Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur
PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN
PENGACAU KEAMANAN
(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perlawanan Petani
Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau
Keamanan: Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
M. Mawardi J
NIM.I363110031
RINGKASAN
M. Mawardi J. Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria
Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan : Studi Pada Masyarakat
Talangsari Lampung Timur. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI (Ketua), LALA
M. KOLOPAKING dan ENDRIATMO SOETARTO (Anggota).
Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah
perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim
Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan
Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam
meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa
reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut,
akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap
disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang
terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas
Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan
agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari,
(2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi
perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi
yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari,
(4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai
kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan)
lainnya ?
Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan
kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus
terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode
kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi,
observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari
yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah.
Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi
berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan
antar konsep.
Setelah komunitas petani Talangsari melakukan perlawanan pada tahun
1989 yang memakan korban kurang lebih 246 jiwa, negara membangun
(mengkonstruk wacana) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh komunitas petani
Talangsari adalah gerombolan pengacau keamanan. Gerombolan pengacau
keamanan tersebut merupakan bentuk nyata ancaman bahaya laten bagi bangsa
Indonesia dari kekuatan kanan (Islam) yang menggunakan ideologi jihad sebagai
basis gerakan dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Pelabelan (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari melalui dua cara;
pertama pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap
perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma
yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan
melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik
rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah
dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun
yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak
muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan
struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak,
yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani
Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif
terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan
menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang
dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda
lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di
pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari
sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam
(Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan
petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah
gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai
gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan,
sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan
yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka.
Kata kunci : perlawanan, petani, agraria, stigmatisasi
SUMMARY
Mawardi M. J. Dissertation Farmers Resistance Against Agricultural Injustice In a
stigma as a Security Disturber Horde: A Study on Talangsari East Lampung
community. Under direction of TITIK SUMARTI, LALA M. KOLOPAKING
and ENDRIATMO SOETARTO.
Talangsari community of resistance/ Talangsari tragedy is the product of
New Order political manipulation that spawned a stigma as a Security Disturber
Horde who wanted to replace the ideology of Pancasila with other ideology. This
negative stigma as a form of attempt of the New Order regime to marginalize the
role of political Islam in the national political stage. In the reformation period has
made efforts to eliminate the negative stigma, but until now stigma as a security
vandals still adheres. The problem is: Why in the political structure that is open in
the current democratic era stigmatization of Talangsari community resistance not
able to be removed substantively?.
The purpose of this research was : (1) the conditions of agrarian
relations which became the principal cause of Talangsari community resistance,
(2) the interplay of the elements that support the launching of resistance action of
Talangsari farmer community (3) describes the process of stigmatization carried
out by New Order regime against Talangsari community, (4) How far the
resistance movement farmers in Talangsari have in common with the other groups
(non action mission)
This research was deliberately done in the Talangsari community based
on certain criteria, using the critical paradigm, with the design of case study of
Talangsari community, as a consequence is used qualitative method. Data were
collected by deep interview, documentation, observation and secondary data.
Source of data obtained from Talangsari community that is still alive and living in
the hamlet Talangsari, government agencies. Process and analysis of data
followed the phases of data reduction and classification based category which
constructed by the concept, and then made the relationship between concepts.
To cripple resistance movement farmer at Talangsari East Lampung, the
New Order that build discoursece resistance farming community is mob meddler
security. The security distumber horder was tangible form threat latent for
Indonesian using Islamic ideolgy movement as the basis for the porpuse replace
ideology of Pancasila to other ideology. Labeling against community Talangsari
East Lampung through two ways: first, labeling by conducting assessment in
doing individual/groups considered deviate from norms prevailing, second,
labeling could also be done to intervance of action. It is as praticed by the New
Order regime is against the forces of political Islamic, namly with eliciting cases,
cases Talangsari Each Lampung of them. The porpuse social engenering this
proves that New Order regime, Islamic political do not want existance the state,
Islam ic limeted only ritual without the interfere with national and state affairs.
The result showed that, first, the structural tension between farmers and
authorities of forest area Register 38 Gunung Balak, which is the main
precondition emergence of resistance of Talangsari farmer community. This
condition is triggered by development policy that is not responsive to the interest
of farmer. Second, the local supraactor who participate mobilize farmer to resist,
local actor in question is the intelligence of New Order regime which his longterm goal to weaken the position of political Islam in the national political stage.
Third, the labeling of the Talangsari farmer community as a Security Disturber
Horde which uses the ideology of Islam (Jihad) as the base move who succeessful
immobilise colective movement farmers. Fourth, Resistance movement Warsidi
community in Talangsari is a appearing on the basis of the economic (agrarian)
interest who was tagged as religiuos that made Islam ideologi (jihad) as the base
movement, while resistance Moro community in the Phillippines is resistance
movement independence politicsin the form of independence (Islamic state).
Keywords: resistance, farmer, agrarian, stigmatization
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipannya hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan lain suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN
PENGACAU KEAMANAN
(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.
Prof. Dr. HM. Bahri Ghozali, MA.
Judul Disertasi
: PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU
KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung
Timur)
Nama
NPM
: M. Mawardi J
: I363110031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
Anggota
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian..............................
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus.......................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rakmat
dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Desember 2014.
Proses penelitian ini relatif berlangsung lama dan merupakan penelitian kasus
perlawanan petani yang terjadi pada tahun 1989 yang menggunakan pendekatan
kritis. Oleh sebab ituuntuk mendapatkan data yang komprehensif dalam perpektif
emik diperlukan waktu relatif lama.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan
yang tinggi penulis sampaikan pertama-tama kepada komisi pembimbing Dr. Ir.
Titik Sumarti, MS., sebagai ketua dan masing-masing kepada Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS. dan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai anggota atas
bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan disertasi
ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Sukidi mantan
Kepala dusun Talangsari III dan bapak Muhadi selaku warga Talangsari yang
telah menyediakan tempat tinggal dan membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga, atas
doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
M. Mawardi J
DAFTAR ISI
DAFTAR MATRIK
DAFTAR TABEL
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
Tujuan penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kebaharuan (novelty)
1
1
7
8
8
9
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa Penelitian Perlawanan Petani
Beberapa Gerakan Sempalan Non Mainstrem
Gerakan Sempalan Radikal
Gerakan Sempalan Messianistik
Gerakan Sempalan Thaumaturgical
Konsep dan Kerangka Teoritik
Perlawanan Petani
Faktor-faktor Penyebab Perlawanan Petani
Teori Tindakan Kolektif
Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser)
Faktor-faktor Pendukung Tindakan Kolektif
Teori Labeling (Penjulukan)
Latar Belakang dan Perkembangannya
Elemen-elemen Dasar Teori Labeling
Kerangka Pemikiran
10
10
14
14
15
16
17
17
20
22
22
25
31
31
35
37
3 Metodologi Penelitian
Paradigma Penelitian
Pokok dan Konsep Penelitian
Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Pendekatan Utama: Sosiologi Sejarah dan sejarah sosiologi
Metode Kasus
Studi Riwayat Hidup Individu
Riwayat Hidup Tineliti
40
40
41
42
42
43
43
43
44
Riwayat Hidup Peneliti
Studi Sejarah Lokal
Metode Pengumpulan Data
Wawancara Mendalam dan Observasi
Dokumentasi
Analisa Data
44
45
45
46
46
46
4 Sosio-Historis Lampung dan Kebijakan Agraria
Sosio-Historis Lampung
Lampung Pada Masa Pra-Kolonial
Falsafah Hidup dan Struktur Masyarakat Adat
Lampung Sebagai Buffer Zone Jawa
Heterogenisitas Masyarakat Lampung
Petani dan Struktur Penguasaan Agraria
Kebijakan Agraria kolonial
Program Transmigrasi Masa Kolonial
Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Lama
Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Baru
Kebijakan Agraria
Register 38 Gunung Balak Lampung Timur
Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Kolonial
Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Orde Lama
47
47
47
49
50
51
53
53
54
57
58
60
60
61
64
5 Talangsari III: Bertahan dalam Himpitan Stigma
Sejarah Dusun Talangsari III
Kondisi Demografi Dusun Talangsari III
Kehidupan Keagamaan di Dusun Talangsari III
Keadaan Sosial-Ekonomi Dusun Talangsari III
Struktur Sosial Masyarakat Dusun Talangsari III
70
70
73
76
79
82
6 Perlawanan Komunitas Petani Di Talangsari
Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan petani
Pengorganisasian dalam Perlawanan Petani
Mobilisasi Sumber Daya dalam Perlawanan Petani
Ketegangan Struktural: Komunitas Warsidi dan Aparatus Daerah
85
85
90
95
98
7 Pelabelan (Stigma) Gerombolan Pengacau Keamanan
Dalam Perlawanan Petani
Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari
Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari
Pelabelan (Stigmatisasi) melalui Kekuasaan oleh Negara
Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Partai Politik
Golongan Karya (Golkar)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Organisasi Sosial/Keagamaan
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nahdlatul Ulama (NU)
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Komite Nasional pemuda Indonesia (KNPI)
Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Propaganda Media Massa
Penangkapan Anggota dan Aktor Gerombolan
Gerakan Komunitas Moro di Filipina
109
111
113
115
119
120
121
123
124
124
125
127
128
129
132
135
7 Pelumpuhan Gerakan Kolektivitas Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan
Agraria Melalui Rekayasa Pelabelan
137
Pelabelan Gerakan Kolektivitas Petani
138
Ketegangan Struktural
139
Peluang
141
Mobilisasi Motivasi
141
Kontrol Sosial/Represi
142
Temuan Teoritik
144
Sumbangan Tilly dalam Teori Tindakan Kolektif
145
Aksi Kolektif
146
Mobilisasi Sosial
146
8 Simpulan, Saran dan Epilog
Simpulan
Saran
Epilog
148
148
149
150
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup
154
159
DAFTAR MATRIK
1.
Pokok Penelitian, Unsur Data dan Teknik Pengumpulan Data
41
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
.
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014
Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Provinsi Lampung 2010
Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III
Luas Lahan yang Dimiliki Petani di Dusun Talangsari III, Tahun 2013
Sistem Pembagian Hasil Pertanian di Dusun Talangsari III
58
59
73
73
80
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Akhir–akhir ini isu terorisme internasional menjadi kejahatan yang banyak
diberitakan media online di seluruh dunia, yakni mencapai 104. 061 kali atau
mencapai 78,2 persen dari enam topik (terorisme internasional, perdagangan
narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, penyelundupan manusia, dan
penyelundupan senjata) yang masuk dalam kategori kejahatan internasioanal.
Media internasional memberikan atensi pada pergerakan kelompok radikal ISIS,
Taliban, Bako Haram, Al-Shahab dan gerakan radikalime Islam lainnya, terlebih
selepas serangan di Paris bulan November 2015 dan serangan bom Belgia pada
bulan Maret 2016 yang mengatasnamakan agama dari Islamic State-ISIS.
(Kompas, 24Maret 2016).
Pantauan Intelligence Media Management, isu global terorisme ini
melibatkan para pemimpin negara-negara besar, seperti Amerika Serikat,
Perancis, Israel, Autralia dan Inggris. Donald Trump, kandidat pavorit bagi calon
Presiden Amerika Serikat dari partai Republik telah mengubah sasaran
serangannya, dari stigmatisasi terhadap emigran Amerika Latin menjadi serangan
primer terhadap kaum muslim. Hal ini nampak pada seruan terbarunya melarang
kaum muslim masuk ke Amerika Serikat, bahkan bagi warga Amerika Serikat
yang beragama Islam yang dilabel sebagai teroris, yang secara tidak langsung
telah mengkategorisasikan 1,5 milyar umat Muslim di dunia berpotensi sebagai
teroris dan berperilaku radikal. (Kompas, 8 Desember 2015)
Padahal terorisme hanyalah isu yang sengaja dikaitkan dengan keyakinan
Islam yang benar. Perang melawan teroris merupakan agenda besar Amerika
Serikat untuk melanggengkan hegemoninya, teroris dalam pandangan mereka
adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan nilai-nilai barat dan menentang
Amerika.Mantan presiden Bush mengatakan“Ether you are with us, or you are
with terrorist‖, padahal Islam dengan jelas tidak mungkin sejalan dengan nilainilai barat, maka harus dimusuhi dan dilabel sebagai teroris.
Sifat setiap ideologi yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaannya,
maka ia tidak memberikan ruang apabila ada potensi ideologi lain yang akan
merongrongnya. Jika dikorelasikan dengan Indonesia, negeri berpenduduk
muslim terbesar (12,7 persen dari populasi penduduk dunia) pastinya dipandang
sebagai ancaman serius bagi ideologi kapitalisme pimpinan Amerika apabila
ideologi Islam bangkit di negeri ini. Oleh sebab itu perlu dihalangi, bagi individu
maupun komunitas Islam yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya ideologi
Islam. Salah satunya adalah memberikan stigma sebagai teroris padanya agar
umat menjauhinya dan kemudian diharapkan menjahui apa saja yang
disuarakannya, misalnya memberi stigma teroris kepada Ba‘asyir (pimpinan
Jama‘ah Anshorut Tauhid) karena ia sosok yang begitu lantang menyerukan agar
syari‘ah Islam diterapkan secara kafah dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Huntington (2000) terorisme muncul sebagai implikasi dari
benturan dua ideologi utama di dunia (Islam versus Barat). Barat menemukan
2
seteru yang kemudian menjadi permanen dengan adanya kalaborasi Logika
Huntington bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik
dunia sebagai perebutan kekuasaan.Mujani (2004) mencoba melacak akar
genealogis dari Islam Radikal dalam berbagai sudut pandang yang linier dengan
teori Huntington di atas, dalam menganalisis keterkaitan Islam radikal dan
demokrasi di Indonesia, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine
lahir di Indonesia, akan tetapi kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari
Timur Tengah dan keberadaan gagasan ―Islamisme‖ yang mereka bawa pun tidak
sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesiaan.
Ada dua hal yang menjadi faktor munculnya radikalisme dan tindakan teror
di Indonesia ; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan
rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada
beberapa fragmen sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan
secara historis tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan
posisi politik Islam melalui instrumen non-negara dan struktural. Dalam konteks
global, adanya marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik
internasional (Amerika Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk
mengembalikan daulat politik Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran
tersebut ke Indonesia dalam bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua,
fenomena ekonomi-politik. Radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang
menciptakan mereka yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber modal, yang
dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan ―pendekatan kelas‖.
Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respons kelas untuk melawan
hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.
Lebih lagi ketika rezim Orde Baru kemudian mengambil alih peran
sebagai pemilik sumber daya dan secara represif melakukan subordinasi kepada
kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap sentralisme peran
negara. Menurut Hadiz (2004) memberikan analisis terhadap kemunculan gerakangerakan yang dinilai Islam radikal. Orde Baru, dengan perangkat-perangkat
birokrasi, baik dalam jenis militer maupun sipil, mentransformasikan diri menjadi
rezim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang berpotensi
menjadi oposisi. Komunisme dijadikan ideologi terlarang yang berantas sampai
keakar-akarnya. Nasionalisme sebagai kekuatan terkuat pasca 1955, rezim otoriter
Orde Baru mempersempit ruang geraknya dengan membungkam hak politik
tokoh-tokohnya bahkan memenjarakan mereka.
Islam menjadi kekuatan tersisa yang tidak dapat dihabisi oleh rezim karena
memiliki basis kultural yang sangat kuat. Untuk melakukan subordinasi terhadap
kekuatan Islam, lahirlah diskursus mengenai ―Islam Radikal‖. Kasus pertama
yang dimunculkan oleh rezim Orde Baru adalah Komando Jihad (pembajakan
pesawat Woyla) yang disinyalir sebagai aksi terorisme pertama di Indonesia.
Kemudian, lahirlah kasus-kasus lain yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan politik Orde Baru.
Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan
patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan di
akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde Baru
sebagai ―Islam Radikal‖ ini pun lahir dan terkonstruksi oleh realitas politik. Pada
3
titik ini, Hadiz (2004) memberikan sebuah tesis: “Islam Radikal pada hakikatnya
dilahirkan oleh Orde Baru‖. Kelahiran terorisme merupakan sebuah proses
panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rezim Orde Baru
yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan Islam
sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah
yang berpadu dengan kesadaran kelas yang dimiliki oleh masyarakat Islam tidak
terkecuali pada komunitas Warsidi di Talangsari, oleh sebab itu penting melihat
perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989.Sebuah perlawanan
petani yang ditumpas secara paksa oleh militer rezim Orde Baru yang berkekuatan
tiga peleton tentara, lima puluh orang anggota satuan Brigade Mobil (Brimob)
pada selasa 07 Februari 1989 dan dilumpuhkan melalui pelabelan sebagai
gerombolan pengacau keamanan.Penumpasan inimerupakan puncak ketegangan
antara komunitas tersebut dengan otoritas pemerintah setempat yang
mengakibatkan tewasnya 246 orang anggota komunitasdan membawa trauma
yang berkepanjangan serta penderitaan terhadap anak keturunan masyarakat
dusun Talangsari hingga hari ini. Peristiwa tersebut menjadi perhatian dari
berbagai media massa baik lokal maupun nasional, bahkan menjadi berita yang
menarik bagi dunia internasional. (Fadilasari, 2007 : 72)
Rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok pemberontak
yang ingin merongrong kedaulatan negara dengan menggantikan ideologi
Pancasila dengan ideologi lain. Presiden Soeharto dalam pernyataannya ; ―mereka
adalahgerombolan pengacau keamanan yang menyalahgunakan agama (Islam)
untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989). Akibatnya anak keturunan
masyarakat dusun Talangsari memperoleh perlakuan yang diskriminatif mulai dari
sikap sinis hingga diperlakukan tidak adil (hilang hak sebagai warga negara),
seperti ditolaknya anak-anak korban Talangsari untuk mendapatkan pendidikan
sekolah negeri sehingga harus terpaksa sekolah di luar Lampung, setiap orang
yang menggunakan identitas Talangsarimaka akan memperoleh kesulitan dalam
memperoleh pekerjaan baik di instansi swasta lebih lagi di instansi pemerintah,
tidak diperkenankannya mengikuti kompetisi di ajang-ajang pemilihan
kepemimpinan pada tingkat lokal (desa) sekalipun.
Bahkan setelah dua puluh enam tahun berlalu, masih ada upaya secara
sistematis untuk menyudutkan korban kekerasan tragedi Talangsari Lampung
terus dilakukan, sebagaimana menurut Kepala Impunitas dan Pemulihan Korban
Kontras : ‖Korban kekerasan dan aktivis Talangsari dianggap sebagai terorisme
dengan cara memata-matai aktivitas warga secara berlebihan, yang membuat rasa
panik, cemas dan resah warga serta aktivis Talangsari, menyesalkan Polisi Daerah
(Polda) Lampung yang mengemukakan secara terbuka dan menyebut seseorang
berinisial MT yang sedang dilacak yang merupakan aktivis Talangsari. Korban
kekerasan politik Talangsari mendorong penyelesaian secara hukum, oleh sebab
itu kami meminta Polri untuk berhati-hati agar tidak terkecoh oleh pihak-pihak
yang berupaya menghidupkan kembali ―stigma‖ lama Orde Baru dengan
mencurigai dan mengaitkan aktivis Talangsari dengan teroris. (Sumber; Kontras,
13 Maret 2010).
4
Perlawanan itu sendiri merupakan rangkaian panjang dari perlawanan
sebelumnya, setelah mereka terusir dari hutan lindung register 38 Gunung Balak
akibat adanya kebijakan untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara yang
diestimasikan dapat mengairi lahan seluas kurang lebih 7.000 hektar. Perlawanan
komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989, bisa dimengerti, karena sebagai
kolektivitas petani membutuhkan kenyamanan hidup, kelayakan dalam
memanfaatkan sumber daya agraria (tanah), keamanan memiliki akses tanah,
dengan kata lain bagi petani tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik
sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial
dalam masyarakat. Menurut Flor (2002, 15) bahwa; tanah pertanian bagi petani
bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata
kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan
bahkan ideologis.
Perlawanan bermula saatpemerintah Orde Baru berencana membangun
proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang diestimasi dapat
mengairi 7.000 hektar lahan pertanian (persawahan), dan telah dilakukan survei
kelayakan oleh Direktorat Jendral Agraria Bersama SAE (Survey Agro
Ekonomi)bahwa penggunaan lahan di bagian hulu danau Way Jepara
membahayakan ketersediaan sumber air danau yang berasal dari sekitar ―Rawa
Way Abar‖. Hal ini kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan
relokasi dalam upaya melestarikan daerah tangkapan air (water catchment area)
untuk melindungi sumber-sumber air Danau Way Jepara, rencana relokasi
penduduk memunculkan kegerahan dan ketidaknyamanan di kalangan petani.
Upaya perelokasian penduduk dari area register 38 Gunung Balak secara
besar-besaran dengan paksaan demi pembangunan sarana irigasi telah
mengakibatkan munculnya berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
petani dalam mempertahankan subsistensinya, padahal petani adalah komunitas
yang menyukai harmoni sekaligus senang mempertahankan tradisi yang diyakini
telah menjamin kelangsungan hidupnya. Namun ketika ada kebijakan penguasa
yang mengancam keamanan subsistensinya, petani bisa dipastikan akan
melakukan perlawanan bahkan melakukan tindakan yang mengarah pada radikal.
Sejarah gerakan dan perlawanan petani di Indonesia, radikalisme bukanlah
suatu hal yang baru. Sejak zaman pemerintahan kolonial fenomena radikal dan
kekerasan oleh petani sudah terjadi, terutama ketika pemerintahan kolonial mulai
mengembangkan kebijakan yang memberikan kesempatan kepada swasta untuk
membuat keuntungan dengan mengusahakan lahan untuk perkebunan tanaman
industri. Studi yang dilakukan oleh Breman (1983) terhadap gerakan perlawanan
petani di sekitar pabrik gula di Pasuruan dan Probolinggo menemukan bahwa
perlawanan tersebut dipicu oleh paksaan untuk menanam tebu oleh pihak pabrik
gula milik perusahaan dagang Belanda dengan sokongan pemerintah kolonial
Belanda. Siahaan (1996) juga melakukan penelitian mengenai perlawanan petani
peserta TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) di Papar Kediri dan menemukan bahwa
perlawanan tersebut disebabkan oleh maraknya korupsi dan kecurangankecurangan dalam program TRI.Kebijakan ini memaksa petani untuk
menanamkan tanaman yang dibutuhkan untuk industri (seperti tebu) dan juga
memaksa sejumlah petani untuk membuka lahan baru
5
Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya bibit-bibit perlawanan dari
petani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde
Baru, dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksa
petani untuk melepaskan lahan mereka yang selama ini menjadi tumpuan dan
sumber kehidupannya. Pengusiran penduduk secara paksa oleh rezim kekuasan
telah melahirkan kegerahan dan reaksi keras dari kalangan petani di register 38
Gunung Balak Lampung Timur.Muncul kolektivitas di kalangan petani untuk
mempertahankan hak-haknya atas tanah dan lahan garapan yang selama ini sudah
ditempati dan menopang kehidupannya. Kolektivitas dan solidaritas yang
dilandasi adanya kepentingan bersama ini semakin menguat dan intensif, lebih
lagi di Talangsari hadirnya pemimpin (Warsidi) yang mempunyai kewibawaan
dan kharisma sehingga mempersubur kepemimpinan yang potensial untuk
melakukan tindakan perlawanan dalam berbagai bentuk.
Kolektivitas di kalangan petani semakin solid karena mereka dihadapkan
pada musuh bersama, yakni aparatus daerah yang merupakan perpanjangan tangan
dari kekuasan pusat di Jakarta dalam rangka mengamankan dan mengawal
program pemerintah sebagaimana dalam repelita satu, selain itu perasaan senasib
sebagai orang yang terusir semakin memperkokoh kolektivitas diantara sesama
petani, meskipun sebelum adanya rencana pemerintah untuk merelokasi mereka
dari kawasan register 38 Gunung Balak tidak jarang mereka mengalami
persaingan hidup dalam memperoleh lahan garapan. Dengan kata lain kolektivitas
petani sebelum adanya rencana perelokasian dari kawasan register 38 Gunung
Balak tercerai berai/renggang akibat kepentingan masing-masing menjadi kuat
dalam upaya mempertahankan kepemilikan dan pentingnya penguasaan tanah.
Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong
munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi
pihak luar. Sumber daya agraria (tanah) juga mencerminkan bentuk dasar
kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan
hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah Jawa menurut Zam (75 thn)
―shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa
eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang dimilikinya.
Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan matimatian dengan seluruh jiwa raga.Hal ini pada gilirannya selalu menimbulkan
konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini
terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering
kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam,
ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau
bahkan melakukan pemberontakan.
Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi atau diamdiam sebagai bentuk perlawanan sehari-hari(everyday forms of resistens). Scott
(2000) menjelaskan bahwaperlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan
petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus menerus antara kaum tani
dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan,
pajak, sewa dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu
merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi
individual yang dilakukan secara diam-diam.
6
Upaya untuk memadamkan gerakan perlawanan petani dengan melakukan
stigmatisasi sebagai pemberontak/pembangkang pernah dilakukan dalam kasus
Kedung Ombo pada tahun 1985, akibat adanya pembangunan Waduk Kedung
Ombo yang menggenangi wilayah yang tanahnya sangat subur seluas 6.125 hektar
(Stanley 1994). Demikian pula yang terjadi dalam pembangunan Waduk Nipah di
Madura, memunculkan perlawanan petani ketika melihat tanah-tanah mereka
akan dijadikan waduk, lebih lagi di lahan mereka terdapat kuburan-kuburan para
leluhur.(Ratna, 2005). Namun kedua perlawanan petani tersebut tidak memiliki
ekses yang berkepanjangan terhadap anak keturunan sebagaimana perlawanan
yang terjadi di Talangsari.
Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang
berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari
adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam
mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan
satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak
memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan citacita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Oleh sebab itu, upaya untuk memberi label setiap gerakan
yang mengusung legalitas-formalisme Islam senantiasa dilakukan oleh negara
untuk memberi citra buruk terhadap Islam politik yang sekaligus menyingkirkan
Islam politik dari arena politik nasional.Islam politik dianggap sebagai ancaman
dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia. (Allan
A. Samson 1985 : 158).
Pemerintah melakukan labelisasi untuk melemahkan dan sekaligus
melumpuhkan kolektivitas yang selama ini terkonsolidasi dengan melakukan
penetrasi dalam setiap gerakan perlawanan baik dari mobilisasi aktivasi,
pengorganisasian dan memunculkan ketegangan struktural, serta membelokkan
arah tujuan gerakan perlawanan yang semula untuk mempertahankan dan
memperoleh hak atas kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi gerakan
perlawanan dengan tujuan untuk mendirikan perkampungan muslim di Lampung
(negara dalam negara). Melalui media masapemerintah pusat melakukan
pembentukan opini dan pencucian otak melalui corong-corong kekuasaan dan
pengkooptasian terhadap tokoh-tokoh lokal dan nasional, sehingga fakta
perlawanan petani berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Opini yang terbangun
di kalangan masyarakat adalah kebenaran kekejaman di luar perikemanusiaan
yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap aparatur setempat
dengan melakukan pemberontakan .
Stigmatisasi adalah bentuk lahir dari hate crime, dan tidak jarang hal ini
melahirkan kejahan-kejahatan lainnya seperti tindak kekerasan fisik. Ironisnya
hate crime tidak hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat, melainkan juga
oleh penguasa terhadap kelompok yang dianggap mengancam kekuasaannya.
Penguasa Orde Baru menggunakan media, baik cetak maupun elektronik, dan
berbagai media lainnya sebagai mesin-mesin propaganda yang bergerak leluasa
untuk mempengaruhi dan merekayasa persepsi publik sejak peristiwa perlawanan
komunitas Talangsari itu terjadi pada tahun 1989.
7
Permasalahan
Stigmatisasi terhadap komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau
keamanan merupakan salah satu upaya negara dalam melumpuhkan kolektivitas
petani yang selama ini dianggap sebagai komunitas penentang program
perelokasian penduduk dari hutan register 38 Gunung Balak dalam upaya
memfungsikan kembali waduk Way Jepara, sekaligus upaya mendekonstruksi
kekuatan Islam politik yang dianggap dapat mengancam kelanggengan eksistensi
penguasa. Proses dominasi melalui distorsi sejarah ini dapat berjalan mulus
selama puluhan tahun tanpa disadari, bahkan dianggap sebagai sebuah dasar
kebenaran. Walau sebetulnya, semua ini adalah suatu rangkaian realitas palsu.
Berdasarkan hal tersebut, penulis menkonstruksi ulang perlawanan komunitas
Talangsari melalui beberapa pertanyaan berikut;
1. Mengapa tindakan perlawanandijadikan sebagai pilihan bagi komunitas
Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria padahal
media penyelesaian lainnya masih tersedia ?
2. Mengapa kekuasaan (negara) memerlukan pembentukan opini dalam bentuk
labelling, konsolidasi kekuasaan danmerangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat
untuk melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari ?
3. Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai
kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan)
lainnya ?
Tujuan Penelitian
Pada umumnya penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya, dan salah
satu cara untuk mencapainya adalah dengan menempatkan rakyatnya sebagai
musuh negara. Negara secara sistematis melakukan stigmatisasi yang
menempatkan rakyat sebagai musuh negara dan musuh rakyat, sehingga negara
memiliki justifikasi untuk memberangusnya.
Salah satu yang ditempatkan oleh rezim Orde Baru sebagai musuh negara
setelah hancurnya kekuatan kiri (PKI) adalah ekstrim kanan (Islam radikal)
diantaranya ―komunitas Talangsari‖ yang selanjutnya diberi stigma sebagai
gerombolan pengacau keamanan. Penelitian ini bertujuan :
1. Menganalisis pilihan tindakan perlawananoleh komunitas Warsidi di
Talangsari dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan agraria yang mereka
dapatkan padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia.
2. Menganalisis pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi
kekuasaan dan merangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat oleh negara dalam
melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari.
3. Menganalisis kesamaan gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari
dengan gerakan kelompoknon action mission(kelompok sempalan) lainnya.
8
Manfaat Penelitian
Pada tataran akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
konstribusi pengetahuan tentang aspek-aspek penting dalam perlawanan petani
terutama dalam sosiologi pedesaan dapat menambah pengetahuan tentang gerakan
petani yang berbasis pada persoalan agraria dan upaya stigmatisasi yang
dilakukan oleh kekuatan supra struktur desa. Akhirnya pada tataran keilmuan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan teoritis tentang
perlawanan petani dan pelabelan oleh kekuatan di luar petani.
Pada tataran praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) dipergunakan
untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan agraria di pedesaan agar tidak
menimbulkan kegerahan bagi petani serta kewaspadaan petani terhadap intervensi
kekuatan supra desa. (2) tidak menjadikan kekuatan Islam politik sebagai alat
untuk memecah-belah persatuan dengan membenturkan ideologi Islam dengan
ideologi Pancasila.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi perlawanan
petani terhadap ketidakadilan agraria yang dilabeli sebagai gerombolan pengacau
keamanan, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut :
1. Perlawanan petani yang dikaji meliputi latar belakang munculnya penyebab
tindakan perlawanan yang dilakukan oleh petani, realitas struktur hubungan
agraria terkonstruksi sehingga menjadi prakondisi utama munculnya
perlawanan petani. Hubungan yang memunculkan adanya ketegangan serta
memberi peluang munculnya tindakan kolektive petani. Secara khusus akan
dipaparkan pada persoalan penguasaan tanah masyarakat (di register 38
Gunung Balak) berkaitan dengan kebijakan negara untuk memfungsikan
kembali waduk Way Jepara sebagai perwujudan peningkatan kesejahteraan
hidup petani
2. Sejauh mana upaya labelisasi/pelumpuhan terhadap perlawanan petani dan
gerakan Islam Radikal dengan melakukan pengkooptasian terhadap tokohtokoh lakan dan pemberangusan media massa sebagai control social. Persoalan
ini berhubungan dengan kondisi-kondisi yang menunjukkan kemampuan
negara dalam melumpuhkan gerakan perlawanan petani dan Islam radikal
dengan berbagai kekuatan yang dimiliki.
3. Kondisi-kondisi utama yang memberi peluang munculnya aksi-aksi kolektif
petani. Kondisi itu antara lain, adanya pengorganisasian yang dilakukan oleh
aktor lokal, dan kepeimipinan kharismatik yang mempunyai kewenangan
sehingga mampu menghimpun aksi kolektif petani, mobilasasi sumber daya,
serta adanya pembingkaian tindakan kolektif yang dilakukan oleh aktor supra
lokal dalam upaya melumpuhkan perlawanan petani.
9
Kebaharuan (Novelty)
Kebaharuan penelitian ini berada pada temuan lapangan bahwa
perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang selama ini seringkali
dikaitkan dengan kekuatan kiri (Partai Komunis Indonesia), sebagaimanana hasil
beberapa studi diantaranya;Kuntowijoyo (1994) melihat bahwa gerakan petani
didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (Kuntowijoyo, 1994 : 11). Demikian pula dengan
diselenggarakannya konggres petani pada tanggal 22 – 25 November 1945 yang
disponsori oleh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta, melahirkan empat
pokok keputusan : 1) modernisasi pertanian, 2) menetapkan harga sewa tanah, 3)
melaksanakan land-reform dan 4) melatih kader-kader tani untuk propaganda
komunisme. Konggres tersebut menunjukkan bahwa Partai Komunis Indonesia
merupakan salah satu partai yang sangat konsen dalam memperjuangkan
kepentingan petani, dengan kata lain setiap perjuangan untuk mendapatkan
sumber daya agraria tanah (petani), kekuatan kiri ini senantiasa berada
dibelakangnya. Ternyata dalam kasus Talangsari perlawanan petani terhadap
ketidakadilan agaria dilabel sebagai gerombolan pengacau keamanan, yang
berhubungan dengan kekuatan kanan (agama Islam).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa Penelitian Perlawanan Petani
Beberapa tulisan yang membahas tentang perlawanan petani terhadap
penguasa sangat signifikan kontribusinya dalam memperkaya tinjauan teoritis
yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Pemilihan tulisan
ditekankan kepada konsep-konsep yang diintrodusirnya yaitu berkaitan dengan
resistensi.
Konflik-konflik agraria secara umum dan pergolakan-pergolakan petani
secara khusus, apakah itu merupakan manifestasi dari gerakan milenari atau tidak,
telah menjadi bahan studi yang banyak diminati. Sekitar tiga dekade yang lalu,
banyak penelitian tentang gerakan petani dilakukan baik di luar maupun di dalam
negeri. Tentang gerakan perlawanan petani di luar negeri, kita bisa menyebut
misalnya Scott dan Popkin. Studi yang dilakukan oleh Scott (1974) dan Popkin
(1976) di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada
masa kolonial, memperlihatkan adanya empat faktor utama penyebab kemarahan
kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi,
kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di
pedesaan Asia khususnya Jawa, dipengaruhiadanya sistem kolonialisme. Melalui
kolonialisme, sebagian besar desa-desa di Asia terintegrasidengan sistem kapitalis
dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalismerupakan sebuah unit
rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.Eksploitasi kolonial ditambah
dengan tekanan demografi yang semakinmeningkat, mengakibatkan rusaknya
10
pola-pola yang sudah ada, sertamengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani
yang didasarkan pada etikasubsistensi.
Lebih lanjut Scott (1981) menjelaskan bahwa tentang perlawanan petani
dalam konteks struktural, bahwa struktur agraris yang rapuh dan eksploitatif pada
umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan: perubahan
demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Sementara itu peranan
negara dalam memaksakan pelaksanaan kontrak-kontrak melalui pengadilan dan
untuk mematahkan perlawanan kaum tani telah memungkinkan para pemilik
tanah dan rentenir untuk merenggut keuntungan yang sebesar-besarnya dari
kedudukan mereka yang lebih kuat.
Kemerosotanekonomi secara mengejutkan yang disertai dengan
peningkataneksploitasi dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Eksploitasi yang
dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa
banyak petani dan hampir terjadi di seluruh wilayah serta dapat mengancam jaring
pengaman sosial mereka atas sumber-sumber subsistensial, maka besar sekali
kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Menurut Scott (1976), tekanan struktural, tekanan kultural hingga kondisi
subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi sudah cukup untuk
menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan
sosial yang ada. Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana
seringkaliberpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan
merataketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkhis. Lahirnya
suatumitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat
menggerakkankaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti
inimempersatukan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi
petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan dan hanya dipersatukan untuk
sementarawaktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).
Di Indonesia sendiri, sejumlah penelitian telah dilakukan tentang pokok
persoalan ini. Sebelum studi Kartosudirdjotentang Pemberontakan Petani Banten
menjelang akhir abad kesembilan belas kebanyakan studi didasarkan pada asumsi
bahwa berbagai pemberontakan petani lebih merupakan suatu ledakan fanatisme
atau huru-hara menentang pajak. Menurut Begawan sejarah Kartosudirdjo(1984)
menguraikan bahwa, gerakan sosial adalah: gerakan perjuangan yang dilakukan
oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama,
dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa atau negara. Termasuk
dalam gerakan semacam ini, diantaranya, adalah kaum petani dan buruh. Peran
nilai-nilai agama sangat signifikan dalam pemberontakan petani Banten,
meskipun rakyat Banten memiliki tradisi memberontak, tanpa ada legitimasi
agama pemberontakan tidak akan pecah, meskipun keresahan sosial sudah
memuncak. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ―Abdullah AlKarim Al-Bantani‖ yaitu kedatangan Imam Mahdi dalam peringatan terakhir Nabi
Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar-Al-Islam) dan perang sabil
(Jihad fisabilillah) yang kemudian disemaikan oleh murid-muridnya
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua transformasi penting diera
kolonial. Pertama, pengalihan secara besar-besaran disektor pertanian, dariyang
semula merupakan pertanian subsisten menjadi pertanianyang berorientasiekspor.
Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi danmiliter untuk
11
mengontrol
wilayah
jajahan.
Salah
satu
bentuk
transformasi
tersebutmengejawantah dalam bentuk perkebunan–perkebunan besar. Pengenalan
sistempertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada
meningkatnyakebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin
terlepas daritangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi
penggarapburuh tani upahan dan buruh perkebunan.Kolonialisme dan masuknya
ekonomi uang berangsur-angsur telahmenghapus jaminan sosial yang ada pada
masa pra-kapitalis. Transformasi agrariayang terjadi telah menghilangkan jaring
pengaman sosial keluarga-keluargapetani miskin dari bencana kelaparan.
Kedermawanan sosial yang semula adapada masa bagi hasil, kini tidak lagi
berlaku umum. Pemerintah kolonial samasekali tidak memberikan perlindungan
kepada para petani miskin terhadapfluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).
Menurut Kamaruddin (2012), Pemberontakan Petani Unra 1943 terhadap
penjajah Jepang disebabkan adanya eksploitasi ekonomi, sumber daya alam, dan
tenaga kerja, serta tekanan-tekanan dari pihak kekuasaan atau negara.
Pemberontakan itu mempunyai pemimpin dan basis ideologi, yakni gerakan
tarekat. Prakarsa pemberontakan diambil oleh petani biasa, tokoh tarekat, dan
sekaligus tokoh agama yang berada di luar kalangan birokrat desa. Sementara itu,
Romdloni (2005) menemukan bahwa latar belakang petani melakukan gerakan
lebih didasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah, budaya dan agama.
Studi Romdloni ini diperkaya oleh penelitian yang dilakukan Safitri (2010),
meneliti pola dan strategi gerakan yang dilakukan oleh FP2NB(Forum Paguyuban
Petani Kabupaten Batang).Wahyudi (2005) memfokuskan perhatian pada formasi
dan struktur gerakan, serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani.
Mustain(2007), dalam tulisannya tentang ―Petani vs Negara : Gerakan Sosial
Petani Melawan Hegemoni Negara” menemukan bahwa resistensi yang
dilakukan oleh petani dipicu oleh faktor ekonomi ketimpangan kepemilikan tanah.
Namun dibalik faktor ekonomi tersebut, secara politik resistensi petani muncul
untuk menolak kebijakan negara mengenai masalah penguasaan pertanahan yang
cenderung eksploitatif dan mengutamakan pemodal.
Pada masa orde lama perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya
kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani
Indonesia (RTI), Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI). Organisasiorganisasi petani itu berafiliasi dengan partai-partai politik sehingga perlawanan
mereka semakin kuat, seperti terbukti dengan terjadinya Peristiwa Tanjung
Mowara pada tanggal 16 Maret 1953 yang mengakibatkan jatuhnya kabinet
Wilopo dan dibentuknya Kementerian Urusan Agraria.(Karl J. Pelzer : 1991)Di
dalam penelitian ini mengilustrasikan berbagai keg
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN
PENGACAU KEAMANAN
(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perlawanan Petani
Terhadap Ketidakadilan Agraria Dalam Stigma Gerombolan Pengacau
Keamanan: Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
M. Mawardi J
NIM.I363110031
RINGKASAN
M. Mawardi J. Disertasi Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan Agraria
Dalam Stigma Gerombolan Pengacau Keamanan : Studi Pada Masyarakat
Talangsari Lampung Timur. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI (Ketua), LALA
M. KOLOPAKING dan ENDRIATMO SOETARTO (Anggota).
Perlawanan komunitas Talangsari/tragedi Talangsari adalah sebuah
perlawanan yang menuntut adanya keadilan agraria pada masa kekuasaan rezim
Orde Baru, akan tetapi perlawanan tersebut distigma sebagai Gerombolan
Pengacau Keamanan yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Stigma negatif ini sebagai bentuk upaya rezim Orde Baru dalam
meminggirkan peran Islam politik dalam pentas politik nasional. Pada masa
reformasi telah dilakukan upaya untuk menghilangkan stigma negatif tersebut,
akan tetapi sampai saat ini stigma sebagai komunitas pengacau keamanan tetap
disandangnya. Masalahnya adalah : Mengapa di dalam struktur politik yang
terbuka di era demokratisasi saat ini stigmatisasi terhadap perlawanan komunitas
Talangsari tidak mampu dihilangkan secara substansif ?.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan : (1) kondisi-kondisi hubungan
agraria yang menjadi pemicu utama terjadinya perlawanan komunitas Talangsari,
(2) saling keterkaitan di antara unsur-unsur yang mendukung dilancarkannya aksi
perlawanan komunitas petani Talangsari, (3) menjelaskan proses stigmatisasi
yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas Talangsari,
(4) Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai
kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan)
lainnya ?
Penelitian ini sengaja dilakukan di komunitas Talangsari berdasarkan
kreteria tertentu, menggunakan paradigma kritis, dengan desain studi kasus
terhadap komunitas Talangsari, sebagai konsekuensinya adalah digunakan metode
kualitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam, dokumentasi,
observasi dan data sekunder. Sumber data diperoleh dari komunitas Talangsari
yang masih hidup dan berdomisili di dusun Talangsari, instansi pemerintah.
Prosesdan analisis data mengikuti tahapan reduksi data dan klasifikasi
berdasarkan kategori yang dibangun oleh konsep, selanjutnya dibuat hubungan
antar konsep.
Setelah komunitas petani Talangsari melakukan perlawanan pada tahun
1989 yang memakan korban kurang lebih 246 jiwa, negara membangun
(mengkonstruk wacana) bahwa perlawanan yang dilakukan oleh komunitas petani
Talangsari adalah gerombolan pengacau keamanan. Gerombolan pengacau
keamanan tersebut merupakan bentuk nyata ancaman bahaya laten bagi bangsa
Indonesia dari kekuatan kanan (Islam) yang menggunakan ideologi jihad sebagai
basis gerakan dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi
lain. Pelabelan (stigma negatif) terhadap komunitas Talangsari melalui dua cara;
pertama pelabelan dengan melakukan penilaian yang dilakukan oleh terhadap
perilaku/tindakan sosial yang dianggap menyimpang (devians) dari norma-norma
yang berlaku, sedangkan yang kedua, pelabelan juga dapat dilakukan dengan
melakukan intervensi dalam bentuk tindakan. Oleh sebab itu dalam kamus politik
rezim Orde Baru, upaya stigmatisasi terhadap kekuatan Islam politik adalah
dengan memunculkan kasus melalui program operasi khusus (Opsus). Adapun
yang menjadi tujuan rezim Orde Baru adalah agar kekuatan Islam politik tidak
muncul dalam pentas politik nasional, Islam hanya sebatas ritual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adanya ketegangan
struktural antara petani dengan otoritas kawasan hutan register 38 Gunung balak,
yang merupakan prakondisi utama munculnya perlawanan komunitas petani
Talangsari. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak responsif
terhadap kepentingan petani. Kedua, adanya aktor supra lokal yang ikut berperan
menggerakkan petani untuk melakukan perlawanan, aktor supra lokal yang
dimaksud adalah kekuatan di luar komunitas Warsidi tetapi mempunyai agenda
lain yang tujuan jangka panjangnya untuk melemahkan posisi Islam politik di
pentas politik nasional. Ketiga, adanya pelabelan komunitas petani Talangsari
sebagai Gerombolan Pengacau Keamananan yang menggunakan ideologi Islam
(Jihad) sebagai basis gerakan yang berhasil melumpuhkan kolektivitas gerakan
petani. Keempat, Gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari adalah
gerakan yang muncul atas dasar kepentingan ekonomi, yang dilabel sebagai
gerakan keagamaan yang menjadikan ideologi jihad sebagai basis gerakan,
sedangkan perlawanan komunitas Moro di Filipina adalah gerakan perlawanan
yang menuntut kemerdekaan politik (politik Islam) dalam bentuk negara merdeka.
Kata kunci : perlawanan, petani, agraria, stigmatisasi
SUMMARY
Mawardi M. J. Dissertation Farmers Resistance Against Agricultural Injustice In a
stigma as a Security Disturber Horde: A Study on Talangsari East Lampung
community. Under direction of TITIK SUMARTI, LALA M. KOLOPAKING
and ENDRIATMO SOETARTO.
Talangsari community of resistance/ Talangsari tragedy is the product of
New Order political manipulation that spawned a stigma as a Security Disturber
Horde who wanted to replace the ideology of Pancasila with other ideology. This
negative stigma as a form of attempt of the New Order regime to marginalize the
role of political Islam in the national political stage. In the reformation period has
made efforts to eliminate the negative stigma, but until now stigma as a security
vandals still adheres. The problem is: Why in the political structure that is open in
the current democratic era stigmatization of Talangsari community resistance not
able to be removed substantively?.
The purpose of this research was : (1) the conditions of agrarian
relations which became the principal cause of Talangsari community resistance,
(2) the interplay of the elements that support the launching of resistance action of
Talangsari farmer community (3) describes the process of stigmatization carried
out by New Order regime against Talangsari community, (4) How far the
resistance movement farmers in Talangsari have in common with the other groups
(non action mission)
This research was deliberately done in the Talangsari community based
on certain criteria, using the critical paradigm, with the design of case study of
Talangsari community, as a consequence is used qualitative method. Data were
collected by deep interview, documentation, observation and secondary data.
Source of data obtained from Talangsari community that is still alive and living in
the hamlet Talangsari, government agencies. Process and analysis of data
followed the phases of data reduction and classification based category which
constructed by the concept, and then made the relationship between concepts.
To cripple resistance movement farmer at Talangsari East Lampung, the
New Order that build discoursece resistance farming community is mob meddler
security. The security distumber horder was tangible form threat latent for
Indonesian using Islamic ideolgy movement as the basis for the porpuse replace
ideology of Pancasila to other ideology. Labeling against community Talangsari
East Lampung through two ways: first, labeling by conducting assessment in
doing individual/groups considered deviate from norms prevailing, second,
labeling could also be done to intervance of action. It is as praticed by the New
Order regime is against the forces of political Islamic, namly with eliciting cases,
cases Talangsari Each Lampung of them. The porpuse social engenering this
proves that New Order regime, Islamic political do not want existance the state,
Islam ic limeted only ritual without the interfere with national and state affairs.
The result showed that, first, the structural tension between farmers and
authorities of forest area Register 38 Gunung Balak, which is the main
precondition emergence of resistance of Talangsari farmer community. This
condition is triggered by development policy that is not responsive to the interest
of farmer. Second, the local supraactor who participate mobilize farmer to resist,
local actor in question is the intelligence of New Order regime which his longterm goal to weaken the position of political Islam in the national political stage.
Third, the labeling of the Talangsari farmer community as a Security Disturber
Horde which uses the ideology of Islam (Jihad) as the base move who succeessful
immobilise colective movement farmers. Fourth, Resistance movement Warsidi
community in Talangsari is a appearing on the basis of the economic (agrarian)
interest who was tagged as religiuos that made Islam ideologi (jihad) as the base
movement, while resistance Moro community in the Phillippines is resistance
movement independence politicsin the form of independence (Islamic state).
Keywords: resistance, farmer, agrarian, stigmatization
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipannya hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan lain suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN
PENGACAU KEAMANAN
(Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung Timur)
M. MAWARDI J
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.
Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Sofyan Sjaf, M. Si.
Prof. Dr. HM. Bahri Ghozali, MA.
Judul Disertasi
: PERLAWANAN PETANI TERHADAP KETIDAKADILAN
AGRARIA DALAM STIGMA GEROMBOLAN PENGACAU
KEAMANAN (Studi Pada Masyarakat Talangsari Lampung
Timur)
Nama
NPM
: M. Mawardi J
: I363110031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS.
Ketua
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS
Anggota
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Sosiologi Pedesaan (SPD)
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian..............................
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus.......................
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat rakmat
dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 sampai Desember 2014.
Proses penelitian ini relatif berlangsung lama dan merupakan penelitian kasus
perlawanan petani yang terjadi pada tahun 1989 yang menggunakan pendekatan
kritis. Oleh sebab ituuntuk mendapatkan data yang komprehensif dalam perpektif
emik diperlukan waktu relatif lama.
Pada kesempatan ini ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan
yang tinggi penulis sampaikan pertama-tama kepada komisi pembimbing Dr. Ir.
Titik Sumarti, MS., sebagai ketua dan masing-masing kepada Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS. dan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA sebagai anggota atas
bimbingannya sejak menyusun proposal hingga selesainya penyusunan disertasi
ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Sukidi mantan
Kepala dusun Talangsari III dan bapak Muhadi selaku warga Talangsari yang
telah menyediakan tempat tinggal dan membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga, atas
doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016
M. Mawardi J
DAFTAR ISI
DAFTAR MATRIK
DAFTAR TABEL
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan
Tujuan penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kebaharuan (novelty)
1
1
7
8
8
9
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa Penelitian Perlawanan Petani
Beberapa Gerakan Sempalan Non Mainstrem
Gerakan Sempalan Radikal
Gerakan Sempalan Messianistik
Gerakan Sempalan Thaumaturgical
Konsep dan Kerangka Teoritik
Perlawanan Petani
Faktor-faktor Penyebab Perlawanan Petani
Teori Tindakan Kolektif
Komponen dalam Tindakan Kolektif (Tilly & Smelser)
Faktor-faktor Pendukung Tindakan Kolektif
Teori Labeling (Penjulukan)
Latar Belakang dan Perkembangannya
Elemen-elemen Dasar Teori Labeling
Kerangka Pemikiran
10
10
14
14
15
16
17
17
20
22
22
25
31
31
35
37
3 Metodologi Penelitian
Paradigma Penelitian
Pokok dan Konsep Penelitian
Lokasi Penelitian
Metode Penelitian
Pendekatan Utama: Sosiologi Sejarah dan sejarah sosiologi
Metode Kasus
Studi Riwayat Hidup Individu
Riwayat Hidup Tineliti
40
40
41
42
42
43
43
43
44
Riwayat Hidup Peneliti
Studi Sejarah Lokal
Metode Pengumpulan Data
Wawancara Mendalam dan Observasi
Dokumentasi
Analisa Data
44
45
45
46
46
46
4 Sosio-Historis Lampung dan Kebijakan Agraria
Sosio-Historis Lampung
Lampung Pada Masa Pra-Kolonial
Falsafah Hidup dan Struktur Masyarakat Adat
Lampung Sebagai Buffer Zone Jawa
Heterogenisitas Masyarakat Lampung
Petani dan Struktur Penguasaan Agraria
Kebijakan Agraria kolonial
Program Transmigrasi Masa Kolonial
Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Lama
Pertumbuhan Penduduk Masa Orde Baru
Kebijakan Agraria
Register 38 Gunung Balak Lampung Timur
Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Kolonial
Kebijakan Agraria di Register 38 Gunung Balak Masa Orde Lama
47
47
47
49
50
51
53
53
54
57
58
60
60
61
64
5 Talangsari III: Bertahan dalam Himpitan Stigma
Sejarah Dusun Talangsari III
Kondisi Demografi Dusun Talangsari III
Kehidupan Keagamaan di Dusun Talangsari III
Keadaan Sosial-Ekonomi Dusun Talangsari III
Struktur Sosial Masyarakat Dusun Talangsari III
70
70
73
76
79
82
6 Perlawanan Komunitas Petani Di Talangsari
Kepentingan Ekonomi Dalam Perlawanan petani
Pengorganisasian dalam Perlawanan Petani
Mobilisasi Sumber Daya dalam Perlawanan Petani
Ketegangan Struktural: Komunitas Warsidi dan Aparatus Daerah
85
85
90
95
98
7 Pelabelan (Stigma) Gerombolan Pengacau Keamanan
Dalam Perlawanan Petani
Penyimpangan Perilaku Komunitas Warsidi di Talangsari
Pelabelan Terhadap Penyimpangan Komunitas Warsidi di Talangsari
Pelabelan (Stigmatisasi) melalui Kekuasaan oleh Negara
Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Partai Politik
Golongan Karya (Golkar)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Pelabelan (Stigmatisasi) oleh Organisasi Sosial/Keagamaan
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nahdlatul Ulama (NU)
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Komite Nasional pemuda Indonesia (KNPI)
Pelabelan (Stigmatisasi) Melalui Propaganda Media Massa
Penangkapan Anggota dan Aktor Gerombolan
Gerakan Komunitas Moro di Filipina
109
111
113
115
119
120
121
123
124
124
125
127
128
129
132
135
7 Pelumpuhan Gerakan Kolektivitas Perlawanan Petani Terhadap Ketidakadilan
Agraria Melalui Rekayasa Pelabelan
137
Pelabelan Gerakan Kolektivitas Petani
138
Ketegangan Struktural
139
Peluang
141
Mobilisasi Motivasi
141
Kontrol Sosial/Represi
142
Temuan Teoritik
144
Sumbangan Tilly dalam Teori Tindakan Kolektif
145
Aksi Kolektif
146
Mobilisasi Sosial
146
8 Simpulan, Saran dan Epilog
Simpulan
Saran
Epilog
148
148
149
150
Daftar Pustaka
Riwayat Hidup
154
159
DAFTAR MATRIK
1.
Pokok Penelitian, Unsur Data dan Teknik Pengumpulan Data
41
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
.
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Menurut Tahun 2014
Jenis Kawasan dan Tingkat Kerusakan Hutan di Provinsi Lampung 2010
Jumlah Penduduk Menurut Usia di Dusun Talangsari III
Luas Lahan yang Dimiliki Petani di Dusun Talangsari III, Tahun 2013
Sistem Pembagian Hasil Pertanian di Dusun Talangsari III
58
59
73
73
80
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Akhir–akhir ini isu terorisme internasional menjadi kejahatan yang banyak
diberitakan media online di seluruh dunia, yakni mencapai 104. 061 kali atau
mencapai 78,2 persen dari enam topik (terorisme internasional, perdagangan
narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, penyelundupan manusia, dan
penyelundupan senjata) yang masuk dalam kategori kejahatan internasioanal.
Media internasional memberikan atensi pada pergerakan kelompok radikal ISIS,
Taliban, Bako Haram, Al-Shahab dan gerakan radikalime Islam lainnya, terlebih
selepas serangan di Paris bulan November 2015 dan serangan bom Belgia pada
bulan Maret 2016 yang mengatasnamakan agama dari Islamic State-ISIS.
(Kompas, 24Maret 2016).
Pantauan Intelligence Media Management, isu global terorisme ini
melibatkan para pemimpin negara-negara besar, seperti Amerika Serikat,
Perancis, Israel, Autralia dan Inggris. Donald Trump, kandidat pavorit bagi calon
Presiden Amerika Serikat dari partai Republik telah mengubah sasaran
serangannya, dari stigmatisasi terhadap emigran Amerika Latin menjadi serangan
primer terhadap kaum muslim. Hal ini nampak pada seruan terbarunya melarang
kaum muslim masuk ke Amerika Serikat, bahkan bagi warga Amerika Serikat
yang beragama Islam yang dilabel sebagai teroris, yang secara tidak langsung
telah mengkategorisasikan 1,5 milyar umat Muslim di dunia berpotensi sebagai
teroris dan berperilaku radikal. (Kompas, 8 Desember 2015)
Padahal terorisme hanyalah isu yang sengaja dikaitkan dengan keyakinan
Islam yang benar. Perang melawan teroris merupakan agenda besar Amerika
Serikat untuk melanggengkan hegemoninya, teroris dalam pandangan mereka
adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan nilai-nilai barat dan menentang
Amerika.Mantan presiden Bush mengatakan“Ether you are with us, or you are
with terrorist‖, padahal Islam dengan jelas tidak mungkin sejalan dengan nilainilai barat, maka harus dimusuhi dan dilabel sebagai teroris.
Sifat setiap ideologi yang berkuasa adalah mempertahankan kekuasaannya,
maka ia tidak memberikan ruang apabila ada potensi ideologi lain yang akan
merongrongnya. Jika dikorelasikan dengan Indonesia, negeri berpenduduk
muslim terbesar (12,7 persen dari populasi penduduk dunia) pastinya dipandang
sebagai ancaman serius bagi ideologi kapitalisme pimpinan Amerika apabila
ideologi Islam bangkit di negeri ini. Oleh sebab itu perlu dihalangi, bagi individu
maupun komunitas Islam yang jelas-jelas memperjuangkan tegaknya ideologi
Islam. Salah satunya adalah memberikan stigma sebagai teroris padanya agar
umat menjauhinya dan kemudian diharapkan menjahui apa saja yang
disuarakannya, misalnya memberi stigma teroris kepada Ba‘asyir (pimpinan
Jama‘ah Anshorut Tauhid) karena ia sosok yang begitu lantang menyerukan agar
syari‘ah Islam diterapkan secara kafah dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Huntington (2000) terorisme muncul sebagai implikasi dari
benturan dua ideologi utama di dunia (Islam versus Barat). Barat menemukan
2
seteru yang kemudian menjadi permanen dengan adanya kalaborasi Logika
Huntington bertitik tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik
dunia sebagai perebutan kekuasaan.Mujani (2004) mencoba melacak akar
genealogis dari Islam Radikal dalam berbagai sudut pandang yang linier dengan
teori Huntington di atas, dalam menganalisis keterkaitan Islam radikal dan
demokrasi di Indonesia, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine
lahir di Indonesia, akan tetapi kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari
Timur Tengah dan keberadaan gagasan ―Islamisme‖ yang mereka bawa pun tidak
sepenuhnya mencerminkan ke-Indonesiaan.
Ada dua hal yang menjadi faktor munculnya radikalisme dan tindakan teror
di Indonesia ; Pertama, warisan sejarah umat Islam yang konfliktual dengan
rezim, karena ada modus-modus penindasan politik Islam yang terjadi pada
beberapa fragmen sejarah, khususnya Orde Baru. Kelompok yang termarjinalkan
secara historis tersebut, dengan kesadaran sejarah, mencoba mengembalikan
posisi politik Islam melalui instrumen non-negara dan struktural. Dalam konteks
global, adanya marjinalisasi politik Islam oleh hegemoni dalam politik
internasional (Amerika Serikat) menyebabkan adanya kesadaran untuk
mengembalikan daulat politik Islam. Transnasionalisme membawa kesadaran
tersebut ke Indonesia dalam bentuk gerakan-gerakan politik Islam. Kedua,
fenomena ekonomi-politik. Radikalisme muncul karena ekses kapitalisme yang
menciptakan mereka yang tidak memiliki akses pada sumber-sumber modal, yang
dalam bahasa ekonomi-politik, pendekatan ini dikenal dengan ―pendekatan kelas‖.
Artinya, respons radikalisme pada dasarnya adalah respons kelas untuk melawan
hegemoni kapital yang oligarkis dengan negara.
Lebih lagi ketika rezim Orde Baru kemudian mengambil alih peran
sebagai pemilik sumber daya dan secara represif melakukan subordinasi kepada
kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap sentralisme peran
negara. Menurut Hadiz (2004) memberikan analisis terhadap kemunculan gerakangerakan yang dinilai Islam radikal. Orde Baru, dengan perangkat-perangkat
birokrasi, baik dalam jenis militer maupun sipil, mentransformasikan diri menjadi
rezim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang berpotensi
menjadi oposisi. Komunisme dijadikan ideologi terlarang yang berantas sampai
keakar-akarnya. Nasionalisme sebagai kekuatan terkuat pasca 1955, rezim otoriter
Orde Baru mempersempit ruang geraknya dengan membungkam hak politik
tokoh-tokohnya bahkan memenjarakan mereka.
Islam menjadi kekuatan tersisa yang tidak dapat dihabisi oleh rezim karena
memiliki basis kultural yang sangat kuat. Untuk melakukan subordinasi terhadap
kekuatan Islam, lahirlah diskursus mengenai ―Islam Radikal‖. Kasus pertama
yang dimunculkan oleh rezim Orde Baru adalah Komando Jihad (pembajakan
pesawat Woyla) yang disinyalir sebagai aksi terorisme pertama di Indonesia.
Kemudian, lahirlah kasus-kasus lain yang sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan politik Orde Baru.
Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan
patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan di
akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde Baru
sebagai ―Islam Radikal‖ ini pun lahir dan terkonstruksi oleh realitas politik. Pada
3
titik ini, Hadiz (2004) memberikan sebuah tesis: “Islam Radikal pada hakikatnya
dilahirkan oleh Orde Baru‖. Kelahiran terorisme merupakan sebuah proses
panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rezim Orde Baru
yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan Islam
sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Dengan demikian, radikalisme dibaca sebagai potret kesadaran sejarah
yang berpadu dengan kesadaran kelas yang dimiliki oleh masyarakat Islam tidak
terkecuali pada komunitas Warsidi di Talangsari, oleh sebab itu penting melihat
perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989.Sebuah perlawanan
petani yang ditumpas secara paksa oleh militer rezim Orde Baru yang berkekuatan
tiga peleton tentara, lima puluh orang anggota satuan Brigade Mobil (Brimob)
pada selasa 07 Februari 1989 dan dilumpuhkan melalui pelabelan sebagai
gerombolan pengacau keamanan.Penumpasan inimerupakan puncak ketegangan
antara komunitas tersebut dengan otoritas pemerintah setempat yang
mengakibatkan tewasnya 246 orang anggota komunitasdan membawa trauma
yang berkepanjangan serta penderitaan terhadap anak keturunan masyarakat
dusun Talangsari hingga hari ini. Peristiwa tersebut menjadi perhatian dari
berbagai media massa baik lokal maupun nasional, bahkan menjadi berita yang
menarik bagi dunia internasional. (Fadilasari, 2007 : 72)
Rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok pemberontak
yang ingin merongrong kedaulatan negara dengan menggantikan ideologi
Pancasila dengan ideologi lain. Presiden Soeharto dalam pernyataannya ; ―mereka
adalahgerombolan pengacau keamanan yang menyalahgunakan agama (Islam)
untuk kepentingan yang sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam itu
sendiri. (Angkatan Bersenjata, 13 Februari 1989). Akibatnya anak keturunan
masyarakat dusun Talangsari memperoleh perlakuan yang diskriminatif mulai dari
sikap sinis hingga diperlakukan tidak adil (hilang hak sebagai warga negara),
seperti ditolaknya anak-anak korban Talangsari untuk mendapatkan pendidikan
sekolah negeri sehingga harus terpaksa sekolah di luar Lampung, setiap orang
yang menggunakan identitas Talangsarimaka akan memperoleh kesulitan dalam
memperoleh pekerjaan baik di instansi swasta lebih lagi di instansi pemerintah,
tidak diperkenankannya mengikuti kompetisi di ajang-ajang pemilihan
kepemimpinan pada tingkat lokal (desa) sekalipun.
Bahkan setelah dua puluh enam tahun berlalu, masih ada upaya secara
sistematis untuk menyudutkan korban kekerasan tragedi Talangsari Lampung
terus dilakukan, sebagaimana menurut Kepala Impunitas dan Pemulihan Korban
Kontras : ‖Korban kekerasan dan aktivis Talangsari dianggap sebagai terorisme
dengan cara memata-matai aktivitas warga secara berlebihan, yang membuat rasa
panik, cemas dan resah warga serta aktivis Talangsari, menyesalkan Polisi Daerah
(Polda) Lampung yang mengemukakan secara terbuka dan menyebut seseorang
berinisial MT yang sedang dilacak yang merupakan aktivis Talangsari. Korban
kekerasan politik Talangsari mendorong penyelesaian secara hukum, oleh sebab
itu kami meminta Polri untuk berhati-hati agar tidak terkecoh oleh pihak-pihak
yang berupaya menghidupkan kembali ―stigma‖ lama Orde Baru dengan
mencurigai dan mengaitkan aktivis Talangsari dengan teroris. (Sumber; Kontras,
13 Maret 2010).
4
Perlawanan itu sendiri merupakan rangkaian panjang dari perlawanan
sebelumnya, setelah mereka terusir dari hutan lindung register 38 Gunung Balak
akibat adanya kebijakan untuk memfungsikan kembali waduk Way Jepara yang
diestimasikan dapat mengairi lahan seluas kurang lebih 7.000 hektar. Perlawanan
komunitas Warsidi di Talangsari pada tahun 1989, bisa dimengerti, karena sebagai
kolektivitas petani membutuhkan kenyamanan hidup, kelayakan dalam
memanfaatkan sumber daya agraria (tanah), keamanan memiliki akses tanah,
dengan kata lain bagi petani tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik
sebagai sumber kehidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial
dalam masyarakat. Menurut Flor (2002, 15) bahwa; tanah pertanian bagi petani
bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata
kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan
bahkan ideologis.
Perlawanan bermula saatpemerintah Orde Baru berencana membangun
proyek waduk Danau Way Jepara berikut saluran irigasi yang diestimasi dapat
mengairi 7.000 hektar lahan pertanian (persawahan), dan telah dilakukan survei
kelayakan oleh Direktorat Jendral Agraria Bersama SAE (Survey Agro
Ekonomi)bahwa penggunaan lahan di bagian hulu danau Way Jepara
membahayakan ketersediaan sumber air danau yang berasal dari sekitar ―Rawa
Way Abar‖. Hal ini kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan tindakan
relokasi dalam upaya melestarikan daerah tangkapan air (water catchment area)
untuk melindungi sumber-sumber air Danau Way Jepara, rencana relokasi
penduduk memunculkan kegerahan dan ketidaknyamanan di kalangan petani.
Upaya perelokasian penduduk dari area register 38 Gunung Balak secara
besar-besaran dengan paksaan demi pembangunan sarana irigasi telah
mengakibatkan munculnya berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
petani dalam mempertahankan subsistensinya, padahal petani adalah komunitas
yang menyukai harmoni sekaligus senang mempertahankan tradisi yang diyakini
telah menjamin kelangsungan hidupnya. Namun ketika ada kebijakan penguasa
yang mengancam keamanan subsistensinya, petani bisa dipastikan akan
melakukan perlawanan bahkan melakukan tindakan yang mengarah pada radikal.
Sejarah gerakan dan perlawanan petani di Indonesia, radikalisme bukanlah
suatu hal yang baru. Sejak zaman pemerintahan kolonial fenomena radikal dan
kekerasan oleh petani sudah terjadi, terutama ketika pemerintahan kolonial mulai
mengembangkan kebijakan yang memberikan kesempatan kepada swasta untuk
membuat keuntungan dengan mengusahakan lahan untuk perkebunan tanaman
industri. Studi yang dilakukan oleh Breman (1983) terhadap gerakan perlawanan
petani di sekitar pabrik gula di Pasuruan dan Probolinggo menemukan bahwa
perlawanan tersebut dipicu oleh paksaan untuk menanam tebu oleh pihak pabrik
gula milik perusahaan dagang Belanda dengan sokongan pemerintah kolonial
Belanda. Siahaan (1996) juga melakukan penelitian mengenai perlawanan petani
peserta TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) di Papar Kediri dan menemukan bahwa
perlawanan tersebut disebabkan oleh maraknya korupsi dan kecurangankecurangan dalam program TRI.Kebijakan ini memaksa petani untuk
menanamkan tanaman yang dibutuhkan untuk industri (seperti tebu) dan juga
memaksa sejumlah petani untuk membuka lahan baru
5
Kondisi inilah yang menjadi awal munculnya bibit-bibit perlawanan dari
petani. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde
Baru, dalam upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan dengan memaksa
petani untuk melepaskan lahan mereka yang selama ini menjadi tumpuan dan
sumber kehidupannya. Pengusiran penduduk secara paksa oleh rezim kekuasan
telah melahirkan kegerahan dan reaksi keras dari kalangan petani di register 38
Gunung Balak Lampung Timur.Muncul kolektivitas di kalangan petani untuk
mempertahankan hak-haknya atas tanah dan lahan garapan yang selama ini sudah
ditempati dan menopang kehidupannya. Kolektivitas dan solidaritas yang
dilandasi adanya kepentingan bersama ini semakin menguat dan intensif, lebih
lagi di Talangsari hadirnya pemimpin (Warsidi) yang mempunyai kewibawaan
dan kharisma sehingga mempersubur kepemimpinan yang potensial untuk
melakukan tindakan perlawanan dalam berbagai bentuk.
Kolektivitas di kalangan petani semakin solid karena mereka dihadapkan
pada musuh bersama, yakni aparatus daerah yang merupakan perpanjangan tangan
dari kekuasan pusat di Jakarta dalam rangka mengamankan dan mengawal
program pemerintah sebagaimana dalam repelita satu, selain itu perasaan senasib
sebagai orang yang terusir semakin memperkokoh kolektivitas diantara sesama
petani, meskipun sebelum adanya rencana pemerintah untuk merelokasi mereka
dari kawasan register 38 Gunung Balak tidak jarang mereka mengalami
persaingan hidup dalam memperoleh lahan garapan. Dengan kata lain kolektivitas
petani sebelum adanya rencana perelokasian dari kawasan register 38 Gunung
Balak tercerai berai/renggang akibat kepentingan masing-masing menjadi kuat
dalam upaya mempertahankan kepemilikan dan pentingnya penguasaan tanah.
Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang dengan sendirinya akan mendorong
munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi
pihak luar. Sumber daya agraria (tanah) juga mencerminkan bentuk dasar
kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi politik, serta mencerminkan
hubungan dan stratifikasi sosial. Falsafah Jawa menurut Zam (75 thn)
―shadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi mati‖ menunjukkan betapa
eratnya hubungan antara manusia dan tanah yang dimilikinya.
Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan matimatian dengan seluruh jiwa raga.Hal ini pada gilirannya selalu menimbulkan
konflik, konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi. Hal ini
terbukti sampai saat ini masalah tanah masih saja menjadi persoalan yang sering
kali memunculkan perlawanan dari rakyat. Bentuk perlawanan bermacam-macam,
ada yang bersifat individual maupun kolektif, hanya sekedar berunjuk rasa atau
bahkan melakukan pemberontakan.
Salah satu bentuk perlawanan petani yang bersifat tersembunyi atau diamdiam sebagai bentuk perlawanan sehari-hari(everyday forms of resistens). Scott
(2000) menjelaskan bahwaperlawanan sehari-hari merupakan upaya perjuangan
petani yang biasa-biasa saja namun terjadi secara terus menerus antara kaum tani
dengan orang-orang yang berusaha untuk menghisap tenaga kerja, makanan,
pajak, sewa dan keuntungan dari mereka. Perlawanan petani tidak selalu
merupakan bentuk aksi bersama, tetapi kadang-kadang merupakan resistensi
individual yang dilakukan secara diam-diam.
6
Upaya untuk memadamkan gerakan perlawanan petani dengan melakukan
stigmatisasi sebagai pemberontak/pembangkang pernah dilakukan dalam kasus
Kedung Ombo pada tahun 1985, akibat adanya pembangunan Waduk Kedung
Ombo yang menggenangi wilayah yang tanahnya sangat subur seluas 6.125 hektar
(Stanley 1994). Demikian pula yang terjadi dalam pembangunan Waduk Nipah di
Madura, memunculkan perlawanan petani ketika melihat tanah-tanah mereka
akan dijadikan waduk, lebih lagi di lahan mereka terdapat kuburan-kuburan para
leluhur.(Ratna, 2005). Namun kedua perlawanan petani tersebut tidak memiliki
ekses yang berkepanjangan terhadap anak keturunan sebagaimana perlawanan
yang terjadi di Talangsari.
Negara orde baru sangat berkepentingan dengan beberapa kasus yang
berkaitan dengan gerakan Islam politik, sejak awal gejala yang muncul dari
adanya kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat politik umat Islam
mendapatkan angin segar, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan
satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak
memperkuat posisinya, dimana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan citacita nasionalisme sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Oleh sebab itu, upaya untuk memberi label setiap gerakan
yang mengusung legalitas-formalisme Islam senantiasa dilakukan oleh negara
untuk memberi citra buruk terhadap Islam politik yang sekaligus menyingkirkan
Islam politik dari arena politik nasional.Islam politik dianggap sebagai ancaman
dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia. (Allan
A. Samson 1985 : 158).
Pemerintah melakukan labelisasi untuk melemahkan dan sekaligus
melumpuhkan kolektivitas yang selama ini terkonsolidasi dengan melakukan
penetrasi dalam setiap gerakan perlawanan baik dari mobilisasi aktivasi,
pengorganisasian dan memunculkan ketegangan struktural, serta membelokkan
arah tujuan gerakan perlawanan yang semula untuk mempertahankan dan
memperoleh hak atas kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi gerakan
perlawanan dengan tujuan untuk mendirikan perkampungan muslim di Lampung
(negara dalam negara). Melalui media masapemerintah pusat melakukan
pembentukan opini dan pencucian otak melalui corong-corong kekuasaan dan
pengkooptasian terhadap tokoh-tokoh lokal dan nasional, sehingga fakta
perlawanan petani berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Opini yang terbangun
di kalangan masyarakat adalah kebenaran kekejaman di luar perikemanusiaan
yang dilakukan oleh komunitas Warsidi di Talangsari terhadap aparatur setempat
dengan melakukan pemberontakan .
Stigmatisasi adalah bentuk lahir dari hate crime, dan tidak jarang hal ini
melahirkan kejahan-kejahatan lainnya seperti tindak kekerasan fisik. Ironisnya
hate crime tidak hanya dilakukan oleh sekelompok masyarakat, melainkan juga
oleh penguasa terhadap kelompok yang dianggap mengancam kekuasaannya.
Penguasa Orde Baru menggunakan media, baik cetak maupun elektronik, dan
berbagai media lainnya sebagai mesin-mesin propaganda yang bergerak leluasa
untuk mempengaruhi dan merekayasa persepsi publik sejak peristiwa perlawanan
komunitas Talangsari itu terjadi pada tahun 1989.
7
Permasalahan
Stigmatisasi terhadap komunitas Talangsari sebagai gerombolan pengacau
keamanan merupakan salah satu upaya negara dalam melumpuhkan kolektivitas
petani yang selama ini dianggap sebagai komunitas penentang program
perelokasian penduduk dari hutan register 38 Gunung Balak dalam upaya
memfungsikan kembali waduk Way Jepara, sekaligus upaya mendekonstruksi
kekuatan Islam politik yang dianggap dapat mengancam kelanggengan eksistensi
penguasa. Proses dominasi melalui distorsi sejarah ini dapat berjalan mulus
selama puluhan tahun tanpa disadari, bahkan dianggap sebagai sebuah dasar
kebenaran. Walau sebetulnya, semua ini adalah suatu rangkaian realitas palsu.
Berdasarkan hal tersebut, penulis menkonstruksi ulang perlawanan komunitas
Talangsari melalui beberapa pertanyaan berikut;
1. Mengapa tindakan perlawanandijadikan sebagai pilihan bagi komunitas
Warsidi di Talangsari dalam menyelesaikan ketidakadilan agraria padahal
media penyelesaian lainnya masih tersedia ?
2. Mengapa kekuasaan (negara) memerlukan pembentukan opini dalam bentuk
labelling, konsolidasi kekuasaan danmerangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat
untuk melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari ?
3. Seberapa jauh gerakan kolektif komunitas Warsidi di Talangsari mempunyai
kesamaan dengan gerakan kelompok non action mission (kelompok sempalan)
lainnya ?
Tujuan Penelitian
Pada umumnya penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya, dan salah
satu cara untuk mencapainya adalah dengan menempatkan rakyatnya sebagai
musuh negara. Negara secara sistematis melakukan stigmatisasi yang
menempatkan rakyat sebagai musuh negara dan musuh rakyat, sehingga negara
memiliki justifikasi untuk memberangusnya.
Salah satu yang ditempatkan oleh rezim Orde Baru sebagai musuh negara
setelah hancurnya kekuatan kiri (PKI) adalah ekstrim kanan (Islam radikal)
diantaranya ―komunitas Talangsari‖ yang selanjutnya diberi stigma sebagai
gerombolan pengacau keamanan. Penelitian ini bertujuan :
1. Menganalisis pilihan tindakan perlawananoleh komunitas Warsidi di
Talangsari dalam menyelesaikan persoalan ketidakadilan agraria yang mereka
dapatkan padahal media penyelesaian lainnya masih tersedia.
2. Menganalisis pembentukan opini dalam bentuk labelling, konsolidasi
kekuasaan dan merangkul tokoh-tokoh lokal masyarakat oleh negara dalam
melumpuhkan kolektivitas komunitas Warsidi di Talangsari.
3. Menganalisis kesamaan gerakan perlawanan komunitas Warsidi di Talangsari
dengan gerakan kelompoknon action mission(kelompok sempalan) lainnya.
8
Manfaat Penelitian
Pada tataran akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
konstribusi pengetahuan tentang aspek-aspek penting dalam perlawanan petani
terutama dalam sosiologi pedesaan dapat menambah pengetahuan tentang gerakan
petani yang berbasis pada persoalan agraria dan upaya stigmatisasi yang
dilakukan oleh kekuatan supra struktur desa. Akhirnya pada tataran keilmuan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan teoritis tentang
perlawanan petani dan pelabelan oleh kekuatan di luar petani.
Pada tataran praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) dipergunakan
untuk mengevaluasi kebijakan pembangunan agraria di pedesaan agar tidak
menimbulkan kegerahan bagi petani serta kewaspadaan petani terhadap intervensi
kekuatan supra desa. (2) tidak menjadikan kekuatan Islam politik sebagai alat
untuk memecah-belah persatuan dengan membenturkan ideologi Islam dengan
ideologi Pancasila.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memfokuskan analisis dan pembahasan dalam studi perlawanan
petani terhadap ketidakadilan agraria yang dilabeli sebagai gerombolan pengacau
keamanan, maka ditetapkan batas-batas analisis sebagai berikut :
1. Perlawanan petani yang dikaji meliputi latar belakang munculnya penyebab
tindakan perlawanan yang dilakukan oleh petani, realitas struktur hubungan
agraria terkonstruksi sehingga menjadi prakondisi utama munculnya
perlawanan petani. Hubungan yang memunculkan adanya ketegangan serta
memberi peluang munculnya tindakan kolektive petani. Secara khusus akan
dipaparkan pada persoalan penguasaan tanah masyarakat (di register 38
Gunung Balak) berkaitan dengan kebijakan negara untuk memfungsikan
kembali waduk Way Jepara sebagai perwujudan peningkatan kesejahteraan
hidup petani
2. Sejauh mana upaya labelisasi/pelumpuhan terhadap perlawanan petani dan
gerakan Islam Radikal dengan melakukan pengkooptasian terhadap tokohtokoh lakan dan pemberangusan media massa sebagai control social. Persoalan
ini berhubungan dengan kondisi-kondisi yang menunjukkan kemampuan
negara dalam melumpuhkan gerakan perlawanan petani dan Islam radikal
dengan berbagai kekuatan yang dimiliki.
3. Kondisi-kondisi utama yang memberi peluang munculnya aksi-aksi kolektif
petani. Kondisi itu antara lain, adanya pengorganisasian yang dilakukan oleh
aktor lokal, dan kepeimipinan kharismatik yang mempunyai kewenangan
sehingga mampu menghimpun aksi kolektif petani, mobilasasi sumber daya,
serta adanya pembingkaian tindakan kolektif yang dilakukan oleh aktor supra
lokal dalam upaya melumpuhkan perlawanan petani.
9
Kebaharuan (Novelty)
Kebaharuan penelitian ini berada pada temuan lapangan bahwa
perlawanan petani terhadap ketidakadilan agraria yang selama ini seringkali
dikaitkan dengan kekuatan kiri (Partai Komunis Indonesia), sebagaimanana hasil
beberapa studi diantaranya;Kuntowijoyo (1994) melihat bahwa gerakan petani
didukung oleh gerakan global kaum komunis yang di Indonesia dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (Kuntowijoyo, 1994 : 11). Demikian pula dengan
diselenggarakannya konggres petani pada tanggal 22 – 25 November 1945 yang
disponsori oleh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta, melahirkan empat
pokok keputusan : 1) modernisasi pertanian, 2) menetapkan harga sewa tanah, 3)
melaksanakan land-reform dan 4) melatih kader-kader tani untuk propaganda
komunisme. Konggres tersebut menunjukkan bahwa Partai Komunis Indonesia
merupakan salah satu partai yang sangat konsen dalam memperjuangkan
kepentingan petani, dengan kata lain setiap perjuangan untuk mendapatkan
sumber daya agraria tanah (petani), kekuatan kiri ini senantiasa berada
dibelakangnya. Ternyata dalam kasus Talangsari perlawanan petani terhadap
ketidakadilan agaria dilabel sebagai gerombolan pengacau keamanan, yang
berhubungan dengan kekuatan kanan (agama Islam).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa Penelitian Perlawanan Petani
Beberapa tulisan yang membahas tentang perlawanan petani terhadap
penguasa sangat signifikan kontribusinya dalam memperkaya tinjauan teoritis
yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini. Pemilihan tulisan
ditekankan kepada konsep-konsep yang diintrodusirnya yaitu berkaitan dengan
resistensi.
Konflik-konflik agraria secara umum dan pergolakan-pergolakan petani
secara khusus, apakah itu merupakan manifestasi dari gerakan milenari atau tidak,
telah menjadi bahan studi yang banyak diminati. Sekitar tiga dekade yang lalu,
banyak penelitian tentang gerakan petani dilakukan baik di luar maupun di dalam
negeri. Tentang gerakan perlawanan petani di luar negeri, kita bisa menyebut
misalnya Scott dan Popkin. Studi yang dilakukan oleh Scott (1974) dan Popkin
(1976) di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada
masa kolonial, memperlihatkan adanya empat faktor utama penyebab kemarahan
kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi,
kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di
pedesaan Asia khususnya Jawa, dipengaruhiadanya sistem kolonialisme. Melalui
kolonialisme, sebagian besar desa-desa di Asia terintegrasidengan sistem kapitalis
dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalismerupakan sebuah unit
rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.Eksploitasi kolonial ditambah
dengan tekanan demografi yang semakinmeningkat, mengakibatkan rusaknya
10
pola-pola yang sudah ada, sertamengkhianati sendi-sendi moral ekonomi petani
yang didasarkan pada etikasubsistensi.
Lebih lanjut Scott (1981) menjelaskan bahwa tentang perlawanan petani
dalam konteks struktural, bahwa struktur agraris yang rapuh dan eksploitatif pada
umumnya merupakan produk interaksi antara tiga kekuatan: perubahan
demografis, produksi untuk pasar dan pertumbuhan negara. Sementara itu peranan
negara dalam memaksakan pelaksanaan kontrak-kontrak melalui pengadilan dan
untuk mematahkan perlawanan kaum tani telah memungkinkan para pemilik
tanah dan rentenir untuk merenggut keuntungan yang sebesar-besarnya dari
kedudukan mereka yang lebih kuat.
Kemerosotanekonomi secara mengejutkan yang disertai dengan
peningkataneksploitasi dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Eksploitasi yang
dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa
banyak petani dan hampir terjadi di seluruh wilayah serta dapat mengancam jaring
pengaman sosial mereka atas sumber-sumber subsistensial, maka besar sekali
kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Menurut Scott (1976), tekanan struktural, tekanan kultural hingga kondisi
subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi sudah cukup untuk
menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan
sosial yang ada. Gerakan-gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana
seringkaliberpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan
merataketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkhis. Lahirnya
suatumitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat
menggerakkankaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos-mitos seperti
inimempersatukan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi-koalisi
petani,meskipun tidak stabil, sangat rentan dan hanya dipersatukan untuk
sementarawaktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).
Di Indonesia sendiri, sejumlah penelitian telah dilakukan tentang pokok
persoalan ini. Sebelum studi Kartosudirdjotentang Pemberontakan Petani Banten
menjelang akhir abad kesembilan belas kebanyakan studi didasarkan pada asumsi
bahwa berbagai pemberontakan petani lebih merupakan suatu ledakan fanatisme
atau huru-hara menentang pajak. Menurut Begawan sejarah Kartosudirdjo(1984)
menguraikan bahwa, gerakan sosial adalah: gerakan perjuangan yang dilakukan
oleh golongan sosial tertentu melawan eksploitasi ekonomi, sosial, politik, agama,
dan kultural, oleh kelompok penekan, apakah itu penguasa atau negara. Termasuk
dalam gerakan semacam ini, diantaranya, adalah kaum petani dan buruh. Peran
nilai-nilai agama sangat signifikan dalam pemberontakan petani Banten,
meskipun rakyat Banten memiliki tradisi memberontak, tanpa ada legitimasi
agama pemberontakan tidak akan pecah, meskipun keresahan sosial sudah
memuncak. Doktrin-doktrin keagamaan yang disampaikan Syekh ―Abdullah AlKarim Al-Bantani‖ yaitu kedatangan Imam Mahdi dalam peringatan terakhir Nabi
Muhammad Saw., mendirikan negara Islam (Dar-Al-Islam) dan perang sabil
(Jihad fisabilillah) yang kemudian disemaikan oleh murid-muridnya
Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat dua transformasi penting diera
kolonial. Pertama, pengalihan secara besar-besaran disektor pertanian, dariyang
semula merupakan pertanian subsisten menjadi pertanianyang berorientasiekspor.
Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi danmiliter untuk
11
mengontrol
wilayah
jajahan.
Salah
satu
bentuk
transformasi
tersebutmengejawantah dalam bentuk perkebunan–perkebunan besar. Pengenalan
sistempertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada
meningkatnyakebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin
terlepas daritangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi
penggarapburuh tani upahan dan buruh perkebunan.Kolonialisme dan masuknya
ekonomi uang berangsur-angsur telahmenghapus jaminan sosial yang ada pada
masa pra-kapitalis. Transformasi agrariayang terjadi telah menghilangkan jaring
pengaman sosial keluarga-keluargapetani miskin dari bencana kelaparan.
Kedermawanan sosial yang semula adapada masa bagi hasil, kini tidak lagi
berlaku umum. Pemerintah kolonial samasekali tidak memberikan perlindungan
kepada para petani miskin terhadapfluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).
Menurut Kamaruddin (2012), Pemberontakan Petani Unra 1943 terhadap
penjajah Jepang disebabkan adanya eksploitasi ekonomi, sumber daya alam, dan
tenaga kerja, serta tekanan-tekanan dari pihak kekuasaan atau negara.
Pemberontakan itu mempunyai pemimpin dan basis ideologi, yakni gerakan
tarekat. Prakarsa pemberontakan diambil oleh petani biasa, tokoh tarekat, dan
sekaligus tokoh agama yang berada di luar kalangan birokrat desa. Sementara itu,
Romdloni (2005) menemukan bahwa latar belakang petani melakukan gerakan
lebih didasari atas aspek ekonomi, sejarah kepemilikan tanah, budaya dan agama.
Studi Romdloni ini diperkaya oleh penelitian yang dilakukan Safitri (2010),
meneliti pola dan strategi gerakan yang dilakukan oleh FP2NB(Forum Paguyuban
Petani Kabupaten Batang).Wahyudi (2005) memfokuskan perhatian pada formasi
dan struktur gerakan, serta jaringan-jaringan pendukung gerakan petani.
Mustain(2007), dalam tulisannya tentang ―Petani vs Negara : Gerakan Sosial
Petani Melawan Hegemoni Negara” menemukan bahwa resistensi yang
dilakukan oleh petani dipicu oleh faktor ekonomi ketimpangan kepemilikan tanah.
Namun dibalik faktor ekonomi tersebut, secara politik resistensi petani muncul
untuk menolak kebijakan negara mengenai masalah penguasaan pertanahan yang
cenderung eksploitatif dan mengutamakan pemodal.
Pada masa orde lama perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya
kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani
Indonesia (RTI), Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI). Organisasiorganisasi petani itu berafiliasi dengan partai-partai politik sehingga perlawanan
mereka semakin kuat, seperti terbukti dengan terjadinya Peristiwa Tanjung
Mowara pada tanggal 16 Maret 1953 yang mengakibatkan jatuhnya kabinet
Wilopo dan dibentuknya Kementerian Urusan Agraria.(Karl J. Pelzer : 1991)Di
dalam penelitian ini mengilustrasikan berbagai keg