Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pd

PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP HUBUNGAN
ANTARA NEGARA DAN AGAMA
Pan Mohamad Faiz *
Putusan Mahkamah Konstitusi No.19/PUU-VI/2008 yang kurang memperoleh
banyak sorotan publik pada tanggal 8 Agustus yang lalu, ternyata justru
mengungkap satu hal yang sangat fundamental dan menjadi tafsir resmi UUD 1945
guna menjawab perdebatan panjang banyak pihak, yaitu hubungan antara Negara
dan agama dalam kerangka NKRI.
Awalnya, pertimbangan Mahkamah ini berasal dari permohonan Pengujian
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap UUD 1945 yang
dimohonkan oleh Suryani, salah satu warga negara Indonesia yang berasal dari
Kabupaten Serang.
Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28E
ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) guna menjadi umat
beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran
agama yaitu Islam telah “dibatasi” dengan hadirnya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan
Agama, yang berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a.
perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i.

ekonomi syari’ah”
Lebih dari itu, Pemohon juga meminta penambahan wewenang agar cakupan dan
lingkup komptensi peradilan agama diperluas dengan mencakup hukum Islam
yang lain, termasuk hukum pidana (jinayah). Menurutnya, hukum Islam dengan
semua cabangnya termasuk jinayah harus diberlakukan di Indonesia, karena
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1

Kontradiktif

Apabila kita menelaah secara cermat, sebenarnya kedua permohonan Pemohon
menjadi kontrafiktif satu sama lainnya. Di satu sisi, Pemohon meminta agar Pasal 49
UU Peradilan Agama diputuskan inkonstitusional karena membatasi dirinya untuk
menjalankan ibadahnya dengan sempurna. Akan tetapi di sisi lain, Pemohon juga
meminta agar kompetensi Peradilan Agama diperluas cakupannya sesuai dengan
hukum Islam dalam arti luas, termasuk Hukum Pidana (jinayah) di dalamnya.
Terhadap

hal


ini

Mahkamah

Konstitusi

(selanjutnya

disebut

Mahkamah)

memberikan pertimbangan bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah
kompetensi absolut Peradilan Agama yang telah ditentukan. Mahkamah hanya
dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk
menambah isi peraturan atau dalam kata lain menjadi positive legislator.
Interpretasi Hubungan Negara-Agama
Pemohon yang mendalilkan bahwa setiap penganut agama yang sah di Indonesia
dapat meminta kepada Negara untuk memberlakukan hukum agamanya masingmasing mendasarkan argumennya pada Pasal 28I UUD 1945 yang berbunyi:
Ayat 1: “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan

apapun”.
Ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”.
Terhadap dalil tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa pemahaman yang
demikian tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan
antara negara dan agama.
Mahkamah menafsirkan bahwa Indonesia bukan Negara agama yang hanya
didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler
yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama
2

sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Sedangkan dalam falsafah Pancasila,
hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah Negara,
serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban.
Hubungan antara negara dan agama yang demikian pernah juga Penulis utarakan
dalam salah satu artikelnya yang dimuat di the Jakarta Post pada akhir tahun 2007
yang lalu dengan judul “Constitution or Holy Book?”.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara yang ber-Ketuhanan YME harus
melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing.
Dengan demikian, lanjut Mahkamah, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi

yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada
warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas)
pemeluk agama, suku ataupun ras.
‘Nasib’ Hukum Islam di Indonesia
Ketika Mahkamah menjelaskan bahwa hukum nasional menjadi sumber hukum
yang utama dan meliputi seluruh wilayah kesatuan Indonesia, lalu bagaimanakah
dengan posisi Hukum Islam itu sendiri sebagai sumber hukum?
Dalam hal ini, hukum Islam memang telah lama menjadi sumber hukum nasional,
namun demikian hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional.
Sumber hukum nasional selain hukum Islam, diantaranya yaitu hukum adat,
hukum barat, serta sumber tradisi hukum lainnya.
Mahkamah menegaskan hukum Islam dapat berperan menjadi salah satu sumber
materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal yang dapat
digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya untuk membentuk
peraturan perundang-undangn yang berlaku sebagai hukum nasional.
Dari seluruh penafsiran di atas maka penulis menyimpulkan bahwa Indonesia
bukanlah negara agama dan bukan juga Negara sekuler, melainkan sebagai Negara

3


Pancasila (Pancasila State). Hukum Islam hanyalah dijadikan salah satu sumber
hukum nasional dalam peraturan perundang-undangan di wilayah Indonesia. (*)
* Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Program Perbandingan Hukum Tata Negara di
Faculty of Law, the University of Delhi.

4