Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses kehidupan untuk mengembangkan diri setiap individu agar dapat melangsungkan kehidupannya Kurniawati, 2013. Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.202003 pengertian pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara Haryanto, 2012. Adanya Undang-Undang tentang pendidikan menggarisbawahi bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan tanpa pengecualian. Sekolah negeri, sekolah swasta, bahkan sekolah luar biasa SLB pun menjadi tempat formal untuk mendapatkan pendidikan. Berbicara mengenai sekolah luar biasa tidak bisa terlepas dari istilah anak berkebutuhan khusus ABK Kidam, 2015. ABK dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau mengalami gangguan fisik, mental, inteligensi, dan emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya . Anak-anak yang termasuk ke dalam ABK antara lain adalah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan Kosasih, 2012. Dengan memiliki karakteristik dan hambatan pada diri anak tersebut maka ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus pula yang disesuaikan 2 Universitas Kristen Maranatha dengan kemampuan dan potensi para guru, contohnya anak tunanetra memerlukan modifikasi teks bacaan menggunakan tulisan Braille dalam berkomunikasi sedangkan untuk anak tunarungu harus menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi. Pendidikan untuk ABK di sekolah tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan Depdiknas, 2008:1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah Setyawan, 2014 Seorang guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki kualifikasi pendidikan minimum D-IV atau S1 Luar BiasaPendidikan Khusus PLBPKh. Kualifikasi ini diperoleh dari Program StudiJurusan PLBPKh yang terakreditasi atau berpendidikan D-IV atau S1 PGTK, PAUD, Psikologi atau Kependidikan non PLBPKh dari perguruan tinggi terakreditasi. Selain itu para guru harus memiliki sertifikat pendidik untuk guru pendidikan khusus yang diperoleh dari perguruan tinggi penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi terakreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah Choiri, 2011. Tugas guru yang mengajar di sekolah luar biasa atau sering disebut sebagai guru SLB secara umum sama dengan guru pada umumnya. Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 5, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta 3 Universitas Kristen Maranatha didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah serta tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolahmadrasah. Beban kerja guru untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, danatau melatih sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit 24 dua puluh empat jam tatap muka dan paling banyak 40 empat puluh jam tatap muka dalam 1 satu minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah Choiri, 2011 Adapun, tugas lainnya yang harus dilakukan oleh guru SLB yang membedakan dengan tugas guru lainnya adalah harus mampu merencanakan, melaksanakan dan menilai program orientasi mobilitas dan huruf braille, melakukan pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama serta SIBI Sistem Isyarat Bahasa Indonesia, melakukan pembelajaran bina diri dan bina gerak, serta melakukan pembelajaran bina pribadi dan sosial Choiri, 2011. Hal-hal tersebut menggambarkan bahwa menjadi seorang guru SLB adalah pekerjaan yang tidak mudah. Begitu juga dengan kondisi yang tergambar di SLB “X” di Bandung. SLB ini dibangun oleh sebuah yayasan “X”. Yayasan ini merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang sosial dan telah berdiri sejak tahun 1990 dengan Izin Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat No. 421.93916-PLB. Salah satu bidang kegiatan yang telah berjalan adalah menyelenggarakan Sekolah Luar Biasa SLB yaitu pendidikan bagi ABK dan hingga saat ini yayasan tersebut telah menyelenggarakan pendidikan mulai dari jenjang SDLB, SMPLB, sampai SMALBSMKLB. Yayasan ini telah mendirikan dua sekolah yaitu SLB-B dan SLB- C. SLB-B adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak tunarunguwicara atau tuli bisu sedangkan SLB-C adalah sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak tunagrahita atau anak terbelakang mental Bakty, 4 Universitas Kristen Maranatha tanpa tahun. Keunggulan dari SLB ini dibandingkan SLB lain adalah dalam hal keseniannya yaitu menari dan pembuatan sendal khususnya sendal jepit. Jumlah guru SLB yang mengajar di SLB ini berjumlah 32 orang dengan jumlah siswa 97 orang. Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, selain memiliki tugas utama untuk mendidik, mengajar, dan melatih anak didiknya, guru-guru SLB ini juga diberikan tugas lain yang harus dikerjakan yaitu memeriksa identitas anak didik, memeriksa daftar hadir peserta didik, memeriksa daftar pelajaran dan materi yang akan diberikan di hari tersebut, menjalankan piket, mengisi daftar nilai anak didiknya, memeriksa daftar mutasi kelas, memeriksa daftar inventaris kelas, mengisi form kegiatan home visit atau kegiatan sehari-hari, membimbing anak didik dalam melakukan kegiatan ekstrakurikuler, melakukan bimbingan konseling baik untuk anak didiknya maupun untuk orang tua, melakukan analisis hasil evaluasi dan merencanakan serta melakukan kegiatan perbaikan dan pengayaan untuk anak didiknya. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sekolah SLB “X”, guru SLB yang mengajar memiliki tuntutan untuk memberi pengajaran kepada anak didik seperti mengajari cara berkomunikasi dengan orang lain, cara menulis, cara berhitung dan pengajaran lainnya dengan metode pengajaran yang berbeda dengan guru pada umumnya. Metode ini dikenal sebagai metode CTL atau Contextual Teaching Learning, metode ini menekankan pengajaran yang sifatnya aplikatif. Jadi guru SLB tidak hanya mengajar di ruang kelas tetapi para guru juga harus membawa anak didiknya untuk terjun langsung ke lapangan ketika mengajari suatu pelajaran. Misalnya saja ketika belajar mengenai cara berhitung, guru SLB harus membawa anak didiknya ke luar kelas dan meminta siswanya menghitung jumlah motor yang melewati gedung sekolahnya. Disamping itu guru SLB juga harus tetap siap siaga 5 Universitas Kristen Maranatha dengan keberadaan anak didiknya ketika sedang belajar di luar kelas, karena peluang anak didik melakukan hal-hal yang tidak biasa seperti lari keluar gerbang sekolah adalah sesuatu yang bisa saja terjadi. Menurut Kepala Sekolah SLB “X”, sistem pembelajaran yang diterapkan disini berbeda dengan sistem pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya. Sistem pembelajaran tersebut bersifat individual dan bukan klasikal. Hal ini disebabkan oleh tuntutan yang diberikan kepada masing-masing guru SLB untuk dapat melakukan 24 administrasi dalam satu tahun pelajaran terkait dengan masing- masing anak didik dan setiap hari guru SLB yang mengajar harus membuat delapan item administrasi seperti melakukan perencanaan, membuat program, melaksanakan program, melakukan penilaian, mengevaluasi, melakukan remedial, pengayaan, dan membimbing masing-masing anak secara individual. Penting bagi guru SLB untuk melakukan tugas administrasi ini karena guru SLB dapat mengetahui seberapa jauh perkembangan dan perubahan yang sudah terjadi pada anak dan salah satu tujuan dari SLB ini adalah membuat anak melakukan perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Tidak hanya itu, pada tahun 2007, banyak orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan lain yang meminta masuk ke sekolah ini, pada awalnya kepala sekolah tidak menerima anak dengan kesulitan lain selain tunarungu dan tunagrahita karena guru-guru SLB yang mengajar di sekolah ini sudah terfokus untuk mengajar anak tunarungu dan anak tunagrahita saja. Tetapi sejak tahun 2009, pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa SLB tidak boleh melakukan labelling. Labelling disini memiliki maksud bahwa SLB B atau SLB C tidak hanya dikhususkan untuk anak tunarungu dan anak tunagrahita saja tetapi semua anak berkebutuhan khusus boleh bersekolah di SLB ini. Pada awalnya 6 Universitas Kristen Maranatha hampir sebagian besar guru SLB yang mengajar di sekolah ini menolak keputusan tersebut namun karena hal tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah maka mau tidak mau semua guru SLB harus menerimanya dan hingga tahun 2016 sekolah ini sudah memiliki 20 anak didik selain tunarungu dan tunagrahita yaitu anak autis, low vision, conduct problem, tunadaksa, dan tunalaras. Dengan adanya perubahan keputusan yang menyebabkan jumlah anak didik bertambah sedangkan jumlah guru yang mengajar tetap sama, membuat Kepala Sekolah SLB “X” merasa jumlah guru SLB yang ada di sekolah ini kurang jika dibandingkan dengan jumlah anak didiknya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka terdapat beberapa kelas yang menggabungkan anak-anak dengan kesulitan yang berbeda seperti anak tunarungu dengan anak low vision, atau anak tunagrahita dengan anak conduct problem. Hal ini dilakukan agar semua anak didiknya tetap mendapatkan pengajaran. Ketika keputusan ini belum dibuat, satu orang guru mengajar dua hingga tiga anak didik di dalam kelas, namun setelah keputusan ini dibuat satu orang guru dapat mengajar empat hingga lima anak didik di kelasnya. Selain mengajar, mendidik, dan melatih anak didiknya, guru yang mengajar di SLB “X” ini juga memiliki tugas lain yang tetap harus dikerjakan, yaitu masing- masing guru memegang jabatan sebagai wakasek kurikulum, wakasek kesiswaan, wakasek ketenagaan, bendahara, humas, koordinator SDLB, SMPLB, SMALB, koordinator pramuka, binadiri, kesenian, keterampilan, olahraga dan jabatan lainnya. Hal ini dikarenakan oleh jumlah guru yang bekerja di SLB “X” dianggap terlalu sedikit, sehingga selain memegang jabatan sebagai guru, para guru juga harus merangkap jabatan lain. Selain itu, pemerintah dan yayasan juga seringkali mengadakan acara yang berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus, acara-acara ini biasanya diadakan pada 7 Universitas Kristen Maranatha hari libur misalnya hari Sabtu atau hari Minggu agar tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar. Guru- guru yang mengajar di SLB “X” pun tetap diminta untuk bertanggung jawab mendampingi orang tua dan anak didiknya. Hal ini secara tidak langsung meminta guru SLB untuk datang dan mengikuti acara tersebut hingga selesai. Semua tugas-tugas yang diemban oleh para guru yang bekerja di SLB “X” di Bandung, membutuhkan energi, pelibatan diri yang kuat, dan konsentrasi untuk dapat menyelesaikannya. Besarnya energi yang dikeluarkan untuk mengerahkan segala kemampuan untuk mengerjakan tugas, perasaan antusiasme terhadap pekerjaan dan memiliki konsentrasi yang tinggi saat bekerja merupakan suatu konsep yang dikenal sebagai work engagement. Menurut Smulder dalam Schaufeli, 2011 pekerjaan- pekerjaan seperti guru, entrepreneur, dan perawat memiliki satu kesamaan yaitu pekerjaan yang melibatkan pelayanan sebagai modal utamanya. Pekerjaan-pekerjaan tersebut menuntut work engagement yang tinggi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB dari 32 guru SLB yang mengajar di SLB “X” ini mengenai perubahan keputusan dari pemerintah, sebanyak dua orang guru SLB 28.6 menjadikan hal tersebut sebagai tantangan. Tetapi lima orang guru SLB lainnya 71.4 mengatakan stress, kaget dan kebingungan ketika harus mengajar anak-anak dengan kesulitan lain selain tunarungu atau tunagrahita. Para guru mengatakan dengan adanya perubahan tersebut beban dalam mengajar menjadi bertambah, karena mengajar dua atau tiga orang ABK saja sudah berat, sedangkan sekarang harus mengajar empat hingga lima anak dengan kebutuhan yang berbeda-beda dalam satu kelas. Hal ini dikarenakan para guru sudah terbiasa mengajar anak-anak tunarungu atau anak tunagrahita saja, selain itu saat di bangku kuliah pun para guru mengambil fokus terhadap anak tunarungu atau 8 Universitas Kristen Maranatha tunagrahita saja. Hingga sekarang satu orang guru SLB 14.3 dari lima guru SLB tersebut masih sering mengeluh dengan kondisi anak didiknya yang memiliki kesulitan berbeda dan ketika terdapat anak yang tantrum di kelasnya, ia lebih memilih mendiamkan saja hingga anak tersebut tenang dengan sendirinya. Lalu berdasarkan hasil wawancara dengan tujuh orang guru SLB mengenai penghayatannya terhadap tuntutan yang ada pada pekerjaan sebagai guru SLB, lima orang 71.4 guru SLB menghayati tuntutan yang dihadapi selama mengajar sebagai guru SLB adalah sesuatu yang berat. Para guru merasakan kesulitan ketika harus berkomunikasi dengan anak-anak yang memiliki potensi dan kebutuhan yang berbeda-beda. Di satu sisi para guru harus memberikan materi tetapi di sisi lain para guru harus memerhatikan anak didiknya secara individual untuk melihat seberapa jauh perubahan yang sudah terjadi. Terkadang karena kemampuan setiap anak berbeda-beda dan perubahan yang terjadi pada anak pun tidak terjadi setiap hari guru SLB ini merasa kesal dan berharap anak dapat dengan cepat menunjukkan perubahan. Dari kelima guru SLB tersebut salah satu diantaranya 14.3 mengatakan meskipun tuntutan dari pemerintah dan orang tua tidak terlalu banyak namun ia merasa seperti memiliki beban tersendiri dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah ini. Dua orang guru SLB 28.6 lainnya mengatakan meskipun banyak tantangan yang dihadapi saat mengajar anak-anak berkebutuhan khusus namun para guru merasa menikmatinya dan tidak pernah merasa kesulitan dalam mengajar karena para guru merasa terpanggil untuk bekerja sebagai guru SLB. Work engagement didefinisikan sebagai suatu penghayatan positif, terlibat dengan pekerjaannya yang ditandai oleh aspek-aspeknya yaitu vigor, dedication, dan absorption Schaufeli et al., 2002: 74. Ketiga aspek tersebut akan saling berkaitan 9 Universitas Kristen Maranatha dalam menentukan derajat tinggi rendahnya work engagement seseorang. Aspek vigor ditandai dengan level energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika bekerja, kemauan untuk mengerahkan upaya dalam pekerjaan dan persisten walaupun menghadapi kesulitan. Aspek kedua yaitu dedication mengacu pada pelibatan diri yang kuat terhadap pekerjaannya, merasakan keberartian, antusiasme, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Aspek yang terakhir adalah absorption ditandai dengan konsentrasi penuh dan keasyikan bekerja, sehingga merasa waktu cepat berlalu dan sulit untuk berhenti bekerja. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang guru SLB, sebanyak lima orang 71.4 mengatakan berusaha semaksimal mungkin dan tetap bersemangat untuk mengajar walauupun mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya yang memiliki kebutuhan serta kemampuan berbeda. Satu orang guru SLB 14.3 lainnya mengatakan bahwa ketika ia mengalami kesulitan dalam mengajar, ia hanya berusaha seadanya saja, ia tidak berusaha mencari solusi atau alternatif lain dan satu orang guru SLB 14.3 lagi mengatakan menjadi kurang bersemangat dan malas untuk mengajar ketika mengalami kesulitan saat mengajari anak didiknya dan ketika anak didiknya tidak menunjukan adanya perubahan. Ia selalu berharap bahwa anak didiknya dapat dengan cepat menunjukkan adanya perubahan. Hal ini menggambarkan aspek pertama dari work engagement yaitu vigor. Sebanyak enam orang guru SLB 85.7 dari tujuh guru SLB merasa bangga dan berarti dapat menjadi seorang guru SLB karena pekerjaannya adalah pekerjaan yang mulia dan memberikan pelayanan atau jasa kepada orang lain. Para guru merasa tertantang dengan keadaan dan kondisi anak didiknya yang setiap saat berubah dan membuat para guru merasa antusias ketika mengajar anak didiknya. Satu orang guru SLB 14.3 lainnya mengatakan cukup bangga menjadi guru SLB karena orang 10 Universitas Kristen Maranatha tuanya lah yang mengharapkan ia menjadi seorang guru SLB. Hal ini membuat guru SLB tersebut kurang antusias dalam menjalani pekerjaannya sebagai guru SLB ketika ia dihadapkan dengan kesulitan saat mengajar anak didiknya. Hal ini menggambarkan aspek kedua dari work engagement yaitu dedication. Lalu didapat informasi sebanyak dua orang 28.6 dari tujuh orang guru SLB mengatakan menjadi malas mengajar dan waktu mengajar pun terasa lama ketika para guru mengalami kesulitan dalam mengajar dan ketika anak didiknya tidak menunjukkan perubahan. Satu orang guru 14.3 mengatakan menjadi jenuh dalam mengajar ketika hanya mengajar satu anak saja di dalam kelasnya. Sedangkan empat orang guru lainnya 57.1 mengatakan menikmati ketika mengajar anak-anak yang ada di SLB ini sehingga waktu berjalan begitu cepat. Hal ini menunjukkan aspek ketiga dari work engagement yaitu absorption. Dari wawancara yang dilakukan ternyata terdapat penghayatan yang bervariasi pada guru SLB yang bekerja sebagai guru SLB serta terdapat pula variasi pada aspek-aspek work engagement. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai work engagement pada guru SLB “X” di Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah