Cinta itu Luka

Cinta itu Luka

Saturday, 17 April 2010 06:54 -

Cerpen Rafika Rabba Farah
Vi Vivi..kesini sebentar dek !! suara  itu sejenak memecah keheningan. Itu adalah teriakan
melengking kakak sepupuku yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Ia identik dengan sebutan si
geulis tembem. Suaranya, seketika itu pula memecah kesunyian dalam dzikirku. Nama aslinya
adalah Mumtazatul Fikriah, tapi lebih dikenal dengan panggilan neng Izzah.
Iya mbak....ada apa? Kok teriak kenceng banget? Ada sesuatu yang penting kah?, jawabku
dengan nada ingin tahu apa yang sebenarnya ia inginkan dariku. Tentunya juga agak jengkel
karena ia telah berhasil mengganggu keasyikanku dalam dzikir.
Mbak Izzah memang kelihatan sedikit manja ketika berada di depanku. Sampai-sampai aku pun
heran sebenarnya siapa yang seharusnya lebih mengayomi. Ugghh.... desahku.
Tapi mbak Izzah sungguh cerdik menyembunyikan kemanjaannya di depan orang lain, kecuali
aku, sepupunya. Apalagi di depan para lelaki, dia pintar untuk mengelabuhi mereka dengan
sikapnya yang elegan disetiap tutur katanya. Hal itu bisa dimaklumi karena mbak Izzah
memang anak terakhir dari tiga bersaudara. Keluarga mbak Izzah adalah keluarga tersohor di
daerahnya. Ayahnya tak jarang menghadiri ceramah di setiap acara besar. Ya, tak lain sang
ayah adalah kyai tersohor.
Ada apa sih mbak? tanyaku.

Dek kamu masih ingat kan tentang undangan yang pernah kutunjukkan pada mu kemarin?
sambil memegang sepucuk surat yang dibalut dengan amplop putih dia bertanya dengan nada
yang sedikit terengah.
Hah..!! Undangan yang mana?  
Mbak Izzah mencoba mengingatkanku perihal undangan yang pernah ia tanyakan kepadaku
beberapa hari yang lalu. Dia terus mencoba menjawab kebingunganku.
Owalahh...undangan yang diantar lelaki yang tak dikenal kemarin mbak? Iya..iya...aku ingat
sekarang, kenapa mbak??
Lega akhirnya mbak Izzah mendengar ketajaman ingatanku walaupun agak lola...hehe.
Memang beberapa hari yang lalu mbak Izzah bertanya kepadaku mengenai undangan
pernikahan teman mbak Izzah yang akan berlangsung seminggu lagi. Di atasnya tertuliskan
nama mbak Izzah dengan lengkap bahkan alamat lengkap rumah pun tak ketinggalan. Ia sedikit
merasa janggal karena dia sama sekali tidak kenal dengan nama ataupun identitas temannya
yang akan menikah di undangan tersebut.
Nih, lihat dan baca isi surat ini .
Sepucuk surat yang sudah sedikit kumal karena gemes mengingatkanku sedari tadi. Sekarang
ia sodorkan kepadaku. Kata demi kata kucoba telusuri dengan teliti dan sekata pun tak boleh
terlewatkan dari sorotan mata. Aku hanya bisa tersenyum manis membaca surat yang mbak
Izzah berikan. Betapa tidak, surat yang barusan saja aku baca adalah surat yang dilayangkan
dari seorang lelaki muda teruntuk mbak Izzah tercinta.

Owhhh so sweet, kata itu terucap dari bibir manisku sedikit mengejek dengan gembira.
Bahwa ternyata ada sang pengangum hati selama ini yang telah mengincar mbak tembem
Izzah, Cieee....cieee...yang lagi berbunga-bunga,e hm..ehm.. ledekan tak henti ku ucapkan
pada mbak Izzah.
Memerah bak buah delima wajah mbak Izzah ketika kuledek bahkan hampir berubah hampir
menyerupai merahnya buah tomat.

1/3

Cinta itu Luka

Saturday, 17 April 2010 06:54 -

Surat yang barusan aku baca adalah surat penjelasan tentang undangan pernikahan misterius
tempo hari. Ternyata undangan tersebut tak lain undangan dari lelaki pengagum hati. Itu
undangan pernikahan kakaknya yang akan berlangsung tidak lama lagi.
Sontak saja kemarin mbak Izzah dan aku tidak mengenali nama mempelai yang tertera di
undangan tersebut. Beberapa hari yang lalu dengan penuh berani  sang pangeran  bermotor
Honda , ia mengantarkan undangan itu ke rumah mbak Izzah yang suka sekali mengoleksi
jilbab berbagai model itu. Tak lain tujuannya adalah ingin mengetahui seperti apakah mbak

Izzah yang sesungguhnya. Dan kebetulan sekali mbak Izzah sendiri yang menerima undangan.
Surat tadi baru saja menjelaskan bahwasannya lelaki itu telah mencari cukup lama ibu guru
yang bernama Mumtazatul Fikriah. Lelaki tersebut ingin meminta mbak Izzah sebagai calon
istrinya jikalau mbak Izzah belum ada yang meminta. Dan terlebih dahulu, ia ingin berkenalan
lebih dekat dengannya. Jawaban mbak Izzah sangat dinantikannya dan tentunya yang paling
penting dalam surat tersebut adalah tercantumkannya nomor handphone sebelum kata salam
penutup.
Kegiatan mbak Izzah sehari-hari adalah mengajar di yayasan milik ayahnya yang kebetulan
tidak terletak jauh dari rumah. Karena ia lulusan pesantren otomatis pelajaran yang ia ajarkan
tidak jauh dari pelajaran  yang ia tekuni. Ia mengajar pelajaran bahasa Arab dan ilmu tajwid.
Mbak Izzah pun meminta pendapatku tentang surat tersebut karena ia merasa bingung.
Kebingungannya itu bisa kupahami dengan segera. Mbak Izzah yang hobi makan bakso itu
selalu cerita tentang masalah asmaranya kepada aku --  sepupunya yang paling cerewet ini.
Selama ini sekitar tiga pemuda sudah mencoba memintanya, tapi selalu berujung dengan kata
penyerahan karena merasa minder dengan kedudukan mbak Izzah yang notabene anak kyai.
Ditambah sudah nyantri sekitar 11 tahun. Pokoknya,  banyak sekali alasan ketakutan mereka.
Meskipun akhirnya patah hati, mbak Izzah pun harus sabar.
Lama berkenalan, meskipun lewat SMS atau  calling aja, mbak Izzah pun diminta oleh lelaki
tersebut guna mengesahkan hubungan dan menuju kepada hubungan yang lebih serius. Jika
kulihat kulihat mbak Izzah memang benar-benar cinta dan  suka kepada lelaki itu. Artinya,

keduanya saling mencintai.
Mbak Izzah tak bisa mengiyakan begitu saja perihal maksud baik lelaki tersebut. Tak perlu
dipetanyakan lagi, mbak Izzah meminta pertimbanganku. Sebagai anak terkecil ia harus
meminta pertimbangan dulu kepada kakak-kakaknya, baru kemudian menghadap ayahnya,
kyai Dzulfikar.
Dua tiga hari bahkan hampir seminggu mbak Izzah tidak terlihat batang hidungnya. Aku juga
sibuk dengan aktivitas kampus. Aku pun jadi khawatir tentang keadaannya. Akhirnya aku
putuskan untuk sekedar berkunjung ke kamarnya di sela kesibukanku. Kucoba buka pintu
kamarnya namun terkunci.
Tok...tok..tok... mbak Izz...mbak....mbak... ini aku Vivi.... aku berteriak sambil mengetok pintu.
Dua, tiga menit ku tunggu, akhirnya dibukakan juga pintunya.
Mbak Izz...kenapa....? kucoba menenangkan dalam rangkulan eratnya kepadaku. Ia terlihat
kusut, kurus dan sembab di mata. Jeleknya ketika aku menangis lebih jelak lagi keadaan mak
Izzah saat ini. Aku bingung dan bertanya dalam hati ada apa gerangan?
Setelah agak tenang, ternyata sudah lima hari mbak Izzah mengurung diri di kamar dan tak
mau makan ataupun  minum. Lalu ia bercerita, bahwasannya setelah penyampaian maksud
baik seorang lelaki yang ingin meminta mbak Izzah kepada ayahnya. Ayah mbak Izzah
meminta waktu sekitar dua hari untuk memutuskan. Ternyata waktu dua hari tersebut
digunakan untuk menyelidiki status lelaki dan keluarganya. Tentunya pak kyai yang tersohor ini


2/3

Cinta itu Luka

Saturday, 17 April 2010 06:54 -

tidak mau mendapatkan menantu sembarangan.
Setelah maghrib seminggu yang lalu, pak kyai Dzulfikar, tak lain adalah ayah mbak Izzah,
memanggilnya untuk sebuah keputusan yang sudah sangat dinantikannya. Hati
berbunga-bunga dengan harapan sang ayah merestui hubungan mereka. Apa yang ada
dibenak mbak Izzah tak lain adalah kebahagiaan. Untuk menjaga kesopanan, dengan wajah
tertunduk mbak Izzah mendengarkan perkataan ayahnya secara seksama.
Sejenak ia tertunduk lebih dalam dengan linangan air mata yang tiada terkira. Ia kecewa, sakit
hati dan marah ketika ayahnya memutuskan bahwa ia akan dinikahkan dengan anak kyai
As-Shidqi, salah seorang sahabat ayahnya di Mesir dahulu. Walimah akan dilaksanakan tiga
bulan lagi. Bagaimanapun marahnya mbak Izzah, tapi ia tak akan mampu mengubah keputusan
kyai Dzulfikar. Ia harus menurutinya.
Alasan kenapa kyai Dzulfikar tidak setuju adalah karena lelaki tersebut dianggap kurang kufu
dengan mbak Izzah. Bukan dari segi harta melainkan dari segi ilmu. Pernah mengenyam
pendidikan pesantren menjadi persyaratan utama bagi lelaki yang akan menjadi pendamping

hidup putra-putri kyai Dzul, begitu ia disapa oleh warganya. Bisa meneruskan pesantren
merupakan orientasi utama yang menjadi pemikiran keluarga. Dan yang tak ketinggalan adalah
petaruhan nama keluarga. Itu dianggap masalah kehormatan keluarga di mata orang.
Sakit, rintih mbak Izzah. Bukan jiwanya yang sakit melainkan raganya hancur berkeping. Ia
harus menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya.
Hari ini adalah hari di mana prosesi walimah akan dilaksanakan. Gembira seharusnya dimiliki
oleh setiap calon pengantin, namun tidak pada mbakku yang satu ini. Aku pun terbawa
suasana. Aku tak tega melihat keadaan mbak Izzah.  Ia mencoba tersenyum untuk menutupi
semuanya, aku bingung dengan keadaan. Haruskah aku berbahagia?
Menikah tanpa rasa cinta sungguh menyakitkan apalagi harus mengakui cinta atas nama
formalititas kehormatan semata.
Rafika Rabba Farah adalah mahasiswa Mahasiswa Pendidikan  Bahasa Inggris UMM. Penulis
punya hobby menulis Cerpen. Dia juga aktif menulis resensi buku dan beberapa artikel untuk
media cetak. Saat ini, sedang bergiat dalam penulisan Cerpen dan sedang mencari penerbit
untuk mempublikasikannya.

3/3