Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa Karya Ryunosuke Akutagawa

(1)

ANALISIS PENGGUNAAN GAYA BAHASA

DALAM NOVELET

KAPPA

KARYA RYUNOSUKE AKUTAGAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

DINY INDRYANI

NIM. 63807003

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

i

ABSTRAK

Analisis Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novelet Kappa Karya Ryunosuke Akutagawa

Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Begitu pun majas dalam bahasa Jepang atau yang disebut dengan Hiyu, memiliki perbedaan dengan majas pada umumnya. Ungkapan bahasa disebut majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis. Ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan minimal adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain. Salah satu karya sastra Jepang yang banyak menggunakan gaya bahasa adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa. Untuk itu, dengan mengidentifikasi lebih lanjut tentang gaya bahasa yang terkandung dalam novelet Kappa, penulis ingin mengetahui tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarang, melalui penggunaan gaya bahasa tersebut. Berdasarkan hal-hal yang disampaikan diatas, penulis merasa tertarik melakukan penelitian mengenai bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa yang digunakan dalam novelet Kappa.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi dengan pendekatan stilistika dan obyek penelitiannya adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa.

Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa berjumlah delapan jenis, diantaranya adalah a) Metafora terdiri dari lima kutipan, b) Simile terdiri dari 17 kutipan, c) Hiperbola berjumlah tiga kutipan, d) Eupizeukis terdapat empat kutipan, e) Personifikasi berjumlah dua kutipan, f) Tautologi, g) Ironi dan h) Anagram berjumlah satu kutipan, maka jumlah keseluruhan kutipan yang mengandung gaya bahasa adalah 34 kutipan. Sedangkan tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa, diantaranya adalah sebagai penyampaian dan penekanan dalam menyampaikan suatu hal.

Penulis memberikan saran pada penelitian selanjutnya agar penelitian \dilakukan dengan membandingkan pemakaian gaya bahasa yang digunakan oleh Ryunosuke Akutagawa dalam novelet Kappa dengan karya-karya sastranya yang lain. Penelitian tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa ditinjau dari sisi lain, misalnya sisi historis (penggunaan gaya bahasa sebagai gambaran atau sindiran keadaan Jepang pada suatu zaman), sisi biografis (penggunaan gaya bahasa sebagai gambaran dari pengalaman pribadi pengarang) dan sebagainya. Memperluas cakupan penelitian, tidak hanya pada penggunaan gaya bahasa saja, tetapi juga pada unsur-unsur intrinsik yang digunakan pengarang dalam novelet Kappa, misalnya mengkaji sudut pandang, alur cerita dan sebagainya.


(3)

ii

ABSTRACT

Analysis of Use of Language Style in Novellet Kappa

Every language in the world has its own style with its special characteristics. So even figure of speech (or in Japanese called by Hiyu), have differences with the figure of speech in general. The expression language called figure of speech or not should not be distinguished by differences in the form of expression, although similar forms of expression. The phrase is said as a figure of speech because of the phrase in question meet the minimum requirements of the denial of the truth revealed over the true meaning or significance of the structure of the language used in the expression. Through the form of the language, actually wanted to express something else. One of the many works of Japanese literature uses language style is novelett called “Kappa” which are written by Japanese novelist, Ryunosuke Akutagawa. By identifying more about the style of the language contained in the Kappa novelette, the author wanted to know the purpose to be conveyed by the author, through the use of such language style. Based on the things listed above, the authors feel interested in doing research on the shape and intended use of the language style used in the novelette Kappa.

The research method used in this study is the method of content analysis with stylistic approach and the object of research is “Kappa” novelette by Ryunosuke Akutagawa.

Based on research, it is known that the forms of a style that is contained in the novelette Kappa are eight species, among them are a) the metaphor consists of five quotations, b) Simile consists of 17 citations, c) Hyperbola of three quotations, d) there are four excerpts Eupizeukis , e) Personification amounted to two quotations, f) tautology, g) Irony and h) Anagram amounted to one quote, then the total number of citations that contain the style of language is 34 citations. While the purpose of the use of style in the novella Kappa, including the aebagai delivery and emphasis in conveying something.

Based on this research, the author suggest research can be done by comparing the use of a style that is used by Ryunosuke Akutagawa in the novelette Kappa with literary works of others. Research purposes the use of style in terms of Kappa novella other hand, such as the historical (the use of force as a description language and innuendo at a time the Japanese state), biographical side (use the style of language as a description of the author's personal experience) and so on. Extending the scope of research, not only on the use of language style, but also the intrinsic elements used in the novella Kappa authors, for example reviewing point of view, plot and so on.


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa Karya Ryunosuke Akutagawa” ini dengan lancar dan tanpa hambatan.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak kekurangan Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA., selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas Komputer Indonesia.

2. Ibu Fenny Febrianty, S.S., M.Pd., selaku ketua jurusan Sastra Jepang, Universitas Komputer Indonesia, sekaligus pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, saran dan nasehatnya dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Juju Juangsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing pertama yang tak bosan

memberikan masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Soni Mulyawan Setiana, M.Pd., selaku dosen wali yang senantiasa memberikan dukungan, semangat dan nasehatnya dalam penyususnan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Universitas Komputer Indonesia.

6. Kepada Teh Tyas, selaku kesekretariatan Sastra Jepang, yang telah memberikan banyak bantuannya.


(5)

iv 7. Kepada orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan semangat

dan doa dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kepada teman-teman seperjuangan jurusan Sastra Jepang angkatan 2007, Itang Zakaria, Bimo Haryo, Eri Dani, Fitriyah, Ryan Setiana.

9. Kepada semua teman-teman dan adik kelas yang telah memberikan doa dan semangat dalam penyususnan skripsi ini.

10. Heru Erlangga yang senantiasa memberikan bantuan, nasehat, doa, kasih sayang, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan Bapak, Ibu dan semua orang yang telah terlibat mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.

Bandung, Juli 2011


(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

4.4 Latar Belakang

Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi, seni dan penciptaan. Bahasa yang digunakan dalam sastra mengemban fungsi utama sebagai fungsi komunikatif yaitu sebagai perantara dalam menyampaikan pesan pengarang kepada pembaca. Dalam menyampaikan pesan, gagasan atau ide, setiap pengarang memiliki gayanya masing-masing atau yang biasa disebut dengan gaya bahasa. Gaya bahasa atau Stile (style) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang megungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 276).

Gaya bahasa ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stile dapat bermacam-macam sifatnya tergantung konteks dimana digunakannya atau selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Salah satu unsur Stile yaitu retorika merupakan salah satu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis, yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, diantaranya dengan cara pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan.

Pemajasan (figure of Tought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata


(7)

2

yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat (Nurgiyantoro, 2010:297). Pemajasan merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan yaitu penyimpangan makna. Penggunaan stile yang berwujud pemajasan mempengaruhi gaya dan keindahan bahasa karya yang bersangkutan.

Setiap bahasa di dunia memiliki gaya bahasa tersendiri dengan ciri khasnya masing-masing. Begitu pun majas dalam bahasa Jepang atau yang disebut dengan

Hiyu, memiliki perbedaan dengan majas pada umumnya. Ungkapan bahasa disebut majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis. Ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan minimal adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain.

Gaya bahasa juga dapat dipergunakan sebagai salah satu teknik pengembangan kosakata. Gaya bahasa dan kosakata mempunyai hubungan yang erat. Semakin kaya kosakata seseorang, semakin beragam pula gaya bahasa yang dipakainya. Selain itu, para pembaca dan para penulis unggul benar-benar memanfaatkan gaya bahasa untuk menjelaskan gagasan-gagasan mereka. Pengungkapan gagasan dalam dunia sastra banyak mendayagunakan pemakaian


(8)

3

bentuk-bentuk bahasa kias. Pemakaian bentuk-bentuk bahasa kias tersebut, disamping untuk memperindah penuturan itu sendiri, juga untuk membangkitkan suasana dan kesan tertentu.

Salah satu karya sastra yang banyak menggunakan gaya bahasa adalah novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa. Dalam novelet Kappa terdapat sebuah narasi yang merupakan pengantar dari penerbit, menyatakan bahwa

“novelet Kappa merupakan ekspresi jiwa pengarang yang menyindir kehidupan dan budaya masyarakat Jepang dan diarahkan pada beberapa sasaran diantaranya modernisme, hubungan laki-laki dan perempuan, agama dan sensor atas seni”.

(Kappa, 2004:8) Walaupun novelet Kappa ditujukan sebagai sindiran, bukan berarti gaya bahasa yang digunakan hanya gaya bahasa sindiran, namun lebih bervariasi.

Kappa merupakan novelet yang menggunakan gaya bahasa yang lebih variatif dibandingkan karya-karya Akutagawa yang lain, seperti cerpen Rashomon, Hana, Kumo no Ito dan lain-lain. Meskipun jika dilihat secara sepintas Kappa

menceritakan sebuah legenda atau mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat Jepang, namun muatan moral dan kritik terhadap realitas yang ada di dunia seniman dan kehidupan masyarakat Jepang sangat dalam.

Dengan mengidentifikasi lebih lanjut tentang gaya bahasa yang terkandung dalam novelet Kappa, penulis ingin mengetahui tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarang, melalui penggunaan gaya bahasa tersebut. Berdasarkan hal-hal yang disampaikan diatas, penulis merasa tertarik melakukan penelitian mengenai bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa yang tergambar dalam novelet Kappa.


(9)

4 1.2.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulis merumuskan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet

Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa ?

b. Bagaimana tujuan penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam novelet

Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa ?

4.3. Batasan Masalah

Pembahasan masalah dalam penelitian dibatasi berdasarkan dialog dan narasi yang mengandung gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.

4.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :

1. Mengetahui bentuk gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.

2. Mengetahui tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa, karya Ryunosuke Akutagawa.

4.5. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan manfaat diantaranya untuk :


(10)

5 1. Penulis

Untuk menambah pemahaman dan pengetahuan tentang bentuk, dan tujuan penggunaan suatu gaya bahasa. Serta menambah wawasan tentang teori-teori analisis karya sastra, terutama penelitian gaya bahasa.

2. Pembaca

Memberikan informasi mengenai bentuk, dan tujuan penggunaan suatu gaya bahasa sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan gaya bahasa dari berbagai sudut.

3. Pengajar

Dapat dijadikan referensi pada kuliah kesusastraan terutama dalam analisis karya sastra dan gaya bahasa.

1.6.

Definisi Operasional

Definisi operasional digunakan untuk memperjelas serta memudahkan pembaca dalam memahami definisi yang digunakan dan untuk menjabarkan definisi-definisi yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman anatara penulis dan pembaca mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian. Berikut ini adalah definisi dalam judul penelitian ini :

Analisis Penggunaan Gaya Bahasa dalam Novelet Kappa

Analisis penggunaan gaya bahasa dalam novelet Kappa adalah penelitian yang bertujuan untuk meneliti bentuk-bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa


(11)

6

yang terdapat dalam dialog dan narasi pada novelet Kappa karya Ryunosuke Akutagawa.

1.7.

Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang, rumusan dan batasan maslah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan telaah pustaka yang berisi tentang teori dasar pendukung penelitian, antara lain mengenai teori gaya bahasa, yang terdiri dari bentuk dan tujuan pengunaan gaya bahasa, serta teori lainnya.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang metode penelitian, objek penelitian, serta teknik pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam menganalisis penggunaan gaya bahasa.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini membahas dan menganalisis tentang bentuk dan tujuan penggunaan gaya bahasa dalam novelet “Kappa” yang terdapat dalam narasi maupun dialog-dialognya.


(12)

7

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Berisikan tentang kesimpulan akhir dan saran pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan.


(13)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sastra

Robert Frost dalam Zaidan [et al] (2001:1) menyatakan “a performance in words”, hal ini mengarah pada pengertian sastra sebagai pertunjukan dalam kata sudah mengandung pengertian seni. Maka dapat dikemukakan bahwa sastra hakikatnya merupakan seni pertunjukan dalam kata-kata.

Sumardjo dan Saini (1986:2) menyatakan bahwa satra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan. Hal tersebut merupakan salah satu yang membuat setiap usaha membuat batasan tentang apa itu sastra selalu hanya merupakan gambaran dari suatu segi sastra saja, tidak mungkin ada batasan sastra yang sanggup meliputi semua segi kebenaran tentang sastra. Sebuah batasan tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat deskripsi saja, tapi juga suatu usaha penilaian. Sebuah batasan tentang sastra selalu mengacu pada kualitas karya sastra yang baik untuk suatu zaman dan suatu waktu, yang dahulu disebut karya sastra baik, ratusan tahun kemudian sudah tidak dinilai baik lagi.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa sastra adalah seni pengungkapan ekspresi manusia yang bernilai tinggi dan sarat makna, baik tertulis maupun lisan.


(14)

9 2.1.1. Karya Sastra

Sumardjo dan Saini (1986:3) menyatakan bahwa Karya sastra bukan hanya mengejar bentuk ungkapan yang indah, tetapi juga menyangkut masalah isi ungkapan, bahasa ungkapannya dan nilai ekspresinya. Maka karya sastra yang bermutu harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi dan bahasanya.

Jadi, karya sastra adalah sesuatu yang lahir dari emosi dan ekspresi seseorang yang mengandung unsur keindahan dan seni.

2.1.2. Jenis Karya Sastra

Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok jenisnya, yakni Sastra Imajinatif dan Sastra Non-imajinatif. Dalam karya sastra imajinatif, ciri khayali sastra lebih kuat dibanding dengan sastra non-imajinatif. Begitu pula dengan penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih menekankan penggunaan bahasa konotatif dibanding dengan sastra non-imajinatif. Sastra non-imajinatif lebih menekankan penggunaan bahasa denotatif.

Sastra non-imajinatif diantaranya essai, kritik, biografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian dan surat-surat. Sedangkan sastra imajinatif diantaranya puisi, fiksi atau prosa naratif dan drama. Puisi terdiri dari beberapa jenis diantaranya puisi epik, puisi lirik dan puisi dramatik.

Novel, novelet, dan cerita pendek (cerpen) merupakan bagian dari fiksi atau prosa naratif. Novel merupakan cerita berbentuk prosa dengan alur, tema dan suasana cerita yang lebih kompleks serta karakter yang lebih banyak. Sedangkan novelet lebih pendek dari novel dan dimaksudkan untuk dibaca dalam sekali


(15)

10 duduk, untuk mencapai efek tunggal bagi pembacanya. Begitu pun dengan cerpen yang dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam.

2.2. Gaya Bahasa

Stile (style) disebut juga gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang megungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010 : 276). Gaya bahasa ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stile dapat bermacam-macam sifatnya tergantung konteks dimana digunakannya atau selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan suatu bentuk performansi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang, yang merupakan pernyataan lahiriah dari suatu yang bersifat batiniah. Wujud performansi kebahasaan hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk linguistik yang berlaku dalam sistem bahasa. Dalam hal ini, pengarang memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif. Pemilihan bentuk struktur lahir bisa sampai pada berbagai bentuk penyimpangan dari pemakaian bahasa yang wajar.

Gaya Bahasa adalah pemakaian kata-kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk melukiskan sesuatu maksud tanpa untuk membentuk daya cipta


(16)

11 pengarang dalam membuat cipta sastra dengan mengemukakan pemilihan kata yang tepat.

2.3. Jenis-jenis Gaya Bahasa

2.3.1. Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia

Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara dan sudut pandang, lain penulis, lain juga klasifikasi yang dibuatnya. Menurut Tarigan dalam Pengajaran Gaya Bahasa (2009:6), gaya bahasa terbagi atas gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertautan dan gaya bahasa perulangan.

1. Gaya Bahasa Pertentangan

Adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada (Susilo, 2008). Gaya bahasa pertentangan terdiri dari :

a. Hiperbola yaitu gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan atau pengaruhnya. Misalnya : Hatiku terbakar, darahku terasa mendidih mendengar berita itu.

b. Litotes yaitu gaya bahasa yang didalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola, yaitu sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi dari kenyataan yang


(17)

12 sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri. Misalnya : Datanglah ke gubuk orangtuaku

c. Ironi yaitu gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata berbeda, bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan, dengan maksud mengolok-olok. Maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna sebenarnya, ketidaksesuaian antara suara yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya dan ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Misalnya : Pagi benar engkau datang padahal orang lain sudah banyak yang menunggu.

d. Oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang megandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dengan frase yang sama. Misalnya : Bahan-bahan nuklir dapat dipakai untuk kesejahteraan umat manusia, tetapi dapat juga memusnahkannya.

e. Paronomasia yaitu gaya bahasa yang berisi penjajaran kata-kata yang berbunyi sama tapi bermakna lain. Misalnya : Oh, adinda sayang, akan kutanam bunga tanjung di pantai tanjung hatimu.

f. Paralipsis yaitu gaya bahasa yang merupakan suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. Misalnya : Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menolak doa kita ini, (maaf) bukan maksud saya mengabulkannya. g. Zeugma dan Silepsis yaitu gaya bahasa yang mempergunakan dua

konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai


(18)

13 hubungan dengan kata yang pertama. Dalam zeugma terdapat gabungan gramatikal dua buah kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Misalnya : Sambil memarahi anak itu paman saya membelalakkan mata dan telinganya.

h. Satire merupakan penggunaan humor luas, parodi atau ironi untuk menertawakan suatu masalah, lebih dari sekedar ejekan, satire berisi kritik moral atau politik. Satire juga mengandung kritik tentang kelemahan manusia dengan tujuan agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Misalnya : Jemu aku dengar bicaramu

Kemakmuran Keadilan Kebahagiaan

Sudah 10 tahun engkau bicara Aku masih tak punya celana

i. Inuedo yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran dengan mengecilkan kenyataan sebenarnya. Gaya bahasa ini menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat sekilas. Misalnya : Pada pesta tadi malam, dia sedikit sempoyongan karena terlalu banyak minum minuman keras.

j. Antifrasis yaitu gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Namun perlu diingat bahwa antifrasis dapat diketahui dan dipahami dengan jelas bila dihadapkan langsung pada kenyataan bahwa


(19)

14 yang dikatakan itu adalah sebaliknya. Misalnya : “ Lihatlah si gendut ini,” ketika si kurus datang.

k. Paradoks yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena keberaniannya. Misalnya : Hatinya sunyi di kota Jakarta yang ramai ini.

l. Klimaks yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Klimaks mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Misalnya : Sejak menyemai benih, tumbuh, hingga menuainya aku sendiri yang mengerjakan.

m. Antiklimaks merupakan kebalikan gaya bahasa klimaks. Antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasan-gagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting, makna tergantung dalam kata–kata diucapkan berturut–turut makin lama makin menurun. Misalnya : Jangankan seribu, seratus rupiah pun tak ada.

n. Opostrof adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Biasanya dalam pidato yang disampaikan orator, mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang gaib, misalnya kepada orang yang sudah meninggal, pada barang atau objek khayalan, yang membuat seolah-olah tidak berbicara kepada yang hadir. Misalnya : Wahai kalian yang telah menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa raga bagi tanah tumpah darah yang tercinta ini.


(20)

15 o. Anastrof atau Inversi adalah gaya bahasa yang merupakan perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis, diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Misalnya : Datanglah dia, makanlah dia, lalu pulang tanpa ucapan sepatah kata.

p. Apofasis atau Preterisio adalah gaya bahasa yang digunakan untuk menegaskan sesuatu tapi tampak menyangkalnya. Misalnya : Saya tidak ingin menyingkapnya dalam rapat ini, bahwa putrimu telah berbadan dua.

q. Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau sesuatu yang wajar, misalnya menmpatkan pada awal peristiwa sesuatu yang sebenarnya terjadi kemudian. Misalnya : Bila kita berhasil menuruni ngarai yang curam ini, tibalah kita pada puncak sebuah gunung yang tinggi.

r. Hipalase adalah sejenis gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari suatu hubungan alamiah antara dua komponen gagasan, misalnya menggunakan suatu kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada kata lain. Misalnya : Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah (yang gelisah adalah ia bukan bangku).

s. Sinisme yaitu sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran, berbentuk kesangsian dan mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Misalnya : Memang pak dukun lah yang dapat menghidupkan orang yang telah mati, apalagi mematikan orang yang masih hidup.

t. Sarkasme yaitu gaya bahasa yang paling kasar dengan mempergunakan kata-kata yang dianggap tidak sopan. Ciri utama sarkasme adalah selalu


(21)

16 mengandung kepahitan, celaan yang getir, kurang enak didengar dan menyakitkan hati. Misalnya : Meminang anak gadis orang memang mudah, memeliharanya setengah mati.

2. Gaya Bahasa Perbandingan

Yaitu kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca, ditinjau dari cara pengambilan perbandingannya (Vidianto, 2010), diantaranya :

a. Perumpamaan / simile yaitu perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan namun dianggap sama. Sering pula kata “perumpamaan” disamakan dengan “persamaan”. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, ibarat, bak, bagai, umpama, laksana, serupa dan sebagainya. Misalnya : Wajahnya muram bagaikan bulan kesiangan.

b. Metafora yaitu sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat dan tersusun rapi. Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya : Raja siang telah pergi keperaduannya ( Matahari ) c. Personifikasi yaitu membandingkan benda mati atau tidak dapat bergerak

seolah-olah bernyawa dapat berperilaku seperti manusia. Melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Misalnya : Angin berbisik membelai gadis itu.

d. Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Apabila personifikasi menginsankan benda mati, maka depersonifikasi membedakan manusia atau insan. Misalnya : Andai kau langit, dia tanah.


(22)

17 e. Alegori yaitu cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah gagasan atau objek yang diperlambangkan. Alegori juga merupakan gaya bahasa yang memperlihatkan perbandingan utuh, perbandingan itu membentuk kesatuan menyeluruh. Misalnya : Mendayung bahtera hidup ( merupakan perbandingan yang utuh dan menyeluruh bagi seseorang dalam rumah tangga, bahtera merupakan perbandingan dari rumah tangga, sedang pengemudi dan awaknya merupakan perbandingan dari suami istri).

f. Antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Misalnya : Pada saat kami berduka cita atas kematian paman, mereka menyambutnya dengan kegembiraan tiada tara. g. Pleonasme dan Tautologi merupakan gaya bahasa dengan pemakaian kata

yang mubazir. Pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan yang sebenarnya tidak perlu, seperti saling tolong-menolong. Suatu acuan kita sebut tautologi apabila kata yang berlebihan itu pada dasarnya mengandung perulangan dari suah kata yang lain. Misalnya : Orang yang meninggal itu menutup mata untuk selama-lamanya.

h. Antisipasi atau Prolepsis merupakan gaya bahasa yang digunakan dalam menjelaskan suatu peristiwa, sebelum peristiwa itu terjadi dengan menggunakan kata pengumpamaan. Misalnya : Mobil yang malang itu ditabrak oleh truk pasir dan jatuh ke jurang.


(23)

18

i. Koreksi atau Epanortosis gaya bahasa yang berwujud mula-mula ingin menegaskan sesuatu, tapi kemudian memeriksa dan memperbaiki hal-hal yang salah. Misalnya : Saya telah membayar iuran sebanyak tujuh juta, tidak, tidak, tujuh ribu rupiah.

3. Gaya Bahasa Pertautan

Yaitu kata-kata berkias yang bertautan (berasosiasi) dengan gagasan, ingatan atau kegiatan panca indra pembicara atau penulisnya (Vidianto, 2010). Gaya bahasa penegasan diantaranya :

a. Metonimia yaitu gaya bahasa yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain berkaitan erat dengannya. Metonimia memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal lain sebagai penggantinya. Misalnya : Ia naik Honda setiap hari ke kantornya (Naik motor merk Honda).

b. Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan. Misalnya : Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan.

c. Alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca, serta adanya kemampuan pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Misalnya : Saya ngeri membayangkan kembali peristiwa Westerling di Sulawesi Selatan. Tugu ini mengenangkan kita kembali ke peristiwa Bandung Selatan.


(24)

19 d. Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Misalnya : tuna aksara pengganti buta huruf.

e. Eponim adalah semacam gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertebtu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya : Hercules menyatakan kekuatan.

f. Epitet adalah semacam gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu merupakan suatu frase deskriptif yang memberikan atau menggantikan nama sesuatu benda atau nama seseorang. Misalnya : Lonceng pagi bersahut-sahutan di desa terpencil ini menyongsong mentari bersinar menerangi alam (lonceng pagi = ayam jantan).

g. Antonomasia adalah semacam gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau penggunaan nama gelar resmi. Misalnya : Gubernur Sumatera Utara akan meresmikan pembukaan seminar bulan depan.

h. Erostesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menuntut jawaban. Misalnya : Apakah sudah wajar bila kesalahan atau kegagalan itu ditimpakan seluruhnya kepada para guru?


(25)

20

i. Paralelism adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Misalnya : Baik kaum pria maupun kaum wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara hukum. j. Elipsis adalah gaya bahasa yang didalamnya dilaksanakan peninggalan atau

penghilangan kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa, dengan kata lain penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dalam konstruksi sintaksis yang lengkap. Misalnya : Mereka ke Jakarta minggu lalu (penghilangan predikat pergi, berangkat).

k. Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan paling sedikit tiga kata, atau secara sintaksis bersamaan yang mempunyai suatu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang diantaranya paling sedikit suatu ciri diulang-ulang engan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Misalnya : Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan meninmbilkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan harapan, dan pengharapan tidak mengecewakan.

l. Asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dimana beberapa kata, frase atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan oleh koma. Misalnya : Ayah, ibu, anak merupakan suatu inti suatu keluarga.

m. Polisindenton adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindenton. Dalam polisindeton beberapa kata, frase atau klausa yang berurutan


(26)

21 dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Misalnya : Istri saya menanam nangka dan jambu dan cengkeh dan papaya dipekarangan rumah kami.

4. Gaya Bahasa Perulangan

Nurdin [et all] (2002:28) dalam Sukir (2009) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan diantaranya :

a. Aliterasi adalah sejenis gaya bahasa yang memanfaatkan pemakaian kata-kata yang permulaanya sama bunyinya. Misalnya : Dara damba daku.

b. Asonansi gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vokal yang sama, untuk memperoleh efek penekanan atau keindahan. Misalnya : Muka muda mudah muram.

c. Antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama, dengan makna yang berbeda. Misalnya : Saya selalu membawa buah tangan untuk buah hati saya.

d. Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus inverse hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Misalnya : Sudah selayaknya orang tua jangan menganggap dirinya muda, dan orang muda jangan menganggap dirinya muda.

e. Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut.


(27)

22 Misalnya : Ingat, kamu harus bertaubat, bertaubat, sekali lagi bertaubat agar dosa-dosamu diampuni.

f. Tautotes adalah gaya bahasa perulangan atas sebuah kata dalam sebuah konstruksi. Misalnya : Kakanda mencintai adinda, adinda mencintai kakanda, kakanda dan adinda saling mencintai.

g. Anaphora adalah gaya bahasa yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Misalnya : Lupakah engkau bahwa mereka telah membesarkanmu? Lupakah engakau bahwa merekalah yang menyekolahkanmu? Lupakah engkau akan segala budi baik mereka?

h. Epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya : Kemarin adalah hari ini, besok adalah hari ini, hidup adalah hari ini, segala sesuatu untuk hari ini.

i. Simploke adalah sejenis gaya bahasa yang berupa perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya : ibu bilang saya pemalas, saya bilang biar saja, ibu bilang saya lamban, saya bilang biar saja. j. Mesodilopsis gaya bahasa yang berwujud perulangan kata atau frase ditengah

baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya : Anak merindukan orang tua, orang tua merindukan anak.

k. Epanalepsis gaya bahasa yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa, atua kalimat menjadi terakhir. Misalnya : Kami sama sekali tidak melupakan amanat nenek kami.


(28)

23 l. Anadilopsisi adalah gaya bahasa repetisi dimana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Misalnya : Dalam raga ada darah, dalam darah ada tenaga, dalam tenaga ada daya, dalam daya ada segala.

Sedangkan menurut Keraf (2010:115), gaya bahasa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa dapat dibedakan dari :

a. Segi Nonbahasa diantaranya terdiri dari :

1)Berdasarkan pengarang : pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk suatu aliran.

2)Berdasarkan masa : gaya bahasa yang dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu.

3)Berdasarkan medium : gaya bahasa dalam arti alat komunikasi. Suatu bahasa karena struktur atau situasi sosial pemakainya dapat menjadi corak tersendiri.

4)Berdasarkan subjek : subjek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. 5)Berdasarkan tempat : ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau


(29)

24 6)Berdasarkan hadirin : hadirin atau jenis pembaca mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang, seperti gaya sopan, gaya intim (familiar) dan sebagainya.

7)Berdasarkan tujuan : gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin mencurahkan gejolak emotifnya.

b. Segi Bahasa merupakan gaya bahasa yang dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu :

1)Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa yang mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu, seperti gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. 2)Gaya bahasa berdasarkan nada, nada pertama-tama lahir dari sugesti yang

dipancarkan oleh rangkaian kata-kata, sedangkan rangkaian kata-kata tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang berlaku. Maka, gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana dibagi atas gaya yang sederhana, gaya mulia dan berharga dan gaya menengah.

3)Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yang dimaksud struktur kalimat adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentigkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bersifat kendur dan kalimat berimbang. Dari ketiga maca struktur kalimat tersebut maka dapat diperoleh gaya bahasa klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.


(30)

25 4)Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa ini terbagi atas dua kelompok yaitu gaya bahasa retoris yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, diantaranya seperti aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufimismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautolgi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks dan oksimoron.

Sedangkan gaya bahasa kiasan merupakan penyimpangan lebih jauh, khususnya dalam makna, seperti persamaan atau simile, metafora, alegori, parable dan fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme dan sarkaasme, satire, inuendo, antifrasis, pun atau paronomasia.

2.3.2. Gaya Bahasa dalam Bahasa Jepang

Dalam bahasa Jepang bentuk ungkapan tertentu disebut sebagai majas atau bukan majas tidak harus dibedakan atas perbedaan bentuk ungkapannya, meskipun bentuk ungkapannya sejenis (Nurhadi, 2010). Morita et.all (2000:105) mendefinisikan majas yakni :

Hiyu wa, sono taishou no tokuchou ya joukyou o, imi no chigau hoka no go o motte rensou ya ruisui saseru hyougenhou de aru”.


(31)

26 (majas merupakan bentuk ungkapan yang maknanya didapat dari analogi, hubungan pikiran untuk menunjukkan karakter, keadaan atas penggunaan kata lain yang berbeda makna)

Berdasarkan pendapat tersebut, ungkapan dikatakan sebagai majas disebabkan bentuk ungkapan yang bersangkutan memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan minimal bentuk majas yakni adanya pengingkaran atas kebenaran yang diungkapkan atas makna sebenarnya atau makna struktur bentuk bahasa yang dipakai dalam ungkapan tersebut. Melalui bentuk bahasa itu, sebenarnya ingin menyatakan sesuatu yang lain. Yamanashi (1998:14) dalam Nurhadi (2010) menyatakan :

Tatoerumono to tatoerarerumono, soshite kono tatoe no konkyou to narumono, kono mitsu no yousou wa, hiyuuhyougen no ninchiwaku no juuyou na kousei yousou de aru

(terdapat tiga unsur atau batasan dalam mengklasifikasikan suatu ungkapan sehingga disebut majas, adanya objek pengumpama, objek yag diumpamakan dan alasan hubungan perbandingan)

Pendapat ini memberikan batasan yang jelas, bentuk ungkapan dalam majas mempunyai unsur pembentuk esensial yang merupakan keharusan pada bentuk yang diakui sebagai majas tersebut. Ketiga unsur tersebut adalah sesuatu atau objek yang dibandingkan, sesuatu atau objek yang menjadi pembanding, dan alasan hubungan perbandingan tersebut. Unsur yang disebutkan terakhir inilah yang memberikan bukti, alasan dan deskripsi yang dapat dipergunakan sebagai makna bentuk majas tersebut.


(32)

27 Dalam Hiyu Hyougen Jiten (2008) jenis-jenis gaya bahasa (majas) diantaranya :

1. 直 喩 chokuyu (Simile) majas yang mengibaratkan atau membandingkan sesuatu secara jelas dengan hal yang lain dengan menggunakan kata-kata sepeti : あたかも、さながら、まるで、ごとし、ようだ、みたいだ. Contoh :

a) りんごのような頬 “pipi yang seperti apel”.

b) まるで鬼みたいなことこわい顔 “wajah yang seram seperti setan”. 2. 隠喩inyu (Metafora) majas yang mengibaratkan sesuatu secara jelas. Namun

metafora tidak seperti simile yang menggunakan kata あたかも、さながら、 ま る で 、 ご と し 、 よ う だ 、 み た い だ, namun mengibaratkan secara langsung dengan benda atau hal yang diibaratkan.

Contoh :神にゆきおく “salju yang diletakan oleh dewa”.

3. 諷 喩 fuuyu (Alegori) majas yang mengganti hal yang sebenarnya ingin disampaikan dengan hal yang mirip, yang sebenarnya makna yang ingin disampaikan berada dibalik perkataan itu. Dengan kata lain hanya mengibaratkan saja.

Jika inyu merupakan cara untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya dengan menganalogikan hal tersebut dengan hal lainnya secara langsung, maka fuuyu merupakan ungkapan yang lebih ringkas dari inyu. Berikut ini merupakan contoh yang menunjukkan hubungan antara chokuyu, inyu, dan fuuyu.


(33)

28 Contoh :

a) 大根のように太くて短い足 “kaki yang pendek dan besar seperti lobak”.

b)大根足 “kaki lobak”. c) 大根 “lobak”.

4. 活 喩 katsuyu disebut juga 擬 人 法 gijinhou (Personifikasi) majas yang memperlakukan benda mati sebagai benda yang memiliki jiwa / nyawa yang dapat bergerak dan berekspresi seperti manusia.

Contoh :

a) 花笑い鳥歌う “bunga tersenyum dan burung bernyanyi”. b)海は怒り風はほえる “laut marah dan angin menggaung”.

5. 提喩teiyu (Sinekdoke) majas yang mengibaratkan atau menyatakan sebuah hubungan yang disebut dengan sebagian dan keseluruhan.

Contoh :花 “bunga” merupakan ungkapan yang menunjukkan サクラ. 6. 換喩kanyu (Metonimi) majas yang pada prinsipnya mirip dengan sinekdoke,

tapi berlawanan namun masih ada hubungan antara sebagian dan keseluruhan. Selain itu, hubungan yang erat antara dua hal yang menjadi dasar gaya bahasa ini adalah adanya hubungan yang mengikat antara kedekatan, keterkaitan, dan elemen-elemen lainnya.

Contoh :

a) 手が上がる “karya yang dibuat dengan tangan atau dalam bahasa Indonesia dapat berarti buah tangan”.


(34)

29 b)Saat memesan makanan biasanya berkata: 僕はタコだ “saya gurita” yang

berarti saya memesan gurita.

c) 財布 “dompet” yang menunjukkan uang.

d)セーラ服 “seragam pelaut” yang berarti siswa perempuan.

7. 引喩 inyu (Alusio) majas ini merupakan bahasa orang-orang pada zaman dahulu, seperti peribahasa, haiku, waka, puisi yang diketahui oleh semua orang. Namun terkadang diungkapkan secara tersembunyi.

Contoh :急がば回れ、ということがある.... ”pepatah mengatakan, daripada terburu-buru lebih baik memutar”.

8. 張 喩 chouyu (Hiperbola) majas yang mengungkapkan pikiran ataupun kenyataan yang dibesar-besarkan atau berlebih-lebihan.

Contoh :汗が滝のように流れる “keringat yang mengalir seperti air terjun”.

9. 声 喩 seiyu (Onomatope) majas yang menggambarkan suatu kondisi atau situasi dengan tiruan suara.

Contoh :ドカンと一発 “suara tembakan DOR”.

10. 字 喩 jiyu atau 字 装 法 jisouhou (Anagram) cara pengungkapan dengan menggunakan hubungan elemen komposisi kata atau bentuk huruf untuk menekankan isi atau menegaskan suatu makna kata

Contoh :くノ一 terdiri dari huruf ku Hiragana, no Katakana, dan Kanji 一ichi yang berarti “ninja wanita”.


(35)

30 11. 詞 喩 shiyu (Paronomasia) cara pengungkapan dengan memanfaatkan gabungan antara makna / arti dengan kata-kata dan suara yang menghasilkan suatu kombinasi bunyi.

Contoh :

a) 不死山 dan 富士山 sama-sama dibaca Fujisan. b)不死の山 gunung yang abadi

c) 富士山 gunung fuji

12. 類 喩 cara pengungkapan dengan menggunakan kalimat yang didalamnya terdapat kata-kata yang memiliki bhubungan dengan maksud tersebuit.

Contoh :川、流れ、水、滴る、浮かぶ adalah kata-kata yang memiliki hubungan dengan air.

Gaya bahasa yang terdapat dalam Nihon no kakikata handobukku karya Shigeko Inagaki dalam Widiawati (2008 : 17), terbagi atas :

1. Hiyuhou 比喩法 (perumpamaan) yaitu cara mengungkapkan sesuatu dengan contoh. Gaya bahasa ini terdiri atas:

a) Chokuyuhou 直 喩 方 yaitu cara mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan ~のような, ~のように, ~のごとき, ~のごとく.

Contoh : あらしのような拍手。 (tepuk tangan yang seperti badai). b)Inyuhou 隠喩法 (metafora) yaitu ungkapan yang mengumpamakan benda

dengan sesuatu.


(36)

31 2. Gijinhou 擬人法 (personifikasi) yaitu mengungkapkn sesuatu yang bukan

manusia dengan sesuatu yang sama dengan manusia. Contoh :

a) 山は呼ぶ、海はなめく。(gnung memggil, laut mgundang). b) 風は私に語りかけた。 (angin bercerita padaku).

3. Kochouhou 誇 張 法 (hiperbola) yaitu mengungkapkan sesuatu dengan berlebihan dibanding dengan yang sebenarnya.

Contoh : 嬉しくて涙はこぼれた。(senang hingga airmata bercucuran). 4. Tsuikuhou 対句法 (antitesis) yaitu mengungkapkan yang membandingkan

sesuatu dengan yang lain.

Contoh : 東京はいつも道が込んでいるが、私の村は静かだ。(Tokyo jalannya selalu penuh, tapi desa saya sepi).

5. Zensohou ぜ ん そ ほ う (klimaks) yaitu memperkuat ungkapn dengan “semakin”.

Contoh : 一人が幸せになれば、回りの十人がさらに、百人が幸せにな

る。 (jika seorang saja bisa bahagia diantara 10 orang, apalagi 100 orang bisa lebih bahagia).

6. Hanpukuhou 反 復 法 (eupizeukis) yaitu menegaskan dengan mengulang sesuatu yang diucapkan sebelumnya.


(37)

32

Contoh : 私は良い友人を持っていることは、良いひひょうかを持って

い る こ と だ 。 (saya mempunyai teman yang baik, yang dimaksud mempunyai teman yang baik berarti mempunyai kritikus yang baik).

7. Tochihou とち法 (inverse) yaitu membalikan tata tertib kata. Contoh :

a) 美しい山だ、富士山は。(gunung yang indah, Fujiyama). b) 来るでしょう、すぐ!!!! (datang ya, sgera)

8. Hangohou 反語法 (ironi) yaitu memperkuat ungkapan yang berlawanan dangan hal yang ingin disampaikan, banyak yang mempergunakan bentuk pertanyaan dengan memakai ‘か’.

Contoh : そ の 問 題 を ほ う ち し て お い て よ う の だ ろ う か ?(baikkah mengabaikan hal itu?)

Sedangkan dalam Ninshiki no retorikku karya Seto Kenichi dalam Widiawati (2008 :19), membagi gaya bahasa atas :

1. Inyu 隠喩 (metafora) yaitu cara mengungkapkan benda abstrak yang tidak bisa diberitakan secara langunsg seperti “愛” (cinta) dengan memilih hal yang konkrit yang dapat dengan mudah dimengerti oleh persaan seperti “火のう (menyala).

Contoh :

a) 愛は火のうめらめらと燃え立つ。(cinta menyala, merah terbakar). b) 熱い思いに、胸のかがす。(dalam pikiran yang panas, membakar dada).


(38)

33 2. Kanyu 換喩 (metonimia) dalam kalimat “テブルをかたずける” terdapat dua dugaan, yang pertama dilihat dari kata-katanya yang berarti membuat ruang dengan menggerakan meja, dan yang kedua membereskan sesuatu yang ada diatas meja. Dalam hal ini テブル menunjukan “テブルの上のもの” (sesuatu yang berada diatas meja). Jadi metonimia menunjukan gejala pemikiran diantra suatu benda dalam gabungan yang berdekatan.

3. Teiyu 提 喩 (sinekdok) yaitu gejala elestik secara arti atau makna yang berdasarkan pada hubungan yang mengikuti antara bahan dan jenis.

Contoh :

a) “花” (jenis) dari “はなみ” menunjukan bahan atau wujud sakura. b) “パンのかせぐ” (bekerja mencari roti) menunjukan jenis makanan. “花” dalam ruang lingkup arti sakura menjadi sempit, sedangkan “パン” dalam ruang lingkup “食べ物” meluas.

4. Douchakuhou ど うち ゃ く法 (oksimoron) berasal dari kata yunani yang terdiri dari dua kata yang bertabrakan arti, axus (するどい: pintar / tajam) dan moros (お ろ かな: bodoh). Seperti pada kalimat “音 こ く の輝 き (cahaya kegelapan) atau “こうぜんの秘密 (rahasia terbuka), arti yang sangat berlawanan dihubungkan langsung.

5. Dougohanpuku 同 語 反 復 (tautologi) yaitu ungkapan yang mengkonfirmasikan dan menegaskan arti yang sejenis secara positf bahkan tidak ada kejelasan terhadap pengulangan ungkapan yang sama. Seperti pada kalimat “子供は子供だ。” (anak adalah anak).


(39)

34 6. Enkyokuhou 婉 曲 法 (eupimisme) yaitu merubah kata-kata yang jelek pengaruhnya menjadi kata-kata yang baik pengaruhnya. Dalam hal ini terdapat kebaikan dan keburukan. Kebaikan yang menghias kenyataan yang kasar dengan kata-kata yang khususnya untuk tidak memberikan perasaan tidak enak bagi pendengar. Keburukannya, menyembunyikan kenyataan yang kasar dengan kata-kata yang khususnya untuk tidak menimbulkan perasaan yang tidak enak bagi pembicara.

Contoh : pada kata “トイレ” (toilet) menjadi “こしょうしつ” (kamar mandi).

7. Kochouhou 誇 張 法 (hiperbola) yaitu cara mengungkapkan sesuatu yang dibesar-besarkan secara luar biasa untuk menggambarkan suatu keadaan yang sebenarnya.

Contoh : saat merasa lapar menggunakan kata “死にそう” (seperti mau mati).

8. Gijinhou 擬 人 法 (personifikasi) pada umumnya adalah suatu teknik ungkapan yang menggunakan sesuatu diluar manusia dengan manusia. Contoh : ききは陽気だ、はこりたきさ岡はびしょうむ。(pepohonan gmbira, bukit yg tinggi tesenyum).

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara penuturan pengarang dalam menyampaikan suatu hal atau pesan kepada pembaca, salah satunya dengan menggunakan majas. Penggunaan majas tersebut bertujuan untuk menambah nilai estetis pada suatu karya sastra. Namun


(40)

35 terdapat sedikit perbedaan antara majas bahasa Jepang dengan jenis majas pada umunya. Misalnya majas Anagram, yaitu cara pengungkapan dengan menggunakan bentuk huruf untuk menekankan isi atau menegaskan suatu makna kata.

2.4. Tujuan Penggunaan Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek tertentu (Pradopo, 2009:264). Para pembaca dan penulis yang unggul memanfaatkan penggunaan gaya bahasa untuk memaparkan gagasan-gagasan mereka. Menurut Dale [et all] (1971:220) dalam Pengajaran Gaya Bahasa (2009:4) menyatakan bahwa gaya bahasa digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal yang lebih umum. Secara singkat, penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah, serta menimbulkan konotasi tertentu. Selain itu, gaya bahasa merupakan bentuk retorik yaitu penggunaa kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca (Tarigan, 2009:4).

Dalam buku nihongo to shuuji (1997:140), tujuan penggunaan gaya bahasa dalam bahasa Jepang dibagi menjadi :

a. Penyampaian

Saat pembicara ingin menyampaiakan sesuatu hal kepada lawan bicaranya namun terkendala oleh minimnya wawasan yang dimiliki oleh lawan bicara, maka hal tersebut dapat disampaikan dengan cara mengasosiasikan hal atau perkara


(41)

36 tersebut dengan hal lainnya yang dapat dipahami oleh lawan bicara. Misalnya menerangkan danau pada anak-anak dengan mengumpamakan bahwa danau adalah kolam yang luas. Penjelasan dengan pendekatan seperti ini disebut perumpamaan deskriptif.

b. Penekanan

Perihal yang ingin disampaikan oleh seseorang, tidak diungkapkan begitu saja, melainkan dengan memberikan penekanan pada perkara tersebut berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesan atau gambaran secra lebih mendalam mengenai perihal tersebut. Misalnya menjelaskan bahwa kolam lebih besar daripada kolm lain. Walaupun lawan bicara telah mengerti dan mngetahui bentuk kolam seprti apa, namun dalam hal ini pembicara ingin memberikan penekanan pada bentuk kolam yang berbeda dibanding bentuk kolam pada umumnya, maka dapat digunakan ungkapan ‘kolam itu besar seperti danau’. Penjelasan ini disebut juga perumpamaan penekanan makna.

Secara singkat fungsi penggunaan gaya bahasa yang pertama untuk memberi pemahaman pada lawan bicara yang awalnya tidak tahu menjadi tahu. Dan fungsi yang kedua memberi penekanan tentang suatu makna tertentu pada lawan bicara (Salam, 2010:14-15).

Dari penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan suatu gaya bahasa dalam karya sastra digunakan untuk memberikan efek dan kesan tertentu, sehingga pembaca dapat menarik pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh pengarang.


(42)

37 Adapun tujuan khusus pada beberapa gaya bahasa yang dijelaskan dalam Pengajaran Gaya Bahasa, diantaranya seperti Metafora, sering kali digunakan untuk menambahkan kekuatan pada suatu kalimat. Gaya bahasa metafora membuat perbandingan antara dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup wlaupun tidak ditanyakan secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, laksana, serupa dan lainnya (Tarigan, 2009:15).

Gaya bahasa Personifikasi, digunakan untuk memberikan ciri-ciri kualitas pribadi orang kepada benda-benda yang tidak bernyawa ataupun pada gagasa-gagasan (Tarigan, 2009:17).

Sedangkan Hiperbola, gaya bahasa yang mengndung pernyataan berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada pernyataan tersebut, atuapun memberi penekanan pada suatu situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya (Tarigan, 2009:55), serta tujuan dalam penggunaan gaya bahasa lainnya.


(43)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa latin yang terdiri dari kata

meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan

hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.

Dalam penelitian ini digunakan metode analisis isi. Sesuai dengan namanya, analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal dalam bentuk bahasa, maupun non verbal seperti bangunan, pakaian, elektronik dan lain-lain. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat satra (Kutha, 2010 : 48).

Alasan penulis menggunakan metode analisis isi, karena dalam penelitian ini penulis meneliti penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam narasi dan dialog pada novelet Kappa, baik bentuk dan tujuan penggunaanya. Dalam hal ini gaya bahasa yang diteliti termasuk kedalam isi laten yaitu isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah dan merupakan isi sebagaimana dimaksudkan oleh penulis. Analisis terhadap isi laten akan menghasilkan arti.

Sebagai metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah penafsiran. Apabila dasar penafsiran dalam metode kualitatif memberikan


(44)

39

perhatian pada situasi alamiah, maka penafsiran pada metode analisis isi berpusat pada isi pesan. Oleh karena itulah metode analisi isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra misalnya dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.

3.1.1. Analisis Isi Melalui Pendekatan Stilistika

Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa. Stilistika merupakan bagian ilmu linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi pengguanaan bahasa yang memberikan perhatian khusus pada penggunaan bahasa yang paling sadar dan paling kompleks dalam kesusastraan. Maka pendekatan stilistika dalam penelitian karya sastra merupakan salah satu cara dalam menganalisis bahasa yang digunakan termasuk gaya bahasa.

Dalam penelitian ini analisis isi melalui pendekatan stilistika adalah analisis dokumen yaitu narasi dan dialog yang mengandung gaya bahasa dalam novelet Kappa.

Alasan penulis menggunakan pendekatan stilistika, karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan gaya bahasa baik bentuk maupun tujuan penggunaan gaya bahasa yang digunakan oleh seorang sastrawan yang terjadi dalam gaya bahasa tersebut. Hal tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan dari stilistika yang terdapat dalam Kaji Bahasa Karya Sastra (Purba, 2008 : 8), diantaranya :

1. Menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya.

2. Menentukan dan memperlihatkan penggunaan bahasa sastrawan, khusus


(45)

40

3. Menjawab pertanyaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru

memilih cara khusus? Bagaimanakah efek estetis yang dapat dicapai melalui bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu mendukung tujuan estetis?

4. Mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan impresif dengan analisis. Stil wacana sastra yang lebih obyektif dan ilmiah.

5. Menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra.

6. Mengkaji berbagai bentuk gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam

karyanya.

3.2. Objek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah narasi dan dialog yang terdapat pada novelet “Kappa”, karya Ryunosuke Akutagawa. Novel ini ditulis pada tahun 1927 dan diterjemahkan dalam bahasa Ingrris pada tahun 2000 oleh Geoffrey Bownas. Cetakan pertama dengan terjemahan bahasa Indonesia pada Oktober 2004, dan cetakan kedua pada Juli 2006, sebanyak 170 halaman, oleh Andi Bayu Nugroho.

Dalam novelet Kappa, terdapat 35 kutipan yang berupa narasi dan dialog yang bisa diklasifikasikan sebagai gaya bahasa. Hal tersebut dilihat dari struktur kalimat, pemilihan diksi dan hal lainnya yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai gaya bahasa.


(46)

41 3.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam metode ini dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu suatu teknik pencarian data melalui media tertulis, gambar/simbol, atau video. Data diperoleh dari berbagai referensi yang berkaitan dengan bentuk, makna dan perubahan makna yang muncul dalam gaya bahasa. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data dan informasi dari beberapa artikel melalui media cyber di website atau situs-situs yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

3.4. Teknik Analisis Data

Teknik penganalisisan data pada penelitian ini menggunakan metode analisis isi dengan pendekatan stilistika melalui beberapa tahap dibawah ini :

Bagan 1. Teknik Analisis Data

1. Data atau obyek penelitian berupa kutipan dalam bahasa Jepang

dikelompokan menurut jenis gaya bahasanya, dilihat dari struktur kalimat, pemilihan diksi dan lain-lain.

DATA PENGELOMPOKKAN GAYA BAHASA

PENGANALISISAN TUJUAN PENGGUNAAN

SUATU GAYA BAHASA PENERJEMAHAN


(47)

42

2. Setelah kutipan-kutipan tersebut dikelompokan, kemudian dilakukan

penerjemahan ulang kedalam bahasa Indonesia untuk mempermudah dalam penganalisisan tujuan penggunaan gaya bahasa itu sendiri.

3. Dari kutipan-kutipan yang telah diterjemahkan ulang, penulis dapat

mengetahui tujuan penggunaan suatu gaya bahasa dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.


(48)

43

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Bentuk-Bentuk Gaya Bahasa Dalam Novelet Kappa

Penulis telah melakukan analisis dalam novelet Kappa. Analisis dilakukan dengan tahap pembacaan menyeluruh, penerjemahan ulang dari bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia, pengelompokan gaya bahasa dan pencarian makna dari narasi dan dialog. Dari hasil analisis bentuk dan makna gaya bahasa, diketahui bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa diantaranya Metafora, Simile, Hiperbola, Eupizeukis, Personifikasi, Tautologi, Ironi, dan Anagram. Penggunaan sejumlah gaya bahasa tersebut oleh Ryunosuke Akutagawa mempunyai tujuan tertentu. Berikut ini adalah hasil analisis bentuk-bentuk gaya bahasa yang terdapat dalam novelet Kappa.

4.1. 1. Gaya Bahasa Metafora

Metafora (隠喩inyu) merupakan majas yang mengibaratkan sesuatu secara

jelas, yaitu mengibaratkan secara langsung dengan benda atau hal yang di ibaratkan. Pemakaian kata-kata dalam metafora bukanlah arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan terhadap sikap, bentuk atau hal lainnya. Penggunaan metafora dapat berupa kata, frase, atau kalimat. Berikut ini adalah enam kutipan yang terdapat dalam novelet Kappa yang mengandung metafora :


(49)

44 a) 僕は超人 (boku wa choujin)

僕は超人 (boku wa choujin) merupakan sebuah metafora. Hal ini terlihat

pada kata超人 (choujin), yang digunakan sebagai pengumpamaan langsung dari 僕 (boku), penggunaannya terlihat pada kutipan (1), dibawah ini :

(1) 「僕か? 僕は超人(直訳すれば超河童です。)だ。」トック

は昂然(こうぜん)と言い放ちました。(河童:五課)

“Boku ka? Boku wa choujin (chokuyaku sureba choukappa desu) da”. “Aku? Aku adalah manusia super (secara harfiah maksudnya Kappa Super)”. Tok berkata dengan penuh semangat. (Kappa, Bab 5 : 37) Kata超人(choujin) : 普通の人ひととはかけ離はなれた、すぐれた能力を持つ人。

人 間 的 可 能 性 を 極 限きょくげん ま で 実 現 し た 理想的人間典型り そうて きに んげん てん けい mempunyai makna

berbeda dengan orang biasa, manusia yang mempunyai kemampuan diatas rata-rata, manusia super, tipikal manusia unggul yang dapat mewujudkan suatu probabilitas hingga batas-batas tertentu (Koujien, 2009: 1743). Kemampuan tersebut dapat berupa bakat, keahlian, kekuatan dan lain sebagainya, yang berada diatas kemampuan atau keahlian manusia pada umumnya.

Kata僕 (boku) merujuk pada tokoh bernama Tok yang berprofesi sebagai

seniman atau penyair seperti yang tergambar pada kalimat「トックは河童仲間

の詩人です。」(Tok adalah seorang teman kappaku yang berprofesi penyair).

人(shijin/Penyair) termasuk kedalam 芸術家 (geijutsuka): 芸術の倉作活動くらさくかつどうを行 う人 (orang yang menghasilkan karya sastra atau kegiatan seni lainnya atau


(50)

45 untuk menciptakan karya dengan nilai estetik. Dalam menciptakan berbagai karyanya seniman memiliki bakat lebih dibanding dengan kemapuan manusia lain pada umumnya, karena setiap manusia bisa menciptakan karya seni namun tidak semua orang bisa menjadi seniman. Karena itu seniman dianggap berbeda dengan orang biasa.

Kata超人(choujin) pada kutipan (1) bersinonim dengan kata スーパーマン.

Kata 超 人 (choujin) dipilih karena didalamnya mengandung makna 君主くんしゅ

(kunshu/penguasa; raja) yang bisa mewakili 詩人(shijin/penyair) karena seorang

penyair tentunya menguasai ilmu membuat syair.

超人 adalah metafora yang mengumpamakan(boku) yang merupakan

seorang penyair (超 人) karena sama-sama memiliki kelebihan dibandingkan

manusia lain.

b) 正直は最良の外交 (shoujiki wa sairyou no gaikou)

正直は最良の外交 (shoujiki wa sairyou no gaikou) mengandung gaya

bahasa metafora, dilihat dari pengumpamaan 正直 (shoujiki), yang diibaratkan

dengan kata 最 良 の 外 交 (sairyou no gaikou), penggunaannya terlihat pada

kutipan (2), di bawah ini :

(2) 『正直は最良の外交である』とはビスマルクの言った言葉でし

ょう。(河童:九課)

“Shoujiki wa sairyou no gaikou dearu” to wa Bisumaruku no itta kotoba deshou.


(51)

46 Bismark berkata bahwa “kejujuran adalah diplomasi yang baik”. (Kappa, Bab 9 : 58)

正直 (shoujiki) : 心が正しくすなおなこと。いつわりのないこと。か

げひなたのないこと。 率 直そっちょくなこと。ありのまま。 (jujur, tidak bohong,

tidak bermuka dua, keterbukaan, kenyataan, berterus terang, polos) (Koujien, 2009:1314). Kejujuran diperlukan dalam hidup ini, terutama saat kita menyampaikan berita atau berkomunikasi dengan orang lain. Saat menyampaikan sesuatu hal dengan apa adanya dan sesuai dengan kenyataan, akan membuat orang lain tidak curiga pada setiap tindakan kita ataupun merasa takut ditipu. Dengan begitu, kita pun akan mendapatkan kepercayaan dari orang tersebut.

外交 (gaikou) : 外国との交際。国際間こくさいかんの事柄ことがらを 交 渉こうしょうで処理し ょ りすること。

(hubungan diplomatik dengan luar negeri, kegiatan untuk memperoleh koneksi internasional atau hubungan diplomatik dengan berdiskusi atau bernegosiasi) (Koujien, 2009:434). 最良の外交 (sairyou no gaikou) dapat diartikan diplomasi

yang baik, yaitu perundingan yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati, terutama dalam berkata-kata agar tidak merugikan atau menyakiti pihak lawan ataupun pihak sendiri. Apabila seorang diplomat dapat berunding dengan baik maka dia akan mendapatkan kepercayaan dari negara lain.

Kata最良の外交 dalam novelet Kappa digunakan sebagai sebuah sindiran

terhadap pidato yang disampaikan oleh kappa yang bernama Loppe yang disampaikan melalui dialog Gael berikut ini:


(52)

47

「クオラックス党を支配し は いしているものは名高な だ かい政治家せ い じ かのロッペです。けれ

どもロッペの演説えんぜつはもちろんことごとく嘘(うそ)です。」

(Orang yang mengontrol partai Quoraks adalah politikus terkenal bernama Loppe. Namun, pidato Loppe semuanya cuma bohong belaka).

Dengan kata lain, kejujuran juga harus digunakan dalam hubungan diplomasi atau politik.

Maka, kata 最 良 の 外 交 (sairyou no gaikou) sebagai metafora yang

mengibaratkan正直 (shoujiki), karena keduanya dilakukan untuk mencapai tujuan

yang sama, yaitu mendapatkan kepercayaan. c) 虫取り菫 (mushitori sumire)

虫取り菫 (mushitori sumire) merupakan sebuah metafora yang digunakan

untuk mengumpamakan ‘Kappa Betina’, penggunaannya terlihat pada kutipan (3), di bawah ini :

(3) 「僕はきょう窓の外を見ながら、『おや虫取り菫(すみれ)が

咲いた』と何気(なんとなく)なしにつぶやいたのです。する

と僕の妹は急に顔色を変えたと思うと、『どうせわたしは虫取

り菫よ』と当たり散らすじゃありませんか?(河童:十課)

“Boku wa kyou mado no soto o minagara, “oya mushitorisumire ga saita” to nanige nashi ni tsubuyaita nodesu. Suruto boku no imouto wa kyuu ni kao iro o kaeta to omou to, “douse watashi wa mushitorisumire yo” to Atari subarasu ja arimasenka? (Bab 10) Aku bergumam sambil melihat keluar jendela “bunga lembayung

penangkap serangga itu telah berkembang”. Lalu tiba-tiba raut

wajah Adikku berubah seketika (menjadi marah), “jadi itu yang kau pikirkan tentang ku? (Kappa, Bab 10 : 67)


(53)

48

虫取り菫(mushitori sumire) : タスキモ科かの多年草た ね ん そ う。欧亜大陸お う あ た い り くの高山こうざんの 湿地し っ ちに自生じ せ い。葉面は め んに粘液ねんえきを分泌ぶんぴつして 小 虫しょうむしを捕とらえ、消化しょうか・ 吸 収きゅうしゅうする。

(tumbuhan yang hidup di dataran tinggi berawa, tersebar di benua Asia dan Eropa, dapat mengeluarkan getah dari daunnya untuk menangkap serangga kecil, lalu dicerna, kemudian diserap sari patinya) (Koujien, 2009:2596). Berbeda dengan tumbuhan pada umumnya yang mendapatkan makanan atau nutrisi dari dalam tanah, tumbuhan mushitori sumire menggunakan bau atau getahnya untuk

menjerat serangga sebagai mangsanya.

Dalam novelet Kappa, adik Lap yang merupakan kappa betina digambarkan dalam dialog antara tokoh utama dengan Lap berikut

「虫取り菫が咲いたということはどうして妹さんには不快なのだね?」 「さあ、たぶん雄(おす)の河童をつかまえるという意味にでもとったの でしょう。」

(Mengapa kau berkata pada adikmu ”Bunga mushitori sumire telah berkembang”, bukankah itu kurang menyenangkan?

Yah, kurasa kalimat tersebut juga mempunyai makna “menangkap kappa jantan”) Maka, kata 虫 取 り 菫 (mushitori sumire) sebagai metafora yang

mengumpamakan adik Lap, karena memiliki cara yang sama dalam menjerat mangsa (kappa jantan).

d) 水夫の血(suibu no chi)

水夫の血 (suibu no chi) merupakan pengumpamaan langsung untuk kata聖 徒(seito), penggunaannya terdapat pada kutipan (4) dibawah ini :


(54)

49

(4) この聖徒は太い血管の中に水夫の血を流していました。(河

童:十四課)

Kono seito wa futoi kekkan no naka ni suibu no chi o nagashiteimashita.

Penganut ini memiliki darah pelaut yang mengalir dalam pembuluh darahnya. (Kappa, Bab 14 : 98)

聖 徒(seito) pada kutipan (4) merupakan seorang saudagar yang beralih

profesi menjadi seorang pelukis. Dia merupakan penganut kepercayaan Quemochaa (Viverisme), yaitu paham tentang konsep sederhana dalam hidup atau lebih tepatnya seperti, makan nasi, minum anggur dan berhubungan seks. Dalam hidupnya, dia sering berganti pekerjaan, bahkan meninggalkan istri dan anak-anaknya, untuk menikahi seorang gadis Tahiti berusia 13 tahun, hal tersebut terlihat pada narasi berikut ini :

「子どもの大勢ある細君の代わりに十三四のクイティの女をめとった商売 人上がりの仏蘭西(フランス)の画家です。」

(Dia adalah pelukis dari Prancis yang dulunya seorang pedagang. Dia menikah dengan seorang wanita Tahiti berusia 13 atau 14 tahunan yang mempunyai banyak anak).

血(chi) dalam Koujien (2009:1699) 血液けつえき。比喩的ひ ゆ て きに、人間にんげんらしい 感 情かんじょう

や 、 血気ち き ・ 活 力かつりょく dapat berarti darah; atau secara perumpamaan bermakna

perasaan atau emosi manusia; vitalitas. Warna darah pada umumnya adalah merah, tidak ada karakter khusus yang menunjukkan kelas sosial atau keturunan seseorang dari ciri-ciri fisik darah tersebut.

水夫(suibu) : ふなのり。特とくに船舶乗組員中せんぱくのりくみいんなか、甲板部か ん ぱ ん ぶに属ぞくし、雑役ざつえきに 従事

じゅうじ


(55)

50 yang bekerja di dek) (Koujien, 2009:1410). Saat melakukan pelayaran, pelaut

meninggalkan satu tempat atau pulau menuju tempat atau pulau yang baru. Maka

ungkapan 水夫の血 dapat berarti orang yang memiliki keturunan, bakat, atau sifat

bawaan dari seorang pelaut.

Kata 水 夫 の 血 (suibu no chi) dalam kutipan (4) digunakan karena

menggambarkan karakteristik pelaut yang selalu melaut, berpindah-pindah tempat dan berganti-ganti tujuan. Hal ini dianggap memiliki kesamaan dengan sifat 聖徒

(seito) yang sering berpindah-pindah tempat, beralih profesi dan meninggalkan keluarganya.

e) 玉子焼き(tamago yaki)

玉子焼き (tamago yaki) merupakan pengumpamaan langsung bagi 恋愛

(ren’ai), penggunaannya terdapat dalam kutipan (5) berikut ini :

(5) 「あすこにある玉子焼きはなんと言っても、恋愛などよりも衛

生的だからね。」 (河童:五課)

Asuko ni aru tamago yaki wa nanto ittemo, ren’ai nado yori mo eiseitekidakara ne.

Telur goreng yang ada disana biar bagaimanapun lebih higienis

daripada hubungan percintaan atau semacamnya. (Kappa, Bab 5 :

39)

玉子焼き (tamago yaki) : 鶏卵けいらんをとき、調 味 料ちょうみりょうを加くわえて焼やいた料理りょうり。 魚

さかな

のすり身みなどを加くわえることもある。(masakan yang dibuat dari telur ayam

dan digoreng) (Koujien, 2009:1673). Telur yang semula mentah, setelah mengalami proses penggorengan menjadi matang dan higienis, serta baik untuk


(56)

51 kesehatan tubuh. 恋愛(ren’ai) : 男女が互いに相手をこいしたうこと。また、

その感情。こい。(hubungan percintaan antara pria dan wanita, cinta) (Koujien,

2009:2837).

Dalam kutipan (5) menggambarkan perbandingan antara telur goreng dengan hubungan percintaan. Menurut tokoh Tok, telur goreng lebih higienis dari hubungan percintaan, karena itu dia tidak pernah memiliki hubungan yang serius dengan kappa betina, seperti yang tergambar dalam kalimat 「トックは自由恋愛 家 で す か ら 、 細君

さいくん

と い う も の は 持 た な い の で す 。 」(Tok merupakan

penganut cinta bebas, jadi dia tidak memiliki istri). Dalam hal ini, Tok beranggapan bahwa telur yang matang sudah tentu sehat bagi tubuh, namun hubungan percintaan hanya akan menimbulkan ledakan emosi yang terkadang tidak bisa dikendalikan. Saat emosi sedang memuncak, baik psikologis maupun fisik seseorang akan tertekan.

✁ ✂.2. Gaya Bahasa Simile

Simile (直 喩 chokuyu) majas yang mengibaratkan atau membandingkan

sesuatu secara jelas dengan hal yang lain dengan menggunakan kata-kata sepeti :

あたかも、さながら、まるで、ごとし、ようだ、みたいだ. Perbandingan

dari dua hal yang pada hakikatnya berlainan namun dianggap mempunyai persamaan. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata seperti, ibarat, bak, bagai, umpama, laksana, serupa dan sebagainya. Dalam novelet Kappa, perbandingan tersebut menggunakan verba bantu よ う に


(1)

104 gaya bahasa sebagai gambaran dari pengalaman pribadi pengarang) dan sebagainya.

3. Memperluas cakupan penelitian, tidak hanya pada penggunaan gaya bahasa saja, tetapi juga pada unsur-unsur intrinsik yang digunakan pengarang dalam novelet Kappa, misalnya mengkaji sudut pandang, alur cerita dan sebagainya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Akutagawa, Ryunosuke. 2004. Kappa. Yogyakarta: Pinus

Akutagawa, Ryunosuke. 2008. Kumpulan Cerpen Rashomon. Jakarta : Gramedia Almanfaluthi, Riza. 2011. Metafora Simile. Diunduh pada 1 juli 2011 dari

http://bahasa.kompasiana.com/2011/04/13/metafora-simile/

Anita, Nia. 2009. Blog Pembelajaran Bahasa Indonesia ‘Gaya Bahasa’. Diunduh

pada 25 Januari 2010 dari:

http://linguafranca28.wordpress.com/2009/01/21/gaya-bahasa/

Budiawan, Agus. 2010. Nilai Seni dan Pemberontakan dalam Novel Kappa.

Diunduh pada 25 Januari 2001 dari

http://agus-budiawan.blogspot.com/2010/07/nilai-seni-dan-pemberontakan-dalam.html Ichwan, Fajar. 2010. Gaya Bahasa : Majas Metafora. Diunduh pada 25 Januari

2011 dari: http://fajarichwannoor.wordpress.com/2010/03/14/gaya-bahasa-majas-sindiran/

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : PT Gramedia

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Nurhadi, Didik. 2010. Kontribusi Pemahaman Budaya dalam Penafsiran Majas Metafora Bahasa Jepang. Yogyakarta : Humaniora.

Purba, Antilan. 2010. Stilistika Sastra Indonesia. Diunduh pada 25 Januari 2010 dari:

http://usupress.usu.ac.id/files/Stilistika%20Sastra%20Indonesia;%20Kaji%2

0Bahasa%20Karya%20Sastra_Final_Normal_bab%201.pdf pendekatan

stilistika

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Salam, Jaka. 2010. Skripsi : Analisis Gaya Bahasa Dalam Novel Nogiku Hara. Bandung : Pendidikan Bahasa Jepang

Setyawan, Susilo Adi. 2008. Gaya Bahasa (Stilistika dan Unsur Retorika).

Diunduh pada 20 Maret 2011 dari

http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/2010/08/09/gaya-bahasa-stilistika-dan-unsur-retorika/


(3)

Sukir. 2009. Stikistika, Unsur Retorika, Gaya Bahasa. Diunduh pada 7 April 2011 dari http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-retorika-gaya-bahasa.html

Sumardjo, Jacob dan K.M., Saini. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia

Sutedi, Dedi. 2008. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung:Humaniora Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa Vidianto, Agung Sirajuddin. 2010. Majas Pertautan. Diunduh pada 20 Maret

2011 dari http://matulessi.wordpress.com/author/matulessi/page/7/

Widiawati, Dewi. 2008. Skripsi : Analisis Majas Hiperbola dan Personifikasi dalam Lagu Jepang. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia

Zaidan, Abdul Rozak et. al. 2010. Gaya Bahasa dan Sastra. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional


(4)

Daftar Kamus Acuan

Departemen Pendidikan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gramedia

Nelson, Andrew. 2008. Kamus Kanji Modern Jepang Indonesia. Jakarta : Kesaint Blanc


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Diny Indryani

Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 11 Agustus 1989

Nomor Induk Mahasiswa : 63807003

Program Studi : Sastra Jepang

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Raya Banjaran Gg. Mesjid Al-Amanah

RT 01 RW 06 Kec. Pameungpeuk Desa Sukasari Kab. Bandung 40376

Berat Badan : 47 Kg

Tinggi Badan : 170 Cm

Status Marital : Belum menikah

Orang Tua

Nama Ayah : Kosasih Riwayadhie S

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Jl. Raya Banjaran Gg. Mesjid Al-Amanah

RT 01 RW 06 Kec. Pameungpeuk Desa Sukasari Kab. Bandung 40376

Nama Ibu : Iin Suryani

Pekerjaan : Karyawati Swasta

Alamat : Jl. Raya Banjaran Gg. Mesjid Al-Amanah

RT 01 RW 06 Kec. Pameungpeuk Desa Sukasari Kab. Bandung 40376


(6)

Pendidikan Formal

SD Negeri Pameungpeuk III 1995-2001

SMP Negeri 1 Baleendah 2001-2004

SMA Negeri 1 Banjaran 2004-2007