Peningkatan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum L.) Menggunakan Benzil Amino Purin dan ZnSO4 di Dataran Rendah.

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH BOTANI BAWANG
MERAH (Allium cepa var. ascalonicum L.) MENGGUNAKAN
BENZIL AMINO PURIN DAN ZnSO4 DI DATARAN RENDAH

RATNA ARRULLIA WATI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peningkatan Produksi
Benih Botani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum L.) Menggunakan
Benzil Amino Purin dan ZnSO4 di Dataran Rendah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ratna Arrullia Wati
NIM A24100036

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
RATNA ARRULLIA WATI. Peningkatan Produksi Benih Botani Bawang Merah
(Allium cepa var. ascalonicum L.) Menggunakan Benzil Amino Purin dan ZnSO4
di Dataran Rendah. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan RINI
ROSLIANI.
Allium cepa var. ascalonicum L merupakan tanaman sayuran yang pada
umumnya diproduksi secara vegetatif. Perbanyakan secara generatif
menggunakan biji (true shallot seed atau TSS) lebih menguntungkan tetapi belum
banyak dikembangkan. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
benzil amino purin (BAP) dan ZnSO4 yang tepat untuk meningkatkan

pembungaan, produksi, dan mutu TSS di dataran rendah pada ketinggian 100 m
dpl. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap
teracak (RKLT) 2 faktor dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah aplikasi
konsentrasi BAP terdiri atas 0, 50, dan 150 ppm. Faktor kedua adalah ZnSO4
terdiri atas 0 kg ha−1, 1 kg ha−1, 2 kg ha−1, dan 3 kg ha−1. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif bawang merah tidak dipengaruhi oleh
BAP, melainkan dipengaruhi aplikasi ZnSO4. Aplikasi 100 ppm BAP atau 3 kg
Zn ha−1 meningkatkan bobot umbi bawang merah. Aplikasi BAP 50 ppm atau 1
kg Zn ha−1 meningkatkan persentase viabilitas serbuk sari, sementara jumlah
serbuk sari tidak dipengaruhi oleh BAP dan ZnSO4. Aplikasi BAP 50 ppm pada
umbi yang sudah divernalisasi dapat meningkatkan pembungaan dan produksi
TSS, tetapi tidak memengaruhi mutu TSS.
Kata kunci: pembungaan, serbuk sari, TSS, vernalisasi

ABSTRACT
RATNA ARRULLIA WATI. Increasing Seed Production of Onion (Allium cepa
var. ascalonicum L.) Using Benzyl Amino Purin and ZnSO4 in Lowland Area.
Supervised by ENDAH RETNO PALUPI and RINI ROSLIANI.
Onion (Allium cepa var. ascalonicum L.) is usually produced vegetatively.
Production of onion using true shallot seeds (TSS) is considered advantageous,

however has not been practiced. This research was aimed to increase flowering
and production of TSS as well as enhancing the quality of TSS using BAP and
ZnSO4 in the low land area at 100 m asl. Randomized completely block design
was used for the experiment with 2 factors and 4 replications. The first factor was
concentration of BAP 0, 50, and 100 ppm, and the second factor was dosage of
ZnSO4, i.e. 1, 2, 3 kg Zn ha−1. The result showed that BAP did not affect vegetatif
growth of onion, however weight of havested onion bulb was increased by
application of 100 ppm BAP or 3 kg Zn ha−1. Pollen viability increased by
application of 50 ppm BAP or 1 kg Zn ha−1. Application of 50 ppm BAP on
vernalized bulb increased flowering and TSS production, but did not affect the
TSS physiological quality.
Keywords: flowering, pollen, TSS, vernalitation

PENINGKATAN PRODUKSI BENIH BOTANI BAWANG
MERAH (Allium cepa var. ascalonicum L.) MENGGUNAKAN
BENZIL AMINO PURIN DAN ZnSO4 DI DATARAN RENDAH

RATNA ARRULLIA WATI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang
sudah dilaksanakan sejak bulan Maret hingga Juli 2014 ialah Peningkatan
Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum L.)
Menggunakan Benzil Amino Purin dan ZnSO4 di Dataran Rendah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Endah R. Palupi, MSc dan Ir
Rini Rosliani, MSi selaku pembimbing skripsi, serta Ibu Nurma, Ibu Ineu, Ibu
Yanti, selaku staf di laboratorium benih dan penyakit Balitsa, serta Pak Memed

sebagai teknisi Balitsa yang telah banyak memberi saran pelaksanaan di lapang
maupun pengujian mutu benih dan serbuk sari bawang merah. Selain itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Asep dari Badan Meteorologi dan
Geofisika, Bapak Cucu beserta staf Kebun Percobaan Buah Subang, yang telah
membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, adik, seluruh keluarga, teman-teman paguyuban
mahasiswa Sragen−Bogor (PMSB), keluarga mahasiswa Sragen (KMS) Regional
Jabodetabek, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Ratna Arrullia Wati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah
Pembungaan Bawang Merah
Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) Bawang Merah
Benzil Amino Purin (BAP)
Unsur Mikro Seng (ZnSO4)
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan Penelitian
Peralatan Penelitian
Metode Penelitian
Prosedur Percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


vi
vi
vi
1
1
2
2
2
2
3
4
4
5
5
5
5
6
6
9

9
20
20
20
24
25

DAFTAR TABEL
1 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap tinggi tanaman bawang
merah pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST) di Subang
2 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah daun bawang
merah pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST)
3 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah anakan bawang
merah pada 10, 17, 24, 31, 72 hari setelah tanam (HST) dan bobot
basah umbi (g) per tanaman di Subang
4 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap umur berbunga pertama,
presentase tanaman berbunga (%), jumlah umbel per tanaman, dan
jumlah bunga per umbel bawang merah di Subang
5 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap viabilitas serbuk sari
dan jumlah serbuk sari per antera bawang merah di Subang

6 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah kapsul per umbel,
pembentukan kapsul (%), dan jumlah TSS per umbel di Subang
7 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot TSS per umbel
(g), bobot TSS per tanaman (g), dan bobot TSS per plot (g) di Subang
8 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot 100 butir (g), daya
berkecambah (%), indeks vigor (%), dan KCT (% hari-1) di Subang
9 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap potensi tumbuh
maksimum (%) TSS di dataran rendah Subang

10
11

12

13
15
16
17
18
19


DAFTAR GAMBAR
1 Penyakit moler dengan ciri umbi busuk (a) dan hama ulat Spodoptera
exigua (b) pada bawang merah
2 Serangga pada tanaman bawang merah: lebah hitam besar (a); lalat (b)
3 Pembentukan kapsul: tanpa BAP (a); BAP 50 ppm (b); BAP 100 ppm
(c)
4 Kecambah normal benih bawang merah: akar primer tidak kerdil (anak
panah); kotiledon panjang, tidak tebal, serta lekukan jelas (kepala anak
panah)

9
10
16

19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes
2 Suhu, kelembaban, dan curah hujan rata-rata di dataran rendah Subang

pada bulan Maret sampai Juni 2014
3 Kandungan Zn (ppm) pada tanah Latisol setelah aplikasi

24
24
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum L.) telah lama dibudidayakan
para petani karena memiliki peluang cukup baik. Rata-rata konsumsi tahun 2011
sebesar 2.36 kg per kapita per tahun, meningkat menjadi 2.76 kg per kapita per
tahun 2012 (Kementerian PPN 2013). Ketersediaan produk tanaman ini harus
dijaga sepanjang tahun karena terus menerus dibutuhkan.
Pada umumnya produksi bawang merah dilakukan secara vegetatif yaitu
menggunakan umbi bibit. Kelemahan penggunaan umbi bibit sebagai bahan
tanam antara lain umumnya membawa penyakit tular umbi yang mengakibatkan
penurunan produktivitas. Selain itu budidaya juga memerlukan biaya penyediaan
umbi yang tinggi, mencapai 40% dari biaya produksi (Sumarni et al. 2012),
karena kebutuhan umbi bibit mencapai 1–1.2 ton ha-1 (Rosliani et al. 2012).
Kendala lainnya adalah kesulitan dalam distribusi karena volume bawang yang
besar dan tidak tahan lama disimpan (sekitar 3−4 bulan).
Alternatif lain yang dapat dikembangkan dalam produksi bawang merah
adalah menggunakan benih botani (true shallot seed atau TSS). TSS ini memiliki
keunggulan yaitu kebutuhan biji untuk produksi cukup rendah yaitu sekitar 5−7
kg ha-1 (Basuki 2009). Volume kebutuhan biji yang lebih rendah, dapat
mengurangi biaya penanganan benih dan biaya distribusi, sehingga biaya produksi
lebih rendah. Produksi benih botani (TSS) terutama di dataran rendah mengalami
beberapa kendala yaitu pembungaan dan produksi biji yang masih rendah. Hilman
et al. (2014) melaporkan bahwa produksi TSS di dataran tinggi Lembang (1 250
m dpl) lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah Subang (100 m dpl).
Produksi TSS di dataran tinggi mencapai 0.68 g per tanaman, sedangkan di
dataran rendah sebesar 0.09 g per tanaman. Perbedaan produksi tersebut
dipengaruhi oleh tingkat pembungaan (jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel
per tanaman, jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel) di Lembang
yang lebih tinggi dibandingkan dengan Subang. Rosliani et al. (2013) melaporkan
dengan aplikasi benzil amino purin (BAP) 50 ppm, pembungaan bawang merah di
dataran rendah Subang dapat meningkat. Hilman et al. (2014) menambahkan
bahwa bobot benih 100 butir yang dihasilkan di dataran rendah lebih baik
dibandingkan di dataran tinggi.
Unsur seng (Zn) membantu dalam pembentukan ikatan senyawa organik
kompleks dan mengatur penggunaan air secara efisien. Zn memiliki peran penting
untuk enzim−enzim dalam sintesis triptopan yang merupakan prekusor dari IAA
(indolasetat acid), yang mana lebih dikenal sebagai auksin utama pada tanaman
(Gardner et al. 1991). Penambahan Zn dengan dosis 3 kg ha−1 dapat
meningkatkan jumlah daun, tinggi tanaman, diameter umbi, dan berat basah umbi
bawang merah (Abedin et al. 2012). Pertumbuhan vegetatif yang lebih baik
diharapkan dapat meningkatkan pembungaan dan produksi TSS. Seng sulfat atau
lignosulfat mudah larut dalam air dan merupakan sumber Zn yang baik untuk
tanaman (Camberato & Maloney 2012).
Berdasarkan permasalahan di atas, aplikasi BAP dan ZnSO4 diharapkan
mampu meningkatkan pembungaan, produksi, dan mutu TSS pada tanaman
bawang merah varietas Bima di dataran rendah.

2
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan konsentrasi BAP yang tepat untuk meningkatkan pembungaan
dan produksi TSS di dataran rendah.
2. Mendapatkan dosis ZnSO4 yang tepat untuk meningkatkan produksi dan mutu
TSS di dataran rendah.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Bawang Merah
Tanaman bawang merah merupakan kelompok famili Liliaceae yang berasal
dari Asia Tengah (Tazhikistan dan Afganistan) (Novak et al. 1986). Budidaya
bawang merah dapat dilakukan hampir diseluruh wilayah Indonesia. Daerah
sentra produksi bawang merah adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat,
Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Yogyakarta, Sumatera Barat, Bali, dan
Sulawesi Selatan (Ditjen PPHP 2006). Pengusahaan bawang merah sekitar 50%
terpusat di Jawa Tengah yaitu Brebes, sedangkan sekitar 19.4% di Jawa Timur
yaitu Kabupaten Nganjuk dan Probolinggo. Sementara, di Jawa Barat
terkonsentrasi di Kabupaten Cirebon (Rachmat et al. 2012).
Tanaman bawang merah berakar serabut dan dangkal, membentuk rumpun
dengan tinggi tanaman sekitar 20–40 cm, berbatang semu yang terbentuk dari
kelopak daun yang saling membungkus. Pangkal kelopak daun akan membengkak
yang akhirnya akan menjadi umbi lapis dan pada bagian pangkal umbi lapis
membentuk cakram atau batang sebenarnya (Sudarmanto 2009). Bagian lain dari
tanaman bawang merah adalah daun yang berbentuk bulat kecil dan memanjang
seperti pipa, berwarna hijau muda.
Bunga bawang merah merupakan bunga majemuk yang muncul dari cakram
melalui ujung umbi. Malai bawang merah berbentuk umbel yang mengandung
50–200 kuntum bunga. Pada bunga yang sama, kemasakan putik dan benang sari
tidak serempak, oleh karena itu penyerbukan sendiri tidak akan berhasil, sehingga
harus menyerbuk silang (Sudarmanto 2009).

Pembungaan Bawang Merah
Tanaman bawang merah pada umumnya mampu berbunga dengan baik di
dataran tinggi dibandingkan di dataran rendah. Umumnya, tanaman bawang
merah berbunga pada umur 35–40 HST (Sumarni et al. 2012). Menurut Hilman et
al. (2014), pembungaan bawang merah varietas Bima di dataran rendah terjadi
pada 30–33 HST, sedangkan di dataran tinggi pembungaan bawang merah terjadi
lebih awal yaitu 14–19 HST, namun fase pembungaan berikutnya dataran rendah
lebih singkat dibandingkan dataran tinggi.
Bawang merah merupakan tanaman hari panjang yang membutuhkan
penyinaran >12 jam untuk mendukung terjadinya pembungaan. Selain itu

3
perlakuan suhu rendah atau vernalisasi juga membantu pembungaan bawang
merah. Jasmi et al. (2013) melaporkan bahwa tanaman bawang merah di dataran
rendah daerah Bantul Yogjakarta tidak berbunga meskipun umbi telah
divernalisasi. Hasil tersebut diduga disebabkan oleh terlalu tinggi curah hujan
ketika pembungaan. Hasil yang berbeda terjadi di Bangladesh (19 m dpl), yang
dilaporkan oleh Ami et al. (2013) bahwa umbi divernalisasi 5 0C menghasilkan
250.20 bunga per umbel dan 8.3 umbel per tanaman lebih banyak dibandingkan
kontrol. Fahrianty (2013) melaporkan bahwa vernalisasi berperan dalam
meningkatkan pembungaan bawang merah di dataran rendah (Dramaga) maupun
di dataran tinggi (Jasinga, Bogor). Perlakuan suhu 10 0C selama 30 hari pada
umbi yang ditanam di dataran rendah mampu meningkatkan jumlah tanaman
berbunga sebesar 100%. Selain itu, persentase pembentukan buah, bobot umbel
per tanaman, jumlah umbel per rumpun, dan jumlah bunga per umbel meningkat
dibandingkan dengan kontrol, berturut-turut 73.89%, 1.87 g, 1.92 umbel, dan
88.09 bunga per umbel. Rosliani et al. (2013) melaporkan bahwa di dataran
rendah (Subang), pembungaan bawang merah dapat ditingkatkan dengan
pemberian 50 ppm benzil amino purin.

Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) Bawang Merah
Ketersediaan TSS sebagai bahan tanam masih sangat terbatas karena
produksi TSS yang rendah. Peningkatan produksi TSS dapat dilakukan dengan
meningkatkan pembungaan atau pembentukan biji. Peningkatan pembentukan biji
dapat dilakukan dengan meningkatkan serangga penyerbuk yang mengunjungi
bunga. Menurut Sumarni et al. (2011) populasi serangga penyerbuk dapat
ditingkatkan dengan menanam tanaman tagetes atau caisim hingga berbunga di
sekitar tanaman bawang merah. Peningkatan populasi serangga penyerbuk dapat
meningkatkan produksi TSS.
Tanaman bawang dengan atraktan berupa caisim menghasilkan 39.22 biji
per umbel, sedangkan dengan tagetes sebanyak 32 biji per umbel. Tanaman caisim
juga menghasilkan kapsul lebih banyak (22.77 buah per umbel) daripada tanaman
tagetes (15.71 buah per umbel) (Sumarni et al. 2011).
Produksi TSS semakin banyak dengan tingginya tingkat pembungaan
bawang merah. Sumarni et al. (2011) menjelaskan bahwa dataran tinggi
menghasilkan jumlah biji yang banyak disebabkan oleh jumlah bunga dan jumlah
buah yang dapat dipanen. Hasil tersebut diperkuat dengan penelitian Hilman et al.
(2014) bahwa ketinggian tempat dapat memengaruhi pembungaan dan produksi
TSS. Produksi TSS di dataran tinggi Lembang (1 250 m dpl) lebih tinggi dari
pada di dataran rendah Subang (100 m dpl) yang disebabkan oleh pembungaan
yang mencapai 2.5–3 lipat. Jumlah tanaman berbunga di dataran tinggi Lembang
sebesar 93.44%, sedangkan di dataran rendah Subang (100 m dpl) yaitu 29.89%.
Kemudian hasil TSS di Lembang (8.12 g di setiap 12 tanaman) 8 kali lebih
banyak dibandingkan di Subang. Sebaliknya, mutu TSS yang dihasilkan di
dataran rendah Subang (0.398 g) lebih tinggi dibandingkan di Lembang (0.368 g).

4
Benzil Amino Purin (BAP)
Benzil amino purin atau (BAP) merupakan salah satu kelompok zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang berperan dalam merangsang pembungaan,
merangsang pembelahan maupun meregenerasi sel. Aplikasi ZPT golongan
sitokinin tersebut lebih efektif dilakukan ketika tunas generatif baru muncul. Pada
fase tersebut kondisi pistil dan benang sari belum terbentuk, sehingga
memungkinkan dapat memanipulasi organ reproduktif (Agustiani 2012).
Aplikasi sitokinin berupa benziladenin (BA) pada tanaman Jojoba
meningkatkan jumlah bunga setiap cabang dengan memperbesar ukuran meristem
aksilar. Peningkatan produksi bunga tersebut tidak diikuti dengan peningkatan
jumlah biji per tanaman disebabkan banyak bunga yang gugur (Prat et al. 2008).
Pan dan Xu (2010) melakukan aplikasi BA dengan konsentrasi 160 ppm pada
tanaman jarak pagar dapat meningkatkan total jumlah bunga maupun produksi biji.
Agustiani (2012) melaporkan aplikasi BA 160 ppm mampu menghasilkan bunga
betina jarak pagar sebanyak 16.3 bunga per malai, lebih besar 4.9 lipat dari
kontrol, dan meningkatkan persentase pembentukan buah sebesar 80−89%, namun
tidak menunjukkan pengaruh terhadap jumlah dan bobot biji per buah. Tingginya
persentase pembentukan buah diduga yang menyebabkan kompetisi akumulasi
cadangan makanan, sehingga pengisian biji tidak optimum. Rosliani et al. (2013)
melaporkan aplikasi BAP 50 ppm mampu meningkatkan pembungaan bawang
merah di dataran rendah Subang. Selain pada pembungaan, aplikasi BAP
berpengaruh terhadap pertumbuhan dibeberapa tanaman. Nurjanah et al. (2014)
menjelaskan bahwa aplikasi BAP 25–50 ppm tanpa coumarin dapat meningkatkan
tinggi tanaman kentang mencapai 81.56 cm.
Unsur Mikro Seng (ZnSO4)
Seng atau Zn merupakan salah satu unsur hara mikro esensial untuk
tanaman. Kandungan unsur Zn total di dalam tanah berkisar 10−300 mg kg-1,
sedangkan kandungan Zn pada tanaman berkisar 25−150 ppm. Ketersediaan Zn
lebih tinggi pada kondisi pH rendah (minimum 5.5–7) dan akan menurun apabila
terjadi peningkatan pH (Munawar 2011). Unsur Zn berperan dalam membentuk
ikatan senyawa organik kompleks, mengatur penggunaan air yang efisien, dan
berperan pada metabolisme karbohidrat. Selain itu Zn mampu membentuk
triptopan yang merupakan senyawa dasar dalam pembentukan auksin, sehingga
akan berperan selama perkecambahan, pembelahan, dan pembesaran sel. Seng
sulfat atau lignosulfat mudah larut dalam air dan merupakan sumber seng yang
baik untuk tanaman (Camberato & Maloney 2012).
Kandungan Zn yang rendah akan memengaruhi hasil biji, defisiensi tersebut
dapat diatasi dengan aplikasi Zn anorganik (ZnSO4) lewat tanah (Wijaya 2008).
Konsentrasi Zn pada jaringan sebesar 20−70 ppm menunjukkan tingkat
kecukupan untuk pertumbuhan dan pembentukan tasel dan tongkol jagung
(Camberato & Maloney 2012). Sarker (2011) melaporkan bahwa aplikasi 4 kg Zn
ha−1 pada bawang merah di daerah Bangladesh mampu meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah daun, pembungaan, dan persentase pembentukan kapsul. Patil et
al. (2006) melaporkan dengan aplikasi 0.1% ZnSO4 pada tanaman bunga
matahari secara foliar atau semprot dapat meningkatkan persentase pembentukan

5
kapsul sebesar 73.1% atau sebesar 4.5% dari kontrol. Selain itu juga
meningkatkan jumlah biji (582.3 butir) dan daya berkecambah sebesar 90.1%.
Yagi et al. (2006), melaporkan bahwa dengan peningkatan pemberian dosis Zn
hingga 28.56 g kg-1 benih sorgum menyebabkan penurunan daya berkecambah
sebesar 9.2%.
Aplikasi seng dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Tinggi maksimum (50.5 cm) tanaman bawang merah di Pakistan diperoleh dari
tanaman dengan pemberian seng sebesar 10 kg ha-1, sedangkan terendah diperoleh
pada tanaman tanpa aplikasi Zn (44.63 cm) (Khan et al. 2007). Abedin et al.
(2012) melaporkan dengan aplikasi 3 kg Zn ha-1 pada tanaman bawang merah di
Bangladesh menghasilkan jumlah daun (12 helai) dan tinggi tanaman (56.69 cm)
lebih besar dari pada tanaman kontrol.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman
Buah (Balitbu) Subang, Jawa Barat dengan ketinggian tempat 100 m dpl dan di
Laboratorium Benih Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Jawa
Barat dari bulan Maret−Juli 2014.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan yaitu umbi bawang merah varietas Bima yang
tergolong tanaman sukar berbunga secara alami, namun sesuai dibudidayakan di
dataran rendah (Lampiran 1). Umbi yang digunakan berukuran 5–7 g sejumlah
576 umbi. Bahan lainnya adalah pupuk kandang ayam yang diberikan dengan
dosis 10 ton ha−1, pupuk SP−36 250 kg ha−1, dolomit 1 ton ha-1, pupuk NPK
(16−16−16) 600 kg ha−1, boron (2 kg ha−1) (Rosliani et al. 2013), dan furadan.
Bawang merah ditanam dalam polibag (sejumlah 192 buah) dan diletakkan pada
bedengan yang telah dilapisi mulsa hitam perak serta diberi naungan plastik putih.
Kemudian menggunakan udang busuk untuk menarik lalat sebagai serangga
penyerbuk. Viabilitas serbuk sari diamati dengan mengecambahkan dalam larutan
PGM (Pollen Germination Medium) (Schreiber & Dresselhaus 2003), sedangkan
pengujian daya berkecambah benih dilakukan dengan metode uji di atas kertas
dengan substrat kertas.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan adalah alat-alat produksi pertanian, alat
pengecambah benih tipe S−6920−C, mikroskop cahaya, dan haemocytometer
untuk menghitung jumlah serbuk sari per antera.

6
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
dengan 2 faktor yaitu pemberian BAP dengan 3 taraf (0 ppm, 50 ppm, 100 ppm)
dan aplikasi ZnSO4 sebanyak 4 taraf (0, 1, 2, 3 kg Zn ha−1). Penelitian dilakukan
dengan 4 ulangan sehingga didapatkan 48 satuan percobaan dengan 12 tanaman
per satuan percobaan. Jumlah total tanaman yang ditanam adalah 576 bibit.
Berdasarkan teori dari Gomez and Gomez (1995), model linier aditif yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + k + (β )jk + ijk
Keterangan

:

Yijk
: respon perlakuan
µ
: rataan umum
αi
: pengaruh kelompok ke-i
βj
: pengaruh pemberian BAP ke-j
k
: pengaruh pemberian ZnSO4 ke-k
(β )jk
: interaksi antara pengaruh pemberian BAP dan ZnSO4
Εijk
: galat percobaan
Data kuantitatif yang diperoleh diuji dengan uji F, apabila hasil
menunjukkan pengaruh nyata, dilakukan uji lanjut dengan metode DMRT
(Duncan Multiple Range Test) pada taraf nyata 5%.
Prosedur Percobaan
Persiapan bibit
Umbi bawang merah varietas Bima berukuran sekitar 5–7 g per umbi, telah
divernalisasi pada suhu 10 0C dalam cool storage selama 4 minggu.
Persiapan lahan
Sebanyak 4 bedeng berukuran 1.5 x 11 m2 yang dilanjutkan dengan
pemasangan mulsa hitam dan plastik naungan. Media tanam yang digunakan per
polibag berupa campuran 8 kg tanah, 12 g dolomit, 120 g pupuk kandang ayam,
dan 3 g SP−36. Campuran tersebut diaduk kemudian dimasukkan ke dalam
polibag.
Penanaman
Umbi bawang merah ditanam di dalam polibag yang sehari sebelumnya
telah disiram dan diletakkan di bedengan yang ternaungi. Umbi ditanam sebanyak
3 umbi per polibag dengan menancapkan umbi sampai sepertiga bagian atas masih
terlihat.
Pemupukan
Pemupukan NPK (16:16:16) dilakukan 10 hari setelah tanam dengan selang
pemberian tujuh hari sebanyak 10 kali pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan
menyiramkan 100 ml larutan pupuk 0.72 g NPK per polibag ke tanah sekitar
tanaman. Boron (2 kg ha−1) diberikan pada umur 3, 5, dan 7 MST.

7
Pemeliharaan
Penyiraman dilakukan 1 hari sekali dengan menjaga media tidak terlalu
basah. Embun yang menempel di ujung daun pada waktu pagi hari (sekitar 06.00
WIB) dibersihkan dengan cara disemprot air untuk mencegah inokulum penyakit
bercak ungu.
Pengendalian hama terutama ulat daun dilakukan sejak awal fase
pertumbuhan tanaman. Perangkap kuning diletakkan di dalam bedengan sebagai
perangkap serangga perusak tanaman. Penyiangan dan pengendalian gulma
dilakukan setiap hari apabila terdapat gulma yang muncul.
Aplikasi BAP dan ZnSO4
Aplikasi BAP dengan cara menyiramkan larutan sebanyak 100 ml per
polibag ke bagian titik tumbuh umur 1, 3, dan 5 MST sesuai perlakuan (0−100
ppm). Pemberian unsur hara mikro Zn dilakukan 1 kali pada awal penanaman
dengan dosis sebesar 0, 1, 2, dan 3 kg Zn ha-1 dengan cara menaburkan ZnSO4
tersebut ke sekitar tanaman sebanyak 0.05 g, 0.11 g, dan 0.16 g per polibag.
Perlakuan kontrol tidak diberi ZnSO4.
Panen
Pemanenan umbel bawang merah dilakukan ketika kapsul telah berwarna
kuning kecoklatan, biji berwarna hitam, dan sudah merekah 1 atau 2 kapsul dalam
1 umbel. Pemanenan dilakukan dengan memotong tangkai umbel, kemudian
pengeringan dengan menjemur umbel di ruangan terbuka sekitar 1 minggu.
Panen umbi dilakukan ketika panen umbel telah selesai. Umbi yang telah
dipanen ditimbang, kemudian dijemur selama sekitar 1 minggu.
Pengamatan
Pertumbuhan bawang merah
Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan terhadap 5 tanaman contoh
secara acak yang dilakukan dari umur 10 hari setelah tanam (HST) sampai 31
HST. Pengamatan meliputi:
1. Tinggi tanaman (cm): diukur dari atas permukaan tanah sampai ujung daun
tertinggi dengan menggunakan penggaris.
2. Jumlah daun (helai): menghitung banyaknya daun muda sampai daun tua
yang masih hijau dan tidak layu disetiap rumpun.
3. Jumlah anakan: menghitung jumlah anakan yang terbentuk pada setiap
rumpun.
4. Bobot basah umbi: menimbang bobot basah umbi bawang merah setiap
rumpun menggunakan timbangan analitik.

1.
2.
3.
4.
5.

Pembungaan dan pembentukan biji bawang merah
Pengamatan meliputi :
Persentase tanaman berbunga
Jumlah umbel per tanaman
Jumlah bunga per umbel
Persentase pembentukan kapsul
Jumlah kapsul per umbel

8
6.
7.
8.
9.

1.
2.

3.

4.

Jumlah TSS per umbel
Bobot TSS per umbel
Bobot TSS per tanaman
Bobot TSS per plot
Mutu benih
Pengamatan dilakukan di laboratotium benih, meliputi:
Bobot 100 butir benih yaitu dengan menimbang berat 100 butir benih secara
acak.
Daya berkecambah (%). Pengujian menggunakan substrat kertas.
Pengecambahan diulang 4 kali dengan 25 butir setiap ulangan menggunakan
metode uji di atas kertas, dan dilakukan pada suhu 20 0C (ISTA 2014)
menggunakan alat pengecambah tipe S−6920−C. Penghitungan
menggunakan rumus:

Keterangan:
KN hitungan I : Kecambah normal pengamatan pertama (6 HST)
KN hitungan II: Kecambah normal pengamatan ke-2 (12 HST)
Indeks vigor (%). Penghitungan dilakukan berdasarkan persentase jumlah
kecambah normal pada hitungan pertama terhadap jumlah benih yang
ditanam. Penghitungan dengan rumus:

Kecepatan tumbuh (%). Pengamatan berdasarkan jumlah kecambah normal
yang tumbuh dari hari pertama sampai hari terakhir pengamatan (umur 12
HST). Penghitungan menggunakan rumus:
KCT =

5.

Potensi tumbuh maksimum (%). Pengamatan berdasarkan banyaknya
kecambah normal maupun abnormal pada hitungan terakhir.

Viabilitas serbuk sari
Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase serbuk sari yang
berkecambah yaitu munculnya tabung serbuk sari minimal sepanjang diameter
serbuk sari. Penghitungan viabilitas menggunakan rumus:

9
Jumlah serbuk sari
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat haemocytometer. Prosedur
yang dilakukan adalah dengan meneteskan larutan serbuk sari ke
haemocytometer, kemudian menghitung jumlah serbuk sari dengan bantuan
mikroskop pada perbesaran 40x.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan
Kondisi umum penelitian
Penanaman dilakukan awal bulan Maret 2014 pada saat intensitas curah
hujan tinggi sebesar 442 mm bulan-1 (Lampiran 2). Curah hujan yang tinggi
menyebabkan kelembaban udara juga tinggi, sehingga dapat memicu serangan
penyakit moler yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. dengan ciri-ciri
daun layu dan menguning serta umbi busuk (Gambar 1a), sehingga perlu
dilakukan penyulaman. Penyakit lain yang menyerang adalah bercak ungu pada
tangkai bunga yang disebabkan oleh Alternaria porri. Serangan tersebut
disebabkan oleh adanya embun yang menempel di ujung daun. Pengendalian
terhadap penyakit tersebut dilakukan dengan penyemprotan air ke ujung daun
setiap pagi hari, sehingga penyebaran dapat terkendali. Selain penyakit, serangan
hama berupa ulat bawang (Spodoptera exigua) (Gambar 1b) dan thrips.
Pengendalian terhadap hama tersebut yaitu dengan memotong bagian daun yang
terserang dan menyemprotkan insektisida.

a

b

Gambar 1 Penyakit dan hama yang menyerang bawang merah: busuk
umbi (a); hama ulat Spodoptera exigua (b)
Proses 1awal
pembungaan,
ditandai
munculnya
Gambar
Penyakit
moler dengan
ciridengan
umbi busuk
(a) dantunas
hama umbel
ulat (antara
20−28 HST) yang terbungkus oleh selaput umbel yang berwarna hijau muda.
Selaput umbel tersebut kemudian pecah, sehingga akan terlihat kuntum-kuntum
bunga yang kemudian akan mekar. Selama periode pembungaan terdapat
beberapa serangga yaitu lalat kecil, lebah hitam besar, dan lebah kecil yang
diduga membantu dalam proses penyerbukan (Gambar 2). Serangga penyerbuk
berupa lalat hijau juga sengaja diupayakan mengunjungi bawang merah dengan
bantuan atraktan berupa udang busuk yang digantungkan diantara tanaman
bawang.

10

a

b

Gambar 2 Serangga pada tanaman bawang merah: lebah
hitam besar (a); lalat (b)
Pertumbuhan tanaman
Pemberian benzil amino purin (BAP) dan ZnSO4 tidak menunjukkan
interaksi yang berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman bawang merah yang
diamati pada umur 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST). Aplikasi BAP
tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman bawang. Rata−rata tinggi
tanaman mengalami peningkatan dari umur 10 HST sekitar 21.6 cm dan mencapai
36.8 cm pada umur 31 HST (Tabel 1). Rachmawati (2008) melaporkan pemberian
beberapa konsentrasi BAP (50, 100, dan 150 ppm) pada tanaman cabai juga tidak
berpengaruh terhadap tinggi tanaman cabai. Tidak berperannya BAP dalam
peningkatan tinggi tanaman bawang merah diduga karena zat pengatur tumbuh
golongan sitokinin tersebut lebih berperan dalam pembelahan sel.
Sebaliknya, aplikasi ZnSO4 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman
Tabel 1 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap tinggi tanaman bawang
merah pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST) di Subang*
Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100
Rata-rata
Dosis ZnSO4 (kg ha-1)
0
1
2
3
BAP x ZnSO4
KK (%)
*

Tinggi tanaman (cm)
10 HST

17 HST

24 HST

31 HST

21.1
21.9
21.7
21.6

27.6
28.9
29.3
28.6

31.3
32.8
32.7

35.8
37.4
37.3

32.2

36.8

19.8 b
21.3 ab
22.1 a
22.8 a

27.4 b
28.4 ab
28.9 ab
29.7 a

31.0 b
31.4 b
32.7 ab
34.0 a

33.8 c
36.8 bc
37.3 b
39.4 a

tn

tn

tn

tn

8.72

6.91

7.52

7.68

Angka-angka pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

11
bawang merah. Tinggi tanaman bawang merah meningkat seiring dengan
peningkatan dosis ZnSO4 yang diberikan (Tabel 1). Aplikasi 3 kg Zn ha−1
menghasilkan tanaman tertinggi sebesar 39.4 cm pada umur 31 HST. Peningkatan
pertumbuhan tanaman tersebut diduga karena Zn yang diberikan mendorong
pembentukan triptopan yang akan disintesis menjadi auksin (Salisbury & Ross
1995) yang dapat mendorong pemanjangan sel. Peningkatan tinggi tanaman akibat
pemberian Zn juga terjadi pada penelitian Janmohammadi et al. (2012) yang
melaporkan bahwa unsur hara Zn mampu meningkatkan tinggi tanaman
kacang−kacangan.
Jumlah daun tanaman bawang merah tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP,
karena fungsi dari BAP bukan untuk pembentukan daun melainkan mendorong
pembentukan tunas (Rohmah 2012). Rata-rata jumlah daun pada umur 10 HST
adalah 9.6 helai dan mencapai 16.4 helai pada 24 HST (Tabel 2). Penambahan
jumlah daun sudah berakhir pada 24 HST, walaupun tinggi tanaman (Tabel 1)
masih terus bertambah.
Aplikasi berbagai dosis ZnSO4 meningkatkan jumlah daun bawang merah.
Jumlah daun pada tanaman kontrol (0 kg Zn ha-1) lebih sedikit dibandingkan
dengan tanaman yang diberi ZnSO4. Jumlah daun terus bertambah seiring dengan
peningkatan dosis ZnSO4 yang diberikan (Tabel 2). Pada umur 10 HST jumlah
daun berkisar 9.0−10.0 helai. Pengaruh aplikasi ZnSO4 mulai terlihat pada 17
HST sampai 31 HST yang menunjukkan jumlah daun bawang merah terus
meningkat dengan pemberian berbagai dosis ZnSO4. Peningkatan jumlah daun
tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan Zn dalam mensintesis auksin di
tunas ujung. Auksin yang terbentuk mendorong pemanjangan batang dan daun.
Data ini memberikan indikasi bahwa fase vegetatif mulai berakhir (31 HST) dan
menuju fase generatif.
Tabel 2 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah daun bawang merah
pada 10, 17, 24, dan 31 hari setelah tanam (HST)*
Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100
Rata-rata
Dosis ZnSO4 (kg ha-1)
0
1
2
3
BAP x ZnSO4
KK (%)
*

Jumlah daun (helai) per tanaman
10 HST

17 HST

24 HST

31 HST

9.7
9.7

14.9
15.2

16.0
16.9

15.7
16.9

9.4
9.6

15.1
15.1

16.2
16.4

16.6
16.4

9.0

14.4 b

9.5

13.7 b

14.4 b
15.8 ab

13.3 c
16.1 b

9.8
10.0
tn
16.72

15.6 ab
16.5 a
tn
17.24

17.1 a
18.2 a
tn
17.25

17.3 ab
18.8 a
tn
16.77

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

12
Aplikasi BAP tidak memengaruhi jumlah anakan (Tabel 3), namun rata-rata
jumlah anakan meningkat dari 4.2 anakan pada umur 10 HST menjadi 4.9 anakan
pada 17 HST. Anakan tidak mengalami penambahan jumlah selama 24−31 HST,
tetapi peningkatan jumlah terlihat pada 72 HST (panen) yaitu menjadi 5.5 anakan.
Kecenderungan pengaruh yang sama terlihat pada pemberian berbagai dosis
ZnSO4 yang tidak memengaruhi jumlah anakan bawang merah. Rata-rata jumlah
anakan terus mengalami peningkatan berkisar 4.3−5.6 anakan pada saat panen.
Sebaliknya, aplikasi secara tunggal BAP dan ZnSO4 memengaruhi bobot
basah umbi per tanaman. Bobot basah umbi per tanaman terus meningkat dengan
peningkatan konsentrasi BAP. Aplikasi 100 ppm BAP pada tanaman bawang
merah menunjukkan bobot basah umbi tertinggi yaitu 30.07 g atau meningkat
sebesar 30.9% dari tanaman kontrol. Aplikasi ZnSO4 sebesar 3 kg ha-1
menghasilkan bobot basah umbi per tanaman terbesar yaitu 28.39 g atau
meningkat sebesar 27.51% dari tanaman kontrol. Abedin et al. (2012) melaporkan
bobot basah umbi tanaman bawang merah meningkat dengan pemberian 3 kg Zn
ha-1 sebesar 26.52 g. Seperti halnya aplikasi 3 kg Zn ha-1 pada tanaman bawang
merah oleh Alam et al. (2010) yang meningkatkan bobot umbi menjadi 26.52 g
atau meningkat 22.32% lebih besar dari tanaman kontrol.
Penambahan BAP tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
vegetatif tanaman bawang merah dan jumlah anakan, namun memengaruhi bobot
Tabel 3 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah anakan bawang
merah pada 10, 17, 24, 31, 72 hari setelah tanam (HST) dan bobot basah
umbi (g) di Subang*

Jumlah umbi anakan per tanaman
10
HST
Konsentrasi BAP (ppm)
0
4.3
50
4.2
100
4.2

17
HST

24
HST

31
HST

72
HSTb

Bobot basah
umbi (g) per
tanaman

5.0
5.0

5.1
5.1

5.4
5.4

5.3
5.5

20.77 b
23.72 b

4.8

5.1

5.6

5.7

30.07 a

Rata-rata
4.2
-1
Dosis ZnSO4 (kg ha )

4.9

5.1

5.5

5.5

Perlakuan

0

4.5

4.4

5.2

5.7

5.8

20.58 b

1

4.3

4.3

5.2

5.5

5.5

25.32 ab

2

4.1

4.7

5.1

5.5

5.2

25.13 ab

3

4.1

5.0

4.8

5.2

5.7

28.39 a

Rata-rata

4.3

4.6

5.1

5.5

5.6

tn

tn

tn

tn

tn

tn

12.13

14.46

13.46

12.86

12.28

12.8tr

BAP x ZnSO4
KK (%)
*

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi;
b
: panen

13
basah umbi per tanaman (Tabel 3). Sebaliknya, aplikasi ZnSO4 3 kg Zn ha-1
mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan bobot basah umbi per tanaman,
namun tidak memengaruhi jumlah anakan.
Pembungaan
Aplikasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan adanya interaksi yang
berpengaruh terhadap pembungaan dan pembentukan kapsul. Aplikasi BAP
memberikan pengaruh terhadap semua parameter komponen pembungaan,
bertolak belakang dengan aplikasi ZnSO4 yang tidak memengaruhi pembungaan.
Aplikasi BAP memperlambat munculnya bunga pertama sekitar 2−3 hari
lebih lambat dari tanaman kontrol. Vernalisasi umbi telah menginduksi inisiasi
bunga, sehingga tanaman dapat berbunga pada 22.5 HST (Tabel 4).
Tanaman yang tidak diberi BAP hanya sedikit yang berbunga (5.73%)
dibandingkan dengan yang diberi BAP (25.52−32.81%). Peran suhu rendah
(vernalisasi) terlihat pada persentase berbunga tanaman kontrol sebesar 5.73%
(Tabel 4). Kemampuan berbunga tersebut diduga akibat vernalisasi (10 0C selama
4 minggu) pada umbi. Rosliani et al. (2013) melaporkan bahwa peningkatan
konsentrasi BAP dari 50−200 ppm mampu meningkatkan persentase tanaman
bawang merah untuk berbunga berkisar 28.9−39.4%. Hasil penelitian ini
menunjukkan jumlah bunga per umbel dan jumlah umbel per tanaman juga
dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Jumlah bunga yang dihasilkan tanaman kontrol
sebanyak 25.1 bunga per umbel dan meningkat menjadi 28.3−34.7% pada
tanaman yang diberi BAP 50 dan 100 ppm. Sharma et al. (2009) melaporkan
Tabel 4 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap umur berbunga pertama,
presentase tanaman berbunga (%), jumlah umbel per tanaman, dan
jumlah bunga per umbel bawang merah di Subang*
Umur
berbunga
Perlakuan
pertama
(HST)
Konsentrasi BAP (ppm)
0
22.5 b
50

24.9 ab
26.1 a

100
Dosis ZnSO4 (kg ha-1)
0
24.6
1
25.4
2
24.8
3
25.0
Rata-rata
BAP x ZnSO4
KK (%)
*

25.0
tn
13.40

Persentase
tanaman
berbunga (%)

Jumlah
bunga per
umbel

Jumlah
umbel per
tanaman

5.73 b
25.52 a
32.81 a

25.1 b
33.8 a
32.3 a

0.1 b
0.6 a
0.8 a

15.97
26.39
25.69

26.5
36.6
31.6

0.4
0.6
0.6

17.35
21.35
tn
30.79

26.7
30.4
tn
30.70

0.5
0.5
tn
17.66tr

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil
transformasi

14
penambahan BAP pada konsentrasi 50 ppm tanaman Lilium menghasilkan jumlah
bunga per tanaman lebih tinggi dibandingkan kontrol. Bertambahnya jumlah
bunga tersebut disebabkan terjadinya peningkatan aktivitas meristem oleh
sitokinin, sehingga meningkatkan pembelahan sel. Pengaruh sitokinin terhadap
pembungaan juga dilaporkan oleh Werner et al. (2001) yang menunjukkan adanya
peningkatan jumlah bunga pada tanaman tembakau oleh sitokinin.
Aplikasi BAP meningkatkan jumlah umbel per tanaman bawang merah.
Rata-rata jumlah umbel pada tanaman kontrol adalah 0.1 umbel per tanaman,
sementara tanaman yang diberi perlakuan BAP 50 dan 100 ppm, menghasilkan
umbel per tanaman 6−8 kali lipat lebih banyak dari pada tanaman kontrol (Tabel
4). Semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan, maka semakin meningkat
jumlah umbel per tanaman. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rosliani et al. (2013) yang menunjukkan bahwa
pemberian BAP 50−200 ppm dapat meningkatkan persentase tanaman berbunga
di dataran rendah Subang hingga >150%. Namun demikian jumlah umbel per
tanaman yang dihasilkan pada penelitian ini masih tergolong rendah, karena
rendahnya persentase tanaman yang berbunga.
Kedua penelitian yang dilakukan di tempat yang sama dengan curah hujan
yang berbeda menghasilkan jumlah umbel per tanaman yang relatif sama.
Berdasarkan hasil tersebut diduga kemampuan BAP dalam peningkatan jumlah
umbel per tanaman di dataran rendah tergolong rendah. Rosliani et al. (2012)
melaporkan rata−rata jumlah umbel per tanaman di dataran tinggi Lembang
mencapai 3.4 umbel per tanaman. Perbedaan jumlah umbel yang terbentuk antara
dataran rendah dan tinggi tersebut diduga lebih dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang
diperlukan tanaman bawang untuk membantu pembungaan berkisar 10−17 0C.
Menurut Khokhar (2009) suhu di dataran tinggi relatif rendah sehingga
menyebabkan terjadinya inisiasi pembungaan, sedangkan di dataran rendah
dengan suhu relatif tinggi menyebabkan terjadi devernalisasi. Namun demikian
pemberian BAP dapat menginduksi terjadinya inisiasi pembungaan sehingga
tanaman tetap dapat berbunga.
Viabilitas dan jumlah serbuk sari per antera
Pemberian berbagai konsentrasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan adanya
interaksi yang berpengaruh terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari per antera
bawang merah. Viabilitas serbuk sari ditunjukkan oleh kemampuan serbuk sari
untuk berkecambah, yaitu dengan membentuk tabung sari. Aplikasi BAP dapat
meningkatkan viabilitas serbuk sari, tetapi tidak memengaruhi jumlah serbuk sari
per antera. Aplikasi BAP meningkatkan viabilitas serbuk sari sekitar 43.3−51.7%
(Tabel 5). Peningkatan viabilitas serbuk sari diharapkan dapat meningkatkan
produksi benih.
Aplikasi ZnSO4 juga memengaruhi viabilitas serbuk sari. Aplikasi ZnSO4
sebanyak 1 kg ha-1 dapat meningkatkan viabilitas serbuk sari hampir 2 kali lipat.
Namun demikian, peningkatan dosis ZnSO4 cenderung menurunkan viabilitas
serbuk sari (Tabel 5). Tuna et al. (2001) melaporkan bahwa tingkat
perkecambahan serbuk sari tanaman tembakau menurun dengan aplikasi ZnSO4.
Viabilitas serbuk sari tanaman kontrol sebesar 90.6%, sedangkan pada tanaman
dengan aplikasi ZnSO4 240 µM menurun menjadi 14.43%. Winarto dan
Rachmawati (2007) menjelaskan bahwa, penurunan viabilitas serbuk sari pada

15

Tabel 5 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap viabilitas serbuk sari dan
jumlah serbuk sari per antera bawang merah di Subang*
Viabilitas serbuk sari
(%)

Jumlah serbuk sari per antera
(butir)

1.14 b
2.01 a

800.0
1032.0

2.36 a

797.8

1.84

876.6

0

1.25 b

688.8

1

2.39 a

908.6

2

1.98 ab

1084.0

3

1.74 b

762.9

1.84

861.1

Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100

Rata-rata
-1

Dosis ZnSO4 (kg ha )

Rata-rata
BAP x ZnSO4
KK (%)

tn

tn

21.16

tr

12.56

*

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil
transformasi

perlakuan Zn dosis tinggi diduga karena penurunan aktivitas enzim esterase dan
respirasi. Selain itu, diduga akibat menurunnya proses metabolisme sehingga
menyebabkan tidak semua mikrospora mampu tumbuh dengan baik.
Jumlah serbuk sari per antera tidak dipengaruhi oleh BAP maupun ZnSO4,
dengan rata-rata antara 861.1 sampai 876.6 butir per antera. Sharma et al. (1990)
menyebutkan bahwa pemberian Zn sebelum perkembangan antera atau sebelum
mikrospora terbentuk dapat meningkatkan viabilitas serbuk sari, yang dipengaruhi
oleh kemampuan tanaman untuk menyerap Zn. Aplikasi Zn melalui daun pada
jagung mampu meningkatkan ukuran antera dan perkecambahan serbuk sari,
tetapi tidak meningkatkan jumlah serbuk sari per antera.
Produksi TSS
Aplikasi BAP meningkatkan persentase pembentukan kapsul per umbel
(Gambar 3). Tanpa aplikasi BAP, tanaman menghasilkan 9.6 kapsul per umbel,
sementara dengan aplikasi BAP meningkatkan jumlah kapsul menjadi 20.2−22.2
kapsul per umbel (Tabel 6), meningkat sebesar 56.76% dari tanaman kontrol.
Peningkatan jumlah kapsul tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah bunga
per umbel dan peningkatan viabilitas serbuk sari (Tabel 4). Hasil yang sama juga
ditunjukkan pada persentase pembentukan kapsul. Tanaman yang tidak diberi
perlakuan BAP hanya mampu menghasilkan kapsul sebesar 26.99%. Persentase
pembentukan kapsul tertinggi diperoleh dari perlakuan BAP 100 ppm yaitu

16

a

b

c

Gambar 3 Pembentukan kapsul: tanpa BAP (a); BAP 50 ppm (b);
BAP 100 ppm (c)
sebesar 78.76%, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan BAP 50 ppm,
sebesar 69.86%. Peningkatan pembentukan kapsul dengan perlakuan BAP
mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah TSS per umbel. Tanpa aplikasi
BAP, tanaman hanya menghasilkan TSS 23.9 butir per umbel, dengan aplikasi
BAP meningkat sebesar 54.0−64.5% menjadi 52−67.4 butir per umbel.
Pemberian berbagai dosis ZnSO4 tidak meningkatkan produksi TSS.
Rata−rata jumlah kapsul per umbel sebanyak 17.13 kapsul. Pemberian ZnSO4 juga
tidak memengaruhi jumlah TSS per umbel, rata-rata sebanyak 47.78 butir per
umbel. Rendahnya pembentukan TSS per umbel disebabkan oleh rendahnya
persentase pembentukan kapsul per umbel dengan rata−rata 58.5% (Tabel 6).
Salama et al. (2012) melaporkan pemberian 2−3 kg Zn ha-1 pada tanaman tomat
meningkatkan pembentukan buah sekitar 59.1−67.6%. Pemberian ZnSO4 diduga
mampu meningkatkan metabolisme dan biosintesis auksin. Oleh karena itu,
peningkatan produksi TSS melalui peningkatan persentase pembentukan kapsul
perlu diupayakan.
Tabel 6 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap jumlah kapsul per umbel,
pembentukan kapsul (%), dan jumlah TSS per umbel di Subang*
Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100
Dosis ZnSO4 (kg ha-1)
0
1
2
3
Rata-rata
BAP x ZnSO4
KK (%)
*

Jumlah kapsul
per umbel

Pembentukan
kapsul (%)

Jumlah TSS per
umbel (butir)

9.6 b
22.2 a
20.2 a

26.99 b
69.86 a
78.76 a

23.9 b
67.4 a
52.0 a

15.3
16.8
20.0
16.4
17.13
tn
33.83

52.13
72.37
60.13
49.52
58.54
tn
28.69

45.03
50.35
48.72
47.03
47.78
tn
29.83tr

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi

17
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak ada interaksi antara BAP dan
ZnSO4 namun analisis statistik secara tunggal menunjukkan BAP memengaruhi
bobot TSS per umbel, per tanaman, dan per plot (Tabel 7). Aplikasi 50−100 ppm
BAP mampu meningkatkan bobot TSS. Peningkatan bobot TSS per umbel sebesar
0.184−0.186 butir atau meningkat sebesar 60.87−61.29% dibandingkan tanaman
kontrol. Sementara peningkatan bobot TSS per tanaman mencapai 1.9−2.4 kali
lipat dibandingkan tanaman kontrol (0.093 g). Sama halnya dengan bobot TSS per
plot yang meningkat sebesar 50.88−62.43% atau sebesar 2.04−5.43 kali lipat
dibandingkan tanaman kontrol (0.115 g). Walaupun perlakuan BAP meningkatkan
produksi TSS, namun peningkatan bobot TSS tersebut masih cukup rendah yang
disebabkan oleh rendahnya jumlah umbel per tanaman (0.1−0.8 umbel per
tanaman) (Tabel 4). Rata−rata jumlah umbel per plot yang dipanen juga rendah
yaitu 2.8 umbel, sehingga menyebabkan rendahnya rata−rata bobot TSS per plot
yaitu 0.420 g. Hasil bobot TSS per plot yang diperoleh Rosliani et al. (2013) di
tempat yang sama dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP sebesar 1.138 g.
Aplikasi berbagai dosis ZnSO4 tidak meningkatkan produksi TSS (Tabel 7).
Rata-rata bobot TSS per umbel sebesar 0.147 g, sedangkan rata-rata bobot TSS
per tanaman sekitar 0.161 g.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi TSS sangat berfluktuasi
dan dipengaruhi oleh kondisi iklim. Kelembapan udara yang tinggi (87%)
(Lampiran 2) juga menyebabkan perkembangan umbel terganggu, disebabkan
adanya cendawan Alternatia porri atau bercak ungu.
Tabel 7 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot TSS per umbel (g),
bobot TSS per tanaman (g), dan bobot TSS per plot (g) di Subang*
Bobot TSS per
umbel (g)

Bobot TSS per
tanaman (g)

Bobot TSS per
plot (g)

0.072 b
0.186 a

0.093 b
0.176 a

0.115 b
0.527 a

0.184 a

0.225 a

0.624 a

0.134

0.120

0.310

1

0.138

0.162

0.433

2

0.174

0.203

0.464

3

0.144

0.159

0.471

Rata-rata

0.147

0.161

0.420

tn

tn

tn

8.69

10.81

20.67

Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100
-1

Dosis ZnSO4 (kg ha )
0

BAP x ZnSO4
KK (%)
*

Angka-angka pada kolom yang sama disetiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama
tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata

18
Mutu TSS
Aplikasi BAP dan ZnSO4 tidak menunjukkan interaksi yang memengaruhi
mutu TSS, begitu pula dengan aplikasi secara tunggal (Tabel 8), kecuali pada
persentase potensi tumbuh maksimum TSS (Tabel 9). Aplikasi BAP tidak
berpengaruh terhadap rata−rata bobot 100 butir, yaitu sebesar 0.358 g, sedangkan
penelitian Rosliani et al. (2013) menghasilkan rata−rata bobot 100 butir TSS lebih
besar, yaitu 0.395 g. Bobot TSS yang lebih rendah ini (9.37%) diduga dipengaruhi
oleh suhu udara di Subang bulan Mei−Juni 2014 lebih rendah (berkisar 26.6−27
0
C) (Lampiran 2) dibandingkan ketika penelitian dibulan yang sama tahun 2012
(berkisar 28.28−28.81 0C). Hasil penelitian ini memperkuat penelitian Hilman et
al. (2014) yang menjelaskan bahwa suhu yang lebih tinggi dapat memperbaiki
mutu TSS. Rata−rata daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh
juga tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP, berturut-turut sebesar 70.51%, 39.83%,
dan 9.85 % hari-1.
Tabel 8 Pengaruh perlakuan BAP dan ZnSO4 terhadap bobot 100 butir (g), daya
berkecambah (%), indeks vigor (%), dan KCT (% hari-1) di Subang*
Perlakuan
Konsentrasi BAP (ppm)
0
50
100
Rata-rata
Dosis ZnSO4 (kg ha-1)
0
1
2
3
Rata-rata
BAP x ZnSO4
KK (%)

Bobot 100
butir (g)

Daya
berkecambah
(%)

Indeks
vigor
(%)

KCT (% hari-1)

0.325
0.365
0.359
0.358

69.78
71.25
70.50
70.51

40.00
40.25
39.25
39.83

9.73
9.97
9.85
9.85

0.352
0.350
0.369
0.360
0.358

72.00
75.33
72.00
61.33
70.17
tn
26.26

41.00
44.00
39.00
34.22
39.56
tn
19.41tr

10.10
10.65
9.45
9.41
9.90

tn
5.12

tn
29.36

*

Angka-angka pada kolom yang sama di setiap perlakuan dan diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); tn: tidak nyata; tr:hasil transformasi

Kecambah normal Allium cepa dicirikan dengan adanya akar primer yang
tidak kerdil, memiliki kotiledon yang panjang, tidak tebal serta membentuk
lekukan yang jelas (Gambar 4). Kecambah bawang merah yang tidak memiliki
akar primer meskipun terdapat banyak akar sekunder tergolong abnormal (Ditjen
Tanaman Pangan 2005). Daya berkecambah TSS tanpa aplikasi ZnSO4 tidak
berbeda nyata pengaruhnya dengan aplikasi ZnSO4 dosis 1−3 kg ha-1, berkisar
61.33−75.33%. Rata−rata day