KH AHMAD DAHLAN DAN PERJUANGAN MELURUSKAN ARAH KIBLAT (3)

KH AHMAD DAHLAN
DAN PERJUANGAN MELURUSKAN
ARAH KIBLAT (3)
KI AGENG AF. WIBISONO
ANGGOTA KOMISI FATWA MUI PUSAT / ANGGOTA DEWAN SYARIAH NASIONAL

S

alah satu upaya keras untuk
menentukan arah kiblat bagi
umat Islam yang tidak dapat
melihat Kakbah secara langsung adalah dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya, ada
dua disiplin ilmu pengetahuan yang
dapat membantu terpenuhinya keharusan tersebut. Ilmu yang dimaksud
adalah ilmu falak (astronomi) dan
geografi. Karena pemanfaatan dua
disiplin ilmu tersebut dapat membantu
terpenuhinya suatu kewajiban, maka
penggunaan dua atau salah satu disiplin ilmu tersebut, untuk mendapatkan arah kiblat yang benar, adalah
suatu yang niscaya. Hal ini sejalan

dengan kaidah:

“Sesuatu yang dapat menjadikan
suatu kewajiban dapat dikerjakan
secara sempurna, maka penggunaan
sesuatu itu menjadi suatu keharusan”.
Sebagaimana telah diketahui,
bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 03 Tahun 2010
pada 16 Shafar1431 H bertepatan dengan 01 Februari 2010 M, menegaskan bahwa, pertama, Kiblat bagi
orang yang shalat dan dapat melihat
Kakbah adalah menghadap ke
bangunan Ka’bah (‘ainul Kakbah).
Kedua, Kiblat bagi orang yang shalat
dan tidak dapat melihat Kakbah adalah arah Kakbah (jihat al-Kakbah).
Ketiga, letak geografis Indonesia
22

6 - 21 RAMADLAN 1431 H

yang berada di bagian timur Kakbah/

Makkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah
barat.
Poin pertama yang menegaskan,
bahwa kiblat bagi orang yang shalat
dan dapat melihat Kakbah adalah
menghadap ke bangunan Kakbah,
sejalan dengan pandangan Muhammadiyah. Begitu juga poin kedua, kiblat bagi orang yang shalat dan tidak
dapat melihat Kakbah adalah arah
Kakbah, juga sejalan dengan pandangan Muhammadiyah. Namun,
poin ketiga yang menegaskan, letak
geografis Indonesia berada di bagian
timur Kakbah/Makkah, maka kiblat
umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat, tidak sejalan dengan pandangan Muhammadiyah.
Poin ketiga lebih didasarkan pada
pemahaman sempit terhadap sebuah
Hadits tanpa didukung dengan upaya
keras untuk mendapatkan arah Kiblat
yang sebenarnya. Sepanjang mampu,
upaya keras mendapatkan arah Kiblat
yang sebenarnya adalah wajib. Untuk

era sekarang ini, mendapatkan arah
Kiblat yang benar, bukan pekerjaan
yang sulit dilakukan. Sebaliknya,
banyak kemudahan yang didapatkan
umat Islam ketika bersedia berusaha
keras mendapatkan arah kiblat yang
sebenarnya. Ilmu pengetahuan manusia sudah cukup untuk membantu
mendapatkan arah kiblat yang sebenarnya bagi orang yang akan menunaikan shalat.
Fatwa MUI tentang arah Kiblat,
khususnya diktum ketiga, agaknya

didasarkan pada analogi (qiyas)
terhadap Hadits Nabi yang berkenaan
dengan kiblat penduduk yang tinggal
di sebelah utara Kakbah, yaitu warga
Madinah dan sekitarnya. Dalam Hadits
sahih riwayat Imam al-Tirmidzi, Nabi
saw bersabda:

“Arah mana saja antara timur dan

barat adalah Kiblat” (HR. Tirmidzi)
Bagi warga Madinah dan sekitarnya yang berada di utara Kakbah, arah
antara timur dan barat itu adalah selatan. Secara astronomis, arah kiblat
bagi warga Madinah dan sekitarnya
memang ke arah selatan. Jika sebuah
fatwa menetapkan, arah kiblat orang
Indonesia ke arah barat dengan mengqiyaskan kepada warga Madinah dan
sekitarnya karena adanya ‘illat samasama tidak melihat Kakbah, agaknya
masih perlu dikaji ulang. Hadits yang
menegaskan bahwa “Arah mana saja
antara timur dan barat adalah
Kiblat”, sesungguhnya masih koma,
belum titik. Karena Hadits serupa
riwayat Imam Malik dari Umar ibn
Khaththab memuat tambahan:

“Apabila menghadap ke arah
Kakbah”
Jika dibaca secara sempurna, maka Hadits tersebut sebenarnya menegaskan, “Antara timur dan barat adalah Kiblat apabila arahnya adalah
menghadap ke arah Kakbah.” Dalam

hadits riwayat Bukhari, Nabi saw

menegaskan keharusan menghadap
ke Kakbah dalam shalat dan bukan
sekadar menghadap antara timur dan
barat, antara selatan dan utara dan
seterusnya, tanpa upaya sungguhsungguh menghadap ke arah Kakbah. Kewajiban menghadap ke arah
Kakbah, agaknya, belum tertunaikan
bila seseorang sekedar menghadap
ke barat, timur, selatan, utara, dan
seterusnya, tanpa kepastian bahwa
arah tersebut menuju ke arah kiblat.
7. Catatan Penutup
Sebagai catatan penutup dapat

dikemukakan bahwa umat Islam Indonesia yang berada jauh dari kota
Makkah dan tidak melihat langsung
bangunan Kakbah, arah kiblat cukup
ke arah Kakbah (jihat al-Kakbah).
Pandangan seperti inilah yang telah

digagas KH Ahmad Dahlan pada tahun 1897 atau setahun pasca ia menyandang gelar Khatib Amin. Peristiwa pelurusan arah kiblat Masjid
Besar Yogyakarta pada tahun 1897
merupakan gagasan brilian yang lahir
dalam tradisi Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Mu-

hammadiyah, memiliki pandangan,
bahwa bagi yang mempunyai kemampuan dan kesempatan, berupaya
keras untuk mendapatkan arah Kakbah yang sebenarnya adalah merupakan suatu kewajiban. KH Ahmad
Dahlan memang menguasai ilmu falak
dan geografi yang ia peroleh selama
belajar di Semarang (RH Dahlan) dan
Bukittinggi (Syaikh Jamil Jambek).
Dua disiplin ilmu ini dapat membantu
upaya keras menentukan arah kiblat
yang sebenarnya dalam shalat.
Wallahu A’lam bi al-Shawab!l

Ralat :
Iklan di Majalah SM No. 14/Th. 95 edisi 1-15 Agustus 2010, tertulis ucapan Selamat atas terpilihnya

Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2105 yang benar 2010-2015.
Demikian, atas kesalahan ketik tersebut, kami maaf.

SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

23