INFLUENCE OF PRIMORDIALISM PRACTICAL IN CANDIDATE OF LOCAL GOVERNMENT ADMINSTRATOR (CPNSD) RECRUITMENT TOWARD JOB PROFESSIONALISM OF GOVERNMENT ADMINISTRATOR

(1)

INFLUENCE OF PRIMORDIALISM PRACTICAL IN CANDIDATE OF LOCAL GOVERNMENT ADMINSTRATOR (CPNSD)

RECRUITMENT TOWARD JOB PROFESSIONALISM OF GOVERNMENT ADMINISTRATOR

(Study about Perception of Local Government Administrator Candidate at Lampung Province Government Period of Year 2009)

By

ARY KURNIAWANSYAH

The main issue of this research is there primordialism practical at Candidate of Local Government Adminstrator (CPNSD) recruitment era in local autonomy era, that should be stressed toward capacity and capability of CPNSD. Primordialism practical in CPNSD recruitment was a situation that some people received as Local Government Administrator were have a ethnical and family relation with some major government. This phenomenon will be caused social gap and conflict, among people and caused public unbelieveness toward local government.

The formula of this research is: “How is the response of Candidate of CPNSD toward primordialism practical in CPNSD Recruitment at Lampung Province Government Period of Year 2009 and how the influence of primordialism is practical in CPNSD Recruitment toward job professionalism of Government Administrator?” The purpose of this research is to know the response of CPNSD


(2)

Candidate of CPNSD Recruitment toward job professionalism of Government Administrator.

The type of this research is explanative. Sample of this research are Local Government Administrator in Recruitment at Lampung Province Government Period of Year 2009 counted 59 people. Data collecting techniques conducted by questionnaire, interview and documentation. The data analyze by Product Moment Correlation formula and Determination Coefficient.

Based on the result and discussion of the research, the conclusions of this research is primordialism practical in CPNSD Recruitment influenced toward job professionalism of Government Administrator with value 76,7%. It mean the less professionalism of Government Administrator influenced significantly by primordialism practical in Candidate of CPNSD Recruitment


(3)

PENGARUH PRAKTIK PRIMORDIALISME DALAM PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH (CPNSD) TERHADAP

PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI

(Studi Tentang Persepsi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung Periode Tahun 2009)

Oleh

ARY KURNIAWANSYAH

Masalah dalam penelitian ini adalah adanya praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD di era otonomi daerah yang seharusnya lebih menekankan kapasitas dan kapabilitas CPNSD. Primordialisme merupakan suatu keadaan di mana orang-orang yang diterima sebagai CPNSD adalah mereka yang memiliki keterikatan secara etnis atau kekerabatan dengan para pejabat pemerintah daerah dan mengesampingkan kriteria ideal yang lain. Fenomena ini akan berdampak pada kecemburuan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan ketidak percayaan publik terhadap pemerintah daerah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD terhadap profesionalisme kerja pegawai dilihat dari persepsi CPNSD itu sendiri. Tipe penelitian yang digunakan eksplanatif dengan pendekatan kuantitatif. Sampel penelitian adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang diterima pada Periode Tahun 2009 yang berjumlah 59 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik


(4)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik primordialisme dalam Penerimaan CPNSD berpengaruh terhadap randahnya profesionalisme kerja PNS dengan nilai sebesar 76,7%. Hal ini berarti bahwa rendahnya profesionalisme kerja CPNSD dipengaruhi secara signifikan oleh adanya praktik primordialisme pada proses penerimaan CPNSD.


(5)

A. Latar Belakang Masalah

Bergulirnya era otonomi daerah di Indonesia membawa perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan beralihnya sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Perubahan ini berimplikasi pada kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola dan memberdayakan serta mewujudkan kemandirian daerah, termasuk dalam hal kemandirian pengelolaan sumber daya manusia.

Sumber daya manusia sebagai salah satu isu strategis otonomi daerah memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan kemandirian daerah dengan sifatnya yang dimanis dan aktif. Di dalam pemerintahan, sumber daya manusia ini tercermin pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pelaksana pemerintahan. Sehingga pemberdayaan PNS juga menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pengembangan PNS tidak hanya terkait dengan organisasi saja tetapi juga harus sampai kepada pengembangan sebagai individu. Pengembangan PNS erat kaitannya dengan kesempatan untuk mengaktualisasi diri melalui peningkatan kemampuan intelektual atau skill maupun kemampuan manajerial.


(6)

Permasalahan yang melatar belakangi penelitian ini adalah secara ideal pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan berbagai sumber daya daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan perekonomian daerah, penyebar luasan pembangunan, peningkatan stabilitas sosial dan keamanan masyarakat serta peningkatan pemberdayaan masyarakat. Namun pada kenyataannya tujuan dan hakikat otonomi daerah membawa dampak yang buruk, di mana para elit pemerintah daerah memiliki kesempatan dan peluang yang sangat luas untuk menyalah gunaan wewenang pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD).

Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam hal penerimaan atau rekrutmen CPNSD, yang diduga banyak diwarnai dengan kecurangan yaitu besarnya peluang praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) penerimaan CPNSD. Penerimaan CPNSD yang diselenggarakan oleh setiap daerah otonom semakin membuka peluang terjadinya kecurangan tersebut, sebab sangat terbuka kemungkinan bahwa mereka yang terseleksi menjadi CPNSD adalah yang memiliki kedekatan secara personal dengan para pejabat daerah otonom atau memiliki dukungan finansial yang besar. Demikian pula halnya dengan penerimaan CPNSD di Provinsi Lampung Tahun 2009 lalu, di mana terdapat indikasi kecurangan yang salah satu bentuknya adalah kentalnya isu primordialisme dalam penerimaan CPNSD.


(7)

Primordialisme berasal dari dua suku kata dalam Bahasa Latin yaitu primus

yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Secara sosiologis dapat diartikan sebagai pandangan yang lebih mengutamakan orang-orang yang berada dalam ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dalam segala hal. Berbagai bentuk ikatan primordialisme yang melekat dalam alam bawah sadar manusia mudah sekali dibangkitkan atau ditumbuhkan untuk berbagai tujuan dan kepentingan manusia tersebut. Primordialisme merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya (Galtung Miall, 2000: 34).

Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompok, namun di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki etnosentrisme, yaitu sikap yang cenderung subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya (Galtung Miall, 2000: 36).

Primordial merupakan ketertanaman nilai-nilai, perasaan-perasaan, wawasan-wawasan yang tersosialisasikan sejak kecil merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Primordialisme dapat berkembang menjadi primordialisme fanatik, apabila manusia sudah tidak menganggap lagi pluralitas sebagai kesatuan bangsa, keterikatan primordial menjadi lebih dominan di dalam dirinya, berbahaya karena akan ada kecenderungan


(8)

menguasai golongan lain karena merasa dirinya (dalam konteks individu) atau golongannya (dalam konteks sosial) lebih baik dari yang lain (Galtung Miall, 2000: 38).

Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangat susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu menguntungkan bagi dirinya. Menghilangkan rasa primordialisme dalam pelayanan publik, antara lain aparatur pemerintah harus melakukannya dengan mengedepankan rasa nasionalisme dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda agama, suku, budaya, tetapi tetap satu untuk membangun bangsa dan negara, juga ketika melayani kepentingan publik tidak hanya untuk kepentingan pribadi tapi harus untuk kepentingan orang banyak. Sehingga masyarakat dan pemerintah bersatu dalam kebersamaan dalam membangun sistem pelayanan publik yang handal demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang berkesinambungan bangsa Indonesia saat ini (Galtung Miall, 2000: 40).

Primordialisme dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai adanya kecenderungan penerimaan CPNSD oleh pemerintah daerah, di mana orang-orang yang diterima adalah mereka yang memiliki keterikatan secara etnis atau kekerabatan dengan para pejabat pemerintah daerah. Fenomena ini tentunya akan berdampak pada kecemburuan dan konflik sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan dapat mengakibatkan ketidak percayaan publik terhadap pemerintah daerahnya. Akibat jangka panjang lainnya adalah dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.


(9)

Oleh karena itu untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang pluralis dibutuhkan demokrasi dan keadilan sosial, dengan keterbukaan di mana harapan, tuntutan, kritikan, dan penolakan masyarakat dapat terungkap dan tersalurkan sehingga terbangunlah interaksi sebagai bangsa Indonesia yang lebih komunikatif dan adil. Segala bentuk ego primordialisme dapat ditekan, dan dengan menyadari kepluralan bangsa Indonesia sebagai integrasi yang kuat dan mempunyai identitas sosial. Keterikatan sebagai satu bangsa menumbuhkan rasa nasionalisme.

Kemajemukan etnis/suku menjadi hal yang cukup menonjol pada masyarakat Provinsi Lampung khususnya, karena komposisi masyarakat pendatang serta pengaruh geografis Provinsi Lampung menjadi sangat dominan dibandingkan dengan masyarakat suku Lampung itu sendiri, sehingga dikhawatirkan para pemegang kekuasaan atau wewenang dalam konteks otonomi daerah seperti saat ini akan lebih memihak pada orang yang satu suku atau memiliki hubungan keluarga dengannya (Ardiansyah, 2009).

Sebagai contoh adanya praktik primordialisme dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Provinsi Lampung Tahun 2009 adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Pringsewu, di mana salah seorang peserta bernama Ganda Febriansyah yang lulus pada Formasi Tata Praja Pemerintah Kabupaten Pringsewu. Pada seleksi CPNSD Tahun 2008, Ganda Febriansyah pernah menjalani proses hukum karena kasus perjokian dalam seleksi CPNSD (Sumber:Radar LampungEdisi 31 Desember 2009).


(10)

Kasus lain adanya dugaan primordialisme dalam Penerimaan CPNSD terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, di mana tiga orang peserta bernama Fadho Riyansyah, Sri Lidia dan Erma Juwita yang diduga tidak mengikuti ujian penerimaan pada 29 November 2009 tetapi dinyatakan lulus pada Formasi Analis Kelembagaan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang (Sumber:Tribun LampungEdisi 9 Januari 2010).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian untuk menggambarkan praktik primordialisme dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Provinsi Lampung. Penelitian ini akan dilakukan pada masyarakat Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang diterima pada tahun 2009.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah tanggapan CPNSD terhadap praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009?

2. Bagaimanakah pengaruh praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD terhadap profesionalisme kerja pegawai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tanggapan CPNSD terhadap praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009.


(11)

2. Untuk mengetahui pengaruh praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD terhadap profesionalisme kerja pegawai.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya khazanah keilmuan dan pengembangan disiplin Ilmu Pemerintahan, khususnya kajian mengenai praktik primordialisme penerimaan CPNSD pada Provinsi Lampung

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai kontribusi bagi pihak-pihak yang akan membutuhkan informasi dan akan melakukan penelitian mengenai praktik primordialisme penerimaan CPNSD. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak Pemerintah Provinsi Lampung agar pada masa-masa mendatang lebih mengedepankan profesionalisme, kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia, sehingga tidak ada lagi primordialisme dalam penerimaan CPNSD.


(12)

A. Tinjauan Tentang Praktik

Menurut Poerwadarminta (1996: 973), secara etimologis praktik berasal dari suku kata dalam Bahasa Inggris yaitu practice, yang berarti memperagakan atau melakukan suatu pekerjaan tertentu.

Menurut Keraf (1998: 336), praktik adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan dengan perencanaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Praktik mengacu pada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu hal yang diinginkan atau dikehendaki.

Menurut Ali Imron (2002: 28), praktik adalah aplikasi atau implementasi teori mengenai sesuatu hal, yang dilakukan dengan prosedur atau tata cara yang telah ditentukan sebelumnya, sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa praktik adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terencana atau telah ditentukan sebelumnya untuk memperoleh hasil sesuai dengan harapan. Dalam penelitian ini, praktik primordialisme dilakukan dengan harapan agar seseorang atau sekelompok orang diterima


(13)

menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung.

B. Tinjauan Tentang Primordialisme Menurut Miall Galtung (2000: 22):

Primordialisme berasal dari dua suku kata dalam Bahasa Latin yaitu

primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Secara sosiologis dapat sebagai pandangan yang lebih mengutamakan orang-orang yang berada dalam ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dalam segala hal. Berbagai bentuk ikatan primordialisme yang melekat dalam alam bawah sadar manusia mudah sekali di bangkitkan atau ditumbuhkan untuk berbagai tujuan dan kepentingan manusia tersebut. Primordialisme merupakan sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.

Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya, namun di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya.

Primordial merupakan ketertanaman nilai-nilai, perasaan-perasaan, wawasan-wawasan yang tersosialisasikan sejak kecil merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Primordialisme dapat berkembang menjadi primordialisme fanatik, apabila manusia sudah tidak menganggap lagi


(14)

pluralitas sebagai kesatuan bangsa, keterikatan primordial menjadi lebih dominan di dalam dirinya, berbahaya karena akan ada kecenderungan menguasai golongan lain karena merasa dirinya (dalam konteks individu) atau golongannya (dalam konteks sosial) lebih baik dari yang lain.

Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Menghilangkan rasa primordialisme dalam pelayanan publik, antara lain aparatur pemerintah harus melakukannya dengan mengedepankan rasa nasionalisme dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda agama, suku, budaya, tetapi tetap satu untuk membangun bangsa dan negara, juga ketika melayani kepentingan publik tidak hanya untuk kepentingan pribadi tapi harus untuk kepentingan orang banyak. Sehingga masyarakat dan pemerintah bersatu dalam kebersamaan dalam membangun sistem pelayanan publik yang handal demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang berkesinambungan bangsa Indonesia saat ini.

Selanjutnya menurut Miall Galtung (2000: 22), ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam rangka mengurangi primordialisme, khususnya dalam kerangka otonomi daerah, yaitu sebagai berikut:

1. Pemberdayaan masyarakat

Upaya untuk membebaskan masyarakat terperangkap dalam keterbelakangan dan penderitaan, diperlukan kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada kesejahteraan dan pemerataan. Misalnya dengan melaksanakan regulasi program-program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, yakni penyediaan sarana dan prosarana pendidikan, kesehatan, pemasaran hasil produksi dan transportasi yang selama ini


(15)

berorientasi kepada daerah perkotaan dan lebih memihak kepada pelaku akumulasi kapital.

2. Pengakuan dan pembauran kultur dominan

Masyarakat plural dan komunal, persoalan identitas kelompok etnis sangat mengganggu hubungan asimilasi dan interaksi di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Karena, sebagaimana yang telah diuraian sebelumnya bahwa besar (kuat) atau kecil (merosot) identitas kelompok etnis ditentukan oleh kondisi eksternal, yakni: tingkat penderitaan antara kelompok etnis lokal dibandingkan dengan etnis lainnya, tingkat perbedaan kultur antara kelompok etnis lokal dengan etnis lain, itensitas konflik antar kelompok etnis, dengan kelompok lain maupun dengan negara (pemerintah).

Agar faktor eksternal tersebut tidak merupakan hambatan dalam proses interaksi dan asimilasi sosial dalam masyarakat, maka diperlukan sebuah kebijakan dalam upaya mewujudkan budaya dominan (dominan culture) sebagai wadah pembaharuan (melting pot) bagi masyarakat migran yang plural. Misalnya, kebijakan dalam bidang sosial, yakni pengangkatan nilai-nilai budaya lokal dalam kehidupan, dalam bidang ekonomi, pengakuan hak-hak masyarakat adat atas hutan sekitar desa dan dalam bidang politik, penggabungan beberapa etnis dalam organisasi masyarakat dan politik.

3. Pemilahan sosial untuk menjamin kohesi dan mobilisasi kelompok etnis

Pengorganisasian kepentingan sosial, ekonomi dan politik antar kelompok etnis yang berbeda latar (setting) identitasnya akan menjamin komunikasi dan interaksi yang padat (baik). Sebaliknya, kohesi dan mobilisasi atau komunikasi dan interaksi akan merosot (rusak) apabila kelompok itu pecah beberapa gerakan dan organisasi politik yang eksklusif atau tidak terjadi pembauran (pemilahan consolidated). Sangat diperlukan kebijakan agar pemilahan

consolidated pada masyarakat plural sangat dihindarkan terjadi, sebaliknya pemilahan antar kelompok dianjurkan. Misalnya, kebijakan dalam bidang sosial ekonomi yakni tidak adanya pengelompokan tempat tinggal dan lapangan usaha atas dasar dominasi etnis.

4. Menghilangkan kontrol represif kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.

Perlakuan atau tindakan daya paksa yang diterapkan dengan tidak adil oleh kelompok etnis dominan terhadap kelompok etnis minoritas, akan menciptakan rumput kering yang siap terbakar, apalagi dengan itensitas yang lebih sering akan mendorong kemarahan dan sikap selalu curiga. Kelompok etnis minoritas berada dalam status tertekan (rendah) memendam kekecewaan yang mendalam terhadap kelompok


(16)

dominan atau eksklusif, tetapi tidak melakukan tindakan menentang. Untuk menghindari agar kondisi kontrol represif kelompok dominan terhadap kelompok minoritas, maka diperlukan kebijakan dan penegakan hukum serta perbaikan mental aparat, agar tidak menumbuh kembangkan sikap eksklusif kontrol represif/tekanan oleh kelompok dominan. Misalnya, kebijakan dalam hukum atau peraturan pemerintah lainnya perlu memperhatikan dan mengadopsi hukum adat setempat.

Secara konseptual dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan primordialisme dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai adanya kecenderungan penerimaan CPNSD oleh pemerintah daerah, di mana orang-orang yang diterima adalah mereka yang memiliki keterikatan secara etnis atau kekerabatan dengan para pejabat pemerintah daerah. Dalam konteks penerimaan CPNSD, praktik primordialisme dapat berpengaruh terhadap rendahnya profesionalisme kerja pegawai yang bersangkutan, karena ia diterima tidak berdasarkan kapasitas dan kemampuannya dalam bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Wilson Simamora (2005: 46), bahwa apabila penerimaan pegawai tidak dilakukan secara ketat dan berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan keterampilan kerjanya maka hampir dapat dipastikan pegawai tersebut tidak dapat bekerja secara professional dan dampaknya akan mengganggu sistem organisasi yang bersangkutan.

C. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintahan 1. Pengertian Sumber Daya Manusia Pemerintahan

Menurut Sedarmayanti (2001: 42):

Sumber daya manusia merupakan aset utama suatu organisasi yang menjadi perencana dan pelaku aktif dari setiap aktivitas organisasi. Mereka mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status dan latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin yang heterogen yang


(17)

dibawa ke dalam suatu organisasi sehingga tidak seperti mesin, uang dan material yang sifatnya pasif dan dapat dikuasai serta diatur sepenuhnya dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.

Sumber daya manusia yang cakap, mampu dan terampil belum menjamin produktivitas kerja yang baik, apabila moral kerja dan kedisiplinannya rendah. Mereka baru bermanfaat dan dapat mendukung terwujudnya tujuan organisasi, jika mereka berkeinginan tinggi untuk berprestasi. Sumber daya manusia yang kurang mampu, kurang cakap dan tidak terampil, salah satunya mengakibatkan pekerjaan tidak dapat diselesaikan secara optimal dengan cepat dan tepat pada waktunya.

Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam suatu organisasi hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi yang bersangkutan supaya efektif dan efisien dalam menunjang tercapainya tujuan, penempatan pegawai juga harus sesuai dengan keinginan dan keterampilannya, sehingga gairah kerja dan kedisiplinannya akan lebih baik, serta efektif dalam menunjang terwujudnya tujuan organisasi.

Perbaikan kualitas aparatur pemerintah, harus dimulai sejak rekruitmen dengan menggunakan sistem yang menjamin diperolehnya sumber daya yang memang mempunyai kualitas dasar yang baik, pembinaan melalui penugasan yang mendidik, pengembangan program pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga siap pakai, peningkatan kesejahteraan yang memadai, dan pemberian jaminan hari tua.


(18)

Dalam hubungan ini Rasyid (2000: 41) menyatakan:

Aspek substansial, kebijakan penyiapan sumber daya aparatur yang profesional memerlukan definisi yang jelas tentang kualifikasi profesionalisme yang ingin dicapai pada berbagai bidang tugas. Otonomi daerah pada dasarnya akan terselenggara dengan baik apabila didukung oleh faktor-faktor seperti tersedianya sumber daya-sumber daya yang berkuatitas baik itu sumber daya manusia dan sumber daya alam dalam pelaksanaan otonomi daerah. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah perlu melakukan upaya pengembangan sumber daya manusia mengingat faktor sumber daya manusia merupakan faktor dominan yang menentukan kualitas sistem dan kegiatan administrasinya untuk mencapai tujuan dan pelaksanaan otonomi daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa otonomi daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah melalui sumber daya manusia yang berkualitas yang akan membuat kebijakan dan melaksanakan pembangunan sehingga daerah tersebut akan mampu mandiri. Oleh karena itu, pengembangan sumber daya manusia mutlak dilakukan untuk menghasilkan manusia yang profesional, bermoral, bertanggung jawab, kreatif, berprestasi dan berkualitas yang akan meningkatkan kualitas mutu pelayanan terhadap masyarakat.

2. Pengertian Pengembangan Sumber Daya Manusia

Aspek pengembangan sumber daya manusia menjadi bagian penting dalam upaya mengelola sumber daya manusia secara keseluruhan. Pada hakekatnya pengembangan sumber daya manusia mempunyai dimensi luas yang bertujuan meningkatkan potensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia, sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dalam organisasi


(19)

Menurut Siagian (1996: 182):

Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat sumber daya lainnya atau setidak-tidaknya pengolahan dan pemakaian sumber daya organisasi dapat secara berdaya guna dan berhasil guna. Pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak bagi suatu organisasi dalam menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk mencapai tujuan organisasi

Pencapaian tujuan organisasi tentunya harus ditempuh melalui suatu proses tahapan panjang yang dimulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan dan pemeliharaan potensi sumber daya manusia. Karena pengembangan sumber daya manusia (human resourses development) merupakan suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia, yaitu mencakup perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya manusia

Menurut Notoatmodjo (1998: 2-3):

Dalam hal ini pengembangan sumber daya manusia mempunyai ruang lingkup lebih luas dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap dan sifat-sifat kepribadian, sehingga dapat memegang tanggung jawab di masa yang akan datang.

Secara khusus dalam pengembangan sumber daya manusia yang menyangkut peningkatan segala potensi internal kemampuan diri manusia ini adalah didasarkan fakta bahwa seseorang pegawai akan membutuhkan serangkaian pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang berkembang untuk bekerja dengan baik dalam suksesi posisi yang ditemui selama karier. Dalam hal ini merupakan persiapan karier jangka panjang seseorang.


(20)

3. Kemandirian Penerimaan Pegawai Menurut Simamora (1995: 323):

Penerimaan pegawai merupakan salah satu bentuk kegiatan manajemen organisasi, yaitu menyangkut manajemen sumber daya manusia, maka pengelolaan rekrutmen harus dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan proses kegiatan organisasi. Sehingga kemandirian pengelolaan rekrutmen pun harus dilihat sebagai bentuk kemandirian organisasi bukan sebagai bentuk kemandirian individu (personal).

Kemandirian penerimaan pegawai dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya organisasi dan dukungan sarana prasarana, penggunaan kewenangan dan sistem prosedur yang ada, serta jaringan kerjasama dengan daerah lain, dalam rangka pemenuhan kebutuhan organisasi untuk melaksanakan proses rekrutmen.

Menurut Handoko (1994: 208-211), beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian rekrutmen pegawai adalah sebagai berikut:

a. Kewenangan

Sebagai faktor yang dapat menjelaskan kemandirian, kewenangan dalam sistem administrasi secara fungsional ternyata dapat diperbandingkan dengan sistem syarat dalam tubuh manusia. Asumsi ini mengacu kepada pernyataan yang menyebutkan bahwa tanpa otak dan syaraf tubuh manusia tidak berfungsi, tanpa sistem wewenang suatu organisasi juga tidak dapat berfungsi. Dengan demikian konsep wewenang (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Pendapat lain mengatakan kewenangan adalah kekuasaan; namun kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kedua bentuk ini dibedakan dalam keabsahannya..

b. Sistem Prosedur

Sistem prosedur merupakan faktor yang dapat menjelaskan kemandirian pengelolaan rekrutmen suatu organisasi, maka terlebih dahulu dapat dipahami bahwa organisasi tidak semata-mata merupakan perwujudan susunan organisasi, melainkan lebih


(21)

banyak pada pengaturan dan mekanisme kerjanya yang harus mampu menghasilkan pelayanan memadahi. Hal ini dikarenakan dengan mekanisme dan struktur maka organisasi memungkinkan sesuatu menjalankan aktivitasnya dengan hasil yang baik secara bersama-sama, karena organisasi adalah mekanisme maka perlu adanya sarana pendukung yang berfungsi memperlancar mekanisme itu, yaitu sistem dan prosedur.

4. Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD)

Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah sebutan bagi setiap Warga Negara Indonesia yang mengajukan diri atau melamar sebagai PNS di daerah, tempat yang bersangkutan mendaftarkan diri. Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, syarat-syarat Calon Pegawai Negeri Sipil adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima tahun);

c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan Putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan;

d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta;

e. Tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri;

f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan;

g. Berkelakuan baik;

h. Sehat jasmani dan rohani;

i. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik j. Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; dan k. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan;

(Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil)


(22)

Terkait dengan aturan main yang harus dipenuhi oleh Panitia Penerimaan Calom Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD), Pasal 2 PP 30 Tahun 1980, memaparkan beberapa kewajiban PNS, yaitu sebagai berikut:

a) Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah.

b) Mengutamakan kepcntingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;

c) Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;

d) Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e) Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;

f) Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;

g) Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tangung jawab;

h) Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara;

i) Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;

j) Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan dan materiil.

k) Mentaati ketentuan jam kerja;

l) Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;

m) Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya;

n) Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing.

o) Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya;

p) Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;

q) Menjadi dan memberikan contoh serta teladan baik terhadap bawahannya;

r) Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja

s) Memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengembangkan karier;

t) Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;


(23)

u) Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan berlaku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan atasan; v) Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk

agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;

w) Menjadi teladan sebagai warganegara yang baik masyarakat; x) Mentaati segala peraturan perundang-undangan peraturan

kedinasan yang berlaku;

y) Mentaati perintah kedinasan dari atasan berwenang;

z) Memperhatikan dan menyelesaikan dengan baiknya setiap laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin.

(Lembaga Administrasi Negara, 1998)

Selain itu larangan-larangan yang harus ditaati setiap PNS adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP 30 Tahun 1980, yaitu:

a) Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil

b) Menyalahgunakan wewenangnya;

c) Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara asing;

d) Menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga miiik Negara;

e) Memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjankan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik negara secara tidak sah;

f) Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak merugikan negara; g) Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud

membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;

h) Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; i) Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan

atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;

j) Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

k) Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersuiit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian;


(24)

m) Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan peribadi, golongan, atau pihak lain;

n) Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapat pekerjaan dari kantor/instansi Pemerintah;

o) Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya

p) Memiliki saham suatu perusahaan yang kehiatan usahanya tidak berada dalam ruang ; kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau penyelenggaraan jalannya perusahaan;

q) Melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan, komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I;

r) Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

(Lembaga Administrasi Negara, 1998)

D. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri Sipil 1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu undangan dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku (Lembaga Administrasi Negara, 1998).

2. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pegawai Negeri Sipil (PNS) berkedudukan sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang dengan kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, menyelenggarakan tugas


(25)

pemerintahan dan pembangunan. Kesetiaan dan ketaatan yang penuh tersebut mengandung pengertian bahwa PNS berada sepenuhnya di bawah pemerintah (Lembaga Administrasi Negara, 1998).

3. Hak Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Hak Pegawai Negeri Sipil (PNS) meliputi:

a) Memperoleh gaji yang layak sesuai dengan tanggung jawabnya b) Memperoleh cuti

c) Memperoleh perawatan bagi yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya

d) Memperoleh tunjangan bagi yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dan karena menjalankan tugas dan kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

e) Memperoleh uang duka bagu keluarga pegawai yang tewa menurut Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

f) Memperoleh pensiun bagi yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

g) Memperoleh kenaikan pangkat sesuai Pasal 18 Undang-Undang No 8 Tahun 1974

h) Menjadi peserta TASPEN menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1963

i) Menjadi peserta ASKES menurut Keppres Nomor 8 Tahun 1977 (Lembaga Administrasi Negara, 1998).

E. Teori Tentang Etika

Menurut Soerjono Soekanto (2002: 232):

Istilah etika berasal dari bahasa YunaniEthosdan ethikos yang berarti watak kesusilaan atau adapt, perasaan batin, kecendrungan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Etika identik dengan kata moral yang berasal dari kata latin mos yang dalam bentuk jamaknya mores yang juga berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral memiliki arti yang sama namun dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan, moral dipakai unuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai-nilai yang ada. Istilah lain dari etika, biasanya digunakan kata moral, susila, budi pekerti, akhlak.


(26)

Etika sebagai suatu ilmu yang normatif, dengan sendirinya berisi norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, ialah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Kesimpulannya etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat.

F. Profesionalisme Aparatur Pemerintahan Daerah Menurut Tjokrowinoto (1996: 191):

Profesionalisme adalah kecocokan antara kemampuan yang dimiliki oleh birokrasi dengan kebutuhan tugas. Terpenuhinya kecocokan antara kemampuan dengan kebutuhan tugas merupakan syarat terbentuknya aparatur yang profesional. Artinya keahlian dan kemampuan aparat merefleksikan arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi. Profesionalisme merupakan cermin dari kemampuan (competensi), yaitu memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilam (skill), bisa melakukan (ability) ditunjang dengan pengalaman (experience) yang tidak mungkin muncul tiba-tiba tanpa melalui perjalanan waktu.

Menurut Sedarmayanti (2001: 50-55), profesionalisme aparatur pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:

1. Performansi Aparatur

Performansi (performance) dapat diartikan menjadi prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/penampilan kerja Performance merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses yang lebih menekankan pada individu. Performansi mempunyai hubungan erat dengan produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja di suatu organisasi merupakan hal penting.


(27)

2. Akuntabilitas Aparatur

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggung jawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja atau tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban/keterangan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel.

b) Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan sesuai peraturan perundang-undangan.

c) Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

d) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh

e) Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyusunan laporan akuntabilitas.

3. Responsibilitas Aparatur

Profesionalisme aparatur dalam hubungannya dengan organisasi publik digambarkan sebagai bentuk kemampuan untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat atau disebut dengan istilah

responsivitas. Setiap aparat harus responsible atas pelaksanaan tugas-tugasnya secara efektif, yaitu dengan menjaga tetap berlangsungnya tugas-tugas dengan baik dan lancar, mengelolanya dengan profesional dan pelaksanaan berbagai peran yang dapat dipercaya.

4. Loyalitas Aparatur

Loyalitas aparatur yang berkaitan dengan karakteristik sosok profesionalisme adalah kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Kesetiaan tersebut terkait satu sama lain dan tidak ada kesetiaan yang mutlak diberikan kepada satu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Setiap aparatur harus mampu menampilkan loyalitasnya dalam pelaksanaan pekerjaan. Loyalitas ini tidak memandang tingkatan kepada siapa diberikan. Prioritas diberikan kepada kewajibannya sebagai aparatur. Loyalitas berkaitan dengan kemampuan mempertanggung jawabkan tugas pekerjaan, daya tanggap. Selain itu loyalitas tidak membeda-bedakan pemberian pelayanan atas dasar golongan tertentu.

5. Kemampuan Aparatur

Kemampuan dalam hal ini adalah kesanggupan melaksanakan tugas/pekerjaan dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia. Dengan pengertian ini dapat dijelaskan bahwa


(28)

keterampilan lebih banyak menggunakan unsur anggota badan dari pada unsur lain, seperti otot, saraf, perasaan dan pikiran, dengan kombinasi yang berbeda dari masing-masing unsur, tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan

6. Kompetensi Aparatur

Kompetensi adalah suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan secara. Ketidak samaan dalam kompetensi-kompetensi inilah yang membedakan seseorang perilaku unggul dari perilaku yang berprestasi rata-rata. Untuk mencapai kinerja sekedar cukup atau rata-rata diperlukan kompetensi batas atau kompetensi esensial. Kompetensi batas dan kompetensi istimewa tertentu merupakan pola atau pedoman dalam pemilihan karyawan, perencanaan pengalihan tugas dan penilaian kinerja.

G. Kerangka Pikir

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, terutama berkaitan dengan pengelolaan berbagai sumber daya daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan perekonomian daerah, penyebar luasan pembangunan, peningkatan stabilitas sosial dan keamanan masyarakat serta peningkatan pemberdayaan masyarakat. Namun pada kenyataannya tujuan dan hakikat otonomi daerah membawa dampak yang buruk, di mana para elit pemerintah daerah memiliki kesempatan dan peluang yang sangat luas untuk menyalah gunaan wewenang pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD).

Salah satu kewenangan tersebut adalah dalam hal penerimaan atau rekrutmen CPNSD, yang diduga banyak diwarnai dengan kecurangan yaitu besarnya peluang praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) penerimaan CPNSD.


(29)

Penerimaan CPNSD yang diselenggarakan oleh setiap daerah otonom semakin membuka peluang terjadinya kecurangan tersebut, sebab sangat terbuka kemungkinan bahwa mereka yang terseleksi menjadi CPNSD adalah yang memiliki kedekatan secara personal dengan para pejabat daerah otonom atau memiliki dukungan finansial yang besar. Demikian pula halnya dengan penerimaan CPNSD di Provinsi Lampung Tahun 2009 lalu, di mana terdapat indikasi kecurangan yang salah satu bentuknya adalah kentalnya isu primordialisme dalam penerimaan CPNSD.

Apabila primordialisme dalam penerimaan CPNSD tidak dihilangkan maka akan dikhawatirkan berdampak pada tidak adanya profesionalisme PNS dalam melaksanakan kinerjanya sebagai aparatur pemerintahan. Profesionalisme PNS yang dimaksud dalam penelitian ini mengikuti pendapat Sedarmayanti (2001: 50-55), dengan alasan bahwa komponen-komponen profesionalisme kerja pegawai yang dikemukakannya sudah cukup lengkap dan beragam, yang meliputi performansi, akuntabilitas, responsibilitas, loyalitas, kemampuan dan kompetensi aparatur.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tanggapan CPNSD terhadap praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009 dengan berdasarkan pada pendapat Wilson Simamora (2005: 46), dan mengetahui pengaruh praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD terhadap profesionalisme kerja pegawai


(30)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan kerangka pikir berikut:

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

H. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2001: 112), hipotesis berasal dari Bahasa Latin yaituhypo

yang berarti dugaan dan thesisyang berarti dalil. Jadi hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar atau mungkin salah. Hipotesis merupakan suatu pernyataan yang merupakan dugaan sementara yang bisa benar bisa salah yang perlu diuji melalui penelitian.

Berdasarkan pengertian di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho : Praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung

tahun 2009 tidak berpengaruh terhadap rendahnya profesionalisme kerja pegawai.

Ha : Praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009 berpengaruh terhadap rendahnya profesionalisme kerja pegawai.

Praktik Primordialisme pada Penerimaan CPNSD

pada Pemerintah Provinsi Lampung

Tahun 2009

Pengaruh primordialisme Terhadap profesionalisme kerja PNS

a. Performansi pegawai b. Akuntabilitas pegawai c. Responsibilitas pegawai d. Loyalitas pegawai e. Kemampuan pegawai


(31)

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian eksplanatif. Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2002: 13):

Penelitian eksplanatif adalah suatu jenis penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena yang diteliti berdasarkan data atau fakta yang terjadi di lapangan penelitian. Penelitian eksplanatif menjelaskan berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya suatu peristiwa, dengan ciri yaitu menjelaskan antar hubungan atau pengaruh antara variabel independen (bebas) dan dependen (terikat).

Tipe deskriptif kuantitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui tanggapan CPNSD terhadap praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009 dan untuk mengetahui pengaruh praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD terhadap profesionalisme kerja pegawai.

B. Definisi Konseptual

Menurut Singarimbun dan Effendi (2002: 121), definisi konseptual adalah pemaknaan dari konsep yang digunakan, sehingga memudahkan peneliti untuk mengoperasikan konsep tersebut di lapangan. Berdasarkan definisi tersebut maka definisi konsep dalam penelitian ini diambil dari pendapat Sedarmayanti (2001: 50-55), yaitu sebagai berikut:


(32)

1. Praktik adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terencana atau telah ditentukan sebelumnya untuk memperoleh hasil sesuai dengan harapan

2. Primordialisme adalah suatu pandangan yang lebih mengutamakan atau mementingkan orang-orang yang berada dalam ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dalam segala hal.

3. Penerimaan pegawai adalah suatu bagian dari aktivitas manajemen sumber daya manusia dalam organisasi, yaitu dengan merekrut pegawai baru untuk memenuhi kebutuhan pegawai dalam organisasi tersebut

4. Profesionalisme pegawai adalah suatu bentuk kecakapan dan keandalan (performansi) aparatur dalam menjalankan pekerjan sesuai bidang tugas masing-masing secara responsif dan bertanggungjawab (akuntabel) dengan tingkat loyalitas yang tinggi sehingga dapat terlaksana dengan mutu baik, cermat dan tepat sesuai tingkat kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya.

C. Definisi Operasional

Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Effendy (2002: 123), definisi operasional adalah petunjuk bagaimana suatu variabel diukur, dengan membaca definisi operasional dalam penelitian maka akan diketahui baik buruknya variabel.

Berdasarkan definisi tersebut maka definisi konsep dalam penelitian ini diambil dari pendapat Sedarmayanti (2001: 50-55), yaitu sebagai berikut:


(33)

1. Pengaruh primordialisme pada performansi pegawai, yaitu tidak adanya tampilan kecakapan dan kehandalan dalam melaksanakan pekerjaan yang dapat diketahui dari kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan dalam satu kesatuan waktu dan ukuran tertentu sehingga meningkatkan prestasi kerja. 2. Pengaruh primordialisme pada akuntabilitas pegawai, yaitu menurunnya

kewajiban pegawai untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerjanya kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban.

3. Pengaruh primordialisme pada responsibilitas pegawai, yaitu tidak adanya daya tanggap pegawai dalam mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda, memprioritaskan pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. 4. Pengaruh primordialisme pada loyalitas pegawai, yaitu tidak adanya

kesetiaan pada pekerjaannya utamanya yaitu melayani masyarakat.

5. Pengaruh primordialisme pada kemampuan pegawai, yaitu tidak baiknya kemampuan, sikap dan perilaku pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien, khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Menurut Sugiyono (2005: 98), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik


(34)

kesimpulannya. Berdasarkan pengertian tersebut maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang diterima pada Periode Tahun 2009 dengan jumlah 141 CPNSD.

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2001: 111), sampel adalah sebagian dari populasi yang ditetapkan sebagai unit analisis dalam suatu penelitian. Perhitungan besarnya sampel dilakukan dengan menggunakan rumus:

1 Nd N n 2   Keterangan :

n = Besarnya sampel N = Jumlah populasi d = Nilai presisi (10%)

1 = Bilangan Konstant (Sugiyono, 2001: 112)

Berdasarkan rumus di atas maka perhitungan besarnya sampel adalah:

1 ) 1 , 0 ( 141 141 2n 1 ) 01 , 0 ( 141 141   1 1,41 141   2,41 141

 = 58.51 CPNSD

Dengan demikian maka besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 58.51 orang, dibulatkan menjadi 59 CPNSD.

E. Jenis Data

Jenis data penelitian ini meliputi :

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber penelitian atau lokasi penelitian. Penulis mengambil data primer dengan cara meyebarkan kuesioner pada responden penelitian.


(35)

2. Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian, seperti buku, majalah, atau literatur lain. Penulis mengambil data sekunder dengan studi dokumentasi dan mencatat bahan-bahan yang diperlukan pada bab IV.

F. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

1. Kuisioner, yaitu memberikan daftar pertanyaan atau kuesioner tertulis dengan menyertakan alternatif jawaban pilihan ganda. Penulis menyebarkan kuesioner penelitian kepada responden pada bulan Juni 2010, yaitu para 59 CPNSD di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang diterima pada Periode Tahun 2009.

2. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan responden penelitian untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian. Penulis melakukan wawancara dengan perwakilan responden untuk medapatkan data tambahan yang dibutuhkan.

3. Dokumentasi, mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber atau referensi yang terkait dengan penelitian, seperti buku, majalah, atau literatur lainnya. Penulis melakukan studi dokumentasi dengan mengambil data berupa profil Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Lampung dan dokumentasi pengumuman CPNSD Provinsi Lampung.

G. Skala Data dan Penentuan Skor

Skala data yang digunakan dalam penelitian ini skala ordinal. Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (2002: 102), skala ordinal adalah skala yang


(36)

digunakan peneliti untuk mengurutkan responden dalam tingkatan mulai dari paling rendah sampai paling tinggi. Dalam penelitian ini skor ditentukan dengan menggunakan 3 jenjang, dengan penentuan skor yaitu Jawaban A diberi skor 3, Jawaban B diberi skor 2 dan Jawaban C diberi skor 1.

Argumen penulis dalam menggunakan skala ordinal adalah data primer akan dapat dengan mudah dikelompokkan menjadi tiga kategori, sehingga tidak terjadi bias jawaban dalam analisis data.

H. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Editing, dengan cara memeriksa kembali data yang telah diperoleh, mengenai kesempurnaan jawaban atau kejelasan penulisan. Tahap ini penulis lakukan dengan memeriksa jawaban responden pada kuesioner penelitian untuk mengetahui kelengkapan isian jawaban dan mengedit data dokumentasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

2. Koding, dengan cara memberi kode-kode tertentu pada jawaban di daftar pertanyaan untuk memudahkan pengolahan data. Tahap ini penulis lakukan dengan cara memberikan kode pada jawaban responden, yaitu Jawaban A diberi kode 3, Jawaban B diberi kode 2 dan Jawaban C diberi kode 1, sebagaimana terdapat pada Lampiran 2.

3. Tabulasi, dengan cara merumuskan data dalam tabel setelah diklasifikasikan berdasarkan kategori yang sama, lalu disederhanakan dalam tabel tunggal. Tahap ini penulis lakukan dengan menyajikan data ke


(37)

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagaimana terdapat pada hasil penelitian dan pembahasan.

I. Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan variabel X terhadap variabel Y digunakan rumus korelasiProduct Momentsebagai berikut:

rxy =



 

                

N y Y N X X N Y X xy 2 2 2 2 Keterangan:

rxy = Koefesien korelasi antara variabel X dan variabel Y

XY= Hasil perkalian antara variabel X dan Y X = Hasil skor kuesioner variabel X

Y = Hasil skor kuesioner variabel Y

X2 = Hasil perkalian kuadrat dari hasil kuesioner variabel X Y2 = Hasil perkalian kuadrat dari hasil kuesioner variabel Y N = Besarnya sampel (Suharsimi Arikunto, 2000: 161)

Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel X terhadap variabel Y digunakan rumus Koefisien Penentu (KP) yaitu:

KP = r x 100% Keterangan :

KP = Koefisien Penentu

r = Nilai KorelasiProduct Moment

Besarnya nilai pengaruh yang telah didapat selanjutnya dibandingkan koefesien interpretasi sebagai berikut:

Nilai Interpretasi

0,801 sampai dengan 1,000 Sangat kuat 0,601 sampai dengan 0,800 Kuat

0,401 sampai dengan 0,600 Cukup Kuat 0,201 sampai dengan 0,400 Lemah

0,001 sampai dengan 0,200 Sangat Lemah (Sugiyono, 2001: 112)


(38)

Selanjutnya untuk menguji pengaruh digunakan Uji t, dengan rumus:

2 1

2

r n r t

  

Keterangan : t = Nilai Uji t

r = Nilai KorelasiProduct Moment

n = Jumlah Sampel

Setelah itu nilai t hitung dibandingan dengan nilai t tabel pada taraf signifikan

95%, Ketentuan yang dipakai dalam perbandingan ini adalah :

a. Jika thitung> ttabel pada taraf signifikan 95% maka Ho ditolak, Hi diterima.

Berarti praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD berpengaruh terhadap rendahnya profesionalisme kerja pegawai.

b. Jika thitung< ttabel pada taraf signifikan 95% maka Hi ditolak, Ho diterima.

Berarti praktik primordialisme dalam penerimaan CPNSD tidak berpengaruh terhadap rendahnya profesionalisme kerja pegawai.

J. Uji Persyaratan Instrumen 1. Uji Validitas

Menurut Suharsimi Arikunto (2000: 160), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. validitas menunjukan sejauh mana suatu alat pengukuran cukup akurat, stabil atau konsisten dalam mengukur apa yang ingin diukur.Pengujian validitas instrumen penelitian dilakukan dengan menggunakan rumus KorelasiProduct Moment


(39)

Hasil perhitungan per item pertanyaan dengan menggunakan rumus korelasi

product moment memperoleh angka korelasi (rhitung) yang harus dibandingkan

dengan angka kritik tabel korelasi nilai (r rtabel). Jika nilai rhitung> nilai rtabelmaka

pertanyaan valid dan jika nilai rhitung< nilai rtabelmaka pertanyaan tidak valid.

2. Uji Reliabilitas

Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 164), suatu kuesioner dikatakan reliabel jika kuesioner tersebut memiliki taraf kepercayaan yang tinggi dan memiliki kemantapan atau ketepatan. Untuk mencari reliabilitas digunakan rumus Koefisien Alfa (CronBach) yaitu:

            

1 122

1 t k k σ σ α Keterangan: 

α Nilai reliabilitas k = jumlah item pertanyaan

2 i σ

 = Nilai varians masing-masing item 2

t σ

 = Varians total

Setelah hasil nilai Koefisien Alfa (CronBach) didapatkan maka nilai tersebut dibandingkan dengan rhitung pada tabel nilai r. Jika nilai Alfa > rhitung maka

pertanyaan tersebut reliabel. Sebaliknya Jika nilai Alfa < rhitungmaka pertanyaan

tersebut tidak reliabel (Arikunto, 2006: 166).

Kegiatan yang dilakukan pada proses pengujian instrumen penelitian ini adalah melakukan perhitungan untuk memperoleh nilai validitas dan reliabilitas kuesioner, dengan menggunakan bantuan Program SPSS (Statistic Program for Social Sciences) atau Program Statistik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Hasil Pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner disajikan pada Lampiran 4.


(40)

A. Identitas Responden

Responden dalam penelitian ini adalah para Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang diterima pada Periode Tahun 2009 yang berjumlah 59 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada deskripsi identitas responden menurut jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan terakhir serta jabatan, yaitu sebagai berikut:

1. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin

Untuk mengetahui identitas responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Identitas Responden Menurut Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

1 Laki-Laki 38 64,41

2 Perempuan 21 35,59

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan tabel 3 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden penelitian ini berjenis kelamin laki-laki. Lebih banyaknya responden laki-laki dibandingkan dengan responden perempuan dalam hal ini dapat berkaitan dengan jenis atau bidang pekerjaan CPNSD Provinsi Lampung tahun 2009,


(41)

yaitu tenaga teknis seperti pelatih olahraga, olahragawan berprestasi dan tenaga penyuluh lapangan. Tenaga teknis tersebut lebih didominasi oleh pelamar berjenis kelamin laki-laki.

(Sumber: Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Lampung Tahun 2010).

2. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

Untuk mengetahui identitas responden menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Identitas Responden Menurut Kelompok Umur

No Kelompok Umur Frekuensi Persentase

1 3035 Tahun 6 10,17

2 2529 Tahun 31 52,54

3 2024 Tahun 22 37,29

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan tabel 4 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden berusia antara 25 – 29 tahun atau berada pada usia yang produktif. Hal ini

sesuai dengan persyaratan menjadi CPNSD bahwa usia minimal peserta umum adalah 18 tahun dan usia maksimal adalah 35 tahun. Adanya produktivitas tingkat usia CPNSD, diharapkan mereka dapat bekerja secara maksimal sesuai dengan bidang pekerjaan pada instansi masing-masing dan melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat (Sumber: Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Lampung. Juli 2010)


(42)

3. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir

Untuk mengetahui identitas responden menurut pendidikan terakhir dapat dilihat pada tabel 5 berikut:

Tabel 5. Identitas Responden Menurut Pendidikan Terakhir

No Pendidikan Terakhir Frekuensi Persentase

1 Sarjana Strata I (S1) 42 71,19

2 Diploma III (D3) 17 28,81

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan tabel 5 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan Sarjana Strata I atau berpendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan persyaratan menjadi CPNSD bahwa pendidikan minimal peserta umum adalah Diploma III, Sarjana Strata I dan II. Tingginya jenjang pendidikan yang disyaratkan pada penerimaan CPNSD dimaksudkan agar para CPNSD akan dapat bekerja secara profesional dan maksimal sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing. Selain itu diharapkan mereka mampu mengaplikasikan atau menerapkan disipilin ilmu yang didapatkan selama kuliah pada pekerjaannya masing-masing (Sumber: Hasil Wawancara dengan Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Lampung. Juli 2010)


(43)

4. Identitas Responden Menurut Bidang Tugas

Untuk mengetahui identitas responden menurut bidang tugas dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

Tabel 6. Identitas Responden Menurut Bidang Tugas

No Jabatan Frekuensi Persentase

1 Tenaga Kesehatan 9 15,25

2 Tenaga Teknis 43 72,88

3 Pelatih/Olahragawan Berprestasi 7 11,86

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Hasil Penelitian Tahun 2010

Berdasarkan tabel 6 di atas maka diketahui sebagian besar responden memiliki bidang tugas sebagai tenaga teknis. Dalam penerimaan CPNSD Tahun 2009, Pemerintah Provinsi Lampung hanya memerlukan formasi CPNSD dengan jabatan tenaga kesehatan, tenaga teknis dan pelatih/olahragawan berprestasi. Penerimaan CPNSD dengan berbagai jabatan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan Pemerintah Provinsi Lampung untuk memenuhi berbagai formasi yang kosong pada bidang tugas yang dibutuhkan. Oleh karena itu, diharapkan para CPNSD yang diterima adalah mereka yang memenuhi kriteria dan persyaratan, sehingga dapat bekerja secara maksimal setelah dinyatakan resmi menjadi CPNSD melalui Surat Keputusan Pengangkatan CPNSD.

Tenaga kesehatan terdiri dari Dokter umum dan dokter spesialis, perawat, bidan, pranata laboratorium kesehatan, perekam medik, nutrisionis, asisten apoteker, apoteker, okupasi terapis, penyuluh kesehatan masyarakat, teknisi elektromedik.


(44)

Tenaga teknis terdiri dari Pranata Laporan Keuangan, Auditor, Inspektur Tambang, Pengolah Data Pertambangan, Penyuluh Perikanan, Penyusun Program dan Evaluasi, Stastisi, Penyuluh Koperasi, Pemandu Wisata, Penguji Kendaraan Bermotor, Pengawas Mutu Pakan, Penyuluh Kehutanan, Pranata Laboratorium, Pranata Humas, Pengawas Benih Tanaman, Analisis Kepegawaian, Penera, Teknisi Pertamanan dan Pranata Komputer. Sementara itu, pelatih/olahragawan berprestasi terdiri dari Atletik, Gulat, Tinju, Karate, Kempo, Pencak Silat, Taekwondo, Renang, Tarung Drajat, Angkat Besi/Berat, Anggar, Dayung, Judo.

(Sumber: Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Lampung Tahun 2010).

B. Tanggapan CPNSD terhadap Praktik Primordialisme dalam Penerimaan CPNSD Provinsi Lampung Tahun 2009

Primordialisme adalah suatu pandangan yang lebih mengutamakan atau mementingkan orang-orang yang berada dalam ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dalam segala hal. Dalam konteks penerimaan CPNSD praktik primordialisme dilakukan pejabat atau pemerintahan dengan mengutamakan atau memprioritaskan pihak kerabat/keluarga untuk menjadi PNS.

1. Tanggapan Terhadap Penerimaan CPNSD

Untuk mengetahui tanggapan responden bahwa penerimaan CPNSD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 dilaksanakan dengan baik, dapat dilihat pada tabel 7 berikut:


(45)

Tabel 7. Tanggapan Terhadap Penerimaan CPNSD

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Baik 9 15,25

2 Cukup Baik 22 37,29

3 Kurang Baik 28 47,46

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 1. Data Primer Tahun 2010 Berdasarkan tabel 7 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa penerimaan CPNSD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 dilaksanakan kurang baik. Kurang baik maksudnya adalah secara ideal penerimaan CPNSD sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil bahwa CPNS harus mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan, namun pada kenyataannya masih ada kasus primordialisme . Pengadaan CPNSD menjadi Kewenangan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota dalam hal penerimaan pegawai adalah dilakukan secara terbuka dan transparan. Penerimaan pegawai dilakukan melalui proses pengujian atau tes yang meliputi tes potensi akademik dan tes kemampuan bakat skolastik sesuai dengan bidang ilmu pelamar.

Selain itu responden menyatakan bahwa penerimaan CPNSD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 dilaksanakan dengan cukup baik, dalam arti bahwa responden menilai adanya berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan tes seperti pada saat pendaftaran misalnya ada pelamar yang tidak memenuhi persyaratan umur atau bidang ilmu yang tidak sesuai


(46)

dengan jabatan yang dibutuhkan. Adanya responden yang menyatakan bahwa penerimaan CPNSD di lingkungan Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 dilaksanakan dengan kurang baik, karena panitia penerimaan CPNSD dianggap kurang atau tidak profesional dalam menyelenggarakan tes, misalnya adanya dugaan kecurangan pada penerimaan tes.

2. Tanggapan terhadap Kesesuaian Latar Belakang Pendidikan dalam Penerimaan CPNSD

Untuk mengetahui tanggapan responden bahwa latar belakang pendidikan pelamar yang disyaratkan dalam Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 sesuai dengan formasi jabatan yang dibutuhkan, dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8. Tanggapan terhadap Kesesuaian Latar Belakang Pendidikan dalam Penerimaan CPNSD

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Sesuai 30 50,85

2 Cukup Sesuai 22 37,29

3 Kurang Sesuai 7 11,86

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 2. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 8 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa latar belakang pendidikan pelamar yang disyaratkan dalam Penerimaan CPNSD sesuai dengan formasi jabatan yang dibutuhkan. Kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan formasi jabatan yang dibutuhkan dalam penerimaan CPNSD merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan, mengingat dengan adanya kesesuaian tersebut maka


(47)

diharapkan para CPNSD akan dapat bekerja secara maksimal dengan dasar ilmu yang telah mereka miliki. Dengan kata lain pendidikan yang relevan adalah persyaratan penting dalam penerimaan CPNSD. Contoh formasi yang sesuai adalah Formasi Auditor berasal dari Jurusan S1 Akuntansi, yang cukup sesuai adalah Pranata Humas berasal dari Jurusan Komunikasi Publistik (lebih sesuai Jurusan S1/DIII Humas) sedangkan yang tidak sesuai adalah Penyuluh Kesehatan Masyarakat berasal dari Pendidikan S1 Pertambangan (seharusnya S1 Kesehatan Masyarakat).

3. Tanggapan Terhadap Profesionalisme Panitia Penerimaan CPNSD

Untuk mengetahui tanggapan responden bahwa panitia Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 telah menjalankan tugasnya secara profesional, dapat dilihat pada tabel 9 berikut:

Tabel 9. Tanggapan Terhadap Profesionalisme Panitia Penerimaan CPNSD

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Profesional 19 32,20

2 Cukup Profesional 15 25,42

3 Kurang Profesional 25 42,37

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 3. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 9 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa panitia Penerimaan CPNSD menjalankan tugasnya dengan kurang profesional, dalam arti artinya responden menilai masih ada bentuk kecurangan yang terdapat dari tahap pendafataran sampai dengan


(48)

pengumanan. Panitia Penerimaan CPNSD menjalankan tugasnya dengan profesional, artinya panitia bekerja sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan mulai dari tahap pendaftaran sampai dengan pengumuman. Adanya responden yang menyatakan tidak profesional dapat disebabkan adanya dugaan panitia Penerimaan CPNSD menjalankan tugasnya dengan kurang profesional, artinya banyak dijumpai kecurangan dari tahap pendaftaran sampai dengan pengumuman, seperti jurusan tidak sesuai formasi atau usia pelamar melebihi 35 tahun.

4. Tanggapan Terhadap Potensi Kecurangan dalam Penerimaan CPNSD Untuk mengetahui tanggapan responden terhadap potensi kecurangan dalam Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009, dapat dilihat pada tabel 10 berikut:

Tabel 10 Tanggapan Terhadap Potensi Kecurangan dalam Penerimaan CPNSD

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Besar 26 44,07

2 Cukup Besar 21 35,59

3 Kecil 12 20,34

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 4. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 10 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa potensi kecurangan dalam Penerimaan CPNSD adalah besar. Hal ini bermakna bahwa pada Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 terdapat potensi kecurangan seperti


(49)

penerimaan pegawai yang melebihi batas usia yang ditentukan, adanya pelamar yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan adanya pelamar yang tidak mengikuti tes CPNSD, namun dinyatakan lulus pada saat pengumuman.

5. Tanggapan Terhadap Potensi Kecurangan berupa Primordialisme

Untuk mengetahui tanggapan secara khusus potensi kecurangan dalam Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009, dalam bentuk praktik primordialisme, dapat dilihat pada tabel 11 berikut:

Tabel 11. Tanggapan Terhadap Potensi Kecurangan berupa Primordialisme

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Besar 24 40,68

2 Cukup Besar 24 40,68

3 Kecil 11 18,64

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 5. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 11 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa potensi kecurangan dalam Penerimaan CPNSD pada Pemerintahan Provinsi Lampung Tahun 2009 adalah besar dan cukup besar. Besar atau cukup besarnya potensi primordialisme dalam penerimaan CPNSD ini dapat diketahui responden dari berbagai sumber, misalnya pemberitaan melalui media massa tentang adanya potensi primordialisme, pengalaman pada saat mereka mengikuti tes pada tahun-tahun sebelumnya atau dari orang lain yang menceritakan pada mereka bahwa memang ada praktik


(50)

primordialisme dalam penerimaan CPNSD. Praktik primordialisme ini sangat disayangkan dalam penerimaan CPNSD, sebab seharusnya Pemerintah Daerah merekrut calon pegawai yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bekerja.

Contoh pemberitaan mengenai adanya praktik primordialisme dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Provinsi Lampung Tahun 2009 adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Pringsewu, di mana salah seorang peserta bernama Ganda Febriansyah yang lulus pada Formasi Tata Praja Pemerintah Kabupaten Pringsewu. Pada seleksi CPNSD Tahun 2008, Ganda Febriansyah pernah menjalani proses hukum karena kasus perjokian dalam seleksi CPNSD (Sumber:Radar LampungEdisi 31 Desember 2009).

Kasus lain adanya dugaan primordialisme dalam Penerimaan CPNSD terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, di mana tiga orang peserta bernama Fadho Riyansyah, Sri Lidia dan Erma Juwita yang diduga tidak mengikuti ujian penerimaan pada 29 November 2009 tetapi dinyatakan lulus pada Formasi Analis Kelembagaan Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang (Sumber:Tribun LampungEdisi 9 Januari 2010).

6. Nuansa Kecurangan dalam Proses Pendaftaran

Untuk mengetahui bahwa responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam bentuk primordialisme dalam proses pendaftaran CPNSD, dapat dilihat pada tabel 12 berikut:


(51)

Tabel 12. Nuansa Kecurangan dalam Proses Pendaftaran

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Merasakan 30 50,85

2 Cukup Merasakan 21 35,59

3 Kurang Merasakan 8 13,56

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 6. Data Primer Tahun 2010 Berdasarkan tabel 12 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam bentuk primordialisme dalam proses pendaftaran CPNSD. Nuansa kecurangan tersebut dapat dirasakan misalnya ada seseorang yang diduga kerabat atau anggota keluarga pejabat Pemerintahan (setingkat Kepala Dinas) yang tidak mengikuti tes, namun pada saat pengumuman, namanya tercantum sebagai CPNSD yang dinyatakan lulus tes, selain itu adanya praktik perjokian yang dilakukan oleh seseorang atas perintah seseorang peserta tes yang diduga sebagai kerabat atau anggota keluarga pejabat Pemerintah Provinsi Lampung. Meskipun Panitia Pelaksana menyatakan bahwa penerimaan dilakukan secara bersih dan transparan, namun tetap saja para peserta tes merasakan nuansa kecurangan dan secara psikologis memiliki kecurigaan, hal ini disebabkan karena formasi yang ditawarkan terbatas sedangkan jumlah peserta banyak (Sumber: Wawancara dengan Andri Firmansyah, responden penelitian Tahun 2010).

7. Nuansa Kecurangan dalam Proses Test/Ujian

Untuk mengetahui bahwa responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam bentuk primordialisme dalam proses test/ujian untuk menjadi CPNSD, dapat dilihat pada tabel 13 berikut:


(52)

Tabel 13. Nuansa Kecurangan dalam Proses Test/Ujian

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Merasakan 31 52,54

2 Cukup Merasakan 22 37,29

3 Kurang Merasakan 6 10,17

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 7. Data Primer Tahun 2010 Berdasarkan tabel 13 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam bentuk primordialisme dalam proses tes/ujian CPNSD. Nuansa kecurangan pada saat pelaksanaan tes, dapat diketahui misalnya ada seseorang peserta tes yang mengerjakan soal-soal ujian dalam waktu yang sangat cepat, padahal jumlah soal yang diujikan banyak (mencapai 250 butir soal), namun pada saat pengumuman, peserta tersebut dinyatakan lulus. Hal ini menunjukkan bahwa ada peserta tes yang mengikuti tes hanya sebagai formalitas semata-mata, untuk menutupi kecurigaan berbagai pihak, sebab dengan mengikuti tes maka kecurigaan orang lain akan dapat diminimalisasi oleh peserta yang diterima sebagai CPNSD melalui praktik primordialisme (Sumber: Wawancara dengan Andri Firmansyah, responden penelitian Tahun 2010).

8. Nuansa Kecurangan dalam Proses Pengumuman

Untuk mengetahui bahwa responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam pengumuman CPNSD, dapat dilihat pada tabel 14 berikut:


(53)

Tabel 14. Nuansa Kecurangan dalam Proses Pengumuman

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Merasakan 32 54,24

2 Cukup Merasakan 19 32,20

3 Kurang Merasakan 8 13,56

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 8. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 14 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden merasakan adanya nuansa kecurangan dalam bentuk primordialisme dalam proses pengumuman kelulusan CPNSD. Kecurangan pada saat pengumuman dapat diketahui misalnya seseorang yang diduga kerabat pejabat pemerintahan yang tidak mengikuti tes namun dinyatakan lulus dalam pengumuman. Dugaan bahwa adanya seseorang yang tidak mengikuti tes namun dinyatakan lulus tersebut merupakan kuatnya indikasi bahwa praktik primordialisme memang benar-benar terjadi dalam penerimaan CPNSD (Sumber: Wawancara dengan Novita Sari, responden penelitian Tahun 2010).

9. Tanggapan Terhadap Kekentalan Praktik Primordialisme

Untuk mengetahui tanggapan penilaian responden terhadap kekentalan praktik primordialisme dalam Penerimaan CPNSD, dapat dilihat pada tabel 15 berikut:


(54)

Tabel 15. Tanggapan Terhadap Kekentalan Praktik Primordialisme

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Kental 33 55,93

2 Cukup Kental 22 37,29

3 Kurang Kental 4 6,78

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 9. Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa praktik primordialisme dalam Penerimaan CPNSD adalah kental. Hal ini ketahui dari adanya penilaian para responden yang menyatakan bahwa ada kemungkinan yang sangat besar bagi pejabat pemerintahan untuk mengutamakan para pelamar yang masih terikat dalam hubungan keluarga, sebagai peserta yang lulus dalam penerimaan CPNSD. Jawaban responden yang menyatakan bahwa penerimaan CPNSD kental dengan primordialisme menunjukkan bahwa praktik ini terjadi secara jelas, misalnya dari sebanyak 30 CPNSD yang dibutuhkan pada jabatan tertentu, sebanyak 20 orang di antaranya adalah titipan pejabat. Jawaban cukup kental misalnya dari sebanyak 30 CPNSD yang dibutuhkan pada jabatan tertentu, sebanyak 15 orang di antaranyanya adalah titipan pejabat. Kurang kental misalnya dari sebanyak 30 CPNSD yang dibutuhkan pada jabatan tertentu, sebanyak 1-5 orang di antaranyanya adalah titipan pejabat.


(55)

10. Tanggapan bahwa Otonomi Daerah Berpotensi Menciptakan Praktik Primordialisme

Untuk mengetahui tanggapan responden bahwa otonomi daerah berpotensi menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik primordialisme dalam Penerimaan CPNSD, dapat dilihat pada tabel 16 berikut:

Tabel 16. Tanggapan bahwa Otonomi Daerah Berpotensi Menciptakan Praktik Primordialisme

No Jawaban Responden Frekuensi Persentase

1 Berpotensi 31 52,54

2 Cukup Berpotensi 22 37,29

3 Kurang Berpotensi 6 10,17

Jumlah 59 100,00

Sumber: Diolah dari Kuesioner Penelitian Nomor 10. Data Primer Tahun 2010 Berdasarkan tabel 16 di atas maka diketahui bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa otonomi daerah berpotensi menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik primordialisme dalam Penerimaan CPNSD. Hal ini sesuai dengan pandangan para responden yang menyatakan bahwa otonomi daerah pada saat ini telah mengalami pergeseran pandangan, di mana para pejabat pemerintahan di daerah cenderung menjadi penguasa lokal yang berhak untuk menentukan siapa-siapa orang yang akan direkrut menjadi CPNSD, terutama para pelamar tes yang masih terikat sebagai anggota keluarga atau kerabat dari pejabat pemerintahan tersebut.

Hal ini sesuai dengan pandangan para responden yang menyatakan bahwa otonomi daerah pada saat ini telah mengalami pergeseran pandangan, di mana para pejabat pemerintahan di daerah, sebagai oknum yang menjadikan


(1)

Lampiran 3

HASIL PERHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SPSS

primordialisme profesionalisme primordialisme Pearson Correlation 1 .876**

Sig. (2-tailed) .000

N 59 59

profesionalisme Pearson Correlation .876** 1 Sig. (2-tailed) .000


(2)

MOTTO

Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati, satu hati menangis dan yang satu lagi bersabar

(Khalil Gibran)

Anda tidak akan pernah salah selama selalu berpegang pada kebenaran


(3)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku kepada :

Kedua Orang Tuaku

(Alifuddin dan Naruiyah, S.Ag)

Yang telah memberikan segala daya upaya dalam kehidupanku, yang telah

membimbingku sejak kecil dan memberikan doanya kepadaku

sehingga aku bisa seperti sekarang,

Kakak-Adikku

Anita Noviana, A.md Keb dan Janiar Rizkina

yang telah membantuku selama ini

Seseorang

yang selalu membantuku dalam segala hal, Yoanita Sukhita

dan Sahabat-sahabat terbaikku


(4)

i

SANWACANA

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Pengaruh Praktik

Primordialisme dalam Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) Terhadap Profesionalisme Kerja Pegawai (Studi tentang Persepsi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung Periode Tahun 2009). Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemeritahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang tentunya sepenuh hati meluangkan waktu dengan ikhlas memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, sekaligu selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan dan membantu penulis dalam proses perkuliahan 2. Bapak Drs. Hi. Aman Toto Dwijono, M.H selaku Ketua Jurusan Ilmu

Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung 3. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu


(5)

ii

4. Bapak Drs. Ismono Hadi, M.Si., selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktunya dan dengan sabar memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Hi. Syafarudin, S.Sos., M.A., selaku Pembimbing Pembantu yang telah meluangkan waktunya dan dengan sabar memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen, staf administrasi, penjaga ruang baca dan karyawan FISIP Unila terima kasih atas jasa-jasa kalian penulis dapat menyelesaikan studi. 7. Teristimewa kepada kedua orangtuaku Alifuddun dan Naruiyah, S.Ag yang

selalu bekerja keras, upaya dan jerih payah demi menjadikan penulis seorang sarjana. Kupersembahkan karya ini untuk kalian.

8. Kakak, Adikku Anita Noviana,A.md Keb, dan Janiar Rizkina terima kasih atas dukungan kalian selama ini.

9. Untuk ”Yoanita Sukhita” seseorang yang selalu ada suka maupun duka dan

selalu memberiku semangat serta motivasi yang positif dan membuatku semakin mengerti untuk selalu menjalankan hidup ini agar menjadi lebih baik dan bermakna dalam melakukan segala hal. Terima kasih banyak ya beb

saiiank-saiiank yang selalu membantu dan mendukungku dalam

menyelesaikan skripsiku ini.

10. Semua Saudaraku, atas motivasi dan doa yang diberikan.

11. Rekan-Rekan Jurusan Ilmu Pemerintahan Program Ekstensi Angkatan 2005 kita semua harus selalu kompak dan eksis, khususnya buat anggota DMFC klub: Dani, Afrian Udo Yayang, Amran Bedul, Hastanto Pribadi, Trisma Mbul, Fajri Alias Ojes, Eki alias Kyai dan Anggara. Ayo kalian cepat


(6)

iii

selesaikan studi. Hastanto terima kasih sudah menjadi moderator dan buat kawan kawan DMFC ayo kita wisuda bareng kalau nggak tahun ini mau

kapan lagi.

12. Rekan-Rekan Jurusan Ilmu Pemerintahan Program reguler yang sudah membantuku Heni, Estin dan Adi. Terima kasih atas bantuan kalian.

13. Seluruh pihak yang membantu memberi inspirasi dan motivasi penulis untuk bisa menjadi lebih baik dan optimis menyongsong masa depan.

Semoga sumbangsih yang telah mereka berikan, Insyaallah akan dibalas oleh Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kemajuan ummat, Amien.

Bandar Lampung, Oktober 2010 Penulis