dapat kembali secara komplit. Patogenesis dari stunning belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun sepertinya memiliki hubungan terhadap kombinasi dari stres oksidatif, gangguan homeostasis kalsium, dan penurunan reaksi miofilamen terhadap kalsium, yang seluruhnya mendahului iskemia.

1

1

Hybernating myocardium merupakan suatu keadaan dimana miokard mengalami gangguan fungsi secara persisten pada saat istirahat akibat adanya penurunan aliran darah koroner secara hebat, dan tidak terpisahkan dengan


(11)

defenisi miokard yang tidur yaitu bahwa fungsinya dapat menjadi normal kembali setelah memperbaiki aliran darah. Hibernasi dapat dilihat sebagai respon adaptif untuk menurunkan fungsi kontraksi dari miokardium yang hipoperfusi dan untuk mengembalikan keseimbangan antara aliran dan fungsi, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemia atau nekrosis. Revaskularisasi dari miokardium yang hibernasi dapat berujung terhadap perbaikan fungsi miokard sehingga dapat memperbaiki prognosis.

Meskipun hibernasi dan stunning berbeda secara konsep dan patofisiologi, kedua kondisi ini sulit dipisahkan pada keadaan klinis dan bahkan saling mendukung satu sama lain. Episode berulang dari stunning miokard dapat bersamaan maupun menyerupai hibernasi miokard. Miokard stunning dan hibernasi pada penderita dengan syok kardiogenik merupakan hal yang vital, karena implikasi terapinya pada kondisi ini. Hibernasi miokard dapat menjadi lebih baik dengan revaskularisasi, dan stunning miokard dapat memberikan respon terhadap stimulasi inotropik.

1

1

2.5. Gambaran Klinis

Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan emergensi. Seorang klinisi harus dapat melakukan evaluasi segera sebelum syok merusak organ vital secara ireversibel, pada saat yang sama, klinisi harus melakukan penilaian klinis yang dibutuhkan untuk mengetahui penyebab terjadinya syok dan target terapi terhadap penyebab tersebut. Dilakukan pendekatan praktik untuk mendapatkan evaluasi inisial secara cepat dengan anamnesis yang terbatas, pemeriksaan fisik, dan prosedur diagnostik spesifik.

Secara umum, diagnosis syok kardiogenik ditegakkan dengan adanya tanda-tanda klinis hipoperfusi, nyeri dada iskemik, analisis enzim jantung dan EKG. Syok kardiogenik dapat ditegakkan setelah adanya dokumentasi dari disfungsi miokard, dan telah disingkirkan penyebab hipotensi lainnya, seperti hipovolemia, perdarahan, sepsis, emboli paru, tamponade, diseksi aorta, dan adanya penyakit valvular. Aspek penting pada penegakan diagnosis syok kardiogenik adalah identifikasi hipoperfusi pada keadaan disfungsi kardiak.


(12)

Berikut ini merupakan beberapa tanda dan tampilan yang menunjukkan adanya hipoperfusi organ atau jaringan, yaitu: pucat, perifer dingin, ekstremitas berbintik-bintik, gangguan kesadaran, penurunan produksi urin / oliguria ( < 30 ml/jam atau < 0.5 ml/kg/jam selama > 2 jam), nadi lemah, hipotensi arterial. Distensi vena jugular dan rhonki paru biasanya dapat dijumpai, meskipun ketiadaan hal tersebut tidak menyingkirkan diagnosis syok kardiogenik. Diagnosis syok kardiogenik harus dipertimbangkan pada setiap penderita yang menunjukkan gejala hipotensi yang tidak dapat dijelaskan dan atau curah jantung yang rendah, gangguan kesadaran yang tidak dapat dijelaskan, dan kongesti paru yang tidak dapat dijelaskan.

Dorongan prekordial yang dihasilkan dari diskinesis ventrikel kiri dapat dijumpai pada palpasi. Suara jantung mungkin mejauh, dan suara jantun tiga dan empat, atau keduanya, biasanya dapat dijumpai. Murmur sistolik dari regurgitasi mitral atau defek septal ventrikular dapat dijumpai, namun kompllikasi-komplikasi ini dapat juga terjadi tanpa adanya murmur yang terdengar.

1,2,5

1

Pemeriksaan elektrokardiografi harus dilakukan segera, pemeriksaan diagnostik inisial lainnya juga dapat segera dilakukan seperti radiografi dada dan pemeriksaan analisa gas darah, elektrolit, darah lengkap, serta enzim jantung. Gambaran EKG yang normal dapat langsung diekslusikan sebagai kemungkinan syok kardiogenik yang disebabkan oleh miokard infark.

Sebagai tambahan, pemeriksaan ekokardiografi sangat penting pada pemeriksaan awal untuk seluruh penderita yang mengalami syok, dan harus dilakukan secepat mungkin. Ekokardiografi dapat menyediakan informasi mengenai fungsi sistolik secara umum dan dapat menuju pada penegakan diagnosis cepat untuk syok yang disebabkan oleh mekanikal, seperti ruptur muskulus papilaris dan regurgitasi mitral akut, defek septum ventrikular akut, dan ruptur free-wall dan tamponade. Regurgitasi mitral berat yang tidak diduga tidak jarang dijumpai pada beberapa kasus, ekokardiografi dapat menunjukkan temuan yang cocok dengan infark ventrikel kanan.

2

Pemantauan hemodinamik invasif dapat berguna untuk menyingkirkan deplesi volum, infark ventrikel kanan, dan komplikasi mekanik. Profil hemodinamik dari syok kardiogenik termasuk PCWP > 15 mmHg dan cardiac


(13)

index < 2.2 L/menit/m2. Harus dikenali bahwa tekanan pengisian optimal dapat lebih dari 15 mmHg pada pasien tertentu karena disfungsi diastolik ventrikel kiri. Penyadapan jantung kanan dapat menunjukkan “step up” pada saturasi oksigen yang merupakan diagnostik terhadap ruptur septum ventrikular atau adanya v-wave yang besar yang mengesankan adanya regurgitasi mitral berat. Profil hemodinamik dari infark ventrikel kanan termasuk tekanan pengisian sisi kanan yang tinggi pada PCWP yang normal atau rendah.

Pada saat identifikasi pasien dengan status pre-syok, atau syok non-hipotensi merupakan nilai spesial untuk meberikan intervensi terapeutik dan mencegah perburukan. Tanda-tanda klinis dari hipoperfusi secara kuat dihubungkan dengan peningkatan mortalitas. Hipoperfusi merupakan suatu penanda dari kegagalan hemodinamik yang akan datang, dan takikardi ( HR > 90/menit) pada keadaan ini harus diinterpretasikan sebagai suatu gejala pre-syok dan bukan sebagai suatu respon terhadap curah jantung yang rendah dan selanjutnya tonus simpatetik yang meningkat. Perhatian terutama pada penderita dengan MI anterior dan perlu diingat bahwa sampai 30% penderita dengan MI akan berkembang menjadi syok kardiogenik yang terlambat (sampai hari 5) pada perjalanan penyakitnya, dan memiliki prognosis yang sangat buruk.

1

2

Pada situasi seperti ini, pemilihan obat-obatan harus dilakukan secara berhati-hati. Penggunaan β-bloker, yang secara umum memiliki indikasi pada MI, dapat mempercepat perkembangan syok pada penderita ini. Sebagai tambahan, aktivasi dari sistem renin-angiotensin sebagai kompensasi yang mungkin dapat menyelamatkan jiwa sebaiknya tidak dinetralkan dengan pemberian ACE-inhibitor.2

2.6. Penatalaksanaan

Beberapa publikasi telah menunjukkan pendekatan terapi terbaik terhadap syok kardiogenik yang diakibatkan IMA, penyebab terbanyak syok kardiogenik. Baik studi randomisasi retrospektif maupun prospektif telah menunjukkan bukti bahwa pendekatan invasif (revaskularisasi emergensi oelh PCI maupun operasi dengan atau tanpa terapi trombolitik sebelumnya) memberikan keuntungan.


(14)

Efeknya serupa baik syok kardiogenik yang muncul pada saat masuk RS maupun pada onset terlambat. Mortalitas di RS dapat menurun dari 75% (pada pembuluh darah yang oklusi) hingga 33% (pada pembuluh darah yang direvaskularisasi dengan PCI). Ketika revaskulariasi emergensi dikombinasikan dengan Intra Aortic Balloon Pump (IABP), keuntungannya meningkat dengan penurunan mortalitas sampai 13% setelah follow-up satu tahun dibandingkan pada penderita yang menerima terapi obat-obatan saja.

Pendekatan inisial terhadap penderita dengan syok kardiogenik harus termasuk resusitasi cairan kecuali dijumpai edema paru. Akses arteri dan vena sentral, kateter urin, dan oksimetri nadi merupakan hal yang rutin. Oksigenasi dan proteksi jalan nafas merupakan hal yang penting, intubasi dan ventilasi mekanik sering dibutuhkan hanya jika diperlukan untuk menurunkan kerja pernafasan dan memfasilitasi sedasi dan stabilisasi sebelum kateterisasi jantung. Apabila dijumpai gangguan elektrolit harus segera diperbaiki. Hipokalemia dan hipomagnesium merupakan faktor pencetus terhadap aritmia ventrikular, serta asidosis dapat menurunkan fungsi kontraktilitas. Pengurangan rasa nyeri dan ansietas dengan morfin sulfas dapat menurunkan aktivitas simpatis yang berlebihan dan menurunkan kebutuhan oksigen, preload, dan afterload. Aritmia dan blok jantung dapat mempengaruhi curah jantung dan harus dikoreksi dengan segera menggunakan obat-obatan antiaritmia, kardioversi, maupun pacu jantung.

2

Pada penderita dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volum intravaskular yang mencukupi, sokongan kardiovaskular dengan agen inotropik harus dimulai. Dobutamin, reseptor selektif β-agonis adrenergik, dapat memperbaiki kontraktilitas miokard dan meningkatkan curah jantung tanpa mengakibatkan perubahan denyut jantung maupun resistensi vaskular sistemik secara bermakna, ini merupakan pilihan agen utama pada penderita dengan tekanan sistolik > 80 mmHg. Dobutamin dapat memperburuk hipotensi dan dapat mencetuskan takiaritmia pada beberapa penderita. Dopamin bekerja secara langsung pada reseptor miokard β1-adrenergik dan bekerja tidak langsung dengan melepaskan norepinephrin. Dopamin memiliki efek inotropik dan vasopresor, dan penggunaannya lebih dipilih pada keadaan tekanan sistolik < 80 mmHg. Takikardi dan peningkaan resistensi perifer dengan penggunaan dopamin dapat


(15)

memperburuk iskemik miokard. Pada beberapa kasus penggunaan kombinasi dopamin dan dobutamin dapat lebih efektif daripada masing-masing agen sendiri. Ketika hipotensi tetap bertahan, dapat diberikan norepinefrin; katekolamin alami dengan efek α dan β-adrenergik yang kuat; untuk menjaga tekanan perfusi organ.

Inhibitor fosfodiesterase amrinone dan milrinone memiliki efek inotropik positif dan aksi vasodilator. Mereka memiliki waktu paruh yang panjang dan dapat menyebabkan hipotensi dan trombositopenia, sehingga, mereka digunakan hanya jika agen-agen lain sudah terbukti tidak efektif. Karena mereka tidak menstimulasi reseptor adrenergik secara langsung, mereka dapat efektif ketika ditambahkan dengan katekolamin atau ketika reseptor β-adrenergik telah diturunkan. Dibandingkan dengan katekolamin, inhibitor fosfodiesterase memiliki efek kronotropik dan aritmogenik yang lebih minimal.

1

Diuretik harus digunakan dalam penatalaksanaan terhadap kongesti pulmonal dan memperbaiki oksigenasi. Vasodilator digunakan dengan perhatian yang khusus pada keadaan akut karena resikonya yang dapat mencetuskan hipotensi lebih jauh dan menurunkan aliran darah koroner. Setelah tekanan darah stabil, bagaimanapun terapi vasodilator dapat menurunkan baik preload dan afterload. Nitrogliserin merupakan vasodilator yang efektif yang dapat menurunkan PCWP dan dapat menurunkan iskemia dengan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan mengembalikan aliran darah koroner ke daerah yang iskemik. Agen tersebut dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara cepat dan akut, dan dosisnya harus dititrasi secara hati-hati, pemantauan hemodinamik secara invasif dapat berguna dalam mengoptimalkan tekanan pengisian ketika agen ini digunakan.

1,9

1

2.6.1. Terapi Trombolitik

Meskipun telah ditunjukkan dengan yakin bahwa terapi trombolitik menurunkan angka mortalitas pada penderita infark miokard akut, keuntungan terapi ini pada penderita syok kardiogenik kurang pasti. Sudah jelas bahwa terapi trombolitik dapat menurunkan kecenderungan perkembangan selanjutnya terjadinya syok setelah presentasi awal. Hal ini menjadi hal yang penting karena


(16)

kebanyakan pasien mengalami syok kardiogenik lebih dari 6 jam setelah datang ke RS. Jika tidak dijumpai kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan kepada penderita dengan IMA-STE dengan syok kardiogenik yang tidak sesuai sebagai kandidat untuk mendapatkan terapi PCI atau CABG. (Kelas I, Level B).

Meskipun demikian, tidak ada suatu trial yang telah menunjukkan bahwa terapi trombolitik menurunkan angka mortalitas pada penderita yang sudah mengalami syok kardiogenik. Jumlah penderitanya kecil karena kebanyakan trial trombolitik mengekslusikan penderita dengan syok kardiogenik pada saat masuk. Pada trial GUSTO, 315 pasien menderita syok pada saat kedatangan, angka mortalitas sebesar 56% pada penerita yang diterapi dengan streptokinase dan 59% pada penderita yang diterapi dengan rTPA.

1,10

Kegagalan terapi trombolitik untuk memperbaiki angka keselamatan pada penderita dengan syok kardiogenik terlihat berlawanan dengan bukti bahwa penurunan absolut angka mortalitas yang dihasilkan dari penggunaan agen trombolitik paling baik pada penderita yang memiliki resiko tertinggi pada saat presentasi awal. Suatu metaanalisis yang dilakukan oleh Fibrinolytic Therapy Trialists Collaborative Group menunjukkan penurunan angka mortalitas dari 36.1% sampai 29.7% ketika terapi trombolitik digunakan pada penderita dengan tekanan darah sistolik inisialnya kurang dari 100 mmHg. Pada penderita dengan denyut jantung inisial lebih dari 100 kali/menit, angka mortalitas menurun dari 23.8% sampai 18.9%. namun bagaimanapun, kebanyakan penderita pada subgrup ini tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik.

1,7

Alasan mengapa efikasi trombolitik menurun pada penderita dengan syok kardiogenik tidak sepenuhnya dimengerti namun mungkin termasuk faktor hemodinamik, mekanik, dan metabolik. Penurunan tekanan arterial membatasi masuknya agen trombolitik ke dalam trombus. Kolaps pasif dari arteri yang infark pada keadaan hipotensi dapat juga berhubungan dengan penurunan efikasi trombolitik, begitu juga dengan asidosis, yang menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin.

1


(17)

2.6.2. Intra-Aortic Balloon Pumping

IABP menurunkan afterload sistolik dan memperbesar tekanan perfusi diastolik, meningkatkan curah jantung dan memperbaiki aliran darah koroner. Pemilihan waktu yang akurat pada saat inflasi dan deflasi menghasilkan suport yang optimal. Efek menguntungkan ini, berbeda dengan agen-agen inotropik atau vasopresor, terjadi tanpa adanya peningkatan kebutuhan oksigen. IABP bermanfaat untuk stabilisasi awal pada penderita syok kardiogenik. IABP mungkin bukan merupakan terapi terbaik sebagai metode independen untuk memperbaiki syok kardiogenik. Bagaimanapun, IABP dapat menjadi mekanisme penyokong yang penting agar terapi defenitif dapat diberikan. Penggunaan IABP dapat bermanfaat pada penderita syok kardiogenik akibat IMA-STE yang tidak bisa mendapatkan stabilisasi segera dengan terapi farmakologi (Kelas IIa, Level B).

Pada trial GUSTO, penderita yang mengalami syok dan segera mendapatkan pemasangan IABP menunjukkan tren terhadap angka mortalitas yang lebih rendah, bahkan setelah disingkirkan penderita yang menjalani revaskularisasi. Tren yang serupa juga terlihat pada trial regsitri SHOCK, meskipun hal ini tidak tetap setelah adanya penyesuaian terhadap usia dan kateterisasi. IABP telah menunjukkan dapat menurunkan reoklusi dan cardiac events setelah angioplasti emergensi untuk infark miokard akut. Tidak semua penderita memiliki respon hemodinamik terhadap IABP, respon terhadap IABP meramalkan outcome yang lebih baik.

1,3,10

Pada RS tanpa kemampuan angioplasti, stabilisasi dengan menggunakan IABP dan trombolitik diikuti dengan merujuk pasien ke fasilitas perawatan tersier merupakan pilihan manajemen terbaik. IABP mungkin merupakan terapi tambahan yang sangat berguna sebelum trombolisis pada keadaan ini dengan meningkatkan deliveri obat ke trombus, memperbaiki aliran koroner ke regio lain, mencegah kejadian hipotensi, sampai area miokardium yang tertidur dapat pulih.

1,3,7

1


(18)

2.6.3. Revaskularisasi

Pertimbangan patofisiologi dan data retrospektif menguntungkan terhadap revaskularisasi mekanikal agresif untuk penderita dengan syok kardiogenik yang disebabkan infark miokard. Keuntungan keselamatan pada revaskularisasi segera pada syok kardiogenik, yang dilaporkan pada beberapa studi observasional, dimana dijumpai 13% peningkatan absolut pada 1 tahun survival pada penderita yang mendapatkan revaskularisasi segera. Terapi trombolitik kurang efektif namun diindikasikan ketika PCI tidak mungkin dilakukan atau jika dijumpai keterlambatan transpor untuk PCI dan ketika onset infark miokard dan syok kardiogenik di bawah 3 jam.1,3,11

Mengembalikan aliran (TIMI flow) ke arteri yang terlibat infark merupakan faktor yang penting terhadap fungsi ventrikel kiri serta keselamatan setelah infark miokard. Percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) dapat mencapai derajat TIMI flow 3 pada 80% sampai 90% penderita dengan infark miokard, dibandingkan dengan rerata sebesar 50% samapi 60% pada 90 menit setelah terapi fibrinolitik. Sehingga, penderita dengan syok kardiogenik merupakan kandidat untuk mendepatkan angioplasti segera. Sebagai tambahan untuk memperbaiki gerakan dinding pada daerah infark, peningkatan perfusi pada zona infark, dihubungkan dengan perbaikan kontraksi pada miokard yang jauh, hal ini mungkin disebabkan oleh adanya aliran darah kolateral. Revaskularisasi emergensi baik dengan PCI maupun CABG direkomendasikan pada penderita dengan syok kardiogenik akibat kegagalan pompa setelah IMA-STE walaupun terdapat keterlambatan waktu dari onset IMA. (Kelas I, Level B).

1,10

2.6.4. Coronary Artery Bypass Surgery

Banyak trial telah melaporkan hasil yang baik untuk penderita dengan syok kardiogenik yang menjalani CABG. Left main dan 3 vessel diasease sering dijumpai pada penderita dengan syok kardiogenik. Namun bagaimanapun, dibutuhkannya pertimbangan logistik dan waktu untuk mengerahkan tim operasi, adanya angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terhadap tindakan operasi,


(19)

serta hasil intervensi perkutan yang lebih disenangi, mematahkan tindakan rutin CABG terhadap penderita syok kardiogenik. Sokongan IABP digunakan sebagai jembatan untuk dilakukan tindakan CABG.1,10

2.7. Penatalaksanaan pada Kondisi Khusus 2.7.1. Infark Ventrikel Kanan

Infark ventrikel kanan dapat terjadi sampai 30% pada penderita infark inferior dan signifikan secara klinis pada 10%. Syok ventrikel kanan secara umum hanya 5% dari kasus syok kardiogenik akibat komplikasi IMA. Disfungsi ventrikel kanan dapat menyebabkan atau memiliki peran terhadap syok kardiogenik. Penderita menunjukkan gejala hipotensi, peningkatan vena jugularis, dan paru yang bersih. Penegakan diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi peningkatan segmen ST pada prekordial kanan atau karakteristik hemodinamik pada kateterisasi jantung kanan (peningkatan tekanan atrial kanan dan tekanan diastolik akhir ventrikel kanan dengan PCWP normal atau rendah serta curah jantung yang rendah). Ekokardiografi dapat menunjukkan penurunan kontraktilitas ventrikel kanan. Penderita dengan syok kardiogenik yang berasal dari infark ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih baik daripada yang memiliki kegagalan jantung kiri.

Terapi suportif untuk penderita dengan infark ventrikel kanan dimulai dengan menjaga preload ventrikel kanan dengan pemberian cairan. Penatalaksanaan terhadap penderita dengan disfungsi ventrikel kanan memiliki fokus pada kecukupan tekanan pengisian sisi kanan untuk menjaga curah jantung dan preload ventrikel kiri yang memadai, namun penderita syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kanan memiliki tekanan diastolik akhir ventrikel kanan yang sangat tinggi, seringnya >20 mmHg. Peninggian ini dapat berakibat pada pergeseran septum interventrikular ke arah ruang ventrikel kiri, yang akan meningkatkan tekanan atrial kiri namun pengisian ventrikel kiri terganggu akibat efek mekanik dari septum yang menggelembung ke arah ventrikel kiri. Perubahan geometri ini juga berpengaruh terhadap fungsi sistolik ventrikel kiri.

1,3


(20)

Terapi inotropik dengan dobutamin dapat lebih efektif dengan meningkatkan curah jantung pada beberapa penderita, dan pemantauan dengan ekokardiografi serial juga berguna untuk mendeteksi adanya distensi dari ventrikel kanan. Bagi penderita dengan hemodinamik tidak stabil yang berkelanjutan, IABP dapat berguna, khususnya karena peningkatan tekanan ventrikel kanan dan volum akan meningkatkan wall stress dan peningkatan kebutuhan oksigen, serta menurunkan tekanan perfusi ventrikel kanan, sehingga dapat memperburuk iskemi ventrikel kanan.

Reperfusi pada arteri koroner yang mengalami oklusi juga merupakan hal yang penting. Sebuah studi mengatakan penggunaan angioplasti direk menunjukkan restorasi dari aliran normal sehingga menghasilkan kesembuhan yang dramatik dari fungsi ventrikel kanan dan menurunkan angka mortalitas hingga 2%, dimana, reperfusi yang tidak berhasil dihubungkan dengan gangguan hemodinamik yang menetap dan angka mortalitas sebesar 58%.

1

1

2.7.2. Regurgitasi Mitral Akut

Iskemi mitral regurgitasi umumnya dihubungkan dengan infark miokard inferior dan iskemia atau infark dari muskulus papilaris posterior, yang memiliki suplai darah sendiri (biasanya berasal dari posterior descending branchdari RCA dominan). Ruptur muskulus papilaris biasanya terjadi 2 sampai 7 hari setelah IMA; hal ini muncul dengan edema paru yang dramatis, hipotensi, dan syok kardiogenik. Ketika terjadi ruptur muskulus papilaris, murmur dari regurgitasi mitral akut dapat terbatas sebagai early systolic murmur akibat persamaan tekanan yang cepat pada atrium kiri dan ventrikel kiri. Murmur juga bisa sangat lemah atau tidak terdengar, terutama ketika curah jantung rendah.

Ekokardiografi sangat penting untuk diagnosis banding, dimana termasuk ruptur free-wall, dan ruptur septum intraventrikel. Pemantauan hemodinamik dengan kateterisasi arteri pulmonal dapat juga bermanfaat.

1,3

Penatalaksanaan termasuk penurunan afterload dengan nitropusside, dan IABP sebagai tindakan bertahan. Terapi inotropik dan vasopresor juga dibutuhkan untuk mendukung curah jantung dan tekanan darah. Bagaimanapun, terapi


(21)

defenitif merupakan operasi perbaikan atau penggantian katup, yang harus dilakukan sesegera mungkin karena perburukan klinis dapat terjadi sewaktu-waktu.1

2.7.3. Ruptur Septal Ventrikel

Penderita yang mengalami ruptur septal ventrikel akan mengalami gagal jantung berat ataupun syok kardiogenik, dengan murmur pansistolik dan parasternal thrill. Gejala klasiknya adalah adanya left-to-right intracardiac shunt (adanya “step-up” pada saturasi oksigen dari atrium kanan ke ventrikel kanan). Penegakan diagnosis paling mudah dilakukan dengan menggunakan ekokardiografi.

Stabilisasi cepat, dengan menggunakan IABP, diikuti dengan operasi perbaikan merupakan satu-satunya pilihan untuk mendapatkan keselamatan jangka panjang. Pemilihan waktu operasi masih kontroversial, namun banyak ahli saat ini menyarankan operasi perbaikan harus dilakukan segera dalam 48 jam setelah ruptur terjadi.

1

1

2.7.4. Ruptur Free-Wall

Ruptur free-wall biasanya terjadi selama minggu pertama setelah terjadinya IMA; penderita umumnya memiliki usia tua, perempuan, dan hipertensi. Penggunaan terapi trombolitik dapat menurunkan insidensi ruptur kardiak, namun penggunaan yang terlambat dapat meningkatkan resiko terjadinya ruptur. Ruptur free-wall terlihat sebagai suatu bencana besar dengan ritme yang pulseless. Penyelamatan mungkin dilakukan dengan pengenalan yang cepat terhadap kejadian ruptur, dapat dilakukan perikardiosintesis untuk membebaskan tamponade akut, dan torakotomi dengan perbaikan terhadap ruptur free-wall.


(22)

BAB III KESIMPULAN

1. Defenisi klinis dari syok kardiogenik adalah adanya penurunan curah jantung dan adanya bukti hipoksia jaringan pada keadaan volum intravaskular yang memadai. Kriteria hemodinamik antara lain adanya hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg sedikitnya 30 menit) dan adanya penurunan cardiac index (< 2.2 L/menit/m2

2. Angka mortalitas pada penderita syok kardiogenik masih sangat tinggi, mencapai 50% sampai 80%.

) dengan peningkatan PCWP(> 15 mmHg).

3. Patofisiologi terjadinya syok berupa spiral mengarah ke bawah, yaitu adanya iskemia menyebabkan disfungsi miokard, sehingga memperburuk iskemia.

4. Kunci terhadap hasil yang baik merupakan diagnosis yang cepat dan terapi insiasi yang tepat untuk menjaga tekanan darah dan curah jantung. Kateterisasi jantung emergensi dan revaskularisasi dengan angioplasti atau CABG merupakan standar terapi.

5. Stabilisasi dengan menggunakan IABP dan trombolisis yang diikuti dengan pemindahan pasien ke fasilitasi tersier merupakan pilihan terbaik.


(23)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hollenberg, Steven M; Kavinsky, Clifford J; Parrillo, Joseph E. Cardiogenic Shock : Review. Ann Intern Med. 1999;131:47-59.

2. Ludman A; Krüger Wolfgang. Cardiogenic Shock. Dalam : Acute Heart Failure. Germany: Birkhauser Verlag AG, 2009: p.71-85.

3. Reynolds H.R; Hochman J.S. Cardiogenic Shock : Current Concepts and Improving Outcomes. Circulation 2008, 117:686-697.

4. Gersh, Bernard J. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Dalam: Fuster V, Alexander R.W, O’Rourke R., ed. Hurst’s the heart. 12th

5. Callif R.M; Bengston J.R. Current Concepts Cardiogenic Shock: Review Article. N Engl J Med. 1994;330:1724-28.

ed. New York: McGraw-Hill; 2008.

6. Goldberg R.J; Gore J.M; Alpert J.S; Osganian V; deGroot J; Bade J; et al. Cardiogenic Shock After Myocardial Infarction. Incidence and Mortality from a Community-wide Perspective. N Engl J Med. 1991;325:1117-22. 7. Hochman J.S; Buller C.E; Sleeper L.A; Boland J; Dzvik V; Sanborn T.A;

et al. Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction-Etiologies, Management and Outcome: A Report from the SHOCK Trial Registry. J Am Coll Cardiol. 2000;36:1063-70.

8. Holmes D.R; Bates E.R; Kleiman N.S; Sadowski Z; Horgan J.H; Morris D.C; et al. Contemporary Reperfusion Therapy for Cardiogenic Shock: The GUSTO-I Trial Experience. Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries. J Am Coll Cardiol. 1995;26:668-74.

9. Overgaard C.B; Dzavik V. Inotropes and Vassopressors. Review of Physiology and Clinical Use in Cardiovascular Disease. Circulation. 2008;118:1047-1056.


(24)

10.O’Gara P.T; Kushner F.G; Ascheim D.D; Casey Jr D.E; Chung M.K; de Lemos J.A; et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol. 2013;61:e78-140.

11. Menon V; Hochman J.S. Management of Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction. Heart. 2002;88:531-537.


(1)

serta hasil intervensi perkutan yang lebih disenangi, mematahkan tindakan rutin CABG terhadap penderita syok kardiogenik. Sokongan IABP digunakan sebagai jembatan untuk dilakukan tindakan CABG.1,10

2.7. Penatalaksanaan pada Kondisi Khusus 2.7.1. Infark Ventrikel Kanan

Infark ventrikel kanan dapat terjadi sampai 30% pada penderita infark inferior dan signifikan secara klinis pada 10%. Syok ventrikel kanan secara umum hanya 5% dari kasus syok kardiogenik akibat komplikasi IMA. Disfungsi ventrikel kanan dapat menyebabkan atau memiliki peran terhadap syok kardiogenik. Penderita menunjukkan gejala hipotensi, peningkatan vena jugularis, dan paru yang bersih. Penegakan diagnosis dilakukan dengan mengidentifikasi peningkatan segmen ST pada prekordial kanan atau karakteristik hemodinamik pada kateterisasi jantung kanan (peningkatan tekanan atrial kanan dan tekanan diastolik akhir ventrikel kanan dengan PCWP normal atau rendah serta curah jantung yang rendah). Ekokardiografi dapat menunjukkan penurunan kontraktilitas ventrikel kanan. Penderita dengan syok kardiogenik yang berasal dari infark ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih baik daripada yang memiliki kegagalan jantung kiri.

Terapi suportif untuk penderita dengan infark ventrikel kanan dimulai dengan menjaga preload ventrikel kanan dengan pemberian cairan. Penatalaksanaan terhadap penderita dengan disfungsi ventrikel kanan memiliki fokus pada kecukupan tekanan pengisian sisi kanan untuk menjaga curah jantung dan preload ventrikel kiri yang memadai, namun penderita syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kanan memiliki tekanan diastolik akhir ventrikel kanan yang sangat tinggi, seringnya >20 mmHg. Peninggian ini dapat berakibat pada pergeseran septum interventrikular ke arah ruang ventrikel kiri, yang akan meningkatkan tekanan atrial kiri namun pengisian ventrikel kiri terganggu akibat efek mekanik dari septum yang menggelembung ke arah ventrikel kiri. Perubahan geometri ini juga berpengaruh terhadap fungsi sistolik ventrikel kiri.

1,3


(2)

Terapi inotropik dengan dobutamin dapat lebih efektif dengan meningkatkan curah jantung pada beberapa penderita, dan pemantauan dengan ekokardiografi serial juga berguna untuk mendeteksi adanya distensi dari ventrikel kanan. Bagi penderita dengan hemodinamik tidak stabil yang berkelanjutan, IABP dapat berguna, khususnya karena peningkatan tekanan ventrikel kanan dan volum akan meningkatkan wall stress dan peningkatan kebutuhan oksigen, serta menurunkan tekanan perfusi ventrikel kanan, sehingga dapat memperburuk iskemi ventrikel kanan.

Reperfusi pada arteri koroner yang mengalami oklusi juga merupakan hal yang penting. Sebuah studi mengatakan penggunaan angioplasti direk menunjukkan restorasi dari aliran normal sehingga menghasilkan kesembuhan yang dramatik dari fungsi ventrikel kanan dan menurunkan angka mortalitas hingga 2%, dimana, reperfusi yang tidak berhasil dihubungkan dengan gangguan hemodinamik yang menetap dan angka mortalitas sebesar 58%.

1

1

2.7.2. Regurgitasi Mitral Akut

Iskemi mitral regurgitasi umumnya dihubungkan dengan infark miokard inferior dan iskemia atau infark dari muskulus papilaris posterior, yang memiliki suplai darah sendiri (biasanya berasal dari posterior descending branchdari RCA dominan). Ruptur muskulus papilaris biasanya terjadi 2 sampai 7 hari setelah IMA; hal ini muncul dengan edema paru yang dramatis, hipotensi, dan syok kardiogenik. Ketika terjadi ruptur muskulus papilaris, murmur dari regurgitasi mitral akut dapat terbatas sebagai early systolic murmur akibat persamaan tekanan yang cepat pada atrium kiri dan ventrikel kiri. Murmur juga bisa sangat lemah atau tidak terdengar, terutama ketika curah jantung rendah.

Ekokardiografi sangat penting untuk diagnosis banding, dimana termasuk ruptur free-wall, dan ruptur septum intraventrikel. Pemantauan hemodinamik dengan kateterisasi arteri pulmonal dapat juga bermanfaat.

1,3

Penatalaksanaan termasuk penurunan afterload dengan nitropusside, dan 1,3


(3)

defenitif merupakan operasi perbaikan atau penggantian katup, yang harus dilakukan sesegera mungkin karena perburukan klinis dapat terjadi sewaktu-waktu.1

2.7.3. Ruptur Septal Ventrikel

Penderita yang mengalami ruptur septal ventrikel akan mengalami gagal jantung berat ataupun syok kardiogenik, dengan murmur pansistolik dan

parasternal thrill. Gejala klasiknya adalah adanya left-to-right intracardiac shunt

(adanya “step-up” pada saturasi oksigen dari atrium kanan ke ventrikel kanan). Penegakan diagnosis paling mudah dilakukan dengan menggunakan ekokardiografi.

Stabilisasi cepat, dengan menggunakan IABP, diikuti dengan operasi perbaikan merupakan satu-satunya pilihan untuk mendapatkan keselamatan jangka panjang. Pemilihan waktu operasi masih kontroversial, namun banyak ahli saat ini menyarankan operasi perbaikan harus dilakukan segera dalam 48 jam setelah ruptur terjadi.

1

1

2.7.4. Ruptur Free-Wall

Ruptur free-wall biasanya terjadi selama minggu pertama setelah terjadinya IMA; penderita umumnya memiliki usia tua, perempuan, dan hipertensi. Penggunaan terapi trombolitik dapat menurunkan insidensi ruptur kardiak, namun penggunaan yang terlambat dapat meningkatkan resiko terjadinya ruptur. Ruptur free-wall terlihat sebagai suatu bencana besar dengan ritme yang

pulseless. Penyelamatan mungkin dilakukan dengan pengenalan yang cepat

terhadap kejadian ruptur, dapat dilakukan perikardiosintesis untuk membebaskan tamponade akut, dan torakotomi dengan perbaikan terhadap ruptur free-wall.


(4)

BAB III KESIMPULAN

1. Defenisi klinis dari syok kardiogenik adalah adanya penurunan curah jantung dan adanya bukti hipoksia jaringan pada keadaan volum intravaskular yang memadai. Kriteria hemodinamik antara lain adanya hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg sedikitnya 30 menit) dan adanya penurunan cardiac index (< 2.2 L/menit/m2

2. Angka mortalitas pada penderita syok kardiogenik masih sangat tinggi, mencapai 50% sampai 80%.

) dengan peningkatan PCWP(> 15 mmHg).

3. Patofisiologi terjadinya syok berupa spiral mengarah ke bawah, yaitu adanya iskemia menyebabkan disfungsi miokard, sehingga memperburuk iskemia.

4. Kunci terhadap hasil yang baik merupakan diagnosis yang cepat dan terapi insiasi yang tepat untuk menjaga tekanan darah dan curah jantung. Kateterisasi jantung emergensi dan revaskularisasi dengan angioplasti atau CABG merupakan standar terapi.

5. Stabilisasi dengan menggunakan IABP dan trombolisis yang diikuti dengan pemindahan pasien ke fasilitasi tersier merupakan pilihan terbaik.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hollenberg, Steven M; Kavinsky, Clifford J; Parrillo, Joseph E. Cardiogenic Shock : Review. Ann Intern Med. 1999;131:47-59.

2. Ludman A; Krüger Wolfgang. Cardiogenic Shock. Dalam : Acute Heart Failure. Germany: Birkhauser Verlag AG, 2009: p.71-85.

3. Reynolds H.R; Hochman J.S. Cardiogenic Shock : Current Concepts and Improving Outcomes. Circulation 2008, 117:686-697.

4. Gersh, Bernard J. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. Dalam: Fuster V, Alexander R.W, O’Rourke R., ed. Hurst’s the heart. 12th

5. Callif R.M; Bengston J.R. Current Concepts Cardiogenic Shock: Review Article. N Engl J Med. 1994;330:1724-28.

ed. New York: McGraw-Hill; 2008.

6. Goldberg R.J; Gore J.M; Alpert J.S; Osganian V; deGroot J; Bade J; et al. Cardiogenic Shock After Myocardial Infarction. Incidence and Mortality from a Community-wide Perspective. N Engl J Med. 1991;325:1117-22. 7. Hochman J.S; Buller C.E; Sleeper L.A; Boland J; Dzvik V; Sanborn T.A;

et al. Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction-Etiologies, Management and Outcome: A Report from the SHOCK Trial Registry. J Am Coll Cardiol. 2000;36:1063-70.

8. Holmes D.R; Bates E.R; Kleiman N.S; Sadowski Z; Horgan J.H; Morris D.C; et al. Contemporary Reperfusion Therapy for Cardiogenic Shock: The GUSTO-I Trial Experience. Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries. J Am Coll Cardiol. 1995;26:668-74.

9. Overgaard C.B; Dzavik V. Inotropes and Vassopressors. Review of Physiology and Clinical Use in Cardiovascular Disease. Circulation.


(6)

10.O’Gara P.T; Kushner F.G; Ascheim D.D; Casey Jr D.E; Chung M.K; de Lemos J.A; et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. J Am Coll Cardiol. 2013;61:e78-140.

11. Menon V; Hochman J.S. Management of Cardiogenic Shock Complicating Acute Myocardial Infarction. Heart. 2002;88:531-537.