Pengaruh qira’at terhadap penafsiran

PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENAFSIRAN
Faizah Ali Syibromalisi
Email. faizahalis@gmail.com
Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak: Tulisan al-Qur‟an dan qira‟at (bacaannya) bagaikan dua sisi mata uang. AlQur‟an Sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia harus dibaca dan
difahami untuk diamalkan dalam kehidupan,Namun pemahaman terhadap Al-Qur‟an tentu
terkait erat dengan penguasaan terhadap ilmu qirâ‟at. Munculnya ilmu qira‟at karena
adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan tampak kemu‟jizatannya
karena adanya qira‟at. Layak disebutkan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang
dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an. Layak di sebutkan
bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang
berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak semua dari jumlah ayat AlQur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at. Pengetahuan tentang ilmu
qira‟at adalah kunci untuk memasuki disiplin ilmu tafsir. beragam qira‟at tersebut ada yang
berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses isthinbat
hukum dan produk hukum yang dihasilkannya. Tulisan ini menjadi penjelasan singkat
seputar pengertian yaitu Qira‟at‟ untuk lebih memahami perbedaaan penafsiran pada
ayat-ayat yang disentuh qira‟at.
Kata Kunci: Al-Qur’an, Qira’at, penafsiran.
Pendahuluan
Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia (QS. al-Isra‟/7:
9), harus dibaca dan difahami untuk diamalkan dalam kehidupan. Pemahaman seseorang

terhadap Al-Qur‟an tentu terkait erat dengan penguasaannya terhadap ilmu qirâ‟at (bacaan
Al-Qur‟an), disamping ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab, sejarah Al-Qur‟an, Ulum AlQur‟an, kaidah-kaidah tafsir, karena Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab. QS. Ibrahim
14/4: mengatakan :
                   
 

“Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah
menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia
kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini sangat relevan dengan situasi bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan.
Mereka memiliki berbagai perbedaan bahasa, dialek, dan logat. Oleh sebab itu, Al-Qur‟an
diturunkan dalam bentuk sab‟ah ahruf, yaitu bacaan yang disesuaikan dengan dialek mereka,
sebagai toleransi, agar mereka bisa membacanya dan mengambil manfaat dari Al-Qur‟an Jika
toleransi diatas tidak diberikan, maka memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi
mereka.1 Hal ini tentu bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan
1

Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar sahnun li an-Nashr wa
at-Tauzi‟, t.th), Jilid 1, h. 51.


1

2

bagi orang-orang yang mau mempelajari Al-Qur‟an dimana Allah berfirman yang artinya:
“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang
yang mengambil pelajaran?”(QS. al-Qamr 54 : 17)
Sejalan dengan kemudahan yang Allah berikan dalam ayat tersebut diatas, maka
Rasul Saw membacakan Al-Qur‟an kepada mereka dengan bacaan yang memudahkan bagi
setiap kabilah untuk membacanya, yaitu bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka.
Para sahabat menerima bacaan-bacaan tersebut dari Nabi Saw. Dari para sahabat inilah
berbagai qiraat disampaikan secara turun-temurun dari mulut ke mulut ( ‫ )ال قى ال شاف‬sampai
saat ini. Dengan cara ini pula qirâ‟at-qirâ‟at yang berbeda tersebut dapat terjaga orisinalitas
dan otentisitasnya, dan dilestarikan sampai kini, sejalan dengan kelestarian Al-Qur‟an dan
otentisitasnya.
Berbagai qirâ‟at tersebut memang dinisbahkan kepada orang-orang tertentu, seperti
qirâ‟at Nafi‟, Ibnu Katsir, „Ashim, Qolun, dan lain-lain. Namun penisbahan ini bukanlah
karena qirâ‟at itu hasil ijtihad mereka tapi adalah hasil pilihan mereka terhadap satu qira‟at
dari beragam qirâ‟at yang ada, disamping upaya mereka mendalami ilmu qirâ‟at-qira‟at

tersebut, selalu membacanya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat, sehingga bacaan
itu dinisbahkan masyarakat kepada mereka.2
Maka sungguh keliru orang-orang yang menyangka bahwa qirâ‟at bacaan Al-Qur‟an
yang beragam itu muncul karena perbedaan bahasa dan logat semata atau karena tulisantulisan Al-Qur‟an itu pada mulanya tidak bertitik dan tidak berbaris. Thoha Husein misalnya
mengatakan bahwa Qirâ‟at sab‟ah bukan bersumber dari wahyu, sehingga orang yang
mengingkarinya tidak menjadi kafir. Menurutnya sumber qirâ‟at adalah perbedaan lahjah
(logat) sehingga boleh diingkari dan diperdebatkan.3
Perbedaan qirâ‟at ternyata berimplikasi kepada penafsiran Al-Qur‟an. Karena
bentuk/struktur kosa kata yang memiliki beberapa kemungkinan bacaan juga memiliki
kemungkinan beberapa makna. Seperti, ‫ ا س‬dan ‫ ل س‬. Kosa kata lamastum dan lâamastum
misalnya, bukan hanya bisa dibaca dengan bacaan berbeda, meskipun bentuk baku kosa
katanya adalah sama, tapi berimplikasi pada penafsiran dan perbedaan isthinbath hukum dari
masing-masing bacaan. Kata lâamastum (saling bersentuhan) antara suami isteri mewajibkan
keduanya mandi junub (mandi hadats besar). Sedangkan bacaan lamastum tanpa alif (hanya
bersentuhan sengaja atau tidak sengaja) hanya mewajibkan keduanya berwudhu‟. Perbedaan

Imam al-Qoisiy dalam bukunya „‟al-IBanah‟‟ mengajukan pertanyaan apa sebab yang menjadikan
banyaknya perbedaan(qira‟t) diantara ulama, masing-masing memilih bacaannya sendiri, sesuai dengan bacaan
syeh tempatnya berguru. Ia menjawab perkataan tersebut dengan mengatakan bahwa masing-masing qori‟
menerima bacaan dari beberapa ulama yang berbeda, dan yang berbeda qira‟atnya. kemudian masing-masing

mentransfer qira‟at tersebut kepada murid-muridnya
sehingga tersebarlah beragam qira‟at tersebut
dimasyarakat. Al-Qoisiy, Al-Ibanah h.61-62, sebagaimana dinukil dari Kholik Abdur rahman al-A‟k, Ushul atTafsir wa Qowaiduhu,2007, h 440.
3
ThohaHusein,Al-AdabAl-Jahili,h.98-99. At-Thohawi mengomentari al-ahruf as-sab‟ah, ia mengatakan
ahruf as-sab‟ah adalah rukhsoh (keringanan), karena sulit bagi seseorang membaca dengan lafaz yang sama,
karena mereka tidak pandai memahami tulisan. Kemudian qira‟ah sab‟ah dinasah dengan hilangnya kesulitan
yang mereka hadapi diawal Isalam dan diperolehnya kemudahan dalam tulisan. Berdasarkan paparan diatas,
kedua pendapat ini jelas keliru.
.
.
2

3

bacaan ini selain menimbulkan perbedaan penafsiran juga menimbulkan perbedaan hasil dari
istinbath hukum dari bacaan-bacaan tersebut.4
Definisi Qira’at
Dilihat Secara etimologis, kata qira‟at merupakan bentuk kata benda bentukan
(masdar) mengikuti wazan (rumus) fi‟alah, yang berakar kata (‫ ا‬- - ‫)ق‬. Dari kata dasar ini

lahir kata qurán dan qiraáh. Kedua kata ini mempunyai makna (a) menghimpun dan
menggabungkan (al-jamú) yakni menghimpun dan menggabungkan antara satu dengan yang
lainnya (b) membaca (al-tilawat) yaitu mengucapkan kalimat-kalimat yang tertulis, seperti
ungkapan aku membaca kitab (mengucapkan atau membunyikan huruf). Tilawah disebut
qira‟áh karena menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam pikiran untuk
membentuk kalimat-kalimat yang akan diucapkan. Kata qirâ‟at berbentuk tunggal, meskipun
dalam studi ilmu Al-Qur‟an, ia ditempatkan dalam bentuk jamak karena pembahasannya
mencakup banyak jenis qirâ‟at (bacaan).
Sedangkan Qirâ‟at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah sebagai: Ilmu
yang membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al-Qur‟an dari segi perawinya.5
Sedangkan Abd Fattah mendefiniskannya sebagai: “Ilmu yang membahas tentang tata cara
pengucapan kata-kata Al-Qur‟an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama
ahli Al-Qur‟an) ataupun yang terjadi perbedaan pendapat, dengan menisbatkan setiap model
(wajah) bacaanya kepada seorang Imam Qirâ‟at”6.
Dari paparan diatas diketahui bahwa objek kajian ilmu qirâ‟at adalah Al-Qur‟an,
baik dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Inilah alasan mengapa al-Zarkasyi
dalam bukunya al-Burhan mengatakan bahwa Al-Qur‟an dan qirâ‟at adalah merupakan dua
hal yang berbeda.7 Oleh sebab itu al-Zarkasy mendefiniskan Qirâ‟at dengan
menghubungkannya dengan al-Qur‟an. Ia mengatakan bahwa: “Perlu diketahui bahwa AlQur‟an dan qirâ‟at adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan Al-Qur‟an adalah
wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas (ajaran

agama Islam) dan sebagai mu‟jizat (bagi Rasul). Sementara qirâ‟at adalah perbedaan
beberapa lafal wahyu (Al-Qur‟an) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya,
baik secara takhfîf (membaca tanpa tasydid), tatsqîl (membaca dengan tasydid) dan lain
sebagainya”8
Dari paparan diatas penulis melihat adanya hubungan yang sangat erat antara AlQur‟an dan qira‟at, meskipun ada juga perbedaan yang nyata antara keduanya. Yaitu
munculnya ilmu qira‟at karena adanya Al-Qur‟an dan Al-Qur‟an semakin lebih lengkap dan
tampak kemu‟jizatannya karena adanya qira‟at. Qira‟at yang beragam tetapi mengacu
kepada Al-Qur‟an yang sama, merupakan salah satu keistimewaan dari sekian banyak
keistimewaaan Al-Qur‟an. Karena hanya Al-Qur‟an –diantara kitab suci yang ada- yang
4

Lihat selengkapnya Ibn Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 55.
.
Abu Syamah Ad-Dimasqi, Ibroz al-Ma‟ani min Hirz al-Amani fi Qira‟at as-Sab‟ah li al-Imam asSyat}ibi, Mesir: Maktabah Mustofa al-Albani al-Halabi wa Uladuh. Tth, h. 12.
6
Abd al-Fatah, Budur al-Zahirah fi al-Qira‟ât al-„Asyr, (Libanon: Maktabat al-Mushtafa al-Bâb alHalaby), h. 5. Lihat juga dalam Ahmad Fathoni, Kaidah Qira‟at Tujuh, (Jakarta, IIQ dan PTIQ, 2005)
7
Al Zarkasyi, Al-Burhan fi ulum Al-Qur‟an Jilid I h. 318.
8
Muhammad bin Bahadir bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar alMa‟rifah, 1391 H) Jilid I, h. 318

5

4

mempunyai tata cara membaca ayat-ayatnya secara teratur dengan beberapa bacaan yang
berbeda, sejak pertama kali diturunkan, dengan seizin Allah dan atas permintaan Rasulnya
demi memberi kemudahan bagi orang yang membacanya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa setiap lafaz dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang
dibaca adalah qira‟at, tetapi tidak setiap qira‟at adalah Al-Qur‟an, kecuali qira‟at-qira‟at
yang memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati oleh para ulama Al-Qur‟an.9 Dengan
demikian, maka qira‟at-qira‟at yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, bukanlah
dinamakan Al-Qur‟an, seperti qira‟at syadzah 10yang oleh para ulama dilarang membacanya,
baik diluar shalat, lebih-lebih didalam shalat, karena ia bukan dianggap sebagai bagian dari
Al-Qura‟an.
Disisi lain layak di sebutkan bahwa qira‟at itu hanya menyangkut sebagian kecil dari
ayat-ayat Al-Qur‟an yang berjumlah lebih dari 6.000 (enam ribu) ayat itu. Karena tidak
semua dari jumlah ayat Al-Qur‟an tersebut, disentuh oleh perbedaan bacaan atau qira‟at.11
Adapun nilai guna ilmu qira‟at sebagaimana dikemukakan oleh Al-Z}harqani adalah
salah satu instrument untuk mempertahankan orisinalitas dan otentisitas bacaan Al-Qur‟an,
disamping membuktikan kemukjizatannya. Pengetahuan tentang ilmu qira‟at adalah kunci

untuk memasuki disiplin ilmu tafsir.12
Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi-ketika menukil
pendapat Abu Hayyan-adalah “ilmu yang membahas tentang cara-cara pengucapan lafazlafaz Al-Qur‟an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri
maupun ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya”.13 Sedangkan Az-zahabi
mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah
SWT.sesuai dengan kemampuan manusia.14 Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut,
ilmu tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghoh, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan
qira‟at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbab an-Nuzul dan ilmu nasakh wa almansukh.15
Menurut pakar tafsir Ibn „Asyur, ada perbedaan implikasi diantara beragam qira‟at
tersebut terhadap penafsiran, meskipun perbedaan itu berkisar diantara dua qira‟at yang
masing-masing memiliki derajat yang shahih, yaitu pertama qira‟at yang tidak berimplikasi
pada penafsiran dan kedua qira‟at yang berimplikasi pada penafsiran yang pada akhirnya
akan mempengaruhi proses isthinbat hukum dan produk hukum yang dihasilkannya.16
Kondisi Bangsa Arab Ketika Al-Qura‘an Diturunkan
Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur‟an diturunkan kepada mereka adalah bangsa
yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arab.
Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa‟d dan lain lainnya
Abu Zar‟ah, Hujjah al-Qur‟an, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1984 M), Cet. IV h. 11
Qira‟ah yang tidak memenuhi persyaratan qira‟t yang shahih baik dari sisi sanad danperiwayatan,
rasm dan kaidah bahasa Arab

11
. Sya‟aban Muhammad Isma‟il, al-Qira‟at . h. 22
12
Al-Zharqani manahil al-Irfan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, Jilid. 1, h. 21.
13
Al-Suyuthi, al-Itqon, jilid 2, h. 174.
14
Muhammad Husein az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961,
jid 1, h .9.
15
Al-Zarkasyi, Al-Burhan, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1957, Jilid 1, h. 13.
16
Ibn „Asyur, Tafsir Jilid.1, h. 50.
9

10

5

mempunyai tradisi, logat dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai

tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.17
Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau
mengucapkan huruf „a menjadi huruf „ê‟ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin
meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf
yang dikenal dengan sebutan Idgham. Suku Hudzail hanya mampu membaca ‫ ع ى حي‬yang
semestinya dibaca ‫ ح ى حي‬, orang dari suku Asad mengucapkan ‫أل إع د إليك‬
‫ع‬
‫س د‬
‫ ع‬dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi‟il mudlari‟, orang dari suku Tamim akan
membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada
melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh‫غيض ال اء‬
‫قيل ل‬
dengan “isymam” yaitu
mendlammahkan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat mengkasrahkan
keduanya, mereka juga membaca: ( ‫ ) ب اع ا د‬dengan mengisymamkan Ro‟nya yaitu
mencampurkan suara kasrah dengan d}ammah.18
Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas nabi Muhammad mensosialisasikan AlQur‟an kepada masyarakat arab pada saat itu. Padahal Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang
harus dibaca, Tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah Al-Qur‟an tak tersampaikan dan tidak
bisa difahami umatnya.
Menyadari situasi yang majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah SWT. agar

tidak menurunkan al-Qur‟an dengan satu huruf saja. Dalam satu hadits diriwayatkan:

‫عن أي كعب قال لقي رسول ه م جريل فقال ا جريل اي بعثت ا امة امين م هم العجوز الشيخ الكبر والغام وا ارية‬
‫و الرجل الذي م يقرأ كتاا قط قال ا د ان القران أنزل على سبعة أحرف‬

“Dari Ubay ibn Ka‟ab ia berkata, “Rasulullah saw menjumpai Jibril sembari
berkata, “Wahai Jibril, aku telah diutus kepada sebuah ummat yang ummiy (buta
aksara). Di antara mereka ada yang sudah lanjut usia, hamba sahaya, lelaki maupun
perempuan, dan orang yang sama sekali tidak mengenal aksara.” Maka Jibril
berkata, “Wahai Muhammad, Sesungguhnya al-Qur‟an diturunkan dalam tujuh
huruf19
Pada kesempatan lain Nabi mermohon kepada Jibril agar mengajarkan kepadanya
beberapa macam bacaan semata-mata untuk memudahkan ummatnya membaca al-Qur‟an.
Hadits berikut menjelaskan tentang hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ubay bin Ka‟ab.

ِ
ِِ
ٍ ‫ُب بْ ِن َك ْع‬
ِ
‫ك‬
َ ‫يل َعلَْي ِ ال َساَ ُم فَ َق‬
َ َ‫ ق‬- ‫َضاةِ بَِِ ِغ َفا ٍر‬
َ ‫ال إِ َن‬
َ ُ‫اََ ََْ ُمُرَك أَ ْن تَ ْقَرأَ أَُمت‬
َ ‫ َكا َن عْ َد أ‬-‫م‬- َِ
َ ِ ‫ب أَ َن ال‬
َّ ‫َع ْن أ‬
ُ ‫ فَأ َََ ُ ج ْر‬- ‫ال‬
ِ ‫اَ معافَاتَ وم ْغ ِفرتَ وإِ َن أَُم ِِ اَ تُ ِط‬
ٍ ‫الْ ُقرآ َن علَى حر‬
‫ك‬
َ ‫ َُُ أ َََ ُ الثَانِيَةَ فَ َق‬.» ‫ك‬
َ ‫ فَ َق‬.‫ف‬
َ ‫ال إِ َن‬
َ ُ‫اََ ََْ ُمُرَك أَ ْن تَ ْقَرأَ أَُمت‬
َ ‫يق ذَل‬
ْ ‫ال « أ‬
ُ
َْ َ ْ
َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ََ ‫َسأ َُل‬
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ك‬
َ ‫ َُُ َجاءَ ُ الثَالثَةَ فَ َق‬.» ‫ك‬
َ ‫الْ ُق ْرآ َن َعلَى َح ْرفَ ْن فَ َق‬
َ ‫ال إ َن‬
َ ‫َسأ َُل‬
َ ُ‫اََ ََُْمُرَك أَ ْن تَ ْقَرأَ أَُمت‬
َ ‫يق ذَل‬
ُ ‫اََ ُم َعافَاتَ ُ َوَم ْغفَرتَ ُ َوإ َن أَُم ِِ اَ تُط‬
ْ ‫ال « أ‬
ِ ‫اَ معافَاتَ وم ْغ ِفرتَ وإِ َن أَُم ِِ اَ تُ ِط‬
ٍ ‫الْ ُقرآ َن علَى ثَاَثَِة أَحر‬
‫اََ ََُْمُرَك أَ ْن‬
َ ‫ فَ َق‬.‫ف‬
َ ‫ َُُ َجاءَ ُ الَرابِ َعةَ فَ َق‬.» ‫ك‬
َ ‫ال إِ َن‬
َ ‫يق َذل‬
َ ْ
ُ
ْ ‫ال « أ‬
َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ََ ‫َسأ َُل‬
ُْ

ٍ
ٍ
ِ
ِ
.‫َصابُوا‬
َ ُ‫تَ ْقَرأَ أَُمت‬
ْ ‫ك الْ ُق ْرآ َن َعلَى َسْب َعة أ‬
َ ‫َحُرف فَأَمَُا َح ْرف قَ َرءُوا َعلَْي فَ َق ْد أ‬

Ahmad al-Bily, al-Ikhtilaf Baina al-Qira‟at, (Bairut : 1988), h. 39
Ibn Qutaibah, An-Nasyr fi al-Qira‟at, jilid 1, hal 33.
19
Muhammad ibn Isa al-Turmudziy, Sunan al-Turmudziy, Beirut: Dar Ihya‟ Turats al-„Arabiy, t, th,
hadits nomor 2944, Jilid V, h. 194.
20
Muslim ibn Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Musafirin wa Qashruha, (Beirut: Dar Ihya‟
Turats al-„Arabi, t.th), nomor hadits: 821, Jilid I, h. 562, Maktabah Al-Syamilah, Jilid 4, hadits nomor: 1357, h.
257
17

18

6

“Dari Ubay bin Ka‟ab bahwa Nabi saw telah berada diawak sungai Bani Ghifar.
Lantas beliau didatangi oleh Jibril as sembari berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan satu
huruf”. Rasulullah bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfiroh Allah,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”, Jibril datang
lagi kepada Rasulullah untuk yang kedua kalinya sambil berkata, “Sesungguhnya
Allah memerintahkan untuk membaca al-Qur‟an kepada umatmu dengan dua huruf,
Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Untuk yang
ketiga kali, Jibril datang menjumpai Rasulullah sambil berkata, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada umatmu dengan tiga huruf.
Rasulullah kembali bersabda, “Aku memohon ampunan dan maghfirah Allah,
sesungguhnya umatku tidak akan mampu untuk menerima hal tersebut”. Akhirnya
Jibril kembali menjumpai Rasulullah untuk yang keempat kalinya sembari berkata,
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur‟an kepada
umatmu dengan tujuh huruf”. Huruf manapun yang mereka baca, maka dianggap
sebagai bacaan yang benar”.
Dengan diturunkannya Al-Qur‟an dalam sab‟ah ahruf. Rasul membacakan Al-Qur‟an
dengan bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Sebab tidak mudah bagi
seseorang untuk memahami bahasa dan logat orang lain, selain logat yang dikenalnya sejak
lahir dalam waktu singkat, jika toleransi diatas tidak diberikan, maka dengan demikian
memahami Al-Qur‟an menjadi beban berat bagi mereka.21
Menyatukan atau menyeragamkan bacaan Al-Quran difase awal turunnya tentu
bertentangan dengan kemudahan dan toleransi yang Allah janjikan bagi orang-orang yang
mau mempelajari Al-Qur‟an, sebagaimana firman Allah dalam:(QS. al-Qamr/54 : 17)
Artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk dipelajari, Maka
Adakah orang yang mengambil pelajaran?” Disamping itu adanya ahruf sab‟ah dalam
bacaan Al-Qur‟an adalah cara Allah menjamin orisinalitas dan otentisitas al-Qur‟an,
sebagaimana firmanNya dalam (QS Al-Hijr/15:9) Artinya:” Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
Pengertian Sab’ah Ahruf Dan Pengertian Qira’at Sab’ah
Pakar qiraát Abu Syamah mengatakan bahwa banyak orang yang mengira tujuh
sistim qiraát yang dikenal dengan qiraát sab‟ah yang ada sekarang ini adalah tujuh huruf
atau sab‟ah ahruf yang dimaksud dalam hadits. Dugaan itu menurutnya, menyimpang dari
kesepakatan para ulama. Hanya orang-orang yang tak berilmu sajalah yang mempunyai
dugaan seperti itu.22
Untuk menghilangkan kerancuan antara, ahruf sabáh dan qiraát sab‟ah, maka
berikut ini penjelasan singkat seputar pengertian kedua aspek tersebut.
1. Pengertian Sab‟ah Ahruf
21

Muhammad al-Thohir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, Dar sahnun li an-Nashr wa
at-Tauzi‟ Jilid 1 h. 51.
Abur Syamah al-Dimasyqiy, ibraz al-Maániy min Hirz al Amaniy fi Qiraát al-sab‟li al-Imam alSyathibi, (Mesir: Maktabah Musthafa al-Albaniy al-Halabiy wa Auladuhu, tth), h. 12/ al_Suyuti , al-Itqon Jilid
1, h 138.
22

7

Kata “sab‟atu ahruf” dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami kata sab‟ah
sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan yang banyak, karena orang
Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata sab‟ah. Adapun kata ahruf merupakan
bentuk plural dari kata harf yang secara etimologi berarti salah satu huruf hijaiyyah. Ada
juga yang mengatakan bahwa makna harf secara bahasa adalah tepi sesuatu. Ketika harf
dipahami dalam konteks terminologi sab‟atu ahruf, maka muncullah berbagai macam
pendapat. Ada yang memaknainya dengan bacaan, model, bahasa, dialek, cara, segi, atau
lainnya23. Menurut Abu Hatim ibn Hibban (w. 354/965) ada sekitar tiga puluh lima pendapat
ulama mengenai permasalahan ini.24 Sedangkan menurut al-Suyuthi (w. 991/1583) ada
empat puluh pendapat tentang terminologi sab‟atu ahruf.25
Dari berbagai pendapat ulama, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab‟ah adalah hakekat bilangan
tujuh. Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna harf atau ahruf. Sufyan
ibn „Uyainah (w. 198), diikuti Abu „Ubaid Qasim bin Salam (w. 224), Ibn Jarir al-Thabari (w.
310), Abu Syamah (w. 665), al-Qurthubi (w. 761) . Memahami harf adalah bahasa, atau
lahjah dimana al-Qur‟an diturunkan.26. Ibnu Qutaibah (w. 276) . Memahami ahruf dari segi
perbedaan lafal di mana al-Qur‟an diturunkan. yang dimaksud adalah tujuh macam segi
perbedaan. Adapun tujuh macam perbedaan tersebut meliputi a).Perbedaan segi harakat
kalimat, dimana bentuk dan makna tidak berubah, seperti firman Allah :    
   dan

, huruf ra‟ selain dibaca dhammah, juga dibaca fathah.

b)

Perbedaan I‟rab/harakat, di mana bentuknya sama sedang makna berbeda, seperti firman
Allah:     dan  , huruf ba‟ pada  dibaca dhammah, sedang „ain
dan dal pada ba‟id dibaca fathah.c.) Perbedaan pada huruf, I‟rab tetap, bentuknya sama
makna berbeda, seperti firman Allah:      dan ‫ ش ها‬. Pada
nunsyizuha dibaca dengan zay dan ra‟. 27 d.) Perbedaan bentuk kata, makna tidak berubah 
   

23
24

hal. 32-33

dan28 ‫قي‬

e.) Perbedaan pada bentuk kata, makna berubah, 

Ibnu Mundzirr, Lisan al-„Arab, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Jilid IX, h. 41
Manna‟ Qattan, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah Ahruf, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), Cet. Kel-1,

Al-Suyuthi, al-Itqan fi „Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fikr, t, th), Jilid I, h. 47
Tujuh bahasa yang dimaksud adalah Quraisy (suku terbesar di wilayah Arab), Hudzail, Tsaqif,
Kinanah, Hawazin, Tamim dan Yaman. Ada pula yang mengatakan: Quraisy, Hudzail, Tamim, Adz, Rubai‟ah,
Hawazin, Sa‟ad ibn Bakar. Lihat Ibnu Mandzur, Lisan al-„Arab, Jilid VI, h. 335
27
QS. Al-Baqarah/2: 259. Nunsyizuha adalah qira‟at Aban dari „Ashim. Lihat Ibnu Khalawaih,
Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an Min al-Kitab al-Badi‟, Mesir: Mathba‟ah al-Rahmaniyah, 1934, h. 16
28
QS. Yasin/36: 29. Zaqyatan adalah qira‟at Ibnu Mas‟ud. Lihat Ibnu Khalawaih, Mukhtashar fi
syawadz al-Qur‟an, h. 125.
25

26

8

 bacaan lain

 ‫ع‬

29 .

dan diakhirkan), seperti firman Allah:

f) Perbedaan antara taqdim dan ta‟khir (diawalkan
   

qira‟at lain membaca

‫جاء سك الحق بال‬
g). Perbedaan antara naqsh dan ziyadah (pengurangan dan
penambahan), seperti firman Allah: ‫ايد ي‬
‫ ا ع‬dan ‫ا ع ه ايد ي‬
Kedua, mengartikan kata sab‟ah bukan bilangan tujuh, melainkan bilangan yang
bermakna banyak, karena orang Arab biasa menunjuk bilangan banyak dengan kata tujuh.
Banyaknya qira‟at adalah bentuk kemudahan kepada hamba-Nya. Pendapat ini dikemukakan
oleh Ali bin Abi Thalib ra (w. 40), Ibnu Abbas ra (w. 67), Qadhi „Iyadh (w. 544)..
Kenyatannya pendapat yang berkembang dalam kurun waktu yang cukup panjang
adalah pendapat pertama. Karena pendapat ini mengandung kelonggaran, disamping
bermacam qira‟at yang pernah dibenarkan Rasulullah tidak ditunggalkan, tetapi di akomodir.
bahkan pendapat pertama ini juga memberikan alternatif lain yang dibolehkan. Sedangkan
pendapat kedua, yang memahami kata sab‟atu ahruf dengan makna banyaknya qira‟at,
sebagai kemudahan dan kelonggaran bagi umat islam ketika itu, tidak mendapat legitimasi
ulama, karena membolehkan adanya qira‟at dengan bilangan yang tak terbatas, akan
membuka peluang bagi siapa saja untuk membaca Al-Qur‟an dengan dialek masing-masing,
tanpa dibatasi oleh bahasa atau dialek tertentu. 30. Adanya tujuh macam huruf (sab‟atu ahruf)
dalam bacaan Al-Qur‟an inilah yang menjadi sebab dibalik munculnya bermacam-macam
qira‟at, dan pada akhirnya menjadi embrio dari lahirnya disiplin ilmu qira‟at.
Keragaman qira‟at yang terjadi di kalangan ulama juga ditopang oleh teks awal AlQur‟an yang ditulis tanpa tanda baca dan titik. Ketiadaan tanda baca ini memungkinkan
timbulnya perbedaan dalam membaca Al-Qur‟an. Seperti kata ‫ ش ها‬pada firman Allah QS.
Al-Baqarah/2: 259: ‫ ا ظ الى العظا كيف ش ها‬karena tidak bertitik bisa dibaca ‫ ش ها‬dan
‫ ش ها‬. Contoh lain kata ‫( س‬al-silmi) pada firman Allah QS. Al-Baqarah/2: 208 :
      
Karena tidak berbaris bisa dibaca ‫( س‬salmin) dan ‫( س‬silmun)
Sumber Qira’at
Sebagaimana Al-Qur‟an diyakini bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. Maka Qira‟at yang mutawatir juga dianggap bersumberkan wahyu. Dua
hadits berikut ini bisa dijadikan dalil bahwa qira‟at memang bersumber pada Nabi saw. Dua
hadits tersebut adalah:
QS. Al-Waqi‟ah/56: 29. Yang membaca wa thal‟in (dengan „ain) qira‟at Ali Ibn Abi Thalib. Lihat
Ibnu Khalawaih, Mukhtashar fi Syawadz al-Qur‟an, h. 151
30
Ramlah Widayati nampaknya lebih menekankan pendapat pertama yang didukung Ibnu Qutaibah,
al-Razi, Ibn Jazari, al-Zarqani dan lainnya , yang dianggapnya lebih tepat, karena didasarkan atas hadits yang
cukup banyak dan penelitian yang dalam dengan menggabungkan teori dan praktik. Upaya yang mereka
lakukan dengan melacak beberapa mushaf yang ada di wilayah-wilayah Islam dan mengecek praktik bacaan
yang beredar. Tujuh macam perbedaan seperti disebut di atas mencakup seluruh Qira‟at atau bacaan, baik yang
mutawatir maupun syadz. Artinya, baik Qira‟at mutawatirah maupun syadzah tidak keluar dari tujuh macam
perbedaan tersebut. Lihat Ramlah Widayati, Qira‟at Syazah dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhith karya abu Hayyan,
disertasi UIN, 2008 h. 29.
29

9

‫عن عبد الرمن بن أي ليلى عن أي بن كعب عن ال ي صلى ه علي و سلم أن ه تعا أمر أن يقرأ القرآن على حرف فقال‬
‫رب خفف عن أمي فأمر أن يقرأ القرآن على سبعة أحرف‬
Diberitakan oleh Abd ar-Rahman dari Ubay Ibn Ka‟ab dari Nabi saw. Bahwa Allah
swt. telah memerintahkanNya untuk membaca Al-Qur‟an satu huruf. Maka Nabi
berkata Tuhanku beri keringanan bagi umatku. Maka Allah memerintahkan Nabi
untuk membacakan Al-Qur‟an (dengan bacaan) Sab-ah ahruf.

‫ معت عمر بن ا طاب يقول معت شام بن ا كيم يقرأ سورة الفرقان‬: ‫عن عروة بن الزبر عن عبد الرمن بن عبد القاري قال‬
‫على غر ما أقرؤ ا علي وكان رسول ه صلى ه علي و سلم أقرأبيها فكدت أن أعجل علي ُ أمهلت حِ انصرف ُ لببت‬
‫ ا رسول ه إي معت ذا يقرأ سورة الفرقان على غر ما أقرات يها‬: ‫بردائ فجئت ب رسول ه صلى ه علي و سلم فقلت‬
ُ ‫ كذا أنزلت‬: ‫ اقرأ فقرأ القراءة الي معت يقرأ فقال رسول ه صلى ه علي و سلم‬: ‫فقال ل رسول ه صلى ه علي و سلم‬
] ‫ كذا أنزلت إن ذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر م‬: ‫ اقرأ فقرأت فقال‬: ‫قال‬

“Dari urwah ibn Zubbair, dari Abd ar-Rahman ibn al-Qoriy, ia mengatakan telah
mendengar Umar ibn KHothob berkata : Aku mendengar Hisyam ibn al-Hakim
membaca surah al-Furqan bukan seperti yang dibaca (oleh para sahabat) dan yang
dibaca Rasul. Hampir saja aku menghantamnya, namun aku mengurungkannya
sampai dia selesai (shalat). kemudian aku tarik bajunya dan aku bawa dia kehadapan
Rasulullah saw. Maka aku berkata: ya Rasulallah saya mendengar (orang ) ini
membaca surah al-Furqan bukan seperti apa yang engkau bacakan kepadaku. Rasul
kemudian berkata (kepada Hisyam) : “Bacalah, (Hisyam) Lalu membaca (surah alFurqan) dengan bacaan seperti yang aku dengar. (setelah mendengar bacaan
Hisyam) Rasul kemudian bersabda: Demikianlah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Kemudian
Rasul berkata kepadaku : :Bacalah, maka aku membaca (surah al-Furqan).
Sesudahnya Rasul bersabda: Begitulah (Al-Qur‟an ) diturunkan. Sesungguhnya AlQur‟an ini diturunkan dalam sab‟ah ahruf, bacalah (dengan bacaan ) yang
memudahkan kalian.31
Dua hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa semua qira‟at yang mutawatir
tauqifi, artinya bersumber dari Allah, bukan hasil ijtihad manusia. Kedudukan qira‟at seperti
ini menjadi pegangan para ulama qira‟at sampai saat ini. Misalnya Al-Dimasyqiy
menganggap bahwa ilmu qiraát sebagai disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara
artikulasi dan ragam perbedaan lafazh al-Qurán bersumber dari informasi perawi yang tentu
saja sumber utamanya adalah Rasulllah saw.32
Karena posisi qira‟at yang shahih itu sama dan sebanding dalam keshahihannya dan nilai
ta‟abbudiyahnya, maka kita tidak boleh mentarjih diantara qira‟at mutawatir yang beragam
itu, yang dibolehkan hanyalah memilih diantara qira‟at-qira‟at itu yang akan kita ikuti dan
menjadi bacaan kita. Sedangkan qira‟at-qira‟at lainnya menambah penjelasan dari qira‟at
yang di ikuti, sebab ulama qira‟at sepakat mengatakan:”Ta‟addudul qiraat yunazzilu
manzilata ta‟adudu al-ayat.33

Shahih al-Bukhari , kitab fadhail Al-Qur‟an Bab Unzila Al-Qur‟an ala sab‟ah ahruf jilid vi hal 185.
Abu syamah al-Dimasyqiy,Ibraz Al-Ma‟ani min Hirz al-Amany fi Qira‟at al-Sab‟ah Ii al-Imam alSyathibi, h.12. Ibn Asyur Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir jilid 1, h 63
31

32

33

syar‟iyah.

Muhammad al-Habasy, Al-Qira‟at al-Mutawatirah wa asaruha fi ar-rasm Al-Qur‟aniwa al-ahkam as-

10

Sejarah Perkembangan Qira’at
a. Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa Al-Qur‟an diturunkan secara bertahap berlangsung. Setiap ayat yang turun
akan dihafal dengan baik oleh Rasulullah saw. sendiri maupun para Sahabat Pemeliharaan
Al-Quran dari sisi tulisan dilakukan dengan cara menunjuk secara resmi beberapa orang
Sahabat sebagai penulis wahyu seperti: „Ali ibn Abi Thalib, Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan,
Aban ibn Abi Sa‟id, Khalid ibn Walid, Ubay ibn Ka‟ab, Zaid ibn Tsabit dan Tsabit ibn
Qais.34
Selain mengemban tugas resmi sebagai penulis Al-Qur‟an, beberapa orang sahabat
yang disebutkan diatas dan beberapa sahabat lainnya juga memiliki dokumen atau catatan
pribadi yang terkait dengan Al-Qur‟an, seperti Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah
ibn „Abbas, Abdullah ibn Mas‟ud dan „Aisyah.Tulisan Al-Qur‟an juga dicek oleh Rasulullah,
Bahkan sebelum Rasulullah wafat- menurut sebuah riwayat- Zaid ibn Tsabit telah
menyerahkan dokumen tertulis yang mengakomodir semua huruf dan qira‟at kepada
Rasulullah untuk dikoreksi. 35
Uraian diatas menegaskan kepada kita bahwa landasan periwayatan qira‟at dan
pemeliharaannya melalui dua cara, disamping hafalan yang tertanam dalam sanubari
Rasulullah saw dan para Sahabat sebagai landasan utama, juga dalam bentuk tulisan. Dengan
demikian orisinalitas Al-Qur‟an dan otentisitasnya yang memang sudah dijamin oelh Allah
SWT,36 baik dari sisi hafalan maupun tulisan tetap terjaga.
Perbedaan bacaan Al-Qur‟an di kalangan Sahabat tidak menimbulkan persoalan
karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira‟at tersebut bukan hasil rekayasa atau
ijtihad sahabat, tetapi merupakan petunjuk Tuhan kepada Nabi (taufiqi).,oleh sebab itu setiap
qira‟at disandarkan langsung kepada Nabi. Qira‟at yang diterima Sahabat dari Nabi itulah
yang kelak menjadi pedoman ketika qira‟at menjadi disiplin ilmu tersendiri. Situasi seperti
digambarkan di atas berjalan hingga masa Umar. Para Sahabat mengajarkan Al-Qur‟an
dengan qira‟at masing-masing
Pada masa pemerintahan khalifah Usman, perbedaan qira‟at yang selama ini ditolerir
keberadaannya, mulai mengarah kepada pertentangan di kalangan umat Islam. Kasus
pertikaian pernah disaksikan langsung oleh Khuzaimah al-Yamani, antara pasukan Syam dan
Irak saat penaklukan kota Armenia dan Azerbaijan.37 Pertikaian terjadi karena tidak adanya
Al-Qur‟an standar yang menyatukan cara bacanya. Berdasarkan kasus ini Khuzaimah
mengusulkan kepada khalifah Usman agar menuliskan kembali Al-Quran untuk dijadikan
sebagai master atau pedoman yang standar. Berdasarkan usul itu, Usman membentuk tim
yang terdiri dari empat orang: Zaid ibn S|abit (w. 45) sebagai ketua, dan Sa‟id ibn Ash alAmawi (w. 59), Abdullah ibn Zubair al-Asadi (w. 73), dan Abdurrahman ibn Harits ibn
Hisyam al-Makhzumi (w. 43) sebagai anggota.38
34

Abd al-Fattah al-Qadhi,Tarikh al-Mushaf al-syarif,Kairo:Maktabah al-Husaini,t.th,
Manna‟ Qattan, Nuzul al-Qur‟an „ala sab‟ah ahruf, h. 124
36
Lihat firman Allah: QS Al-Hijr/15:
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.
37
Ibn Jarir Al-Thobari,Tafsir Jami‟ al-Bayan, jilid 1, h 61.
38
Lihat Al-Zarqoniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur‟an, jilid 1, h.256-257.
35

11

Sebelum pelaksanaan tugas ini, Usman memberlakukan beberapa syarat, yaitu
pertama “Jika terjadi perselisihan dalam soal tulisan dengan Zaid ibn S|abit, maka hendaklah
ditulis dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Quraisy.39 Pesan
ini disampaikan mengingat zaid adalah orang Anshar, sedang ketiga anggotanya berasal dari
suku Quraisy. kedua, qira‟at yang diakomodir dalam mushaf adalah qira‟at yang sudah
dikoreksi di hadapan Nabi, sehingga qira‟at yang sudah di-naskh atau periwayatannya hanya
mencapai derajat ahad tidak dimasukkan dalam mushaf standar.
Mushaf hasil kodifikasi Utsman yang masyhur dengan sebutan “Mushaf „Utsmani”,
menjadi mushaf standar dan rujukan bagi seluruh umat Islam hingga kini. Berikutnya Usman
menghimbau agar semua mushaf pribadi yang pernah ditulis dihadapan Nabi, diserahkan
untuk kemudian dimusnahkan demi menjaga keutuhan umat, jangan sampai hanya karena
perbedaan qira‟at umat islam bertikai dikemudian hari. Kebijakan membakar mushaf tersebut
dinilai sebagai sadd al-Dzari‟ah, upaya menjaga kemaslahatan dan keutuhan umat Islam.
Dalam konsep fikih, apapun yang ditetapkan dan sudah menjadi keputusan pemerintah atau
penguasa mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga wajib ditaati, sebagaimana
kaedah ushul fiqh mengatakan : ‫ حكم الحاكم الزام ويرفع الخاف‬40 (Artinya: keputusan pemerintah
adalah mengikat dan menghilangkan semua perbedaan pendapat).
Khalifah Utsman ketika mengirim mushaf standar ke berbagai wilayah juga
menyertakan para muqri‟ dengan bacaan yang standar. Al-Zarqani menyebutkan bahwa
Sahabat yang diberi tanggungjawab untuk mengajarkan mushaf kekawasan Madinah adalah
Zaid ibn Tsabit, kekawasan Makkah dengan muqri‟„Abdullah ibn al-Saib (w. 70/690),
kekawasan Syam Al-Mughirah ibn al-Saib (w. 71/690), kekawasan Kufah Abu Abdurrahman
Al-Sulami, dan ke Bashrah „Amir ibn „Abd al-Qais.41
b. Masa Tabi‟in
Pada masa Tabi‟in, yakni pasca disusunnya mushaf Usmani periwayatan qira‟at
seperti pada masa Sahabat tetap berlangsung. Di masa Tabi‟in inilah masa keemasan dan
kematangan disiplin ilmu qira‟at berlangsung. Antusias masyrakat dalam mengkaji ilmu ini
sangat besar. Sehingga pada abad kedua Hijriyah, lahirlah ahli-ahli qira‟at hasil bimbingan
Sahabat, di antaranya Abu Ja‟far Yazid ibn Qa‟qa‟ (w. 130/747), Nafi‟ ibn Abd al-Rahman
(w. 169/785) qurra‟ wilayah Madinah, Ibn Katsir al-Dary (w. 120/737), Humaid ibn Qais alA‟raj (w. 123/740) qurra‟ Makkah, Abdullah al-Yahshubi atau „Amir (w. 118/736) qari‟ dari
Syam, Abu „Amr (w. 154/770) qari‟ Basrah, „Ashim al-Jahdari (w. 128/745), „Ashim ibn Abi
al-Najud (w. 127/744), Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat (w. 188/803), Sulaiman al-A‟masy (w.
119/737) qurra‟ dari Kufah.42
Pada masa Tabi‟in ini buku-buku qira‟at hasil karya para qurra‟ bermunculan, seperti
Abu „Ubaid al-Qasim ibn Sallam (154-224/774-838) menulis sebuah buku dengan judul alQira‟at. Dalam karya ini, ia mengangkat 25 qira‟at termasuk di dalamnya imam qira‟at sab‟.
Ahmad ibn Jubair al-Kufi (w. 258) menulis kitab qira‟at al-khamsah, Isma‟il ibn Ishaq alMaliki (w. 282) menyusun kitab qira‟at yang mengangkat 20 qira‟at, termasuk di dalamnya
imam qira‟at sab‟ah, al-Thabari (w. 310) menyusun karya yang diberi nama al-Jami‟, yang
Lihat al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi Ulum al-Qur‟an, Jilid I, h. 334.
Jalal al-Din Al-suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, juz 2, h. 479, Maktabah al-Syamilah,
41
AL-Zarqoniy,Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur‟an, jiid 1,h 337.
42
Ahmad al-Baily, Al-Ihktilaf baina al-Qira‟at, Beirut, Dar al-Jail, h. 68

39

40

12

mengangkat kurang lebih 20 qira‟at, Abu Bakar al-Dajuni (w. 324) menyusun kitab qira‟at
dengan memasukkan Abu Ja‟far (salah satu Imam qira‟at sepuluh), dan Ibnu Mujahid (w.
324) mengarang buku berjudul “Kitab al-Sab‟ fi Al-Qur‟an” yang mengangkat nama imamimam qira‟at tujuh. Karya-karya ini menjadi petanda lahirnya disiplin ilmu qira‟at.
Parameter keshahihan sebuah qira’at
Mengingat banyaknya ragam qirâ‟ât yang beredar dikalangan umat islam yang
diriwayatkan oleh para qâri‟, Maka untuk menentukan kualitas qirâ‟ât, para ulama membuat
parameter berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan acuan ketika menilai
shahih atau tidaknya sebuah qirâ‟ât. Parameter ini meliputi:1) Qira‟at itu harus memiliki
rangkaian sanad yang shahih dan bersambung sampai kepada Rasulullah saw.2)redaksi dari
qira‟at itu harus sesuai dengan kaedah bahasa Arab.3) Bentuk tulisannya harus sesuai dengan
salah satu rasm (gambararan dari tulisan) mushaf Utsmâni.
Diantara ulama yang menetapkan tiga parameter ini adalah syaikh al-Makki ibn Abî
Tâlib (w.347)43. Parameter ini dipopelerkan oleh Ibnu al-Jazari (w.833) yang dicantumkan
dalam bait “Thaibah al-Nasyr” yang artinya adalah: “Setiap Qirâ‟ât apabila sesuai dengan
kaedah nahwu (bahasa), sesuai dengan rasm Utsmani, dan memiliki sanad shahih maka
wajib diakui ke Qur‟anannya.” Inilah tiga rukun yang harus dipenuhi, sekiranya tidak
terpenuhi tiga syarat tersebut maka qira‟at itu dianggap syadz”44
Klasifikasi Qirâ’at.
Klasifikasi qirâ‟ât didasarkan pada dua kategori, yaitu berdasarkan pada kategori kualitas
keabsahan qirâ‟ât dan berdasarkan kuantitas jumlah perawinya. Pertama: Qirâ‟ât
berdasarkan Kualitas Keshahihannya. Al-Suyûthi memaparkan kwalitas qirâ‟ât yang
didasarkan pada jumlah perawi, menjadi: a. Qirâ‟ât Mutawâtir, yaitu qirâ‟ât yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang, sehingga di masing-masing
tingkatan perawinya dan rangkaian sanadnya tidak mungkin terjadi kebohongan. Contoh
qirâ‟ât mutawatir adalah qirâ‟ât sab‟ah. b. Qirâ‟ât Masyhûr adalah qirâ‟ât yang memiliki
sanad berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit, serta
sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan salah satu rasm mushaf „Utsmani. Jenis qirâ‟ât ini
cukup masyhur di kalangan ahli qirâ‟ât, hanya saja jumlah perawi dalam sanadnya tidak
mencapai jumlah mutawatir. c. Qira‟at Ahad adalah qirâ‟ât yang memiliki sanad berkualitas
shahih, namun tulisannya tidak bersesuaian dengan rasm mushaf „Utsmani dan kaedah tata
bahasa Arab. Jenis qirâ‟ât ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini keberadaannya; d.
Qirâ‟ât Syâdz yaitu qirâ‟ât yang kualitas sanadnya tidak shahih. Contohnya seperti bacaan
‫ ك ي الدي‬pada surat al- Fâtihah:e.Qirâ‟ât Maudhû‟ yaitu qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh
seorang perawi tanpa memiliki asal-usul yang jelas. f. Qirâ‟ât Mudraj yaitu bacaan yang
disisipkan dalam al-Qur‟an oleh perawinya sebagai penafsiran. Contohnya adalah qirâ‟ât

43

Ulama dalam menetapkan validitas qiraat berbeda pendapat, namun perbedaan itu tidak keluar dari
tiga parameter sebagaimana disebut di atas. Diantara mereka hanya menetapkan dua, yaitu keshahihan sanad
dan kesesuaiannya dengan rasm mushaf utsmani saja. Lihat al-Bili, Al-Ikhtilaf Bain al-Qirâ‟ât, h. 76-77
44
Ibnu al-Jazari, Tayyibah al-Nasyr fi al Qirâ‟ât al-„Asyr, Madinah: Maktabah Dâr al-Huda,
1421/2000, Cet. Ke 2, h.32

13

Ibnu „Abbas yang menambahkan kata ‫ في اس الحج‬pada firman Allah ‫غ ا‬
‫ليس ع يك ج ا ح ا‬
‫ف ا‬
(‫بك )في اس الحج‬
Kedua, Qirâ‟ât berdasarkan Jumlah perawinya. Berdasarkan jumlah perawi dan
mengacu kepada validitas keabsahan qirâ‟ât, ulama membagi tiga kategori qirâ‟ât yaitu: a.
Qirâ‟ât Sab‟ah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh tujuh imam qirâ‟ât dengan tujuh
perawi disetiap qirâ‟ât nya. Tujuh qirâ‟ât ini dihimpun dan dipopulerkan oleh Abu Bakar
Ibnu Mujâhid (w.324/938),45. sejak masa awal Islam hingga kini ada consensus (ijma‟)
bahwa tujuh qirâ‟ât ini diakui sebagai qira‟at yang mutawatir, Para qurra‟ yang dinisbatkan
kepadanya qira‟at sab‟ah adalah :Nafi‟. Ibn „Amir, Ibn Katsir, Ab „Amr, „Ashim, Hamzah
dan Al-Kisai. b Qirâ‟ât „Asyrah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh sepuluh imam qirâ‟ât.
Jumlah sepuluh tersebut terdiri atas tujuh qirâ‟ât sab‟ah ditambah tiga qirâ‟ât lainnya,
yaitu:1.Abu Ja‟far al-Makhzumi al-Madani 2,Ya‟qub al-Hadhrami 3. Khalaf ibn Hisyâm alBazzâr. c. Qirâ‟ât Arba‟a Asyrah. Ketika masa pembukuan berbagai ilmu keislaman,
termasuk juga ilmu qira‟at, beberapa pakar qira‟at mulai mngumpulkan qira‟at dan
membukukannya, baik qira‟at yang shahih, mutawatir, begitu juga dengan qira‟at yang
syadzdzah, dimana sumber qira‟at yang terakhir ini adalah hafalan dan ingatan yang masih
tersisa. Karena dokumen tertulisnya telah dimusnahkan atas perintah Utsman. qira‟at
syadzdzah juga banyak diakomodir pakar-pakar tafsir dalam buku-buku tafsir mereka46.
Tujuannya, disamping menyempurnakan imformasi seputar qira‟at, juga untuk memperjelas
penafsiran, karena qira‟at syadzdzah bisa menambah jelas makna ayat yang dibaca dengan
qira‟at yang mutawatir. nama-nama qurra‟ yang banyak memperkenalkan qira‟at syadzdzah.
adalah empat orang qurra‟ yang paling dikenal, yang menambah jumlah qira‟at dari sepuluh
menjadi empat belas qira‟at atau yang terkenal dengan “ Qirâ‟ât arba‟a Asyrah”.47 Empat
orang qurra‟ yang dimaksud adala 1.Ibn Muhaisin 2.Yahya al-Yazidi 3. Hasan al-Bashri
4.al-A‟masy
Hubungan Qira’at Dengan Penafsiran
Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Tunisi (1296-1393 H/ 1879-1973
M). Dalam muqaddimah kitab tafsirnya membahas tentang qirâ‟at dan pengaruhnya terhadap
penafsiran Al-Qur‟an. Menurut Ibn „Asyur hubungan antara qirâ‟at dan tafsir dapat
dikelompokkan menjadi: pertama, qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan
Kedua, qirâ‟at yang berimplikasi pada penafsiran.48
Jenis pertama, yaitu qirâ‟at yang tidak berimplikasi pada penafsiran, diantaranya
disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca (harokat), panjang dan pendeknya
bacaan (mad), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-Tahqiq, al-Jahr, al-Hams dan al-Gunnah.
Beliau mencontohkan pada ayat (al-Baqarah/ 2:254):
45

Ibnu Mujâhid, kitab al-Sab‟ah, h.15
Fakhruddin al-Razi (w. 1210) adalah mufassir bermadzhab syafi‟I, termasuk yang banyak
memaparkan Qira‟at Syadzdzah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an, meskipun terkadang ia menjelaskan
atau mengomentari status Qira‟at tersebut, terkadang tidak. Padahal al-Razi termasuk mufassir yang cenderung
mengambil sikap tidak menjadikan Qira‟at syadzdzah sebagai hujjah. Sebagai contoh sikapnya tersebut dapat
dilihat pada penafsiran al-Razi dan komentarnya pada QS al-Baqarah, 2:226, yang membahas tentang „ila‟.
Lihat tafsirnya Mafatih al-Ghaib, Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, tth, jilid III, h, 78.
47
Ahmad al-Beilly, Ikhtilaf baina al-Qira‟at ,h 111-112.
48
Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir Jilid 1 h. 50
46

14

      
Tiga kosa kata pada ayat di atas dapat dibaca dhommah seluruhnya atau fathah
seluruhnya, atau dapat juga dibaca salah satunya rofa‟ dan yang lainnya fathah tanpa
menimbulkan perbedaan makna yang dapat mempengaruhi penafsiran Al-Qur‟an.49 Jenis
bacaan yang kedua adalah qirâ‟at yang berimpliksi terhadap penafsiran (QS Yusuf 12: 11).
 ‫ ك‬   seperti pada kata kudzdzibu bisa dibaca dengan tasydid pada huruf dzal
yang bermakna mereka (yaitus para Nabi) telah didustakan kaumnya, atau bisa dibaca tanpa
tasydid, yang bermakna mereka (yaitu orang-orang yang berdosa dan melanggar larangan
Allah) telah mendustakan Rasul. Perbedaan bacaan ini berimplikasi pada penafsiran.50
Qira‟at lainnya yang berimplasi pada penafsiran adalah pada ayat yang membahas
tentang thaharoh yaitu QS al-Baqoroh/2 :222 ,
                  
            

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
gangguaan". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelummerek suci. apabila mereka
telah Suci, Maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orangorang yang mensucikan diri."
Abu Hayyan ketika menafsirkan ayat  