Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium Cepa Var Aggregatum) Di Dataran Rendah Tropika

APLIKASI ROOT ZONE COOLING SYSTEM UNTUK
PERBAIKAN PEMBENTUKAN UMBI BAWANG MERAH
(Allium cepa var. aggregatum) DI DATARAN RENDAH
TROPIKA

NURWAHYUNINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Root Zone
Cooling System untuk Perbaikan Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium cepa
var. aggregatum) Di Dataran Rendah Tropika adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

Nurwahyuningsih
NIM F151140161

RINGKASAN
NURWAHYUNINGSIH. Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan
Pembentukan Umbi Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) di Dataran
Rendah Tropika. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO dan SOBIR.
Bawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan komoditi
sayuran yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Pada dekade
terakhir ini permintaan bawang merah mengalami peningkatan. Oleh karena, itu
diperlukan inovasi dan usaha peningkatan produksi bawang merah agar mampu
memenuhi kebutuhan dan tersedianya umbi berkualitas secara kontinyu. Salah
satu teknologi maju dalam teknik budidaya adalah dengan menggunakan sistem
aeroponik dengan konsep pendinginan terbatas (zone cooling). Dari penelitian ini
diharapkan dapat diketahui pengaruh variasi suhu zona perakaran, pengaruh

vernalisasi, serta menghitung kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic
chamber, pengaruh vernalisasi dan tanpa vernalisasi terhadap pertumbuhan
bawang merah di dataran rendah dan pengaruh perbedaan suhu larutan nutrisi
dengan beberapa set point suhu terhadap pertumbuhan bawang merah di dataran
rendah.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi
(Split Plot Design), yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan
empat ulangan. Petak utama adalah perlakuan vernalisasi (tanpa vernalisasi dan
dengan vernalisasi). Anak petak berupa set point suhu pendinginan larutan nutrisi
10oC, 15oC, dan tanpa pendinginan sebagai kontrol. Chamber aeroponik
percobaan berukuran 1.5 m (P) x 1 m (L) x 1 m (T) dengan jarak tanam 15 cm x
15 cm. Jadi, dalam satu chamber terdapat 45 tanaman (terdapat 5 x 9 tanaman).
Hasil observasi di laboratorium greenhouse Siswadhi Soeparjo pada bulan
Februari-April 2016 menunjukkan suhu harian berkisar antara 22.8°C hingga
36.10°C dengan suhu tertinggi pada pukul 12.00 WIB. Kelembaban udara
berkisar mulai 65% hingga 94%. Sedangkan untuk radiasi matahari sebesar 5.5 W
m-2 hingga dengan radiasi tertinggi mencapai 287 W m-2 pada pukul 12.00 WIB.
Pada perlakuan vernalisasi tidak berbeda nyata terhadap jumlah anakan, berat
umbi bawang merah dan berat basah akar tanaman. Perlakuan pendinginan suhu
larutan nutrisi berbeda sangat nyata terhadap jumlah daun, jumlah anakan, jumlah

umbi, berat umbi dan berat akar tanaman. Suhu yang cocok untuk budidaya
bawang merah didataran rendah tropika basah untuk memproduksi umbi adalah
dengan set point suhu 15oC, tanpa vernalisasi. Kebutuhan energi untuk
pendinginan daerah perakaran dalam sistem zone cooling untuk luasan 100 m2
pada set point zone cooling suhu 10oC adalah 0.440 kWh/m2, set point zone
cooling 15oC adalah 0.321 kWh/m2 dan kontrol adalah 0.127 kWh/m2. Perkiraan
beban listrik satu musim panen untuk 15oC, luasan 100 m2 mencapai 1926 kWh.
Kata kunci: Bawang merah, aeroponik, root zone cooling

SUMMARY
NURWAHYUNINGSIH. Application of Root Zone Cooling System to Improve
Bulbs Formation of Shallot (Allium cepa var. aggregatum) in Tropical Lowland.
Supervised by HERRY SUHARDIYANTO dan SOBIR.
Shallot (Allium cepa var. aggregatum) is one of vegetable commodities
that have many benefits and economically high value. In the last decade, needs of
shallots for domestic consumption and seedling demand were increase. Increasing
of shallots demand must be balance with the increasing of shallots bulb
production. Furthermore, it is necessary to find the innovation and practical
methods to manage shallot cultivation in order to meet with the amount of bulbs
production quantities. One of the advanced technologies which focused on the

cultivation technique is by using the aeroponic system with the concept of limited
cooling (zone cooling). From this research is expected to analysis the influence of
temperature variations root zone system, to analysis the influence of vernalization
and tanpa vernalization treatment, and the heat load and energy on each aeroponic
chamber to the growth of the shallots.
The experimental design in this study was used split plot design, which
was arranged in a randomized block design with four replications. The main plot
was a vernalization treatments (tanpa vernalization and vernalization). The
subplots were consist of nutrient solution set point temperatures of 10oC, 15oC,
and without cooling system as control. Chamber aeroponic experiments
measuring was 1.5 m (L) x 1 m (L) x 1 m (T) and spacing of planting was 15 cm x
15 cm. Thus, in one chamber with 45 plants (there are 5 x 9 plants).
The results of observations in the laboratory greenhouse Siswadhi
Soeparjo in February-April 2016 was show daily temperature ranged from 22.8°C
to 36.10°C with the highest temperature at 12.00 pm. Air humidity ranged from
65% to 94%. As for the solar radiation of 5.5 W m-2 to the highest radiation
reaches 287 W m-2 at 12.00 pm. In vernalization treatment was not significantly
different to the number of tillers, the weight of shallot and the weet weight of
roots. Temperature cooling treatment nutrient solution is highly significant to the
number of leaves, the number of tillers, the number of bulbs, the weight of bulbs

and the weight of roots. The non-vernalization root zone cooling system with set
point on 15°C demonstated the best result on bulb production, and suggested to be
the suitable cultivation method for shallot production in lowland area. Electricity
energy requirements for set point temperature in 10°C was 3.556 kWh/day, 15°C
was 2.596 kWh/day and control was 1.024 kWh/day. Estimation of electricity
energy consumption in one harvest time in 15°C system was 1926 kWh for area of
100 m2.

Keywords: Shallots, aeroponic, root zone cooling

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


i

APLIKASI ROOT ZONE COOLING SYSTEM UNTUK
PERBAIKAN PEMBENTUKAN UMBI BAWANG MERAH
(Allium cepa var. aggregatum) DI DATARAN RENDAH
TROPIKA

NURWAHYUNINGSIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 dengan
judul Aplikasi Root Zone Cooling System Untuk Perbaikan Pembentukan Umbi
Bawang Merah (Allium cepa var. aggregatum) di Dataran Rendah Tropika.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc
selaku ketua komisi pembimbing, dan kepada Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku
anggota komisi pembimbing yang banyak memberikan arahan dan masukan
sepenuhnya khususnya untuk penelitian di lapang, hingga saat ini. Terima kasih
pula penulis ucapkan atas dukungan dan kesempatan untuk melaksanakan
penelitian di lab Teknik Lingkungan Biosistem dimana Dr Ir Rokhani Hasbulloh,
MSi sebagai penanggung jawab.
Proposal rencana penelitian ini terselesaikan karena juga adanya masukan
dan saran dari teman-teman sejawat di program studi pascasarjana departemen
Teknik Mesin dan Biosystem hasil dari seminar kolokium yang telah dilakukan
sebelumnya. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, sehingga
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

Nurwahyuningsih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN


1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

3

Sistem Perakaran Bawang Merah
Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman
Pengaruh Varietas dan Ukuran Umbi Terhadap Produktivitas Bawang

Merah

3 METODE

3
4
5

6

Waktu dan Tempat Penelitian
6
Alat dan Bahan
6
Tahapan Penelitian
6
Pengamatan
7
Beban Panas dan Energi pada Aeroponik chamber dengan aplikasi zone
cooling

8
Rancangan Percobaan
16
Analisis Data
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Lingkungan Mikro di dalam Rumah Tanaman
Evaluasi Efektifitas Pendingin dan Kebutuhan Energi Listrik
Pengaruh Suhu dan Vernalisasi Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan
Umbi
Jumlah Anakan
Diameter Umbi
Jumlah Umbi
Berat Umbi
Berat Basah Akar Tanaman
Produktivitas Bawang Merah

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA

19
19
23
24
25
25
26
27
28
29

30
30
30

31

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

79
DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Hubungan empiris untuk rata-rata nilai Nusselt pada konveksi alami
melalui berbagai permukaan
Rata-rata suhu udara, radiasi dan kelembaban udara di dalam rumah
tanaman (27 Maret 2016)
Flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling (27 Maret 2016)
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah daun (daun) bawang
merah
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah anakan (tanaman)
bawang merah
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap diameter umbi (cm) bawang
merah
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap jumlah umbi (umbi) bawang
merah
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat umbi (gram) bawang
merah
Pengaruh suhu dan vernalisasi terhadap berat basah akar (gram)
bawang merah

11
19
23
24
25
26
26
27
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Tahap perkembangan sistem akar bawang
Sistem Aeroponik (Hidayat 2011)
Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling
Metler PM-4800
Letak titik pengukuran iklim mikro di dalam aeropobik chamber
Analisis pindah panas pada sistem aeroponik (tampak samping)
Diagram alir tahapan penelitian
Diagram alir untuk menghitung suhu air di dalam pipa pendingin
pada posisi outlet prediksi dan flux panas pada zone cooling
Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam rumah tanaman (27
Maret 2016)
Kenaikan suhu media tanam aeroponik pada percobaan yang
dilakukan (27 Maret 2016)
Kenaikan suhu larutan nutrisi pendingin yang diukur pada posisi
inlet dan outlet dari sistem zone cooling hasil pengukuran perlakuan
suhu 10oC
Bawang merah perlakuan 15oC 7 HST
Bawang merah perlakuan 10oC 7 HST
Pertumbuhan perakaran perlakuan 10oC 17 HST

4
5
7
8
14
15
17
18
20
21
22
77
77
77

15
16
17
18
19
20
21
22
23

Bawang merah perlakuan kontrol 7 HST
Pertumbuhan perakaran perlakuan kontrol 17 HST
Pertumbuhan perakaran perlakuan 15oC 17 HST
Pertumbuhan bawang merah 10oC 38 HST
Pertumbuhan bawang merah 15oC 38 HST
Bawang merah 10oC 60 HST
Pertumbuhan bawang merah kontrol 38 HST
Bawang merah kontrol 60 HST
Bawang merah 15oC 60 HST

77
77
77
78
78
78
78
78
78

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Gambar perakitan box chamber aeroponik
Rancangan dimensi box chamber aeroponik
Sifat fisik air dan udara
Perhitungan flux panas dari masing-masing aplikasi zone cooling
Tabel besarnya suhu pada berbagai titik pengukuran dalam sistem
zone cooling
Perhitungan flux panas dalam sistem zone cooling
Hasil analisis uji beda nyata menggunakan software PKBT STAT 2.1C
Dokumentasi Penelitian

35
36
37
38
39
40
74
77

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa var. aggregatum) merupakan komoditi
sayuran yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Selain itu
bawang merah digunakan sebagai pelengkap bumbu masakan, pengobatan
tradisional dan sebagai bahan baku industri. Bahan aktif minyak atsiri bawang
merah terdiri dari sikloaliin, metilaliin, kaemferol, kuersetin, dan floroglusin
(Muhlizah dan Hening S. 2000).
Pada dekade terakhir ini permintaaan bawang merah untuk konsumsi dan
bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan bawang merah yang terus
meningkat perlu diimbangi dengan meningkatkan produksi bawang merah.
Namun permasalahan dalam meningkatkan produksi bawang merah di Indonesia
adalah umbi sulit diperoleh saat menjelang musim tanam, produksi bawang merah
cenderung melimpah pada waktu-waktu tertentu (pada saat panen raya) sehingga
menyebabkan bawang merah relatif murah dan sebaliknya pada waktu diluar
musim panen harganya cukup tinggi. Selain itu kedala terbesar sekarang ini yaitu
tingginya penggunaan pestisida dalam budidayanya. Oleh karena, itu diperlukan
inovasi dan usaha peningkatan produksi bawang merah agar mampu memenuhi
kebutuhan dan tersedianya umbi berkualitas. Sebagai usaha untuk meningkatkan
hasil pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida secara terus menerus masih
dilakukan oleh para petani. Pestisida diperlukan agar produk pertanian yang akan
dihasilkan terlindung atau terbebas dari serangan hama dan penyakit tanaman.
Namun penggunaan pestisida yang terus menerus dapat mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Mengingat pestisida merupakan bahan beracun, maka
penggunaaan dan penanganan yang tidak sesuai anjuran dapat menimbulkan risiko
terhadap kesehatan dan risiko terhadap lingkungan. Sehingga diharapkan dengan
menggunakan teknologi pengendalian iklim mikro dapat meminimalisir
penggunaan pestisida serta mampu memperbaiki pembentukan umbi bawang
merah.
Dalam budidaya tanaman suhu merupakan faktor alami yang mengatur
pertumbuhan dan morphogenesis. Perlakuan suhu rendah (vernalisasi) pada organ
tanaman dapat meningkatkan aktivitas pembelahan sel giberelin endogen serta
peningkatan aktivitas auksin (Jain et al. 2007). Vernalisasi merupakan pemberian
temperatur rendah secara buatan dengan temperatur 5oC-10oC selama 4 minggu
atau dapat menggunakan perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman yaitu GA3 yang
dapat menggantikan sebagian atau seluruh fungsi suhu rendah sehingga dapat
mendorong atau merangsang pembungaan serta pembentukan biji pada tanaman
bawang merah (Sumarni et al. 2012). Giberelin bekerja pada gen dengan
menyebabkan aktivitas gen-gen tertentu. Gen-gen yang diaktifkan membentuk
enzim-enzim baru yang mampu menyebabkan terjadinya perubahan
morphogenesis (penampilan atau fisiologi tanaman), selain itu giberelin juga
dapat mematahkan dorminasi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses
pembelahan sel (Jasmi et al. 2013).

2

Selain itu juga dalam budidaya bawang merah memiliki kendala
pengolahan tanah yang cukup rumit dan pemilikan lahan tanam yang cukup
sempit, sistem budidaya petani yang masih bergantung pada kondisi cuaca dan
topografi, serta keterbatasan sarana dan prasarana produksi dan pasca panen
sehingga diperlukan teknologi baru dalam pengembangannya. Salah satu
teknologi maju dalam teknik budidaya adalah dengan menggunakan sistem
aeroponik dengan konsep pendinginan terbatas (zone cooling). Aeroponik adalah
sistem bercocok tanam dalam media tanpa tanah dimana akar ditetapkan dalam
media dan akar digantung serta disemprotkan larutan hara (Resh 2004). Konsep
pendinginan terbatas (zone cooling) adalah mendinginkan zona terbatas daerah
pertumbuhan tanaman (akar tanaman), metode pendinginan ini tidak ditujukan
untuk mendinginkan seluruh volume udara dalam rumah tanaman. Sehingga
energi yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan untuk mendinginkan seluruh
volume udara di dalam rumah tanaman (Suhardiyanto 2009). Penggunaan
evaporative cooling untuk pendinginan udara di dalam rumah tanaman tidak
efektif ketika kelembaban udara sangat tinggi. Hal ini disebabkan perbedaan suhu
udara bola basah dan bola kering sangat sedikit. Ketika menurunkan suhu udara
dengan penguapan terjadi juga peningkatan kelembaban udara yang dapat
menyebabkan peningkatan pertumbuhan jamur (Suhardianto 2009). Sistem
aeroponik selama ini digunakan dalam budidaya sayuran seperti selada, kubis, dan
melon, serta jarang digunakan pada tanaman selain sayuran. Sistem aeroponik
populer diterapkan di Israel, Itali, dan Amerika Serikat (Harris 1994). Menurut
Roberto (2003) menjelaskan pada sistem aeroponik, tanaman memiliki
kesempatan mendapatkan oksigen hingga batas maksimum yang baik dalam
pertumbuhan akar, sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan
produktifitas tanaman. Penelitian dengan sistem aeroponik pada bawang merah
belum banyak dilakukan. Penerapan sistem aeroponik pada budidaya bawang
merah belum banyak dilakukan dan memiliki peluang besar untuk meningkatkan
produktifitas dan kualitas produk bawang merah. Sistem aeroponik tanpa
menggunakan tanah dapat meminimalisir kerusakan akar saat pemanenan.
Menutur Sumarni et al. (2012) untuk meningkatkan produktivitas bawang
merah dianjurkan suhu berkisar antara 9oC - 19oC. Sehingga pada penelitian kali
ini menggunakan dua variasi suhu set point dari zone cooling system yaitu 10oC,
15oC dan kontrol (tanpa pendinginan). Mengamati tanaman paprika yang
mendapatkan perlakuan temperatur yang berbeda dari larutan nutrisi dengan
sistem hidroponik (Dodd et al. 2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan
tanaman lebih cepat berkembang bila terkena suhu pendinginan 20°C,
dibandingkan dengan suhu 30°C.
Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaruh variasi suhu zona
perakaran, kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic chamber terhadap
pertumbuhan bawang merah dalam upaya peningkatan produksi umbi bawang
merah untuk pasokan umbi bawang merah nasional melalui teknik aeroponik di
dataran rendah tropika basah.
Perumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Berapakah kebutuhan energi pada masing-

3

masing aeroponic chamber pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling?,
(2) Apakah variasi set point suhu larutan nutrisi yang berbeda dapat memberikan
pengaruh pada pertumbuhan tanaman dan pertumbuhan umbi bawang merah?, (3)
Apakah perlakuan vernalisasi memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman
dan pertumbuhan umbi bawang merah?.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: (1) Menghitung kebutuhan energi pada masing-masing aeroponic
chamber pada sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling. (2) Menganalisa
pengaruh perbedaan suhu larutan nutrisi dengan beberapa set point suhu pada
chiller yaitu 10oC, 15oC dan kontrol (tanpa pendinginan) terhadap pertumbuhan
tanaman dan pembentukan umbi bawang merah. (3) Menganalisa perlakuan
vernalisasi dapat memberikan pengaruh pada pertumbuhan tanaman dan
pertumbuhan umbi bawang merah.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan khazanah ilmu
pengetahuan dalam pengembangan ilmu dan teknologi pertanian di Indonesia
yang memiliki daerah pertanian sangat luas. Selain itu, hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan dasar bagi para petani bawang merah dalam upaya
peningkatan produksi umbi bawang merah untuk pasokan umbi bawang merah
nasional melalui teknik aeroponik di dataran rendah tropika basah.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Perakaran Bawang Merah
Akar merupakan organ vegetatif utama yang memiliki dua fungsi utama
yaitu secara fisik merupakan alat untuk menopang tumbuhnya tanaman dan alat
untuk menyerap air dan ion-ion yang kemudian disalurkan ke seluruh bagian
tanaman (Jones 2005). Air dan ion untuk dapat diserap oleh tanaman, harus
berada pada permukaan akar. Permukaan akar ini air bersama ion-ion diangkut
menuju pembuluh xilem (Lakitan 2008).
Akar bawang merah relatif tebal dan bercabang dibandingkan dengan
tanaman sayuran yang lain. Akar bawang merah kekurangan rambut akar kecuali
ketika tumbuh di udara yang lembab. Bagian akar bawang menunjukkan seri
lapisan dari epidermis luar, sebuah multiseluler, korteks tebal dan endodermis
yang mengelilingi pusat, yang berisi pembuluh floem dan xilem dengan sel
parenkim yang terkait (De Mason 1990, Stasovski dan Peterson 1993).
Bawang merah telah menjadi salah satu spesies yang paling sering
digunakan dalam penelitian anatomi dan fisiologi akar, hal ini dikarenakan
bawang merah dapat dengan mudah menghasilkan umbi dan menjadi cukup tebal,
lurus, tidak bercabang sehingga mudah ditangani. Oleh karena itu ada keterangan

4

detail yang tersedia pada struktur bawang merah dan juga ultrastrukture, seperti
diungkapkan oleh mikroskop elektron (Ma dan Peterson 2001), dan bagaimana hal
ini berhubungan dengan kedua serapan hara (Cholewa dan Peterson 2004) dan
serapan air (Barrowclough et al. 2000).

(a)

(b)

(c)
Gambar 1 Tahap perkembangan sistem akar bawang : (a) Akar tanaman pada
umur dua bulan; (b) Akar tanaman pada umur 3 bulan; (c) Akar tanaman
pada umur 4.5 bulan

Teknologi Aeroponik dalam Budidaya Tanaman
Resh (2004) menjelaskan bahwa aeroponik adalah usaha bercocok tanam
dalam media tanpa tanah dimana akar ditempatkan dalam media dan akar
digantung serta disemprotkan larutan hara dalam bentuk kabut. Cara budidaya
seperti ini biasa dilakukan pada tanaman sayuran dan buah, seperti selada,
mentimun, melon dan tomat.
Prinsip kerja aeroponik adalah akar terurai di rongga udara di bawah papan
styrofoam dan terus menerus disemprot dengan larutan nutrisi dalam bentuk
kabut. Selain itu, akar tanaman pada sistem aeroponik dapat diberi kabut secara
berkala. Butiran halus larutan nutrisi yang melekat di akar akan diserap dan

5

ditransfer ke atas (batang dan daun), kemudian digunakan untuk pertumbuhan
tanaman. Sebagai media tanam digunakan styrofoam yang diberi lubang tanam,
tergatung dari konfigurasi tata letak lubang, seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem Aeroponik (Hidayat 2011)
Pagliarulo dan Hayden (2002) menerangkan bahwa keunggulan sistem
budidaya aeroponik dibandingkan dengan budidaya konvensional adalah dalam
hal pertumbuhan akar. Selain pertumbuhan akar, keunggulan aeroponik yang lain
adalah: 1) aeroponik berpotensi meningkatkan produktivitas akar dan kandungan
fitokimia karena ketersediaan hara dan air pada aeroponik; 2) pertumbuhan akar
dapat dimanipulasi dengan pengaturan asupan hara, suhu, dan aplikasi aeroponik;
3) akar bersih dari partikel-partikel tanah, organisme tanah, atau hal-hal yang
dapat mengkontaminasi tanaman; 4) aeroponik dapat meningkatkan pertumbuhan
akar dan pematangan fisiologi akar.
Pengaruh Varietas dan Ukuran Umbi Terhadap Produktivitas Bawang
Merah
Dalam mendukung produktivitas bawang merah yang maksimal
diperlukan umbi benih bermutu tinggi. Menurut Sutono et al. (2007), umbi benih
yang baik untuk ditanam tidak mengandung penyakit, tidak cacat dan tidak terlalu
lama disimpan di gudang. Kebutuhan benih antara 1.3-2.6 t/ha dengan ukuran
diameter umbi benih antara 1.5-1.8 cm (Sumarni dan Hidayat 2005) dengan
efisiensi lahan 65%. Umbi benih yang baik ialah umbi yang telah pecah masa
dormansinya, sehat, dan berukuran optimal. Berdasarkan ukurannya, umbi benih
bawang merah dapat digolongkan menjadi 3 benih, yaitu umbi benih besar (Ø = >
1.8 cm atau > 10 g), umbi benih sedang (Ø = 1.5 -1.8 cm atau 5-10 g), dan umbi
benih kecil (Ø = < 1.5 cm atau < 5 g) (Sumarni dan Hidayat 2005).
Umbi besar dapat menyediakan cadangan makanan yang cukup untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangan di lapangan. Menurut Sutono et al.
(2007), umbi benih berukuran besar tumbuh lebih baik dan menghasilkan daundaun lebih panjang, luas daun lebih besar, sehingga dihasilkan jumlah umbi per
tanaman dan total hasil yang tinggi. Namun, penggunaan umbi benih yang
berukuran besar berkaitan erat dengan total bobot benih yang diperlukan dan
sekaligus mempengaruhi biaya produksi benih.
Azmi, C. et al. (2011) menyatakan bahwa bawang merah merupakan
tanaman berhari panjang, proses pembentukan umbi membutuhkan jumlah siang
yang lebih panjang dibandingkan tanaman berhari pendek. Umbi bawang merah

6

dapat terus membesar dan kemudian membentuk anakan ketika batas minimum
panjang hari tercapai. Jumlah umbi yang berbeda dipengaruhi oleh faktor genetik
masing-masing varietas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Azmi, C. et al.
(2011) dengan perlakuan tiga macam varietas bawang merah (Bima, Maja, dan
Sumenep) dan ukuran umbi yang berbeda-beda diperoleh kesimpulan jumlah
umbi terbanyak dihasilkan oleh varietas Bima.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2016 di
instalasi rumah kaca (greenhouse) Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo,
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor dengan ketinggian tempat 250 m dpl.
Alat dan Bahan
Peralatan yang dibutuhkan pada penelitian ini antara lain: mesin aeroponik
terdiri dari tangki reservoir larutan nutrisi, pompa air listrik, timer, selang air, pipa
PVC, nozzle, dan rangka alat. Selain itu juga menggunakan EC meter, PH meter,
styrofoam, hybrid recorder, thermocouple, oven, destikator dan weather station.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : benih
bawang merah varietas Bima dan larutan nutrisi untuk menyediakan nutrisi
tanaman yang dibutuhkan tanaman.
Tahapan Penelitian
Sebelum ditanam, umbi bibit divernalisasi terlebih dahulu dengan cara
disimpan di ruang pendingin (10oC) selama 4 minggu untuk perlakukan pertama
dan tanpa vernalisasi untuk perlakuan kedua. Umbi bibit yang digunakan ialah
umbi varietas Bima berukuran besar (5 g/umbi). Satu hari setelah dikeluarkan dari
ruang pendingin untuk yang divernalisasi, umbi bibit ditanam pada box aeroponik.
Penyiapan sistem aeroponik. Persiapan sistem aeroponik meliputi
pembuatan chamber aeroponik. Chamber aeroponik percobaan berukuran 1.5 m
(P) x 1 m (L) x 1 m (T) dengan jarak tanam 15 cm x 15 cm. Jadi, dalam satu
chamber terdapat 45 tanaman (terdapat 5 x 9 tanaman). Styrofoam sebagai tempat
tanaman menggunakan ketebalan 4 cm. Pada percobaan ini terdapat tiga box
aeroponik tanaman yang akan digunakan sebagai media tanam tanaman bawang
merah. Dua box diantaranya mendapatkan perlakuan pendinginan larutan nutrisi,
sedangkan satu box tidak diberikan perlakuan pendinginan larutan nutrisi. Hal ini
dimaksudkan satu box tersebut dijadikan sebagai kontrol. Box aeroponik dengan
dimensi dan perakitan yang sama sudah pernah dilakukan pada penelitian oleh
Sumarni (2013) untuk budidaya tanaman kentang di dataran rendah. Cara kerja
sistem aeroponik dengan aplikasi zone cooling adalah sebagai berikut : nutrisi
ditampung di dalam ember sebanyak 50 liter (sesuai dengan kapasitas ember
penampung). Nutrisi didinginkan melalui chiller (yang telah di setting suhunya

7

sesuai dengan perlakuan suhu zone cooling di masing-masing chamber). Nutrisi
yang masuk ke dalam chiller dipompakan dengan pompa celup yang berada di
dalam ember penampung nutrisi. Setelah tercapai suhu sesuai dengan setting yang
diinginkan maka nutrisi tersebut akan bertahan cukup lama pada suhu rendah.
Nutrisi yang telah mencapai suhu zone cooling disemprotkan ke dalam aeroponic
chamber dengan pompa bertekanan tinggi. Nutrisi yang disemprotkan tersebut
akan keluar melalui beberapa nozzel yang berada di dalam aeroponic chamber
sehingga membasahi seluruh permukaan dalam chamber dan mencapai akar
tanaman bawang merah. Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone
cooling dapat dilihat pada Gambar 3 sebagai berikut :

Gambar 3 Skema set up percobaan sistem aeroponik dengan zone cooling
Penyiapan larutan nutrisi dilakukan dengan cara melarutkan larutan nutrisi
pekat A dan larutan pekat B (ABMix). Larutan nutrisi yang digunakan adalah
larutan nutrisi yang diproduksi oleh PT JORO. Larutan nutrisi ini khusus untuk
budidaya tanaman bawang merah pada aeroponik. Electric Conductivity (EC)
larutan nutrisi pada fase vegetatif  2100 S dan pH 5-7.
Pemeliharaan tanaman dilakukan pada penelitian ini meliputi penyemprotan
larutan nutrisi. Penyemprotan larutan nutrisi dilakukan selama 35 menit, kondisi
timer mati selama 10 menit dan tidak dilakukan penyiraman pada malam hari.
Pemanenan dilakukan setelah tanaman berusia 60 hari setelah tanam (HST) dan
diukur bobot umbi, jumlah umbi per tanaman, dan berat akar.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan setelah tanaman dipindahkan ke chamber tanaman.
Beberapa data yang diambil selama penelitian antara lain :

8

Pertumbuhan bawang merah
Jumlah daun. Jumlah daun diamati setiap 7 hari sekali sejak benih mulai disemai
hingga bawang merah berusia 60 hari. Metode pengukurannya yaitu dengan
menghitung banyaknya daun muda sampai daun tua yang masih hijau dan tidak
layu disetiap rumpun.
Jumlah anakan. Metode pengukurannya yaitu dengan menghitung banyaknya
jumlah anakan disetiap rumpun setiap 7 hari sekali sampai panen (bawang merah
berusia 60 hari).
Jumlah umbi. Metode pengukurannya yaitu dengan menghitung banyaknya
jumlah umbi pada saat panen (bawang merah berusia 60 hari).
Berat umbi. Metode pengukurannya yaitu dengan menimbang bobot basah umbi
bawang merah setiap rumpun pada saat panen (bawang merah berusia 60 hari)
menggunakan timbangan menggunakan timbangan metler PM-4800.

Gambar 4 Metler PM-4800
Berat basah Akar. Metode pengukurannya yaitu dengan menimbang bobot basah
akar bawang merah setiap rumpun pada saat panen (bawang merah berusia 60
hari) menggunakan timbangan menggunakan timbangan metler PM-4800.

Beban Panas dan Energi pada Aeroponik chamber dengan aplikasi zone
cooling
Beban energi zone cooling yang diberikan pada sistem aeroponik untuk
produksi benih bawang merah di dataran rendah tropika basah dihitung
berdasarkan pindah panas. Peristiwa pindah panas terjadi karena perpindahan
energi dari satu daerah ke daerah lainnya akibat perbedaan suhu (Kreith dan Bohn
2001). Pindah panas terjadi secara konduksi dan konveksi.
Perpindahan Panas Secara Konduksi
Konduksi adalah proses panas mengalir dari daerah bersuhu tinggi ke
daerah bersuhu rendah di dalam satu medium (padat, cair, gas) atau antara
medium-medium yang bersinggungan secara langsung. Besarnya perpindahan
panas secara konduksi tergantung dari nilai konduktivitas panas (sifat fisik
medium). Dinding yang tebal memerlukan waktu lama untuk perjalanan panas,

9

karena itu dinding tebal sering dipakai di bangunan tropis. Besar laju aliran panas
dengan cara konduksi, dinyatakan sebagai berikut (Kreith and Bohn 2001) :
Qk = - kA

(1)

Keterangan :
Qk
K
A
dT
dx

: laju perpindahan panas (W)
: konduktivitas termal bahan (Wm-1K-1)
: luas penampang benda yang tegak lurus terhadap aliran panas (m2)
: gradient temperature (K)
: ketebalan dinding (m)

Tanda minus dari persamaan diatas adalah akibat dari hukum kedua
termodinamika, yang arah aliran panasnya berasal dari suhu tinggi ke suhu
rendah.
Perpindahan Panas Secara Konveksi
Perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan panas karena
adanya aliran udara. Arus pada pindah panas konveksi merupakan arus cairan atau
gas yang menyerap kalor pada suatu tempat, kemudian bergerak ke tempat lain
dan bercampur dengan bagian fluida yang lebih dingin serta memberikan
kalornya. Perpindahan panas konveksi berdasarkan gerakan alirannya dibedakan
menjadi dua, yaitu konveksi bebas (alami) dan konveksi paksa. Konveksi alamiah
merupakan gerak fluida yang disebabkan perbedaan kerapatan yang menyertai
perbedaan suhu, sedangkan konveksi paksa adalah fluida yang dipaksa bergerak
oleh pompa atau kipas. Laju perpindahan panas konveksi dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut (Zemansky dan Dittman 1986) :
qc = hc A (T-Tf)

(2)

Keterangan :
qc
hc
A
T
Tf

: laju perpindahan panas (W)
: koefisien perpindahan panas konveksi (Wm-2K-1)
: luas penampang benda yang tegak lurus terhadap aliran panas (m2)
: suhu permukaan (K)
: suhu fluida (K)

Persamaan sederhana berdasarkan hukum I Termodinamika pada aeroponic
chamber dapat disampaikan sebagai berikut:
Kesetimbangan total
Q

= UAT

(3)

10

UAT = Qpipa + Qch atas +Qch bawah + Qch kiri + Qch kanan +Qch depan +Qch blkng +Qsty
+Qm
(4)
Keterangan:
∆T
Qpipa
Qsty
Qm
U
A
Qch atas

: Perubahan suhu di sistem (oC)
: Pindah panas di pipa lateral dalam chamber (W)
: Pindah panas yang melalui styrofoam (W)
: Pindah panas yang melalui multiplek (W)
: Koefisien perpindahan kalor menyeluruh/overall (Wm2oC-1)
: Luas permukaan sistem (m2)
: Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding atas
chamber (W)
Qch bawah : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi
bawah chamber (W)
Qch kanan
: Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi
kanan chamber (W)
Q ch kiri
: Pindah panas udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi kiri
chamber (W)
Qch depan
: Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi
depan chamber (W)
Qch belakang : Pindah panas dari udara luar ke udara dalam melalui dinding sisi
belakang chamber (W)
Pindah panas pada aeroponik chamber terjadi secara konveksi dan
konduksi melalui dua lapisan, yaitu multiplek dan styrofoam. Nilai pindah panas
setiap sisi chamber digunakan persamaan konveksi udara greenhouse yang
melalui multiplek kemudian konveksi udara dalam chamber, serta konduksi antara
multiplek dan styrofoam. Koefisien konveksi antara chamber dan udara diperoleh
dengan persamaan berikut :

h

k
Nu;
Dh

atau

h

k
Nu
Lc

(5)

Bilangan Nusselt (Nu) diperoleh berdasarkan pada bentuk dinding
(vertikal atau horizontal) dan nilai GrPr (bilangan Grashof-Prandtl) dari setiap sisi
chamber. Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut (Lienhard 2008; Eckert
dan Soehngen, 1951) :
Nilai Rayleigh dimana merupakan produk dari nilai Grashof-Prandtl (6)
dan hubungan empiris untuk rerata nilai Nusselt pada konveksi natural ditentukan
sesuai geometri permukaan pindah panas pada Tabel 1.



 

1 1
T K

(6)

11

Ra L  GrL Pr 

g. .Ts  T .Lc 3

2

(7)

Pr

Aliran fluida yang mempunyai bilangan Reynold kurang dari 2000
merupakan aliran laminer, sedangkan aliran dengan bilangan Reynold antara 2000
dan 4000 merupakan aliran transisi (peralihan dari aliran laminer ke aliran
turbulen), dan aliran dengan bilangan Reynold lebih dari 4000 dikatakan sebagai
aliran turbulen penuh (Nevers 2005). Bilangan Reynold digunakan sebagai kriteria
untuk menunjukkan jenis aliran turbulen atau laminer. Persamaan bilangan
Reynold :
Re 

 . .Dh


(8)

Untuk aliran dalam saluran yang panjang, panjang penting dalam bilangan
Nusselt (Nu) adalah garis tengah hidroliknya (Dh) (Kreith 1986), yang berdefinisi:

 luas penampang aliran
Dh  4.
keliling basah






(9)

Persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas konveksi paksa di
dalam pipa dengan pipa panjang (L/D > 20), aliran turbulen (Re > 2100) sebagai
berikut (Suhardiyanto, Fuadi dan Widaningrum 2007) :
Nu = 0.023 Re0.8Pr0.33

(10)

Tabel 1 Hubungan empiris untuk rata-rata nilai Nusselt pada konveksi alami
melalui berbagai permukaan
Geometri

Plat vertical

Silinder
horizontal

Panjang
karakteristik
(Lc)
Tinggi

Diameter

Rentang
nilai Ra

Nu

Semua





1
0.387 Ra l 6


Nu  0.825 
8


1  (0.492 / pr ) 916  27 


 


Ra 12 jam)
untuk keperluan inisiasi pembungaan (Berson 2015). Pada penelitian ini tanaman
bawang merah tidak mengalami pembungaan dikarenakan penyinaran cahaya
matahari hanya didapatkan selama 6.5 jam (08.30 – 15.00 WIB) kondisi cuaca
sering mendung dan hujan.
Data beberapa unsur cuaca selama percobaan berlangsung disajikan dalam
Tabel 2. Data Tabel 2 menunjukkan kondisi yang kurang optimal untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman hortikultura. Kendala utama dalam
pengembangan tanaman adalah suhu rumah tanaman terlalu tinggi dan kurang
cahaya matahari. Faktor lingkungan lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman di dalam rumah tanaman adalah panas radiasi matahari yang masuk ke
dalam rumah tanaman. Radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman
menunjukkan rata-rata mencapai 153.90 W/m2. Radaiasi matahari yang diterima
lantai di dalam rumah tanaman selama pengukuran disajikan pada Gambar 10.
Tabel 2 Rata-rata suhu udara, radiasi dan kelembaban udara di dalam rumah
tanaman (27 Maret 2016)
Iklim mikro di dalam rumah tanaman
Suhu udara maksimum (°C)
Suhu udara minimum (°C)
Rata-rata suhu udara siang (°C)
Rata-rata suhu udara malam (°C)
Rata-rata radiasi surya (W/m2)
Rata-rata kelembaban relatif udara siang (%)

Nilai
36.10
22.80
30.26
26.37
153.90
73.20

20

Radiasi matahari yang
diterima lantai rumah
tanaman (W/m2)

350
300
250
200
150
100
50
0

Waktu pengukuran (WIB)
Gambar 10 Radiasi matahari yang diterima lantai di dalam rumah tanaman (27
Maret 2016)
Besarnya radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman
mengakibatkan terjadinya kenaikan suhu udara dalam rumah tanaman. Semakin
besar radiasi matahari yang masuk ke dalam rumah tanaman mengakibatkan
semakin meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman. Radiasi gelombang
pendek yang dipancarkan oleh matahari diteruskan oleh plastik penutup atap
rumah tanaman yang kemudian berubah menjadi gelombang panjang. Gelombang
panjang inilah yang menyebabkan panas sensibel dan panas evaporasi yang tidak
dapat keluar melalui plastik penutup atap rumah tanaman dan akhirnya terjebak di
dalam rumah tanaman. Disamping itu, keberadaan ventilasi yang cukup pada
rumah tanaman terutama ventilasi alamiah juga dapat mempengaruhi besar
kecilnya kenaikan suhu di dalam rumah tanaman. Jumlah ventilasi yang kecil dan
penempatannya yang tidak sesuai dapat menyebabkan berkurangnya turbulensi
udara di dalam rumah tanaman sehingga pertukaran massa dan energi didalamnya
menjadi lambat. Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di dalam rumah
tanaman terus meningkat. Selain itu, bentuk, dimensi, dan kontruksi rumah
tanaman juga berperan penting dalam mempengaruhi besar kecilnya kenaikan
suhu udara di dalam rumah tanaman.
Jenis penutup atap rumah tanaman juga sangat berpengaruh terhadap
tingginya suhu udara di dalam rumah tanaman, bahan penutup yang terbuat dari
kaca akan menghasilkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan yang
terbuat dari p