PERLAWANAN MASYARAKAT SAMIN TERHADAP KEB

“PERLAWANAN MASYARAKAT SAMIN TERHADAP
KEBIJAKAN PAJAK PADA MASA KOLONIAL”

TUGAS AKHIR
Diajukan Guna Menyelesaikan
Tugas Ujian Akhir Semester

Oleh :
NAMA

: DICKI ARIEF HARDIANSYAH

NIM

: 3101411078

PRODI

: PENDIDIKAN SEJARAH, S1

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014

1

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini penulis membahas mengenai
“Perlawanan Masyarakat Samin Terhadap Kebijakan Pajak pada Masa Kolonial”.

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat

kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita dan para
pembaca sekalian.

Semarang, Januari 2014
Penulis

2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
1.5.


Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 4
Sistematika Penulisan ............................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
2.1. Samin Surosentika ..................................................................................... 6
2.1. Ajaran Kebathinan Samin Surosentika .................................................... 14
2.3. Ajaran Politik Samin Surosentika ............................................................ 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 26
3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 26
3.2. Saran ......................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 33

BAB I
PENDAHULUAN
3

1.1


Latar Belakang
Perubahan sosial merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung di

dalam suatu masyarakat, kelompok, golongan maupun etnis. Perubahan sosial
tidak selalu mengarah ke perubahan yang positif saja terkadang juga negatif. Oleh
karena itu persoalan ini menjadi menarik untuk dibicarakan. Pada hakikatnya
perubahan sosial ini berlangsung dalam kurun waktu tertentu di dalam suatu
masyarakat sebagai perubahan di dalam masyarakat yang berupa penolakan
maupun dukungan masyarakat terhadap suatu hal yang berlangsung dalam
masyarakat tersebut. Biasanya dalam perubahan masyarakat ini dipelopori oleh
seorang tokoh yang memotori suatu pergerakan dan membuat wadah untuk
masyarakat itu sendiri sehingga perubahan dalam masyarakat tersebut dapat
berlangsung.
Pergerakan yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari perubahan sosial
dalam suatu masyarakat. Baik atau buruknya perubahan sosial ini tergantung pada
masalah ataupun suatu hal yang tengah dihadapi oleh masyarakat itu sendiri.
Perubahan sosial bisa juga hanya meliputi bidang tertentu saja dan terbatas pula
kedalamannya. Ada pula perubahan sosial pada bidang tertentu tetapi dapat
berlaku pada tingkat yang lebih luas, misalnya timbulnya kesadaran terhadap

pelestarian lingkungan dalam pembangunan.
Pada dasarnya ada empat perkara penting dalam teori perubahan sosial
yaitu:
a. Perkara asal-usul
Masyarakat tradisional yang masih ada sekarang ini dapat dijadikan
petunjuk kondisi awal yang dapat kita gunakan untuk menelusuri
perkembangan masyarakat modern atau masa kini.
b. Solidaritas mekanik dan organik
Solidaritas mekanik dapat ditemukan dalam organisasi sosial masyarakat
tradisional, yang terdapat kecenderungan untuk mempertahankan ide
bersama dan tata sosial yang seragam, untuk menjaga solidaritas kolektif
tersebut.
c. Pembagian kerja
Pembagian kerja dalam masyarakat kecenderung yang memiliki solidaritas
organik.

Hal

ini


disebabkan

jumlah

interaksi

yang

meningkat

4

mengakibatkan peningkatan dalam pembagian kerja. Pembagian kerja dalam
masyarakat menjadi penting karena dapat menghindari konflik.
d. Arah perkembangan masyarakat modern terjadi dari solidaritas mekanik ke
solidarits

organik.

Hal


ini

dimaksudkan

untuk

mempertahankan

kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik.
Proses perubahan sosial budaya dapat berlangsung lambat atau juga dapat
secara cepat tergantung pada kondisi masyarakatnya. Perubahan sosial Budaya
ada yang direncanakan ada pula yang tidak direncanakan. Menurut Rogers (1989)
perubahan sosial budaya yang terjadi di suatu masyarakat mengikuti tiga tahapan,
yaitu:
a. Tahap pertama terjadi invensi yaitu proses dimana ide-ide baru
diciptakan dan dikembangkan.
b. Tahap kedua, difusi yaitu penyebaran atau pengomunikasian ide-ide ke
dalam sistem sosial.
c. Tahap ketiga, konsekuensi yaitu perubahan-perubahan yang terjadi dalam

sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan.
Gerakan Samin sebagai salah satu cotoh perubahan sosial budaya di Jawa
secara historis muncul pada abad ke-18, ketika seorang petani Jawa, Samin
Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten
Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Gerakan Samin mulai
menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda. Pada waktu itu gerakan Samin ini
menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora. Dimana politik
etis Belanda yang diterapkan di Jawa mempunyai tiga pilar pokok yang
mencakup: edukasi, irigasi, dan migrasi
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah
kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik
tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak.
Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat
istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Hal inilah yang membuat menarik dalam kajian perubahan sosial ini dimana
seorang yang bernama Samin Surosentiko membuat suatu gerakan yang dalam hal
ini mempunyai pandangan yang berbeda di dalam sisi pandang masing-masing
pihak. Di pihak pemerintah kolonial gerakan samin ini merupakan gerakan yang
5


sangat merugikan bagi pihak belanda karena masyarakat pengikut ajaran samin ini
menolak membayar pajak. Dalam hal ini tentunya membuat pihak pemerintah
kolonial merasa dirugikan oleh masyarakat samin karena tidak adanya pemasukan
pajak kepada pemerintah kolonial. Di pihak masyarakat pribumi ataupun pengikut
ajaran samin ini tentunya merupakan suatu keuntungan baginya karena mereka
dapat menikmati hasil pertanian-nya tanpa dikenakan pajak oleh pemerintah
kolonial.
Pengertian diatas merupakan perubahan sosial yang mengarah pada
perubahan yang positif maupun perubahan yang negatif tergantung pada
pandangan masing-masing pihak itu sendiri. Oleh karena itu perubahan sosial ini
sangat menarik karena pada saat itu terjadi perdebatan tentang pandangan dari
pihak kolonial maupun dari pihak masyarakat pribumi.
Pokok bahasan ini merupakan perpaduan antara disiplin-disiplin ilmu sosial
diantaranya: Sejarah, yang memusatkan pada aspek spasial dan temporal;
Sosiologi, yang memusatkan perhatiannya pada hubungan antar individu, antar
kelompok dan golongan dan segala yang berhubungan dengan hubungan sosial;
serta Antropologi, yang memusatkan pada aspek budaya atau karya cipta manusia.
Pokok bahasan yang memadukan antara disiplin-disiplin ilmu sosial inilah
yang dapat mendukung terciptanya pergerakan sebagai hasil dari perubahan sosial

di dalam masyarakat yang berdasarkan pada kurun waktu dan suatu tempat
tertentu, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Perlawanan Masyarakat Samin Terhadap Kebijakan Pajak pada Masa
Kolonial”
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapakah sosok Samin Surosentiko yang dianggap masyarakat sebagai
Ratu Adil pada saat itu?
2. Bagaimana konsep ajaran yang disebarkan Samin Surosentiko terhadap
masyarakat pedesaan di karesidenan Rembang?
3. Bagaimana Samin Surosentiko mengembangkan ajarannya kepada
pengikutnya?
4. Bagaimana masyarakat Samin menolak kebijakan pajak Pemerintah
Kolonial Belanda?
1.3 Tujuan Penelitian

6

1. Untuk mengetahui dan lebih mengenal sosok Samin Surosentiko yang
dianggap Ratu Adil oleh pengikutnya.
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep ajaran yang disebarkan oleh Samin

Surosentiko terhadap masyarakat pedesaan di karesidenan Rembang.
3. Untuk mengetahui bagaimana Samin Surosentiko megembangkan dan
menyebarluaskan ajarannya terhadap pengikutnya.
4. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat Samin menolak kebijakan
pemerintah Kolonial Belanda.
1.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikemukakan dalam Makalah ini hanya diperoleh melalui satu
cara. Yaitu, dengan membaca buku-buku sumber yang ada hubungannya dengan
Masyarakat Samin. Metode ini diambil karena terdapat banyak buku yang
mengulas tentang Masyarakat Samin. Di samping itu, data ini juga dianggap
cukup efektif karena narasumber yang dijadikan objek tidak mudah untuk
memberikan informasi yang cukup untuk penelitian ini. Maka dalam hal ini
penulis mengambil metode kajian pustaka dikarenakan metode ini sangat efektif
menurut penulis.
1.5 Sistematika Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut :
a. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, pembatasan
b.

masalah, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan, menjelaskan tentang temuan-temuan yang ada di

c.

lapangan berdasarkan metode kajian pustaka yang telah penulis pilih.
Bab III Penutup, yang berisi tentang simpulan hasil penelitian, serta

d.

saran-saran yang membangun senagai hasil dari penelitian.
Daftar Pustaka, menjelaskan tentang sumber-sumber yang diambil
penulis dalam menulis penelitian ini.

7

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Samin Surosentika
Di desa Tapelan, Samin Surosentiko dikenal sebagai petani, sesepuh1, guru
kebathinan dan pemimpin pergerakan melawan pemerintah Belanda. Di samping
itu, Samin Surosentika juga dikenal sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru
Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam2. (Prof. Dr. Suripan Sadi
Hutomo, 1996: 13). Penuturan ini juga telah banyak diungkap oleh para peneliti
Geger Samin (Pergerakan Samin). Misalnya oleh Harry J. Bendadan Lance Castle,
Victor T. King, A. Pictor E.Korver, The Siaw Giap, Onghokham, R.P.A. Suryanto
Sastroatmojo, dan lain-lain.dari tulisan tulisan mereka ini dapat diruntut hal-hal
sebagai berikut.
1859, Samin Surosentika lahir di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora.
Dia lima bersaudara. Semuanya laki-laki (seperti Pandahawa dalam cerita
pewayangan). Ayahnya bernama Raden Surowijaya yang kemudian dikenal
sebagai Samin Sepuh sedangkan nama asli dari Samin Surosentiko adalah Raden
Kohar. Nama ini kemudian diganti menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang
bernafas kerakyatan.kemudian setelah dia menjadi guru kebathinan namanya

1 Sesepuh, orang tua atau sesepuh yang dihormat
2 Menurut tradisi lisan, artnya yang menjabat sebagai Patih yang merangkap sebagai Senapati
adalah seorang pamong desa berpangkat Kamituwa di desa.

8

berubah menjadi Samin Surontika dan anak didiknya (pengikutnya) menyebutnya
Ki (Kyai) Samin Surontika atau Ki (Kyai) Samin Surosentika.
Samin Surontika masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di
Rajegwesi, Bojonegoro; dan juga masih mempunyai pertalian darah dengan
Pangeran Kusumaningayu. Adapun Pangeran Kusumaningayu itu merupakan
nama lain untuk Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang memerintah kadipaten
Sumuroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung, pen) pada tahun
1802-1826. Samin Surosentika bukan tergolong petani miskin. Dia memiliki tiga
bau sawah, satu bau ladang, dan enam ekor sapi.
1890, Pada tahun ini Samin Surosentika mulai mengembangkan ajarannya
di desa Klopodhuwur, Blora. Orang-orang desa di sekitarnya, antara lain dari desa
Tapelan, banyakorang yang datang berguru kepadanya. Pada waktu itu pemerintah
Kolonial Belanda belum tertarik pada ajaran Samin, sebab ajaran itu masih
dianggap sebagai ajaran kebathinan atau agama baru yang tidak menggangu
keamanan.
1903, Pada tahun ini Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah
772 orang. Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan di daerah
Bojonegoro mereka giat mengembangkan ajaran Samin.
1905, Pada tahun ini mulai ada perkembangan baru. Orang-orang desa yang
menganut ajaran Samin Surosentika mulai mengubah tata cara hidup mereka dari
pergaulan sehari-harinya di desanya. Mereka tak mau lagi menyetor padi
kelumbung desa dan tak mau lagi membayar pajak; serta menolak
mengandangkan sapi dan kerbau mereka di kandang umum bersama-samadengan
orang desa lainnya yang bukan orang samin.
Sifat yang demikian itu sangat membingungkan dan menjengkelkan pamong
desa. Itulah sebabnya banyak orang tidak senang pada mereka. Mereka dijuluki
“Wong Samin” , “Wong Sikep” , dan “Wong Dam” (Orang yang menggeliut agama

9

Adam) sikap yang demikian itu memang dipelopori oleh Samin Surosentika. Dia
sendiri tidak mau membayar pajak.
Pada tahun 1907, masyarakat Samin berjumlah 5.000 orang. Pemerintah
Belanda terkejut dan merasa takut, apalagi mereka mendengar bahwa tanggal 1
Maret 1907 mereka akan berontak. Pada waktu itu di desa Kedungtuban, Blora
ada orang Samin menyelenggarakan Selamatan. Orang Samin yang datang
menghadiri selamatan di desa Kedungtuban tersebut lalu ditangkap sebab mereka
dainggap mempersiapkan pemberontakan.
Pada tanggal 8 November 1907, Samin Surosentika diangkat oleh para
pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam.
Kemudian, setelah 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentika ditangkap
oleh Raden Pranolo, Ndoro Seten (Asisten Wedana) di Randublatung, Blora; dan
ditahan di bekas tobong bekas pembakaran batu gamping. Sesudah itu dia dibawa
ke Rembang. Di rembang dia diinterogasi. Kemudian bersama delapan
pengikutnya dia dibuang diluar Jawa. Samin Surosentika meninggal di Padang
pada tahun 1914.
Pada tahun 1908, penangkapan Samin Surosentika tidak memadamkan
pergerakan Samin. Wongsorejo, pengikut Samin Surosentika, giat menyebarkan
ajaran Samin di distrik Jiwan, Madiun. Di sini orang-orang desa dihasut untuk
tidak membayar pajak pada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian dia bersama
dua orang temannya ditangkap dan dibuang.
1911. Surohidin, menantu Samin Surosentika; dan Engkrak; murid Samin
Surosentika, menyebarkan ajaran Samin di daerah Kabupaten Grobogan
(Purwodadi). Karsiyah, pengikut Samin Surosentika mengembangkan ajaran
Samin di Kajen, Pati.
1912. Pengikut Samin menciba menyebarkan ajaran Samin di Jatirogo,
Kabupaten Tuban. Namun usaha penyebaran ajaran samin kali ini gagal.
Kemudian pada tahun 1914 merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan
10

pajak yang dinaikkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Di Grobogan
(Purwodadi) orang-orang Samin sudah tak mau lagi menghormati Pamong Desa
dan Pemerintah Kolonial Belanda.
Di Distrik Balareja, Madiun orang-orang Samin mengibuli aparat
pemerintah Kolonial Belanda. Tujuan mereka yang utama adalah: tak mau
membayar pajak.
Di Kajen, Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendhang Janur, dan
menghimbau orang-orang desa agar tidak membayar pajak. Di desa Larangan,
Pati, orang-orang Samin menyerang Lurah dan Polisi.
Di desa Tapelan, Bojonegoro, orang-orang Samin tidak mau membayar
pajak. Mereka mengancam Asisten Wedono. Kemudian mereka ditangkap dan
dipenjara.
Tahun 1915, usaha penyebaran ajaran Samin di Jatirogo, Tuban gagal lagi.
Kemudian tahun 1916, orang Samin mencari daerah baru. Ajaran Samin mulai
dikembangkan di daerah Undaan, Kabupaten Kudus.
Tahun

1917.

Para

pengikut

Pak

Engkrak

meningkatkan

peralawanannyaterhadap pemerintah Kolonial Belanda dengan apa yang
dinamakan ‘Partikel Pasip’. Peningkatan perlawanan ini sangat menjengkelkan
Belanda. Perlawanan ini akhirnya dapat dipadamkan oleh pemerintah Kolonial
Belanda.
1930, pergerakan Samin tampak terhenti dikarenakan ketiadaan pemimpin
yang tangguh.
Begitulah tahun-tahun penting Geger Samin (Pergerakan Samin) yang
disusun secara kronologis. Dalam tahun pertama, tahun 1859, disebut-sebut kaitan
Samin Surosentika dengan Adipati Sumoroto yang bernama Raden Mas Adipati
Brotodiningrat atau Pangeran Kusumaningayu (Kanjeng Pangeran Arya

11

Kusmawinahyu). Hal ini dapat dibenarkan oleh tradisi tulis warga Samin di desa
Tapelan. Dan dibenarkan dalam manuskrip (naskah tulisan tangan) yang berjudul
Serat Punjer Kawitan (ditulis dengan aksara Jawa, ukuran folio).
Apa yang dinamakan Serat Punjer Kawitan itu, yang artinya kurang lebih:
‘buku perihal silsilah keluarga yang pokok atau utama’, berisi silsilah adipatiadipati di Jawa Timur dan garis-garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di
pulau Jawa.
Di belakang nanti terbukti bahwa dengan bacaannya yang luas dan
kemampuannya untuk menyusun ajaran-ajaran dalam bentuk puisi tembang
macapat. Samin Surosentika tidak saja bertindak sebagai seorang intelektual yang
tangguh akan tetapi dia juga telah bertindak sebagai seorangPujangga Jawa
Pesisiran yang hidup sesudah pujangga Ronggowarsita (1802-1873). Pujangga ini
dikenal sebagai pujangga rakyat. Dengan begitu Samin Surosentika dapat disebut
sebagai penerus tradisi pujangga Ronggowarsita, yaitu sebagai pemberontak
jamannya, sebagaimana hal itu juga pernah dilakukan oleh pujangga
Ronggowarsita dalam karya-karyanya.
Tak semua warga Samin dapat membaca Serat Punjer Kawitan ini, sebab
banyak warga Samin yang buta huruf akan aksara jawa. Bagi murid-muridnya
yang dapat membaca dan menulis aksara jawa sajalah yang diperkenankan
membaca dan menyalin buku-buku karya Samin Surosentika. Dengan jalan disalin
itulah maka ajaran-ajaran Samin dapat dipelajari dengan baik oleh muridmuridnya. Buku-buku salinan ini kemudian tersebar di berbagai daerah Samin.
Bagi warga Samin yang buta huruf akan aksara Jawa, Samin Surosentika
mengajari mereka secara lisan, atau melalui sesorah3 di rumah dan di tanah
lapang. Yang diajarkan oleh Samin Surosentika secara lisan atau swsorah itu
adalah hal-hal yang pokok (intisari ajaran). Oleh karena yang dianggap pokok-

3 Sesorah, ceramah

12

pokoknya saja, maka ajaran itu kelihatannya kurang lengkap dan membingungkan
orang. Hal ini tercermin dalam tradisi lisan orang Samin.
Dalam tradisi lisan itu ada ucapan-ucapan sebagai berikut:
1.

“Agama iku gaman, adam pangucapee , man gaman lanang.”4

2.

“Aja drengki sree i, tukar padu, dahpee n kemee ree n. Aja kutil jumput,
bedhog-colong.”5

3.

“Sabar lan trokal empun ngantos jrengkisree i empun ngantos riya sapada
empun nganti pee k-pinee k kulit jumput bedhog colong. Napa malih
bedhog colong, napa malih milik barang, nemu barang teng dalam
mawon kula simpangi.”6

4.

“Wong urip kudu ngerti ing uripee , sebab urip siji digawa salawasee .”7

5.

“Wong enom mati uripee titip sing urip. Bayi uda nangis ng eer niku
suksma ketemu raga.
Dadi mmulanee wong niku mboten mati. n ee k ninggal sandhangan niku
nggih. Kedah sabar lan trokal sing diarah turun temurun. Dadi ora mati
nanging kumpul sing urip. Apik wong selawasee sapisan dadi wong
selawasee dadi wong.”8

4 Maksudnya, “Agama Adam merupakan senjata hidup.”
5 Maksudnya, “janganlah mengganggu orang, jangan suka bertengkar, jangan iri hat, jangan suka
mengambil (mencuri) barang milik orang tanpa ijin pemiliknya.”
6 Maksudnya, “Berbuatlah sabar dan trokal (?), janganlah mengganggu orang, janganlah takabur
pada sesama orang, janganlah mengambil (mencuri) barang milik orang tanpa seijin pemiliknya.
Apalagi mencuri, apalagi mengambil barang, sedangkan menjumpai barang tercecer di jalan
itupun dijauhi.”
7 Maksudnya, “Manusia hidup di dunia haruslah memahami kehidupannya, sebab ‘hidup’ (sukma,
roh) itu hanya sebuah dan dia pun akan abadi selamanya.”
8 Maksudnya, “Bila ada anak muda meninggal dunia, maka ‘hidup’ (sukma, roh)-nya dittpkan
pada sukma (roh) yang masih hidup. Sewaktu bayi lahir (telanjang) dan mengeluarkan suara
‘nger’, hal itu suatu pertanda bahwa sukma bertemu dengan tubuh (badan)nya. Oleh karena
itulah sukma (roh) orang itu tdak meninggal. Yang jelas adalah ia menanggalkan pakaiannya
(salin sandhangan adalah istlah untuk kematan; sandhangan bermakna tubuh atau badan
manusia). Manusia hidup haruslah mengejar kesabaran dan ‘trokal’ terus-menerus (walaupun

13

6.

“Dhee k jaman Landa niku njaluk pajeg boten trima sak leganee nggih
mboten diwee hi. bee bas boten seneng. Ndandani ratan nggih bee bas. Gak
gelem wis dibee baske. kenee k jagaya orang nyang. Jaga omahee dh eewee.
Nyengkah ing negara telung taun dikenek kerja paksa.”9

7.

“Pangucap saka lima bundhelanee ana pitu lan pangucap saka sanga
bundhelanee ana pitu.”10

8.

“Wit jeng nabi kula lanang damel kula rabi tata jeneng w eedok pengaran
Sukini kukuh dhemen janji buk bikah mpun kula lakoni.”11

9.

“turun”, “pangaran”, “sedulur lanang”, “sedulur wee dok”, “salin
sandhangan”.12

Ajaran-ajaran lisan tersebut diataslah, menurut pengamatan penulis banyak
banyak diungkap oleh para peneliti Geger Samin. Hal ini misalnya dapat dibaca
pada tulisan Hary J. Benda dan Lance Castles (Benda, 1969:226), begini
bunyinya:
“Djenengee lanang, damelee rabi,

berkali-kali bergant pakaian). Jadi sukma (roh) itu tdak mat, melainkan berkumpul dengan
sukma (roh) lain-lainnya yang masih hidup. Sekali orang itu berbuat kebaikan, selamanya dia akan
menjadi orang baik.”
9 Maksudnya, “Pada jaman pemerintah kolonial Belanda pembayaran pajak bukan didasarkan
pada kesukarelaan, tapi atas dasar paksaan (ditentukan besarnya), sehingga orang-orang samin
tdak mau membayarnya. Mereka tak senang. Memperbaiki jalan juga tak mau. Mereka juga tak
senang. Dikenai ronda malam juga ditolaknya. Lebih baik menjaga rumahnya sendiri. Berselisih
pendapat dengan pemerintah Kolonial Belanda dikenai kerja paksa.”
10 Maksudnya, “Dalam berbicara kita harus menjaga mulut kita. Hal ini diibaratkan bagi orang
berbicara dan angka lima yang berhent pada angka tujuh, dan dari angka sembilan berhent pada
angka tujuh juga. Jadi angka tujuh memegang peranan pentng untuk pegangan, sebab angka ini
terletak ditengah-tengah antara angka lima dan sembilan.”
11 Maksudnya, “Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama (Sukini). Saya berjanji seta padanya. Hidup bersama telah kami jalani
berdua.”
12 Turun, istlah untuk anak, pangaran, istlah untuk nama orang, sedulur lanang, artnya saudara
laki-laki, sedulur we᷇dok, artnya saudara perempuan (mereka yang sudah diaku sebagai “sedulur”
berart mereka telah diakui sebagai warga seperguruan); salin sandhangan, istlah untuk
kematan.

14

Toto-toto wee dak janji demen,
Tetepee nabi Adam kandegee wekasa.
Sing kulu nitee ni tatanee sikep rabi.
Wong sikep weruh tee kee dee wee .”
Pengungkapan ajaran-ajaran Samin dari segi tradisi lisan ini disebabkan
ajaran-ajaran tertulis tidak dijumpai sama sekali. Menurut cerita warga Samin,
pada waktu Samin Surosentika diselong (ditangkap dan dibuang ke luar pulau
Jawa), buku-bukunya dirampas dan dibakar oleh Belanda. Untung kata warga
Samin, murid-murid Samin Surosentika yang terpercaya masih menyimpan
salinan buku-buku tersebut; walaupun anak cucunya kini tidak bisa membaca
buku-buku itu, buku-buku itu dismpan sebagai pusaka (benda keramat dan suci).
Di desa Tapelan, buku-buku peninggalan Samin Surosentiko disebut Serat
Jamuskalimada atau Layang Jamuskalimada. Buku ini dianggap berasal dari
Prabu Puntadesa di negeri Ngamarta. Serat Jamuskalimasada itu terdiri dari
beberapa buku. Buku-buku itu antara lain berjudul:
1.

Serat Punjer Kawitan;

2.

Serat Pikukuh Kasajatee n;

3.

Serat Uri-uri Pambudi;

4.

Serat Jati Sawit;

5.

Serat Lampahing Urip.

Dari mana Samin Surosentika mendapatkan buku-buku tersebut diatas?
Tentu saja mengarang sendiri, kata warga Samin di Tapelan. Akan tetapi walaupun
begitu dalam tradisi lisan di desa Tapelan ada cerita sebagai berikut:

15

“Samin Surosentika suka sekali bersemedi di tempat-tempat sepi atau
di tempat-tempat yang dianggap keramat. Pada waktu sedang bersemedi dia
menerima wangsit (wahyu). Wangsit atau wahyu tersebut berisi ajaran agar
dia segera mencari buku kuna. Buku tersebut masih terpendam di tanah di
dekat tempat semedinya.
Samin Surosenttika segera bangun dari semedinya. Dia mematuhi
anjuran sang wangsit. Benar apa yang dikatakan sang wangsit. Buku
tersebut tersimpan di gundukan tanah (rumah anai-anai). Dengan tanpa pikir
panjang lagi buku kuna itu diambilnya. Ke mana saja ia pergia buku kuna
itu senantiasa dibawanya.
Buku kuna itulah yang bernama Kalimasada. Buku ini pernah dimiliki
oleh Prabu Puntadewa. Isi buku inilah yang kini dijadikan pedoman hidup
warga samin sampai sekarang.”
Cerita rakyat di atas merupakan cerita mitos. Dari sini dapatlah dilihat
betapa besarnya penghormatan warga Samin pada pemimppinnya. Dia dianggap
sebagai orang suci dan pemimpin yang kharismatis. Dia bagaikan “cahaya terang”
yang datang menerangi hati orang-orang yang telah kehilangan pegangan pada
jaman pemerintah Kolonial Belanda.
Mulai saat itulah Samin Surosentiko menjadi orang sikep, artinya menjadi
orang yang sempurna (menurut ukuran ajaran orang Samin/Sikep) seperti apa
yang telah dikatakan oleh suara gaib tersebut di atas. Dan kemudian Samin
Surosentiko meluaskan ajarannya ke desa-desa lainnya yang letaknya jauh dari
desa Plosokedhiren. Sehingga makin lama makin banyak pengikut ajaran
Samin/Sikep.
Pada jaman Samin Surosentika, kata orang Samin di desa Tapelan, orangorang di desa Tapelan sangat menderita. Merka dipaksa membayar pajak pada

16

pemerintah Kolonial Belanda. Mereka dipaksa ikut blandhongan13. Kalau mereka
menolak, mereka akan didatangi Pamong Desa dan Pelpulisi 14. Mereka ditangkap
dan disiksa. Disamping itu tanah pertanian mereka banyak yang dirampas oleh
pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanami pohon jati.
Perlakuan pemerintah Kolonial Belanda yang kejam itu mengakibatkan
mereka kekurangan makan. Badan mereka kurus-kurus. Mereka tak mempunyai
keberanian melawan pemerintah Kolonial Belanda, sebab mereka tidak
mempunyai semangat dan senjata. Untunglah pada waktu itu desa Klopduwur,
Blora, ada Perguruan Adam yang mengajarkan tentang Agama Adam yang
dipimpin oleh Samin Surosentika. Ke peguron inilah mereka dulu datang berguru.
Ke peguron Adam inilah mereka dulu mendapatkan kedamaian dan
ketenangan hati. Di peguron ini di samping Samin Surosentika mengajarkan
perilaku hidup di dunia dan di akherat, dia juga mengajarkan cara bagaimana
melawan pemerintah Kolonial Belanda. Ajaran itu adalah nggendheng15. Sifat
nggendheng adalah siafat Prabu Puntadewa.
2.2 Ajaran Kebatinan Samin Surosentika
Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis
dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku
peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa
desa samin lainnya. Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin
Surosentiko disebut Serat Jamuskalimasada, Serat Jamuskalimosodo ini ada
beberapa buku. Diantara buku-buku Serat Jamuskalimasada adalah berikut ini:
Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang
pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin
surosentiko adalah perihal manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning
13 Blandhongan, artnya bekerja rodi atau kerja paksa di hutan-hutan jat untuk menebangi pohon
jat kemudian diserahkan kepada pemerintah Kolonial Belanda.
14 Pelpulisi, artnya polisi Pemerintah Kolonial Belanda
15 Nggendheng, artnya pura-pura gila, pura-pura edan, pura-pura bersifat aneh

17

dumadi. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu
dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap
masuk ke dalam kerisnya ).
Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : Tempat
keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal
ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang
benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik).
Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah
yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan
hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri
dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang
sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang
menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut : Yang
dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil
Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan
dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi
kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi
adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat.
Maksudnya, hidup mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara
mahkluk dan Khaliknya.
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang
pangan kita sehari-hari adalah Saderek gangsal kalima pancer adapun jiwa kita
diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorang mandor harus mengawasi kulikulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut: Gajah Seno saudara
Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu
mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an.

18

Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun
yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima
itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor
harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur
anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi
betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka
kian berbuat seenaknya.
Hal ini akan mengakibatkan penderitaan. Pengandaian jiwa sebagai
mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah
sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di
hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor
dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai
pekerja.
Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung
maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya
adalah orang desa yang terkena kerja paksa. Menurut Samin Surosentiko, tugas
manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh
manusia di dunia adalah kehendak Tuhan.
Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus
diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang
berbunyi : Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk
menambah keindahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus
menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena
itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira,
sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat
dengan perjanjiannya.
Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum
Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing Samin Surosentiko

19

juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran.
Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya
sebagai berikut: Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang
sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh
sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga
bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat
menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit,
hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang,
semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat,
melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan.
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai anggerangger pratikel (hukum tindak tanduk),

angger-angger pengucap

(hukum

berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu
dijalankan).
Hukum yang pertama berbunyi: Aja dengki srei, tukar padu, dahpen
kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong. Maksudnya, warga samin dilarang
berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil
milik orang.
Hukum ke dua berbunyi

Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan

pengucap saka sanga budhelane ana pitu. Maksud hukum ini , orang berbicara
harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan.
Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara
mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang
menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan
orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.
Adapun hukum yang ke tiga berbunyi

Lakonana sabar trokal. Sabare

dieling-eling. Trokale dilakoni. Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat
pada kesabaran dan berbuat bagaikan orang mati dalam hidup Menurut Samin

20

Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang
menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uriuri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : Adapun batinnya agar dapat
mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara
samadi, berlatih mati senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat
menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu
dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal
diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai
binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia
yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini
diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang
apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian
kata Samin Surosentiko :
Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal
mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi
triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal
dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran
Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia
tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin
menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia).
Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah
jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada
bayi, lahir kembali ke dunia). Dari keterangan diatas dapatlah diketahui bahwa
Samin Surosentiko tidak menganut faham Penitisan tapi menganut faham
manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi. Dari ajaran-ajaran
tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang atheis.
Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran,
Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya : Adapun

21

Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan
barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan
isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada.
Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uriuri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat
dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan
yang sejati. Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk
puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung
ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti
dibawah ini :

Saha malih dadya garan, anggegulang gelunganing pembudi,

palakrama nguwoh mangun, memangun traping widya, kasampar kasandhung
dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugu dadi kanthi. Menurut
Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu
merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan
Atmaja Tama (anak yang mulia).
Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang temanten laki-laki
diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : Sejak
Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang
perempuan bernama Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami
jalani berdua. Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin
Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga
samin.
2.3 Ajaran Politik Samin Surosentika
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya
untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :
a. Penolakan membayar pajak

22

b. Penolakan memperbaiki jalan
c. Penolakan jaga malam (ronda)
d. Penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang
dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani
orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para
warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Buku Serat Punjer Kawitan di samping berisi silsilah adipati-adipati di Jawa
Timur dari garis-garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di pulau Jawa, buku
ini juga memuat uraian perihal hubungan raja-raja Jawa dengan dunia
pewayangan. Adapun “punjer kawitan”-nya adalah Nabi Adam. Oleh karena itulah
di bidang ajaran spiritualnya disebut-sebut adanya “Agama Adam”, yaitu agama
yang pertama kali dianut oleh Nabi Adam.
Sepintas apabila kita membaca Serat Punjer Kawitan kita tentu akan
teringat pada Babad Tanah Jawi, tapi apabila kita lihat dengan teliti, ternyata cara
penuturannya berbeda. Mengapa begitu? Inilah kode yang harus ditafsirkan.
Untuk lebih jelasnya, berikut dikutipkan sebagian isi Serat Punjer Kawitan
yang ditulis dalam bentuk metrum sinom. Metrum ini beraturan: I (8a), II (9i), III
(8a), IV (8i), V (7i), VI (8u), VII (7a), VIII (8i), dan IX (12a). Begini wujudnya:
“Brawijaya kang kapisan,
Prabu Bra Tanjung sesiwi,
Nama Prabu Brawijaya,
Kang kaping gangsal mungkasi,
Nagari Majapahit,
23

Brawijawa susunu,
Radee n Bondan Kajawan,
Lembu Peteng wau nenggih,
Apuputra Ki Ageng Getas Pandhawa
Puputra Ki Ageng See la,
Anulya ki Ageng Enis,
Putra Kyageng Pamanahan,
Iya Ki Ageng Mentawis,
Puputra See nopati,
Alaga nulya sinuwun,
Kang see da ing Krapyak,
Anulya putri niree ki,
Sultan Agumg puputra Sunan Mangkurat
Paku Buwana kaping tiga,
Anulya Buwana niree ki,
Sinuwun Kanjeng Susunan,
Ingkang ayasa semani,
Semare ing Mogiri,
Iya Jeng Susuhunan Bagus,
Paku Buwana Kapisan,
Ratu ambeg wali mukmin,
Apuputra Pangeran Dipati Purbaya.”16
16 Maksudnya, “Brawijaya pertama/prabu Bra Tanjung berputera/nama prabu Brawijaya/kelima
yang mengakhiri/negara Majapahit/Brawijaya berputera/Raden Bondan Kajawan/Lembu Peteng
sebutannya/berputera Ki Ageng Getas Pandhawa/dia berputera Ki Ageng Sela/kemudian Ki Ageng

24

Kita lalui dua pada (bait) kemudian tertulis lagi sebagai berikut:
“Kuneng malih kang winarna,
Sejarah Wiratha nagri,
Kumalunnee lawan Ngastina,
Putranira Hyang Pamesthi,
Bathara Wismumurti,
Apuputra nama prabu,
Basurata anama,
Nulya prabu Basupati,
Nulya prabu Basukesti apuputra.”17
Plot (struktur penceritaan) Serat Punjer Kawitan boleh dikatakan
merupakan penjumgkirbalikan plot Babad Tanah Jawi, sebab dalam Serat Punjer
Kawitan antara “cerita sejarah” dan “cerita wayang” disusun secara berselingseling dan satu sama lain dikaitkan. Hal ini tampak pada kutipan di atas. Perkataan
“Kuneng” (tersebutlah) digunakan untuk tanda pergantian bahan cerita.
Hal diatas tercermin juga dalam salah satu ceramah Samin Surosentika di
tanah lapang. Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa
Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan
Enis/berputera Ki Ageng Pemanahan/yaitu Ki Ageng Mataram/berputera Senapat Ing
Ngalaga/Kemudian sang prabu yang meninggal di Krapyak/kemudian puteranya bernama Sultan
Agung/dia berputera Sunan Mangkurat/Paku Buwana ketga/kemudian puteranya/sang prrabu
Kanjeng Susuhan/yang mendirikan “semani” (?)/yang dimakamkan di Imogiri/yaitu Kanjeng
Susuhan Bagus/Paku Buwana pertama/raja yang bersifat wali mukmin/berbutera Pangeran
Adipat Purbaya.”
17 Maksudnya, “Tersebutlah lagi cerita/sejarah negara Wiratha/beserta beserta negara
Ngastna/putera
Hyang
Pramesthi/Bathara
Wisnumurt/puteranya
bernama/prabu
Basurata/kemudian prabu Basupat/kemudian prabu Basuket berputera.”

25

bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah
keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Yang antara
lain berkata sebagai berikut:
“Gur tamee h ee ling bilih sira kabee h horak sanees turun Pandhawa, lan huwis
nyipati kabrokalan krandhah Majapahit sakee ng kakragee wadya musuh.
Mula sakuwit liyee n kala nira Puntadee wa titip tanah Jawa marang hing
Sunan Kalijaga. Hiku maklumat tuwila kajantaka.”18
Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak
pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan
milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik wong Jawa19. Oleh karena itulah
maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab
pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu
menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan
penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.
Mengenai kenegaraan, Samin Surosentika memberi ajaran sebagai berikut:
“nagaratnta niskala anduga arum,
Apraja mulwikang gati,
gee n ngaub miwah sumungku,
nuriya anggemi ilmu,
rukunarga tan ana blekuthu.”20
18 Maksudnya, “Ingatlah bahwa kalian itu tak lain dan tak bukan adalah keturunan Puntadewa,
yang sudah mengeahui kehancuran keluarga Majapahit yang disebabkan oleh serangan musuh.
Maka dari itu sejak peristwa tersebut Puntadewa menitpkan tanah Jawa pada Sunan Kalijaga.
Itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan.”
19 Wong jawa maksudnya orang Jawa
20 Maksudnya, “negara kalian akan terkenal/pemerintah yang senantasa membuahkan tanda
waktu/untuk berteduh dan untuk menant segala peraturannya/apabila para warganya suka pada
ilmu/sehingga menimbulkan kerukunan dan tanpa ada gangguan apapun.”

26

Ajaran tersebut di atas ada pada Serat Pikukuh Kesajateen. Ajaran ini ditulis
dalam metrum Dudukwuluh (Megatruh). Metrum ini dalam sastra Jawa termasuk
ke dalam tembang Tengahan (Tembang Dhagelan). Aturannya: I (12a), II (8i), III
(8u), IV (8i), dan V (8o); tapi dalam kutipan di atas ada penyimpangan (akhir
baris keempat) berakhir dengan suara i, dan akhir baris kelima berakhir dengan
suara u.
Dalam ajaran tersebut di atas Samin Surosentika mengatakan bahwa sebuah
negara itu akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat
untuk berlindung rakyatnya, apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu
pengetahuan dan hidup dalam perdamaian. Setiap “sujana”21 diharapkan oleh
Samin Surosentika untuk “suka bukti mring prajeegwang”22 demi “angrengga
jagat agung”23.
Begitulah ajaran Samin di bidang politik. Dari ajaran ini dapatlah kita
ketahui bahwa Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin
Surosentika sebenarnya bukan saja disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi saja
akan tetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas adalah
pemberontakan umum melawan pemerintah Kolonial Belanda didasarkan pada
kebudayaan Jawa yang religius. Dengan begitu ajaran Samin Surosentika
bukanlah ajaran yang pesimistis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan
keberanian.

21 Sujana, mempunyai art orang cerdik dan pandai
22 Maksudnya, “berbakt pada negara”
23 Maksudnya, “memberi hiasan pada alam semesta”

27

BAB III
PENUTUP
3.1.

Simpulan

Gerakan Samin

sebagai

gerakan petani

anti

kolonial

lebih cenderung

mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan
pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani
yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin. Kemudian
masyarakat Samin mempunyai lima pokok ajaran yang sangat bijaksana diantaranya:
a. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membedabedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau
membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
b. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan
suka mengambil milik orang.

28

c. Bersikap sabar dan jangan sombong.
d. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama
dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh
orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan
pakaiannya.
e. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati.
Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur
“ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Masyarakat Samin mempunyai ajaran yang sangat unik. Menurut ajaran Saminisme
orang itu harus rajin bekerja, jangan mencuri milik orang lain. Apabila ada seseorang
minta sesuatu barang milik orang lain, maka orang itu wajib memberi. Ajaran Saminisme
ini mengandung arti kemurahan hati, sabar dan rajin. Unsur-unsur dari ajaran Saminisme
ini merupakan bagian dari gerakan Samin menentang kekuasaan kolonial Belanda. Suku
Samin sering menjadi bahan cemoohan orang-orang di sekitarnya karena keluguannya
dan kepolosannya. Suku Samin terkenal dengan kejujurannya. Mereka hidup di dalam
area hutan milik negara dan terletak di sebelah Selatan Kabupaten Blora yaitu tepatnya di
Desa Klopoduwur.
Dari keseluruhan ajaran Samin Surosentika tersebut di atas dapatlah disimpulkan
bahwa ajaran Samin Surosentika itu bermacam ragam. Hal itu membuktikan bahwa
Samin Surosentika sangatlah luas pengetahuannya mengenai kebudayaan bangsanya.
Sehubungan dengan hal di atas maka tak mengherankan kita apabila dalam buku
Serat Uri-uri Pambudi terdapat anjuran-anjuran untuk mempelajari buku-buku kuna dan

29

Bahasa Kawi. Disamping itu disebutkan beberapa nama buku yang telah dibaca oleh
Samin Surosentika. Misal sebagai berikut:
1. “(7) ....Mangertos dhateng larasing sekar ageng ingkang asri kagem ambawani
gendhing.”24
2. “(7) ....sarta mangertos dhateng tembung Kawi punika kasaged anggampilaken
pangertosan anggenipun

remen maos

buku-buku karanganipun para

linangkung ing jaman kina.”25
3. “(7) ....Umpaminipun kedos dee nee serat punika utawi Wedhatama kawedhar.”26
4. “(8) Tumrap Ronggowarsitan piyambak sampun nglampahi, ngebleng kanthi
angeningaken cipta....”27
5. “(8) ....Tee kadipun dhateng kasidan sang wiku jamadagni punika dipun
cariyosaken wonten ing Serat Rama.”28

Selain itu Samin Surosentika juga mengajarkan para pengikutnya dengan
ajaran yang mudah dan dapat dimengerti oleh pengikutnya yang sebagian besar
adalah rakyat jelata atau petani berdasarkan pengetahuan tentang gejala alam.
Diantara ajarannya yang berdasarkan pada kearifan tentang tentang kehidupan
manusia sehari-hari. Diantara ajarannya adalah yang tertuang pada buku Serat
Jamuskalimasada adalah sebagai berikut:
24 Maksudnya, “Mengert akan irama Sekar Ageng (Tembang Gedhe) yang bagus sekali
mengawali lagu.”
25 Maksudnya, “....serta mengert kata-kata bahasa kawi agar dapat memudahkan kita membaca
buku-buku karangan orang cerdik pandai jaman dulu.”
26 Maksudnya, “....sepert buku yang telah kalian baca atau sepert buku Wedhatamayang telah
dikupas.”
(Keterangan: Wedhatama adalah karya pujangga KGPAA Mangkunegara IV)
27 Maksudnya, “Bagi Ronggowarsita sendiri sudah menjalankannya, yaitu bersemedi...”
28 Maksudnya, “Tekad pendheta Jamadagni yang ingin meninggal tanpa terikat oleh triloka itu
diceritakan dalam Serat Rama.”

30

Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku
manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal
manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi. Menurut Samin
Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai
rangka umanjing curiga ( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ).
Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut : Tempat
keris yang meresap masuk dalam kerisnya meng