Multietnis Batak-Tionghoa Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa

29

C. Multietnis Batak-Tionghoa

1. Pengertian Anak Multietnis Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia Badan Pusat Statistik, 2014. Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan perkawinan Soimin, 2004. Hariyono 1993 mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan yang berlawanan jenis kelamin yang memiliki perbedaan etnis. Anak-anak yang lahir dari orangtua yang berbeda ras akan memiliki identitas etnis lebih dari satu multietnis atau multiracial . Anak multietnis memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas rasnya berdasarkan latar belakang ras orangtuanya Shih Sanchez, 2005. Koentjaraningrat 2007 mengatakan bahwa perkawinan campuran perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16 sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa itu adalah laki-laki. a. Batak Universitas Sumatera Utara 30 Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak MandailingBatak Angkola, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan yang lainnya Koentjaraningrat, 2007. Etnis Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami dalam garis laki-laki Efendy, 2010. Menurut Vergouwen 2004, marga dalam masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal. Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di belakang nama kecilnya. Disamping itu masyarakat Batak mempunyai sistem kekerabatan yang dinamakan “dalihan na tolu” Koentjaraningrat, 2007. Suku Batak juga dikenal menyukai tantangan karena orang-orang terdahulu atau para nenek moyang tinggal di medan yang sangat keras dan sulit. Oleh karena itu, bagi anak-anak suku Batak diwarisi ketangguhan ini juga. Ketangguhan yang akhirnya memupuk mereka menjadi pribadi yang diandalkan. Suku Batak dikenal juga sebagai suku yang pemberani, saat yang lain takut untuk Universitas Sumatera Utara 31 memulai, orang Batak berani untuk memulainya lebih dulu. Kata menyerah tidak identik dengan suku Batak Sgn, 2012. Selain itu suku Batak menghormati semua budaya. Kedinamisan orang Batak juga tampak dari sifat mereka yang menghargai budaya lain. Walau orang Batak, sangat mencintai Bahasa Batak, namun banyak orang Batak yang fasih menggunakan bahasa dari daerah lain. Penghargaan mereka terhadap bahasa budaya lain sangat besar, seperti : orang Batak tidak segan memakai pakaian adat budaya lain atau ikut dalam upacara-upacara dalam kebudayaan yang berbeda. Suku Batak tidak pernah menutup diri, walaupun nilai kedaerahan mereka sangat kuat Sgn, 2012. b. Tionghoa Di kalangan orang yang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino Susetyo, 2002. Etnik Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non-pribumi yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang- gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda Suryadinata, 1984. Menurut Budiman dalam Susetyo, 2002 sebagai orang keturunan Cina mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, karena istilah Cina sebenarnya merupakan “hukuman” yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru Universitas Sumatera Utara 32 menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Oleh karena itu Suryadinata 1999 mengatakan sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasa menyakitkan karena istilah Cina Etnis Tionghoa menurut Sharley 2009 memegang teguh garis keturunan laki-laki patriarki, tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk mempertahankan keturunan dan budayanya. Disamping itu, kebudayaan etnis Tionghoa memang sama sekali berbeda dari kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, khususnya keyakinan Suparlan, 1984. Bagi masyarakat Tionghoa ada keyakinan tiga agama, yaitu: Buddha, Kong Fu-Tse dan Tao, yang ketiga-tiganya dipuja bersama-sama Koentjaraningrat, 2007. Menurut Seng 2013 ada 6 prinsip dipegang oleh orang Cina, antara lain : 1. Agresif 2. Jangan melepaskan peluang 3. Berani mengambil resiko 4. Tahan Banting, orang yang dilahirkan sebagai etnis Tionghoa harus memiliki mental dan jiwa yang kukuh untuk menghadapai tekanan apapun 5. Jangan menyerah pada nasib, orang Tionghoa percaya adanya takdir, tetapi mereka tidak mudah menyerah pada nasib, terbuka serta berlapang dada Universitas Sumatera Utara 33 apabila menghadapi situasi sulit. Dengan melihat ke depan dan melalui masalah 6. Semangat berjuang, suku Tionghoa adalah fighter petarung dan survivor punya cara untuk bertahan hidup. Mereka punya motivasi dan semangat yang tak kunjung padam. Mereka harus selalu bersemangat dengan apa yang dilakukannya, dan yakin bahwa kesuksesan pasti akan mereka raih pada saatnya. Keturunan Tionghoa sering juga disebut peranakan. Yang dimaksud dengan, menurut Mely G. Tan 1979 memiliki ciri : ... mereka yang orientasi kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti: Jawa, Sunda, Ambon, Menado, yang di rumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya mereka yang mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya dinamakan orang “peranakan”. Hampir sama dengan Melly G. Tan, menurut Gondomono 1996:2-3 menggolongkan peranakan sebagai golongan Tionghoa-Indonesia : “Mereka kemudian malahan hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara kultural dengan masyarakat leluhur Tionghoa. Maka terbentuklah kelompok yang dalam banyak tulisan disebut sebagai golongan “peranakan”. Astaman 2011 mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah jadi pilihan favorit di Indonesia. Karena kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit, perhitungan, curang. Selanjutnya Astaman 2011 menambahkan bahwa ia Universitas Sumatera Utara 34 merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun pribumi. Etnis Tionghoa di Medan berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah lainnya di Indonesia. Setiono 2007 mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa di Medan masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. M. Rajab Lubis 1995 menambahkan bahwa etnis Tionghoa di Medan juga memiliki motivasi yang rendah dalam berafilisiasi terhadap etnis setempat. 2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis Banyak tantangan yang sering dihadapi oleh anak biracial, diantaranya : a. Kebingungan Identitas Suparlan 1984 mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis, anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr dalam Liliweri, 2002 identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya. Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada penampilan fisiknya Qian, 2004. Sejalan dengan pendapat ini, Hall 1992 menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya untuk menentukan posisi mereka dalam Universitas Sumatera Utara 35 masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan fisiknya. Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat anak biracial menjadi tertekan Coleman Carter, 2007. Pertanyaan seperti Anda suku apa?, atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-item, membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis secara tunggal. Salahuddin OBrien, 2011. Coleman dan Carter 2007 juga mengatakan bahwa bagi individu- individu birasial, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial. Hal ini menyebabkan anak biracial harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka Miville, Constantine, Baysden So-Lloyd, 2005. b. Rasisme 1 Pengertian Rasisme didefinisikan dalam berbagai cara yang mencakup perilaku yang bervariasi yang dapat dianggap rasis; sebagaimana yang diungkapkan oleh Ridley 2005:29 bahwa rasisme sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau Universitas Sumatera Utara 36 hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati peluang-peluang atau hak istimewa tersebut. 2 Jenis-jenis Rasisme Terdapat dua jenis utama rasisme menurut Ridley 2005, yaitu: individu dan institusional a Individu, apabila rasisme dilakukan oleh satu orang atau sekelompok kecil orang. b Institusional, mengacu pada rasisme yang dilakukan oleh organisasi dan lembaga. Kedua jenis rasisme, baik individu dan institusi dapat terbuka atau terselubung. Rasisme terang-terangan selalu merupakan hasil dari niat jahat, sedangkan rasisme terselubung dapat disengaja dan berbahaya atau tidak disengaja dan tanpa niat jahat Ridley, 2005. Utsey dan Ponterotto 1996 mengidentifikasi jenis lain dari rasisme, yang mereka sebut rasisme budaya. Rasisme budaya mengacu pada praktek yang menegakkan satu budaya tertentu sebagai budaya yang ideal, dan mendevaluasi budaya lain sebagai inferior. Pengalaman-pengalaman rasis menjadi sumber trauma Bryant-Davis Ocampo, 2005, dan dikatakan berhubungan dengan tekanan darah tinggi Krieger Sidney, 1996, stres Utsey Ponterotto, 1996, menurunkan tingkat perasaan kebahagiaan dan identik dengan kepuasan hidup yang rendah Jackson, Williams, Torres, 1995 dan harga diri yang rendah Fernando, 1984. c. Invalidasi Sosial Universitas Sumatera Utara 37 Invalidasi sosial umumnya dialami oleh individu multiracial Rockquemore Laszloffy, 2003. Invalidasi sosial mengacu pada invalidasi identitas rasial secara sistematis yang banyak ditemui oleh individu multiracial . Invalidasi sosial ini mungkin berupa penolakan dari kelompok ras dimana mereka mengidentifikasi diri mereka, individu lainnya menantang ras identifikasi diri seseorang, dan kurangnya pengakuan keberadaan multiracial individu Shih Sanchez, 2005. Validasi sosial, penerimaan, dan persetujuan merupakan hal yang penting bagi perkembangan identitas individu karena individu mendefinisikan mereka di bagian mana berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka Rockquemore Laszolffy, 2003; Root, 1994. Lebih khusus, individu multiracial belajar apa artinya menjadi multiracial dan nilai menjadi bagian individu yang multiracial melalui persepsi mereka tentang bagaimana orang lain melihat mereka. Dengan demikian, interaksi positif dengan orang lain adalah suatu teori yang menghasilkan persepsi positif dari identitas seseorang. d. Prasangka, Stereotype , dan Diskriminasi Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype Lahey, 2005. Sementara itu, diskriminasi adalah wujud dari prasangka dalam Universitas Sumatera Utara 38 tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran prasangka. Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari stereotype , prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya Susetyo, 2002.

D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak Multietnis